bab ii kajian pustaka, konsep, landasan …...lain yang menggunakan bahasa madura (bmd) pada tataran...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih
sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian
lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh
karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah
dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu
penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang
dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah
ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.
Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam
Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di
Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang
berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual
kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen
Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob
menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi
lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan
tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi
waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,
antara lain untuk memenuhi adat istiadat dan penerusan tradisi. Hasil penelitian
Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni
terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut
adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,
dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi
religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif.
Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,
dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara
tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut
perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk,
fungsi, dan makna.
Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional
Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik
Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak
tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak
tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan
bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan
cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),
(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5)
TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT
langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit).
Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa
(tag) yang dibangun oleh tipe predikat mental dengan makna asali
MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN,
MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh
MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan
karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.
Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi
peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang
dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda
dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian
pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan
pembanding.
Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada
Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi
struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur
mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan
kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur
parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme
leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah
maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak
memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya
ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang
berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penelitian
tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks
budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut
sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan
tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal
mengetahui struktur teks ritual TRT.
Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟
Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji
keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan
awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji
secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan
yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki
sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b)
struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang
berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga
mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya
sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan
kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan‟
masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.
Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti
di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku
Boti menganut agama yang disebut Halaika. Hasil penelitian Lanny menunjukkan
bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit
li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak
funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang
ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai.
Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis,
fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi,
dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai
budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),
pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik
tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian
agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat
bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.
Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri
Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik
Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan
wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat
Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil
analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam
KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga
unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan
pronomina persona, (b) sirkumstan seperti waktu, (3) proses material, proses
verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus
meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal,
dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat,
dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya
ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan,
persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut
permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi
bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan
pembanding.
Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata
Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata
ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam
brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam
bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB
memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga
bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks
biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut
pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut
inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan
bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa
fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan
positif para dewa dan kekuatan negatif para bhuta kala, (2) fungsi informatif, dan
(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB
meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan.
Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan
nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti
medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang
tercermin di balik CES AB.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek
dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan
persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah
penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa
konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan
penggunaan akal budi untuk memahaminya.
2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan
Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat
komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat
dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan
komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan
untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan
upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo. Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan
peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.
Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur
tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.
Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya
dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang
digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan
mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van
Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.
speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered
sequences of speech acts accomplished by one speaker or by
subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in
the same way as sentences may occur in sequences which should
satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in
order to be acceptable as discourse, we should expect that speech
act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of
constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of
speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation
of these constraints.
Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan
pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian
percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara
berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik
sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak
berubah-ubah.
2.2.2 Konteks dalam Pragmatik
Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna
semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech (1983:5--
6) memaparkan makna sebagai berikut.
semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing
„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a
boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are
concerned with meaning, but the difference between them can be
traced to two different users of the verb to mean:
[1] what does X mean? [2] what did you mean by X?
Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as
in
[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in
[2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or
user of the language. Whereas meaning in semantics is defined
purely as a property of expression in a given language, in
abstraction from particular situation, speakers, or hearer.
Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik
mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna
sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa
maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan
X‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam
hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam
semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam
suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.
Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way
in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the
particular conditions of their use in context. Artinya, pragmatik berkaitan dengan
interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara
menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus
penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.
Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those
relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in
the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur
bahasa.
Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is
the study of conditions of human language uses as these are determined by the
context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan
bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.
Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how
language is used for communication. Pragmatik adalah kajian tentang bagaimana
bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak
menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah
secara eksternal.
Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di
sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di
sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks
dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks
nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi
usia, jenis kelamin, dan spesialisasi (menunjuk kepada profesi), (2) konteks
diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan
fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk
menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa
telepon, telegram, ataupun bersemuka.
Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan
konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan hal-
hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya
berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial
ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38)
sebagai berikut.
The surroundings in the widest sense that enable the participants in
the communication process to interact and that make the linguistic
expressions of their interaction intelligible.
Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur
berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.
Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut
tidak mendukung keadaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk
menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan
hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan,
bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan.
Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk
konteks, yaitu sebagai berikut.
a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).
b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).
c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).
d) The key (kunci atau petunjuk).
e) The medium (perantara).
f) The genre (genre).
g) The norm of interaction (norma interaksi).
2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan
Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan
suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di
samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-
temurun.
Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat
berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna
(pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain,
bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan
bahasa.
Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan
sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu
kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa
ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi
sosial membawa mereka dalam keyakinan.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2)
teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996)
digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang
ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan
tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,
Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday,
1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang
tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai
teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian
bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas
tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara
terperinci di bawah ini.
2.3.1 Tindak Tutur
Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962)
dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa
suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk
mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu
ekspresi tutur yang secara gramatika digolongkan sebagai tuturan yang eksklamasi
atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga
dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).
Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya
tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan
berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11).
Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam
tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977;
Cummings, 2007; Leech, 1983; Levinson, 1983:229--232).
Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur sering, tetapi tidak
selalu merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin dari penutur asli,
penutur, dan penulis nonasli yang secara pragmatik dianggap berkompeten
walaupun dengan berbagai versi dialeknya menggunakan bahasa tersebut dengan
fungsi-fungsi bahasanya, seperti mengucapkan terima kasih, memuji, meminta,
menolak, dan mengeluh. Menurutnya, selama ini pendekatan tradisional sudah
sering digunakan dalam menganalisis tindak tutur yang dalam implementasinya
jauh dari interaksi situasional.
Terkait dengan pendapat Cohen, Searle (1977:22) juga mengatakan hal
yang senada, yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu
bentuk tindakan atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.
Ujaran seperti (a) Sam smokes habitually, (b) Does Sam smoke habitually, (c)
Sam, smoke habitually, dan (d) Would that Sam smoke habitually merupakan
empat ujaran yang berbeda menurut bentuk atau fungsinya. Ujaran (a) merupakan
suatu penegasan (assertion), (b) bertanya, (c) memberikan perintah (giving an
order), dan (d) menyatakan harapan atau keinginan.
Pendekatan baru yang diajukan oleh Kasper (2006) dalam menganalisis
tindak tutur adalah discursive pragmatics, yaitu suatu pendekatan pragmatik yang
melibatkan analisis percakapan. Pendekatan ini tidak hanya menyokong kajian
tindak tutur dalam wacana atau dalam interaksi, tetapi juga melalui wacana
dengan menggunakan pendekatan conversations analysis (CA) terhadap tindakan,
arti, dan konteks dalam mempelajari tindak tutur.
Austin (1962), Searle (1977), Leech (1983), dan (Nadar, 2011:11--12)
mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi agar suatu
tindakan dapat berlaku atau terlaksana. Ahli linguistik menyebutnya dengan
istilah felicity conditions. Kondisi tersebut diformulasikan menjadi tiga bagian,
yaitu seperti berikut.
1. The person and circumtances must be appropriate, yaitu adanya kesesuaian
antara pelaku dan situasi. Tuturan untuk pengantin pada saat perkawinan atau
pria dan wanita yang sedang menikah “saya nyatakan Anda berdua sebagai
suami istri” hanya dapat berlaku jika yang mengucapkan adalah seorang yang
memegang wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut, misalnya pendeta
atau pastor.
2. The act must be executed completely and correctly by all participants, yaitu
tindakan tersebut harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua
pelaku. “Anda betul-betul bersalah” kepada bawahannya, tetapi tidak mampu
menunjukkan kesalahnnya ataupun peraturan yang menggariskan bahwa dia
bersalah dianggap tidak valid.
3. The participants must have the appropriate intentions, yaitu pelaku harus
mempunyai maksud yang sesuai. Tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor
pukul tiga” dianggap tidak valid jika penutur tidak bisa datang karena sudah
membuat janji dengan pihak lain.
Searle (1977:23--24) di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The
Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak
lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
Leech (1983:198--199) di dalam bukunya Principles of Pragmatics juga
mengatakan hal yang senada bahwa cara yang tepat untuk mengawali suatu kajian
mengenai verba tindak tutur adalah dengan menyajikan pembagian tindak tutur,
yaitu lokusi (locutionary), ilokusi (illocutionary), dan perlokusi (perlocutionary).
Nababan (1987:4) juga membedakan tindak bahasa secara analitis yang terjadi
secara serentak menjadi tiga macam, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan
tindak perlokusi.
Levinson (1983:236) states that “but if this notion that, in uttering
sentences, one is also doing things, is to be clear, we must first
clarify in what ways in uttering a sentence one might be said to be
performing actions. Austin isolates three basic senses in which in
saying something one is doing something, and hence three kinds of
acts that are simultaneously performed: locutionary act,
illocutionary act, and perlocutionary act”.
Levinson (1983:236) menyatakan bahwa jika seseorang bertindak tutur
dalam suatu kalimat, seseorang juga melakukan sesuatu sebagai tindakan. Kita
harus menjelaskan cara yang tepat untuk mengawali suatu ujaran yang dapat
dikatakan tindakan. Austin (1962:148--149) membagi tiga pengertian dasar
mengenai tindak tutur yang disebut seseorang melakukan sesuatu. Dengan
demikian, tiga jenis tindakan yang secara bersamaan disebut, yaitu tindak lokusi,
tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.
Posisi setiap tindak tutur ini diperjelas oleh Cohen (2008:214) dengan
memberikan contoh ujaran “Do you have a watch?” secara literal ujaran ini
menanyakan apakah seseorang memiliki sebuah jam tangan. Makna ini disebut
dengan makna sesungguhnya atau “makna proposisional”, yaitu meminta
(request). Di pihak lain ada suatu maksud oleh penutur (intended illocutionary
meaning), yaitu meminta agar lawan tutur memberi tahu penutur pukul berapa
sekarang. Hal yang menarik dari tindak tutur adalah efek yang ditimbulkan
(perlocutionary effect) atau juga disebut actual illocutionary force of speech act,
yaitu lawan tutur diminta untuk mengatakan pukul berapa sekarang.
2.3.1.1 Komponen Tindak Tutur
Secara umum tindak tutur (TT) dibagi menjadi tiga, yaitu tindak lokusi
(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act) (Austin, 1962; Searle, 1977; Leech, 1983:199). Berdasarkan
data yang ditemukan di lapangan, maka tindak tutur (TT) dalam upacara
pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo,
dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindak tutur tersebut dapat diuraikan berikut ini.
1. Tindak Lokusi
Tindak lokusi merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak
tutur ini disebut sebagai the act of saying something (Wijana, 2011:21). Leech
(1983:199) menyatakan sebagai tindakan menyatakan sesuatu yang berarti bahwa
tindak tutur ini mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu
ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topik”
dengan “penjelasan” dalam sintaksis atau subject-predicate dan topic-comment
(Nababan, 1987:18) atau propositional act (Searle, 1977:29).
2. Tindak Ilokusi
Tindak tutur ini berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan
sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of
doing something (Wijana, 2011:23). Tindak ilokusi ini juga dikatakan sebagai
suatu ungkapan untuk menyatakan pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, dan
sebagainya.
Yule (1996:48) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan suatu bentuk
ujaran yang mempunyai fungsi-fungsi, seperti pernyataan, penawaran, janji,
dalam mengujarkan sebuah kalimat dengan parafrasa performatif yang eksplisit.
Apabila kita membuat ujaran ilokusi atau ujaran lainnya, hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya verba dalam ujaran tersebut atau ungkapan yang mirip
verba (Leech, 1983:202). Hal ini merupakan kunci pokok yang digunakan untuk
menentukan bentu-bentuk tindak ilokusi tersebut. Beberapa verba yang
dikelompokkan ke dalam ilokusi oleh Leech (1983:203) adalah report (melapor),
announce (mengumumkan), predict (meramalkan), admit (mengakui), opine
(berpendapat), ask (meminta), reprimand (menegur), request (memohon), suggest
(menganjurkan), order (menyuruh), propose (mengusulkan), express
(mengungkapkan), congratulate (mengucapkan selamat), promise (berjanji), thank
(mengucapkan terima kasih), dan exhort (mendesak).
Searle (1979:44) membagi TT ilokusi menjadi lima bagian, yaitu
representative, directive, commissive, expressive, dan declarative. Di pihak lain
Fraser (1975:112) membedakan TT ilokusi menjadi delapan bagian, yaitu act of
asserting, act of evaluating, act of reflecting speaker attitude, act of stipulating,
act of requesting, act of suggesting, act of exercising authority, dan act of
commiting.
3. Tindak Perlokusi
Tindak tutur ini mempunyai pengaruh atau perlocutionary force atau efek
bagi yang mendengarkan. Efek ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dibuat
oleh penuturnya. Tindak tutur ini dimaksudkan untuk memengaruhi lawan
tuturnya sehingga sering disebut the act of affecting someone (Wijana, 2011:24).
Leech (1983:203) mengemukakan beberapa formula yang mampu menjelaskan
tindak perlokusi, di antaranya bring h to learn that (membuat lawan tutur tahu
tentang sesuatu), get h to do (membuat lawan tutur melakukan sesuatu), get h to
think about (membuat lawan tutur berpikir tentang sesuatu). Ketiga verba formatif
(learn, do, think) bisa dijabarkan menjadi beberapa verba performatif untuk tindak
tutur perlokusi, di antaranya persuade (membujuk), deceive (menipu), encourage
(mendorong), irritate (menjengkelkan), frighten (menakuti), amuse
(menyenangkan), inspire (mengilhami), impress (mengesankan), distract
(mengalihkan perhatian), relieve tension (melegakan), embarrass
(mempermalukan), attact attention (menarik perhatian), dan bore (menjemukan).
2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur
Pembahasan tentang jenis tindak tutur (TT) sangat erat kaitannya dengan
modusnya. Pengklasifikasian tindak tutur dapat dilihat berdasarkan kalimat atau
kata-kata yang menyusunnya. Wijana (1996:36) mengembangkan pendapat
Austin (1962), Searle (1979), Leech (1983), Levinson (1983), Yule (1996), dan
Bach (1999). Wijana membagi tindak tutur secara terperinci ke dalam bahasa
Indonesia menjadi delapan, yaitu (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak
langsung, (3) tindak tutur literal, (4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur
langsung literal, (6) tindak tutur tidak langsung literal, (7) tindak tutur langsung
tidak literal, dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal.
1. Tindak Tutur Langsung
Tindak tutur langsung sering disebut dengan direct speech act adalah
tindak tutur berupa sebuah ujaran yang memiliki fungsi yang sama dengan modus
tuturannya, seperti modus interogatif untuk bertanya, modus deklaratif untuk
menginformasikan atau memberitahukan sesuatu, dan modus imperatif untuk
memerintah (Wijana, 1996:30), seperti tuturan berikut ini.
(1) + Kamu tinggal di mana?
- Di Bali.
(2) Walaupun dia pemalas, tetapi dia pintar.
Tuturan yang disampaikan penutur kepada petutur pada kalimat (1)
termasuk ke dalam modus interogatif yang melahirkan makna bertanya. tuturan itu
berfungsi untuk menanyakan sesuatu tanpa ada unsur menyuruh atau membujuk
lawan bicaranya. Di pihak lain kalimat (2) merupakan modus tuturan deklaratif
yang berfungsi untuk memberikan informasi tanpa unsur memengaruhi lawan
bicaranya. Jika diuraikan dalam bagan, modus tuturan di atas dapat ditentukan
berdasarkan unsur sintaksis dengan makna yang berbeda-beda, seperti terlihat
pada skema di bawah ini.
Tabel 1 Modus Tuturan
No Modus Makna
1. Deklaratif (berita) Memberitahukan
2. Interogatif (tanya) Bertanya
3. Imperatif (perintah) Perintah
2. Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur yang
sering digunakan penutur untuk memperhalus ujaran atau lebih sopan, misalnya
perintah diujarakan dengan lebih sopan dalam modus tuturan berita atau tanya.
Dengan demikian, petutur yang diperintah oleh penutur tidak merasa dirinya
diperintah (Wijana, 2011:28--29), seperti tuturan berikut ini.
(3) Rambutmu sudah panjang
Kalimat (3) termasuk ke dalam jenis TT tidak langsung yang diujarkan
dengan kalimat berita. Apabila tuturan (3) dituturkan oleh orang tua kepada
anaknya atau guru kepada muridnya dalam aktivitas sekolah, maka tuturan itu
dimaksudkan untuk menyuruh muridnya atau anaknya memotong rambutnya.
Dari uraian di atas, skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya
dengan kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 2 Modus Tuturan
No Modus Tindak Tutur
Langsung Tidak langsung
1. Deklaratif (berita) Memberitakan Menyuruh
2. Interogatif (tanya) Bertanya Menyuruh
3. Imperatif (perintah) Memerintah ----------
Skema di atas menunjukkan bahwa kalimat perintah tidak dapat digunakan
untuk mengutarakan tuturan secara tidak langsung.
3. Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 2011:30).
Perhatikan contoh berikut ini.
(4) Pulau Bali pemandangannya indah
(5) Penyanyi itu suaranya bagus
Kalimat (4) dan (5) termasuk ke dalam jenis TT literal yang maksudnya
sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Kalimat (4) mengandung
makna bahwa penutur benar-benar mengagumi keindahan pemandangan Pulau
Bali, sedangkan kalimat (5) memang benar dimaksudkan untuk mengagumi
kemerduan suara seorang penyanyi.
4. Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya (Wijana, 2011:31), seperti tuturan berikut ini.
(6) Suaramu bagus, tapi tak usah nyanyi saja
(7) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku ingin belajar
Kalimat (6) termasuk ke dalam jenis TT tidak literal karena maksud
tuturannya berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Di awal kalimat
terkesan memuji atau mengagumi suaranya, padahal secara tidak langsung
menyarankan secara sopan agar petutur diam dan sebaiknya tidak perlu bernyanyi.
Kalimat (7) juga terkesan berlawanan dengan maksud leksikalnya. Sebenarnya
makna kalimat yang disampaikan penutur kepada petutur adalah untuk
mengecilkan volume suara radionya karena pada situasi saat itu penutur ingin
belajar.
5. Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) merupakan
kombinasi tindak tutur langsung dan tindak tutur literal. Tindak tutur langsung
literal adalah TT yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama
dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan
kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu
dengan kalimat tanya, dsb (Wijana, 2011:32), seperti tuturan berikut ini.
(8) Jam berapa sekarang?
(9) Orang itu sangat pandai
(10) Buka mulutmu
TT langsung literal pada kalimat (8) merupakan TT langsung dengan
modus interogatif yang dituturkan penutur kepada petutur untuk menanyakan
waktu. Kalimat (9) termasuk TT dengan modus tuturan deklaratif yang berfungsi
memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan penutur kepada petutur sangat
pandai, sedangkan kalimat (10) termasuk TT dengan modus tuturan imperatif
yang berfungsi menyuruh petutur membuka mulutnya, misalnya pada situasi saat
itu penutur sebagai dokter akan memeriksa pasien yang sedang sakit gigi atau
situasi petutur ingin membersihkan karang giginya.
6. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah TT
yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa
yang dimaksudkan penutur. Dalam TT ini maksud memerintah diutarakan dengan
berita atau kalimat tanya (Wijana, 2011:33), seperti tuturan berikut ini.
(11) Lantainya kotor
(12) Di mana handuknya?
Kalimat (11) dan (12) merupakan TT tidak langsung literal. Dalam
konteks ini seorang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya, yakni pada
(11). Dalam tuturan ini tidak hanya terkandung informasi, tetapi juga terkandung
maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat
berita. Makna kata-kata yang menyusun (11) sama dengan maksud yang
dikandungnya. Demikian pula dalam konteks seorang suami bertutur dengan
istrinya pada (12). Dalam kalimat tersebut maksud memerintah untuk
mengambilkan handuk diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya.
Makna kata-kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandung.
Untuk memperjelas maksud memerintah (11) dan (12) di atas, dilakukan
perluasannya ke dalam konteks (13) dan (14). Perluasaan tersebut diharapkan
dapat membantu.
(13) + Lantainya kotor
- Baik, saya akan menyapu sekarang, Bu.
(14) + Di mana handuknya?
- Sebentar, saya ambilkan.
Akan sangat lucu dan janggal bila dalam konteks seperti (13) dan (14)
seorang pembantu dan istri menjawab seperti (15) dan (16) berikut.
(15) + Lantainya kotor
- Memang kotor sekali ya, Bu.
(16) + Di mana handuknya?
- Di lemari
Jawaban (-) pada (15) akan mengagetkan sang majikan yang memang
sudah merasa jengkel melihat lantai kamar rumahnya kotor. Di pihak lain jawaban
(-) pada (16) akan mengejutkan sang suami yang lupa membawa handuk dan
sudah telanjur berada di kamar mandi.
7. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah TT
yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi
kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud
penuturnya (Wijana, 2011:34), seperti tuturan berikut ini.
(17) Suaramu bagus, kok
(18) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu
Kalimat (17) termasuk ke dalam jenis TT langsung tidak literal, yaitu
maksud tuturannya bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Di pihak lain pada
kalimat (18) penutur menyuruh petutur yang mungkin dalam hal ini anaknya atau
adiknya untuk tidak berbicara sewaktu makan agar terlihat sopan. Data (17) dan
(18) menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang
dikatakan yang penting, melainkan bagaimana cara mengatakannya.
8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah TT yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak
sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (Wijana, 2011:34), seperti tuturan
berikut ini.
(19) Lantainya bersih sekali
(20) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran
(21) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kaudengar?
Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang
majikan dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (19). Demikian
pula untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume
radionya penutur dapat mengutarakan kalimat berita (20) dan kalimat tanya (21).
Di samping ketidaksesuaian modus, makna kata-kata yang menyusunnya
juga berbeda dengan maksud tuturannya. Jenis tindak tutur dapat digambarkan
sebagai berikut.
Tabel 3 Jenis Tindak Tutur
No Modus
Unit Leksikal
Tindak Tutur
Langsung
Tindak Tutur
Tidak
Langsung
Tindak Tutur
Literal
Tindak Tutur
Tidak Literal
1. Deklaratif
(berita)
Memberitakan Menyuruh ---------- ----------
2. Interogatif
(tanya)
Bertanya Menyuruh ---------- ----------
3. Imperatif
(perintah)
Memerintah ---------- ---------- ----------
4. Unit Leksikal ---------- ---------- Sesuai Tidak Sesuai
Dari tabel di atas tampak bahwa TT langsung sesuai dengan modus tuturan
secara sintaksis, dibuktikan pada modus interogatif bermakna tanya, modus
deklaratif bermakna memberitahukan atau menginformasikan, dan modus
imperatif bermakna perintah secara langsung. Berbeda dengan makna TT tidak
langsung yang tidak sesuai dengan modus tuturan secara sintaksis, tetapi lebih
bersifat pragmatis dan semantis, seperti pada modus interogatif bermakna
menyuruh, modus perintah tidak bermakna secara langsung, dan modus deklaratif
bermakna menyuruh. TT literal bermakna sama dengan makna kata-kata yang ada
dalam tuturan, sedangkan TT tidak literal bermakna berbeda dengan makna kata-
kata yang ada dalam tuturan.
2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur
Kajian tindak tutur merupakan sebuah kajian pemaknaan berdasarkan
konteks dan situasi bahasa yang digunakan. Tindak tutur merupakan alat
komunikasi untuk mengungkapkan, baik identitas sosial penutur maupun budaya
penutur. Fungsi tindak tutur berhubungan langsung dengan situasi kontekstual
sehingga sifatnya sangat komunikatif.
Berdasarkan tindak komunikatif seorang penutur, Searle (1979:44--45)
membagi tindak tutur menjadi lima. Kelima tindak tutur tersebut, yaitu (1) fungsi
representatif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi ekspresif, (4) fungsi komisif, dan (5)
fungsi deklarasi. Kelima fungsi tindak tutur ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Fungsi Representatif
Fungsi representatif ialah fungsi TT yang mengikat penutur kepada
kebenaran atas apa yang dikatakan, misalnya menyatakan, melaporkan,
menunjukkan, dan menyebutkan.
2. Fungsi Direktif
Fungsi direktif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud
agar pendengar atau mitra tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam
tuturan tersebut, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan
menantang.
3. Fungsi Ekspresif
Fungsi ekspresif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud
agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam
tuturan tersebut, misalnya meminta maaf, berterima kasih, mengkritik, dan
mengeluh.
4. Fungsi Komisif
Fungsi komisif ialah fungsi TT yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan
bersumpah.
5. Fungsi Deklarasi
Fungsi deklarasi ialah fungsi TT yang dilakukan oleh penutur dengan
maksud untuk menciptakan status sosial, misalnya memutuskan, membaptis,
membatalkan, melarang, mengizinkan, memberikan maaf.
2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks
Dilihat dari bentuknya, teks dapat berupa kata, grup, frasa, klausa,
paragraf, dan naskah atau buku. Dari bentuknya itu dapat diklasifikasikan adanya
teks kecil (small texts), teks menengah (medium texts), dan teks besar (large
texts). Dalam teks menengah dan teks besar terdapat konteks linguistik atau ko-
teks, yaitu hubungan antara satu teks dan teks sebelumnya dan sesudahnya.
Hubungan tersebut terjadi melalui kohesi. Teks memiliki hubungan yang sangat
erat dengan konteks eksternal atau disebut juga konteks sosial.
Konteks sosial meliputi konteks-konteks berikut.
(a) Konteks situasi, yaitu segala sesuatu yang melingkupi atau mendampingi teks.
Konteks situasi terdiri atas hal-hal di bawah ini.
Medan (field), seperti aktivitas, tempat, dan waktu.
Pelibat (tenor), seperti orang-orang yang ikut di dalamnya.
Sarana (mode), seperti bahasa yang digunakan.
(b) Konteks budaya, yaitu budaya penggunaan bahasa, misalnya apa yang boleh
dilakukan, kata-kata apa yang boleh diucapkan atau digunakan, dan tahap-
tahap yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
(c) Konteks ideologi, yaitu pemahaman atas nilai-nilai dalam bentuk simbolik
yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat, sudut pandang yang dianut,
bentuk-bentuk perilaku, dan lain-lain (Halliday, 1985:12).
2.4 Model Penelitian
Penelitian tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa
Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo dimulai dari pengumpulan data lisan BMd
yang berbentuk tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Analisis dibagi
menjadi dua, yaitu teori pragmatik (Leech, 1983) dan (Wijana, 1996) digunakan
untuk menganalisis tindak tutur dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis tindak
tutur. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks digunakan untuk menganalisis
ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura
di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Ideologi ini ialah ideologi dalam
tuturan tradisi yang dituturkan oleh masyarakat madura secara turun-temurun.
Keterangan:
↓ memiliki hubungan bawahan
↔ memiliki hubungan timbal balik
Bahasa Madura
Tindak Tutur
(Leech, 1983)
Tuturan Tradisi BMd
Lokusi, Ilokusi,
dan Perlokusi
Jenis Tindak Tutur
(Wijana, 1996)
Tindak Ilokusi
Bahasa, Konteks, dan
Teks (Halliday, 1985)
Ideologi
Temuan/Hasil
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
Tuturan Pernikahan BMd
Analisis
Data
Lisan
BMd
Pragmatik