bab ii pembahasan.docx
TRANSCRIPT
4
lafadz dan suara yang berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an
merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat
al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan
petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena
yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa
yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang
mengatur amal perbuatan manusia [4]
Kalam Allah adalah hukum baik langsung. Seperti ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam
sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum
dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang
diucapkan Rasulullah itu di bidang Tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari
Allah juga.
Dengan demikian, apa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah teks
ayat-ayat Ahkam dan teks hadis Ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian
ulama, antara lain, Abdul Karim Zaidan [5], secara langsung menafsirkan
pengertian Khitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara
langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara
tidak langsung seperti sunnah Rasulullah, ‘Ijma’ dan dalil-dalil Syara’ lain
yang dijadikan Allah Sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukumnya.
Sunnah Rosulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena
4 Ibid.,5 Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 37
5
merupakan petunjuknya juga sesuai dengan firman Allah dalam surat An-
Nazm ayat 2-3 :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Rosulullah tidak mengucapkan
sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian juga dengan
ijma harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah.
Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai
dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan
demikian, khitab Allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil-
dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa yang dimaksud Khitab
dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misalnya
fiirman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat [6]
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan ketika berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendakinya”.
Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban
memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks
6 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989 Hal. 156
6
ayat atau sunnah rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang
populer disebut dengan ayat-ayat ahkam dan hadis ahkam.
Bila dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau
hadis-hadis hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam [7] :
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang
diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang
itu sifatnya haram
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan
untuk dilakukan itu sifatnya mandub
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan
untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi kebebsan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan,
dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu
sifatnya mubah
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang)
i. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal
j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan Rukhshah
B. Sumber Hukum Yang Disepakati Ulama
1. Al-Qur’an
7 Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 38
7
Menurut bahasa Al-Qur’an berarti “bacaan”, yaitu bentuk masdar dari kata
Qara’a. Adapun pengertian Al-Qur’an , menurut istilah antara lain :
لتواتر با المنقول المعجز وسلم الله صل محمد عل المنزل الله م كال هو القران
وته بتال المتعبد
Artinya :
Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang iturunkan kepada nabi Muhammad
saw yang mengandung nilai mukjizat (sebagai bukti kebenaran kenabian
Muhammad saw) yang ditulis dalam mushaf yang diturunkan secara mutawatir
dan membacanya di nilai sebagai ibadah.
Arti pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada anbi Muhammad saw untuk dijadikan peoman
hidup, sumber hukum dan petunjuk bagi umatnya guna mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
2. As-sunah
As-sunah menurut bahasa ialah (kebiasaan) السرة atau (jalan/dijalani).
Sedangkan sunnah menurut istilah syar’i ialah :
تقرير او فعل أو قول من م ص الله رسول عن صدر ما هي
“sunah adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw baik berupa
perkataan , perbuatan maupun penetapan pengakuan “
Adapun kedudukan As-sunah sebagai sumber hukum Islam diantaranya :
a. Sunah sebagai penjelas dan merinci ayat-ayat Al-qur’an yang masih
global dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam
pelaksanaannya belum ada batasan.
8
b. Sunah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya didalam
Al-Qur’an.
c. Sunah memperkuat ketentuen-ketentuen yeng telah ditetapkan dalam
nash Al-Quran.
3. Ijma’
Ijma’ berarti sepakat , setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah
yang dimaksud dengan ijma’ ialah :
األعصر من عصر فى وفاته بعد سلم و عليه الله صل محمد مجتحيدى ق اتفا
األمور من أمر على
“kesamaan pendapat para mujtahidin umat nabi Muhammad saw, setelah
beliau wafat suatu pada masa tertentu tentang masalah tertentu.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti memperbandingkan atau mempersamakan
sesuatu dengan yang lainnya dikarnakan adanya persamaan. Seangkan
menurut istilah qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum aa
ketentuan hukumnya dalam nash engan mempersamakan sesuatu yang telah
ada status hukumnya dalam nash.
C. Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati Ulama
1. Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut
istilah ahli ushul yang yang dimaksud denagn istihsan ialah berpindahnya
seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas)
kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar) atau dari
9
hukum kully(umum) kepada hukum yang bersifat khusus dan istina’i
(pengecualian) karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
2. Istishab
Yang dimaksud istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau
ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya
sebelum ada hukum yang mengubahnya.
3. Mushalih Al-Mursalah
Mashalih bentuk jamak dari maslahah yang artinay kemaslahatan,
kepentingan . Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mushalih al-
mursalah kemaslahatan yang terlepas maksudnya yakni penetapan hukum
berdasarkan kepada kemaslahatan yaitu manfaat bagi manusia atau
menolak kemadharatan atas mereka, sedangkan dalam syara’ belum atau
tidak ada ketentuannya.
4. Al – ‘Uruf
Ialah segala sesuatu yang sudah menjadi adat yaitu segala sesuatu yang
sudah dikenal dan dijalankan oleh masyarakat secara turun temurun.
Misalnya, jual-beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan
tidak mengucapkan sighat.
5. Syar’u Man Qablana
10
Ialah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, lalu
dilanjutkan pada masa Nabi Muhammad saw. misalnya penyembelihan
hewan qurban.
6. Madzhab Shahabi
Ialah fatwa – fatwa sahabat mengenai berbagai masalah setelah Rasulullah
wafat, misalnya pendapat sahabat bahwa pembagian harta warisan untuk
nenek adalah 1/6.
7. Dalalat Al-Iqtiran
Ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang
disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain, misalnya ayat Al-Quran
yang memerintahkan agar menyempurnakan haji dan umrah (Qs. Al-
Baqarah/2:196). Dengan dalil ini menunjukan bahwa hukum umrah sama
dengan haji, yaitu wajib.
D. Pembagian Hukum Syara’
Secara garis besar para ulama Ushul fiqh membagi hukum kepada dua
macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para
ahli Ushul Fiqh adalah ”ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-nya yang
berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan,
atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat [8]”
8 Ibid..hal 41
11
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah “ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu
yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi)”
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat
diketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua
macam hukum tersebut:
a. Hukum Taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan,
atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf, sedangkan hukum
wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum
taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu
matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya
seseorang menunaikan shalat dzuhur.
b. Hukum taklifi dapat berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukallaf. Sedangkan hukum Wadh’i sebagiannya
ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas
manusia. Misalnya, seperti dalam contoh diatas tadi. Keadaan tergelincir
matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan
aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena
Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya
waktu shalat dzuhur.
12
a. Hukum Taklifi
Seperti dikemukakan diatas. Istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada
asalnya adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum
yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk:
1) Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang
mengaharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
memerintahkan untuk melakukan shalat.
2) Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang
menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3) Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti
untuk melakukan suatu perbuatan.
4) Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan
suatu perbuatan.
5) Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Pembagian hukum tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil
hukum. Selanjutnya, dalam membicarakan pembagian hukum taklifi ini, seperti
pernah disinggung sebelumnya, istilah hukum digunakan kepada sifat
perbuatan mukallaf. Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul
Wahab Khalaf, terbagi kepada lima macam, yaitu : 1) wajib, b) Mandub, c)
Haram, d) makruh, e) mubah. Dasar pembagian tersebut adalah, bahwa
ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa perintah terhadap suatu perbuatan
maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan yang berupa anjuran untuk
13
melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan menimbulkan hukum
haram, anjuran untuk meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum makruh,
dan ketentuan yang memberi kebebasan untuk melakukan dan tidak melakukan
menimbulkan hukum mubah.
As-Syaukani menyebutkan keempat macam hukum wajib, mandub, haram,
makruh disebut sebagai hukum taklifi karena syari’ menuntut para mukallaf
untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut hukum Takhyiri karena syari’
memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atau tidak melakukannya.
Sementara sebab, syarat dan mani’ disebut sebagai hukum Wadh’i karena
ketiganya menjadi tanda penentu ada atau tidak adanya, serta sah atau tidaknya
perbuatan-perbuatan taklifi.
b. Hukum Wadh’i
seperti telah disinggung diatas, hukum Wadh’i adalah ketentuan syari’at
dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, sebagai mani’.
Dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan
Abdul Karim Zaidan, sebab berarti :
“sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi hukum, dan tidak
adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum ”.
Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan)
14
bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai
sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada
pemiliknya.
Secara umum, sebab terbagi dua , yaitu sebab yang timbul bukan dari
perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta
mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian,
keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang.
Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti
melakukan perjalanan Jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya
tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi
sebab bolehnya melakukan hubungan seksual.
2. Syarat
Menurut bahasa kata Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti
yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zeidan, Syarat adalah :
“sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada
siluar dari hakikat sesuatu itu”
Misalnya, Wudu adalah sebagai syarat bagi syahnya shalat dalam arti
adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu
itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara
kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi syahnya akad nikah, namun
kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah. Yang disebut
terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara syarat danrukun.
15
Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain
kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi
suatu ibadah misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian
dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut, sedangkan rukun adalah bagian
dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu
rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan
shalat.
Syarat ada dua macam , yaitu Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti
haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus
juga menjadi penyempurna ibadah nishab, yang merupakan sebab wajibnya
zakat. Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had
potong tangan, namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang
dicurinya itu diambil dari tempat penyimpanannya yang rapi serta terjaga
secara ketat. Kedua, syarat yang menyempurnakan musabab, seperti wudhu,
menutup aurat dan menghadap kiblat dalam shalat.
3. Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara
terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, kata mani’
berarti:
“sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum
atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”
Sebuah akad misalnya dianggap syah bilaman telah mencukupi syarat-
syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak
16
terdapat padanya suatu penghalang (mani’). Misalnya, akad perkawinan
yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab
bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang
disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan
pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak
suami untuk mewarisi istrinya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak
ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
4. Rukhsah dan Azimah
Rukhsah ialah hukum keringanan yang elah disyariatkan oleh Allah swt
kepada orang mukhallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan azimah
ialah hukum-hukum umum yang sejak semula telah disyariatkan oleh Allah
swt dan tidak dikhususkan pada kondisi atau mukallaf tertentu.
5. Benar dan Batal
Perbuatan mukallaf yang dituntut syara’ dan disyariatkan baik berupa sebab
maupun syarat apabila telah dilaksanakan maka syara’ mungkin
menghukuminya benar (shihhah) atau batal (buthlan). Jika suatu perbuatan
sudah sesuai dengan ketentuan syari misalnya telah dipenuhi syarat
rukunnya, maka oleh syara’ perbuatan itu dihukumi benar.
E. Unsur-Unsur Hukum Syara’
1. Mahkum fih
Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungna dengan hukum ا
: ءده ( الما بلعقود أوفوا امنوا ين الذ )1يايها
“wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji” (QS.Al-Maidah:1)
17
Hukum wajib yang diambil dari ayat di atas berhubungan dengan
perbuaatan mukallaf yaitu memenuhi janji. Memenuhi janji itu lalu
dijadikan wajib.
Tuntutan syara’ terhadap perbuatan mukallaf menjadi sah apabila
memenuhi tiga syarat yaitu :
1. Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf, sehingga ia
dapat menunaikan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan.
2. Harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang mempunyai
wewenang menuntut atau dari orang yang harus diikuti hukum-
hukumnya oleh mukallaf.
3. Perbuatna yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin dilakukan
atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.
2. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan
dengan hukum syara’. Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada
mukallaf disyaratkan dua hal :
1. Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan) , yakni
ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al-
Quran dan As-sunah, baik yang langsung maupun melalui perantaraan.
Sebab orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil taklif tidak akan
dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak memahami
maksudnya.
18
2. Mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang ddibebankan
kepadanya. Pengertian ahli secara etimologis ialah mempunyai
kelayakan untuk menerima beban. Menurut ulama ushul, ahli (layak)
itu dibagi kepada dua bagian yaitu ahli wajib dan ahli melaksanakan.
3. Awaridhul Ahliyah
Awaridhul awaliyah artinya penghalang-penghalang keahlian, yaitu
penghalang keahlian seseorang untuk melaksanakan ketentuan syar’i
sehingga seorang manusia tiak mengerjakan ketentuan atau mendapat
keringanan. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa manusia itu
mempunyai keahlian, tetapi pada saat tertentu keahlian itu tidak ada atau
berkurang atau dengan kata lain terdapat adanya penghalang-penghalang
keahlian. Penghalang tersebut adalah :
1. Penghalang-penghalang yang datang yang dapat menghalangi sama
sekali ahyatul adanya.
2. Penghalang yang datang kepada manusia yang tidak menghalangi
keahlian sama sekali yaitu sifat kurang akal.sifat yang kurang akalnya
ini sebagian perjanjianan pengelolaanya dapat dianggap sah namun
sebagiab yang lainnya dianggap tidak sah misalnya yang terjadi pada
anak laki-laki remaja.
3. Penghlang yang datang kepada manusia tetapi tidak mempengaruhi
keahlian , tidak menghilangkan dan tidak mengurangi , akan tetapi
merubah sebahagian hukum-hukum , karna adanya anggapan dan
19
keuntungan yang menghendaki perubahan ini. Misalnya ketidaktahuan
dan lupa.
F. Jumlah Ayat-Ayat dan Hadist-Hadist Hukum
Dalam buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-
Shiddiqie , Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua
bagian :
a. Hukum-hukum ibadat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk
mengatur perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada :
(1) Ibadah badaniyah, seperti shalat dan shaum.
(2) Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu zakat dan sedekah.
(3) Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu haji, jihad, dan nadzar.
b. Hukum-hukum muamalat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk
m9enyusun dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta
perikatan antara perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan
masyarakat, atau perseorangan dengan negara. Muamalat dibagi kepada:
(1) Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu : hukum-hukum yang rapat
perhubungannya dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir hingga matinya,
yaitu kawin, cerai, iddah, hubungan kekeluargaan, penyusuan, nafkah,
wasiat dan pusaka.
(2) Hukum-hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan
dengan perseorangan dan juga masyarakat. Seperti jual-beli, sewa-
menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan.
9
20
(3) Hukum-hukum pidana, yaitu : hukum-hukum yang disyari’atkan untuk
memelihara hidup manusia, kehormatan dan harta. Hukum-hukum ini
diterangkan secara terperinci dalam Al-Qur’an. Perbuatan manusia yang
diterangkan Al-Qur’an, ialah : pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan
tidak disengaja, mencuri, merampok, zina, dan qodzaf.
(4) Hukum-hukum ketatanegaraan, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya
hukum-hukum yang disyari’atkan untuk jihad, aturan-aturan perang,
perhubungan antara ummat Islam dengan ummat lain, hukum-hukum
tawanan dan rampasan perang.
(5) Hukum-hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan
kesaksian dan sumpah.
(6) Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta
orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang
kaya, antara negara dengan perorangan.
(7) Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan
pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan
antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak
masyarakat.
Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak
mencapai 1/10 dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Diperkirakan jumlah ayat
hukum lebih kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam Ahkam al-Quran Ibn al-
Arabi. Sedangkan menurut penghitungan Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnya
21
sekitar 228 ayat. Bahkan jika pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia
mengatakan ayat hukum di dalam Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari
perbedaan jumlah ayat hukum, apakah 150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu,
namun yang jelas ada semacam kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat
hukum tidak lebih dari 500 ayat.
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a. Yang berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.
b. Yang mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c. Yang berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d. Yang berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.
e. Yang berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak
25 Ayat.
f. Yang berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
g. Yang mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.
h. Yang mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.