bab ii pembahasan konstrukstivis
DESCRIPTION
KonstruktivismeTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI KONSTRUKTIVISMEGagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William
Brownell pada awal pertengahan abad duapuluh merupakan ide dasar dari teori
konstruktivisme.1 Dalam kerangka konstruktivis, belajar dimaknai sebagai suatu
upaya pengkonstruktisian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna
atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya
(Tasker, 1992). Belajar merupakan suatu proses pemaknaan yang melibatkan
konstruksi-konstuksi dari para pemelajar (Sukardi, 1999; Sadia, 1996; Fosnot,
1989). Selanjutnya, Dyle & Haas (1997) dan Putrayasa (2010; 2011) menyatakan
bahwa belajar menurut pandangan konstruktivis lebih diarahkan pada
terbentuknya makna pada diri pemelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan
pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih
ditekankan pada terbentuknya hubungan-hubungan makna antara pengetahuan
yang telah ada dan pengetahuan baru dengan difasilitasi kreatifitas guru selaku
mediator pembelajaran. Dengan demikian, dilihat dari dimensi pembelajaran,
model konstruktivis memandang belajar itu sebagai sebuah proses modifikasi ide
dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa menuju terbentuknya pengetahuan
baru.
Dalam proses ini, siswa secara aktif terlibat dalam upaya penemuan makna
dari apa yang dipelajarinya, sehingga secara langsung berdampak pada tumbuh
dan berkembangnya keterampilan berpikir mereka selama pembelajaran
berlangsung (Sharon Lee, 1994). Disamping itu, aplikasi model konstruktivis
memungkinkan siswa untuk menguasai materi pelajaran secara lebih
komprehensif dan bermakna, mengingat mereka terlibat secara aktif selama
berlangsungnya pembelajaran (Putrayasa, 2010; 2011).
1 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, bagian 2 (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 163.
4
Model konstruktivis memberi beberapa peluang bagi kalangan guru untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terkait dengan rendahnya kualitas proses dan
hasil pembelajaran, karena model ini dapat memfasilitasi keterlibatan aktif dan
berkembangnya keterampilan berpikir siswa selama pembelajaran. Jadi, dalam
pandangan konstruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat membangun
constructive habits of mind. Agar siswa mamiliki kebiasaan berpikir, maka
dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.
Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat
kepada siswa dalam proses pembelajaran dari pada guru. Teori ini berpandangan
bahwa adalah sisa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan peristiwa
sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap
obyek dan perisitiwa tersebut. Dengan demikian, siswa sesungguhnya mampu
membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka ssendiri. Oleh
karena itu kemendarian dan kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran
sangat didorong untuk dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme memandang belajar sebagai hasil dari konstruksi
mental. Para siswa belajar dengan cara mencocokkan informasi baru yang mereka
peroleh bersama-sama dengan apa yang mereka telah ketahui. Siswa akan dapat
belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan kontrak pemahaman
mereka sendiri. Belajar juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan, dan sikap
siswa. Dalam proses pembelajaran, para siswa didorong untuk menggali dan
menemukan pemecaan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan
gagasan-gagasan dan berhipotesis. Mereka diberikan peluang daan kesempatan
yang luas untuk membangun pengetahuan awal mereka. Dalam
perkembangannya, terdapat banyak pemikiran dalam teori konstuktivisme ini,
namun semua mendasarkan asumsi dasar yang sama tentang belajar.
Dua teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah. Proses
pembelajaran didasarkan pada temuan-temuan peneltian mutakhir tentang
otak/pikiran manusia dan apa yang dikenal dengan “bagaimana proses belajar
terjadi”.
5
Pendekatan konstruktivisme adalah suatu cara atau strategi seorang guru
yang bertugas sebagai fasilitator dan membimbing siswa dalam menggali ilmu
pengetahuan sendiri, serta membina sendiri konsep ilmu pengetahuan yang
didapatnya melalui pengalaman-pengalaman belajar. Hal ini bertujuan untuk
mengatasi kebosanan siswa, sehingga siswa memiliki minat belajar yang
mendorong siswa mendapatkan hasil belajar yang tinggi terhadap pelajarannya
serta memberikan pengalaman belajar yang bermakna agar mencapai hasil belajar
siswa yang optimal.
CIRI-CIRI KONSTRUKTIVISME1. Menekankan pada proses belajar, bukan pada proses mengajar.
2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin
dicapai.
4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan
pada hasil.
5. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
9. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.
10. Banyak menggunakan terminology kognitif untuk menjelaskan proses
pembalajaran.
11. Menekankan pentingnya bagaimmana siswa dalam belajar.
12. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
13. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.
14. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
15. Memperhatikan keyakinan dalam sikap siswa dalam belajar.
16. Memerikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.
6
PENGETAHUAN MENURUT KONSTRUKTIVISMEPengetahuan dalam pengertian konstruktivisme tidak dibatasi pada
pengetahuan yang logis dan tinggi. Pengetahuan di sini mengacu pada
pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan suatu gejala sederhana. Dalam
konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang memiliki arti yang lain
dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus selalu merupakan pengalaman
fisis seseorang seperti melihat, merasakan dengan inderanya, tetapi dapat pula
berupa pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu objek.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan bukanlah kumpulan
fakta dari suatu kenyatan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi
aktif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, kaidah, atau suatu yang
sudah ada dan tersedia yang orang lain tinggal mengambil, menerima, dan
mengingatnya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang dikenal dan
diketahuinya. Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus-menerus oleh
seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-
pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan
dari seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada orang ain yang belum
memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep,
ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan
pengetahuan mereka sendiri. pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari
orang yang mengenal sesuatu (skemata). Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.2
Menurut konstruktivisme, yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh
pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Pengetahuan bukanlah
hasil pemberian dari orang lain seperti guru, melainkan hasil dari proses
2 Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana), h.113.
7
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Bila seseorang tidak
mengkonstruksikan pengetahuannya secara aktif, meskipun ia berumur tua akan
tetap tidak akan berkembang pengetahuannya.
Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif
membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan
data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola
sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi
pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pandangan konstruktivisme tentang pengetahuan secara sederhana dapat
dirangkum sebagai berikut: (1) kita tidak bisa mengetahui suatu kenyataan yang
objektif. Yang bisa kita lakukan adalah mengkonstruksi pemahaman kita yang
objektif tentang pengalaman kita, menginterpretasikan apa saja yang telah
dipelajari dan dialami; (2) pengetahuan adalah subjektif. Tidak ada dua orang
yang memiliki pengalaman, phisiologis, atau lingkungan yang sama. Oleh karena
itu, tidak ada dua orang yang memiliki pengetahuan yang sama; dan (3)
Pengetahuan dari dua orang bisa dikatakan saling berbagi sepanjang
pembentukannya dilakukan dengan cara yang sama dalam situasi tertentu.
Misalnya, anda dan teman debat anda melihat suatu kejadian yang sama, lau
melihat satu sama lain dan mulai tertawa. Tidak diperlukan kata-kata untuk
menjelaskan mengapa itu lucu.
PROSES PEMBENTUKAN PENGETAHUAN MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISME
Menurut teori konstruktivisme, subjek aktif menciptakan struktur-struktur
kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan
terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan
oleh subjek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
8
penyesuaian diri terjadi secara terus-menerus melalui proses rekonstruksi. Dalam
konstruktivisme, siswa sendiri yang aktif dalam mengembangkan pengetahuan.
Hal paling penting dalam teori konstruktivisme adalah penekanan pada
siswa dalam proses pembelajaran. Siswa harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, dan tidak hanya bergantung pada guru atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kreatifitas dan
aktivitas siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experiental learning, yaitu adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan
teman sejawat, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide serta
pengembangan konsep baru. Belajar menurut teori konsruktivisme bukanlah
sekedar menghafal, melainkan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman.
Galsefeld (Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu (1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2)
kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan persamaan dan
perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu
daripada yang lainnya.
Disamping ketiga kemampuan di atas, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu konstruksi pengetahuan
seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang
dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting daam membentuk
dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan kognitif dalam
dirinya.
9
Pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam. Hal ini terjadi karena
konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi
mana dilihatnya. Untuk dapat memahami perspektif konstruktivisme dengan utuh
kita perlu membahas dua sisi konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual
(individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism).
Penjelasan tersebut selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan
Vygotsky dalam menjelaskan tentang belajar.
Konstruktivisme Menurut Piaget (Konstruktivisme Individual)Piaget (1990) menjelaskan pentingnya beberapa faktor internal seseorang
dalam proses belajar. Faktor-faktor tersebut adalah: tingkat kemampuan berpikir,
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan. Faktor-
faktor internal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan psikologis seseorang, serta
bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif serta emosinya.
Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai dengan
aturan tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi
merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang
lebih tinggi, seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget
menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir
(schemas berarti bulding blocks of thinking).
Menurut Piaget, berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling
berhubungan, yaitu mengorganisasikan (organizing) dan mengadaptasi/mengubah
(adapting) informasi atau pengetahuan. Ketika mengorganisasikan pengetahuan,
yang dilakukan seseorang adalah membedakan informasi yang penting dari yang
tidak penting, atau konsep utama dengan jabarannya, serta melihat saling
keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Di samping itu,
seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar, yaitu melalui asimilasi
(mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki) atau
melalui proses akomodasi terhadap pengetahuan baru, dengan sedikit banyak
mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki. Sama halnya dengan setiap
10
organisme yang harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat
bertahan hidup, struktur pemikiran manusia juga demikian.
Konstruktivisme Psikologis Personal dikemukakan oleh Piaget, dalam
Teori Adaptasi Intelektual. Dalam teori tersebut dikemukakan konsep sebagai
berikut:
SkemaSetiap orang memiliki struktur kognitif yang disebut skema.
Skema/skemata adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya
seseorang secara intelektual beradaptasi, mengoordinasi, dan terus mengalami
perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar. Skema itu
akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema
bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam
sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat
(Wadsworth, 1989).3 Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental,
konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri.
Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skema
seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa. Gambaran dalam pikiran
anak menjadi semakin berkembang dan lengkap. Misalnya anak yang sedang
berjalan dengan Ibunya melihat seekor kuda. Lalu ibunya bertanya, “Apa nama
binatang itu nak?” Karena anak tersebut baru kali itu melihat kuda dan sudah
sering melihat sapi, maka ia menjawab “Itu sapi”. Anak tersebut melihat ada
sesuatu yang sama antara kuda dengan konsep sapi yang ia punyai, yaitu berkaki
empat, bermata dua, bertelinga dua, dan berjalan merangkak. Anak tersebut belum
dapat melihat perbedaannya, melainkan melihat kesamaannya antara sapi dengan
kuda. Bila anak mampu melihat perbedaannya, ia akan mengembangkan
skemanya tentang kuda, tidak sebagai sapi lagi.
AsimilasiAsimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau
3 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
11
pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu
proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
dan terus berkembang. Menurut Wadsworth (Paul Suparno: 23), asimilasi tidak
menyebabkan perubahan skema (tetap mempertahankan konsep awalnya),
melainkan mengembangkan, menambah, atau merinci skema. Misalnya, sesorang
yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran orang itu memiliki skema
“balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian meniupnya lagi sampai
besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai besar, ia tetap memiliki
skema tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya tentang balon diperluas dan
terinci lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang menggelembung karena
terisi udara, melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Jadi, asimilasi
merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu
berkembang.
Contoh lain misalnya seorang anak mempunyai konsep mengenai
“lembu”. Dallam pikiran anak itu, ada skema “lembu”. Mungkin skema anak itu
menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki empat, berwarna putih, dan
makan rumput. Skema itu terjadi waktu anak tersebut pertama kali melihat lembu
tetangganya yang memang berwarna putih, berkaki empat, dan sedang makan
rumput. Dalam perjalanan hidupnya, anak itu bertemu dengan bermacam-macam
lrmbu yang lain, yang warnanya lain, dan sedang tidak makan rumput, tetapi
sedang menarik gerobak. Berhadapan dnegan pengalaman yang lain itu, anak
memperkembangkan skema awalnya. Skemanya menjadi: lembu itu binatang
berkaki empat, dapat berwarna putih atau kelabu, makannya rumput dan dapat
menarik gerobak. Jelas bahwa skema lembu anak itu menjadi bertambah lengkap.
Skema awalnya tidak hanya tetap dipakai, tetapi juga dikembangkan dan
dilengkapi.4
4 Ibid.
12
AkomodasiDapat terjadi bahwa dalam menghadapi ransangan atau pengalaman yang
baru, ada kemungkinan seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang
baru dengan skema yang telah ia dimiliki. Pengalaman yang baru itu bisa jadi
sama sekali tidak cocok dengan skema atau konsep awal yang telah dimilikinya.
Dalam keadaan demikian, orang itu akan mengadakan akomodasi. Ia dapat
membuat dua hal yaitu: (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan
rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu.
Untuk memahami proses akomodai, diberikan beberapa contoh sebagai
berikut. Misalnya, seorang anak memiliki suatu skema bahwa semua binatang
berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya terhadap binatang
yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan menemukan
banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut merasakan bahwa
skema lamanya tidak cocok lagi dan terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus
mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi
dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan
atau lebih dari empat. Contoh lain misalnya seorang anak mempunyai skema
bahwa semua benda padat akan tenggelam dalam air. Skema ini didapatkan
berdasarkan abstraksinya terhadap pengalamannya akan benda-benda yang
dimasukkan ke dalam air. Suatu hari, ia melihat beberapa benda padat yang
terapung di atas sungai. Ia merasakan bahwa skema lamanya tidak cocok lagi. Ia
mengalami konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan skema
lama dengan membentuk skema baru yang berisi: tidak semua benda padat
tenggelam dalam air.5
Skema seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skema
menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia
sekitarnya. Karena skema itu suatu konstruksi, maka bukan tiruan kenyataan
dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan
5 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (________: Kanisius, ____), h. 23.
13
dalam diri seseorang.6 Dalam contoh pengalaman anak di atas, ia akan terus
mengembangkan skemanya tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman
yang berbeda, misalnya bahwa ada juga binatang yang tidak berkaki.
Equilibration (Ekuilibrasi)Unsur yang paling penting dalaam perkembangan pemikiran anak adalah
adanya mekanisme internal yang disebut ekuilibrum. Ini merupakan self-regulasi,
yaitu suatu pengaturan dalam diri seseorang ketika berhadapan dengan rangsangan
atau tantangan dari luar. Ketika berhadapan dengan lingkungan luar, seseorang
mengalami ketidaksetimbangan (disequilibrium) dalam dirinya. Karena
mengalami itu, ada usaha intrinsik untuk mengusahakan ekuilibrium dengan cara
melakukan asimilasi atau akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk
perkembangan kognitif sesorang. Dalam perkembangan intelek seseorang
diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi sehingga seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Proses
ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur
keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan
tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Proses dari disequilibrium ke
equilibrium itu disebut equlibration. Jika terjadi kesetimbangan maka individu
akan berada pada tingkat yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Proses tersebut
berjalan terus dalam diri individu. Ekuilibrasi ini sering juga disebut motivasi
dasar seseorang yang memungkinkannya selalu berusaha memperkembangkan
pemikiran dan pengetahuannya.7 Jadi dengan proses equilibrium-disequilibrium,
anak senantiasa ditantang untuk selalu mengembangkan pemikirannya, dan
dengan demikian juga mengembangkan pengetahuannya.8
Menurut Piaget, pengalaman sangat menentukan agar proses pembentukan
pengetahuan berkembang. Semakin orang memiliki banyak pengalaman mengenai
persoalan, lingkungan, atau objek yang dihadapi, ia akan semakin
mengembangkan pemikiran dan pengetahuannya. Dengan semakin banyak
6 Ibid.7 Paul Suparno. Teori Perkembangan Kognitif Jean Peaget, (________: Kanisius, ____), h. 108.8 Ibid., h. 111.
14
pengalaman, skema seseorang akan banyak ditantang dan mungkin dikembangkan
dan diubah dengan asimilasi dan akomodasi. Semakin orang terbuka dengan
banyak pengaalaman di laboratorium atau di dunia luar, ia akan semakin dibantu
dalam mengembangkan pengetahuan dan cara berpikirnya. Tanpa pengalaman,
pemikiran seseorang sulit untuk berkembang. Tanpa pengalaman, pengetahuan
seseorang sulit untuk maju.
Konstruktivisme Menurut Vygotsky (Konstruktivisme Sosial)Sebagaimana diketahui bahwa menurut pandangan konstruktivis, suatu
pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan
struktur kognitif yang sudah dimiliki. Akan tetapi, hal ini tidaklah berarti tidak
dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap
suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman yang sama
terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi sosial dan
kolaborasi bersama dalam membangun makna. Vygotsky berpendapat bahwa
pengetahuan dibangun secara sosial, dalam arti bahwa peserta yang terlibat dalam
suatu interaksi sosial akan memberikan konstribusi dan membangun bersama
makna suatu pengetahuan. Dengan demikian, proses yang terjadi akan beragam
sesuai dengan konteks kulturalnya.
Proses dan konteks kultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang
beragam pula. Misalnya, seorang anak yang mendengarkan cerita dari orang
tuanya sebelum tidur akan berbeda dengan anak yang lebih mengandalkan
tayangan televisi dalam memahami nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan
pemahaman anak terhadap suatu nilai sebagai hasil belajar tidak akan sama
melalui kedua proses yang berbeda tersebut.
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD)Menurut Vygotsky, pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui
proses belajar sendiri (tanpa bantuan orang lain) pada saat pemecahan masalah
disebut sebagai actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi
15
sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai
kemampuan lebih tinggi disebut potential development. Selanjutnya ZPD
merupakan jarak antara tingkat perkembanagan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman
sejawat yang lebih mampu.9 Dengan kata lain, jarak antara actual development
dan potential development disebut sebagai zone of proximal development.10
ScaffoldingTingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang oleh Vygotskian
disebut sebagai scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar
bantuan kepada seorang individu selama tahap-tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada
individu tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk
lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky (Putrayasa, 2011)
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu: (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffoldding berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa
ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimal.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi
secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh
setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui proses regulasi diri
internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan
pada penerapan teknik saling tukar antar individual.
9 Erna Suwangsih. Bahan Belajar Mandiri (BBM) 4 tentang Pendekatan Pembelajaran Matematika, h. 11.10 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 164-165.
16
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1)
mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai
proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar
informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Guru sebagai
mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya
membangun pengetahuan, pengertian, dan kompetensi.
KARAKTERISTIK KONSTRUKTIVISMEWinataputra (2007) mengemukakan beberapa karakteristik yang juga
merupakan prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai berikut.
1) Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis
informasi.
Siswa perlu dibiasakan untuk dapat mengakses informasi dari berbagai
sumber seperti buku, majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan
menggunakan internet. Sesuai degan tingkat kemampuan berpikir siswa,
mareka perlu belajar menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya,
asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan
informasi informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi yang
banyak. Dengan kata lain, siswa dilatih bagaimana memproses informasi.
2) Dimungkinkannya perspektif jamak dalam proses belajar.
Dalam proses belajar akan muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman
yang beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, diantara siswa pun
akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman,
budaya, dan struktur berpikir yang dimiliki.
3) Peran utama siswa dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau
mengendalikan prosses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi
dengan lingkungannya.
Dalam usaha untuk menyusun pemahaman, siswa harus aktif dalam
kegiatan belajar bersama. Siswa perlu terlatih untuk mendengarkan dan
mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap
17
perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat menganalisis
pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4) Penggunaan scaffolding dalam pembelajaran.
Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan
kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dan apa yang
sekarang sudah diketahui. Siswa dilatih selangkah demi selangkah dengan
intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini,
kemampuan berpikir siswa akan semakin berkembang.
5) Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk
mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa.
Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma dari pembelajaran berorientasi
guru menjadi pembelajaran berorientasi siswa. Siswa diharapkan mampu
secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri.
6) Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.
Kegiatan belajar yang otentik adalah seberapa dekat kegiatan yang
dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata yang terjadi dalam
masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan
tertentu.
PERBANDINGAN BEHAVIORISME DENGAN KONSTRUKTIVISME
BelajarTeori Belajar Pandangan
Behaviorisme Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang merupakan hasil dari stimulus respon. Aliran ini menganggap bahwa seseorang telah belajar jika ia telah mempu menunjukkan perubahan tingkah laku. Untuk membuat seseorang belajar, perlu adanya stimulus yang diberikan oleh pendidik.
Konstruktivisme Belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Menekankan pada kegiatan belajar siswa yang otentik.
18
Belajar adalah penyusunan penegetahuan dari pengalaman kongkrit, aktifitas kolaboratif, refleksi, dan interpretasi.Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap suatu pengetahuan terantung pengalamannya dan perspektif menginterpretasikannya.
Belajar menurut behaviorisme merupakan bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkahlaku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Misalnya dalam pemebelajaran
matematika, seseorang belajar mencari luas persegi (luas daerah yang dibatasi
oleh persegi). Maka betapapun gurunya berusaha sebaik mungkin mengajar atau
bahkan siswa sudah hafal rumus segitiga diluar kepala dan sudah diberikan suatu
contoh latihan, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan kemampuannya
dalam mencari luas segitiga dari soal yang lain, maka siswa itu belum bisa
dikatakan belajar. Ia dikatakan telah belajar apabila ia menunjukkan suatu
perubahan dalam tingkah laku (dari tidak tahu menjadi tahu mencari luas persegi).
Beda dengan behaviorisme yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan
yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, konstruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Jika behaviorisme menekankan keterampilan atau tingkah laku
sebagai tujuan pendidikan, konstruktivisme menekankan perkembangan konsep
dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat
siswa. Misalnya siswa yang pertama kali melihat persegi,
PembelajaranTeori Belajar Pandangan
Behaviorisme Hubungan sosial hanya sebagai metode, bukan tujuan pembelajaran.11
Kegiatan pembelajaran lebih banyak mengandalkan pada guru dan buku teks.
11 Babang Robandi. 2010. Landasan Psikologis Pendidikan (Disajikan pada DiklatPengembangan Kompetensi Gadik Secapa POLRI SUKABUMI 250110), Universitas Pendidikan Indonesia.
19
Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada guru.Konstruktivisme Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide peserta didik.Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa.Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa.
EvaluasiTeori Belajar Pandangan
Behaviorisme Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pebelajaran. Menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual. Evaluasi belajar dilakukan di akhir pembelajaran dengan cara testing.
Konstruktivisme Evaluasi proses dan hasil belajar peserta didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. Evaluasi proses dan hasil belajar dilakukan secara otentik, terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal sampai akhir, guru memantau perkembangan dan pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematika, serta ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan (matematika) yang dibuat siswa.
Peserta DidikTeori Belajar Pandangan
Behaviorisme Partisipasi peserta didik bersifat pasif karena cenderung bekerja secara sendiri-sendiri, tanpa ada kegiatan kelompok/group proses dalam belajar.
Konstruktivisme Peserta didik lebih aktif karena banyak belajar dan bekerja melalui group proses.Peserta didik lebih mandiri belajar.Peserta didik diberikan peluang agar dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usaha sendiri, dapat mengembangkan motivasi daari dalam dirinya, dan dapat mengembangkan pengalaman untuk membuat suatu karya.12
12 Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), h.121.
20
PendidikTeori Belajar Pandangan
Behaviorisme Pendidik adalah orang yang mendominasi kegiatan pembelajaran. Tugasnya memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar, dengan cara memberikan stimulus, penghargaan, atau hukuman dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai hasil belajar yang baik. Guru menjadi sumber pengetahuan utama, menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dan banyak bergantung pada buku teks. Tugas guru dalam proses pembelajaran adalah:
1. Menentukan tujuan.2. Menentukan materi pembelajaran.3. Mengkaji materi pemebelajaran.4. Menyusun sesuai dengan sistem informasi.5. Menyajikan materi dan membimbing peserta didik
dengan pola sesuai materi pelajaran.Guru harus mampu menciptakan kondisi sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat berjalan secara efektif. Selain itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.13
Konstruktivisme Pendidik tidak mendominasi kegiatan pembelajaran. Pendidik konstruktivisme mengakui dan menghargai dorongan diri manusia/peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk terjadinya aktivitas konstruksi pengetahuan oleh peserta didik secara optimal. Artinya, guru bertindak sebagai fasilitator atau pembimbing terjadinya pengalaman belajar, bukan lagi sebagai penceramah. Pendidik bukan satu-staunya sumber belajar, melainkan salah satu sumber belajar. Tugas guru dalam proses pembelajaran adalah:
1. Menentukan tujuan.2. Menentukan materi pelajaran.3. Menentukan topik-topik secara aktif oleh peserta
didik dengan bimbingan minim dari guru.4. Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang
sesuai untuk topik yang akan dipelajari peserta didik dan kondisi peserta didik itu sendiri.
5. Menyiapkan pertanyaan yang akan memacu kreativitas peserta didik untuk berdiskusi atau bertanya.
13 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 163.
21
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Lingkungan BelajarTeori Belajar Pandangan
Behavioristik Kegiatan belajar lebih banyak dalam kelas karena aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku tersebut. Guru lebih banyak menyampaikan materi dengan cara ceramah, maka lingkungan belajar dibuat sesuai metode yang dipakai oleh guru supaya stimulus yang diberikan memberikan respon yang maksimal.
Konstruktivisme Menekankan pada aktivitas peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Jadi segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya.
IMPLEMENTASI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Alim Sumarno (2011) menjelaskan mengenai penerapan pendekatan
konstruktivisme terhadap hasil belajar. Di dalam pembelajaran konstruktivisme
terdapat dua perubahan konsep yang terjadi pada siswa yaitu perubahan konsep
yang kuat dan perubahan konsep yang lemah. Perubahan konsep yang kuat akan
terjadi jika seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yaang telah ia
punya ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Sedangkan perubahan
konsep yang lemah terjadi jika orang tersebut mengadakan asimilasi konsep yang
lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan perubahan ini
membuat pengetahuan siswa semakin berkembang.
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan
mengatakan bahwa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan
pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara
22
berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan pernyertaan murid dalam setiap
aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dimyati (2010) mengemukakan pentingnya pembelajaran yang bermakna
bagi siswa.14 (1) Belajar menjadi bermakna bila siswa mengetahui tujuan belajar.
Oleh karena itu, guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis. Tujuan
belajar memahami operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
misalnya. (2) Belajar menjadi bermakna jika siswa dihadapkan pada pemecahan
masalah yang menantangnya. Oleh karena itu peletakan urutan masalah yang
menantang harus disusun guru dengan baik. (3) Belajar menjadi bermakna jika
guru mampu memusatkan segala kemampuan mental siswa dalam program
kegiatan tertentu; oleh karena itu, disamping mengajarkan bahan secara terpisah-
pisah, guru sebaiknya membuat pembelajaran dalam pengajaran unit atau proyek.
Sebagai ilustrasi siswa kelas 1 SMP diberi tugas mempelajari contoh aritmetika
sosial di kotanya. Pengajaran tentang “aritmetika sosial di kota” tersebut sesuai
dengan kebutuhan hidup siswa. (4) Sesuai dengan perkembangan jiwa siswa,
maka kebutuhan bahan-bahan belajar siswa semakin bertambah, oleh karena itu,
guru perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang.
Sebaiknya bahan tersebut diatur dalam prinsip memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri. Sebagai ilustrasi, pada akhir pemebelajaran matematika misalnya,
diselenggarakan (5) Belajar menjadi bermakna bila siswa memahami prinsip
penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan dikemudian hari. Oleh
karena itu guru perlu memberitahukan kriteria keberhasilan atau kegagalan
belajar. Sebagai ilustrasi, siswa sekolah menengah perlu memahami pentingnya
Matematika. Bila siswa tahu bahwa matematika penting untuk belajar
pengetahuan di perguruan tinggi, maka ia akan belajar matematika dengan
sungguh-sungguh. Sebab dengan angka 9 untuk matematika peluang untuk belajar
di Perguruan Tinggi semakin terbuka.
14 Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), h.102.
23
Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran meliputi
empat tahap yaitu : 1) apersepsi; 2) eksplorasi; 3) diskusi dan penjelasan konsep;
serta 4) pengembangan dan aplikasi.
Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing
dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan problematik tentang fenomena
yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.
Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan
pemahaman tentang konsep itu.
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian
data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Kemudian secara
berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap
ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam di
sekelilingnya.
Tahap ketiga, saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang
didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan dari guru,
maka siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang dipelajari.
Hal ini menjadikan siswa tidak ragu–ragu lagi tentang konsepsinya.
Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik
melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah – masalah yang
berkaitan dengan isu – isu dilingkungannya. Dalam pembelajaran matematika
beberapa ahli konstruktivisme telah menguraikan indikator belajar mengajar
berdasarkan konstruktivisme. Confrey ( Suherman,2001 ) menyatakan: :
…sebagai seorang konstruktivis ketika saya mengajarkan
matematika, saya tidak mengajarkan tentang struktur matematika yang
objeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana
24
mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui
sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan suatu
cara yang powerful untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan
lensa–lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat, dan
bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa dalam memainkan
pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan untuk
mengembangkan satu alat intelektual yaitu matematika.
Hal ini tercermin bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk
berfikir, fokus utama mengajar matematika adalah memberdayakan siswa
untuk berfikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan
oleh ahli-ahli sebelumnya.
25