bab ii landasan teori a. psychological well-being

33
17 BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being a. Pengertian Psychological wellbeing Menurut Ryff, psychological wellbeing merupakan kondisi seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja tetapi kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi maksimal. Psychological wellbeing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif ( positive psychological functioning). 1 Ryyf juga mengemukakan bahwa psychological wellbeing merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu, dimana individu dapat menerima segala kelemahan dak kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain dapat menguasai lingkungannya, dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus mengembangkan pribadinya. 2 Dari definisi diatas dapat disimpulkan psychological wellbeing merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh individu yang 1 Ryyf C. D., & Keyyes , C. L. M. The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology , 69 (4), 719. 1995 2 Ryyf, C. D. Happines is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological well being, Journal of Personality and Social Psychology, 56 (6), 1069-1081. 1989

Upload: others

Post on 23-Dec-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well-Being

a. Pengertian Psychological well‐being

Menurut Ryff, psychological well‐being merupakan kondisi

seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah

mental saja tetapi kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi

maksimal. Psychological well‐being merupakan istilah yang

digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu

berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive

psychological functioning).1

Ryyf juga mengemukakan bahwa psychological well‐being

merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu,

dimana individu dapat menerima segala kelemahan dak kelebihan

dirinya, mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain

dapat menguasai lingkungannya, dalam arti dapat memodifikasi

lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup,

serta terus mengembangkan pribadinya.2

Dari definisi diatas dapat disimpulkan psychological well‐

being merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh individu yang

1 Ryyf C. D., & Keyyes , C. L. M. The structure of psychological well-being revisited. Journal o f

Personality and Social Psychology, 69 (4), 719. 1995 2 Ryyf, C. D. Happines is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psycholog ical well

being, Journal of Personality and Social Psychology, 56 (6), 1069-1081. 1989

18

bebas dari masalah psikologis dan mampu merealisasikan

kehidupannya kearah yang positif.

b. Aspek-Aspek Psychological Well Being Ryff3

1. Penerimaan diri (Self acceptance).

Seseorang yang psychological well‐being‐nya tinggi memiliki

sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai

aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang

kehidupan masa lalu.

2. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with

others).

Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan

interpersonal yang hangat dan saling mempercayai dengan orang

lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen

utama kesehatan mental. Psychological well‐being seseorang itu

tinggi jika mampu bersikap hangat dan percaya dalam

berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi, dan

keintiman yang kuat, memahami pemberian dan penerimaan

dalam suatu hubungan.

3. Kemandirian (Autonomy).

Merupakan kemampuan individu dalam mengambil

keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial

untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar,

3 Keyes, CLM., Ryff, CD., and Shmotkin, D. 2002. Optimizing Well‐Being : The Empirical

Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology . 82, 6, 959‐971.

19

berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri, dan

mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.

4. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery).

Mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan,

menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal,

menggunakan secara efektif kesempatan dalam lingkungan,

mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.

5. Tujuan hidup (Purpose in life).

Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan‐

kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa

hidup ini memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi

secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah yang

membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.

6. Pengembangan pribadi (Personal growth).

Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap‐tahap

perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari

potensi yang ada dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam

hidupnya setiap waktu.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri

individu menurut Ryyf4, yakni :

4 Ryff, C. D. Psychological Well Being in Adult Life. Current Direction in Psychological Science.

Vol 4, No. 4, 99-104. 1995

20

1. Usia

Menurut Ryff, dimensi-dimensi dari psychological well-being

seperti penguasaan lingkungan, dan otonomi meningkat searah

dengan bertambahnya usia. Penerimaan diri dan hubungan positif

dengan orang lain tidak memiliki perbedaan dengan bertambahnya

usia.5

2. Jenis Kelamin

Menurut Ryff, perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aspek-aspek

kesejahteraan psikologis. Di temukan bahwa perempuan memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang lebih

positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang

lebih baik dari pada pria.6

3. Budaya

Ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara masyarakat yang

memilikibudaya yang berorientasi pada individualisme dan

kemandirian seperti dalam aspek penerimaan diri atau otonomi

lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu,

masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektif dan

saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang

termasuk dalam aspek hubungan positif dengan orang yang bersifat

kekeluargaan.

5 Ibid. 25 6 Ibid. 25

21

4. Religiusitas

Menurut Chamberlain & Zika menyebutkan bahwa religiusitas

mempunyai hubungan positif dengan kesejahteraan dan kesehatan

mental.7 Lebih lanjut, Ellison menyatakan bahwa agama mampu

meningkatkan psychological well-being dalam diri seseorang.

Ellison juga menjelaskan bahwa adanya korelasi antara religiusitas

dengan psychological well-being, dimana individu dengan

religiusitas yang kuat, tingkat psychological well-being juga akan

lebih tinggi, sehingga akan semakin sedikit dampak negatif yang

dirasakan dari peristiwa traumatik dalam hidup.8

5. Dukungan Sosial

Menurut Persma menyatakan bahwa dukungan secara informatif

disertai dengan dukungan emosional yang baik akan meningkatkan

PWB pada individu.9 Menurut Winnubust dukungan sosial erat

kaitannya dengan hubungan yang harmonis dengan orang lain

sehingga individu tersebut mengetahui bahwa orang lain peduli,

menghargai dan mencintai dirinya.10 Penelitian yang dilakukan

Bodla, Saima, dan Ammara tentang Social Support and

Psychological Well-Being among Parents of Intellectually

Challenged Children, menunjukkan bahwa ada hubungan antara

7 Galuh Amawidyati, Sukma Adi & Muhana Sofiati Utami, Religiusitas dan Psychological Wel l ‐

Being pada Korban Gempa, Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 34, No. 2, 164 – 176, hlm. 167

8 Ibid. 28 9 Tembalang, Desiningrum, Family’s Social Support and Psychological Well-Being of the Elderly

in, 2010 hlm. 25 10 Ibid. 30

22

dukungan sosial dengan psychological well-being. Biasanya pada

orang tua yang memiliki anak yang retardasi mental yang

membutuhkan dukungan sosial dari anggota keluarga mereka.11

6. Kepribadian

Ryff dan Keyes mengatakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi psycological well-being adalah kepribadian.

Individu yang memiliki kepribadian yang sehat adalah individu

yang memiliki coping skill yang efektif, sehingga individu tersebut

mampu menghindari stres dan konflik, memiliki banyak kompetensi

pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, dan mampu menjalin

hubungan yang harmonis dengan lingkungan.

7. Stres

Menurut Rathi dan Rastogi, stres merupakan salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi tinggi rendahnya psychological well-being

pada diri seseorang.12 Dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi psychological well-being terdiri dari dua macam,

yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari usia,

jenis kelamin, religiusitas, kepribadian dan stres. Sedangkan faktor

eksternal terdiri dari budaya dan dukungan sosial.

11 Bodla, Saima, dan Ammara, Social Support and Psychological Well-Being among Parents o f

Intellectually Challenged Children. 2012 hlm. 48 1212 Rathi, N., Rastogi, R. Meaning in life and psychological well-being in preadolescents and

adolocent. Journal off the Indian Academi of Aplied Psychology.2007. hlm. 31-38.

23

d. Psychological well being dalam Perspektif Islam

Psychological well being adalah suatu keadaan dimana individu

mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang

hangat dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki

kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat

serta kemampuan untuk perkembangan pribadi. Dalam pengertiannya,

Psychological well being juga diartikan sebagai mental yang sehat, sebab

beberapa dimensi dan Psychological well being mengacu pada kesehatan

mental itu sendiri. terdiri dari beberapa dimensi. Berikut beberapa ayat

yang menyebutkan tentang dimensi-dimensi tersebut:

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Di dalam Islam, istilah penerimaan diri lebih dikenal dengan istilah

Qona’ah. Allah berfirman dalam surat At-Taubah 59:

حسبنا ٱلل سيؤتينا ۥ وقالوا ءاتىهم ٱلل ورسوله ما ولو أنهم رضوا

غبون إلى ٱلل ر ۥ إنا ٱلل من فضله ۦ ورسوله

Artinya: “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan adi yang

diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah

Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan

demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang

berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi

mereka).” (Q.S. At-Taubah: 59)

Allah SWT akan memberikan sebagian karunia-Nya bagi hamba-

Nya yang menerima keadaan dirinya secara positif. Mensyukuri segala

24

sesuatu yang ia dapatkan. Selain itu, orang yang bisa menerima keadaan

dirinya baik dan buruknya, tentu lebih membawa ketenangan, ketentraman

dan kenyamanan hati.

b. Hubungan postif dengan orang lain (Posstive Relations with Others)

Hubungan antar manusia (hablum minannas) dalam membina

silaturahim terdapat dalam firman Allah SWT surat An Nisa ayat 1:

حدة وخلق منها ن نفس و ربكم ٱلذى خلقكم م أ يها ٱلناس ٱتقوا ي

ءلون ٱلل ٱلذى تسا وٱتقوا ء ا ونسا زوجها وبث منهما رجال كثير

إن ٱلل كان عليكم رقيب ا به ۦ وٱلرحام

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu

yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah

menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An Nisa: 1)

Perintah yang serupa juga terdapat dalam Ar Ra‟d ayat 21, yakni:

ء أمر ٱلل به ۦ أن يوصل ويخشون ربهم ويخافون سو وٱلذين يصلون ما

ٱلحساب

Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang

Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturahim), dan mereka takut

kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Q.S. Ar Ra‟d: 21)

25

Ayat tersebut mengandung makna anjuran untuk menjalin,

menjaga, serta memelihara silaturahmi itu sendiri tidak lain karena dibalik

silaturahmi itu ada rahasia dimana Allah menjanjikan kenikmatan bagi

hambanya yang menjalankan serta menjanjikan keburukan bagi hambanya

yang memutuskan. Silaturahmi merupakan ketaatan kepada Allah SWT

dan ibadah besar, serta petunjuk takutnya hamba kepada Rabb-Nya.

c. Otonomi/ kemandirian (Autonomy)

Kemandirian dalam istilah bahasa Arab adalah الذاتي الحكم (alhakm

adzdzati) yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan autonomy. Istilah

lain yang maknanya hampir sama adalah kata االستقالل) alistiklaliyah) yang

didalam bahasa Inggris disepadankan dengan kata independence.

Hakikat atau konsep dasar kemandirian adalah

ketidakbergantungan manusia kepada makhluk lainnya termasuk tidak

bergantung kepada dirinya sendiri. Seorang muslim hanya bergantung

kepada Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang tidak memiliki

kekuatan apapun tanpa pertolongan Allah ا إ ل ب الل ة لا قو tidak ada) لا حاولا وا

daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT). Meskipun seorang muslim

hanya bergantung kepada Allah, bukan berarti ia pasrah, tanpa ikhtiar,

tanpa kerja keras. Islam mengajarkan agar setiap muslim berikhtiar

semaksimal mungkin, bekerja keras, dan bersungguh-sungguh untuk

mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Indikatornya, semakin ia bergantung

kepada Allah SWT, semakin keras usahanya untuk mendapat ridha Allah

SWT.

26

Kemandirian juga diartikan sebagai kemampuan individu dalam

mengambil keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan

sosial untuk berfikir dan bersikap dengan cara yang benar, berperilaku

sesuai standar nilai individu itu sendiri, dan mengevaluasi dengan standar

personal.

Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 62:

ا وهم ل يظلمون ب ينطق بٱلحق ولدينا كت ا إل وسعها ول نكل ف نفس

Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut

kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan

kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (Q.S. Al-Mukminun: 62.)

Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa individu tidak akan

mendapatksu suatu beban diatas kemampuannya sendiri tetapi Allah Maha

Tahu dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan

individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam

menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada

orang lain.

d. Tujuan hidup (Purpose in Life)

Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia

memiliki beberapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut:13

1. Menyembah Kepada Allah (Beriman)

Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan

sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan

13 Nur Amma, Bunayya. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Kesejahteraan Psiko logis s is wa

SMK Muhammadiyah 2 Malang. UIN. Maulana Malik Ibrahim Malang.2014

27

infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk

manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari

karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia

dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di

hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan

adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”,

yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.

Tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada

Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut

dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang

beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik,

sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan

menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini

(Syirik).

2. Memanfaatkan Alam Semesta (Beramal)

Perintah memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan

alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di

muka bumi. Al-Qur’an menekankan bahwa Allah tidak pernah tak perduli

dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi sebanyak Ia menciptakan

langit, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan lahir

dan batin manusia. Ia telah menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan

manusia. Bintang diciptakan untuk membantu manusia dalam pelayaran,

bulan dan matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian juga

28

dengan realitas kealaman yang lainnya, diciptakan adalah dengan

membekal maksud untuk kemaslahatan manusia. Untuk menjadikan

realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh manusia, Allah telah

membekalinya dengan potensi akal. Di samping itu, Allah juga telah

mengajarkan kepada manusia terhadap nama-nama benda yang ada di

alam semesta. Semua ini diberikan oleh Allah adalah sebagai bekal untuk

menjadikan alam semesta sebagai media membentuk kehidupan yang

sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa manusia

harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena

kealaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya.

Dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk

memakmurkan alam semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan

dalam bentuk mengambil i’tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan

inovatif serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan

lingkungannya. Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam

kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk melakukan kerja

perekayasaan agar segala yang ada di alam semesta ini dapat bermanfaat

bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup manusia yang

semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk “beramal”.

3. Membentuk Sejarah Dan Peradaban (Berilmu)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Allah menciptakan alam

semesta ini dengan pasti dan tidak ada kepalsuan di dalamnya (QS. Shod

ayat 27). Oleh Karena itu, alam memiliki eksistensi yang riil dan obyektif,

29

serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap (sunnatullah). Di

samping itu, sebagai ciptaan dari Dzat yang merupakan sebaik-baiknya

pencipta (QS. al-Mukminun ayat 14), alam semesta mengandung nilai

kebaikan dan nilai keteraturan yang sangat harmonis. Nilai ini diciptakan

oleh Allah untuk kepentingan manusia khususnya bagi keperluan

perkembangan sejarah dan peradabannya.

Menurut al-Qur‟an manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam

hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah; pertama, menyembah kepada

Allah Swt. (beriman). Kedua, memakmurkan alam semesta untuk

kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya

yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut al-Qur’an, tugas

atau tujuan pokok hidup manusia dimuka bumi ini sebenarnya sangatlah

sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan

“berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang

menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari

makhluk Allah lainnya.

e. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Menurut Agama Islam manusia adalah makhluk Allah yang

berpotensi. Potensi-potensi yang dimilikinya dapat membawa kemuliaan

dan keutamaan serta dapat menjalankan amanah. Sebagaimana firman

Allah SWT dalam surat At-Tin ayat 4:

أحسن تقويم ن ف ى نس لقد خلقنا ٱل

Artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

30

bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S At-Tin : 4)

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan diberi akal dan

berbeda dengan hewan dengan tujuan agar manusia bisa menggunakan

kelebihannya untuk membuat hidupnya lebih bermutu. Sebagaimana

makhluk yang sebaik-baiknya mampu menyadari potensi yang ada dalam

dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya, mampu melewati tahap-

tahap perkembangan secara berkelanjutan dan dapat terus

mengembangkan potensi diri.

f. Penguasaan terhadap lingkungan (Enviromental Mastery)

Individu yang mampu menguasai lingkungan adalah yang mampu

mengontrol dan memahami keadaan lingkungan sekitarnya, mampu

menciptakan suasana yang nyaman, tentram, dan damai serta mampu

berkompetensi dalam mengatur lingkungan.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai pengendali dari

lingkungannya sebelum dan bukan dikendalikan pihak lain. Allah

berfirman dalam Al-Qur‟an surat An’am: 165

ت ئف ٱلرض ورفع بعضكم فوق بعض درج وهو ٱلذى جعلكم خل

ۥ لغفور رحيم إن ربك سريع ٱلعقاب وإنه ءاتىكم ل يبلوكم فى ما

Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-

penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas

sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu

tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya

31

Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An’am: 165)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa individu yang bisa

menguasai lingkungan adalah yang mampu memahami keadaan

lingkungannya dan berusaha untuk dapat mengatur situasi sekitarnya

sesuai dengan apa yang sedang dibutuhkannya, dan berusaha agar

kehidupannya tidak dikuasai secara dominan oleh orang lain.

B. Religiusitas

a. Pengertian Religiusitas

Glock dan Stark dalam Jalaluddin mengungkapkan bahwa

religiusitas adalah keseluruhan dari fungsi jiwa individu mencakup

keyakinan, perasaan, dan perilaku yang diarahkan secara sadar dan

sungguh-sungguh pada ajaran agamanya dengan mengerjakan lima

dimensi keagamaan yang didalamnya mencakup tata cara ibadah wajib

maupun sunat serta pengalaman dan pengetahuan agama dalam diri

individu.14

Menurut Vorgote berpendapat bahwa setiap sikap religiusitas

diartikan sebagai perilaku yang tahu dan mau dengan sadar menerima

dan menyetujui gambar-gambar yang diwariskan kepadanya oleh

masyarakat dan yang dijadikan miliknya sendiri, berdasarkan iman,

kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sehari hari.15

14 Jalaluddin. Psikologi Agama (ed.revisi), Jakarta: Raja Grafindo Persada.2008 15 Nikko Syukur Dister, Psikologi Agama, Yogyakarta:Kanisius 1989. hlm 10

32

Menurut Muhammad Thaib Thohir Religiusitas merupakan

dorongan jiwa seseorang yang mempunyai akal, dengan kehendak dan

pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut guna mencapai

kebahagiaan dunia akhirat.16 Sedangkan menurut Zakiyah Darajat

dalam psikologi agama dapat dipahami religiusitas merupakan sebuah

perasaan, pikiran dan motivasi yang mendorong terjadinya perilaku

beragama.17 Religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh

pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama

Islam.18 Religiusitas sebagai keberagamaan meliputi berbagai macam

sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain

yang didorong oleh kekuatan supranatural. Dapat diartikan, bahwa

pengertian religiusitas adalah seberapa mampu individu melaksanakan

aspek keyakinan agama dalam kehidupan beribadah dan kehidupan

sosial lainnya.

Religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan

mental individu pada saat‐saat sulit.19 Demikian pula penelitian Ellison

menyatakan bahwa agama mampu meningkatkan psychological well‐

being dalam diri seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan

bahwa individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang

kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi,

16 M Thaib Thohir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1986, hlm 121 17 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm 13 18 Ancok, Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001. hlm 77 19 Argyle, M. The Psychology of Happiness. 2nd Edition. Sussex : Routledge. 2001

33

kebahagiaan personal yang lebih tinggi, serta mengalami dampak

negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika dibandingkan

individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap agama yang

kuat.20 Hasil penelitian Freidman dan kawan‐kawan, juga

melaporkan bahwa religiusitas sangat membantu mereka ketika

mereka harus mengatasi peristiwa yang tidak menyenangkan.21

Menurut Najati kehidupan religius atau keagamaan dapat membantu

manusia dalam menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan

ketegangan.22

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, religiusitas

adalah suatu keadaan individu yang memiliki keyakinan dan perasaan

terhadap ajaran agama dan mampu memberikan motivasi untuk

melakukan perilaku keagamaan yang diwujudkan dalam perilaku

sehari-hari dengan tujuan mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

b. Dimensi Religiusitas

Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso) secara terperinci

menyebutkan lima dimensi religiusitas, yaitu23:

1. Dimensi Keyakinan

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang

religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan

mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama

20 Taylor, S.E., Health Psychology. 3rd ed. Singapore : McGraw‐Hill. 1995 21 Ibid. 22 Najati, U., Al’Quran dan Ilmu Jiwa. Jakarta : Aras Pustaka. 2005 23 Ancok, D, dan Suroso, N. S. Psikologi Islami. Jakarta : Pustaka Pelajar.1994

34

mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut

diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup

keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi

seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.

2. Dimensi Praktik Agama.

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-

hal yang dilakukan oleh orang untuk menunjukan komitmen

terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini

terdiri atas dua kelas penting yaitu ritual dan ketaatan.

3. Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa

semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu,

meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama

dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan

subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan

terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan

supranatural).

4. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang

yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal

pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab

suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas

35

berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu

keyakinan adalah syarat bagi penerimanya.

5. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat

keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan

seseorang dari hari kehari.

c. Religiusitas dalam Perspektif Islam

Dalam surat Al-Baqarah ayat 208 dijelaskan bahwa umat islam

diminta untuk beragama secara penuh atau tidak setengah-setengah. Di

dalam aktivitasnya sehari-hari, umat Islam diharapkan untuk selalu

berislam atau apapun yang dilakukannya dalam rangka beribadah

kepada Allah24

Allah SWT memerintahkan kita untuk beriman secara penuh

dan menjauhi musuh besar umat Islam yakni syaitan. Sebagaimana

yang difirmankan dalam Al-quran surat Al Baqarah ayat 208:

ت خطو فة ول تتبعوا لم كا فى ٱلس ٱدخلوا أيها ٱلذين ءامنوا ي

ۥ لكم عدو م بم إنه ن ٱلشيط

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke

dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah

syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Q.S.

Al Baqarah: 208)

24 Ancok, D. & Suroso, F. N. 2005. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem- Problem

Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 78

36

Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang sejarah

perjalanan umat manusia adalah fenomena keberagamaan

(religiousity). Sepanjang itu pula bermunculan beberapa konsep

religiusitas. Namun demikian, para ahli sepakat bahwa agama

berpengaruh kuat terhadap tabiat personal dan sosial. Keberagamaan

itu sendiri mengandung arti suatu naluri atau insting untuk meyakini

dan mengadakan suatu penyembahan terhadap suatu kekuatan yang

ada di luar dirinya. Naluri keberagamaan ini sudah ada pada setiap

manusia sejak dirinya dilahirkan yang berupa benih-benih

keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan pada setiap manusia.25

Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara

keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak,

memuaskan, dan tertinggi yaitu Tuhan. Manusia membutuhkan agama

untuk memenuhi kebutuhan rohani serta mendapat ketentraman dikala

mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada yang Maha Kuasa.26

Hal ini dijelaskan dalam QS. Ar-rum: 30 dan QS. Ar-Rad: 28.

ل فطرت ٱلل ٱلتى فطر ٱلناس عليها ين حنيف ا فأقم وجهك للد

كن أكثر ٱلناس ل يعلمون ين ٱلقي م ول لك ٱلد ذ تبديل ل خلق ٱلل

Artinya : ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama

Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut

25 Rakhmad, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja.hlm. 67 26 Ibid. hlm. 101

37

fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui.” (Q.S. Al rum: 30)

Al-Qur‟an Surat Ar-Rad ayat 28

أل بذكر ٱلل تطمئن وتطمئن قلوبهم بذكر ٱلل ٱلذين ءامنوا

ٱلقلوب

Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi

tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati

Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Rad: 28)

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberagamaan dalam Islam

bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tetapi juga

dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh,

Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh

baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus didasarkan

pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah,

kapan dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sebagaimana

dijelaskan dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi:

ء ين حنفا ٱلد ٱلل مخلصين له إل ليعبدوا ا أمرو وما

لك دين ٱلقي مة وذ ٱلزكوة ٱلصلوة ويؤتوا ويقيموا

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya

menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan

38

shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang

lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah: 5)

Pembagian dimensi keberagamaan atau religiusitas dalam

Islam dibagi menjadi 3, yaitu akidah islam, syariah, dan akhlak.

Akidah merujuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap

kebenaran ajaran-ajaran agamanya. Di dalam islam, isi dimensi

keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat,

Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

Sementara itu syariah merujuk pada seberapa tingkat kepatuhan

muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang

disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam hal ini menyangkut

dimensi peribadatan yaitu pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji,

membaca Al-Qur‟an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di

bulan puasa, dan sebagainya. Untuk yang terakir yaitu akhlak yang

merujuk pada seberapa tingkatan Muslim berprilaku dimotivasi oleh

ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan

dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam dimensi ini meliputi

perilaku suka menolong, bekerjasama, bederma,

menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan

kebenaran, berlaku jujur, dan sebagainya.27

27 Ibid. hlm.80

39

C. Mindfulness

a. Pengertian Mindfulness

Mindfulness merupakan suatu konsep yang diambil

berdasarkan tradisi meditasi yang sudah diintegrasikan dengan

terapi.28 Thompson, dkk mengemukakan mindfulness sendiri

mempunyai arti perhatian, kesadaran murni pada keadaan sekarang

sehingga dapat berfokus pada tujuan dan menerima tanpa penilaian.29

Kabat-Zin mengemukakan mindfulness didefinisikan sebagai

kemampuan untuk memusatkan perhatian secara langsung,

keterbukaan terhadap pengalaman, dari waktu ke waktu, dengan

keterbukaan pikiran dan penerimaan diri.30 Brown dan Ryan

menyatakan bahwa mindfulness sebagai kehadiran kesadaran yang

melekat dan melibatkan pengalaman dari waktu ke waktu.31

Menurut Goleman mindfulness dapat berguna untuk

mengidentifikasi emosi-emosi dan mengukurnya pada tingkat

28 Hansen, E., Lundh, L. G., Homman, A., & Wångby-Lundh, M. Measuring mindfu lness: p ilo t

studies with the Swedish versions of the mindful attention awareness scale and the Kentucky inventory of mindfulness skills. Cognitive Behaviour Therapy, 38, 2-15.

doi:10.1080/16506070802383230.2009

29Thompson, M., & Gauntlett-Gilbert, J. Mindfulness with children and adolescents: Effective clinical application. Clinical child psychology and psychiatry , 13, 395-407. doi: 10.1177/1359104508090603.2008

30 Kabat-Zinn, J.,Where you go there you are: Mindfulness meditation in everyday life. New York:

Hyperion.1994 31 Brown, K.W., & Ryan, R.M. The Benefit of Being Present : Mindfullness and Its Role in

Psychological Well-Being. Journal of Personality & Social Psychology , Vol. 84, No . 4, 822-

848.2003

40

kesadaran yang jauh lebih dalam.32 Mindfulness juga dapat

meningkatkan proses afektif, stres, dan regulasi emosi.33

Baer, R.A, dkk mengemukakan mindfulness berarti suatu

keadaan ketika individu sadar akan dirinya, baik tempat maupun

mental terhadap keadaan yang terjadi pada saat itu juga, serta tidak

berfikir ataupun terpaku akan kejadian masa lalu maupun masa

depannya, melainkan fokus akan keadaan sekarang34. Individu yang

mindful akan memiliki tingkat tingkat stres yang rendah ketika

menemui permasalahan sehari-hari, memiliki mental dan fisik yang

sehat, kemampuan yang baik dalam sosial dan emosional, serta

indikator lain dalam kualitas hidup dan psychological well-being.35

Dengan demikian, individu mampu untuk memenuhi tugas dan

permasalahan dalam tahapan perkembangannya dapat diatasi dengan

baik.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa mindfulness

merupakan keadaan individu yang mampu memusatkan perhatian

dengan penuh kesadaran dan mampu memahami apa yang dirasakan

dirinya sehingga dapat berfokus pada keadaan sekarang.

32 Goleman, D. Working With Emotional Intelligence, New York: Bantam Books. 1998 33 Nielsen, L., & Kaszniak, A.W. Awarenes of Subtle Emotinonal Feelings : A Comparison of

Long-term Meditators and Non-Meditators. Emotion, 7 (4). 392405.2006 34 Baer, R. A., Smith, G. T., Hopkins, J., Krietemeyer, J., & Toney, L. Using self-report

assessment methods to explore facets of mindfulness. Assessment, 13(1), 27-45.2006 35 Ibid.

41

b. Komponen Mindfulness

Brown dan Ryan menjelaskan bahwa mindfulness adalah

keadaan sadar terjaga dan perhatian yang menghasilkan kesadaran

penuh akan pengalaman keberadaannya di sini-saat ini secara lebih

terbuka.36 Keadaan sadar terjaga adalah pengalaman subjektif dari

fenomena internal dan eksternal yang merupakan apersepsi dan

persepsi murni dari semua realitas peristiwa yang terjadi setiap saat.

Perhatian merupakan pemusatan keadaan sadar terjaga untuk

memperjelas aspek tertentu dari realitas. Pengalaman atas rasa

kehidupan dan keberadaannya dialami sebagaimana adanya, sebagai

realitas pengalaman di sini-saat ini. Brown dan Ryan juga

menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki mindfull (kesadaran)

adalah lebih mampu dalam melakukan kontrol diri dan regulasi diri.

Mindfulness menjadikan seseorang memiliki kemampuan dalam

penyesuaian dengan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai, yang sesuai

dengan situasi tertentu.37 Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan

para ahli, komponen utama dalam mindfulness adalah:

a. Kesadaran (awareness) Keadaan sadar terjaga adalah pengalaman

subjektif dari fenomena internal dan eksternal yang merupakan

apersepsi dan persepsi murni dari semua realitas peristiwa yang

terjadi setiap saat.

36 36 Brown, K.W., & Ryan, R.M. The Benefit of Being Present : Mindfullness and Its Role in

Psychological Well-Being. Journal of Personality & Social Psychology, 84, 2003.(4), 822-848. 37 Affandi, N.A. 2007Pelatihan Meditasi Mindfulness terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan

Survivor Gempa Bumi Bantul. Tesis. ( tidak Diterbitkan ). Yogyakarta : Fakultas Psikologi

Pasca Sarjana Universitas Gajahmada. hlm. 48

42

b. Perhatian (attention) Perhatian merupakan pemusatan keadaan

sadar terjaga untuk memperjelas aspek tertentu dari realitas.

Pengalaman atas rasa kehidupan dan keberadaannya dialami

sebagaimana adanya, sebagai realitas pengalaman di sini-saat ini.

c. Penerimaan (acceptance) Penerimaan terjadi ketika individu

hanya memperhatikan setiap pemikiran, perasaan, dan sensasi

sebagai pengalaman terbuka akan realitas saat ini di sini yang

muncul dalam arus kesadaran tanpa memberikan respon spontan

atas realita tersebut. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

mindfulness adalah tingkat kesadaran diri seseorang yang

mencakup keadaan sadar terjaga dan perhatian pada perubahan-

perubahan yang terjadi, baik perubahan dalam maupun dari luar

dirinya hingga ia mampu menerima segala perubahan tersebut

tanpa merespon secara otomatis.

d. Mindfulness dalam Perspektif Islam

Dalam psikoterapi Islam, spiritualitas merupakan konsep yang

sering digunakan dan dapat menghubungkan antara unsur agama

dengan unsur yang sifatnya realistik. Pada dasarnya spiritualitas

merupakan kebutuhan transenden dalam diri yang harus terpenuhi dan

akan digunakan sebagai penunjuk dalam mencapai tujuan hidup serta

meningkatkan kuliatas ruhani.38 Menurut Rusydi (2015) psikoterapi

spiritual Islam merupakan proses yang mengintegerasikan konsep

38 Suseno, M. N. (2013). Efektivitas Pembentukan Karakter Spiritual untuk Meningkatkan

Optimisme Terhadap Masa Depan Anak Yatim Piatu. Jurnal Intervensi Psikologi, 5(1), 1–24.

43

spiritualitas dengan nilai-nilai keIslaman sebagai upaya penyembuhan

terhadap permasalah psikologis maupun fisik.

Mindfulness dalam Islam dikenal dengan istilah muraqabah,

yaitu sebuah istilah dalam bahasa arab yang berasal dari akar kata

melihat, mengamati, dan penuh perhatian. Seorang muslim yang

dalam keadaan muraqabah akan senantiasa mengetahui bahwa Allah

Maha Mengetahui terhadap dirinya.39 Menurut Torabi muraqabah

secara harfiah diterjemahkan sebagai "observasi’.40 Muraqabah

merupakan praktik dan pencapaian terhadap keadaan berserah diri

kepada Allah yang diperoleh berdasarkan keheningan, kedamaian,

ketenangan, kejernihan dan kesadaran. Azeemi menjelaskan bahwa

cara paling efektif untuk mengaktifkan dan meningkatkan spiritual

adalah muraqabah (meditasi).41 Muraqabah merupakan latihan,

keterampilan, atau cara berpikir yang dapat mengaktifkan kesadaran

indera. Melalui itu juga, seseorang bisa mengeksplorasi kekuatan yang

berada di luar jangkauan indra fisiknya. Parrott menyimpulkan bahwa

aspek yang mendasar dari muraqabah adalah mengetahui bahwa Allah

selalu melihat dan mengetahui setiap saat, sehingga seseorang akan

meresapinya ke dalam pikiran, perasaan, keadaan dirinya lahir dan

batin. Kondisi muraqabah membuat seseorang memiliki kesadaran

39 Parrott, J. (2017). How to be a Mindful Muslim : An Exercise in Islamic Meditation. Yaqeen

Institute for Islamic Research 40 Torabi, E. (2011). Islamic Meditation : Mastering The Art of Zikr. Islamic Meditation.com.

BorderPoint Media. 41 Azeemi, K. S. (2013). Muraqaba : The art and science of sufi meditation. KarachiPakistan:

Azeemi University Press.

44

akan keterhubungan dengan Allah di dalam hati, pikiran, dan tubuh.42

Dari beberapa penjelasan mengenai praktik mindfulness yang telah

didefinisikan oleh para ahli, terdapat adanya perbedaan dalam hal

pandangan dan paradigma. Perbedaan tersebut terbagi antara

pendekatan barat dan pendekatan islam. Perbandingan kedua

pendekatan mindfulness tersebut dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.1

Perbandingan Paradigma Mindfulness Barat Islam

Barat Islam

1. Berangkat dari filosofi Buddha

dan memandang manusia

sebagai makhluk yang kuat

melalui kesadaran dirinya.

2. Hanya berfokus pada aspek

kognitif serta

menghubungkannya dengan

perasaan dan sensasi fisik.

3. Tidak menyertakan

penghayatan terhadap tuhan

dalam pelaksanaannya.

1. Berangkat dari konsep

meditasi Islam yaitu

Muraqabah yang merupakan

kesadaran akan keterhubungan

dengan Allah di dalam hati,

pikiran, dan tubuh.

2. Menggabungkan aspek

kognitif, afektif, dan fisik

dengan penghayatan terhadap

sifat-sifat Allah yang Maha

Besar, Maha Melihat, Maha

Mendengar, dan Maha

Mengetahui (keimanan).

42 Ibid.

45

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bagaimana

perbandingan antara kedua pendekatan mindfulness. Setiap

pendekatan memiliki paradigma dan teknik yang berbeda. Namun,

kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan untuk membantu

individu dalam memperoleh kesejahteraan fisik dan psikis. Dalam

proses mindfulness akan semakin kuat dan menjadi lebih efektif

apabila disetiap tahapan selalu menghubungkan keberadaan Allah

secara lahir dan batin.

D. Caregiver

1. Pengertian Caregiver

Menurut Awad dan Voruganti, pendamping pasien atau

caregiver adalah seorang Individu yang secara umum merawat dan

mendukung individu lain (pasien) dalam kehidupannya.43 Davidson,

Gerald, Neale, Jhon dan Kring juga menjelaskan bahwa caregiver

adalah seseorang yang menyediakan perawatan baik itu dalam bentuk

fisik dan atau emosional bagi individu yang menderita penyakit atau

kecacatan, biasanya individu merupakan seseorang yang dicintai.44

2. Tugas Caregiver

Talley, R. Mc, Corkle menuturkan caregiver memberikan

perawatan informal mencakup 4 dimensi yaitu perawatan langsung

(seperti membantu dressing, manajemen obat-obatan), perawatan

43 Ibid. 53.hlm. 56 44 Ibid. 53.hlm.59

46

emosional (menyediakan dukungan sosial dan dukungan emosional

dan dukungan lainnya), perawatan medis (bernegosiasi dengan orang

lain, termasuk tenaga kesehatan, untuk kepentingan pasien),

pengaturan finansial (mengatur sumber keuangan, termasuk

penghasilan dan pembelanjaan).45

3. Karakteristik Caregiver

Menurut McQuerrey karakteristik caregiver yang baik adalah46:

a. Empathy

Salah satu karakteristik caregiver yang baik adalah

memiliki kemampuan empati kepada klien yang memerlukan

pendampingan. Ketika melakukan pendampingan baik kepada anak

kecil atau membantu orangtua, kemampuan “personal

understanding” dan koneksi dengan klien adalah hal yang sangat

penting. Caregiver yang baik mengerti bagaimana membuat klien

menjadi nyaman dan merasa diperhatikan.

b. Patience

Individu yang menerima pendampingan/pelayanan biasanya

tergantung pada oranglain dan self sufficient, hal tersebut dapat

membuat mereka frustasi dan memberontak. Ketika seorang anak

yang tidak bisa mengekspresikan rasa laparnya, atau yang tidak

bisa mengungkapkan rasa sakit secara verbal atau seorang lansia

yang mengalami dementia. Kesabaran menjadi hal yang vital untuk

45 Ibid. 53.hml.66 46 MC. Querrey, L. Good Qualities Caregiver of a Caregiver..2012

47

caregiver. Anda harus mampu memisahkan diri dari kemarahan

dan tidak terbawa situasi.

c. Realistic Outlook

Pelayanan/pendampingan sering dilakukan dalam jangka

waktu yang panjang untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari dari

klien. Memahami keterbatasan dari klien membantu caregiver

untuk menurunkan tekanan yang ada di lingkungan. Caregiver

yang baik menyadari kapabilitas dan tetap terdorong untuk

semangat dalam melayani dan memperhatikan klien.

d. Strong Constitution

Tugas yang dilakukan oleh caregiver berhubungan dengan

aktivitas instrumental seperti memandikan baik itu bayi atau lansia,

membersihkan luka. Seorang caregiver yang baik tidak akan

merasa malu dengan tugas yang dilakukan.

e. Soothing Nature

Caregiver tahu bagaimana cara untuk menenangkan klien.

Menjadi voice of encouragement adalah hal yang membuat kualitas

dari caregiver jadi baik.

f. Reliability

Merupakan trait yang penting bagi caregiver. Individu yang

menerima pendampingan/pelayanan bergantung dan tidak bisa

berpisah dari caregiver dan sering merasa dekat dengan

48

caregivernya. Caregiver harus konsisten dalam memberikan

pelayanan baik itu makanan dan pemberian obat.

4. Jenis Caregiver

Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver

formal. Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota

keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di

bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun

terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal

adalah relawan atau individu yang dibayar untuk menyediakan

pelayanan. Keduanya termaksud orang-orang yang menyediakan

bantuan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga

professional yang menyediakan pelayanan terutama dalam hal

kesehatan mental maupun jasmani.47

Barrow menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal

dan tidak formal. Caregiver formal adalah individu yang memberikan

perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah

sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya.

Sementara caregiver informal adalah individu yang memberikan

perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara

tenaga professional.48

47 Akpunne, B. C. Psycho-Social Factor and Psychological well Being o f Formal Caregiver .

European Journal of Humabities and Social Sciences, 34, 1855-1871. 2015 48 Widiastuti, R. Copping Stress pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzeimer. Medan: F.

Psikologi USU. 2009

49

Reinhard mengemukakan istilah pengasuh keluarga dan

pengasuh informal merujuk pada anggota keluarga, teman atau

tetangga yang tidak dibayar yang memberikan perawatan kepada

individu yang memiliki kondisi akut atau kronis dan membutuhkan

bantuan untuk mengelola berbagai tugas, mulai dari mandi,

berpakaian, dan minum obat hingga perawatan ventilator.49 Murray &

Zentner, dalam Allender & Spradley mengemukaka suatu keluarga

terdiri dari dua individu atau lebih yang berbagi tempat tinggal atau

berdekatan satu dengan lainnya, memiliki ikatan emosi, terlibat dalam

posisi sosial, peran dan tugas-tugas yang saling berhubungan, serta

adanya rasa saling menyayangi dan memiliki.50

49 Reinhard, C. Susan.Supporting Family Caregivers in Providing Care.2008 50 Ibid.