bab ii gambaran umum dan lokasi peneltian 2.1 keadaan ... ii.pdf · gede 114 310 397 707 7. geria...
TRANSCRIPT
BAB II
GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELTIAN 2.1 Keadaan Geografis
Sebagai mana yang akan dikaji dalam penelitian ini mengambil dua lokasi
Desa yakni Desa Budakeling sebagai pusat Brahmana Buddha dan Desa Batuan
sebagai sebaran dari Brahmana Buddha Budakeling. Berikut yang pertama akan di
bahas mengenai keadaan geografis di Desa Budakeling. Desa Budakeling merupakan
salah satu desa dari lima (5) buah desa yang terletak di kecamatan Bebandem,
kabupaten Daerah tingkat II Karangasem, Propinsi Daerah tingkat I Bali. Luas
wilayah desa Budakeling + 215,280 Ha, dan Jarak tempuh dari desa Budakeling
menuju pusat kota kabupaten Karangasem + 7 km (Sumber: Data Monografi Desa
Budakeling, 2013 : 3). Adapun batas wilayah Desa Budakeling adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Bukit Puncak Sari (Bukit Pinggan)
sebelah Timur : Desa Ababi (kecamatan Abang)
sebelah Selatan : Desa Padang Kerta (Kecamatan Karangasem)
Sebelah Barat : Desa Bebandem (Kecamatan Bebandem)
33
34
Sedangkan Desa Batuan terletak di kecamatan Sukawati, kabupaten Gianyar,
dengan dataran rendah dengan luas wilayah + 392 Ha. Jarak tempuh dari desa Batuan
menuju pusat kota kabupaten Gianyar + 16 km (Sumber: Data Monografi Desa
Batuan, 2013: 4). Adapun batas wilayah desa Batuan adalah sebagai berikut.
Sebelah Utara : Desa Batuan Kaler
Sebelah Selatan : Desa Sukawati
Sebelah Barat : Desa Singapadu Tengah
Sebelah Timur : Desa Petanu
Bila ditinjau berdasarkan keadaan topografi daerah Bali, desa Budakeling
merupakan dataran tinggi dengan jenis tanahnya berupa perbukitan berbatu dan
berpasir yang merupakan bekas muntahan lahar Gunung Agung. Dengan demikian
sebagian besar wilayah desa Budakeling merupakan daerah perladangan/perkebunan
serta hutan yang umumnya merupakan hutan gundul, sedangkan daerah dataran
rendah yang memiliki tekstur tanah lebih gembur dan merupakan daerah persawahan.
Sedangkan, daerah di desa Batuan merupakan dataran rendah dengan wilayah yang
sempit karena faktor pembangunan dan perkembangan ekonomi yang maju dengan
aspek pariwisatanya. Disamping keadaan wilayah yang sempit, desa Batuan juga
diapit oleh dua buah sungai yang mengalir sepanjang tahun, dengan demikian maka
kebutuhan pertanian dan kebutuhan hidup masyarakat desa Batuan terpenuhi.
35
Seperti juga daerah-daerah lainya yang terdapat di Bali, di kenal dengan
adanya dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, maka di desa Budakeling
dan desa Batuan mengalami keadaan musim hujan dan kemarau yang seimbang.
2.2 Penduduk dan Angka Demografi
Jumlah penduduk Desa Budakeling berdasarkan hasil pengumpulan data tahun
2013 yang dapat dicatat dari catatan penduduk di kantor kepala desa
Budakeling/Perbekel, memperlihatkan bahwa penduduk berjumlah 3.005 jiwa, yang
terdiri atas 658 Kepala Keluarga (KK) dengan jenis kelamin laki-laki 1.474 jiwa dan
jenis kelamin perempuan 1.531 jiwa. Untuk lebih jelasnya tentang proporsi penduduk
menurut jenis kelamin seperti tampak pada tabel 2.1 berikut
36
Tabel 2.1: Penduduk desa Budakeling berdasarkan jenis kelamin, tahun 2013
No. Banjar KK Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Tri Wangsa 94 191 242 433
2. Budakeling 145 370 289 659
3. Saren Anyar 38 130 111 241
4. Saren Kangin 74 164 178 342
5. Dukuh 63 179 205 384
6. Pesawan 94 122 172 294
7. Saren Kauh 88 102 114 216
8. Saren Jawa 62 216 220 436
Jumlah 658 1.474 1.531 3.005
(Sumber: Data Monografi Desa Budakeling, 2013)
Penduduk desa Batuan berdasarkan hasil pengumpulan data tahun 2013 yang
dapat dicatat dari catatan penduduk di kantor kepala Desa/perbekel, memperlihatkan
bahwa penduduknya berjumlah 8.560 jiwa yang terdiri atas 1.689 Kepala Keluarga
(KK) dengan jenis kelamin laki-laki 4.280 jiwa, dan jenis kelamin perempuan 4.280
jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berdasarkan jenis kelamin dan
proporsi penduduk pada tabel 2.2 sebagai berikut.
37
Tabel 2.2 : Penduduk desa Batuan berdasarkan jenis kelamin, tahun 2013
No. Banjar KK Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Dentiyis 133 304 342 646
2. Dlodtunon 77 154 168 322
3. Peninjoan 178 475 468 943
4. Jungut 43 86 79 165
5. Pekandelan 91 219 227 446
6. Gede 114 310 397 707
7. Geria 81 196 193 389
8. Geria Çiwa 53 147 128 275
9. Tengah 71 220 171 391
10. Jeleka 106 295 254 549
11. Puaya 272 722 718 1.440
12. Lantangidung 72 183 179 362
13. Penida 105 195 273 468
14. Bucuan 82 214 206 420
15. Tegeha 65 223 180 403
16. Penataran 111 272 231 503
17. Gerih 36 65 66 131
Jumlah 1.689 4.280 4.280 8.560
(Sumber : Data Monografi Desa Batuan 2013)
38
Dari jumlah penduduk dan luas wilayah 215,280 Ha, maka kepadatan
penduduk desa Budakeling dengan jumlah 3.005 jiwa dapat dikatakan cukup tinggi,
meskipun sebagian penduduknya banyak yang merantau ke kota dengan tuntutan
jaman. Desa batuan dengan luas wilayah 392 Ha dengan kepadatan penduduk dengan
jumlah 8.560 jiwa dapat dikatakan sangat tinggi, yang disebabkan karena letak desa
yang strategis dan berlokasi di daratan.
2.4 Pendidikan Penduduk
Tingkat pendidikan masyarakat desa Budakeling secara umum dapat
dikatakan sudah cukup baik, terbukti dengan desa Budakeling karena terbebas dari
buta aksara dan bahkan sebagian besar telah menamatkan pendidikan Taman Kanak-
kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA), dan bahkan banyak pula yang telah menamatkan pendidikan
di Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Budakeling yang cukup
tinggi, didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai berupa
sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta antara lain: satu buah gedung taman
kanak-kanak, tiga buah gedung sekolah dasar negeri (SDN) antara lain SDN No.1,
SDN No.2 dan SDN No.3 Budakeling. Sedangkan untuk gedung sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah belum memiliki gedung, namun SMP maupun SMA
terletak tidak jauh dari Desa Budakeling, yakni di Kecamatan Bebandem maupun di
39
Kabupaten Karangasem. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3 sebagai
berikut:
Tabel 2.3. Perkembangan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Budakeling
Tahun 2013
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)
1 Lulusan Pendidikan Umum 48
2 Tamat Taman Kanak-Kanak 157
3 Tamat Sekolah Dasar 136
4 Tamat SMP/SLTP atau Sederajat 92
5 Tamat SMA/SLTA atau Sederajat 81
6 Tamat Perguruan Tinggi (D1,S1,S2 dan S3) 42
7 Tamat Pendidikan Khusus (Madrasah) 25
8 Tamat Pendidikan Khusus (Keterampilan) 215
(Sumber: Data Monografi Desa Budakeling, 2013)
Desa Batuan merupakan desa yang sangat berpendidikan maju ditandai
dengan sekolah yang di bangun mudah di jangkau, sehingga kebanyakan
penduduknya menyekolahkan anaknya ke jenjang SMA hingga perguruan tinggi. Hal
ini dapat dilihat dari letak desa Batuan di tengah-tengah keramaian kota, dan dapat
dilihat pada mata pencaharian penduduknya yang sangat maju dalam sektor
pariwisata. Apalagi menurut masyarakat setempat bahwa pendidikan merupakan
40
faktor yang sangat penting bagi seluruh masyrakat untuk menuju kehidupan hari esok
yang lebih baik dan juga pendidkan tidak mengenal batas usia. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam tabel 2.4 sebagai berikut.
Tabel 2.4. Perkembangan Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Batuan Tahun
2013
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)
1 Lulusan Pendidikan Umum 198
2 Tamat Taman Kanak-Kanak 298
3 Tamat Sekolah Dasar 234
4 Tamat SMP/SLTP atau Sederajat 205
5 Tamat SMA/SLTA atau Sederajat 276
6 Tamat Perguruan Tinggi (D1,S1,S2 dan S3) 167
7 Tamat Pendidikan Khusus (Madrasah) 70
8 Tamat Pendidikan Khusus (Keterampilan) 378
(Sumber: Data Monografi Desa Batuan, 2013)
41
2.3 Sejarah
2.3.1 Sejarah Desa Budakeling
Secara historis desa Budakeling mempunyai hubungan dengan kerajaan
Klungkung. Dimulai dari datangnya pendeta Buddha ke Bali yakni Dyang Hyang
Astapaka. Dang Hyang Astapaka adalah putra dari Dang Hyang Nata Angsoka yang
juga asal mulanya dari daerah Keling, Jawa Tengah. Tujuan kedatangan Dang Hyang
Astapaka ke Bali atas perintah ayahnya untuk menghadiri upacara Ligia dan Homa
beserta pamannya yakni Dang Hyang Nirartha tinggal di desa Mas, Gianyar. Upacara
Ligia dan Homa tersebut diselenggarakan oleh raja Waturenggong. Keahlian pendeta
Budha ingin dibuktikan oleh raja dihadapan para pendeta dan peserta paseban dengan
menerka bunyi binatang yang ada di goa. Pendeta Budha mengatakan bahwa itu
adalah bunyi naga, padahal binatang yang diletakkan adalah angsa. Ketika diambil
oleh pendeta Budha bahwa benar itu adalah naga yang diberi nama naga Bandha yang
di pralina (dibunuh) dan dipersembahkan kepada raja yang akan menghantarkan saat
ke Wisnuloka.
Pendeta Budha diangkat sebagai Bagawantaka (penasehat) oleh raja
Waturenggong. Ketika kerajaan mengalami pembrontakan setelah wafatna raja, Dang
Hyang Astapaka meninggalkan pasraman menuju kearah timur menuju sebuah
tempat yang dijadikan pasraman yang diberi nama pasraman Taman Tanjung dan di
timur lautnya beliau mendirikan tempat pemujaan untuk mencapai moksa yang diberi
nama Pura Taman Sari.
42
Setelah Dang Hyang Astapaka moksa, pasraman ditempati oleh keturunan
beliau. Keturunan beliau adalah Pedanda Made Banjar yang berputra Pedanda Wayan
Tangeb. Beliau mempunyai tiga istri, yakni:
1. Brahmana kemenuh, berputra 2
2. Satria Bang Gianyar, berputra 3
3. Wesya Ngurah Jelantik, berputra 2
Istri beliau yang ketiga diikuti oleh pengiring-pengiring yang terdiri dari golongan
Pande dan golongan Balian.
Ketika Gunung Agung meletus kisaran tahun 1634-1702 masehi, putra Dang
Hyang Astapaka yakni diantaranya Pedanda Wayan Dangin salah satu keturunan
Pedanda Wayan Tangeb dari istri yang ketiga beserta pengiringnya berpindah tempat
ke arah barat yang menjadi wilayah I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang kebetulan
ipar dari Pedanda Wayan Dangin. Tempat itu di haturkan oleh I Gusti Ngurah
Sidemen Sakti, sehingga Pedanda Wayan Dangin mendirikan sebuah bangunan
dengan suatu ikatan kesatuan wilayah dan penghormatan terhadap leluhurnya yakni
Dang Hyang Astapaka dan menghubungkan dengan daerah asalnya yakni Keling
(Jawa Tengah), sehingga diberi nama Budakeling.
Desa Budakeling dikatakan sebagai pusat brahmana Budha, karena golongan
brahmana Budha berasal dari klen besar keturunan pendeta Budha Astapaka atau
dengan gelar kehormatan disebut Bhatara Astapaka. Karena itu juga klen ini
menamakan dirinya Brahmana Budha Warih Bhatara Astapaka (Suci, Dharmika dan
Granoka, 1984:81).
43
2.3.2 Sejarah Desa Batuan
Pada jaman Pemerintahan Dinasti Warmadewa di Bali, Desa Batuan dengan
sebutan Desa Batuaran, memang sudah terdapat ada nama Baturan akhirnya
kemudian di sebut Batuan, yang berasal dari Kata Batu, oleh karena di Daerah ini
adalah Daerah yang berbatu. Sehingga terjadi perubahan pengucapan dari Batura
menjadi Batuan maka lebih populer dengan sebutan Desa Batuan.
Sejarah desa Batuan dapat di jumpai dari peninggalan prasasti yang terdapat
di Pura Hyang Tibha yang masih dalam kesatuan desa Batuan Kaler. Ketika dinasti
Warmadewa yang ke IV yakni Sri Aji Darma Udayana Warmadewa didampingi oleh
permaisurinya yakni Gunapria Darmapatni. Beliau mempunyai 3 keturunan yang
bernama, Sri Aji Air Langga, Sri Aji Mara Kata dan Sri Aji Anak Wungsu.
Pada masa pemerintahannya, beliau mempunyai staf yang bernama Sena Pati
Kuturan untuk di beri pengarahan agar berusaha menertibkan tata kemasyarakatan
penduduk Bali. Sena Pati Kuturan menempuh jalan Bhisuka menjadi Mpu Kuturan
guna mengamalkan darmanya selaku guru agama dan budaya. Untuk menciptakan
ketertiban serta menegakan kembali sendi-sendi agama serta budaya masyarakat Bali,
maka Mpu Kuturan mengadakan musyawarah besar (maha saba) yang dihadiri oleh
para pemuka masyarakat serta para Pendeta Siwa- Buddha yang bertempat di Samuan
Tiga. Di dalam musyawarah tersebut, terdapat keputusan dan menetapkan bahwa
makna paham/pengertian Tri sakti atau Tri Purusa harus di pulihkan kembali.
44
Akhirnya terlaksanalah pengertian Tri Purusa landasan dari dibangunnya para
khayangan tiga yang melambangkan Utpeti Stiti Prelina.
Berhubung pada waktu itu di wilayah Desa Batuan, hanya terdapat sebuah
pura yang terletak di dusun Blahtanah. Pura tersebut adalah Pura Hiyang Tibha
tempat pemujaan Siwa sebagai lambang Pralina, lalu di bangun Pura yang terletak di
dusun Cangi, sebagai tempat pemujaan Wisnu yang melambangkan Stiti. Selanjutnya
Pura Kahyangan Tiga yang berada diwilayah Desa Batuan langsung di bawah
kerajaan Sri Aji Udayana Darma Warmadewa, pemeliharaan Pura Kahyangan Tiga
itu dilanjutkan oleh Putranya yang menggantikan kedudukan Baginda sebagai Raja di
Bali yang bergelar Sri Darma Wangsa Wardana Marakata sebagai Raja yang ke V.
Sesuai dengan makna Prasasti yang kini tersimpan di pura puseh Batuan ber
Icaka: 944 = Tahun: 1022 M tepatnya pada tanggal 26 Desember 1022, pada
waktu itu para krama desa Batuan, di bawah pimpinan :
1. Seorang Pertapa bernama : Bhiksu Widiya.
2. Kepala Desa Bernama : Bhiksu Sukaji.
3. Juru tulis Desa bernama : Mamudri Gawan.
Beserta para perangkat Desa lainnya, hendak menghadap kehadapan Raja, dengan
diantar oleh Pandita Siwa bernama Mpu Gupit dari Nguda Laya, dengan maksud
mengajukan permohonan agar Raja berkenan memberikan keringanan kepada para
krama desa Batuan sewilayahnya mengenai Ayah-ayahan anatara lain :
45
1. Membebaskan dari kewajiban ngayah Rodi.
2. Menghapuskan pengenaan tanggung jawab dari segala pajak – pajak.
3. Menghentikan menyuguhkan, (penangu) kepada para petugaskerajaan,
hanya masih tetap menjadi beban selanjutnya penyungsung serta
mengaturkan aci-aci terhadap Pura Kahyangan Tiga tersebut.
Raja Sri Aji Darmawangsa Wardana Marakata sangat prihatin terhadap
pemohon para krama desa Batuan sewilayahnya. Raja berkenan untuk mengabulkan
permohonan dari para krama desa Batuan sewilayahnya dengan surat keputusan yang
terdapat di dalam Prasasti bericaka: 944 = tahun: 1022 M. Prasasti tersebut sampai
kini tetap menjadi Penyusungan desa Batuan yang di sebut Ida Sanghyang Aji
Saraswati yang secara psikologi merupakan pelindung krama Desa Batuan
sewilayahnya dan Piodalannya jatuh pada hari Sabtu, Umanis Watugunung.
Adapun pura tersebut adalah peninggalan dari Dinasti Warmadewa raja Bali
yang ke : IV, yaitu Sri Aji Darma Udayana Warmadewa serta selanjutnya tetap
menjadi pengawasan para Raja - raja di Bali. Pada waktu bertahtanya Sri Aji
Antasura Ratna Bumi Banten yang dinobatkan pada tahun 1337 yang bergelar Sri Aji
Gajah Waktra atau Sri Tapelung yang beristanakan di Bedahulu, dikenal dengan
sebutan Dalem Bedaulu.
Dalam Pemerintahan Sri Aji Dalem Bedaulu, beliau , mempunyai 2 ( dua )
orang pembantu masing-masing bernama Ki Patih Pasung Garigis tinggal di
46
Tengkulak, dan Ki Patih Kebo Iwa tinggal di Blahbatuh, maka atas ketekunan beliau
selama hidupnya tetap membujang lalu beliau disebut Ki Kebo teruna. Di dalam
Pemerintahan Sri Aji Asta Sura Ratna Bumi Banten/Dalem Bedaulu, beliau
menitahkan Ki Patih Kebo taruna untuk melakukan pemugaran pura, Kori/Candi
Agung. Ke tiga pura tersebut masih ada sampai sekarang, namun kondisinya sangat
menyedihkan (Sumber: Monografi desa Batuan 2013).
Setelah hapusnya Dinasti Warmadewa di Bali atau disebut Raja Bali Age,
akhirnya pada tahun: 1343 M, Bali jatuh ketangan Ki Patih Gajah Mada dan
kemudian dinobatkan pada tahun: 1350 s/d tahun 1380 Dalem Ketut Cri Kresna
Kepakisan menjadi sesuhunan Bali yang beristanakan di Samprangan. Pada jaman
Samprangan berakhir, Kota kerajaan Bali dipindahkan ke Gelgel dan dinobatkan
menjadi sesuhunan Bali Sri Dalem Ketut Ngulesir bertahta dari tahun 1380 s/d tahun
1460 M. Kemudian jaman Gelgel berakhir juga, sehingga Ibu Kota Kerajaan di Bali
dipindahkan ke Klungkung di bawah pemerintahan Ida Dewa Agung Jambe yang
bertahta sejak tahun 1700 s/d 1735 dengan menurunkan empat putra yang bernama,
Ida Dewa Agung Gede tetap bertahta di Puri Klungkung, sebagai sesuhunan Bali.
Kedua yakni Ida Sri Aji Maha Sirikan dengan Gelar Ida Dewa Agung Anom, dengan
Istana bernama Sukeluwih di Gerogak Sukawati. Ketiga yakni Ide Dewa Ketut Agung
kembali beristana di puri Gelgel. Keempat yakni Ida Dewa Agung Ayu Kaleran.
47
Berhubung dengan hal itu, maka sesuai dengan warsaning Candra Sengkala:
Naga Anaut Ganewani, kisaran: 1628 Caka = Tahun: 1706 M, Sri Aji Maha Sirikan
pindah dari Puri Klungkung mengalih tempat di Desa Batuan dengan disertai oleh
para pengiring antara lain:
1. I Dewa Babi.
2. Kiayi Pekandelan Anglurah Batulepang.
3. Ki Kabetan.
4. Ki Bendesa Mas.
5. Pula Sari, dll nya.
Sesudah empat tahun lamanya bertempat di desa Batuan, maka atas saran serta
nasehat dari Ida Pedanda Sakti Teges yang bertempat di Dajantiyis, menyarankan
agar membangun kedatuan kearah selatan dari Desa Batuan yang tepatnya di desa
Timbul, yang kini di sebut Sukawati.
Menurut Cendrasengkala tersebut: Babadnia pare Megunerase tunggal, yang
berarti icaka : 1632 = tahun 1710 M pada hari Senin Paing, kalau Sasih ketiga beliau
pindah dari Desa Batuan menuju tempat timbul, sedangkan para pengikut beliau
dititipkan tetap tinggal di Desa Batuan.
Sebelum Raja membentuk kedatuan serta membangun Puri dan Pura
Penataran, Beliau terlebih dahulu mendatangkan dua ratus orang pilihan dari
Klungkung, yang betul – betul mempunyai keahlian didalam bidang kesenian dan
48
kebudayaan. Sejak itulah berkembangnya kesenian dan kebudayaan di desa Batuan
yang amat tersohor sehingga kemudian sampai merubah sebutan desa Timbul menjadi
Sukawati.
Berdasarkan dengan sejarah di atas disebutkan bahwa berdirinya desa Batuan
berawal dari dinasti Warmadewa Bali. Namun tidak disebutkan secara pasti
kedatangan klen Brahmana Buddha Budakeling ke desa Batuan. Sejarah desa
Budakeling juga tidak menyebutkan secara pasti, sejak kapan mengambil tempat di
desa Batuan. Hanya menyebutkan bahwa keturunan dari Dang Hyang Astapaka yang
bernama Ida Pedanda Made Banjar bertempat tinggal di desa Batuan Gianyar.
Menurut masyarakat Batuan yang merupakan klen dari Brahmana Buddha,
menyebutkan bahwa leluhurnya yang bernama Ida Pedanda Made Banjar berasal dari
desa Budakeling yang bertempat tinggal di desa Batuan. Beliau melangsungkan hidup
di desa Batuan dan mempunyai keturunan dan dari keturunannya tersebut mengambil
tempat tinggal di berbagai daerah seperti di daerah Sukawati-Gianyar, Kaliungu-
Denpasar, Kerobokan-Badung, dan sebagainya. Sehingga penelitian ini berpusat di
desa Batuan sebagai desa pokok sebaran dari klen Brahmana Buddha Budakeling.
2.5 Mata Pencaharian
Penduduk desa Budakeling sebagian besar mata pencahariannya adalah
petani, luas tanah pertanian di desa Budakeling untuk tanah sawah dan ladang adalah
49
6.185,295 Are, dengan pembagian 60 Ha tanah sawah dengan hasil produksi berupa
padi 30 ton per tahun dan berupa kacang tanah 10 ton per tahun. Sedangkan sekitar
185,295 Are merupakan tanah ladang. Begitu juga dengan keadaan tanah sawah yang
dapat digarap dengan baik oleh petani terletak pada didataran rendah.
Tanah ladang yang terletak didataran lebih tinggi, oleh para petani ditanami
dengan berbagai macam tanaman buah-buahan berupa pohon pisang, pepaya,
semangka, durian, rambutan, duku, salak, alpukat, kedondong, dan sebagainya serta
tanaman perkebunan berupa pohon kelapa dan kakao yang tumbuh subur. Tanaman
yang dibudidayakan oleh para petani pada lahan sawah dan ladang baik berupa padi
maupun tanaman lainnya, tidak seluruhnya digunakan untuk subsistensi, melainkan
mengarah untuk kepentingan pasar dan perekonomian. Semua hasil sawah dan
perkebunan bergeser fungsinya selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
juga sebagai penghasil uang tunai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
lainnya. Disamping sebagai petani, masyarakat atau penduduk desa Budakeling ada
pula yang bermatapencaharian lain. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel 2.5
sebagai berikut:
50
Tabel 2.5. Jumlah Penduduk Desa Budakeling Menurut Mata Pencaharian
Tahun 2013
No Mata Pencaharian Jumlah (Orang)
1 Petani 689
2 Buruh tani 197
3 Pegawai Negeri Sipil (PNS) TNI/POLRI 108
4 Wiraswasta/Pedagang 210
5 Pertukangan 145
6 Pensiunan 36
7 Karyawan swasta 57
8 Pengrajin 64
9 Peternak 26
(Sumber : Data Monografi Desa Budakeling, 2013)
Sedangkan desa Batuan, sebagai daerah yang menitik beratkan pembangunan
di sektor pertanian dan pariwisata maka sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani dan sektor industri kecil. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel 2.6 sebagai berikut.
51
Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Desa Batuan Menurut Mata Pencaharian Tahun
2013
No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Petani 379
2 Pelukis 234
3 Peternak 96
4 Pemahat 1.213
5 PNS 95
6 Pengusaha 609
(Sumber: Data Monografi Desa Batuan, 2013)
2.6 Sistem Religi dan Kepercayaan
Ajaran agama adalah salah satu pedoman atau acuan bagi masyarakat dalam
bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan hidup,
yakni kebahagiaan lahir dan bathin. Ajaran agama sebagai pembentuk mental dan
moral seseorang sehingga diharapkan mengalami perubahan dari yang tidak baik
menjadi lebih baik. Ajaran agama juga memberikan tuntunan untuk selalu berbuat
kebaikan, karena dengan kebaikan seseorang mendapat kebahagiaan.
52
Kehidupan beragama di desa Budakeling dan desa Batuan sama dengan
penduduk desa lainya di Bali yang sebagian besar beragama Hindu dan sebagian kecil
saja menganut agama lainya. Kehidupan beragama di desa Budakeling dan desa
Batuan bisa dikatakan sangat baik, harmonis, tentram dan damai, dalam hal ini
hubungan antar pemeluk agama memiliki toleransi yang sangat tinggi, begitu pula
halnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar penduduk desa Budakeling
adalah pemeluk agama Hindu dengan ajaran kabuddhan (Buddha Mahayana
Bajrayana) sesuai dengan leluhurnya Dang Hyang Asthapaka dan juga di desa Batuan
kehidupan beragama yang memeluk agama Hindu dengan ajaran kabuddhan (Buddha
Mahayana Bajrayana) mengelompok khusus di banjar dinas Geria, di desa Batuan,
karena penduduk ini merupakan sebaran dari Brahmana Buddha Budakeling. berbeda
dengan desa Batuan, di desa Budakeling terdapat sebuah kampung Jawa yaitu khusus
sebagai tempat bermukimnya penduduk yang beragama Islam yang dikenal dengan
Saren Jawa. Saren Jawa terletak di sebelah selatan desa Budakeling, secara
administratif termasuk ke dalam Banjar Dinas Saren Jawa. Dalam pelaksanakan
kegiatan keagamaan masing-masing saling menghargai dan menghormati, satu sama
lain sehingga sampai sekarang tetap hidup berdampingan secara rukun tanpa adanya
perselisihan.
53
2.7 Sistem Kemasyarakatan
Mengenai sistem kemasyarakatan akan diuraikan sistem kekerabatan dan
sistem komunitas. Sistem kemasyarakatan merupakan suatu bentuk kesatuan kolektif
manusia. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi satu
sama lain yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Definisi masyarakat di atas merupakan definisi dalam arti yang luas dan definisi
masyarakat dalam arti yang sempit yakni masyarakat yang terdiri dari warga suatu
kelompok kekerabatan seperti dadia, marga, atau suku. Adapun unsur-unsur dari
masyarakat diantaranya terdapat sistem komunitas. Sistem komunitas dapat
didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang
nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta yang terikat
oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat, 1983: 150). Sistem
kekerabatan dan sistem komunitas merupakan bagian dari masyarakat, namun yang
membedakan keduanya tersebut yakni sistem kekerabatan merupakan suatu ikatan
manusia yang terdapat hubungan darah (klen), sedangkan sistem komunitas suatu
ikatan manusia yang hanya terdapat ikatan lokasi atau wilayah lebih mengkhusus.
Desa Budakeling dan desa Batuan merupakan sistem komunitas kecil atau
kesatuan hidup setempat yang bentuknya sama dengan desa-desa lainya di Bali.
Kesatuan hidup dalam kekerabatan pada masyarakat Budakeling dan Batuan terdapat
kekerabatan pokok atau klen pokok. Klen merupakan kelompok kekerabatan yang
berdasarkan asas keturunan unilineal (Suyono: 1985: 204). Klen yang terdapat di desa
54
Budakeling, dalam wawancara Ida Wayan Ngurah (14 Agustus 2014) menyebutkan
bahwa terdapat lima klen di desa Budakeling yakni klen Brahmana Buddha, klen
Pande Mas, klen Pande Besi, klen Pasek Kayu Selem dan klen Pradewa. Berdasarkan
klen-klen yang terdapat di desa Budakeling tidak terlepas dengan sejarah dari
Danghyang Astapaka sebagai orang yang pertama menjelajahi tempat tersebut.
Disebutkan bahwa klen dari Pande Mas, Pande Besi, Pasek Kayu Selem dan Pradewa
merupakan penganut setia (pengiring) ajaran dari Danghyang Astapaka. Sehingga
para penanut setia (pengiring) tersebut diberikan tempat hunian yang berdekatan
dengan Danghyang Astapaka, digunakan sebagai kesatuan kolektif untuk
melangsungkan hidup.
Desa Batuan mempunyai berbagai klen yakni Brahmana Buddha, Brahmana
Siwa, Pradewa, Pragusti, Pande dan Pasek. Berbeda dengan desa Budakeling, desa
Batuan lebih bervariasi atas berbagai klen yang mewarnai desa hunian tersebut yang
dalam konsep Hindu disebut dengan Catur Warna. Catur Warna yakni empat pilihan
hidup atau empat pembagian hidup dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna)
dan keterampilan (karma) seseorang. Keempat warna tersebut lebih penggolongan
stratifikasi sosial di Bali yakni kaum Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.
Sebagaimana yang tampak pada masyarakat Batuan dengan berbagai klen yang
menempati desa hunian tersebut, merupakan masyarakat yang lengkap atas
terdapatnya keempat warna yang dalam konsep Hindu disebut dengan Catur Warna.
55
Berdasarkan sejarah, disebutkan bahwa desa Batuan merupakan desa sebaran
Brahmana Buddha Budakeling. Klen Brahmana Buddha mengambil tempat di desa
Batuan untuk melangsungkan hidup dalam komunitas kecil di desa tersebut. Wilayah
desa Batuan yang dihuni oleh beberapa klen sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, namun saat ini kaum Brahmana Buddha mempunyai satu Banjar yang hanya
dihuni oleh klen Brahmana Buddha tersebut. Hal tersebut disebabkan karena
pertumbuhan penduduk terutama kaum Brahmana Buddha sehingga memungkinkan
untuk menjadi suatu lingkungan Banjar yang hanya dihuni dalam satu klen.
Sebagai kesatuan hidup dalam komunitas kecil yakni desa Budakeling dan
desa Batuan memiliki bentuk konsep desa yang sama dengan desa lainya di Bali.
Pandangan orang Bali konsep desa memiliki dua pengertian, yakni desa sebagai suatu
kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama mengonsepsikan dan
mengaktifkan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh sistem
budaya dengan nama desa adat dan desa sebagai kesatuan wilayah administrasi
disebut dengan nama desa dinas (Suci, 1984: 33). Kehidupan suatu masyarakat di
Bali pada hakikatnya mengenai bidang-bidang tertentu yakni desa adat di bidang adat
dan agama, sedangkan desa dinas di bidang administrasi kepemerintahan formal serta
bidang pembangunan.
Di Desa Budakeling terdapat dua buah desa adat, dimana masing-masing desa
adat dikepalai oleh seorang Bendesa adat. Tiap-tiap desa adat dibagi lagi menjadi
banjar adat. Adapun desa adat yang ada di desa Budakeling, yakni:
56
1. Desa adat Budakeling
2. Desa adat Saren
Desa adat Budakeling terdiri atas empat Banjar adat, yang disebut dengan
Banjar Tempek, yakni Banjar Gede Jinamurti, Banjar Tilem, Banjar Pande Mas dan
Banjar Pande Besi. Selain Banjar yang tersebut diatas, di Desa adat Budakeling juga
terdapat dadia Pande Mas, dadia Pande Besi, dadia Banjar Bunut, dadia Banjar
Desa, dadia Banjartak, yang merupakan pangiring (pengikut) Dang Hyang
Asthapaka, hingga kini keturunannya masih ada di Desa adat Budakeling. Selain itu,
terdapat juga satu kampung Saren Jawa yang ditempati oleh kaum bugis. Secara
administratif kampung Saren Jawa terdapat dalam lingkungan Desa adat Saren.
Begitu juga di desa Batuan yang terdapat lima desa adat yang masing-masing
dikepalai seorang Bendesa adat. Sama halnya dengan desa Budakeling, tiap-tiap desa
adat dibagi lagi menjadi banjar adat. Adapun desa adat yang terdapat di desa
Batuan, yakni:
1. Desa adat Lantang Idung
2. Desa adat Gerih
3. Desa Adat Batuan
4. Desa adat Sila Murti
5. Desa adat Batuan Kaler
6. Desa adat Negara
57
Dari beberapa desa adat yang terdapat di desa Batuan, yang termasuk daerah
lokasi penelitian yakni di dalam lingkungan desa adat Sila Murti. Desa adat Sila
Murti merupakan desa adat yang terbentuk atas pemekaran desa adat Batuan. Banjar
adat yang terdapat di desa adat Sila Murti terdapat tiga banjar adat, yakni banjar
Gede, banjar Geria dan banjar Geria Ciwa.
Berikut lebih jelasnya dapat dilihat bagan desa dari masing-masing Desa adat
yang ada di desa Budakeling dan desa Batuan sebagai berikut:
58
Bagan 2.1 Struktur Kelembagaan Desa Adat Budakeling
DESA BUDAKELING
DESA ADAT DESA ADAT
BUDAKELING
SAREN
Banjar Gede Banjar Banjar Banjar
Jinamurti
Tilem
Pande Mas
Pande Besi
Banjar Pesawan Banjar Saren Banjar Saren Banjar Dukuh Banjar Pesawan
Anyar
Kauh
59
Bagan 2.2 Struktur Kelembagaan Desa Adat Batuan
DESA BATUAN
DESA ADAT DESA ADAT DESA ADAT DESA ADAT DESA ADAT DESA ADAT
LANTANG
GERIH
BATUAN
SILA MURTI
BATUAN
NEGARA
IDUNG KALER
Banjar Banjar
Lantang Idung Gerih
Banjar Banjar Banjar Banjar Banjar
Puaya
Jeleka
Peninjoan
Dentiyis
Dlodtunon
Banjar Banjar Banjar
Gede
Geri
a
Geria Siwa
Banjar Banjar Banjar Banjar
Sakah Blah Tanah Dauh Uma Cangi
Banjar
Banjar
Banjar
Banjar Banjar
Pekandelan Jungut Bucuan Penida Tegeha
(Sumber: Data Monografi Desa Budakeling dan Desa Batuan, 2013)
60
Dari kedua bagan di atas dapat dijelaskan bahwa desa adat ada yang memiliki
satu banjar adat dan ada juga berbagai banjar adat. Desa Budakeling yang termasuk
dalam lokasi penelitian yakni di dalam desa adat Budakeling. Desa adat Budakeling
terdiri dari empat banjar adat yakni banjar adat Jinamurti, banjar adat Tilem, banjar
adat Pande Mas dan banjar adat Pande Besi. Sedangkan di desa Batuan yang
termasuk dalam lokasi penelitian yakni desa adat Sila Murti. Desa adat Sila Murti
terdiri dari tiga banjar adat yakni banjar adat Gede, banjar adat Geria, dan banjar
adat Geria Siwa. Namun, yang terdapat di desa Batuan lebih mengkhusus di
lingkungan banjar adat Geria, di mana lingkkungan tersebut merupakan sebagian
besar lingkungan dari Brahmana Buddha Batuan.
Adapun struktur pemerintahan desa yang terdapat di desa Budakeling dan
desa Batuan, bersifat Administratif atau desa Dinas. Pemerintahan desa adalah
keseluruhan daripada fungsi penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh aparat
pemerintah desa yang terdiri dari Kepala desa dan pamong desa lainnya serta menurut
susunan secara hierarchis berada langsung di bawah Pemerintah Kecamatan. Struktur
pemerintahan desa Budakeling sangat sederhana terutama apabila ditinjau dari segi
personil yang ada (Sudarsana, wawancara : 27 Agustus 2014). Adapun Struktur
pemerintahan desa Budakeling dapat dilihat dalam diagram berikut.
61
Bagan 2.3 Struktur Pemerintahan Desa Budakeling
PERBEKEL
BPD ------------------- I Made Sudarsana
SEKERTARIS DES
I Made Puspa, SE
KAUR PEMERINTAHAN KAUR KEUANGAN KAUR UMUM
I Ketut Rai I Made Suyasa I Wayan Lanus
KAUR PEMBANGUNAN KAUR KESRA
Mohammad Sari Putu Astrani
KELIAN BANJAR DINAS
TRIWANGSA BUDAKELING SAREN ANYAR SAREN KANGIN
Dewa Putu Oka I Komang Matra Drs. I Nym. Dangin I Made Taman
DUKUH PESAWAN SAREN KAUH SAREN JAWA
I Made Astawa I Ketut Nuada I Wayan Sukarai A. Jaelani
62
Bagan 3.4 Struktur Pemerintahan Desa Batuan
PERBEKEL
BPD
.............. I Nyoman Netra
SEKERTARIS DESA
I Made Suarta
KAUR PEMERINTAHAN KAUR KEUANGAN KAUR UMUM
I Ketut Mantra Ida Ayu Astuti Made Mardrinawathi
KAUR PEMBANGUNAN KAUR KESRA
I Made Sukra Desak Putu Nadi
KELIAN BANJAR DINAS
DENTIYIS DLODTUNON PENINJOAN JUNGUT
Drs. I Ketut Wartha I Made Suanda I Ketut Arsana I Wayan Rokiantara
PEKANDELAN GEDE GERI
A GERIA CIWA
I Ketut Wirtawan Dewa Putu Gede I.B Made Wirawan I.B Agung Agustina
TENGAH JELEKA PUAYA LANTAGIDUNG
I Nyoman Sukartha I Wayan Darma I Wayan Mustika I Wayan GD Sutirta
PENIDA BUCUAN TEGEHA
I Wayan Suarta I Made Sutrisna I.B Putu Ariana
63
Keterangan :
___________ : Garis Komando
---------------- : Garis Koordinasi
(Sumber: Data Monografi Desa Budakeling dan Desa Batuan, 2013)
Desa Budakeling dan desa Batuan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Perbekel) dan
terdiri dari delapan banjar Dinas untuk desa Budakeling dan lima belas banjar Dinas untuk desa
Batuan, yang tiap-tiap banjar Dinas dikepalai oleh kelihan Dinas, dalam pelaksanaan
pemerintahannya dibantu oleh Sekertaris desa dan Kepala urusan (Kaur) di masing-masing
bidang, di samping itu ada pula Badan Perwakilan Desa (BPD) yang secara bertugas mengawasi
sistem pemerintahan Desa.