bab ii
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
![Page 1: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kedudukan Kurikulum Terhadap Pendidikan
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidikan dengan peserta didik dalam
upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi
pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun
masyarakat. Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai
pendidik telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Guru
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang.
Kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Kurikulum
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dengan
berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara furu dan siswa berlangsung
interaksi ini selalu terjadi dalam lingkungan tertentu, yang mencakup antara lain
lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan.
kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-
tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan,
memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta
proses pendidikan. kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh
para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau
memberikan landasan-landasan teoretis bagi pengembangan kurikilum berbagai
institusi pendidikan.
B. Konsep kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan
praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang
dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata
pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah
ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan
ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai "... a racecourse of
subject matters to be mastered" (Robert S. Zais, 1976, hlm. 7). Banyak orang tua
bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban
sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum
diartikan hanya sebagai isi pelajaran.
![Page 2: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/2.jpg)
Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan
pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut
Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development
(1935), kurikulum ... to be composed of all the experiences children have under the
guidance of teachers. Perubahan penekanan pada pengalaman ini lebih jelas
ditegaskan oleh Ronald C. Doll (1974, hlm. 22):
The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of
study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners
under the auspices or direction of the school..
Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi
kepada proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang
sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang di maksud dengan pengalaman siswa
yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang
cukup luas. Pengalaman tersebut berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di
masyarakat, bersama guru tanpa guru, berkenaan langsung dengan pelajaran ataupun
tidak. Definisi tersebut juga mencakup berbagai upaya guru dalam mendorong
terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya.
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum
adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai
substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum,
dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah,
atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat
menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat
digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para
penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat.
Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu
kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum.
Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan,
bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan
![Page 3: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/3.jpg)
prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan,
mengevaluasi, dan menyem- purnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah
tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana
memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi
kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan
pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu
tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum
mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan
berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang
dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga
dituntut untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari
istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada
dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan
prediktif, (4) mengembangkan sub-subteori kurikulum, mengembangkan dan
melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban
seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai
subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan
dikembangkan.
C. Sumber Pengembangan Kurikulum
Dari kajian sejarah kurikulum, kita mengetahui beberapa hal yang menjadi
sumber atau landasan inti penyusunan kurikulum. Pengembangan kurikulum pertama
bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah mempersiapkan
anak bagi kehidupan orang dewasa, kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari
kehidupan orang dewasa. Para pengembang kurikulum mendasarkan kurikulumnya
atas hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa.
Dalam pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi .sernua
unsur kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam
Iingkungan budaya, dan turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam
Iingkungan budaya, ia harus mempelajari budaya, maka budaya menjadi sumber
utama isi kurikulum. Budaya ini mencakup ..einua disiplin ilmu yang telah ditemukan
![Page 4: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/4.jpg)
dan dikembangkan para pakar, nilai-nilai adat-istiadat, perilaku, benda-benda, dan
lain-lain.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan *Wm
pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran I iiikan
memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensi¬polensi yang telah
ada pada anak. Anak menjadi sumber kegiatan pengajaran, ia menjadi sumber
kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu
kebutuhan siswa, perkembangan serta minat siswa. Jadi, ada pengembangan
kurikulum bertolak dari ,hutuhan-kebutuhan siswa, tingkat-tingkat perkembangan
siswa, serta hal hal yang diminati siswa.
Beberapa pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum kepada
pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman
pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum
kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilai-nilai.
Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penentuan keputusan
yang dinamis. Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang berdasarkan
nilai adalah: Apakah yang harus diajarkan di sekolah? Ini merupakan pertanyaan
tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang harus diberikan dalam pelaksanaan kurikulum?
Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria penentuan kurikulum dan pelaksanaan
kurikulum.
Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosial-
politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-politik yang menentukan
kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang mewakili
negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosial- politik dalam penentuan
kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam pelaksanaannya
dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan
Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikbud. Pada pendidikan dasar dan menengah,
kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya ada pada pusat, sedangkan pada
perguruan tinggi rektor diberi kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan-
kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.
![Page 5: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/5.jpg)
D. Desain dan Rekayasa Kurikulum
Telah diutarakan sebelumnya bahwa ada dua subteori dari teori kuri¬kulum,
yaitu desain kurikulum (curriculum design) dan rekayasa kurikulum (curriculum
engineering).
Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses
belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam
desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dari kurikulum, hubungan antara satu
unsur dengan unsur lainnya, prinsip¬prinsip pengorganisasian, serta hal-hal yang
diperlukan dalam pelaksa¬naannya. Dalam desain kurikulum, ada dua dimensi
penting, yaitu (1) substansi, unsur-unsur serta organisasi dari dokumen tertulis
kurikulum, (2) model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum terutama
organisasi dan proses pengajaran.
Menurut Beauchamp, kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1)
kurikulum merupakan dokumen tertulis, (2) berisi garis-garis besar rumusan tujuan,
berdasarkan garis-garis besar tujuan tersebut desain kurikulum disusun, (3) isi atau
materi ajar, dengan materi tersebut tujuan¬tujuan kurikulum dapat dicapai.
Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum. Pertama,
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana penggunaan kurikulum, serta bagaimana
mengadakan penyemprunaan-penyempurnaan berdasar¬kan masukan dari
pengalaman. Kedua kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun sistem
pelaksanaannya.
Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsi¬kan
kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikuluin
agar kurikulum dayat berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum di sekolah
terdiri atas para pengawas/periilik dan kepala sekolah, sedangkan pada tingkat pusat
adalah Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum BaLitbang Dikbud dan para
Kasubdit/Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat. Dengan menerima pelimpahan
wewenang dari Menteri atau Dirjen, para pejabat pusat tersebut merancang,
mengembangkan, dan mengadakan penyempurnaan kurikulum. Juga mereka memberi
tugas dan tanggung jawab menyusun dan mengembangkan berbagai bentuk pedoman
dan petunjuk pelaksanaan kurikulum. Para pengelola di daerah dan sekolah berperan
melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kurikulum.
Seluruh sistem rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal,
yaitu 1) arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa
![Page 6: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/6.jpg)
kurikulum, (2) keterlibatan orang-orang dalam proses kurikulum, (3) tugas-tugas dan
prosedur perencanaan kurikulum, (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi
kurikulum, dan (5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum.
Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori kurikulum,
Beauchamp (hlm. 82) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori
kurikulum, yaitu:
1. Setiap teori kurikulum harus dimulai dengan perumusan (definisi) tentang
rangkaian kejadian yang dicakupnya.
2. Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai-nilai dan
sumber-sumber pangkal tolaknya.
3. Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik dari desain
kurikulumnya.
4. Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan
kurikulumnya serta interaksi di antara proses tersebut.
5. Setiap teori kurikulum hendaknya menyiapkan diri bagi proses
penyempurnaannya.
E. Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun
binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen
dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses atau
sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan
erat satu sama lain.
1. Tujuan
Telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan
memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran
dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di-dalam kelas, tujuan-tujuan khusus
lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam
mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam
bentuk tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional.
Tujuan demikian akan menggambarkan "what will the student he able to do as
a result of the teaching that he was unable to do before" (Rowntree, 1974: 5).
Mengajar dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan
![Page 7: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/7.jpg)
dapat memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada
perilaku siswa, sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak,
pencapaiannya memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan
perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima
kategori tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal
information, motor skills and attitudes (1974, hlm. 23-24).
Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang
berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan
dari yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan
(1974) membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu:
menerima, merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karak¬terisasi nilai-
nilai. Untuk domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam
jenjang, yaitu: gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati,
kecakapan jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang
berkesinambungan.
Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective),
memberikan beberapa keuntungan:
a. Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan
mengajar-belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark
(1963) siswa yang mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan,
diberikan referensi dan sumber yang memadai, dapat belajar sendiri dalam
waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa.
b. Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan menyusun
bahan ajar.
c. Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media
mengajar.
d. Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan
khusus guru lebih mudah menentukan bentuk tes, lebih mudah
merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria
pencapaiannya.
![Page 8: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/8.jpg)
2. Bahan ajar
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya,
lingkungan orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru
adalah menciptakan lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan
interaksi yang produktif dan memberikan pengalaman belajar yang
dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan demikian dirancang dalam suatu
rencana mengajar, yang mencakup komponen-komponen: tujuan khusus,
sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan sumber belajar, serta
evaluasi hasil mengajar. Karena perumusan tujuan khusus strategi, dan
evaluasi hasil mengajar dibahas secara tersendiri, maka dalam bagian ini yang
akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.
a. Sekuens bahan ajar
Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan
hahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-totpik dan sub-subtopik tertentu.
Hap topik atau subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Topik-topik atau sub-subtopik tersebut
tersusun sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar.
Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:
1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan
waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwa-peristiwa sejarah,
perkembangan historis suatu institusi, penemuan-penemuan ilmiah dan
sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis.
2) Sekuens kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah
sekuens kausal. Siswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang
menjadi sebab atau pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengan
mempelajari sesuatu yang menjadi sebab atau pendahulu para siswa akan
menemukan akibatnya.
3) Sekuens struktural. Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah
mempunyai struktur tetentu. Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi
tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin
mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantulan
![Page 9: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/9.jpg)
dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan pembiasan cahaya tidak mungkin
diajarkan tanpa terlebih dahulu me¬ngajarkan masalah cahaya. Masalah
cahaya, pemantulan-pembiasan, dan alat-alat optik tersusun secara struktural.
4) Sekuens logis dan psikologis. Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan
urutan logis. Rowntree (1974: 77) melihat perbedaan antara sekuens logis
dengan psikologis. Menurut sekuens logis bahan ajar dimulai dari bagian
menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana kepada yang kompleks, tetapi
menurut sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan kepada bagian, dari
yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuens logis bahan ajar
disusun dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada teori,
dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kepada masalah
mengapa.
5) Sekuens spiral, dikembangkan oleh Bruner (1960). Bahan ajar dipusatkan
pada topik atau pokok bahan tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan
diperluas dan diperdalam. Topik atau pokok bahan ajar tersebut adalah sesuatu
yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan
bahan yang lebih kompleks.
6) Rangkaian ke belakang. (backward chaining), dikembangkan oleh Thomas
Gilbert (1962). Dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir
dan mundur ke belakang. Contoh, proses pemecahan masalah yang besifat
ilmiah, meliputi 5 langkah, yaitu: (a) Pembatasan masalah (b) Penyusunan
hipotesis, (c) Pengumpulan data, (d) Pengetesan hipotesis, (e) Interpretasi basil
tes. Dalam mengajarnya mulai dengan langkah (e), kemudian guru menyajikan
data tentang sesuatu masalah dari langkah (a) sampai (d), dan siswa diminta
untuk membuat interpretasi hasilnya (e). Pada kesempatan lain guru
menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan siswa
diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
7) Sekuens berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne
(1965), dengan prosedur sebagai berikut: tujuan-tujuan khusus utama
pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan
urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut
sampai dengan perilaku terakhir. Untuk bidang studi tertentu dan pokok-pokok
bahasan tertentu hierarki juga dapat mengikuti hierarki tipe-tipe belajar dari
![Page 10: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/10.jpg)
Gagne. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun secara hierarkis
mulai dari yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,
motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept
learning, principle learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 1970: 63-
64).
3. Strategi mengajar
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree
(1974: 93-97) membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery
Learning dan Groups - Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-
45) membaginya atas strategi Reception Learning- Discovery Learning dan
Rote Learning- Meaningful Lerning.
a. Reception/Exposition Learning - Discovery Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama, hanya
berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat dari sisi siswa sedangkan
exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reception learning
keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir atau
bentuk jadi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut
untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Dalam
discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam hentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan flienghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan¬kosimpulan. Melalui
kegiatan-kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta
menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
b. Rote learning - Meaningful Learning.
Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa
memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar
dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan
mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970:
52-53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif
yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep,
proposisi, dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya,
![Page 11: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/11.jpg)
yang tersusun membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut
Ausubel and Robinson menekankan bahwa reception-discovery learning dan
rote-meaningful learning dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga
membentuk 4 kombinasi strategi belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-
reception learning, b) rote-reception learning, c) meaningful-discovery
learning, dan d) rote-discovery learning.
c. Group Learning - Individual Learning.
Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar yang bersifat
indi¬vidual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam
bentuk kelas pelaksanaannya agak sukar dan mempunyai beberapa masalah.
Masalah pertama, karena kemampuan dan kecepatan belajar siswa tidak sama,
maka kegiatan discovery hanya akan dilakukan oleh siswa-siswa yang pandai
dan cepat, siswa-siswa yang kurang dan lambat, akan mengikuti saja kegiatan
dan menerima temuan-temuan anak-anak cepat. Di pihak lain anak-anak
lambat akan menderita kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan
menjadi pengganggu kelas. Masalah lain adalah kemungkinan untuk bekerja
sama, dalam kelas besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja sama. Kerja
sama hanya akan dilakukan oleh anak-anak yang aktif, yang lain mungkin
hanya akan menanti atau menonton. Dengan demikian akan terjadi perbedaan
yang semakin jauh antara anak pandai dengan yang kurang.
4. Media mengajar
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang
disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas
menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai
bentuk perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta
berbagai bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika
seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan
komputer.
Rowntree (1974: 104-113) mengelompokkan media mengajar menjadi lima
macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol
tertulis, dan rekaman suara.
![Page 12: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/12.jpg)
a. Interaksi insani. Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua
orang atau lebih. Dalam komunikasi tersebut kehadiran sesuatu pihak secara
sadar atau tidak sadar mempengaruhi perilaku yang lainnya. Terutama
kehadiran guru mempengaruhi perilaku siswa atau siswa-siswanya. Interaksi
insani dapat bcrlangsung melalui komunikasi verbal atau nonverbal.
Komunikasi yang bersifat verbal memegang peranan penting, terutama dalam
perkembangan segi kognitif siswa. Untuk pengembangan segi-segi afektif,
bentuk-bentuk komunikasi nonverbal seperti: perilaku, penampilan fisik,
roman muka, gerak-gerik, sikap, dan lain-lain lebih memegang peranan
penting sebagai contoh-contoh nyata. Intensitas interaksi insani dalam
berbagai metode mengajar tidak selalu sama. Intensitas interaksi insani dalam
metode ceramah lebih rendah dibandingkan dengan metode diskusi,
permainan, simulasi, sosiodrama, dan lain-lain.
b. Realia. Realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orang,
binatang, benda-benda, peristiwa, dan sebagainya yang diamati siswa. Dalam
interaksi insani siswa berkomunikasi dengan orang-orang, sedangkan dalam
realita orang-orang tersebut hanya menjadi objek pengamatan, objek studi
siswa.
c. Pictorial. Media ini menunjukkan penyajian berbagai bentuk variasi gambar
dan diagram nyata ataupun simbol, bergerak atau tidak, dibuat di atas kertas,
film, kaset, disket, dan media lainnya. Media pictorial mempunyai banyak
keuntungan karena hampir semua bentuk, ukuran, kecepatan, benda, makhluk,
dan peristiwa dapat disajikan dalam me¬dia ini. Juga penyajiannya dapat
bervariasi dari bentuk yang paling sederhana seperti sketsa dan bagan sampai
dengan yang cukup sempurna seperti film bergerak yang berwarna dan
bersuara, atau bentuk-bentuk animasi yang disajikan dalam video atau
komputer.
d. Simbol tertulis. Simbol tertulis merupakan media penyajian informasi yang
paling umum, tetapi tetap efektif. Ada beberapa macam bentuk media simbol
tertulis seperti buku teks, buku paket, paket program belajar, modul, dan
majalah-majalah. Penulisan simbol-simbol tertulis biasanya dilengkapi dengan
media pictorial seperti gambar-gambar, bagan, grafik, dan sebagainya.
e. Rekaman suara. Berbagai bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak
dalam bentuk rekaman suara. Rekaman suara dapat disajikan secara tersendiri
![Page 13: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/13.jpg)
atau digabung dengan media pictorial. Penggunaan rekaman suara tanpa
gambar dalam pengajaran bahasa cukup efektif.
5. Evaluasi pengajaran
Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi
mengajar, dan media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi
ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta
menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan
memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan
belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan
untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan
perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan media
mengajar.
a. Evaluasi hasil belajar-mengajar
Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang
telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi
hasil belajar-mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk
mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap
tujuan khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan
dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif.
Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-
tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dari
evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses
pengajaran. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi
formatif digunakan untuk menilai penguasaan siswa setelah selesai
mempelajari satu pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif ini terutama
digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu
mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi
formatif, selain berfungsi menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes
diagnostik. Gronlund (1976: 489) mengemukakan fungsi tes formatif sebagai
berikut: (1) to plan corrective action for overcoming learning deficiences, (2)
![Page 14: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/14.jpg)
to aid in motivating learning, dan (3) to increase retention and transfer or
learning.
Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-
tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang
cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan.
Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas daripada evaluasi
formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif
dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, kelulusan
ujian) serta menilai efektivitas program secara menyeluruh. Ini sesuai dengan
pendapat Grondlund (1976: 499) bahwa evaluasi sumatif berguna bagi: (1)
assigning grades, (2) reporting learning progress to parents, pupils, and school
personnel, and (3) improving learning and instruction.
Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah
ditentukan atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam norma yang
digunakan, yaitu norm referenced dan criterion referenced (Chauhan, 1979:
170- 177, Gronlund, 1976: 18-19, Thorndike, 1976: 654). Dalam cirterion
referenced penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes hasil belajar
dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari tujuan
atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam cirterion referenced ada
suatu kriteria standar. Dalam norm referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai
standar, penguasaan siswa dibandingkan dengan tingkat penguasaan kawan-
kawannya satu kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah
norma kelompok, yang lebih bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa
kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional. Dalam implementasi
kurikulum atau pelaksanaan pengajaran, cri-terion referenced digunakan pada
evaluasi formatif, sedangkan norm referenced digunakan pada evaluasi
sumatif.
b. Evaluasi pelaksanaan mengajar
Komponen yang dievaluasi dalam pengajaran bukan hanya hasil belajar-
mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi
komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran (yang menyangkut sekuens
bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta komponen evaluasi mengajar
sendiri.
![Page 15: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/15.jpg)
Stufflebeam dan kawan-kawan (1977: 243) mengutip Model Evaluasi dari
EPIC, bahwa dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi
meliputi: komponen tingkah laku yang mencakup aspek-aspek
(subkomponen): kognitif, afektif dan psikomotor; komponen mengajar
mencakup subkomponen: isi, metode, organisasi, fasilitas dan biaya; dan
komponen populasi, yang mencakup: siswa, guru, administrator, spesialis
pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengevaluasi komponen-
komponen dan proses pelaksanaan mengajar bukan hanya digunakan tes tetapi
juga digunakan bentuk-bentuk nontes, seperti observasi, studi dokumenter,
analisis hasil pekerjaan, angket dan checklist. Evaluasi dapat dilakukan oleh
guru atau oleh pihak-pihak lain yang berwenang atau diberi tugas, seperti
Kepala Sekolah dan Pengawas, tim evaluasi Kanwil atau Pusat. Sesuai dengan
prinsip sistem, evaluasi dan umpan balik diadakan secara terus menerus,
walupun tidak semua komponen mendapat evaluasi yang sama kedalaman dan
keluasannya. Karena sifatnya menyeluruh dan terus menerus tersebut maka
evaluasi pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai suatu
monitoring.
6. Penyempurnaan pengajaran
Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan
mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan-
penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa yang disempurnakan, dan
bagimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan' Sesuai dengan komponen-
komponen yang dievaluasi, pada dasarnya semua komponen mengajar
mempunyai kemungkinan untuk disempurna kan. Suatu komponen
mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih
banyak, dilihat dari peranannya dan tingkat kelemahannya (Rowntree, 1974:
150-151). Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara langsung begitu
didapatkan sesuatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka
waktu tertentu bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan
penyempurnaan. Penyempurnaan mungkin dilaksanakan sendiri oleh guru,
tetapi dalam hal-hal tertentu mungkin dibutuhkan bantuan atau saran-saran
orang lain baik sesama personalia sekolah atau ahli pendidikan dari luar
sekolah. Penyempurnaan juga mungkin bersifat menyeluruh atau hanya
![Page 16: BAB II](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022072001/563db818550346aa9a908549/html5/thumbnails/16.jpg)
menyangkut bagian-bagian tertentu. Semua hal tersebut bergantung pada
kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi.