bab ii

32
BAB II LANDASAN TEORI II.1 Tinjauan Pustaka II.1 Tuberkulosis Paru II.2.1 Definisi Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Nurul, et al., 2012). Definisi lain dari Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia, yang sering dihubungkan dengan tempat tinggal daerah urban dan lingkungan yang padat (Amin & Bahar, 2009). II.2.2 Etiologi Sejenis kuman bentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi oksigen. Tekanan oksigen paru bagian apical lebih tinggi disbanding bagian lainnya. Sehingga bagian ini menjadikan predileksi penyakit ini. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut 7

Upload: mutia-rachmi

Post on 28-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skripsi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Tinjauan Pustaka

II.1 Tuberkulosis Paru

II.2.1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis (Nurul, et al., 2012). Definisi lain dari

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat

lama dikenal pada manusia, yang sering dihubungkan dengan tempat tinggal

daerah urban dan lingkungan yang padat (Amin & Bahar, 2009).

II.2.2 Etiologi

Sejenis kuman bentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal

0,3-0,6/um. Bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih

menyukai jaringan yang tinggi oksigen. Tekanan oksigen paru bagian apical

lebih tinggi disbanding bagian lainnya. Sehingga bagian ini menjadikan

predileksi penyakit ini. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak

(lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman

lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam

(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman ini

dapat hidup pada udara kering maupun dalam udara dingin (dapat tahan

bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini dapat terjadi karena kuman berada

dalam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali

dan menjadikan penyakit tuberculosis aktif kembali (Amin & Bahar, 2009).

II.2.3 Faktor resiko

Ada beberapa faktor resiko akan terjadinya TB yaitu kemiskinan pada

berbagai kelompok masyarakat seperti pada Negara yang sedang berkembang.

Kegagalan pengobatan TB hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya

komitmen politik, tidak memadainya pelayanan TB, tidak memadainya

7

Page 2: BAB II

tatalaksana kasus, salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG dan

infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis

ekonomi atau pergolakan masyarakat, dan faktor resiko terakhir adalah

perubahan demografik karena meningkatnya penduduk juga dampak akibat

pandemik HIV (Manalu, 2010).

Selain itu faktor yang mempengaruhi adalah :

1. Umur

Infeksi TB aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden

tertinggi TB biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan

75% penderita TB paru adalah usia produktif yaitu 15-50 tahun.

2. Jenis kelamin

Menurut jurnal, penderita TB lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan

wanita, karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pengetahuan,

diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan, pencegahan

dan pengobatan TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

4. Pekerjaan

Beberapa fakta TB pada pekerja menunjukkan bahwa penyakit ini

mempunyai dampak morbidity, mortality, sosial dan ekonomi. Menyerang

usia produktif dan berekonomi rendah, peluang dalam pendidikan atau

pekerjaan berkurang, kinerja dan produktivitas turun, serta pilihan kerja yang

terbatas.

5. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok mempunyai faktor resiko 2,2 kali lebih besar pada

kejadian TB paru. Kemungkinan mekanisme pengaruh merokok terhadap

terjadinya TB paru adalah sebagai berikut :

a. Merusak mekanisme pertahanan paru

8

Page 3: BAB II

b. Merusak mekanisme muccociliary clearance dari pathogen

potensial di paru

c. Pajanan akut asap rokok meningkatkan airway resistance dan

permeabilitas epitel pulmoner

d. Merusak magrofag

e. Menurunkan respon terhadap antigen

6. Tempat lingkungan (kondisi fisik dan sanitasi)

Beberapa jurnal mengatakan , bahwa penyakit pernapasan seperti TB

paru dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan salah satunya seperti yang

sudah dijelaskan adalah kondisi fisik rumah, juga sanitasi lingkungannya.

II.2.4 Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada saat batuk

atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara

pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet

tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TBC masuk ke

dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar

dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui system peredaran darah, sistem

saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh

lainnya (Putra, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dan lamanya seseorang menghirup udara tersebut.

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin tinngi daya

penularannya, bila hasil pemeriksaan dahak negative maka tidak akan menular

(Harahap, 2013).

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah

perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan

berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. (Amin & Bahar, 2009).

9

Page 4: BAB II

II.2.5 Klasifikasi

Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli

radiologis, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang

keseragaman klasifikasi tuberkulosis (Amin & Bahar, 2009). Dari sistem lama

diketahui beberapa klasifikasi tersebut :

1. Pembagian secara patologis

a) Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

b) Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)

2. Pembagian secara aktivitas radiologis (Koch Pulmonum)

a) Tuberkulosis aktif

b) Tuberkulosis non aktif

c) Tuberkulosis quiescent (bentuk aktif yang mulai sembuh)

3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)

a) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non-

kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak

melebihi satu lobus paru.

b) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter

tidak lebih dari 4cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak

melebihi satu bagian paru. Bila bayangan kasar tidak lebih dari

sepertiga bagian paru.

c) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

4. American Thoracic Society pada tahun 1974 memberikan klasifikasi baru

yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.

a) Kategori 0 : tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak

negatif, tes tuberculin negative.

b) Kategori I : terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi.

Disini riwayat kontak, tes tuberkulin negative.

c) Kategori II: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes

tuberkulin positif, radiologis dan sputum negatif.

10

Page 5: BAB II

d) Kategori III : terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

Di Indonesia banyak digunakan klasifikasi berdasarkan kelainan

klinis, radiologis, dan mikrobiologis :

1. Tuberkulosis paru

2. Bekas tuberkulosis paru

3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :

a) Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif,

tetapi tanda-tanda lain positif.

b) Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA

negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Dalam 2-3 bulan, Tb tersangka ini sudah harus dipastikan apakah

termasuk TB paru (aktif) atau bekas paru. Dalam klasifikasi ini

perlu dicantumkan :

1. Status bakteriologi

2. Mikroskopik sputum BTA (langsung)

3. Biakan sputum BTA

4. Status radiologis, kelainan yang relavan untuk

tuberkulosis paru.

5. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti

tuberkulosis.

5. WHO berdasarkan terapi membagi TB dalam kategori yaitu :

a) Kategori I : kasus baru dengan sputum positif, kasus baru dengan

bentuk TB berat.

b) Kategori II: kasus kambuh, kasus gagal dengan sputum BTA

positif.

c) Kategori III : kasus BTA negative dengan kelainan paru

yang tidak luas, kasus TB ekstra paru selain yang disebut dari

kategori I.

d) Kategori IV : TB kronik

11

Page 6: BAB II

Menurut buku Penyakit & Cara pencegahan TBC yang ditulis oleh

dr.Yoannes Y. Laban, 2008, TB Paru yang menyerang paru dibedakan

menjadi dua macam, sebagai berikut :

1. TBC paru BTA positif (sangat menular)

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak,

memberikan hasil yang positif.

b. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan

foto rontgen menunjukkan TBC aktif.

2. TBC paru BTA negative

Pemeriksaan dahak positif negative/foto rontgen dada

menunjukkan TBC aktif. Positif negative yang dimaksud adalah

“hasil yang meragukan”, jumlah kuman belum memenuhi syarat

positif.

Menurut buku Ilmu Penyakit Dalam FKUI yang ditulis oleh Amin & Bahar,

keluhan terbanyak adalah :

1. Demam

Demam biasanya subfebril menyerupai influenza, namun kadang

dapat mencapai 40ºC. demam hilang timbul. Keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman

TB yang masuk.

2. Batuk/batuk darah

Gejala ini banyak ditemukan akibat iritasi pada bronkus. Batuk ini

diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena

terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkinsaja

batuk muncul ketika penyakit berkembang dalam jaringan paru, yakni

setelah berminggu-minggu atau bulan. Awalnya batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut batuk

berdarah akibat ada pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk

12

Page 7: BAB II

darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi

pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan (awal berkembang) belum dirasakan

napas sesak, akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan. Timbul bila infiltrasi radang

sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi

gesekan kedua pleura saat pasien menarik/melepaskan napas.

5. Malaise

Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun. Gejala ini

sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan

makin kurus/berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,

keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih

dalam dan lebih luas keluhan atau gejala utama pasien. Keluhan atau

gejala utama berupa (Widyastuti, et al., 2012) adalah batuk terus

menerus dan berdahak selama 3 ( tiga) minggu atau lebih. Gejala

tambahan yang sering dijumpai :

1. Dahak bercampur darah.

2. Batuk darah.

3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada.

4. Badan lemah

5. Nafsu makan menurun

6. Berat badan turun

7. Rasa kurang enak badan (malaise)

8. Demam meriang lebih dari sebulan.

II.2.6 Pemeriksaan Fisis

13

Page 8: BAB II

Pemeriksaan fisik yang ditemukan terhadap keadaan umum adalah

konjungtiva mata atau kulit yang pucat akibat anemia, suhu demam

(subfebris), badan kurus atau berat badan turun.

Pada pemeriksaan tidak ditemukan kelainan terutama pada kasus baru

atau yang sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian bila sarang

penyakit terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan karena

hantaran/getaran udara yang lebih dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara

palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis TB paru sulit dibedakan

dengan pneumonia biasa.

Tempat lesi pada TB paru yang paling sering adalah di bagian apeks

(puncak), bila dicurigai terdapat infiltrate yang agak luas maka didapatkan

perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan

juga suara napas tambahan ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat

ini diikuti oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah.

Bila terdapat kavitas yang besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau

timpani dan auskultasi memberikan suara yang amforik.

Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering

ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit

menjadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang

sehat manjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas, yaitu lebih

dari setengah bagian paru akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan

selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)

diikuti terjadinya cor pulmonal dan gagal jantung bagian kanan. Akan

didapatkan tanda-tanda seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular

lift, right atrial gallop, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang

meningkat, hepatomegali, asites dan edema.

Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru

yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan

suara pekak. Auskultasi terdengar suara napas yang lemah sampai tidak

terdengar sama sekali.

14

Page 9: BAB II

Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit

baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada

pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Amin & Bahar, 2009).

II.2.7 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis dada yang paling praktis untuk menemukan

lesi tuberkulosis. Pemeriksaan radilogis memang lebih mahal dibandingkan

pemeriksaan sputum, namun memiliki beberapa keuntungan seperti untuk

melihat tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier (gambaran radiologis

bercak-bercak halus merata pada seluruh lapangan paru).

Lesi biasanya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atau segmen

apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian

inferior), atau daerah hilus menyerupai tumor paru.

Awal penyakit lesi ini masih seperti sarang-sarang pneumonia,

gambaran radiologis bercak-bercak seperti awan dan batas-batas yang tidak

tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas, bayangannya

seperti cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama menjadi sklerotik

dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis, akan terlihat bayangan bergaris-

garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak bercak padat dengan denisitas

tinggi.

Gambaran radiologis lain yang sering ditemukan menyertai

tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian

bawah paru (efusi pleura/emfiema), bayangan hitam radiolusen dipinggir

paru atau pleura pneumothoraks) (Amin & Bahar, 2009).

II.2.8 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini kurang dapat perhatian, karena

hasilnya kadang meragukan, tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada

tuberkulosis yang baru aktif didapatkan peningkatan leukosit yang sedikit

meninggi dan hitung jenis pergeseran ke kiri, jumlah limfosit dibawah normal

dan laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumalah

leukosit kembali normal, limfosit masih tetap tinggi dan laju endap darah

15

Page 10: BAB II

kembali normal. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan anemia ringan

dengan gambaran normokrom normositer dan gamma globulin meningkat

juga kadar natrium menurun (amin & Bahar, 2009).

II.2.9 Sputum

Pemeriksaan sputum penting karena dapat ditemukannya bakteri

BTA , diagnosis sudah bisa dipastikan. Selain itu pemeriksaan sputum juga

dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.

Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjaan dilapangan

(puskesmas). Tetapi tidak mudah mendapatkan sputum, terutama pasien tidak

batuk atau batuk yang tidak produktif. Maka dari itu pasien sebelum

melakukan pemeriksaan sputum disarankan meminum air sebanyak + 2 liter

dan diajarkan refleks batuk. Dapat uga memberikan obat tambahan seperti

mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama

20-30 menit. BTA dari sputum bisa juga diambil dari bilas lambung, hali ini

sering dikerjakan pada anak-anak karena anak-anak sulit mengeluarkan

dahaknya.

Kriteria sputum + adalah bila sekurangnya ditemukan 3 batang kuman

pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL

sputum.

II.2.10 Tes Tuberkulin

Tes tuberkulin untuk diagnosis imunologik terhadap infeksi M.

tuberculosis mempunyai banyak keterbatasan. Tes ini digunakan dengan cara

mengukur respons hipersensitivitas tipe lambat (48-72 jam) setelah suntikan

intradermal.

II.2.11 Diagnosis

1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan laboratorium ( darah, dahak, cairan otak )

4. Pemeriksaan patologi anatomi

5. Pemeriksaan radiologis ( foto thoraks)

16

Page 11: BAB II

6. Uji tuberkulin

II.2.12 Penatalaksanaan

1.1.12.1 Tujuan

Bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi bakteri terhadap obat.

1.1.12.2 Prinsip

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip berikut :

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dalam bentuk kombinasi

beberapa obat, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai

dengan kategori pengobatan.

i. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (Directly Observed Treathment atau

DOT) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).

1. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap

intensif dan tahap lanjutan :

a. Tahap awal (intensif)

i. Pasien mendapat obat setiap hari dan

perklu diawasi secara langsung untuk

mencegah terjadinya resistensi obat.

ii. Bila pengobatan diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak

menular dalam kurun waktu 2 minggu.

iii. Sebagian besar pasien TB BTA positif

menjadi negative (konversi) dalam 2

bulan.

b. Tahap lanjutan

i. Pasien mendapatkan jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang

lebih lama (biasanya 4 bulan).

17

Page 12: BAB II

ii. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.

1.1.12.3 Paduan

Paduan OAT digunakan oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis

di Indonesia :

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3. Dengan indikasi pasien TB paru

BTA positif,pasien TB baru BTA negative namun foto thoraks

positif dan pasien TB ekstra paru.

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/ (HRZE) atau 5(HR)3E3. Dengan indikasi

untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya (pasien

kambuh, pasien gagal dan pasien dengan pengobatan setelah putus

obat).

3) Disediakan paduan obat sisipan : (HRZE)

4) Kategori anak : 2HRZ/4HR

II.2.13 Program Penanggulangan TB Paru

Menurut data yang tedaapat pada Startegi Nasional Program

pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, inisiasi pengendalian TB di

Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pra-kemerdekaan. Terdapat 4 tonggak

penting yang memadai perkembangan implementasi dan pencapaian program

pengendalian.

Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam

menurunkan angka kesakitan dan kematian. Dengan tujuan

penanggulangannya adalah :

1. Jangka Panjang

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB paru

dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi

sebagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

2. Jangka Pendek

18

Page 13: BAB II

Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru

BTA positif yang ditemukan dengan strategi DOTS dan tercapainya cakupan

penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh

pemerintah yaitu sebesar 70% secara bertahap.

II.2.14 Kriteria sembuh

1. BTA negative pada fase intensif dan fase lanjutan

2. Foto thoraks serial stabil

3. Biakan sputum negatif

II.2.15 Komplikasi

Bila tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan komplikasi baik

dini amupun lanjut :

1) Dini : pleuritis, efusi pleura, emfiema, laringitis, TB usus, dan

poncet’s arthrophy.

2) Lanjut : obstruksi jalan napas (sindrom obstruksi pasca tuberkulosis),

kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), cor pulmonal, karsinoma paru

dan sindrom gagal napas dewasa (ARDS).

II.2 Pengetahuan

Merupakan hasil dari ingin tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmodjo, 2012). Pengetahuan

atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (Overt Behaviour).

Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Rogers pada tahun 1974 di

dalam buku Notoadmodjo (2012) mengatakan bahwa, sebelum orang

mengadopsi perilaku baru dalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang

berurutan yakni :

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengethaui terlebuh dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini

sikap sudah mulai timbul.

19

Page 14: BAB II

3. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap bauik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Mubarak, 2005) adalah :

1. Pendidikan

2. Pekerjaan

3. Umur

4. Minat

5. Pengalaman

6. Kebudayaan

7. Informasi

II.3 Sikap

Merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek (Notoadmodjo, 2012). Menurut Newcomb,

salah satu ahli psikologis sosial di buku Promosi Kesehatan dan Perilaku

Kesehatan (2012), mengatakan bahwa “sikap itu merupakan kesiapan atau

kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu”.

Bersikap tidak dapat dilihat langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan

konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam

kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap

stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmodjo, 2012).

Komponen sikap menurut Allport yang terdapat didalam buku

Notoadmodjo (2012) adalah :

20

Page 15: BAB II

1. Kepercayaan (keyakinana), ide, dan konsep terhadap suatu

objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan

sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinandan emosi yang

memegang peranan penting.

II.4 Perilaku

Mengutip penelitian dari salah satu jurnal Universitas Sumatera Utara,

di dalam bukunya Notoadmodjo, 2005 mengungkapkan, menurut Skiner

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Skiner,

perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan

minuman serta lingkungan :

1. Teori Lawrence Green

Menganalisis mengenai perilaku manusia dari tingkat kesehatan.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dapat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok

yaitu perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non-behavior

causes). Selanjutnya perilaku ditentukan atau terbentuk oleh 3 faktor, yaitu :

1) Predisposising factor atau faktor predisposisi, yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

sebagainya.

2) Enabling factor atau faktor pendukung, yang terwujud dalam

lingkungan fisik tersedia atau tidaknya failitas-fasilitas atau sarana

kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, jamban, dan lain-lain

sebagainya.

21

Page 16: BAB II

3) Reforcing factor atau faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2. Teori WHO

Menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu

adalah karena adanya 4 alsan pokok :

1) Pengetahuan, diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.

2) Kepercayaan, seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan

tanpa adanya bukti terlebih dahulu.

3) Sikap, dimana menggambarkan suka atau tidaknya terhadap objek sering

diperoleh dari pengalaman sendiri atau oranglain yang terdekat.

4) Sumber-sumber daya (resource), sumber daya disini mencangkup fasilitas,

tenaga, uang, waktu dan sebagianya.

5) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber

didalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life)

yang disebut denga kebudayaan.

Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku terbuka (overt) dan

perilaku tertutup (covert), tetapi perilaku adalah totalitas yang terjadi pada

orang yang bersangkutan yang merupakan hasil bersama antara faktor internal

dan eksternal. (Benyamin Bloom,1908), membedakan adanya 3 domain

perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2005).

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk kepentingan pendidikan praktis

dikembangkan menjadi 3 domain perilaku yang dapat diamati antara lain:

1) Pengetahuan (knowledge)

2) Sikap (attitude)

3) Tindakan (practice)

22

Page 17: BAB II

II.5 Kondisi Fisik rumah

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal

yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat

penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. (Kepmenkes RI no. 1107 pedoman

penyehatan udara dalam ruang rumah. Kondisi rumah yang baik penting

untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila

memenuhi ke empat syarat hal pokok sebagai berikut :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti pencahayaan, ruang gerak yang

cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

2) Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan

komunikasi yang baik antara penghuni rumah.

3) Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular, yang meliputi

penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,

bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar

matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari

pencemaran.

4) Memenuhi persyaratan pencegahan kecelakaan baik yang berasal dari

dalam maupun luar rumah.

Berdasarkan Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, Volume 1, nomor 1,

tahun 2012 hasil penelitian Erwin, dkk menyimpulkan bahwa kondisi fisik

rumah yang buruk beresiko terkena TB paru sebesar 45,50 kali dibandingkan

kondisi fisik rumah yang baik.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa parameter

fisik rumah yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB paru,

yaitu :

1. Ventilasi

Ventilasi berfungsi untuk manjaga agar udara didalam rumah tetap

segar, membebaskan udara ruangan dari bakter-bakteri terutama bakteri

pathogen. Kurangnya ventilasi dapat menyebabkan kurangnya kadar oksigen

23

Page 18: BAB II

dan bertambahnya kelembapan udara didalam ruangan. Untuk mendapatkan

ventilasi yang baik, maka ada syarat yang harus dipenuhi, yatu :

1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari laus lantai ruangan.

Sedangkan lubang ventilasi insidential (dapat dibuka dan ditutup

minimum 5% dari luas lantai.hingga jumlah keduanya 10% dari

luas lantai ruangan.

2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh

asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-

lain.

2. Pencahayaan

Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat

kelembapan didalam rumah. Pencahayaan yang kurang akan menyebabkan

kelembapan yang tinggi didalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat

berkembangbiaknya kuman TBC. Hendaknya setiap rumah harus mempunyai

pencahayaan yang memenuhi syarat dengan membuka jendela setiap pagi.

Intensitas pencahayaan minimal yang diperlukan adalah 60 lux dan tidak

menyilaukan.

3. Jenis Lantai

Jenis lantai yang baik adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan.

Jenis lantai yang digunakan bermacam-macam mulai dari tanah, papan, semen

sampai dengan keramik. Dari jenis lantai yang disebutkan jenis keramik yang

paling baik karena kedap air dan mudah dibersihkan, sedangan jenis lantai

yang menggunakan tanah yang mempunyai resiko tertinggi kejadian

tuberkulosis karena mudah lembab dan tidak menyerap air juga sulit

dibersihkan, sehingga menjadi tempat yang baik untuk berkembangbiaknya

kuman TB.

4. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian diketaui akan meningkatkan resiko dan tingkat

keparahan penyakit berbasis lingkungan. Terutama di Negara Indonesia yang

masih banyak sekali terdapat penyakit menular, seperti penyakit pernapasan

24

Page 19: BAB II

dan semua penyakit yang menyebar melalui udara, salah satunya penyakit

tuberkulosis. Persyaratan kepadatan hunian untuk pengukuran rumah

sederhana, luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan untuk tidak lebih

dari 2 orang. Dengan ketentuan anak < 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur

1-10 tahun dihitung setengah.

II.2 Kerangka Teori

Berdasarkan teori dan jurnal penelitian yang telah dilakukan, didapatkan

berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, yaitu :

Segitiga Epidemiologi

25

Agent

Mycobacterium tuberculosis

Host

Usia

Jenis Kelamin

Status Gizi

Perilaku (pengetahuan dan sikap)

Ras

Environtment

Kondisi Lingkungan dan fisik Rumah

Status Ekonomi

Iklim dan Geografis

Tuberkulosis Paru

Page 20: BAB II

Gambar 2. 1 Kerangka Teori Segitiga Epidemiologi

II.3 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori dari Hendrik L, Blum dan segitiga Epidemiologi, dapat

diketahui bahwa penyakit tuberkulosis memiliki banyak faktor resiko yang

mempengaruhi yaitu, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan dan

host, agent, environtmen. Status kesehatan akan tercapai secara optimal jika semua

faktor tersebut berjalan secara bersama-sama dalam kondisi yang optimal. Bila salah

satu faktor terganggu maka akan mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru itu

sendiri.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai

berikiut :

Variabel Independent Variabel Dependem

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

26

Host

Pengetahuan

Sikap

Perilaku

Environtment

Kondisi Fisik Rumah

Ventilasi

Pencahayaan

Jenis Lantai

Kepadatan hunian

Tuberkulosis Paru

Page 21: BAB II

Hipotesis penelitian

H0 : Tidak ada hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kondisi

Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di puskesmas Depok.

H1: Ada hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kondisi Fisik

Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di puskesmas Depok.

27