bab ii kajian pustaka 2.1.1. pembelajaran ipa di...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Teori yang dikaji dalam penelitian ini diantaranya yaitu pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar, model Problem Based Learning, dan hasil
belajar dimana tiap-tiap teori akan dikaji secara lebih terperinci didalam
pembahasan sebagai berikut.
2.1.1. Pembelajaran IPA di SD
Mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang penting untuk
dipelajari. Hal ini dikarenakan IPA merupakan ilmu yang membahas tentang fakta
serta gejala alam. Sejalan dengan pentingnya IPA sebagai ilmu yang mempelajari
fakta dan gejala alam, IPA juga berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya berupa penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan (KTSP Standar Isi 2006).
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar diharapkan dapat memberi berbagai
pengalaman pada siswa dengan cara melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang
relevan, (Agus. S. Khalimah, 2010). Sehingga pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan
alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu
menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (KTSP Standar Isi 2006).
Ilmu pengetahuan Alam diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk
memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat
diidentifikasikan. Sehingga dengan adanya pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
di SD, siswa dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap
ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup.
Oleh karena itu pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD menekankan pada
7
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan ketrampilan proses dan sikap ilmiah (KTSP Standar Isi 2006).
Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD
Pembelajaran IPA di sekolah selalu mengacu pada kurikulum IPA yang
berlaku di Indonesia sejak tahun 2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). Kurikulum ini diberlakukan agar tujuan pembelajaran IPA dapat
tercapai. Di dalam kurikulum IPA yang telah berlaku di Indonesia, tujuan
pembelajaran IPA telah diatur dalam Permendiknas RI nomor 22 Tahun 2006
yang meliputi : 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2)
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3)
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat. 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. 5) Meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan
lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7) Memperoleh bekal
pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan
pendidikan ke SMP/MTS.
Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di SD
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, perlu ada materi yang
dibahas. Materi itu dibatasi oleh ruang lingkupnya yang tertera dalam
Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 yang meliputi aspek- aspek sebagai
berikut : 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda/materi,
sifat-sifat dan kegunaannya meliputi benda cair, padat dan gas. 3) Energi dan
perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat
sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-
8
benda langit lainnya. 5) Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat yang
merupakan penerapan konsep sains dan saling keterkaitannya dengan lingkungan,
teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana
termasuk merancang dan membuat.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA
Ruang lingkup yang dipelajari dalam IPA dalam rangka untuk mencapai
Standar untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dapat ditetapkan
melalui SK dan KD. BNSP telah melakukan penyusunan Standar Isi yang
kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) nomor 22 tahun 2006 yang mencakup komponen :
1. Standar Kompetensi (SK), merupakan ukuran kemampuan minimal yangmencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai,diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan darisuatu materi yang diajarkan.
2. Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta didik yangcakupan materinya lebih sempit dibanding dengan SK peserta didik.
Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk
membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang
difasilitasi oleh guru. Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa SDN 6
Depok, maka akan dilakukan penelitian dengan menggunakan model Problem
Based Learning pada mata pelajaran IPA tentang Sumber Daya Alam (SDA).
Adapun perincian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang digunakan
sebagai materi dalam pelaksanaan proposal penelitian kelas 4 semester II sebagai
berikut ini (KTSP 2006).
9
Tabel 1Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)Kelas 4 Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
11. Memahami
hubungan antara
sumber daya
alam dengan
lingkungan,
teknologi, dan
masyarakat.
11.1. Menjelaskan hubungan antara sumber
daya alam dengan lingkungan.
11.2. Menjelaskan hubungan antara sumber
daya alam dengan teknologi yang
digunakan
11.3. Menjelaskan dampak pengambilan
bahan alam terhadap pelestarian
lingkungan.
(Permendiknas No.22 Tahun 2006)
2.1.2. Model Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu reformasi kurikulum
yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan baik pada aspek
kognitif, afektif maupun psikomotrotik. Problem Based Learning (PBL) pertama
kali dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Case Western Reserve pada
akhir tahun 1950-an, selanjutnya Problem Based Learning (PBL) dikembangkan
oleh Prof. Howard Barrows dalam pembelajaran ilmu medis di Fakultas
Kedokteran McMaster University Canada pada tahun 1968 (Taufiq, 2009:12).
Problem Based Learning (PBL) ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi
siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan
diterapkan dengan menggunakan model pemecahan masalah.
Ada beberapa definisi dan interpretasi Problem Based Learning (PBL)
yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu menurut
Dutch (1995) dalam Taufiq (2009:21), Problem Based Learning (PBL) adalah
model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”
bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi dari masalah yang nyata.
Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan
10
analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. Problem Based Learning (PBL)
mempersiapkan siswa untuk dapat berpikir kritis, analitis, dan untuk mencari
serta menggunakan sumber belajar yang sesuai. Problem Based Learning (PBL)
merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memberikan kesempatan
pada siswa untuk melakukan penelitian, mengintegrasikan teori dan praktek,
menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan solusi dalam
memecahkan masalah (Savery, 2006:12).
Menurut Dewey dalam Trianto (2011: 67) Problem Based Learning (PBL)
adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua
arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa
berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan
bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai,
dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik.
Arends (dalam Trianto, 2011:68) mengatakan bahwa Problem Based
Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dihadapkan
pada masalah autentik (nyata) sehingga dengan adanya inovasi Problem Based
Learning (PBL) diharapkan siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri serta
menumbuhkembangkan keterampilan tingkat tinggi, memandirikan siswa, dan
meningkatkan kepercayaan dirinya.
Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL)
dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning (PBL) merupakan
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah nyata (real world) untuk
memulai pembelajaran dan merupakan salah satu strategi pembelajaran inovatif
yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa sehingga siswa dapat
belajar untuk berpikir kritis, analitis dalam mencari solusi pemecahannya secara
berkelompok. Problem Based Learning (PBL) dirancang dengan menampilkan
masalah-masalah yang menuntut siswa untuk mengeksplor pengetahuannya agar
dapat memperoleh pengetahuan yang baru dari hasil penemuannya sendiri
sehingga siswa menjadi terbiasa dan mahir dalam memecahkan suatu masalah
yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
11
Arends (1997) dalam Trianto (2011:93) berpendapat bahwa Problem
Based Learning (PBL) memiliki karakteristik meliputi:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Problem Based Learning dimulai dengan
pengajuan masalah, bukan mengorganisasikan materi di sekitar prinsip-
prinsip atau ketrampilan akademik tertentu. Masalah yang diajukan
berhubungan dengan situasi kehidupan nyata pembelajar untuk menghindari
jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi
terhadap masalah tersebut.
2. Fokus pada interdisiplin ilmu. Meskipun pembelajaran berbasis masalah
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, dan ilmu-ilmu
sosial), masalah yang dipilih harus benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa dapat meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3. Penyelidikan autentik. Problem Based Learning mengharuskan siswa
melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap
masalah nyata.
4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis masalah
menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya
nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian
masalah yang mereka temukan. Bentuk karya siswa tersebut dapat berupa
laporan, model fisik, dan video. Karya nyata tersebut kemudian
didemosntrasikan kepada siswa yang lain.
5. Kerja sama. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu sama lain, secara berpasangan atau secara berkelompok.
Sedangkan menurut Barrows (1996) dalam Komalaningsih (2007:27)
menyatakan bahwa bahwa pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
memiliki karakteristik meliputi: (1) Pembelajaran berpusat pada siswa, (2)
Pembelajaran terjadi dalam kelompok kecil, (3) Pengajar merupakan fasilitator
atau pembimbing, masalah merupakan fokus dan stimulus pembelajaran, dan
informasi baru diperoleh melalui pembelajaran sendiri (self-directed learning).
Menurut Tan dalam Taufiq Amir (2009: 22) karakteristik yang terdapat
dalam proses PBL adalah: (1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran, (2)
12
Biasanya masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan
secara mengambang (ill-structured). (3) Masalah biasanya menuntut perspektif
majemuk (multiple perspektif). (4) Masalah membuat pembelajar tertantang untuk
mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru. (5) Sangat
mengutamakan belajar mandiri (self direct learning). (6) Memanfaatkan sumber
pengetahuan yang bervariasi tidak dari satu sumber saja. (7) Pembelajaran
kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pembelajar bekerja dalam kelompok,
berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi. Dari
beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses Problem Based Learning
(PBL) dapat disimpulkan bahwa tiga unsur yang esensial dalam proses Problem
Based Learning (PBL) yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran berpusat
pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil.
Problem Based Learning (PBL) tidak dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Menurut Arends dalam
Trianto (2011: 94-96) PBL memiliki tujuan untuk membantu siswa dalam
beberapa hal berikut ini: (1) mengembangkan kemampuan berpikir dan
keterampilan pemecahan masalah, (2) pemodelan peranan orang dewasa, artinya
pembelajaran berdasarkan masalah dapat mendorong terjadinya pengamatan dan
dialog antara siswa dengan narasumber sehingga secara bertahap siswa dapat
memahami peran orang yang diamati atau narasumber (ilmuwan, guru, dokter,
dan sebagainya), (3) pembelajar yang otonom dan mandiri.
Agar Problem Based Learning dapat berjalan dengan baik, maka dalam
pelaksanaan kegiatan model Problem Based Learning diperlukan upaya
perencanaan yang benar-benar matang. Menurut Sugiyanto (2010, 156-159)
dalam merancang Problem Based Learning harus memperhatikan beberapa faktor,
yaitu:
a. Memutuskan sasaran dan tujuan
Problem Based Learning dirancang untuk membantu mencapai tujuan-tujuan
seperti meningkatkan keterampilan intelektual dan investigasi, memahami
peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang
mandiri.
13
b. Merancang situasi bermasalah yang tepat
Sebuah situasi bermasalah yang baik harus memenuhi lima kriteria penting,
yaitu: (1) Situasi yang autentik. Hal ini berarti masalah yang dipakai harus
dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa. (2) Masalah tersebut semestinya
menciptakan misteri atau teka-teki.. (3) Masalah tersebut seharusnya bermakna
bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. (4) Masalah
haruslah memiliki cakupan yang luas sehingga memberikan kesempatan bagi
guru untuk memenuhi tujuan instruksionalnya. (5) Masalah yang baik harus
mendapatkan manfaat dari usaha kelompok.
c. Mengorganisasikan sumber daya dan merancang logistik
PBL mendorong siswa untuk bekerja dengan bahan dan alat. Sebagian
beralokasi diruang kelas, sebagian lainnya di perpustakaan atau laboratorium
komputer dan sebagian diluar sekolah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat
dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Adapun beberapa tahapan pembelajaran
Problem Based Learning menurut beberapa ahli pendidikan, diantaranya yaitu
menurut Solso( dalam Wankat dan Oreovocz, 1995) dalam Wena (2011:56)
tahapan Problem Based Learning (PBL) adalah : (1) identifikasi permasalahan,
(2) representasi/penyajian permasalahan, (3) perencanaan pemecahan masalah, (4)
menerapkan/mengimplementasikan perencanaan pemecahan masalah, (5) menilai
perencanaan pemecahan masalah, (6) menilai hasil pemecahan masalah.
Menurut Endang (2011:221) menyatakan bahwa tahap-tahap pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) meliputi: (1) guru menjelaskan tujuan
pembelajaran kemudian memberi tugas atau masalah untuk dipecahkan . Masalah
yang dipecahkan adalah masalah yang memiliki jawaban kompleks atau luas, (2)
guru menjelaskan prosedur yang harus dilakukan dan memotivasi siswa agar lebih
aktif dalam pemecahan masalah, (3) guru membantu siswa menyusun laporan
hasil pemecahan masalah yang sistematis, (4) guru membantu siswa untuk
melakukan evaluasi dan refleksi proses-proses yang dilakukan untuk
menyelesaikan masalah.
14
Proses Problem Based Learning (PBL) juga dideskripsikan oleh
Sugiyanto (2010:159) sebagai berikut: (1) orientasi permasalahan kepada siswa,
(2) mengorganisasikan siswa untuk mandiri, (3) membantu investigasi mandiri
dan kelompok, (4) mengembangkan dan mempresentasikan hasil, (5)
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dari beberapa uraian
mengenai tahap-tahap pembelajaran Problem Based Learning (PBL), maka dapat
disimpulkan bahwa tahap-tahap pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
dan perilaku yang dibutuhkan oleh guru, yaitu:
Tabel 2Tahap Pelaksanaan Problem Based Learning
No Fase Perilaku Guru
1. Orientasi
permasalahan kepada
siswa
Guru membahas tentang tujuan pembelajaran,
menyampaikan masalah, dan memotivasi siswa
untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
2. Mengorganisasikan
siswa untuk mandiri
Guru membentuk kelompok (@kelompok terdiri
dari 4-6 anggota), membantu mengidentifikasi
masalah dan mengorganisasi tugas siswa terkait
dengan permasalahannya
3. Membantu investigasi
mandiri dan kelompok
Guru memotivasi tiap kelompok untuk
mengumpulkan data, menyusun hipotesis,
melakukan penyelidikan, menyimpulkan
pemecahan masalah dan uji hasil dari pemecahan
masalah.
4. Mengembangkan dan
mempresentasikan
hasil
Guru membantu merencanakan dan menyiapkan
hasil investigasi yang telah dilakukan seperti
laporan, rekaman, video atau sebuah model (alat
peraga).
5. Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan
15
Menurut Smith dalam Amir (2010: 27), terdapat beberapa manfaat yang
akan diperoleh pembelajar apabila menerapkan Problem Based Learning
diantaranya yaitu: (1) Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya
terhadap materi ajar yang sedang dipelajari, (2) Meningkatkan fokus pada
pengetahuan yang relevan, (3) Mendorong untuk berfikir kritis dan kreatif, (4)
Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial, (5) Membangun
kecakapan belajar (life-long learning skills), (6) Memotivasi pembelajar.
Berdasarkan penjelasan Trianto (2011: 96-97) model Problem Based
Learning (PBL) memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan model Problem
Based Learning (PBL) sebagai model pembelajaran adalah: (1) realistic dengan
kehidupan siswa, (2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa, (3) memupuk sifat
inquiri siswa, (4) retensi konsep jadi kuat, dan (5) memupuk kemampuan problem
solving. Sedangkan kelemahan model Problem Based Learning (PBL) antara lain:
(1) persiapan pembelajaran (alat, masalah, konsep) yang kompleks, (2) sulitnya
mencari masalah yang relevan, (3) sering terjadi miss-konsepsi, dan (4) konsumsi
waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.
2.1.3. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan
siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu,
berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran dapat dilihat melalui hasil
belajar setelah dilakukan evaluasi. Pengertian hasil belajar itu sendiri menurut
Nana Sudjana (2010:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa
menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan
kemampuan yang menurut Horwart Kinggsley dalam buku Nana Sudjana,
(2010:22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1)
Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan, (3) Sikap dan cita-
cita.
Sementara menurut Lindgren dalam Agus Suprijono, (2011:7) hasil
pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Agus Suprijono, (2011:5-6) bahwa
16
hasil belajar itu berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi
kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Sedangkan Anni (2004:4) berpendapat
bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa setelah
siswa mengalami aktivitas pembelajaran. Perolehan aspek–aspek perubahan
perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu
apabila siswa mempelajari pengetahuan tentang konsep, maka perubahan perilaku
yang diperoleh adalah berupa penguasaan konsep.
Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi
tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan
guru. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan perubahan perilaku yang ditunjukkan dengan bertambahnya
kemampuan baru yang dimiliki siswa seperti kecakapan, informasi, pengertian,
informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik,
dan sikap melalui pengalaman belajar yang diperoleh dari aktivitas belajar dan
proses pelaksanaannya dapat diukur dengan menggunakan teknik tes yang
diberikan oleh guru.
Cakupan evaluasi terkait dengan ranah hasil belajar dalam konteks KTSP
yang diberlakukan. Hal ini merupakan penjabaran dari Standar Isi dan Standar
Kompetensi Kelulusan. Didalamnya memuat kompetensi secara utuh yang
merefleksikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang sesuai karakteristik
masing-masing mata pelajaran. Muatan dari Standar Isi adalah SK dan KD. Satu
SK terdiri dari beberapa KD dan setiap KD dijabarkan ke dalam indikator-
indikator pencapaian hasil belajar yang dirumuskan atau dikembangkan oleh guru
dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sekolah. Indikator yang
dikembangkan tersebut merupakan acuan yang digunakan untuk menilai
pencapaian KD yang bersangkutan. Teknik penilaian yang digunakan harus
disesuaikan dengan karakteristik indikator, SK dan KD yang diajarkan oleh guru.
Tidak menutup kemungkinan bahwa satu indikator dapat diukur dengan beberapa
teknik penilaian, hal ini karena memuat domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan pembelajaran mengikuti
pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Benyamin S. Bloom dalam
17
Agus Suprijono (2011:6-7) yang secara garis besar mengungkapkan tiga tujuan
pembelajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan
merupakan hasil belajar kemudian membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah
kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang
tempat utama terutama dalam tujuan pengajaran di SD. Menurut Mawardi
(2010:4) aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang, diantaranya yaitu : (a)
Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini siswa dituntut untuk dapat mengenali
atau mengetahui adanya suatu konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau
dapat menggunakannya. (b) Pemahaman (comprehension), kemampuan ini
menuntut siswa untuk memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui
apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus
menghubungkannya dengan hal-hal lain. (c) Penerapan (application), jenjang
kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara
ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi yang baru
dan konkrit. (d) Analisis (analysis), tingkat kemampuan yang menuntut siswa
untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur
atau komponen pembentuknya. (e) Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut
seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara
menggabungkan berbagai faktor dan hasil yang diperoleh dapat berupa tulisan,
rencana atau mekanisme. (f) Evaluasi (evaluation), jenjang yang menuntut siswa
untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan
suatu kriteria tertentu. Hal penting dalam evaluasi adalah menciptakan kondisi
sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengembangkan kriteria, standar atau
ukuran untuk mengevaluasi sesuatu.
Menurut Mawardi (2010:5) ranah afektif diartikan sebagai internalisasi
sikap yang menunjuk kearah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu
menjadi sadar tentang nilai yang diterima dan kemudian mengambil sikap
sehingga kemudian menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan
menetukan tingkah lakunya. Jenjang kemampuan dalam ranah afektif yaitu : (a)
Menerima (receiving), maksudnya siswa diharapkan peka terhadap eksistensi
18
fenomena atau rangsangan tertentu. Kepekaan ini diawali dengan penyadaran
kemampuan untuk menerima dan memperhatikan. (b) Menjawab (responding),
maksudnya adalah siswa diharapkan tidak hanya peka pada suatu fenomena, tetapi
juga bereaksi terhadap salah satu cara. Penekanannya pada kemauan siswa untuk
menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan. (c) Menilai (valuing),
siswa diharapkan dapat menilai suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu
dengan cukup konsisten. (d) Organisasi (organitation), tingkat ini berhubungan
dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan masalah, membentuk
suatu sistem nilai.
Ranah psikomotor berkaitan dengan gerakan tubuh mulai dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Perubahan gerakan tubuh ini merupakan
kemampuan-kemampuan motorik yang menggiatkan dan mengkoordinasikan
gerakan, terdiri dari: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual,
kemampuan fisik, gerakan terampil, dan gerakan indah dan kreatif.
Tingkat pencapaian hasil belajar siswa dapat diketahui setelah siswa
mengikuti proses pembelajaran. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas
pengukuran. Menurut Endang Poerwanti (2008) dalam Mawardi (2010:1),
pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk
memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga
hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Untuk menetapkan angka dalam
pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia
pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa
seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
Besarnya skor yang diperoleh dari hasil pengukuran akan memudahkan
pelaksanaan proses penilaian terhadap tingkat ketercapaian hasil belajar siswa.
Penilaian menurut Akhmad Sudrajat (2008) adalah penerapan berbagai
cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang
sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian
kemampuan) siswa. Penilaian hasil belajar merupakan aktivitas yang sangat
penting dalam proses pendidikan. Semua proses di lembaga pendidikan formal
pada akhirnya akan bermuara pada hasil belajar yang diwujudkan secara
19
kuantitatif berupa nilai. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil
belajar seorang siswa. Jadi penilaian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
perubahan yang terjadi melalui kegiatan belajar mengajar.
Jenis penilaian selalu dikaitkan dengan fungsi dan tujuan penilaian. Ada
bermacam jenis penilaian menurut Mawardi (2010:11) yang secara garis besar
setidaknya dapat dibagi menjadi lima jenis, diantaranya yaitu : (a) Penilaian
Formatif, yakni penilaian yang dilaksanakan pada setiap akhir pokok bahasan,
tujuannya untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap pokok bahasan
tertentu. Informasi dari penilaian formatif dapat dipakai sebagai umpan balik
pengajar mengenai proses pembelajaran. (b) Penilaian Sumatif, yaitu penilaian
yang dilakukan pada akhir satuan program tertentu, (caturwulan, semester atau
Tahun Pelajaran), tujuannya untuk melihat prestasi yang dicapai siswa selama
satu program yang secara lebih khusus hasilnya akan merupakan nilai yang
tertulis dalam raport dan penentuan kenaikan kelas. (c) Penilaian Diagnostik,
yakni penilaian yang dilakukan untuk melihat kelemahan siswa dan faktor-faktor
yang diduga menjadi penyebabnya, dilakukan untuk keperluan pemberian
bimbingan belajar dan pengajaran remidial, sehingga aspek yang dinilai meliputi
kemampuan belajar, aspek-aspek yang melatarbelakangi kesulitan belajar yang
dialami siswa serta berbagai kondisi khusus siswa. (d) Penilaian Penempatan,
yaitu penilaian yang ditujukan untuk menempatkan siswa sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya, misalnya dalam pemilihan jurusan atau menempatkan
anak pada kerja kelompok dan pemilihan kegiatan tambahan. Aspek yang dinilai
meliputi bakat, minat, kesanggupan, kondisi fisik, kemampuan dasar,
keterampilan dan aspek khusus yang berhubungan dengan aspek pembelajaran. (e)
Penilaian Seleksi, yaitu penilaian yang ditujukan untuk menyaring atau memilih
orang yang paling tepat pada kedudukan atau posisi tertentu. Penilaian ini dapat
dilakukan kapanpun saat diperlukan. Aspek yang dinilai dapat beranekaragam
disesuaikan dengan tujuan seleksi, sebab tujuannya adalah memilih calon untuk
posisi tertentu, karena itu analisis dari penilaian ini biasanya menggunakan
kriteria yang bersifat relatif atau berdasarkan norma kelompok.
20
Objek yang dinilai dalam penilaian hasil belajar adalah hasil belajar siswa
itu sendiri. Untuk menilai sesuatu diperlukan alat penilaian yakni alat yang
digunakan untuk mempermudah proses penilaian. Alat penilaian yang digunakan
untuk mengukur hasil belajar dibedakan menjadi dua yaitu, teknik tes dan teknik
non tes. Penilaian dengan teknik tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan
atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan,
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok
(Suharsimi Arikunto, 2009: 32).
Menurut Mawardi (2010:19) teknik penilaian tes dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut: (1) Tes Essay, merupakan bentuk tes berupa soal-soal yang
masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut penguraian sebagai
jawabannya. (2) Tes Objektif, merupakan tes yang terdiri dari pertanyaan-
pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang harus dijawab atau dipilih dari
beberapa alternatif jawaban dengan cara menuliskannya, atau mengisi jawaban
pendek tanpa menguraikan. (3) Tes Menjodohkan (Matching Test), merupakan
bentuk tes menjodohkan yang mencakup dua kolom yang sejajar, dimana setiap
kata, jumlah atau simbol-simbol di satu kolom dengan kata, kalimat di kolom
yang lain. (4) Tes Pilihan Ganda (Multiple Choice), merupakan tes yang menuntut
siswa untuk memilih satu alternatif jawaban yang paling tepat diantara beberapa
alternatif jawaban yang tersedia.
Teknik penilain non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah
afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada
aspek kognitif. Menurut Mawardi (2010: 25) teknik non tes meliputi: (1)
Pengamatan (Observation), merupakan suatu teknik yang dilakukan dengan
melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti. (2)
Wawancara (interview), merupakan suatu teknik penilaian dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung kepada objek yang diteliti, jadi wawancara dilakukan
dengan tanya jawab secara sepihak (3) Angket, merupakan suatu teknik yang
dipergunakan untuk mengumpulkan informasi yang berupa data deskriptif. Teknik
ini biasanya berupa angket minat dan sikap (4) Daftar cocok (check list),
merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dalam
21
bentuk semi terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang
dihasilkan dapat berupa data kualitatif maupun data kuantitatif, tergantung format
yang dipergunakan. (5) Skala bertingkat (rating scale), merupakan sebuah daftar
yang hampir sama dengan daftar cek, akan tetapi aspek yang dicek ditempatkan
pada bentuk skala bertingkat. Skala menunjukkan suatu nilai yang berbentuk
angka. Angka-angka yang digunakan disusun secara bertingkat dari yang kecil ke
besar. (6) Portofolio, merupakan teknik penilaian dimana siswa menjabarkan
tugas atau karyanya dengan cara memberikan gambaran menyeluruh tentang apa
yang telah dipelajari dan dicapai siswa.
Penilaian hasil belajar tersebut sangat penting, selain sebagai catatan
keberhasilan siswa juga sebagai dokumen yang menggambarkan kemampuan
siswa sehingga saat mencari pekerjaan maupun melanjutkan pendidikan, siswa
akan menjadi jauh lebih berkembang dan mampu bersaing. Dari uraian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar dalam penelitian ini adalah besarnya
angka atau skor yang diperoleh dari skor tes (tes formatif) dan non tes (observasi
keaktifan siswa menyimak materi dan keaktifan siswa ketika belajar bersama baik
dalam diskusi maupun presentasi).
2.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini adalah
“Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Metode Problem Based Learning (PBL)
Materi Gaya pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Begalon 1 No 240 Surakarta Tahun
Pelajaran 2011/2012” oleh Annisa Septiana Mulyasari pada tahun 2011.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh
kesimpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat
meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD N Begalon 1 Surakarta Tahun
Pelajaran 2011/2012. Hal ini terbukti dari pada kondisi awal sebelum
dilaksanakan tindakan nilai rata-rata siswa 28,89%, siklus I nilai rata-rata kelas
67,33% dengan persentase ketuntasan sebesar 53,33%, kemudian pada siklus II
nilai rata-rata kelas meningkat lagi menjadi 73,33% dengan persentase ketuntasan
sebesar 82,22%.
22
Kelebihan dari penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana Mulyasari
adalah peneliti menggunakan inovasi pembelajaran yang dapat menantang
kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan
baru bagi siswa, membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya
dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan dan membantu
siswa dalam menstransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah yang
sering terjadi di dunia nyata. Sehingga pembelajaran yang diterima siswa tidak
akan mudah terlupakan karena siswa mengalami dan menemukan sendiri
pengetahuan baru yang telah siswa dapatkan.
Beberapa kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana
Mulyasari diantaranya adalah ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak
mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari terasa sulit untuk
dipecahkan, maka siswa akan merasa enggan untuk mencobanya. Apabila siswa
sudah enggan untuk mencobanya, maka siswa akan merasa kesulitan dalam
memahami pembelajaran yang diberikan. Kemudian hal ini akan berdampak pada
saat dilakukannya tahap evaluasi dimana siswa yang minat belajarnya kurang ini
akan memperoleh hasil belajar yang rendah pula. Oleh karena itu, diperlukan
adanya pengembangan penelitian tentang Problem Based Learning (PBL) lebih
lanjut agar dapat ditemukan solusi untuk mengatasi beberapa kelemahan yang
telah diuraikan tersebut.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana Mulyasari
dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan model
Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 4.
Perbedaannya terletak pada pengukuran tingkat keberhasilan penelitian dimana
penelitian yang dilakukan oleh Annisa Septiana Mulyasari pengukuran tingkat
keberhasilannya menggunakan perbandingan perolehan skor rata-rata antar siklus,
sedangkan dalam penelitian ini pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan
perbandingan persentase ketuntasan hasil belajar antar siklus.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Linda Rachmawati dengan judul
“Penerapan Model Problem Based Learning untuk meningkatkan pembelajaran
IPA Siswa Kelas 5 SDN Pringapus 2 Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek”
23
pada Tahun 2011/2012. Hasil penelitian Linda Rachmawati terhadap SDN
Pringapus 2 Kabupaten Trenggalek Kelas 5 menunjukkan peningkatan hasil
belajar pada mata pelajaran IPA. Hal ini ditandai dengan peningkatan skor
keberhasilan guru dalam penerapan model PBL pada siklus I yaitu 76,65 menjadi
93,3 pada siklus II. Aktivitas siswa meningkat dari 58,6 pada siklus I menjadi
71,4 pada siklus II. Dan hasil belajar siswa juga meningkat dari rata-rata 63,4
pada siklus I menjadi rata-rata 80,94 pada siklus II. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka dapat dikatakan bahwa penggunaan model Problem Based
Learning (PBL) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas 5 SDN
Pringapus 2 Kabupaten Trenggalek.
Kelebihan dari penelitian yang dilakukan oleh Linda Rachmawati adalah
penggunaan pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan motivasi
dan aktivitas pembelajaran siswa, mengembangkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri
dengan pengetahuan baru, memberikan kesempatan bagi siswa untuk secara terus-
menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh Linda Rachmawati adalah terletak
pada subjek penelitian yang hanya berjumlah 12 siswa saja. Untuk itu, perlu
dilakukannya tindakan penelitian pengembangan yang menggunakan sampel
penelitian dengan jumlah yang relatif lebih banyak supaya dapat diketahui lebih
jelas pengaruh penggunaan pembelajaran Problem Based Learning terhadap
peningkatan hasil belajar siswa.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Linda Rachmawati dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan model Problem
Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar IPA dan melakukan observasi
terhadap aktivitas guru serta aktivitas siswa. Perbedaannya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Linda Rachmawati menggunakan perbandingan skor rata-rata yang
diperoleh tiap siklus sebagai pengukur tingkat keberhasilan penerapan model
PBL, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti menggunakan
perbandingan persentase ketuntasan hasil belajar sebagai pengukur tingkat
keberhasilannya.
24
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Eni Wulandari dalam skripsinya
yang berjudul “Penerapan Model Problem Based Learning pada Pembelajaran
IPA Siswa Kelas 5 di SDN Mudal Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo
Tahun Pelajaran 2011/2012”. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan
bahwa penggunaan model Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA Kelas 5 di SDN Mudal Kecamatan
Purworejo Kabupaten Purworejo. Hal ini didasarkan pada peningkatan rata-rata
nilai yang cukup signifikan dari 38,09% pada siklus I menjadi nilai rata-rata kelas
47,62% pada siklus II dan 73,02% pada siklus III. Kelebihan yang dilakukan oleh
Eni Wulandari adalah dengan adanya penggunaan Problem Based Learning akan
dapat memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna
memecahkan masalah dunia nyata. Sedangkan kelemahan penelitian yang
dilakukan oleh Eni Wulandari adalah terletak pada siswa yang kurang termotivasi
untuk belajar menjadikan enggan untuk berpikir kritis dan kreatif sehingga akan
kesulitan mengikuti proses kegiatan Problem Based Learning. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pengembangan penelitian tentang Problem Based Learning
lebih lanjut agar dapat ditemukan solusi untuk mengatasi beberapa kelemahan
yang telah diuraikan tersebut. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Eni
Wulandari dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama
menggunakan model Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar
IPA. Perbedaannya terletak pada pengukuran tingkat keberhasilan penelitian dan
subjek penelitian dimana penelitian yang dilakukan oleh Eni Wulandari
pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan perolehan skor
rata-rata antar siklus dan subjek penelitian pada siswa kelas 5, sedangkan dalam
penelitian ini pengukuran tingkat keberhasilannya menggunakan perbandingan
persentase ketuntasan hasil belajar antar siklus dan subjek penelitian pada siswa
kelas 4.
2.3. Kerangka Pikir
Pembelajaran IPA yang berlangsung selama ini adalah pembelajaran yang
berpusat pada guru (teacher centered). Guru mendominasi seluruh waktu
pembelajaran dengan menyampaikan materi pelajaran IPA melalui ceramah tanpa
25
diselingi dengan tindakan yang mampu memotivasi siswa untuk belajar. Respon
siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan guru adalah hanya sekedar duduk
diam mendengarkan, mengantuk, sehingga siswa cenderung menjadi pasif dan
merasa jenuh ketika pembelajaran. Padahal dalam karakteristik IPA itu sendiri,
pembelajaran IPA seharusnya tidak hanya berupa penguasaan pengetahuan seperti
fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan
dengan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan. Kondisi ini berimbas pada hasil
belajar siswa yang memperoleh hasil belajar dengan skor di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimal yaitu 70.
Perubahan paradigma pembelajaran menuntut siswa aktif, agar kompetensi
yang diharapkan dalam KTSP 2006 dapat tercapai. Suatu pembelajaran akan
efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri secara langsung dalam
proses pembelajaran. Siswa diharapkan dapat menemukan sendiri atau memahami
sendiri konsep yang telah diajarkan yaitu dengan terbiasa untuk selalu ingin tahu,
berpikir kritis, kreatif, dan analitis terhadap materi yang sedang dipelajari. Dari
beberapa masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu kiranya diterapkan
sebuah alternatif sebagai solusi pemecahan masalah yang selama ini sering terjadi
dalam kegiatan pembelajaran khususnya pada pembelajaran mata pelajaran IPA.
Alternatif pemecahan masalah yang sering terjadi ini dapat diatasi melalui
pelaksanaan penelitian tindakan kelas. Dengan adanya sebuah penelitian, maka
akan membantu para guru khususnya dalam mencari solusi yang tepat untuk
meningkatkan hasil belajar siswa melalui penggunaan pembelajaran yang inovatif.
Hal ini dimaksudkan agar siswadapat merasa tertantang dan tertarik mengikuti
kegiatan belajar mengajar sehingga siswa dapat lebih memahami pembelajaran
yang diberikan karena siswa mengalami atau menemukan sendiri pengetahuan
yang mereka pelajari.
Pembelajaran inovatif yang digunakan untuk penelitian upaya meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA adalah model Problem Based
Learning. Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang
menghadapkan siswa pada masalah nyata (real world) untuk memulai
pembelajaran dan merupakan salah satu modeli pembelajaran inovatif yang dapat
26
memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa sehingga siswa dapat belajar untuk
berpikir kritis, kreatif, dan analitis dalam mencari solusi pemecahannya secara
berkelompok.
Model Problem Based Learning memiliki tahap-tahap pembelajaran yang
diantaranya meliputi : orientasi tentang masalah, mengorganisasikan siswa untuk
mandiri, membantu investigasi mandiri dan kelompok, mengembangkan dan
mempresentasikan hasil, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah. Jadi, model Problem Based Learning ini sesuai dengan karakteristik IPA
karena sama-sama bertujuan agar para siswa terbiasa melakukan sebuah
penemuan secara ilmiah. Dari kebiasaan menemukan inilah, yang pada akhirnya
membuat rasa keingintahuan siswa menjadi semakin meningkat, dan tingkat
kemampuan berpikir kritis, kreatif, analitis siswa juga menjadi semakin terasah,
sehingga mengakibatkan siswa menjadi semakin terampil dan tidak merasa
kesulitan dalam menghadapi atau memecahkan suatu permasalahan baik dalam
bentuk tes formatif sebagai tahap awal ataupun permasalahan yang lebih
kompleks seperti permasalahan yang sering terjadi dikehidupan sehari-hari siswa.
Alasan yang melatarbelakangi pemilihan materi Sumber Daya Alam (SDA)
untuk penerapan model Problem Based Learning dalam penelitian ini adalah
karena dalam materi SDA banyak terdapat masalah-masalah yang sangat
berkaitan erat dengan situasi kehidupan nyata siswa. Hal ini sesuai dengan
karakteristik model Problem Based Learning yang diawali dengan pengajuan
masalah nyata (autentic) sebagai awal pembelajarannya untuk dicari solusi
pemecahan masalahnya.
Adapun alur kerangka pemikiran yang ditujukan untuk mengarahkan
jalannya penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok yang dijadikan
sebagai permasalahan, maka kerangka pemikiran sebaiknya dilukiskan dalam
sebuah gambar skema agar penelitian mempunyai gambaran yang jelas dalam
melakukan sebuah penelitian. Adapun skema itu adalah sebagai berikut.
27
Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir mengenai Peningkatan Hasil Belajar IPA tentangSumber Daya Alam (SDA) melalui Model Problem Based Learningpada Kelas 4 SDN 6 Depok Kecamatan Toroh Kabupaten GroboganSemester II Tahun 2012/2013
IndikatorPengukuran
Tersusunnya kesimpulan mengenaisolusi untuk mengatasi
permasalahan tentang SDA diIndonesia. Misalnya menghemat
penggunaan SDA sebijak mungkin.renewable.
Teridentifikasinya masalahyang berkaitan dengan SDA
di Indonesia
Adanya data yang berkaitandengan SDA di Indonesia
Terumuskannya hipotesistentang solusi untuk
mengatasi permasalahanyang berkaitan SDA di
Indonesia.
Adanya hasil survei untukmembuktikan bahwa menghemat
penggunaan SDA sebijak mungkindapat mengatasi terjadinya
permasalahan yang berkaitandengan SDA di Indonesia.
Adanya hasil penyelidikanmengenai permasalahan
tentang SDA di Indonesia.
Mengidentifikasi masalahyang berkaitan dengan SDA
di Indonesia
Mengumpulkan data yangberkaitan dengan SDA di
Indonesia
Menyusun hipotesis untukmengatasi permasalahan
tentang SDA di Indonesia
Melakukan penyelidikanmengenai permasalahan
tentang SDA di Indonesia
Menyimpulkan solusialternatif untuk mengatasi
permasalahan tentang SDA diIndonesia.
Melakukan pengujian hasil(solusi) pemecahan masalahdalam mengatasi terjadinya
permasalahan tentang SDA diIndonesia.
Terbentuk kelompok(@kelompok 4-6 siswa)
Mengorganisasikansiswa untuk mandiri
Membantu investigasimandiri dan kelompok
Mengembangkan danmempresentasikan
hasil
Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
Menyimak materi
Hasil belajar IPAtentang SDA
meningkat di atasKKM.
PenilaianProses
PenilaianHasil
Tes Formatif
70,82% hasil belajarIPA tentang SDA masihdibawah KKM yaitu 70.
PembelajaranKonvensional (TeacherCenter) tentang SDA.
ModelPBL
Orientasi tentangmasalah
Penyampaian tujuan pembelajaran danpemberian masalah.
Belajar bersama-samabaik dalam diskusiataupun presentasi
28
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut:
“Pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar IPA
tentang Sumber Daya Alam siswa kelas 4 SD Negeri 6 Depok Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan Semester II Tahun 2012/2013".