bab ii kajian pustaka dan landasan teorieprints.umm.ac.id/48808/3/bab ii.pdf · 2019. 8. 14. ·...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan bagi penulis
untuk melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori
yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari
beberapa sumber penelitian terdahulu peneliti tidak menemukan judul
yang sama seperti pada judul penelitian penulis. Penulis mengangkat
beberapa penelitian terdahulu sebagai referensi atau tambahan informasi
dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut adalah
beberapa penelitian terdahulu yang berupa jurnal terkait dengan
penelitian yang dilakukan penulis.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Hasil Penelitian Relevansi
1 “Evaluasi
Pelaksanaan
Program
Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM) Mandiri
Di Kecamatan
Siak Hulu
Kabupaten
Kampar” Jurnal
Online
Mahasiswa 2014
oleh Fitriani dan
Zaili Rusli.
Hasil penelitian
yang diperoleh yaitu
Program Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM) di
Kecamatan Hulu
Kabupaten Kampar
dengan
menggunakan alat
ukur evaluasi yang
terdiri dari input,
proses kebijakan,
output, outcome,
impact dan
feedback “tidak
berhasil” karena
tidak tercapainya
semua indicator
yang telah
Persamaan :
Penelitian yang akan
digunakan dalam
penelitian ini yaitu sama-
sama mengevaluasi sebuah
program dan yang
digunakan sebagai alat
ukur evaluasi terdiri
daricontext, input,prosess,
product.
Perbedaan :
Penelitian yang ditulis
oleh Fitriani dan Zaili
Rusli adalah untuk
mengevaluasi Pelaksanaan
Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) sedangkan yang
dilakukan pada penelitian
ini yaitu untuk
21
ditentukan. mengevaluasi pengelolaan
E-Warong bagi penerima
Program Keluarga
Harapan di Kota Batu
2 “Efektivitas dan
Perspektif
Pelaksanaan
Program Beras
Sejahtera
(RASTRA) dan
Bantuan Pangan
Non-Tunai
(BPNT)” Jurnal
Analisis
Kebijakan
Pertanian 2018
oleh Beny
Rachman, Adang
Agustian,
Wahyudi
Penelitian ini
bertujuan untuk
mengkaji efektifitas
pelaksanaan Rastra
dan BPNT (aspek
6T:Tepat Sasaran,
Tepat Jumlah, Tepat
Harga, Tepat
Waktu, Tepat
kualitas, Tepat
Administras) dan
yang menjadi
penerima program
Rastra dan BPNT
adalah Kelurga
Penerima Manfaat
yang termasuk
dalam kategori
sangat miskin
(termasuk penerima
Program PKH)
Persamaan :
Yang menjadi penerima
dalam program ini adalah
keluarga miskin yaitu
keluarga penerima manfaat
(KPM) yang termasuk
dalam
Program Keluarga
Harapan
Perbedaan :
Penelitian yang dilakukan
Rachman, dkk yaitu
melihat efektifitas dan
perspektif pelaksanaan
program beras sejahtera
(Rastra) dan bantuan
pangan non tunai (BPNT)
sedangkan yang dilakukan
pada penelitian ini adalah
evaluasi pengelolaan E-
Warong kube bagi
penerima program
keluarga harapan di Kota
Batu
3 “Implementasi
Program E-
Warong Kube
Srikandi di Kota
Malang Tahun
2017” Jurnal
Ilmu
Pemerintahan
2018 oleh Indira
Hasil dari penelitian
ini adalah
implementasi
program pada E-
Warong Kube
“Srikandi” masih
belum optimal
karena masih
terdapat
Persamaan :
Penelitian ini sama-sama
mengkaji tentangElektonik
warong gotong royong
kelompok usaha bersama
(E-Warong Kube)
Perbedaan :
Penelitian ini melihat
bagaimana
22
Putri Pramesti,
Alifiulahtin
Utaminingsih,
Restu Kalina
Rahayu.
pelaksanaan yang
tidak sesuai
pendekatan top-
down model
implementasi dari
Daniel Mazmanian
dan Paul A.
pengimplementasian
program E-Warong Kube
Srikandi yang ada di Kota
Malang sedangkan
penelitian yang akan
dilakukan yaitu untuk
melihat bagaimana
evaluasi pengelolaan E-
Warong kube Melati dan
E-Warong Kube Harapan
yang berada di Kota Batu.
4 “Peran Dinas
Sosial Dalam
Pelaksanaan
Pemberdayaan
Masyarakat
Miskin Melalui
Program
Elektronik
Warung
Kelompok Usaha
Bersama Program
Keluarga
Harapan” Jurnal
Ilmu Soisal dan
Ilmu Politik
2018, oleh
Antonius
Richardo Ratu Da
Costa, Ignatius
Adiwidjaja
Hasil penelitian ini
ditemukan bahwa
Peran Dinas Sosial
dalam pelaksanaan
pemberdayaan
masyarakat miskin
melalui program E-
Warong Kube PKH
di Kota Malang
sudah cukup baik
yang mana Dinas
Sosial telah
memberikan
pendampingan dan
pelatihan kepada
masyarakat
pengelola elektronik
warung, masyarakat
mampu mandiri
dalam pengelolaan
bantuan dan
penggunaan-
pengguanaan kartu
ATM dan
Electronic Data
Capture (EDC) ,
pemecahan masalah
dilakukan
berdasarkan
kesepakatan dan
pemahaman
kebutuhsan anggota
warung.
Persamaan :
Dinas Sosial di Kota Batu
juga melaksanakan
pemberdayaan masyarakat
miskin melalui Program E-
Warong Kube dalam
memberikan
pendampingan dan
pelatihan kepada
masyarakat yang menjadi
pengelola E-warong
Perbedaan :
Pada penelitian yang
dilakukan oleh Antonius
Richardo, Ratu Da Costa,
Ignatius Adiwidjaja ini
melihat peran Dinas Sosial
Dalam Pelaksanaan
Pemberdayaan Masyarakat
miskin melalui program
elektronik warung
kelompok usaha bersama
program keluarga harapan
sedangkan penelitian yang
akan dilakukan
padapenelitian ini lebih
berfokus pada evaluasi
pengelolaan E-Warong
bagi penerima program
keluarga Harapan di Kota
Batu.
23
5 “Jaringan Sosial
E-Warong Kube
dan PKH dalam
Hal Penaganan
Kemiskinan Pada
E-Warong
Cahaya Dini Kota
Pekanbaru”
Jurnal Sosio
Informa 2018
oleh Ayu Diah
Amalia
Penelitian ini
membahas skema
penanganan
kemiskinan yang
dilaksanakan oleh
Kementrian Sosial
melalui program E-
Warong dari sudut
pandang sosiologis.
Khususnya
mengenai jaringan
sosial yang
terbentuk dalam
upaya penanganan
kemiskinan.
Persamaan :
Penelitian ini sama-sama
mengkaji tentang
elektronik warung gotong
royong (E-Warong)
program dari Kementrian
Sosial
Perbedaan :
Pada penelitian yang
sudah dilakukan oleh Ayu
Diah Amalia disini
membahas tentang
jaringan sosial yang
terbentuk dalam
penanganan kemiskinan
sedangkan penelitian yang
akan penulis lakukan
berbeda dengan penelitian
sebelumnya mengenai
tempat dan kajian yang
akan diangkat. Disini
penulis akan mengkaji
tentang evalusi
pengelolaan E-Warong
bagi penerima program
keluarga harapan di Kota
Batu.
2.2 Tinjauan Pusataka
2.2.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi program merupakan proses penetapan secara sistematis
tentang nilai, tujuan, efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan
kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Arikunto dan
Jabar, 2004). Evaluasi program adalah langkah awal dalam supervisi,
yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan
pemberian pembinaan yang tepat pula (Arikunto, 2008:29).
24
Evaluasi program lebih berpusat pada manusia (people centered)
yang terlibat dalam dan terkait dengan program. Sasaran atau subjek
yang dievaluasi, atau yang menjadi sumber data, pada umumnya
adalah manusia. Kendati yang di evaluasi adalah lembaga
penyelenggara atau pelaksanaan program, yang menjadi responden
dalam evaluasi tersebut adalah orang-orang yang menyelenggarakan,
mengelola, dan melaksanakan program, atau masyarakat yang terkena
dampak program pendidikan dari luar sekolah (Sudjana, 2008:31).
Evaluasi merupakan bagian dari desain perencanaan dan biasanya
digandengkan dengan kata monitoring sehingga menjadi satu tahap:
monitoring dan evaluasi (Monev) (Sardjo, 2017: 14).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan
sebuah kegiatan diawali dengan mengukur dan menilai dengan tujuan
untuk melihat efektifitas dan keberhasilan dalam sebuah program. Dari
adanya evaluasi ini hendaknya dapat membantu untuk menemukan
permasalahan dan dapat memberikan solusi untuk perbaikan dari
sebuah program tersebut.
Untuk mendapatkan data dan informasi yang obyektif dan
lengkap, evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan teknik: 1).
Memperlajari dokumen dan laporan tertulis, 2). Wawancara dengan
menggunakan informan, 3). Observasi (pengamatan) secara langsung
(Hariwoeryanto 1987:87)
25
Tujuan evaluasi berfungsi sebagai pengarah kegiatan evaluasi
program dan sebagai acuan untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas
kegiatan evaluasi program. Tujuan evaluasi program terdiri dari 1)
Memberi masukan untuk perencanaan program, 2) Memberi masukan
untuk kelanjutan, perluasan, dan penghentian program, 3) Memberi
masukan untuk memodifikasi program, 4) Memperoleh informasi
tentang faktor pendukung dan penghambat program, 5) Memberi
masukan untuk motivasi dan pembinaan pengelola dan pelaksanaan
program, 6) Memberikan masukan untuk memahami landasan
keilmuwan bagi evaluasi program (Sudjana, 2008:35-46).
2.2.2 Prinsip-Prinsip Evaluasi
Untuk memperoleh hasil evaluasi yang lebih baik, maka kegiatan
evaluasi maka harus bertitik dari prinsip-prinsip. Menurut
Khusnuridho (2010), prinsip-prinsip evaluasi terdiri dari:
1. Komprehensif
Evaluasi harus mencangkup bidang sasaran yang luas atau
menyeluruh, baik aspek personalnya, materialnya, maupun aspek
operasionalnya. Evaluasi bukan hanya ditujukan pada satu aspek
saja. Misalnya aspek personalnya, jangan menilai gurunya saja,
tetapi juga murid karyawan dan kepala sekolahnya. Begitu pula
untuk aspek material dan operationalnya. Evaluasi harus dilakukan
secara menyeluruh.
26
2. Komparatif
Prinsip itu menyatakan bahwa dalam mengadakan evaluasi
harus dilaksanakan secara bekerjasama dengan semua
orang.sebagai vontoh dalam mengevaluasi keberhasilan guru itu
sendiri, dan bahkan dengan pihak murid. Dengan melibatkan
semua pihakdiharapkan dapat mencapai keobyektifan dalam
mengevaluasi.
3. Kontinyu
Evaluasi hendaknya dilakukan secara terus menerus selama
proses pelaksanaan program. Evaluasi bukan hanya dilakukan
terhadap hasil yang telah dicapai, tetapi sejak pembuatan rencana
sampai dengan tahap laporan. Hal ini penting dimaksudkan untuk
selalu dapat memonitor setiap saat atas keberhasilan yang telah
dicapai dalam periode waktu tertentu. Aktivitas yang berhasil
diusahakan terjadi peningkatan, sedangkan aktivitas yang gagal
dicari jalan lain untuk mencapai keberhasilan.
4. Obyektif
Mengadkan evaluasi harus menilai sesuatu dengan
kenyataan yang ada. katakanlah yang hijau itu hijau dan yang
merah itu merah. Jangan sampai mengatakan yang hijau itu kuning
dan yang kuning itu hijau. Sebagai contoh, apabila seorang guru itu
sukses dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru ini sukses,
dan sebaliknya jika guru ini itu kurang berhasil dalam mengajar,
maka katakanlah bahwa guru itu kurang berhasil. Untuk mencapai
27
keobyektifan dalam evaluasi perluadanya data dan fakta. Dari data
dan fakta inilah dapat mengolah untuk kemudian diambil suatu
kesimpulan. Makin lengkap data dan fakta yang dapat
dikumpulkan maka makin obyektiflah evaluasi yang dilakukan.
5. Berdasarkan kriteria yang valid
Selain perlu adanya data dan fakta, juga perlu adanya
kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam evaluasi
harus konsisten dengan tujuan yang telah dirumuskan. Kriteria ini
digunakan agar memiliki standar yang jelas apabila menilai suatu
aktivitas supervise pendidikan. Kekonsistenan kriteria yang dibuat
harus mempertimbangkan hakikat substansi supervise pendidikan.
6. Fungsional
Evaluasi memiliki niali guna baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kegunaan langsungnya adalah dapatnya hasil
evaluasi digunakan untuk perbaikan apa yang dievaluasi.
Sedangakn kegunaan tidak langsungnya adalah hasil evaluasi itu
dimanfaatkan untuk penelitian atau untuk keperluan yang lainnya.
2.2.3 Model Evaluasi
Pengambilan Model evaluasi, biasanya terdapat banyak
macam-macam model yang ditawarkan. Model-model evalusi dalam
setiap kategori mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing
yang perlu dipertimbangkan. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input,
Prosess, and Product).(Sudjana, 2008:52). Alasan dari pengambilan
28
model ini karena dari keempat kata yang disebutkan tadi merupakan
sasaran evaluasi, yaitu komponen dan proses sebuah program kegiatan.
Sebelum melakukan penelitian, penulis menentukan indikator
yang digunakan dalam penelitian. Dalam penyusunan indikator
diperlukan pemahaman yang baik mengenai program kegiatan,
tujuannya, sumberdaya yang tersedia, ruang lingkup, kegiatan, dan lain
sebagainya.
1. Evaluasi Konteks(Context)
Evaluasi konteks adalah kegiatan mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang akan
dilaksanakan. Evaluasi konteks berusaha mengevaluasi secara
keseluruhan, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan obyek tertentu.
Dengan kata lain evaluasi konteks berhubungan dengan analisis
masalah kekuatan dan kelemahan obyek yang akan atau sedang
berjalan. Evaluasi konteks memberi informasi bagi pengambil
keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan dilakukan.
2. Evaluasi Masukan (Input)
Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan dengan
bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, cara yang harus
dipertimbangkan untuk mencapai suatu program. Evaluasi ini
mencangkup identifikasi dan menilai kapabilitas sistem, stategi untuk
pembuatan kebijakan, pembiayaan, dan penjadwalan program.
29
3. Evaluasi Proses (Prosess)
Evaluasi proses adalah mengecek pelaksanaan suatu rencana/
program. Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dirancang dan
diaplikasikan dalam praktik implementasi kegaitan. Evaluasi program
menyediakan umpan balik yang berkenaan dengan efisien pelaksanaan
program, termasuk di dalamnya mengidentifikasi permasalahan
prosedur baik pengaruh sistem dan tatalaksana kejadian dan aktivitas.
Evaluasi proses meliputi koleksi dan penilaian yang telah ditentukan
dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program.
4. Evaluasi Produk(Product)
Tujuan dari evaluasi produk adalah untuk mengukur, menafsirkan,
dan menetapkan, pencapaian hasil dari sebuah program selama
pelaksanaan program dan pada akhir program. Fungsi dari evaluasi
produk adalah catatan penilaian yang dilakukan untuk mengukur
keberhasilan dalam pencapaian tujuan. Pengukuran dikembangkan dan
diadministrasikan secara cermat dan teliti. Keakuratan analisis akan
menjadi bahan penarikan kesimpulan. (Sudjana, 2008, 54-56).
2.2.4 Tujuan dan Kegunaan Evaluasi
Setelah mengkaji dari literatur di atas, Adapun yang menjadi tujuan
evaluasi program menurut peneliti yaitu sebagai berikut:
1. Melihat sejauh mana tujuan telah dicapai
2. Apakah program yang dilakukan berguna bagi sasaran yang dituju
30
2.2.5 Pengelolaan
Pengelolaan merupakan dari kata “management” terbawa oleh
derasnya arus penambahan kata pungut ke dalam bahasa Indonesia,
istilah inggris tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen.
Manajemen berasal dari kata to manager yang artinya mengatur,
pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan
dari fungsi-fungsi managemen. Dalam proses pelaksanaanya,
managemen mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Tugas-
tugas tersebut biasa disebut dengan fungsi managemen. Fungsi
managemen ada empat, yang dimana dalam dunia managemen dikenal
sebagai POAC yaitu planning (perencanaan),
organizing(pengorganisasian), actuating (penggerakan atau
pengarahan), dan controlling (pengendalian) (Djuroto, 2004:96).
Dalam kamus Bahasa Indonesia Lengkap disebutkan bahwa
pengelolaan adalah proses atau cara perbuatan mengelola atau proses
melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain,
proses yang membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi
atau proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan
(Daryanto, 1997:348).
31
2.2.6 Fungsi-Fungsi Managemen
Adapun penjelasan dari fungsi-fungsi tersebut adalah : (Zanah,2016:
159)
1. Perencanaan (Planning)
Keseluruhan proses perkiraan dan penentuan secara matang
hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang akan datang dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara sederhana
perencanaan merupakan suatu proses perumusan tentang apa
yang akan dilakukan dan bagaiamana pelaksanaannya. tanpa
fungsi perencanaan, tidak ada runtutan kejelasan dalam mencapai
tujuan organisasi.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Merupakan suatu proses pengaturan keseluruhan
sumberdaya dalam sebuah organisasi. Pengaturan itu
mencangkup pembagian tugas, alat-alat, sumber daya manusia,
wewenang, dan sebagainya untuk menghindari kesimpangsiuran
dalam pelaksanaan kegiatan.
3. Penggerakan (Actuating)
Penggerakan dilakukan setelah fungsi perencanaan. Agar
pelaksanaan berjalan sesuai dengan perencanaan maka sangat
ditekankan pada bagaiamana cara/strategi seorang pemimpin
dalam menggerakkan anggotanya. Hal ini sangat penting untuk
menghindari agar anggota tidak melaksanakan tugasnya di bawah
32
tekanan atau paksaan melainkan atas dasar pilihan sadar dan
penuh rasa tanggung jawab.
4. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah proses untuk mengawasi secara terus
menerus kegiatan dalam melaksanakan rencana kerja yang sudah
disusun dan mengadakan perbaikan jika terjadi penyimpangan.
Fungsi pengawasan sangat penting tanpa adanya pengawasan
maka fungsi-fungsi yang lainnya tidak akan berjalan efektif dan
efisien.
2.2.7 E-Warong Kube
E-Warong KUBE-PKHadalah program dari kementerian sosial
yang bertujuan untuk membantu pengentasan kemiskinan disetiap
daerah, dan untuk meringankan beban pengeluaran bagi keluarga
miskin. E-Warong ini merupakan tindak lanjut dari upaya pengentasan
kemiskinan melalui program keluarga harapan (PKH) dengan program
kelompok usaha bersama (Kube).
E-Warong KUBE-PKH adalah sarana usaha yang didirikan oleh
KUBE di bidang jasa sebagai sarana pencairan bantuan sosial non-
tunai berupa bahan pangan pokok dan/atau uang tunai secara
elektronik, kebutuhan usaha, serta pemasaran hasil produksi anggota
KUBE yang dikelola secara gotong-royong dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan teknologi. (Kementrian Sosial RI, 2017). E-
Warong Kube merupakan warung sembako biasa namun dalam proses
transaksinya berbeda. Transaksi yang digunakan dalam pembayaran,
33
selain menggunakan uang tunai juga menggunakan non-tunai atau
elektronik sesuai dengan arahan Presiden.
Dalam transaksi non tunai E-Warong menggunakan jaringan
internet karena dalam transaksi yang digunakan tersebut menggunakan
mesin EDC (Electronic Data Capture). E-Warong adalah agen bank,
pedagang dan/atau pihak lain yang telah bekerja sama dengan Bank
Penyalur dan ditentukan sebagai tempat untuk penarikan/pembelian
Bantuan Sosial oleh Penerima Bantuan oleh Bank Penyalur.
Fungsi E-Warong Kube dapat melayani 4 hal yaitu: (1)
Pelayanan jasa pencairan bantuan sosial non-tunai, (2) Penyediaan
kebutuhan-kebutuhan pokok warga masyarakat lingkungan sekitarnya,
(3) Pemasaran hasil produksi penerima bantuan, (4) Penarikan bantuan
sosial secara tunai oleh penerima manfaat (Kemensos RI, 2017:12).
E-Warong merupakan penyaluran bantuan sosial dan subsidi
yang diberikan oleh pemerintah dengan melalui sistem perbankan. Jadi
dalam hal ini masyarakat yang menerima bantuan atau keluarga
penerima manfaat (KPM) mendapatkan bantuan secara non-tunai
dengan cara dana bantuan tersebut dikirim kepada rekening masing-
masing bagi penerima manfaat. Kemudian dana tersebut dapat
dicairkan di E-Warong Kube yang sudah dikelola oleh sekelompok
anggota penerima manfaat.
Pencairan bantuan sosial non-tunai berupa bahan pangan pokok
secara elektronik yang ditujukan bagi penerima manfaat yang berupa
beras dan telor. Penyediaan bahan-bahan tersebut dilakukan melalui
34
kerjasama Kementrerian Sosial dengan Perum Bulog atau badan usaha
yang menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha untuk penyediaan
bahan pokok. Dalam transaksi ini harga sudah ditetapkan dan hanya
bisa dibayar melalui transaksi elektronik yang menggunakan kartu
kelurga sejahtera (KKS). Selain pembelian secara non-tunai atau
secara elektronik, masyarakat sekitar juga bisa melakukan pembelian
di E-Warong secara tunai.
Pada setiap Elektronik warung gotong-royong (E-Warong)
menerima total dana bantuan sebesar Rp.30.000.000 (Tiga Puluh Juta
Rupiah) dengan rincian Rp.20.000.000 (Dua Puluh Juta Rupiah)
sebagai modal usaha dan modal kerja. Uang tersebut bisa digunakan
untuk pemanfaat bantuan permodalan seperti pembelian bahan pangan
pokok dan modal kerja pendukung usaha sesuai dengan prioritas
seperti: listrik, layanan internet, timbangan dan lain-lain. Bantuan
sosial sebesar Rp.10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) dapat digunakan
untuk perbaikan ruangan, pengadaan lemari etalase, dan rak tempat
barang. Dalam pengelolaan E-Warong sendiri terdapat 10 anggota
dengan 1 orang pendamping/penyelia.
2.2.7 Program Keluarga Harapan (PKH)
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran
Bantuan Sosial Secara Non Tunai menjelaskan bahwa penyaluran
bantuan sosial merupakan implementasi program penanggulangan
kemiskinan yang meliputi perlindungan sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, dan pelayanan dasar.
35
Penyaluran bantuan sosial secara non tunai dilaksanakan terhadap
bantuan sosial yang diberikan dalam bentuk uang berdasarkan
penetapan Pemberi Bantuan Sosial. Mekanisme penyaluran bantuan
melalui Bank atas nama penerima bantuan sosial dan dapat
digunakannya untuk masing-masing program bantuan sosial. Rekening
tersebut memiliki fitur uang elektronik dan tabungan yang dapat
diakses melalui kartu combo (Kartu Keluarga Sejahtera).
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2018 tentang Program Keluarga Harapan ditetapkan untuk mendukung
pelaksanaan penyaluran program perlindungan sosial yang terencana,
terarah, dan berkelanjutan dalam bentuk Program Keluarga Harapan
(PKH) sebagai bantuan sosial bersyarat yang bertujuan untuk
mengurangi beban penyaluran bantuan sosial PKH sebagai salah satu
upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan dengan mendukung
perbaikan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan sosial guna meningkatkan kualitas hidup keluarga
miskin dan rentan. (Petunjuk Teknis, 2018:3).
Program keluarga harapan yang selanjutnya disebut PKH adalah
program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga dan/ atau
seseorang miskin dan rentan yang terdaftar dalam data terpadu
program penanganan fakir miskin yang ditetapkan sebagai keluarga
penerima manfaat PKH, yang dalam istilah internasional dikenal
dengan Conditional Cash Transfers (CCT). PKH adalah program
perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah
36
Tangga Sangat Miskin (RTSM). Bagi anggota keluarga RTSM
diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang terkait
dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM)
(Bambang, 2018:99).
2.2.7.1 Tujuan PKH
Tujuan dari PKH adalah untuk mengurangi angka dan
memutus mata rantai kemiskinan, meningkatkan taraf hidup keluarga
penerima manfaat melalui akses layanan pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan sosial mengurangi beban pengeluaran dan meningkatakn
pendapatan keluarga miskin dan rentan, menciptakan perubahan
perilaku dan kemandirian terhadap keluarga penerima manfaat dalam
mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kesejahteraan
sosial (Tulung, 2011:18).
2.2.7.2 Penerima Manfaat
Keluarga yang menjadi Penerima Manfaat PKH adalah
keluarga miskin berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) yang
memenuhi satu kriteria sebagai berikut:
1. Komponen kesehatan meliputi:
a. Ibu hamil/menyusui
b. Anak berusia 0 sampai dengan 6 tahun
2. Komponen Pendidikan meliputi:
a. Anak sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah atau sederajat
b. Anak sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah atau
sederajat
37
c. Anak sekolah menengah atas/madrasah aliyah atau sederajat
d. Anak usia 6 tahun samapi 21 tahun yang belum menyelesaikan
wajib belajar 12 tahun
3. Komponen Kesejahteraan Sosial
a. Lanjut usia mulai dari 60 tahun
b. Penyandang disabilitas diutamakan penyandang disabilitas berat
(Petunjuk Teknis, 2018:4)
Penguatan PKH dilakukan dengan melakukan penyempurnaan
proses perluasan target, dan penguatan program komplementer, harus
dipastikan bahwa keluarga penerima manfaat (KPM) PKH
mendapatkan subsisdi BPNT, jaminan sosial KIS, KIP, bantuan
Rutilahu, pemberdayaan melalui KUBE termasuk berbagai program
perlindungan dan pemberdayaan sosial lainnnya, agar keluarga miskin
segera keluar dari kungkungan kemiskinan dan lebih sejahtera.
2.2.7.3 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalahan dalam pembangunan yang
meliputi berbagai aspek dalam kehidupan manusia, yakni aspek sosial,
ekonomi, dan budaya (Sumodinigrat, 1998: 26). Kemiskinan adalah
suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomis dalam memenuhi
standar kebutuhan dasar rata-rata pada suatu daerah. Kondisi
ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa bahan
sandang, pangan, maupun papan (Kuncoro, 2002: 112).
38
Kemiskinan merupakan istilah yang menyatakan tidak adanya
kenikmatan hidup dan persediaan kebutuhan tidak seimbang. Istilah ini
didefinisikan sebagai suatu titik kehilangan untuk pemeliharaan
efisiensi secara fisik (Rochaety, 2007: 185). Kemiskinan memiliki 4
bentuk yaitu:
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana pendapatan
seseorang atau sekelompok orang berada digaris kemiskinan.
Sehingga kurang mencukupi untuk kebutuhan standar untuk
sandang, pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif diartikan sebagai bentuk kemiskinan terjadi
karena adanya pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
menjangkau keseluruhan lapisan masyarakat sehingga
menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan atau ketimpangan
standar kesejahteraan.
3. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan yang mengacu kepada sikap, gaya hidup, nilai,
orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak
sejalan dengan etos kemajuan masyarakat modern.
4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terbentuk
sebagai akibat adanya kelangkaan sumber daya yang pada umunya
39
terjadi pada suatu tatanan sosial budaya ataupun sosial politik yang
kurang mendukung adanya pemberantasan kemiskinan. (Todaro,
2003: 247)
2.2.7.4 Masyarakat Miskin
Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik
masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sarana dan prasarana
lingkungan yang memadai. Dengan kualitas perumahan dan
pemukiman yang jauh di bawah standart kelayakan serta mata
pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh multidimensi,
yaitu dimensi politik, dimensi sosial, dimensi lingkungan. Dimensi
ekonomi dan dimensi asset (Suparyanto, 2011).
2.3 Landasan Teori
Rasionalitas Max Weber
Menurut Max Weber rasionalitas sebagai dasar terjadinya
perubahan sosial. Rasionalitas terbentuk karena masyarakat barat pada
waktu itu memiliki kondisi sosial budaya khusunya dalam segi pemikiran
yang mulai bergeser dari yang berfikir non rasional menjadi pemikiran
rasional (Holifah, 2015). Rasionalitas merupakan konsep dasar yang
digunakan dalam pengelompokan mengenai tipe-tipe tindakan sosial.
Tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan cara berfikir atau
cara pandang seseorang dimana mereka meyakini tindakan yang mereka
lakukan.
40
Weber membagi tindakan tersebut menjadi 4 jenis yaitu: tindakan
rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan
tradisional, dan tindakan afektif (Jhonson, 1988:219-222).
1. Tindakan rasionalitas instrumental
Tingkat rasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan
pilihan yang sadar. Berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat
yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai
memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas
dasar kriterium menentukan satu pilihan diantara tujuan-tujuan yang
saling bersaing. Individu lalu menilai alat yang mungkin dapat
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini mungkin
mencangkup pengumpulan informasi, mencatat kemungkinan
hambatan yang terdapat dalam lingkungan dan mencoba untuk
meramalkan konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif dari
tindakan itu. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas efisiensi dan
efektivitasnya.
2. Tindakan rasionalitas berorientasi nilai
Rasionalitas berorientasi nilai adalah bahwa alat-alat hanya obyek
dari pertimbangan dan perhitungan dasar. Tujuan-tujuannya sudah ada
dalam hubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau
merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat non rasional
dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara
obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi,
komitmen terhadap nilai-nilaiyang sedemikian sehingga pertimbangan-
41
pertimbangan rasional mengenai kegunaan(Utility),efisiensi dan
sebagainya tidak relevan. Juga orang tidak memperhitungkannya
(kalau nilai-nilai itu benarbersifat absolut) dibandingkan dengan nilai-
nilai alternatif. Individu mempertimbangkan alat untuk mencapai nilai
seperti itu.
3. Tindakan tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat
nonrasional. Seorang individu memperlihatkan perilaku karena
kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Perilaku seperti
itu di golongkan pada tindakan tradisional. Individu akan
membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta dengan
hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu
merupakan kebiasaan baginya. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini
sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental.
4. Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi oleh perasaaan emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan yang sadar. Tindakan afektif benar-benar
tidak rasioanal karena kurangnya pertimbangan logis, ideology atau
kriteria rasionalitas lainnya.
Teori Kontigensi Lawren dan Lorsch
Contigent dalam bahasa latin contingere (meraba/menyentuh
seluruh bagian, terjadi) dari (con) dengan dan tingere (meraba). Dalam
etimologi, kontingen merujuk pada pengetahuan yang dicapai dengan cara-
cara empiris (sebagai lawan dari cara-cara logis) dan karena itu harus
42
dianggap sebagai benar secara propabel. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) kontigensi berarti keadaan yang masih diliputi
ketidakpastian dan berada di luar jangkauan.
Teori Kontigensi struktural atau structural contigensy theory lahir
dari teori managemen klasik. Struktural contigensy theory berkembang
pesat sekitar tahun 1960. Menurut Breeh, 1957 dalam Lex Donaldson,
1995 sampai kira-kira akhir tahun 1950’an, teori struktur organisasi
dinominasi oleh teori managemen klasik, yang menyatakan bahwa ada
satu struktur terbaik bagi organisasi. Perpaduan ini menghasilkan sintesa
bagi teori kontigens/ketidakpastian struktural, dimana struktur yang
terbentuk pada sebuah organisasi akan menjadi terdesentraslisasi atau
sebaliknya menjadi struktur yang lebih partisipatoris adalah bergantung
pada situasi mereka (Roen, 2011).
Lawren dan Lorsch 1967 mengatakan bahwa organisasi dan
lingkungan bagaikan dua sisi mata uang yang saling berhubungan dan tak
dapat dipisahkan, mereka mengemukakan bahwa ketidakpastian dan
perubahan lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan pada
struktur internal organisasi (Manedi, 2011).
C Jarvis dalam (Gundono 2009:89) mengatakan bahwa teori
Kontijensi memusatkan pada proses meminimalisasi risiko dan proses
pembuatan keputusan. Keputusan-keputusan yang dipilih untuk
mengantisipasi kejadian dan perencanaan akan dikejutkan dengan
kejadian-kejadian yang tidak terduga yang mengancam posisi organisasi.
43
Otley, 1980 dalam (Gundono, 2009:90) memberikan kerangka
dasar contingency theory sebagai berikut : 1) faktor kontijensi, 2) Sistem
pengendalian, 3) Variabel intervening, efek organisasi. Kerangka Otley
tersebut sedikit banyak menunjukkan konsistensi dengan pandangan
Lawrence dan Lorsch: bahwa keberhasilan pengelolaan organisasi
(efektivitas) tidak semata-mata tergantung pada tujuan dan cara
pengelolaan oleh managemen, tetapi juga oleh kondisi lingkungan yang
sama sekali di luar kendali perusahaan.
Lawrence dan Lorsch mencoba menyesuaikan lingkungan internal
perusahaan-perusahaan tersebut dengan masing-masing lingkungan
eksternalnya. Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang lebih berhasil
pada masing-masing industri akan mempunyai penyesuaian yang lebih
baik daripada yang kurang berhasil. Ukuran mereka mengenai lingkungan
eksternal mencoba untuk menentukan tingkat ketakpastian. Ukuran
tersebut mencangkup tingkat perubahan dalam lingkungan dari waktu ke
waktu, kejelasan informasi yang dipegang oleh managemen mengenai
lingkungan dan waktu yang dibutuhkan bagi managemen untuk
mendapatkan umpan balik dari lingkungan terhadap aktivitas yang
dilakukan organisasi (Sunarto, 2003:169).
Lawrence dan Lorch mengatakan semakin kacau, kompleks, dan
beraneka ragam lingkungan eksternal yang dihadapi organisasi, semakin
besar pula tingkat diferensiasi diantara sub-subnya. Jika lingkungan
eksternal sangat beraneka ragam dan lingkungan internal sangat
diferensiasi, mereka lebih lanjut berargumentasi bahwa akan terdapat
44
kebutuhan akan suatu mekanisme integrasi yang lebih terinci untuk
menghindari unit-unit tersebut bergerak kea rah yang berbeda-beda
(Sunarto, 2003: 176)
Dari beberapa pandangan mengenai teori kontigensi
bahwasanyannya menekankan tidak ada jaminan sebuah organisasi akan
menemukan cara terbaik untuk beradaptasi dengan lingkungan dan
keberhasilan pengelolaan organisasi tidak semata-mata tergantung pada
tujuan dan cara pengelolaan oleh managemen, tetapi juga oleh kondisi
lingkungan yang sama sekali di luar kendali perusahaan. Oleh karena itu
dibutuhkan evaluasi dalam sebuah organisasi untuk mengevaluasi seberapa
baik kinerja suatu organisasi.