bab ii
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Pustaka
II.1 Tuberkulosis Paru
II.2.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis (Nurul, et al., 2012). Definisi lain dari
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal pada manusia, yang sering dihubungkan dengan tempat tinggal
daerah urban dan lingkungan yang padat (Amin & Bahar, 2009).
II.2.2 Etiologi
Sejenis kuman bentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal
0,3-0,6/um. Bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyukai jaringan yang tinggi oksigen. Tekanan oksigen paru bagian apical
lebih tinggi disbanding bagian lainnya. Sehingga bagian ini menjadikan
predileksi penyakit ini. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak
(lipid), peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam
(BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman ini
dapat hidup pada udara kering maupun dalam udara dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini dapat terjadi karena kuman berada
dalam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali
dan menjadikan penyakit tuberculosis aktif kembali (Amin & Bahar, 2009).
II.2.3 Faktor resiko
Ada beberapa faktor resiko akan terjadinya TB yaitu kemiskinan pada
berbagai kelompok masyarakat seperti pada Negara yang sedang berkembang.
Kegagalan pengobatan TB hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya
komitmen politik, tidak memadainya pelayanan TB, tidak memadainya
7
tatalaksana kasus, salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG dan
infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat, dan faktor resiko terakhir adalah
perubahan demografik karena meningkatnya penduduk juga dampak akibat
pandemik HIV (Manalu, 2010).
Selain itu faktor yang mempengaruhi adalah :
1. Umur
Infeksi TB aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden
tertinggi TB biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TB paru adalah usia produktif yaitu 15-50 tahun.
2. Jenis kelamin
Menurut jurnal, penderita TB lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan
wanita, karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pengetahuan,
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan, pencegahan
dan pengobatan TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
4. Pekerjaan
Beberapa fakta TB pada pekerja menunjukkan bahwa penyakit ini
mempunyai dampak morbidity, mortality, sosial dan ekonomi. Menyerang
usia produktif dan berekonomi rendah, peluang dalam pendidikan atau
pekerjaan berkurang, kinerja dan produktivitas turun, serta pilihan kerja yang
terbatas.
5. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok mempunyai faktor resiko 2,2 kali lebih besar pada
kejadian TB paru. Kemungkinan mekanisme pengaruh merokok terhadap
terjadinya TB paru adalah sebagai berikut :
a. Merusak mekanisme pertahanan paru
8
b. Merusak mekanisme muccociliary clearance dari pathogen
potensial di paru
c. Pajanan akut asap rokok meningkatkan airway resistance dan
permeabilitas epitel pulmoner
d. Merusak magrofag
e. Menurunkan respon terhadap antigen
6. Tempat lingkungan (kondisi fisik dan sanitasi)
Beberapa jurnal mengatakan , bahwa penyakit pernapasan seperti TB
paru dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan salah satunya seperti yang
sudah dijelaskan adalah kondisi fisik rumah, juga sanitasi lingkungannya.
II.2.4 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada saat batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TBC masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui system peredaran darah, sistem
saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya (Putra, 2011).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dan lamanya seseorang menghirup udara tersebut.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin tinngi daya
penularannya, bila hasil pemeriksaan dahak negative maka tidak akan menular
(Harahap, 2013).
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. (Amin & Bahar, 2009).
9
II.2.5 Klasifikasi
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli
radiologis, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang
keseragaman klasifikasi tuberkulosis (Amin & Bahar, 2009). Dari sistem lama
diketahui beberapa klasifikasi tersebut :
1. Pembagian secara patologis
a) Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)
b) Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis (Koch Pulmonum)
a) Tuberkulosis aktif
b) Tuberkulosis non aktif
c) Tuberkulosis quiescent (bentuk aktif yang mulai sembuh)
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non-
kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak
melebihi satu lobus paru.
b) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak
melebihi satu bagian paru. Bila bayangan kasar tidak lebih dari
sepertiga bagian paru.
c) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang
melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
4. American Thoracic Society pada tahun 1974 memberikan klasifikasi baru
yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
a) Kategori 0 : tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak
negatif, tes tuberculin negative.
b) Kategori I : terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi.
Disini riwayat kontak, tes tuberkulin negative.
c) Kategori II: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes
tuberkulin positif, radiologis dan sputum negatif.
10
d) Kategori III : terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Di Indonesia banyak digunakan klasifikasi berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
a) Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif,
tetapi tanda-tanda lain positif.
b) Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, Tb tersangka ini sudah harus dipastikan apakah
termasuk TB paru (aktif) atau bekas paru. Dalam klasifikasi ini
perlu dicantumkan :
1. Status bakteriologi
2. Mikroskopik sputum BTA (langsung)
3. Biakan sputum BTA
4. Status radiologis, kelainan yang relavan untuk
tuberkulosis paru.
5. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis.
5. WHO berdasarkan terapi membagi TB dalam kategori yaitu :
a) Kategori I : kasus baru dengan sputum positif, kasus baru dengan
bentuk TB berat.
b) Kategori II: kasus kambuh, kasus gagal dengan sputum BTA
positif.
c) Kategori III : kasus BTA negative dengan kelainan paru
yang tidak luas, kasus TB ekstra paru selain yang disebut dari
kategori I.
d) Kategori IV : TB kronik
11
Menurut buku Penyakit & Cara pencegahan TBC yang ditulis oleh
dr.Yoannes Y. Laban, 2008, TB Paru yang menyerang paru dibedakan
menjadi dua macam, sebagai berikut :
1. TBC paru BTA positif (sangat menular)
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak,
memberikan hasil yang positif.
b. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan
foto rontgen menunjukkan TBC aktif.
2. TBC paru BTA negative
Pemeriksaan dahak positif negative/foto rontgen dada
menunjukkan TBC aktif. Positif negative yang dimaksud adalah
“hasil yang meragukan”, jumlah kuman belum memenuhi syarat
positif.
Menurut buku Ilmu Penyakit Dalam FKUI yang ditulis oleh Amin & Bahar,
keluhan terbanyak adalah :
1. Demam
Demam biasanya subfebril menyerupai influenza, namun kadang
dapat mencapai 40ºC. demam hilang timbul. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman
TB yang masuk.
2. Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan akibat iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkinsaja
batuk muncul ketika penyakit berkembang dalam jaringan paru, yakni
setelah berminggu-minggu atau bulan. Awalnya batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut batuk
berdarah akibat ada pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
12
darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (awal berkembang) belum dirasakan
napas sesak, akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura saat pasien menarik/melepaskan napas.
5. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun. Gejala ini
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus/berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih
dalam dan lebih luas keluhan atau gejala utama pasien. Keluhan atau
gejala utama berupa (Widyastuti, et al., 2012) adalah batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 ( tiga) minggu atau lebih. Gejala
tambahan yang sering dijumpai :
1. Dahak bercampur darah.
2. Batuk darah.
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada.
4. Badan lemah
5. Nafsu makan menurun
6. Berat badan turun
7. Rasa kurang enak badan (malaise)
8. Demam meriang lebih dari sebulan.
II.2.6 Pemeriksaan Fisis
13
Pemeriksaan fisik yang ditemukan terhadap keadaan umum adalah
konjungtiva mata atau kulit yang pucat akibat anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan turun.
Pada pemeriksaan tidak ditemukan kelainan terutama pada kasus baru
atau yang sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian bila sarang
penyakit terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan karena
hantaran/getaran udara yang lebih dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara
palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis TB paru sulit dibedakan
dengan pneumonia biasa.
Tempat lesi pada TB paru yang paling sering adalah di bagian apeks
(puncak), bila dicurigai terdapat infiltrate yang agak luas maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan
juga suara napas tambahan ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat
ini diikuti oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah.
Bila terdapat kavitas yang besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara yang amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
menjadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang
sehat manjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas, yaitu lebih
dari setengah bagian paru akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan
selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)
diikuti terjadinya cor pulmonal dan gagal jantung bagian kanan. Akan
didapatkan tanda-tanda seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular
lift, right atrial gallop, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang
meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan
suara pekak. Auskultasi terdengar suara napas yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali.
14
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Amin & Bahar, 2009).
II.2.7 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada yang paling praktis untuk menemukan
lesi tuberkulosis. Pemeriksaan radilogis memang lebih mahal dibandingkan
pemeriksaan sputum, namun memiliki beberapa keuntungan seperti untuk
melihat tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier (gambaran radiologis
bercak-bercak halus merata pada seluruh lapangan paru).
Lesi biasanya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atau segmen
apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior), atau daerah hilus menyerupai tumor paru.
Awal penyakit lesi ini masih seperti sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis bercak-bercak seperti awan dan batas-batas yang tidak
tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas, bayangannya
seperti cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama menjadi sklerotik
dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis, akan terlihat bayangan bergaris-
garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak bercak padat dengan denisitas
tinggi.
Gambaran radiologis lain yang sering ditemukan menyertai
tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian
bawah paru (efusi pleura/emfiema), bayangan hitam radiolusen dipinggir
paru atau pleura pneumothoraks) (Amin & Bahar, 2009).
II.2.8 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini kurang dapat perhatian, karena
hasilnya kadang meragukan, tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada
tuberkulosis yang baru aktif didapatkan peningkatan leukosit yang sedikit
meninggi dan hitung jenis pergeseran ke kiri, jumlah limfosit dibawah normal
dan laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh jumalah
leukosit kembali normal, limfosit masih tetap tinggi dan laju endap darah
15
kembali normal. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan anemia ringan
dengan gambaran normokrom normositer dan gamma globulin meningkat
juga kadar natrium menurun (amin & Bahar, 2009).
II.2.9 Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dapat ditemukannya bakteri
BTA , diagnosis sudah bisa dipastikan. Selain itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjaan dilapangan
(puskesmas). Tetapi tidak mudah mendapatkan sputum, terutama pasien tidak
batuk atau batuk yang tidak produktif. Maka dari itu pasien sebelum
melakukan pemeriksaan sputum disarankan meminum air sebanyak + 2 liter
dan diajarkan refleks batuk. Dapat uga memberikan obat tambahan seperti
mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama
20-30 menit. BTA dari sputum bisa juga diambil dari bilas lambung, hali ini
sering dikerjakan pada anak-anak karena anak-anak sulit mengeluarkan
dahaknya.
Kriteria sputum + adalah bila sekurangnya ditemukan 3 batang kuman
pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL
sputum.
II.2.10 Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin untuk diagnosis imunologik terhadap infeksi M.
tuberculosis mempunyai banyak keterbatasan. Tes ini digunakan dengan cara
mengukur respons hipersensitivitas tipe lambat (48-72 jam) setelah suntikan
intradermal.
II.2.11 Diagnosis
1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium ( darah, dahak, cairan otak )
4. Pemeriksaan patologi anatomi
5. Pemeriksaan radiologis ( foto thoraks)
16
6. Uji tuberkulin
II.2.12 Penatalaksanaan
1.1.12.1 Tujuan
Bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi bakteri terhadap obat.
1.1.12.2 Prinsip
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip berikut :
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dalam bentuk kombinasi
beberapa obat, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai
dengan kategori pengobatan.
i. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (Directly Observed Treathment atau
DOT) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).
1. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap
intensif dan tahap lanjutan :
a. Tahap awal (intensif)
i. Pasien mendapat obat setiap hari dan
perklu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat.
ii. Bila pengobatan diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
iii. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi negative (konversi) dalam 2
bulan.
b. Tahap lanjutan
i. Pasien mendapatkan jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama (biasanya 4 bulan).
17
ii. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
1.1.12.3 Paduan
Paduan OAT digunakan oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3. Dengan indikasi pasien TB paru
BTA positif,pasien TB baru BTA negative namun foto thoraks
positif dan pasien TB ekstra paru.
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/ (HRZE) atau 5(HR)3E3. Dengan indikasi
untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya (pasien
kambuh, pasien gagal dan pasien dengan pengobatan setelah putus
obat).
3) Disediakan paduan obat sisipan : (HRZE)
4) Kategori anak : 2HRZ/4HR
II.2.13 Program Penanggulangan TB Paru
Menurut data yang tedaapat pada Startegi Nasional Program
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, inisiasi pengendalian TB di
Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pra-kemerdekaan. Terdapat 4 tonggak
penting yang memadai perkembangan implementasi dan pencapaian program
pengendalian.
Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam
menurunkan angka kesakitan dan kematian. Dengan tujuan
penanggulangannya adalah :
1. Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB paru
dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi
sebagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
2. Jangka Pendek
18
Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru
BTA positif yang ditemukan dengan strategi DOTS dan tercapainya cakupan
penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh
pemerintah yaitu sebesar 70% secara bertahap.
II.2.14 Kriteria sembuh
1. BTA negative pada fase intensif dan fase lanjutan
2. Foto thoraks serial stabil
3. Biakan sputum negatif
II.2.15 Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan komplikasi baik
dini amupun lanjut :
1) Dini : pleuritis, efusi pleura, emfiema, laringitis, TB usus, dan
poncet’s arthrophy.
2) Lanjut : obstruksi jalan napas (sindrom obstruksi pasca tuberkulosis),
kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), cor pulmonal, karsinoma paru
dan sindrom gagal napas dewasa (ARDS).
II.2 Pengetahuan
Merupakan hasil dari ingin tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmodjo, 2012). Pengetahuan
atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Overt Behaviour).
Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Rogers pada tahun 1974 di
dalam buku Notoadmodjo (2012) mengatakan bahwa, sebelum orang
mengadopsi perilaku baru dalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang
berurutan yakni :
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengethaui terlebuh dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap sudah mulai timbul.
19
3. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap bauik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Mubarak, 2005) adalah :
1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Umur
4. Minat
5. Pengalaman
6. Kebudayaan
7. Informasi
II.3 Sikap
Merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoadmodjo, 2012). Menurut Newcomb,
salah satu ahli psikologis sosial di buku Promosi Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan (2012), mengatakan bahwa “sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu”.
Bersikap tidak dapat dilihat langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmodjo, 2012).
Komponen sikap menurut Allport yang terdapat didalam buku
Notoadmodjo (2012) adalah :
20
1. Kepercayaan (keyakinana), ide, dan konsep terhadap suatu
objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan
sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinandan emosi yang
memegang peranan penting.
II.4 Perilaku
Mengutip penelitian dari salah satu jurnal Universitas Sumatera Utara,
di dalam bukunya Notoadmodjo, 2005 mengungkapkan, menurut Skiner
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Skiner,
perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan
minuman serta lingkungan :
1. Teori Lawrence Green
Menganalisis mengenai perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dapat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok
yaitu perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non-behavior
causes). Selanjutnya perilaku ditentukan atau terbentuk oleh 3 faktor, yaitu :
1) Predisposising factor atau faktor predisposisi, yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
2) Enabling factor atau faktor pendukung, yang terwujud dalam
lingkungan fisik tersedia atau tidaknya failitas-fasilitas atau sarana
kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, jamban, dan lain-lain
sebagainya.
21
3) Reforcing factor atau faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori WHO
Menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu
adalah karena adanya 4 alsan pokok :
1) Pengetahuan, diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.
2) Kepercayaan, seseorang menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan
tanpa adanya bukti terlebih dahulu.
3) Sikap, dimana menggambarkan suka atau tidaknya terhadap objek sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau oranglain yang terdekat.
4) Sumber-sumber daya (resource), sumber daya disini mencangkup fasilitas,
tenaga, uang, waktu dan sebagianya.
5) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber
didalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life)
yang disebut denga kebudayaan.
Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku terbuka (overt) dan
perilaku tertutup (covert), tetapi perilaku adalah totalitas yang terjadi pada
orang yang bersangkutan yang merupakan hasil bersama antara faktor internal
dan eksternal. (Benyamin Bloom,1908), membedakan adanya 3 domain
perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik (Notoatmodjo, 2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk kepentingan pendidikan praktis
dikembangkan menjadi 3 domain perilaku yang dapat diamati antara lain:
1) Pengetahuan (knowledge)
2) Sikap (attitude)
3) Tindakan (practice)
22
II.5 Kondisi Fisik rumah
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. (Kepmenkes RI no. 1107 pedoman
penyehatan udara dalam ruang rumah. Kondisi rumah yang baik penting
untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila
memenuhi ke empat syarat hal pokok sebagai berikut :
1) Memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti pencahayaan, ruang gerak yang
cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
2) Memenuhi kebutuhan psikologis seperti “privacy” yang cukup dan
komunikasi yang baik antara penghuni rumah.
3) Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular, yang meliputi
penyediaan air bersih, pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,
bebas dari vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar
matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dari
pencemaran.
4) Memenuhi persyaratan pencegahan kecelakaan baik yang berasal dari
dalam maupun luar rumah.
Berdasarkan Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, Volume 1, nomor 1,
tahun 2012 hasil penelitian Erwin, dkk menyimpulkan bahwa kondisi fisik
rumah yang buruk beresiko terkena TB paru sebesar 45,50 kali dibandingkan
kondisi fisik rumah yang baik.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa parameter
fisik rumah yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB paru,
yaitu :
1. Ventilasi
Ventilasi berfungsi untuk manjaga agar udara didalam rumah tetap
segar, membebaskan udara ruangan dari bakter-bakteri terutama bakteri
pathogen. Kurangnya ventilasi dapat menyebabkan kurangnya kadar oksigen
23
dan bertambahnya kelembapan udara didalam ruangan. Untuk mendapatkan
ventilasi yang baik, maka ada syarat yang harus dipenuhi, yatu :
1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari laus lantai ruangan.
Sedangkan lubang ventilasi insidential (dapat dibuka dan ditutup
minimum 5% dari luas lantai.hingga jumlah keduanya 10% dari
luas lantai ruangan.
2) Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh
asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-
lain.
2. Pencahayaan
Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat
kelembapan didalam rumah. Pencahayaan yang kurang akan menyebabkan
kelembapan yang tinggi didalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat
berkembangbiaknya kuman TBC. Hendaknya setiap rumah harus mempunyai
pencahayaan yang memenuhi syarat dengan membuka jendela setiap pagi.
Intensitas pencahayaan minimal yang diperlukan adalah 60 lux dan tidak
menyilaukan.
3. Jenis Lantai
Jenis lantai yang baik adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan.
Jenis lantai yang digunakan bermacam-macam mulai dari tanah, papan, semen
sampai dengan keramik. Dari jenis lantai yang disebutkan jenis keramik yang
paling baik karena kedap air dan mudah dibersihkan, sedangan jenis lantai
yang menggunakan tanah yang mempunyai resiko tertinggi kejadian
tuberkulosis karena mudah lembab dan tidak menyerap air juga sulit
dibersihkan, sehingga menjadi tempat yang baik untuk berkembangbiaknya
kuman TB.
4. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian diketaui akan meningkatkan resiko dan tingkat
keparahan penyakit berbasis lingkungan. Terutama di Negara Indonesia yang
masih banyak sekali terdapat penyakit menular, seperti penyakit pernapasan
24
dan semua penyakit yang menyebar melalui udara, salah satunya penyakit
tuberkulosis. Persyaratan kepadatan hunian untuk pengukuran rumah
sederhana, luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan untuk tidak lebih
dari 2 orang. Dengan ketentuan anak < 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur
1-10 tahun dihitung setengah.
II.2 Kerangka Teori
Berdasarkan teori dan jurnal penelitian yang telah dilakukan, didapatkan
berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, yaitu :
Segitiga Epidemiologi
25
Agent
Mycobacterium tuberculosis
Host
Usia
Jenis Kelamin
Status Gizi
Perilaku (pengetahuan dan sikap)
Ras
Environtment
Kondisi Lingkungan dan fisik Rumah
Status Ekonomi
Iklim dan Geografis
Tuberkulosis Paru
Gambar 2. 1 Kerangka Teori Segitiga Epidemiologi
II.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan teori dari Hendrik L, Blum dan segitiga Epidemiologi, dapat
diketahui bahwa penyakit tuberkulosis memiliki banyak faktor resiko yang
mempengaruhi yaitu, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan dan
host, agent, environtmen. Status kesehatan akan tercapai secara optimal jika semua
faktor tersebut berjalan secara bersama-sama dalam kondisi yang optimal. Bila salah
satu faktor terganggu maka akan mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru itu
sendiri.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini sebagai
berikiut :
Variabel Independent Variabel Dependem
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
26
Host
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
Environtment
Kondisi Fisik Rumah
Ventilasi
Pencahayaan
Jenis Lantai
Kepadatan hunian
Tuberkulosis Paru
Hipotesis penelitian
H0 : Tidak ada hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kondisi
Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di puskesmas Depok.
H1: Ada hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kondisi Fisik
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di puskesmas Depok.
27