bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas tentang kajian teori yang terdiri dari hakekat
matematika, pembelajaran matematika di sekolah dasar, Problem Based Learning
yang terdiri dari hakekat Problem Based Learning, karakteristik Problem Based
Learning, peran guru dalam pembelajaran Problem Based Learning, dan
Langkah-langkah Problem Based Learning. Hakekat dongeng, dan hasil belajar
yang terdiri dari, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, klasifikasi hasil
belajar, penilain hasil belajar. Hubungan Problem Based Learning, dongeng dan
hasil belajar, kajian penelitian yang relevan, kerangka berfikir dan yang terakhir
adalah hipotesis tindakan.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Matematika
2.1.1.1 Hakikat matematika
Pengertian matematika berasal dari makna katannya matematika berasal
dari bahasa Latin “mathanein” atau “mathema” yang berarti “belajar atau hal
yang dipelajari” sedangkan dalam bahasa Belanda “wiskunde” atau ilmu pasti
yang semuannya berkaitan dengan penalaran. (Depdiknas dalam Ahmad Susanto
2013:184).
Ahmad Susanto (2013:185) menjelaskan matematika merupakan disiplin
ilmu yang melatih siswa untuk berfikir dan berargumentasi guna menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari serta memberikan
kontribusi dalam perkembangan ilmu teknologi.
Kline dalam Mulyono, (2003:252) mengemukakan, bahwa matematika
merupakan bahasa 9 simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar
deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.
Sedangkan pengertian matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dijelaskan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern dan berperan penting dalam berbagai
disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi yang terjadi
dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika dibidang teori bilangan,
7
aljabar, analisis, teori peluang dan matematika distrik. Mata pelajaran matematika
ini membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis
dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerja sama.
Dari beberapa pengertian diatas dapat simpulkan bahwa Matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir bernalar yang
menggunakan cara berfikir deduktif dalam mencari sebuah kebenaran namun
dalam pelaksanaannya juga tidak melupakan cara berfikir induktif untuk melatih
siswa untuk berfikir analisis, sitematis, kreatif dan kritis guna memberikan
kontribusi dalam penyelesaian permasalahan kehidupan siswa sehari-hari serta
melandasi berkembangknya ilmu pengetahuan dan teknologi moderen.
2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pengertian pebelajaran menurut UU No.20 Tahun 2003 adalah proses
interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Siswa sebagai subjek yang belajar, dan pendidik yang mefasilitasi dan
mengondisikan suatu lingkungan belajar sehingga terciptalah lingkungan belajar
yang kondusif.
Menurut Corey dalam Sagala (2003) menjelaskan pembelajaran
merupakan pengondisian terhadap suatu lingkunga untuk meningkatkan siswa
turut serta aktif dan terlibat dalam tingkah laku pada saat kondisi-kondisi khusus
atau memberikan respon terhadap kondisi tersebut. Dengan kata lain pandangan
Corey dalam pembelajaran adalah mengondisikan suatu lingkungan belajar yang
kondusif sehingga membuat siswa memberikan respon terhadap situasi tersebut.
Ahmad Susanto (2013:186) berpendapat bahwa pembelajaran
matematika adalah kegiatan belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk
mengoptimalkan siswa untuk berfikir kreativitas yang dapat meningkatkan
kemampuan membangun pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan
penguasaan yang baik terhadap materi matematika.
Dari beberapa pendapat tentang pembelajaran dapat penulis simpulkan
bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara siswa, guru dan sumber belajar
dalam sebuah lingkungan belajar yang telah dikonsidikan sedemikian rupa,
8
sehingga tercipta sebuah lingkungan belajar yang kondusif yang mampu
mengubah tingkah laku siswa.
Sedangkan pembelajaran matematika yang penulis simpulkan adalah
kegiatan guru secara terprogram yang memiliki desain yang intruksional,
mengajak siswa untuk terlibat langsung dan aktif dalam setiap pembelajaran
sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan siswa dapat
belajar secara aktif dan bermakna guna meningkatkan penguasaan terhadap materi
matematika.
Pembelajaran matematika terdapat interaksi antara siswa dengan
pendidik dimana pendidik sebagai pengajar dan siswa yang belajar. Tugas seorang
pendidik bukan hanya sebagai pengajar melainkan sebagai perancang
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan juga mengevalusi setia
pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar tercapai
pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa sekolah dasar.
Salah satu ciri matematika adalah memiliki objek kajian yang abstrak.
Namun sesuai dengan teori belajar Piaget usia siswa sekolah dasar 7-8 tahun
hingga 12-13 tahun) sedang berada dalam taraf berfikir oprasional konkret.
Berdasarkan perkembangan teori kognitif ini, mengakibatkan anak usia sekolah
dasar sulit untuk memahami objek kajian matematika yang bersifat abstrak yang
mengakibatkan tujuan pembelajaran sulit dicapai. Sehingga guru harus dapat
memahami ciri-ciri pembelajara matematika di sekolah dasar.
Suwangsih dan Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri pembelajaran
matematika SD yaitu:
a) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral
Pendekatan spiral dimana dalam pembelajaran matematika merupakan
pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan /
berhubungan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat
untuk topik baru artinya sebelum memahami topik yang baru sisiwa harus mampu
menguasai toping yang diajarkan karena topik baru merupakan pendalaman dan
perluasan dari topik sebelumnya. Penjelasan ini sesuai dengan teori belajar Gagne
9
mengenai kapabilitas misalnya seorang siswa untuk dapat menyelesaikan soal C
siswa tersebut harus mampu mengerjakan soal A dan B terlebih dahulu.
b) Pembelajaran matematika bertahap
Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari
konsep– konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit dengan kata lain
pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan
akhirnya kepada konsep abstrak. Dimana dalam teori belajar Burner ini dikenal 3
tahapan belajar yakni 1) Tahap Enaktif pemahaman siswa didapat dari siswa
mengalami langsung, menggunakan benda-benda konkrit. 2) Tahap Ikonik pada
tahap ini peralihan dari konkrit menuju semi konkrit dari siswa yang awalnya
menggunakan benda-benda nyata atau pengalaman langsung mulai menyajikan ke
dalam gambar-gambar atau grafik yang berhubungan dengan objek-objek yang
dimanipulasi.
c) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun sesuai dengan teori Piaget
bahwa usia anak Sekolah Dasar diantara usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap
oprasiona konkrit dimana siswa masih berada dalam tahapan berfikir logis,
konkrit, sistematis dan kesadaran dalam dunia fisiknya. Oleh karena itu walaupun
matematika merupakan ilmu deduktif karena mengingat perkembangan siswa
Sekolah Dasar maka pada pembelajaran matematika di sekolah dasar digunakan
pendekatan induktif.
d) Pembelajaran matematika menggunakan kebenaran konsistensi
Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya
teori dan konsep dalam matematika bersifat tetap atau tidak berubah-ubah. Suatu
pernyataan dianggap benar jika didasarkan pada pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang telah diterima kebenarannya.
e) Pembelajaran matematika hendaknya diajarkan secara bermakna
Pembelajaran matematika secara bermakna artinya pembelajaran lebih
menekankan pada pengertian dari pada hafalan, sehingga jika matematika
diajarkan dengan siswa mengalami langsung siswa lebih paham dan memiliki
pesan dan kesan tersendiri sehingga konsep dan teori matematika mampu teringat
10
dan tersimpan dalam memory jangka panjang siswa sehingga siswa tidak cepat
lupa. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, rumus-rumus tidak diberikan dalam
bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan, rumus-rumus ditemukan oleh siswa
melalui percobaan secara induktif di dalam pembelajaran, kemudian dibuktikan
secara deduktif.
Dari beberapa karakteristik pembelajaran matematika, sehingga dapat
disimpulkan pembelajaran matematika yang dalam mempelajarinya harus secara
bertahap atau hirarki serta menciptakan pembelajaran yang bermakna.
Pembelajaran bermakna jika siswa melakukan langsung atau terlibat langsung
dalam kegiatan pembelajaran. Untuk itu penulis menggunakan model Problem
Based Learning, yang dikemas dengan dongeng dengan penyampaian masalah
sebagai starting point yang dipecahkan siswa melalui kerja kelompok. Sehingga
siswa aktif dan lebih termotivasi dalam penyelesaian masalah dengan demikian
tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2.1.2 Problem Based Learning
2.1.2.1 Hakikat Problem Based Learning
Menurut Tan dalam Rusman (2014) pembelajaran Berbasis Masalah
merupakan :
Inovasi dalam pembelajaran karena dalam Problem Based Learning
kemampuan berfikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja
kelompok yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah,
menguji, dan mengembangkan kemampuan berfikir secara berkesinambungan.
Problem Based Learning merupakan suatu metode yang diadopsi guna
untuk menunjang pembelajaran learner center guna memberdayakan cara
perfikir siswa dalam M.Taufiq Amir (2010:12).
Howard Barrows (2016) menyatakan “Problem Based Learning is a
learner-centered educational method in Problem Based Learning, learners are
progressively given more and more responsibility for their own education and
become increasingly independent of the teacher for their education. Problem
Based Learning produces independent learners who can continue to learn on
their own in life and in their chosen careers. The responsibility of the teacher in
11
Problem Based Learning is to provide the educational materials and guidance
that facilitate learning”
Jadi Problem Based Learning adalah metode pendidikan berpusat pada
siswa. Dalam Problem Based Learning, siswa secara progresif diberikan
tanggung jawab untuk pendidikan mereka sendiri dan menjadi semakin mandiri
dari guru untuk pendidikan mereka. Problem Based Learning menghasilkan
siswa yang independen yang bisa terus belajar sendiri dalam hidup dan dalam
karir yang mereka pilih. Tanggung jawab guru dalam Problem Based Learning
adalah untuk menyediakan bahan-bahan pendidikan dan bimbingan yang
memfasilitasi pembelajaran.
Arends (2008:42) menyatakan bahwa Problem Based Learning
diorganisasikan di seputar situasi-situasi kehidupan nyata, yang menolak
jawaban-jawaban sederhana dan mengandung solusi yang competing. Arends
menambahkan Problem Based Learning membantu siswa untuk
mengembangkan ketrampilan 12 berpikir dan ketrampilan mengatasi masalah,
mempelajari peran-peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang mandiri.
Dutch dalam Amir, M.Taufiq (2013:21) Problem Based Learning
merupakan metode instruksional yang menantang mahasiswa agar “belajar untuk
belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi pemecahan
masalah yang telah disampaikan di awal pembelajaran. Masalah ini digunakan
untuk mengkaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis mahasiswa dan
inisiatif atas materi pelajaran. Problem Based Learning mempersiapkan
mahasiswa untuk berpikir kritis, analisis dan sistematis, untuk mencari serta
menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.
Sedangkan pengertian Problem Based Learning menurut pusdiklat,
2004 dalam Ali Muhson (2009:173) adalah Belajar Berdasarkan Masalah atau
Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu proses pembelajaran yang
diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam suatu lingkungannya.
Dari pengertian beberapa teori diatas dapat penulis simpulkan bahwa
Problem Based Learning merupakan suatu pembelajaran yang bertitik tolak pada
sebuah masalah nyata yang siswa hadapi dalam kehidupan sehari-hari atau
12
sesuatu yang dapat siswa banyangkan. Dalam usaha dalam memecahkan
masalah tersebut siswa diberikan tanggung jawab bekerja dalam kelompok untuk
mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemecahan masalah. Baik
masalah yang diberikan guru diawal pembelajaran ataupun masalah yang siswa
hadapi dalam kehidupan siswa.
2.1.2.2 Karakteristik Problem Based Learning
Pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai
macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap
tantangan dunia nyata, dengan melatih siswa untuk berfikir kritis, analitis dan
sistematis yang kemungkinan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan
kompeksitas yang ada.
Karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tan dalam
Rusman (2012: 232) adalah sebagai berikut :
a. Permasalahan digunakan untuk memulai pembelajaran;
b. Permasalahan yang digunakan adalah permasalahan yang ada di dunia
nyata yang tidak tertstruktur;
c. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (perspectif majemuk);
d. Permasalahan yang digunakan membuat siswa tertantang;
e. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;
f. Permasalahan menjadi sumber pengetahuna yang beragam,
penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang
ensensial dalam Problem Based Learning;
g. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;
h. Pengembangan ketrampilan dalam membangun pengetahuan sendiri
melalui pemecahan masalah, penguasaan isi pengetahuan dalam
mencari solusi dari sebuh permasalahan;
i. Keterbukaan proses dalam Problem Based Learning meliputi sintesis
dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan
j. Problem Based Learning melibatkan evaluasi dan review pengalaman
berfikir siswa dan proses belajar.
13
Dari penjelasan para ahli tentang karakteristik Problem Based
Learning maka dapat penulis simpulkan bahwa pembelajaran Problem Based
Learning difokuskan pada kegiatan pemecahan masalah. Dimana permasalahan
yang sebagai starting point merupakan masalah real yang dapat siswa
banyangkan bahkan siswa alami dalam kehidupan sehari-hari siswa. Untuk
menyelesaikan permasahan tersebut siswa bekerja bersama kelompok, saling
mencari solusi pemecahan permasalahan ditutup dengan penyajian solusi dan
kesimpulan pada akhir pembelajaran dan tugas guru fasilitator dalam
pembelajaran.
2.1.2.3 Peran Guru dalam Problem Based Learning
Guru dalam membuat proses pembelajaran Problem Based Learning
harus mampu yang mengembangkan kemandirian, kehidupan yang lebih luas,
dan belajar sepanjang hayat. Lingkungan belajar yang dibangun guru harus
mendorong siswa untuk berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta
kemampuan untuk bekerja sama. Menurut (Rusman 2012:234) Guru dalam
Problem Based Learning terus berfikir mengenai beberaapa hal, yaitu : 1)
bagaimana merancang dan menggunakan permasalahan yang ada dalam dunia
nyata sehingga mampu tercapai tujuan pembelajaran; 2) bagaimana bisa menjadi
pelatih siswa dalam proses pemecahan masalah, pengarahan diri dan belajar
dengan teman sebaya?; 3) dan bagaimana siswa memandang diri mereka sendiri
sebagai pemecah masalah yang aktif?”
Guru dalam Problem Based Learning juga memusatkan perhatiannya
pada: 1) mefasilitasi proses belajar Problem Based Learning; 2) melatih siswa
tentang strategi pemecahan masalah; pemberian alasan yang mendalam,
metakognisi, berfikir kritis, dan berfikir secara sistem; 3) menjadi perantara
proses penguasaan informasi; meneliti lingkungan informasi, mengakses sumber
informasi yang beragam, dan mengadakan koneksi.
Rusman (2012:234) peran guru dalam pembelajaran yaitu:
1. Menyiapkan perangkat berfikir siswa
2. Beberapa hal yang dilakukan guru untuk menyiapkan cara berfikir siswa:
a) membantu siswa untuk mengubah cara berfikir siswa; b) menjelaskan
14
tentang Problem Based Learning, langkah-langkah pembelajaran apa yang
dilakukan siswa dalam Problem Based Learning; c) menginformasikan
sintak atau siklus Problem Based Learning, struktur dan batasan waktu; d)
menyampaikan tujuan, hasil dan harapan; e) membantu siswa
menyelesaikan kesulitan yang dialami oleh siswa; dan f) membantu
menyadarkan siswa bahwa siswa memiliki masalah.
3. Menekankan belajar kooperatif
Bray, dkk (2000) menggambarkan inquiry kolaboratif sebagai
proses dimana orang melakukan refleksi dan kegiatan secara berulang-
ulang, mereka bekerja secata tim untuk menjawab pertanyaan penting.
Dalam proses Problem Based Learning siswa bekerja secara tim dan
kolaborasi ini penting untuk mengembangkan proses kognitif guna untuk
meneliti lingkungan, memahami permasalahan, mengambil dan
menganalisis data penting dan mengolaborasi solusi guna memecahkan
permasalahan.
4. Memfasilitasi pembelajaran kelompok kecil dalam pembelajaran berbasis
masalah
Belajar dengan membentuk kelompok kecil yang beranggotanya 3-
4 siswa. Guru dapat menggunakan berbagai teknik belajar kooperatif
untuk menggabungkan kelompok-kelompok tersebut dalam siklus
pembelajaran Problem Based Learning guna menyatukan ide, dan
penyajian ide.
5. Melakukan pembelajaran pembelajaran berbasis masalah
Guru mengatur lingkungan pembelajaran yang kondusif gune
menyatukan atau melibatkan siswa dalam masalah.
2.1.2.4 Langkah-langkah Problem- Based Learning
Ibrahim dan Nur (2000:13) dan Ismail (2002:1) dikutip dari Rusman
(2012:243) mengemukakan langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
sebagai berikut :
15
Tabel 1
Langkah-langkah Problem Based Learning
Fase Indikator Tingkah Laku Guru
1. Orientasi siswa pada
Masalah
Menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang diperlukan,
dan memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah
2. Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan pemecahan
masalah.
3. Membimbing
Pengalaman individual
/kelompok
Mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, dan membantu mereka
untuk berbagai tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses yang
mereka gunakan.
Dari beberapa uraian mengenai tahap-tahap pembelajaran Problem Based
Learning di atas, maka selanjutnya penulis akan menyusun sintak dan
implementasi kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning menurut
Permendiknas No 41 Tahun 2007 pada tabel dibawah ini :
Tabel 2
Sintak Model Problem Based Learning berdasarkan
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
No Fase Problem Based
Learning
Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi Penutup
1 Orientasi siswa
kepada masalah √
2 Mengorganisasikan
siswa untuk belajar √ √
3 Membantu
investigasi kelompok. √
4 Mengembangkan dan
menyajikan hasil
karya √
16
No Fase Problem Based
Learning
Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi Penutup
5 Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah √ √
Berikut tabel implementasi pembelajaran menggunkan Problem Based
Learning berdasarkan standar proses:
Tabel 3
Implementasi Model Problem Based Learning berdasarkan
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Sintaks Problem Based
Learning
Langkah dalam
Standar Proses Kegiatan Guru
Orientasi siswa pada
masalah.
Pendahuluan
Menyampaikan apersepsi, melakukan
orientasi kelas dengan menyampaikan tujuan
pembelajaran dan kegiatan pembelajaran yang
akan dilakukan, mengkondisikan siswa dalam
kelas menjadi beberapa kelompok Guru mulai
mendongeng menyampaikan permasalahan
awal yang akan di teliti oleh siswa.
Mengorganisasi siswa
untuk belajar.
Pendahuluan
& Eksplorasi
Membimbing siswa dalam kelompok
merancang aktifitas belajar untuk
menyelesaikan masalah yang telah di
orientasikan pada tahap awal.
Membantu investigasi
kelompok. Eksplorasi
Mendampingi siswa dalam mengumpulkan
informasi yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahan yang harus diselesaikan
bersama dengan kelompok.
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya. Elaborasi
Mendampingi siswa membuat laporan hasil
diskusi dengan kelompok, menguji laporan
hasil diskusi kelompok lain, mengamati serta
menanyakan sesuatu yang belum diketahui
dan ditanggapi oleh kelompok yang
bersangkutan.
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
Konfirmasi
Mendampingi siswa melalui tanya jawab
membahas penyelesaian masalah, membuat
kesimpulan
2.1.2.5 Implementasi Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran
Pada penerapan model pembelajaran ini sebagai awal pembelajaran
disajikan sebuah masalah yang digunakan sebagai starting point. Sebagai stimulus
pembelajaran yang selanjutnya siswa diarahkan guru untuk memecahkan masalah.
Dengan mengggunakan metode pemecahan masalah yang akan menjadi pusat
perhatiannnya.
17
Pemecahan masalah dalam Problem Based Learning harus sesuai dengan
langkah-langkah dalam metode ilmiah agar siswa mampu menyelesaikan masalah
secara sistematis dan terencana. Sehingga Problem Based Learning dapat
memberikan pengalaman belajar melakukan kerangka kerja ilmiah dan siswa
dapat memecahkan masalah nyata yang ada di lingkungan siswa.
Pembelajaran model Problem Based Learning dirancang dengan
pemberian permasalahan yang ada di dunia siswa yang menuntut siswa untuk
mengksplor pengetahuannya agar dapat memecahkan masalah baru sehingga
dengan memecahkan masalah tersebut siswa dapat memperoleh pengetahuan baru
sehingga siswa dapat terbiasa untuk, berfikir kritis, analitis, sistematis dan logis
dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Namun kelemahan Problem
Based Learning ini jika di laksanakan pada siswa usia selokah dasar masih sangat
sulit untuk diajak kerja dalam kelompok karena mengingat usia anak sekolah
dasar masih egois atau individual. Sehingga penulis membuat desain
pembelajaran Problem Based Learning yang dikemas dalam sebuah dongeng agar
siswa termotivasi untuk aktif menyelidiki mencari solusi permasalahan melalui
kerja kelompok selain itu pembelajaran tidak terasa jenuh dan membosankan.
2.1.2.6 Dongeng
2.1.2.6.1 Hakekat Dongeng
Dongeng merupakan suatu media yang sangat efektif untuk membantu
proses pembelajaran. Karena bagi anak menyimak penjelasan guru merupakan
sesuatu hal yang tidak menyenangkan, sebaliknya duduk sambil menyimak
dongeng atau terlibat langsung dalam cerita adalah aktivitas yang mengasikkan.
Itadz (2008:19) memberikan penjelasan melalui cerita atau dongeng adalah cara
mendidik yang bijak dan cerdas. Mendidik dan menasehati anak melalui cerita
memberikan efek pemuasan terhadap kebutuhan akan imajinasi dan fantasi.
Dongeng adalah cerita khayali yang dianggap tidak benar-benar terjadi,
baik oleh yang penuturnya maupun oleh pendengarnya. Dongeng tidak terkait
oleh ketentuan normatif dan faktual tentang pelaku, waktu, dan tempat Danandjaja
dalam Itadz (2008:73). Pelakunya adalah makhluk-makhluk khayali yang
memiliki kebijaksanaan atau kekurangan untuk mengatur masalah manusia
18
dengan segala macam cara. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,
walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, atau bahkan moral
Danandjaja dalam Itadz (2008:74).
2.1.2.6.2 Manfaat Mendongeng
Manfaat cerita bagi anak menurut Itadz (2008:81) diantaranya :
1. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak
Hal ini karena dikarenakan anak yang senang mendengarkan cerita.
Kedekatan guru dengan siswa menjadikan cerita menjadi efektif untuk
mempengaruhi cara berfikir mereka. Siswa mampu memecahkan masalah
relistik berdasarkan pikiran, perasaan, dan perilakunya. Semiawan 2002
mengatakan mendongeng merupakan wahana yang ampuh untuk
memahami dan menerobos ke dalam penghayatan pengalaman anak.
Kerena dalam aktivitas tersebut terjadi pertemuan dan keterlibatan emosi,
pemahaman, dan keterlibatan mental antara guru dan siswa. Keasikan
dalam menyelami substansi cerita sehingga mampu memasuki dunia minat
siswa. Terjadinya pertemuan ini peluang untuk menginkorporasikan segi-
segi pedagogik dalam cerita.
2. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi
Anak–anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang
berbagai hal yang muncul di dalam pikirannya. Karena usia anak Sekolah
Dasar merupakan masa-masa aktif anak berimajinasi.
3. Memacu kemampuan verbal anak
Cerita yang bagus tidak hanya menghibur tapi juga mendidik, serta
merangsang berkembangnya kecerdasan linguistik, yakni kemampuan
menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis.
4. Membuka cakrawala pengetahuan anak
Menurut Dr.Gede Raka (2002) mengatakan bahwa cerita seorang
guru dapat menstimulasi anak untuk belajar lebih jauh. Pengalaman nyata
yang terjadi pada anak menunjukan bahwa cerita guru yang menarik
tentang ilmu pengetahuan menggerakan anak untuk mencari tau lebih
banyak tentang ilmu tersebut. Cerita tersebut meninggalkan kesan yang
19
mendalam dan mampu menggugah semangat siswa untuk belajar lebih
mendalam. Hal tersebut sesuai dengan pernyatan Lenox dalam artikelnya
“Storytelling for Young Children in a Multicultural Word”, bahwa
bercerita atau mendongeng dapat dimanfaatkan untuk menari minat belajar
anak di samping memperluas kesadaran dan pengetahuan keberagaman
lingkunga (Lenox 2002 dalam Itadz 2008)
2.1.2.6.3 Unsur-Unsur Dongeng
Dalam sebuah dongeng terdapat unsur-unsur yang penting meliputi alur,
tokoh, latar, dan tema. Menurut Lustaantini (1998:16) penyebab ketertarikan
audience pada dongeng tidak terlepas dari empat unsur penting dongeng yaitu
alur, tokoh, latar, dan tema :
1. Alur adalah konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa secara logis dan
kronologis saling berkaitan yang dialami pelaku oleh pelaku. Alur lurus
adalah peristiwa yang di susun mulai dari awal, tengah, yang di wujudkan
dengan pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak dan penyelesaian.
2. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan
dalam berbagai peristiwa yang ada dalam cerita (Lustantini Septiningsih,
1998: 16). Tokoh dapat memiliki dua sifat, yaitu protagonist (Karakter
yang melambangkan kebaikan, menunjukan sikap positif dan merupakan
contoh yang layak ditiru) dan antagonis (Karakterister yang berlawanan
dengan tokoh protagonis, merupakan tokoh yang harus dijauhi sikap dan
perbuatannya.
3. Latar/Setting Istilah latar biasanya di artikan tempat dan wakyu terjadinya
cerita. Latar adalah segala katerangan, petunjuk, pengacauan yang
berkaitan dengan ruang, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam
suatu karya sastra (Lustantini Septiningsih 1998:44). Latar ada dua
macam, yaitu latar social (mencakup penggambaran keadaan masyarakat,
kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, maupun bahasa
yang melatari peristiwa) dan latar fisik atau material (mencakup tempat,
seperti bangunan atau daerah).
20
4. Tema adalah arti pusat yang terdapat dalam suatu cerita. Pemikiran-
pemikiran yang di kemukakan oleh pengarang dipengaruhi oleh
pengalaman, jiwa, cita-cita dan ide yang di wujudkan lewat tema.
Keempat unsur penting tersebut merupakan kunci ketertarikan audience
pada suatu dongeng. Satu unsur dapat lebih menonjol diantara unsur
lainnya, karena bias jadi sebuah dongeng dikatakan menarik karena alur
dan penokohan saja yang menonjol. Tentu lebih baik apabila keempat
unsurnya dapat dikerjakan oleh pengarang dongeng dengan maksimal.
Syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai pendongeng dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Syarat fisik pendongeng harus mampu menggunakan penghasil suara
secara lentur sehingga dapat menghasilkan suara yang bervariasi.
b. Syarat mental dan daya piker harus bersikap mental serius, sabar,lapang
dada,disiplin,taat beribadah, berakhlak karimah, dan senang berkesenian.
2.1.2.6.4 Langkah-langkah Mendongeng
Itadz (2008:101-110) menjelaskan langkah-langkah dalam mendongeng
dalam proses pembelajaran yaitu :
a. Memilah dan memilih materi cerita
Seorang pendongeng harus mampu memilih cerita yang sesuai
dengan perkembangan sisiwa dan judu yang menarik akrena keunikan
judul berkontribusi terhadap memori cerita.
b. Memahami isi cerita
Mengetahui rangkaian peristiwa dan jalan cerita, lalu masuk kelas
dan menyampaikanya kepada siswa. Yang perlu diketahui bagi para guru
bahwa setiap menit waktu yang digunakan untuk berfikir dan mengolah
cerita sekaligus mempersiapkannya sebelum pelajaran dimulai, akan
membantu dalam penyampaian cerita dengan mudah.
c. Menghayati karakter peran tokoh
Karakter yang ada dalam sebuh cerita berbeda-beda hendaknya
pendongeng memahami setiap karakter dan menghayati peran setiap
21
karakter yang akan di bawakannya sebagai pengkemas proses
pembelajaran yang akan berlangsung
Untuk menyajikan cerita secara menarik, diperlukan beberapa teknik
penyajian cerita. Teknik dalam arti ini mengandung pengertian daya upaya, usaha-
usaha atau cara yang digunakan guru untuk mencapai tujuan langsung dalam
pelaksanaan kegiatan bercerita. Menurut Itadz (2008:119) teknik – teknik
penyajian cerita atau mendongeng diantaranya :
a. Memilih dan mempersiapkan tempat
Pengindisian siswa sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan
pemahaman siswa dalam memahami isi cerita yang digunakan untuk
mengemas pembelajaran
b. Bercerita dengan Alat Peraga
Penggunaan alat peraga juga mempengaruhi ketertarikan sebuah
cerita yang dibawakan oleh guru. Alat peraga yang paling sederhana
adalah buku, kemudian gambar, papa panel, boneka dan filem bisu.
Semua alat peraga membutuhkan keterampilan tersendiri yang
memungkinkan penggunaan alat peraga itu berfungsi optimal.
c. Mengekpresikan karakter tokoh
Cerita merupakan karangan persuatif karenaa cerita mementingkan
pendengaran, guna mempengaruhi, menyakinkan dan mendorong perilaku
tertentu.
Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan dongeng dalam
pembelajaran merupakan cara yang bijak dan cerdas untuk penyampaian materi
karena melalui dongeng siswa mampu terpuaskan terhadap kebutuhan akan
imajinasi dan fantasi. Serta pembelajaran tidak membosankan namun menambah
ketertarikan dan motivasi siswa untuk mencari pemecahan masalah yang
disampaiakan dengan dongeng.
2.1.3 Hasil Belajar
2.1.3.1 Pengertian Hasil Belajar
Nawawi dalam Ahmad Susanto (2013:5) menyatakan bahwa “hasil belajar
dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi
22
pembelajaran disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes
mengenai sejumlah materi pembelajaran tertentu”
Rusman (2012:123) menyatakan bahwa “hasil belajar yaitu sejumlah
pengalaman yang diperoleh oleh siswa mencapai ranah kognitif, afektif, dan
psikomotoril”.
Oemar Hamalik dan Rusman (2012:123) menyatakan “hasil belajar dapat
terlihat dari terjadinya perubahan persepsi dan perilaku termasuk juga perubahan
perilaku”.
Ahmad susanto (2013:5) menyatakan “hasil belajar yaitu perubahan-
perubahan yang terjadi pada siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar”.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli mengenai hasil belajar tersebut
dapat disimpulkan mengenai hasil belajar yaitu tingkat perubahan oleh siswa
dalam ranak kognitif, afektif, dan psikomotor. Dimana perubahan yang dialami
setelah belajar kemudian di peroleh melalui tes yang dinyatakan melalui skor.
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Munadi dalam Rusman (2012:124) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar yaitu 1) faktor internel meliputi faktor fisiologis
seperti kondisi kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan yang lelah dan capek,
tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi siswa dalam menerima materi pelajaran dan faktor psikologis yang
meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif, dan
daya nalar siswa, (2) faktor eksternal meliputi faktor lingkungan berupa
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu,
kelembaban, dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruang yang memiliki
ventilasi udara yang kurang tentunya akan berbeda suasana belajarnya dengan
yang belajar di pagi hari yang udaranya masih segar dan di ruang yang cukup
mendukung untuk bernafas lega dan faktor instrumental merupakan faktor yang
keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang
diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk
23
tercapainya tujuan-tujuan belajar yang telah direncanakan. Faktor-faktor
instrumental ini berupa kurikulum, sarana, dan guru.
Wasliman dalam Ahmad Susanto (2013:12) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan menjadi 2 yaitu (1) faktor internal
merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri siswa yang memengaruhi hasil
belajarnya. Faktor internal, meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi
belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan, (2)
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa yang
memengaruhi hasil belajar. Faktor ekstrenal, meliputi keadaan keluarga , sekolah,
dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar. Keadaan
keluarga yang morat-marit keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri,
perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari
berperilaku yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa
Dari pendapat 2 tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang
memengaruhi hasil belajar ada 2 yaitu internal dan eksternal. Faktor internal,
terdiri dari faktor fisiologis yang meliputi kondisi fisik dan kesehatan serta faktor
psikologis yang meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi,
kognitif, dan daya nalar siswa. Sedangkan faktor ekstrenal terdiri dari faktor
lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta
faktor instrumental yang meliputi kurikulum, sarana, dan guru.
2.1.3.3 Klasifikasi Hasil Belajar
Menurut Bloom dalam Rusman (2012:125), hasil belajar diklasifikasikan
menjadi berkenaan dengan kemampuan dan kecakapan intelektual berpikir.
Domain kognitif menurut Bloom dalam Rusman (2012:125) terdiri dari 6 kategori
yaitu (1) pengetahuan yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk dapat
mengenali atau mengetahui adanya konsep-konsep, fakta, prinsip atau istilah
tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya, (2) pemahaman yaitu jenjang
kemampuan yang menuntut siswa untuk memahami atau mengerti tentang materi
pelajaran yang disampaikan guru dan dapat memanfaatkannya tanpa harus
menghubungkannya dengan hal-hal lain, (3) penerapan yaitu jenjang kemampuan
24
yang menuntut siswa untuk menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun
metode, prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret, (4) analisis yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk menguraikan suatu situasi atau
keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentukannya.
Kemampuan analisis dikelompokkan menjadi 3 yaitu analisis unsur, analisis
hubungan, dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi, (5) sintesis yaitu
jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk menghasilkan sesuatu yang baru
dengan cara menggabungkan berbagai faktor. Hasil yang diperoleh dapat berupa
tulisan, rencana atau mekanisme, (6) evaluasi yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut siswa untuk dapat mengevaluasi suatu situasi, keadaan, pernyataan atau
konsep berdasarkan kriteria tertentu.
Domain kognitif menurut Lorin Anderson dalam Rusman (2012:126)
terdiri dari 6 kategori yaitu (1) mengingat, taksonominya mengurutkan,
menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi,
menemukan kembali, dsb, (2) memahami, taksonominya menafsirkan, meringkas,
mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, memaparkan, dsb, (3)
menerapkan, taksonominya melaksanakan, menggunakan, menjalankan,
melakukan, mempraktikkan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan,
mendeteksi, dsb, (4) menganalisis, taksonominya menguraikan, membandingkan,
mengorganisasikan, menyusun ulang, mengubah struktur, mengerangkakan,
menyusun outline, mengintegrasikan, membandingkan, membedakan,
manyamakan, dsb, (5) mengevaluasi, taksonominya menyusun hipotesis,
mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan, dsb, (6)
berkreasi, taksonominya merancang, membangun, merencanakan, memproduksi,
menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah,
mengubah, dsb. Domain afektif, berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan
penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan, sikap, dan nilai.Domain
psikomotor, berkenaan dengan suatu keterampilan-keterampilan atau gerakan
fisik.
Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa klasifikasi hasil
belajar itu ada 3 yaitu kognitif mengenai tentang pengetahuan, afektif mengenai
25
tentang sikap, dan psikomotorik mengenai keterampilan. Namun dalam penelitian
ini hanya meneliti dalam ranah kognitif saja.
2.1.3.4 Penilaian Hasil Belajar
Penilaian dilakukan guru terhadap hasil pembelajaran yang telah
terlaksana guna mengukur seberapa jauh pemahaman siswa mengenai kompetensi
siswa dalam memahami materi yang telah diajarkan, yang kemudian digunakan
untuk menyusun laporan kemajuan hasil belajar dan mengevaluasi proses
pembelajaran. Penilaian hasil belajar ini dilakukan secara berkesinambungan yang
bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar siswa serta guna
meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematis dan terprogram dengan
menggunakan tes atau nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kerja,
pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan / atau produk,
portofolio, serta penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan
Standar Penilaian Pendidikan dan panduan penilaian kelompok mata pelajaran.
Prosedur penilaian hasil belajar dalam penelitian ini yaitu 1) memilih
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada di dalam silabus; 2)
mengembangkan indikator sesuai dengan KD guna mengetahui ketercapian KD;
3) Membuat kisi-kisi soal; 4) melaksanakan tes; 5) mengolah hasil tes untuk
mngetahui ketercapaian kompetensi dan keberhasilan dalam pembelajaran.
2.1.4 Hubungan Problem Based Learning Dengan Dongeng Dan Hasil
Belajar
Problem Based Learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang
tepat digunakan dalam pembelajaran. Melalui model Problem Based Learning
dapat membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berpikir untuk
memecahkan masalah dan melatih siswa untuk berfikirlogis, analitis, sistematis,
kritis dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerja sama. Namun dalam
pelaksanaanya masih banyak kekurangan salah satunya yang dijelaskan oleh
Abdul Muiz Lidinillah tentang salah satu kelemahan pembelajaran Problem Based
Learning yaitu dalam kerja kelompok karena siswa belum terlatih dengan cara
belajar seperti itu mereka akan kesulitan dan merasa bosan dalam kegiatan
26
pembelajaran apalagi jika model ini diterapkan di sekolah dasar pola pemikiran
siswa yang masih dalam tahap para-oprasional kongkrit ini sangat kesulitan dalam
pelaksanaannya, oleh itu peneliti mencoba menggunakan media dongeng dalam
pengemasan pembelajaran dengan harapan dapat memunculkan keantusiasan
siswa karena kita tau bahwa anak usia anak SD masih suka untuk didongengi.
Suasana pembelajaran yang menyenangkan ini mendorong siswa aktif dan dan
terlibat langsung dalam mengikuti pembelajaran dengan harapan dapat
meningkatkan hasil belajar dan tercapainnya tujuan pembelajaran.
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan
Penelitian dengan media dongeng ini pernah dilakukan oleh Alsanudin.
(2012), dalam skripsi penelitian yang berjudul “Peningkatan Kemampuan
Berbicara Menggunakan Media Dongeng Dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia Kelas I SD Negeri No.2 Nangga Tebidah Sintang”. Hasil
penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar Bahasa Indonesia.
Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata siswa sebelum digunakan
media dongeng adalah 33.3%, dan meningkat menjadi 51,1% pada siklus I,dan
menjadi 72,% pada siklus II. Dari hasil penelitian ternyata pembelajaran dengan
menggunakan media dongeng dapat meningkatkan kemampuan berbicara dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pada Siswa Kelas I Sekolah Dasar
Negeri No. 2 Nanga Tebidah Sintang.
Ibrahim (2013), dalam artikel penelitian yang berjudul “Peningkatan
Kemampuan Berbicara Siswa Dengan Menggunakan Media Dongeng Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD Negeri No 01 Nanga Tebidah” hasil
penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar bahasa Indonesia.
Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata kemampuan berbicara siswa
sebelum diterapkannya media dongeng adalah 27,2%. Hasil penelitian hingga
siklus 2 rata-rata kemampuan berbicara siswa meningkat mencapai 80,3%. Maka
dapat disimpulkan terjadi peningkatan kemampuan berbicara siswa dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Menggunakan media dongeng kelas V
Sekolah Dasar Negeri 1 Nanga Tebidah Sintang.
27
Berdasarkan penelitian diatas, penggunaan media dongeng memiliki
dampak positif dalam proses pembelajaran yaitu mempu meningkatkan
kemampuan berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sukarman dalam sekripsinya
yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Siswa
Kelas 6 Semester I SD Negeri Batiombo 02 Kecamatan Bandar Tahun Pelajaran
2013/2014”hasil penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar bahasa
matematika. Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata siswa sebelum
diterapkannya model Problem Based Learning adalah 60,26% siswa yang tuntas
dan 39,13% tidak tuntas dengan nilai rata-rata 63,26. Hasil penelitian hingga
siklus 1 rata-rata hasil belajar siswa meningkat mencapai 66,3. Dan siklus ke-2
ketuntasan belajar mencapai 100% dengan nilai rata-rata kelas 71,08 Maka
berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model
pembelajaran berbasisi masalah (Problem Based Learning) dapat meningkatkan
hasil belajar matematika siswa kelas 6 SD Negeri Batiombo 02 Kecamatan
Bandar Kabupaten Batang.
Andriastutik Novi (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan
Model Problem Based Learning (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran
Matematika Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5
Semester II Sekolah Dasar Negeri 6 Sindurejo Tahun Ajaran 2012/2013” Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa penerapan model problem based learning dalam
pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
Peningkatan ini dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar matematika siswa pada
prasiklus, siklus I dan siklus II diperoleh peningkatan yaitu 62,3 pada prasiklus,
66,9 pada siklus I dan meningkat menjadi 77,5 pada siklus II. Serta ketuntasan
hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan pada tiap siklus yaitu 44%
pada prasiklus, 72% pada siklus I serta meningkat menjadi 94% pada siklus II.
Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan tersebut ternyata
penggunaan dongeng dapat meningkatkan hasil belajar dilihat dari keamampuan
berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Model Problem Based
28
Learning juga mampu meningkatkan hasil belajar siswa oleh karena itu peneliti
akan menguji cobakan penerapan model Problem Based Learning (pembelajaran
berbasis masalah) dengan dongeng apakah dapat memberikan pengaruh terhadap
hasil belajar siswa?. Karena sesuai penelitian yang sudah ada dongeng hanya
digunakan dalam pelajaran bahasa Indonesia.
2.3 Kerangka Berpikir
Matematika merupkan suatu disiplin ilmu yang memiliki yang berkaitan
dengan cara berfikir logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif sehingga proses
pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih cara
berfikir logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif. Sesuai dengan pengamatan
saya pembelajaran matematika masih bersifat parsial atau berdiri sendiri-sendiri,
kurang melibatkan dalam permasalahan sehari-hari padahal pada kenyataannya
matematika itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari selain itu tujuan dari kita
belajar adalah untuk menyiapkan siswa untuk mampu bertahan hidup
dimasyarakat artinya mampu menghadapi kesulitan dan permsalahan ia mereka
hadapi.
Melihat pentingnya pembelajaran matematika, maka matematika harus
kita ajarkan kepada siswa dari dini artinya dari taraf sekolah dasar dengan
memberiakan stimulus dalam bentuk masalah agar melatih siswa untuk berfikir
logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif serta siswa lebih tanggap terhadap
permasalahan yang ada di dalam lingkungan kehidupan siswa. Oleh karena itu
dalam penerapan pembelajaran guru memerlukan desain pembalajaran yang
melatih siswa untuk kritis dan tanggap terhadap masalah yang terjadi dan terampil
menyelesaikan permasalahan yang ada. Mengubah pembelajaran dari yang semula
hanya siswa mendengarkan, dan menyimak menjadi aktif melakuakn penyelidikan
untuk menyelesaikan permasalahan masih silit sehingga penulis mengemas
pembelajaran Problem Based Learning dengan dongeng mengingat karakteristik
siswa sekolah dasar yang masih suka didongengi dan beberapa kelemahan dari
Problem Based Learning diantaranya kurang sesuai jika diterapkan di sekolah
dasar karena karakteristik siswa sekolah dasar yang masih individual dan susah
diajak untuk bekerja dalam kelompok. Penerapan Problem Based Learning
29
dengan dongeng ini diharapan siswa lebih antusias dan termotivasi untuk
menyelidiki permasalahan guna menyelesaikan masalah yang disampaiakn di
awal pembelajaran bersama dengan kelompok sehingga berdampak pada
meningkatnya hasil belajar matematika siswa.
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan dan kerangka pikir
maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh penerapan
Problem Based Learning dengan dongeng terhadap hasil belajar Matematika pada
siswa kelas III SD N Salatiga 03 semester II tahun pelajaran 2015/2016.