bab ii ranitt
DESCRIPTION
dfghjkTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
berulang sebagai akibat dari gangguan fungsi otak secara intermiten oleh karena
lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksimal yang dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Angka kejadian epilepsi
masih tinggi terutama di negara berkembang. Sejumlah studi menunjukkan
prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5 – 4 % atau 8,2 per 1.000 penduduk, sedang
insidensinya mencapai 50 – 70 kasus per 100.000 penduduk. Jumlah penderita
epilepsi di Indonesia diperkirakan mencapai 1,1 – 8,8 juta jiwa. Data rekam medik
tahun 2009 di instalasi rawat jalan bagian saraf RSUP. Dr. Kariadi menunjukkan
ada 110 kasus baru epilepsi dan 1279 kasus lama yang datang berobat. Epilepsi
merupakan penyakit yang memerlukan terapi dalam jangka panjang, sehingga isu
mengenai efek samping obat-obat epilepsi banyak mendapat perhatian peneliti
salah satunya adalah fenitoin yang diperkirakan pertama kali menyebabkan
hiperplasia ginggiva pada tahun 1938.
Hiperplasia ginggiva adalah suatu pertumbuhan berlebih dari ginggiva (jaringan
gusi) yang ditandai dengan gusi yang membesar, terinflamasi dan mengalami
perdarahan. Gusi akan tampak berlobulasi akibat pembesaran papil, dan mahkota
gigi ditutupi sebagian oleh jaringan hiperplasia. Pasien mengalami kesulitan atau
terganggu dalam berinteraksi dengan orang lain, karena penampilan gusi dapat
menyebabkan pasien merasa tidak percaya diri. Selain itu, pembentukan kantung-
kantung jaringan ginggiva bisa mengganggu kesehatan mulut, dan memberikan
kontribusi bagi penyakit-penyakit periodontal.
Fenitoin merupakan calcium chanel blocker (CCB) yang banyak diresepkan untuk
pengobatan epilepsi umum maupun parsial. Fenitoin juga merupakan terapi lini
pertama untuk pengobatan epilepsi karena sifatnya yang amat potensial dan
ekonomis. Gejala akut akibat kelebihan dosis fenitoin oral antara lain: vertigo,
ataksia, tremor, penglihatan kabur, diplopia, nausea, hiperplasia ginggiva,
dermatitis, dan purpura. Hiperplasia ginggiva merupakan efek samping yang
paling sering dijumpai. Gejala tersebut muncul pada hari ketiga sampai hari
kesepuluh dan dengan penurunan dosis dapat menghilang. Dalam sebuah literatur
dilaporkan prevalensi hiperplasia ginggiva akibat penggunaan obat fenitoin
diperkirakan sekitar 20%. Di era tahun 1980-1990, fenitoin yang menyebabkan
hiperplasia ginggiva sangat menarik perhatian banyak peneliti. Faktor apa saja
yang meningkatkan risiko terjadinya hiperplasia ginggiva pada penderita yang
rutin mengkonsumsi fenitoin sebagai terapi epilepsi menjadi salah satu topik riset
favorit terkait pemberian fenitoin. Berbagai parameter yang berhubungan dengan
kejadian hiperplasia ginggiva, faktor risiko, dan desain studi telah digunakan
untuk meneliti hal ini. Hasil studinya pun bervariasi satu sama lain, namun
sayangnya studi semacam ini jarang dilakukan dengan sampel Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana farmakoterapi obat ranitidin pada pasien epilepsi?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui farmakoterapi obat ranitidin pada pasien epilepsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Epilepsi
2.1.1 Definisi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya serangan (seisure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel sel otak, bersifat
sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik,
kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang
terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung
denoccasional provokes seizure misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia
(Prasad et al, 1999)
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adaanya
bangkitan epitel berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi olah karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah menifestasi klinis
dari bangkitan serupa (streotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
secara mendadak dan semetara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindro epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama sama meliputi
berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronis (Pallgeno,
1996)
2.1.2 Etiologi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit
serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan
neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP
(sistem saraf pusat) . Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi
sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon,
sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi
terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang
seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau
bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang.
1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik. Kelainan genetika ini tidak selalu berarti diturunkan.
2. Kriptogenik : dicurigai terdapat faktor penyebab namun tidak dapat
ditemukan
3. Simptomatik : disebabkan oleh kelainan pada otak, kelainan kongenital,
tumor otak, gangguan peredaran darah otak, kelainan akibat proses
penuaan.
2.1.3 Klasifikasi Kejang
2.1.3.1 Berdasarkan penyebabnya
a) Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya
b) Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya
2.1.3.2 Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a) Epilepsi partial (lokal, fokal)
A. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja
b) Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
d) Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
e) Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo).
a) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
b) Visual : terlihat cahaya
c) Auditoris : terdengar sesuatu
d) Olfaktoris : terhirup sesuatu
e) Gustatoris : terkecap sesuatu
f) Disertai vertigo
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat.
b) Demensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
c) Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih
besar.
f) Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.
B. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula
baik kemudian baru menurun. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-
gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu,Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun
sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
C. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum
1. Epilepsi umum
A. Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai
pada anak.
Dapat disertai dengan tanda-tanda :
1. Hanya penurunan kesadaran
2. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
3. Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
4. Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
5. Dengan automatisme
6. Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
1. Gangguan tonus yang lebih jelas.
2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
B. Grand Mal
Grand Mal ini dibagi menjadi beberapa antara lain :
1. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
2. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat,
dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada
anak.
3. Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku
pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai.
Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
4. Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan
napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika
kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula
pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur
beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
5. Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama
sekali dijumpai pada anak.
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dan pada proses inhibisi. Perubahan perubahan di dalam eksitasiaferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
insiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron (Prasad et al, 1999)
Lima buah elemen fisiologi sel dan neuron tertentu pada korteks serebri penting
dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
a. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivitas konduksi Ca2+ secara perlahan
b. Adanya koneksi eksitatonik rekuren (recurrent excitatory connection )
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membandingkan
dan menyebarkan aktivitas kejang
c. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus,
yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas
kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian
memicu aktifitas penyebaran nonsinapik dan aktifitas elektik
d. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiiasi (termasuk juga merekrut
reson NMDA) menjadi ciri khas dan jaras sinaptik di korteks
e. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekumen dihasilkan dari frekuensi tingi peristiea aktifitas. Serangan
epilepsi akan muncul apabia sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenan dengan cetusan
potensial aksisecara tepat dan berulang ulang
Cetusan listrik abnormal ini kemudian membawa neuron-neuron yang terkait
di dalam proses. Secara klinis epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari
sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama sama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik didalam otak (Selzer&Dichter, 1992)
Badai listrik tadi menimbulkan bermacam0macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi (Prasad et al, 1999)
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu (Meliala,
1999)
a. Non Spesifik Profispossing (NPF) yang membedakan seseorang peka
tindaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda beda.
b. Specific epileptogenic Disturbances (SED)> kelainan epiletogenik ini
dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epilepriform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF
c. Presipitating Factor (PF) merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsi pada pasien penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai
ambang yang rendah. PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana
SED tidak ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yag banyak dianut sekarang
adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion
kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel
(intraseluler) dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.
Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump) sel hidup mendorong ion
natrium keluar sel, bila natrium memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dala otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari
impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron
di otak secara serentak, secara teori sinkronisasai ini dapat terjadi
(Widiastuti, 2001)
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan
Glisin) kurang optimal hingga fungsi jaringan impuls epileptik secara
berlebihan juga
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik
berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antra lain konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh
GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs= inhibitory
post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis
mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmiter
inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak
sederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada slaah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto,1999)
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan
herediter, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.
Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila
ada rangsagan yang memadai. Daerah yang rendah terhadap kerusakan
bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap
seranga kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial,
fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokapus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan (joesoef, 1997)
2.1.5 Penatalaksanaan Terapi
Terapi epilepsi bertujuan untuk tercapainya kualitas hidup optimal
bagi penderita. Harapan pengobatan bagi penderita epilepsi ialah agar
terhindar dari bangkitan kejang, bahkan dapat mencapai keadaan bebas
kejang.
Epilepsi adalah suatu kondisi pada saat seseorang mengalami
kejang berulang yang disebabkan oleh gangguan pada susunan saraf pusat.
Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti
“serangan”. Serangan ini disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
abnormal dari sel-sel saraf otak secara berlebihan, berulang, dan berkala.
Walaupun demikian, tidak semua kejang merupakan epilepsi.
Epilepsi sering kali menakutkan bagi penderita dan juga
keluarganya. Terlebih lagi karena epilepsi memiliki banyak konsekuensi
dari segi sosio ekonomi, antara lain timbulnya rasa malu dalam pergaulan
sosial, hilangnya izin mengemudi, perubahan dalam pekerjaan, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu penatalaksanaan yang tepat harus mencakup
banyak hal, tidak hanya pengobatan, tetapi juga edukasi bagi penderita dan
keluarganya serta konseling terhadap dampak emosional dan sosial yang
mungkin ditimbulkan.
Hal yang memprihatinkan dari penderita epilepsi adalah tidak dapat
diprediksinya kapan kejang akan terjadi. Kejang dapat terjadi di mana saja
dan kapan saja bahkan saat sedang beraktivitas, tidur, bekerja, mengemudi,
atau dalam lingkungan sosial, sehingga dapat membahayakan si penderita.
Sering kali kejang yang tidak terkontrol berisiko melukai atau
menimbulkan trauma bila terjadi di lokasi yang berbahaya.
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
a. Memastikan apakah kejadian yang bersifat menunjukkan bangkitan
epilepsi atau bukan epilepsi
b. Apabila benar bangkitan epilepsi, maka tentukan termasuk jenis
bangkitan apa
c. Pastikan epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, dan
tentukan etiologinya
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas anamnesis dan pemeriksaan
klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demukian,
bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka
epilepsi ( klinis ) sudah dapat ditegakkan antara lain yaitu :
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh,
karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan ( meliputi gejala dan lamanya
serangan ) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang
trauma kepala denagn kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis,
gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat- obatan tertentu
Anamnesi ( auto dan aloanamnesis ), meliputi :
1. Pola atau bentuk serangan
2. Lama serangan
3. Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
4. Frekuensi serangan
5. Faktor pencetus
6. Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
7. Usia saat serangan terjadinya pertama
8. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
9. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
10.Riwayat penyakit epilepsi dalm keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda –tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, dan gangguan neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada anak- anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antar
anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Elektro ensefalografi ( EEG )
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi
dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak, sedangakan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak.
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku ( spike ), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang
khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku
ombak 3 siklus per detik ( 3 spd ), epilepsi mioklonik mempunyai
gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak ( sinkron ).
1. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang
penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan
EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat
bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuro imaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG.
Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri ( Foldvary &
Wyllie.,1999 ).
2.2 Konsep Teori Hematuria
2.2.1 Definisi
Hematuri adalah suatu gejala yang ditandai dengan adanya darah atas sel
darah merah dalam urin. Secara klinis, hematuri dapat dikelompokkan menjadi:
Hematuri makroskopis (gross hematuria) adalah suatu keadaan urin bercampur
darah dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Keadaan ini dapat terjadi bila 1
liter urin bercampur dengan 1 ml darah. Hematuri mikroskopis yaitu hematuri
yang hanya dapat diketahui secara mikroskopis atau tes kimiawi.
2.2.2 Etiologi
Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam
sistem urogenitalia atau kelianan yang berada di luar urogenitalia. Kelainan yang
berasal dari sistem urogenitalia antara lain:
Infeksi/inflamasi, antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan uretritis
Tumor jinak/tumor ganas, antara lain tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor
pielum,
tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia prostat jinak.
Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain kista ginjal dan ren
mobilis
Trauma yang mencederai sistem urogenitalia Batu saluran kemih
2.2.3 Klasifikasi Hematuria
Ada 3 tipe hematuria, yaitu:
Initial hematuria, jika darah yang keluar saat awal kencing.
Terminal hematuria, jika darah yang keluar saat akhir kencing. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan pada akhir kencing
yang membuat pembuluh darah kecil melebar.
Total hematuria, jika darah keluar dari awal hingga akhir kencing. Hal ini
kemungkinan akibat darah sudah berkumpul dari salah satu organ seperti
ureter atau ginjal.
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi hematuria tergantung pada tempat anatomi pada traktus
urinarius dimana kehilangan darah terjadi. Pemisahan konvensional telah
dilakukan antara perdarahan glomerular dan ekstraglomerular, memisahkan
penyakit nefrologi dan urologi.
Darah yang berasal dari nefron diistilahkan hematuria glomerular nefronal.
Sel darah merah dapat masuk ke ruang urinari dari glomerulus atau, jarang
dari tubulus renalis. Gangguan barier filtrasi glomerulus dapat disebabkan
abnormalitas turunan atau didapat pada struktur dan integritas dinding
kapiler glomerulus. Sel darah merah ini dapat terjebak pada mukoprotein
tamm-horsfall dan akan bermanifestasi sebagai silinder sel darah merah
pada urin. Temuan silinder pada urin merupakan masalah signifikan pada
tingkat glomerular. Meskipun demikian, pada penyakit nefron, silinder
dapat tidak ditemukan dan hanya ditemukan sel darah merah terisolasi.
Adanya proteinuri membantu menunjang perkiraan bahwa kehilangan darah
berasal dari glomerulus.
Hematuria tanpa proteinuria atau silinder diistilahkan sebagai hematuria
terisolasi (isolated hematuria). Meskipun beberapa penyakit glomerular
dapat mengakibatkan hematuria terisolasi, penemuan ini lebih konsisten
pada perdarahan ekstraglomerular. Setiap yang mengganggu epitelium
seperti iritasi, inflamasi, atau invasi, dapat mengakibatkan adanya sel darah
normal pada urin. Gangguan lain termasuk keganasan, batu ginjal, trauma,
infeksi, dan medikasi. Juga, penyebab kehilangan darah non glomerular,
seperti tumor ginjal, kista ginjal, infark dan malformasi arteri-vena, dapat
menyebabkan hilangnya darah masuk kedalam ruang urinari.
2.2.5 Penatalaksanaan
Karena hematuria hanya merupakan salah satu gejala berbagai penyakit,
maka penatalaksanaannya ditujukan kepada penyakit primernya. Hematuri
sendiri tidak memerlukan pengobatan khusus. Meskipun demikian setiap
kasus dengan hematuri sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk menetapkan
etiologi. Bila hematuri ternyata hanya merupakan gejala satu-satunya,
(hematuri monosimtomatik), tidak memerlukan tindakan khusus selain
istirahat saat serangan karena keadaan ini.
(http://www.akfar.theresiana.ac.id/component/content/article/16-dosen-
menulis/119-hematuria)
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan per-rektal atau vaginal.
Hal ini berguna untuk memeriksa keberadaan tumor dengan ukuran
yang cukup besar. Pemeriksaan palpasi bimanual sangat berguna untuk
menentukan infiltrasi. Palpasi bimanual dikerjakan dengan narkose umum
(supaya otot buli-buli relaks) pada saat sebelum dan sesudah reseksi tumor
TUR Buli.4,7
Sistoskopi (atau disebut juga sistouretroskopi)
Suatu pemeriksaan yang mana alat ini dimasukkan sepanjang uratra
untuk memeriksa kandung kemih dan traktus urinarius untuk melihat
adanya suatu abnormalitas struktural atau obstruksi , seperti tumor atau
batu. Contoh jaringan kandung kemih (biopsi) dapat diambil melalui
sistoskop untuk kemudian diperiksa dengan menggunakan mikroskop.
Intavenous pyelogram (IVP)
Pemeriksaan ini berguna untuk memeriksa ginjal, ureter, dan kandung
kemih, mendeteksi adanya tumor, abnormalitas, batu, dan mengetahui
obstrusi janie lainnya. Pemeriksaan IVP dapat mendeteksi adanya tumor
buli berupa fillin deffect. Didapatkannya hidroureter atau hidronefrosis
merupakan salah satu tanda tanda adanya infiltrasi tumor ke ureter atau
muara ureter.
2.3 Tinjauan Tentang Obat
2.3.1 Fenitoin
1) Uraian Obat :
a) Nama generik : Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg
b) Kelas farmakologi : Hydantoin derivative
c) Kelas terapi : Antiepilepsi dan antikonvulsi
d) Nama Dagang :
1. Dilantin®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg; cairan injeksi
50mg/ml
2. Ikaphen®, kapsul 100 mg; injeksi 50 mg/ml.
3. Kutoin-100®, kapsul 100 mg; ampul 100 mg/2 ml
4. Movileps®, tablet 50 mg; kapsul 100 mg
5. Phenilep® , kapsul 100 mg
6. Phenytoin Ikapharmindo®, kapsul 100 mg; ampul 200 mg/2
ml
7. Zentropil®, kapsul 100 mg
2) Farmakodinamik
Farmakodinamiknya ialah dengan mengubah konduktansi
Na+,K+ dan Ca+,potensial membran dan konsentrasi asam amino
dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin dan asam gama
aminobutirat (GABA).
Penelitian pada neuron dalam kultur sel menunjukkan bahwa
fenitoin memblokadae pelepasan berulang potensial aksi
frekuensi tinggi yang bertahan lama. Efek ini terlihat pada
konsentrasi terapeutik yang relevan.
Sebagai tambahan, fenitoin secara paradoks menyebabkan eksitasi
pada beberapa saraf serebral. Reduksi permeabilitas kalsium,
disertai inhibisi influks kalsium di sepanjang membran sel, dapat
menjelaskan kemampuan fenitoin dalam menghambat berbagai
proses sekresi yang dipicu kalsium, termasuk pelepasan hormon
dan neurotransmiter. Rekaman potensial eksitatoris dan
inhibitoris pascasinaptik menunjukkan bahwa fenitoin
menurunkan pelepasan glutamat di sinaps dan meningkatkan
pelepasan GABA. Pada konsentrasi terapeutik, kerja utama
fenitoin adalah untuk memblokade kanal natrium dan
menghambat pembentukan potensial aksi berulang yang cepat
3) Farmakokinetik
Absorbsi fenitoin sangat bergantung pada formulasi bentuk dosis.
Ukuran partikel dan zat aditif mempengaruhi laju dan jumlah
absorbsi. Absorbsi natrium fenitoin dari saluran cerna pada
sebagian besar pasien hampir sempurna, meskipun waktu untuk
mencapai puncak berkisar antara 3-12 jam. Absorbsi setelah
suntikan intramuskular tidak dapat diperkirakan, dan dapat terjadi
pengendapan obat dalam otot; cara pemberian ini tidak dapat
dianjurkan untuk fenitoin. Sebaliknya, fosfenitoin, fosfat
prekursor fenitoin yang lebih mudah larut, diabsorbsi dengan baik
setelah pemberian intramuskular.
Fenitoin terikat sangat erat dengan protein plasma. Kadar plasma
total menurun jika persentase fenitoin yang terikat menurun,
seperti pada uremia atau hipoalbuminemia, namun hubungan
kadar obat bebas dengan keadaan klinis tetap tidak jelas.
Konsentrasi obat dalam cairan serebrospinal sebanding dengan
kadar obat bebas dalam plasma. Fenitoin dapat menumpuk di
otak, hati, otot, dan lemak.
Fenitoin dimetabolisasi menjadi metabolit inaktif yang disekresi
melalui urine. Hanya sebagian kecil fenitoin yang dikeluarkan
tanpa mengalami perubahan.
Eliminasi fenitoin bergantung pada dosisnya. Pada kadar darah
yang sangat rendah, metabolisme fenitoin mengikuti prinsip
kinetik orde pertama. Akan tetapi, seiring meningkatnya kadar
darah fenitoin dalam rentang terapeutik, kapasitas maksimum hati
untuk memetabolisme fenitoin mulai tercapai. Peningkatan dosis
lebih lanjut, walaupun relatif kecil, dapat menghasilkan
perubahan yang sangat besar dalam konsentrasi fenitoin. Dalam
keadaan demikian, waktu paruh obat meningkat tajam, kadar
plasma yang stabil tidak akan diperoleh (karena kadar plasma
akan meningkat), dan pasien akan cepat memperlihatkan tanda-
tanda toksikasi.
Waktu paruh fenitoin berkisar antara 12-36 jam, rata-rata 24 jam
pada sebagian besar pasien dalam terapi fenitoin kadar rendah
atau menengah. Banyak waktu paruh yang lebih lama terlihat
pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pada kadar fenitoin dalam
darah yang rendah, dibutuhkan 5-7 hari untuk mencapai kadar
darah yang stabil pada setiap perubahan dosis, pada kadar yang
lebih tinggi, waktu yang dibutuhkan dapat mencapai 4-6 minggu
sebelum kadar darah stabil.
4) Indikasi
Terapi pada semua jenis epilepsi, kecuali prtitmal; status
epileptikus
5) Kontraindikasi
Pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk
hidantoin lain dan hipersensitiv terhadap fenitoin atau hidantoin
lain, komponen sediaan obat, kehamilan
6) Perhatian
1) Bila diperlukan pengurangan dosis, penghentian pengobatan
harus dilakukan bertahap.
2) Pada kasus terjadi alergi atau reaksi hipersensitifitas,
kemungkinan diperlukan terapi alternatif yang bukan dari
golongan hidantoin.
3) Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi hati,
usia lanjut.
4) Fenitoin dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien
diabetes.
5) Fenitoin tidak diindikasikan untuk kejang yang disebabkan
oleh hipoglikemia atau kasus-kasus lain yang belum pasti.
6) Osteomalasia telah dihubungkan dengan terapi fenitoin dan
disebabkan pengaruh fenitoin terhadap metabolisme vitamin
D.
7) Penderita harus diobservasi bila terjadi tanda-tanda adanya
depresi pernafasan.
8) Fenitoin tidak efek untuk kejang petit mal. Jika terjadi
campuran antara kejang tonik-kronik (grand mal) dan kejang
petit mati, pengobatan harus dilakukan dengan obat
kombinasi.
9) Fenitoin harus dihentikan jika timbul ruam kulit
10) Pada penggunaan jangka panjang, harus dilakukan
pemeriksaan darah secara kontinu.
11) Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan
menyusui.
12) Pasien diingatkan pentingnya menjaga kebersihan gigi untuk
mengurangi berkurangnya hiperplasia gusi dan
komplikasinya.
7) Efek samping obat
a. Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang
berhubungan dengan terapi fenitoin dengan SSP biasanya
tergantung dosis. Efek samping ini berupa nistagmus, ataksia,
banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi mental,
pusing, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala.
b. Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi.
c. Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit
skarlatimiform atau morbiliform kadang-kadang disrtai
dengan demam. Bentuk lebih serius dapat berupa dermatitis
eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma Stevens-Johnson
dan nekrolisis epidermal toksik.
d. Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini
kadang-kadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa
trombositopenia leukopenia, granulositopenia,
agranulositosis, pansitopenia dengan atau tanpa supresi
sumsum tulang.
e. Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar,
hiperplasia gusi, hipertrikosis dan penyakit peyroni.
f. Kardiovaskular: periarterisis nodosa.
g. Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus
sistemik dan kelainan immunoglobulin.
8) Dosis
Kadar plasma terapeutik fenitoin pada sebagian besar pasien
berkisar antara 10 dan 20 mcg/ml. Dosis beban (loading dose)
dapat diberikan per oral atau intravena, pemberian fosfenitoin
merupakan metode pilihan pada status epileptikus konvulsif (akan
dibahas kemudian). Ketika memulai terapi oral, dosis dewasa
biasanya adalah 300 mg/hari, tanpa memperhatikan berat badan
pasien. Dosis ini mungkin bisa diterima oleh beberapa pasien,
tetapi dosis ini sering hanya menimbulkan kadar darah stabil
dibawah 10 mcg/ml, yang merupakan kadar terapeutik minimum
untuk sebagian besar pasien. Jika kejang berlanjut, biasanya
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai kadar plasma
dalam batas atas rentang terapeutik. Karena kinetik obat ini
bergantung pada dosis, beberapa keracunan dapat terjadi hanya
dengan peningkatan dosis yang kecil. Peningkatan dosis fenitoin
tiap kalinya hanya dapat dilakukan sebesar 25-30 mg pada
dewasa, dan perlu waktu yang cukup untuk mencapai keadaan
yang stabil yang baru sebelum dilakukan penambahan dosis
berikutnya. Kesalahan klinis yang biasa terjadi adalah
meningkatkan dosis langsung dari 300 mg/hari ke 400 mg/hari,
keracunan biasanya terjadi pada waktu-waktu berbeda setelahnya.
Pada anak, dosis 5 mg/kg/hari perlu diikuti dengan penyesuaian
setelah kadar stabil tercapai.
Dua jenis natrium fenitoin oral yang terdapat di Amerika, berbeda
hanya dalam laju pelarutannya, yang satu diabsorbsi cepat dan
yang lain diabsorbsi lebih lambat. Hanya formulasi lepas-lambat,
kerja berkepanjanganlah yang dapat diberikan dalam dosis
tunggal, dan perlu hati-hati jika berganti merek (lihat preparat
yang tersedia). Meskipun beberapa pasien yang diberi fenitoin
dalam jangka panjang telah terbukti mempunyai kadar darah
rendah karena absorbsi sedikit atau metabolisme cepat, penyebab
tersering terjadinya kadar darah rendah tersebut adalah kurangnya
kepatuhan pasien. Namun fosfenitoin tersedia untuk penggunaan
intravena atau intramuskular dan menggantikan natrium fenitoin
intravena yakni bentuk obat yang lebih sulit larut.
9) Teknik Pemberian
Oral : dosis awal 3-4 mg/kg/hari atau 150-300 mg/hari, dosis
tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap.
Dosis lazim : 300 - 400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari. ANAK :
5 - 8 mg/kg/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali sehari. Status
epileptikus : i.v. lambat atau infus, 15 mg/kg, kecepatan maksimal
50 mg/menit (loading dose). Dosis pemeliharaan sekitar 100 mg
diberikan sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma.
Pengurangan dosis berdasar berat badan.(IONI p.153).
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
Sediaan fenitoin tablet dan suspensi oral harus disimpan dalam
wadah yang tertutup rapat pada temperatur ruang tidak lebih dari
30°C. Sediaan fenitoin lepas lambat harus terhindar dari cahaya
dan kelembaban. Sediaan fenitoin suspensi oral tidak boleh
dibekukan dan terhindar dari cahaya. Fenitoin injeksi harus
disimpan pada suhu 15 - 30°C dan tidak boleh dibekukan.
Endapan dapat timbul jika injeksi fenitoin didinginkan atau
dibekukan, tetapi dapat melarut kembali pada temperatur kamar.
Injeksi fenitoin tidak boleh digunakan jika larutan tidak jernih
atau terdapat endapan, tetapi larutan injeksi fenitoin kadang
berwarna sedikit kekuningan yang tidak mempengaruhi
efektivitas obat. Endapan dari fenitoin bebas timbul pada pH <=
11,5. (AHFS p.2136).
11) Monitoring evaluasi
Perlu dilakukakn monitoring terhadap Tekanan darah, kadar
fenitoin dalam darah, fungsi hati
12) Health education
Kocok terlebih dahulu jika menggunakan obat dengan bentuk
sediaan suspensi oral. Jangan mengganti sediaan obat atau dosis
tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, jangan sampai
lupa minum obat, ;Obat ini dapat menyebabkan kantuk, sakit
kepala, ataksia, dan hilangnya koordinasi; obat ini diminum
setelah atau bersama dengan makanan, jangan memecah atau
membuka kapsul dari obat. (Lexy-comp p.940)
13) Interaksi obat
1) Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar fenitoin yaitu:
asupan alkohol akut, amiodaron, kloramfenikol,
klordiazepoksid, diazepam, dikumarol, disulfiram, estrogen,
H2-antagonis, halotan, isoniazid, metilfenidat, fenotiazin,
fenilbutazon, salisilat, suksinimid, sulfonamid, tolbutamid,
trazodan.
2) Obat-obat yang dapat menurunkan kadar fenitoin yaitu:
karbamazepin, penggunaan alkohol kronis, reserpin dan
sukralfat.
3) Obat-obat yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar
fenitoin yaitu: Fenobarbital, natrium valproat dan asam
valproat.
4) Meskipun bukan interaksi obat yang sebenarnya,
antidepressam trisiklik dapat menyebabkab kejang pada
pasien yang peka, karena itu dosis fenitoin perlu disesuaikan.
5) Obat-obat yang khasiatnya terganggu oleh fenitoin yaitu:
kortikosteroid, antikoagulan, kumarin, digitoksin, estrogen,
furosemid, kontrasepsi oral, kuinidin, rifampisin, teofilin,
vitamin D.
14) Over dosis obat
1. Dosis letal pada orang dewasa diperkirakan 2 sampai 5 gram.
Gejala awal yang terjadi: nistagmus, ataksia dan disartria.
2. Tanda-tanda lain adalah: tremor, hiperfleksia, letargi, banyak
bicara, mual, muntah.
3. Kemudian menjadi koma, pupil tidak beraksi dan tekanan
darah menurun. Kematian terjadi akibat depresi pernafasan
dan depresi sirkulatori. Penatalaksanaannya bersifat non-
spesifik yaitu dengan bantuan pernafasan atau hemodialisis.
4. Lethal dose pada anak-anak tidak diketahui.
2.3.2 Ranitidin
1. Uraian Obat
a) Nama generik : Ranitidin
b) Kelas farmakologi : Antagonis Histamin 2 (AH2)
c) Kelas terapi : Antasida dan antiulkus
d) Obat bermerk : Acran, Aldin, Anitid, Chopintac,
Conranin, Fordin, Gastridin, Hexar, Radin, Rancus, Ranilex.
Ranin, Ranivel, Ranticid, Rantin, Ratan, Ratinal, Renatac,
Scanarin, Tricker, Tyran, Ulceranin, Wiacid, Xeradin, Zantac,
Zantadin, Zantifac
2. Farmakodinamik
Ranitidine adalah antihistamin penghambat reseptor H2
(AH2). Rangsangan reseptor H akan merangsang sekresi asam
lambung. Dalam menghambat reseptor H2 ranitidine berkerja
cepat, spesifik dan rebersible melalui pengurangan volume dan
kadar ion hidrogen cairan lambung. Ranitidine juga meningkatkan
penghambatan sekresi asam lambung akibat perangsangan obat
muskarinik atau gastrin.
3. Farmakokinetik
a. Per oral : Absorbsi baik
b. C max : 1-3 jam
c. Eliminasi : 25% utuh
d. T1/2 = 2,5-3jam
e. Mempunyai cincin furan
4. Indikasi
Ranitidine digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan
deudenum akut, refluks esofagitis, keadaan hipersekresi asam
lambung patologis seperti pada sindroma zollinger ellison,
hipersekresi pasca bedah.
1) Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak
lambung, tukak duodenum, tukak ringan aktif
2) Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk refluks
gastroesofagus dan esofagitis erosif.
3) Terapi jangka pendek dan pemeliharaan kondisi hipersekresi
patologis.
4) Sebagai bagian regimen multiterapi eradikasi H. pylori untuk
mengurangi risiko kekambuhan tukak.
5) Meringankan heartburn, acid indigestion, dan lambung asam.
5. Kontraindikasi
a. Dikenal hipersensitivitas terhadap ranitidin atau bahan dalam
formulasi
b. Jangan gunakan untuk pengobatan sendiri jika kesulitan
c. Jangan gunakan untuk pengobatan sendiri dengan obat lain
yang menurunkan sekresi asam lambung.
d. Jangan gunakan untuk pengobatan sendiri jika kesulitan atau
sakit terjadi ketika menelan makanan, jika mengalami muntah
darah, atau jika melewati berdarah atau feses menghitam.
Sebaliknya, konsultasikan dokter karena manifestasi tersebut
dapat mengindikasikan adanya kondisi serius yang
memerlukan pengobatan alternatif.
6. Perhatian
a) Umum : pada penderita yang memberikan symptomatic
response terhadap ranitidin, tidak menghalangi timbulnya
keganasan lambung.
b) Karena ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal, dosis
ranitidin harus disesuaikan pada penderita gangguan fungsi
ginjal.
c) Hati-hati pemberian ranitidin pada gangguan fungsi hati karena
ranitidin dimetabolisme di hati.
d) Hindarkan pemberian ranitidin pada penderita dengan riwayat
porfiria akut.
e) Hati-hati penggunaan ranitidin pada wanita menyusui.
f) Khasiat dan keamanan penggunaan ranitidin pada anak-anak
belum terbukti.
g) Waktu penyembuhan dan efek samping ranitidin pada usia
lanjut tidak sama dengan penderita usia dewasa.
h) Pemberian ranitidin pada wanita hamil hanya jika benar-benar
sangat dibutuhkan.
7. Efek samping obat
Terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing,
halusinasi, sakit kepala, confusion, mengantuk, vertigo, eritema
multiforme, kemerahan, pankreatitis, anemia haemolitic acquired,
agranulositosis, anemia aplastik, granulositopenia, leukopenia,
trombositopenia, pansitopenia, gagal hati, anafilaksis, reaksi
hipersensitivitas
8. Dosis
Dosis standar yaitu 2 kali sehari 150 mg atau 300 mg pada malam
hari sebelum tidur.
a) Menghilangkan gejala-gejala ketidakmampuan mencerna asam
& rasa panas pada ulu hati : 1-2 tablet/hari, maksimum 4
tablet/hari.
b) Ulkus lambung jinak & ulkus duodenum : 2 kali sehari 150
mg. Pemeliharaan : 150 mg sebelum tidur malam.
c) Refluks esofagitis : 2 kali sehari 150 mg atau 300 mg sebelum
tidur malam.
d) Sindroma Zollinger-Ellison : diawali dengan 150 mg 3 kali
sehari dan dapat ditingkatkan sampai 6 gram/hari.
e) Dispepsia kronis : 2 kali sehari 150 mg.
f) Mencegah perdarahan karena ulserasi akibat sters atau ulserasi
peptikum : 3 kali sehari 50 mg.
g) Sindroma Mendelson : 50 mg 60 menit sebelum induksi
anestesi umum.
h) Ulkus peptikum pada anak-anak : 2 kali sehari 2-4 mg/kg berat
badan.
9. Cara pemberian
a) Terapi oral Dewasa : tukak lambung, deudenum dan refluks
esofagitis, sehari 2 kali 1 tablet atau dosis tunggal 2 tablet
menjelang tidur malam, selama 4-8 minggu. Untuk
hipersekresi patologis sefari 2-3 kali 1 tablet. Bila keadaan
parah dosis dapat ditingkatkan sampai 6 tablet pada malam
hari. Pada penderita ganguan fungsi ginjal dan klirens kreatinin
kurang dari 50mg/menit, dosis sehari 1 tablet.
b) Terapi parenteral Diberikan i.m atau i.v atau infus secara
perlahan atau intermiten untuk penderita rawat inap dengan
kondisi hipersekretori patologik atau tukak usus duabelas jari
yang tidak sembuh-sembuh, atau bila terapi oral tidak
memungkinkan. Dosis dewasa : Injeksi i.m atau i.v intermiten :
50mg setiap 6 – 8 jam. Jika diperlukan, obat dapat diberikan
lebih sering, dosis tidak boleh melebihi 400mg sehari. Jika
ranitidine diberikan secara infus, 150mg ranitidine diinfuskan
dengan kecepatan 6,25mg/jam selama lebih ari 24 jam pada
penderita dengan sindrom.
10. Teknik penyimpanan dan stabilitas
Dari sudut pandang mikrobiologi pandang , harus digunakan
segera ; namun , infus disiapkan dapat disimpan di 20-80C dan
diresapi ( pada suhu kamar ) dalam waktu 24 jam .
11. Monitoring Obat
1. Mengukur fungsi ginjal
2. Tanda tanda Infeksi
3. Observasi vital sign
4. Memantau pemberian obat
12. Health education
Perhatian pasien untuk menghindari mengemudi dan kegiatan
berbahaya lainnya sampai efek Obat konsentrasi dan kewaspadaan
yang dikenal.
Beritahu pasien bahwa merokok dapat menurunkan
efek obat.
Sebagai tepat, meninjau semua penting lainnya dan
mengancam nyawa reaksi merugikan dan interaksi,
terutama yang terkait dengan tes, herbal, dan perilaku
disebutkan di atas.
13. Interaksi Obat
1) Mengikat lemah ke hati sistem CYP isoenzim di vitro.
2) Afinitas untuk sistem isoenzim CYP adalah sekitar 10% dari
cimetidine; penghambatan sistem isoenzim CYP adalah 2,4
kali lebih kecil dari cimetidine.
3) Tidak menghambat isoenzim CYP pada dosis yang
direkomendasikan.
4) Kemungkinan minimal menghambat metabolisme hepatik
beberapa obat, atau mempengaruhi bioavailabilitas oleh
mekanisme lain (misalnya, penyerapan tergantung pH, diubah
volume distribusi)
14. Over dosis obat
Gejala-gejala overdosis antara lain, pernah dilaporkan :
hipotensi, cara berjalan yang tidak normal.
Penanganan overdosis :
1. Induksi dengan cara dimuntahkan atau bilas lambung.
2. Untuk serangan : dengan cara pemberian diazepam injeksi i.v.
3. Untuk bradikardia : dengan cara pemberian atropin.
4. Untuk aritmia : dengan cara pemberian lidokain.
2.3.3 Metamizol
1) Uraian Obat
a. Nama generik :
b. Kelas farmakologi :
c. Kelas terapi :
d. Nama Dagang :
2) Farmakodinamik
3) Farmakokinetik
4) Indikasi
Dapat meringankan rasa sakit terutama nyeri kolik dan sakit setelah
operasi.
5) Kontraindikasi
1. Penderita hipersensitif terhadap metamizol Na
2. Wanita hamil dan menyusui
3. Penderita dengan TD sistolik <100 mmHg
4. Bayi dibawah 3 bulan atau dengan BB < 5 kg
6) Perhatian
1. Tidak untuk mengobati sakit otot pada gejala-gejala flu dan
tidak untuk mengobati rematik, lumbago, sakit punggung,
sindroma bahu lengan
2. Dapat menimbulkan agranulositosis yangberakibat fatal maka
sebaiknya tidak digunakan dalam jangka panjang
3. Pada penderita yang mengalami gangguan pembentukan darah
atau kelainan darah, gangguan fungsi hati dan ginjal
4. Pada pemakaian jangka lama dapat menimbulkan sindrom
neuropatik yang akan berangsur hilang bila penggunaan
dihentikan
7) Efek samping obat
1. Reaksi hipersensitifitas: reaksi pada kulit misalnya kemerahan
2. Agranulositosis
8) Dosis
Dewasa: 1 tablet. Jika sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8
jam, maksimum 4 tablet sehari
Dewasa: 500 mg injeksi jika sakit timbul, berikutnya 500 mg
tiap 6-8 jam, maksimal 3 kali sehari diringkas diberikan secara
injeksi i.m atau i.v
9) Cara pemberian
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
11) Monitoring
12) Health education
13) Interaksi
Bila metamizol Na diberikan bersamaan dengan chlorpramazine
dapat mengakibatkan hipotermia
14) Overdosis
2.3.4 Cernevit
1) Uraian Obat
a. Nama generik :
b. Kelas farmakologi :
c. Kelas terapi :
d. Nama Dagang :
2) Farmakodinamik
3) Farmakokinetik
4) Indikasi
Sebagai multivitamin harian dengan dosis maintenance
untuk dewasa dan anak di atas 11 tahun yang menerima nutrisi
parenteral. Juga diindikasikan dalam situasi lain di mana pemberian
intravena diperlukan, seperti operasi, luka bakar luas, patah tulang
dan trauma lain, penyakit infeksi berat dan koma yang memicu
keadaan stress dengan peningkatan kebutuhan metabolik dan
nutrisi jaringan berkurang.
5) Kontraindikasi
Untuk pasien hipervitaminosis atau hipersensitif pada salah satu
bahan aktif termasuk hipersensitif terhadap tiamin (vit B1)
6) Perhatian
Peringatan reaksi anafilaktik mungkin terjadi. Reaksi alergi ringan
seperti bersin atau asma ringan adalah tanda peringatan bahwa
pemberian selanjutnya dapat mengakibatkan syok anafilaktik.
Kehamilan dan Menyusui Penggunaan Cernevit belum diteliti pada
kehamilan.
Telah diketahui bahwa vitamin diekskresikan dalam air susu ibu
sehingga produk ini juga tidak diberikan untuk wanita menyusui.
Cernevit tidak mengandung vitamin K. Jika vitamin ini diperlukan
maka harus diberikan secara terpisah. Cernevit tidak diberikan
secara langsung, pemberian intravena tanpa pengenceran dapat
mengakibatkan pusing, pingsan, dan kemungkinan iritasi jaringan.
Kebutuhan vitamin harian harus dihitung untuk mencegah over
dosis dan efek toksik, terutama vitamin A dan D pada pasien anak.
Pada pasien yang akan menerima nutrisi parenteral total dalam
jangka waktu lama, kadar vitamin A, C, D dan asam folat dalam
darah harus dikontrol.
7) Efek samping obat
Reaksi alergi dapat terjadi setelah pemberian tiamin dan komponen
B kompleks lain secara intravena. Sangat jarang dilaporkan reaksi
anafilaktoid pada pemberian tiamin dosis besar IV. Akan tetapi
resiko ini dapat diabaikan bila tiamin diberikan bersama dengan
kelompok vitamin B yang lain. Dilaporkan reaksi sebagai berikut,
walaupun sangat jarang:
• Kulit : Ruam, eritema, gatal
• Sistem saraf pusat : Sakit kepala, pusing, kekakuan otot,
cemas
• Oftalmik : Diplopia
• Alergi : Urtikaria, edema periorbital.
Individu yang rentan terhadap nicotinamide dapat mengalami
kemerahan, gatal atau rasa terbakar di kulit setelah pemberian
infus.
8) Dosis
Dewasa dan anak-anak di atas 11 tahun dapat diberikan 1
vial per hari. Mula-mula harus ditambahkan 5 mL air untuk injeksi
ke dalam vial dan dikocok perlahan untuk melarutkan lyophilised
powder. Larutan ini kemudian dapat diberikan melalui intravena
secara perlahan atau dengan infus dalam isotonic saline atau larutan
glukosa.
9) Cara pemberian
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
11) Monitoring
12) Health education
13) Interaksi
Fenitoin, fenobarbital, levodopa
14) Overdosis
2.3.5 Alprazolam
1) Uraian Obat
a. Nama generik : Alprazolam
b. Kelas farmakologi : -
c. Kelas terapi : Psikofarma
d. Nama Dagang : -
2) Farmakodinamik
3) Farmakokinetik
4) Indikasi
5) Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap alprazolam atau komponen-komponen lain
dalam sediaan, kemungkinan sensitivitas silang dengan
benzodiazepin lain, glaukoma sudut sempit, penggunaan bersama
ketokenazol dan itrakenazol, kehamilan.
6) Perhatian
Selama menggunakan obat ini dilarang mengendarai kendaraan
bermotor atau mengoperasikan mesin. Hati-hati bila diberikan pada
wanita hamil dan menyusui, gangguan fungsi ginjal dan hati,
riwayat penyalahgunaan obat dan atau alkohol, penderita kelainan
kepribadian yang nyata. Keamanan penggunaan pada anak-anak
dibawah 18 tahun belum diketahui dengan pasti. Gejala kelebihan
dosis alprazolam adalah mengantuk, konfusi, gangguan koordinasi,
penurunan refleks dan koma. Penanganan saat terjadi kelebihan
dosis :
- Penderita dirangsang untuk muntah dan lakukan pengosongan
lambung.
- Penderita dirawat intensif dengan terapi simtomatis dan
suportif untuk memelihara fungsi kardiovaskular, pernapasan dan
keseimbangan elektrolit.
7) Efek samping obat
> 10% ;SSP : depresi, mengantuk, disartria (gangguan berbicara),
lelah, sakit kepala, hiperresponsif, kepala terasa ringan, gangguan
ingatan, sedasi; Metabolisme-endokrin : penurunan libido,
gangguan menstruasi; Saluran cerna : peningkatan/penurunan
selera makan, penurunan salivasi, penurunan/peningkatan berat
badan, mulut kering (xerostomia).; 1-10%; Kardiovaskuler :
hipotensi; SSP : gangguan koordinasi, akatisia (tidak bisa duduk
tenang), gangguan konsentrasi, bingung, kehilangan perasaan
terhadap realitas, disorientasi, disinhibisi, pusing,
hipersomnia(tidur terus), mimpi buruk, vertigo.
8) Dosis
9) Cara pemberian
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
Simpan dalam suhu kamar 200-250C, hindari lembab, tutup rapat
botol dan buang kapas yang ada di dalam botol.
11) Monitoring
Status pernafasan dan kardiovaskuler
12) Health education
Obat ini untuk mengatasi kecemasan. Katakan ke dokter bila
pernah alergi dengan obat ini atau dengan obat atau makanan lain.
Gunakan obat sesuai anjuran dokter. Kadang obat ini harus
digunakan beberapa minggu sebelum efek penuh dicapai. ;Bila lupa
meminum obat ini yang aturan pakainya satu tablet pada malam
hari, jangan meminumnya pagi hari kecuali setelah berkonsultasi
dengan dokter. ;Bila digunakan lebih dari satu dosis/tablet per hari,
segera minum obat bila lupa, tetapi bila sudah dekat dengan waktu
minum kedua, tinggalkan dosis pertama dan mulai dengan dosis
reguler. Jangan hentikan minum obat tanpa berkonsultasi dengan
dokter. ;Konsultasikan dengan dokter bila memakan obat lain. Bila
merasakan reaksi yang tidak menyenangkan/menggangu karena
memakan obat ini konsultasikan dengan dokter. Simpan obat ini
jauh dari jangkauan anak-anak.
13) Interaksi
Antifungi golongan azol, siprofloksasin, klaritromisin, diklofenak,
doksisiklin, eritromisin, isoniasid, nikardipin, propofol, protease
inhibitor, kuinidin, verapamil meningkatkan efek alprazolam.
Kontraindikasi dengan itrakenazol dan ketokenazol. ;Menguatkan
efek depresi SSP analgetik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan
siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif. ;Alprazolam dapat
meningkatkan efek amfetamin, beta bloker tertentu,
dekstrometorfan, fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon,
ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat CYP2D6
lainnya. ;Alprazolam meningkatkan konsentrasi plasma imipramin
dan desipiramin. Aminoglutetimid, karbamasepin, nafsilin,
nevirapin, fenobarbital, fenitoin menurunkan efek alprazolam.
14) Overdosis
2.3.6 Doksisiklin
1) Uraian Obat
a. Nama generik : Doksisiklin
b. Kelas farmakologi : tetrasiklin
c. Kelas terapi : Anti Infeksi
d. Nama Dagang : Merbentyl (Florizel), Merbentyl (Florizel)
2) Farmakodinamik
Antibiotik golongan tetrasiklin.
3) Farmakokinetik
Obat ini sangat-larut dalam lemak dan mudah menembus cairan
serebrospinal, otak, mata, dan prostat. Paruh independen dari ginjal
atau hati fungsi. Obat diekskresikan dalam bentuk tidak aktif dalam
lumen usus dan dieliminasi dalam feses.
4) Indikasi
Infeksi yang disebabkan oleh organisme yang tidak biasa, termasuk
Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia organisme
5) Kontraindikasi
Kontraindikasi pada hipersensitivitas terhadap obat, tetrasiklin
lainnya, atau bisulfites (dengan beberapa produk). Gunakan hati-
hati pada penyakit ginjal, hati penurunan nilai, diabetes nefrogenik
insipidus, cachexia, hamil atau menyusui pasien, dan anak-anak
muda dari usia 8 tahun.
6) Perhatian
Tindakan pencegahan standar berlaku.
7) Efek samping obat
Mual muntah, diare, dysphagia, iritasi esophagus, anoreksia ,
flushing dan tinnitus. ;Efek samping yang jarang terjadi
hepatotoksisitas, pancreatitis, gangguan darah, fotosensitivitas dan
reaksi hipersensitivitas (termasuk rash, exfoliativ dermatitis,
sindrom Stevens-Johnson, urticaria, angioedema, anaphylaxis,
pericarditis).;Sakit kepala dan gangguan penglihatan menunjukkan
hipertensi intrakranial (pengobatan dihentikan)
8) Dosis
Orang dewasa dan anak dengan berat badan lebih dari 45 kg (99
lb): 200 mg I.V. sekali sehari; atau 100 mg I.V. q 12 jam pada hari
pertama, diikuti oleh 100 sampai 200 mg I.V. sekali sehari; atau 50
sampai 100 mg I.V. q 12 jam Anak dengan berat badan 45 kg atau
kurang: 4,4 mg / kg I.V. sekali sehari; atau 2,2 mg / kg I.V. q 12
jam pada hari pertama, diikuti oleh 2,2-4,4 mg / kg I.V. sekali
sehari; atau 1,1 sampai 2.2 mg / kg I.V. q 12 jam
9) Cara pemberian
Melalui IV dengan dosis yang telah ditentukan.
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
Ketika diencerkan dengan larutan selain Solusi Laktat Ringer atau
dextrose 5% dalam larutan Ringer laktat, obat dapat disimpan
hingga 72 jam sebelum infus.
11) Monitoring
2 Monitor untuk reaksi hipersensitivitas, termasuk anafilaksis.
Dipersiapkan untuk campur tangan tepat.
1. Memantau profil hati, CBC, dan nitrogen urea darah (BUN)
dan peningkatan kreatinin.
2. Kaji hiperkoagulabilitas pada pasien penerima warfarin secara
bersamaan.
3. Memantau toksisitas digoxin pada pasien penerima digoxin
bersamaan.
12) Health education
Beritahu pasien untuk segera melaporkan nyeri menelan, sakit
perut, mudah memar atau perdarahan, dan tanda-tanda dan
gejala hipersensitivitas (seperti ruam).
Anjurkan pasien untuk menghindari penggunaan alkohol.
Stres pentingnya kebersihan mulut yang baik.
Katakan obat pasien dapat mengubah warna urin.
Anjurkan pasien wanita untuk memberitahu resep jika dia
hamil.
Sebagai tepat, meninjau semua penting lainnya dan
mengancam nyawa reaksi merugikan dan interaksi, terutama
yang terkait dengan obat-obatan, tes, dan perilaku disebutkan
di atas.
13) Interaksi
Obat-obat. Barbiturat, carbamazepine, kontrasepsi hormonal
mengandung estrogen, fenitoin, rifampisin: penurunan khasiat
doxycycline Metoksiflurana: peningkatan nefrotoksisitas Penisilin:
penurunan aktivitas penisilin Warfarin: ditingkatkan efek warfarin
Tes narkoba-diagnostik. Alkali fosfatase, alanin aminotransferase,
amilase, aspartat aminotransferase, bilirubin, BUN, eosinofil:
meningkat Hemoglobin, neutrofil, trombosit, putih sel darah:
menurun Urine katekolamin: elevasi palsu
Obat-perilaku. Penggunaan alkohol: menurun efek anti-infeksi
Paparan sinar matahari: peningkatan risiko fotosensitifitas.
14) Overdosis
b. Dalam overdosis, mengharapkan perpanjangan Efek farmakologis
dan merugikan reaksi.
c. Hentikan obat; memberikan gejala dan terapi suportif. Dialisis
tidak memiliki manfaat.
2.3.7 Nistatin
1) Uraian Obat
a. Nama generik : Nistatin
b. Kelas farmakologi : -
c. Kelas terapi : Anti Infeksi
d. Nama Dagang : Candistin
2) Farmakodinamik
Tidak ada.
3) Farmakokinetik
Setelah pemberian per oral, nystatin hanya sedikit diab-sorpsi dari
saluran cerna. Hada dbsis yang dianjurkan, tidak akan terdeteksi
dalam darah. Hampir seluruhnya diekskresi melalui feses dalam
bentuk tidak diubah.
4) Indikasi
Pengobatan kandidiasis pada rongga mulut.
5) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap nistatin atau komponen lain dalam
sediaan
6) Perhatian
Dianjurkan untuk melakukan KOH smear, kulturatau metoda
diagnosa lainnya untuk menegakkan diagnosa kandidiasis dan
bukannya infeksi karena patogen lainnya.
- Walaupun sudah terjadi perbaikan gejala pada awal pengobatan,
pengobatan harus tetap diteruskan sesuai dosis yang dianjurkan.
- Jangan digunakan untuk pengobatan mikosis sistemik.
- Hentikan pengobatan bila terjadi iritasi atau sensitisasi.
- Pemberian pada wanita hamil dilakukan dengan mem-
pertimbangkan manfaatdan resikonya terhadap janin.
- Hati-hati bila diberikan pada wanita menyusui.
7) Efek samping obat
Mual, muntah, diare pada dosis tinggi ; sensitisasi dan iritasi oral ;
rash (termasuk urtikaria) dan jarang terjadi sindrom Stevens-
Johnson.
8) Dosis
Bayi
Dosis yang dianjurkan adalah 4 X 1 -2 ml sehari. Dalam studi
klinis terbatas pada bayi prematur dan bayi dengan berat badan
kurang, disebutkan bahwa dosis 4 X 1 ml sehari sudah efektif.
Anak dan dewasa
4 X 1-6 ml diteteskan ke dalam mulut dan ditahan untuk beberapa
waktu sebelum ditelan. Pemberian pada bayi dan anak-anak : 1/2
dosis diteteskan pada masing-masing sisi mulut. Pengobatan
sebaiknya dilanjutkan hingga 48 'jam sete-lah gejala-gejala
menghilang dan kurtur normal kembali. Bila keluhan dan gejala
memburuk atau menetap (hingga 14 hari setelah pengobatan),
penderita harus direevaluasi dan dipertimbangkan untuk diberikan
pengobatan alternatif.
9) Cara pemberian
Per Oral sesuai dengan dosis yang ditentukan.
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
Sediaan nistatin dapat menjadi rusak oleh panas, cahaya,
kelembaban atau udara. Nistatin suspensi oral dan tablet harus
disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, tidak tembus
cahaya. ;Tablet oral dan suspensi oral : simpan pada suhu kamar
yang terkontrol 150C hingga 250C.;Paparan tablet terhadap suhu
lebih dari 400C dan penyimpanan suspensi oral pada suhu dingin
harus dihindari. ;Serbuk nistatin harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat, kedap cahaya dan disimpan pada suhu 2 -
80C;Penyiapan suspensi oral nistatin yang tidak mengandung
pengawet, harus segera digunakan sesudah pencampuran. ;Sediaan
melalui vagina : simpan dalam refrigerator ; lindungi dari
temperatur ekstrim, udara lembab dan cahaya
11) Monitoring
12) Health education
Jumlah dan frekuensi penggunaan obat tergantung dari beberapa
faktor, seperti kondisi pasien, umur dan berat badan. Bila anda
mempunyai pertanyaan yang berkaitan dengan jumlah dan/
frekwensi pemakaian obat tanyakan pada dokter atau
apoteker. ;Hati-hati membaca informasi yang berkaitan dengan
obat ini dan ulangi membaca setiap kali anda menerima resep
legi. ;Gunakan obat ini secara tepat seperti petunjuk yang tertera
dalam resep.;Sediaan suspensi : kocok dengan baik sebelum
digunakan. Minum sediaan tersebut dan tahanlah di mulut selama
mungkin (beberapa menit) sebelum ditelan.;Hentikan penggunaan
obat dan hubungi dokter jika terjadi iritasi. ;Jangan menghentikan
pemakaian obat ini tanpa berkonsultasi dengan dokter ;Jangan
menggunakan OTC atau obat resep yang lain tanpa memberitahu
dokter yang merawat. Ini termasuk sediaan herbal atau suplemen
makanan yang lain;Kondisi medis awal pasien harus diceritakan
pada petugas kesehatan sebelum menggunakan obat ini. ;Jangan
menggunakan obat melebihi jumlah yang telah diresepkan, kecuali
atas anjuran dokter.;Jika pasien lupa minum obat, segera mungkin
minum obat setelah ingat. Jika terlewat beberapa jam dan telah
mendekati waktu minum obat berikutnya jangan minum obat
dengan dosis ganda, kecuali atas saran dari dokter atau
apoteker ;Jika lebih dari satu kali dosis terlewat, hubungi dokter
atau apoteker. ;Obat ini hanya digunakan oleh pasien yang
mendapat resep. Jangan diberikan pada orang lain.
13) Interaksi
14) Overdosis
Dosis oral lebih dari 5.000.000 IU sehari dapat menye-babkan mual
dan gangguan gastrointestinal.
2.3.8 Asam traneksamat
1) Uraian Obat
a. Nama generik : Traneksamat
b. Kelas farmakologi : -
c. Kelas terapi : Obat yang mempengaruhi darah
d. Nama Dagang : -
2) Farmakodinamik
Tidak ada.
3) Farmakokinetik
Diabsorpsi secara baik per oral dan juga dapatdiberikan IV. Obat
ini diekskresi dengan cepat melalui urin, sebagian besar dalam
bentuk asal. Kadar puncak setelah pemberian per oral dicapai
kurang lebih 2 jam setelah dosis tunggal.
4) Indikasi
Fibrinolisis pada menoragia, epistaksis, neoplasma tertentu,
komplikasi pada persalinan dan berbagai prosedur operasi termasuk
operasi kandung kemih, prostatektomi atau serviks. Hemofilia
pada pencabutan gigi dan profilaksis pada angiodema herediter
5) Kontraindikasi
a. Penderita yang hipersensitif pada asam tranexamat
b. Penderita perdarahan subarakhnoid
c. Penderita dengan riwayat tromboembolik
d. Pasien dengan pembekuan intravaskular aktif
e. Penderita buta warna
6) Perhatian
a. Hati – hati jika diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal
karena resiko akumulasi
b. Hati – hati jika diberikan pada penderita hematuria
c. Hati – hati penggunaan pada wanita hamil dan menyusui
d. Penyuntikan secara intravena harus dilakukan dengan perlahan –
lahan (10ml/1-2 menit)
e. Hati – hati pada setiap kondisi yang merupakan predisposisi
trombosis
f. Hati – hati pemberian pada anak – anak
7) Efek samping obat
a. Gangguan pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) akan
hilang bila dosis dikurangi
b. Reaksi hipotensi dan pusing dapat terjadi pada pemberian
intravena yang cepat. Pemberian dilakukan dengan kecepatan
tidak lebih dari 1 ml/menit
8) Dosis
a. Dosis oral : 1-1.5 gram (atau 15-25 mg/kg) 2 sampai 4 kali
sehari.
b. Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1 g (atau 10 mg/kg) 3 kali
sehari.
c. Dosis infus lanjutan : 25-50 mg/kg setiap hari.
d. Dosis anak : 25 kg/mg melalui oral atau 10 mg/kg melalui intra
vena setiap 2 atau 3 kali sehari.
9) Cara pemberian
Per oral sesuai dengan dosis dan aturan atau advis dokter.
10) Teknik penyimpanan dan stabilitas
Simpan pada suhu kamar (maks. 30°C), terlindung dari cahaya.
11) Monitoring
a. mengukur TD : Selama injeksi, timbul gejala selama pemberian infus
b. mengukur frekuensi ginjal mdan hati secara berkala
c. mengobservasi adanya perdarahan selama terapi
(Gray,Alistair dkk.2011.Injactable Drug
Guide.London:Pharmaceutical press (page 839)).
d. Memantau pasien untuk perdarahan.
e. Memantau fungsi ginjal; Obat diekskresikan terutama oleh
ginjal.
12) Health education
a. Informasikan kepada px bahwa obat pasti memiliki efek pada seluruh tubuh
b. Meyakinkan px bahwa akan dimonitoring melalui observasi ketat dan beberapa pemeriksaan
c. Instruksikan px untuk melaporkan segera tanda dan gejala seperti nyeri betis, sesak dan perdarahan hebat
d. Informasikan kepada px tentang pemeriksaan darah selama terapi (Schull, Patricia Dwyer., 2009).
13) Interaksi
14) Overdosis
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Profil penderita
3.1.1 Data Pasien
Nama : Tn. R
Umur/BB : 38 tahun
Alamat : Surabaya
IRD : 12/11/2011 (23.27)
KRS : 20/11/2011
KU : kejang
Status penyakit : Kesadaran menurun
Diagnosa Awal : Status Epilepsi
Diagnosa klinis :
Penurunan Kesadaran
Status general tonik klonik seizure
Diagnosa topis : cortex D et S
Diagnosa Etiologi : Status epilepsy ec putus obat
Diagnosa Sekunder : Hematuria ec rupture parsial
Keluhan Utama :
Px kejang 1 hari SMRS, kejang 3x kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki menjadi kaku, bibir tergigit, kejang diawali dengan rasa sakit di kepala belakang dan pandangan gelap. Kejang > 5 menit. Ngompol (+). Setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pasien sudah lama seperti ini
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien rujukan RS Katolik Surabaya dengan keluhan/ diagnosis gangguan Mental Organik DD Schizofrenia (halusinasi (+))
Sakit seperti ini sejak SD, lama tidak kambuh 5 tahun yang lalu MRS di neuro RSDS dengan keluhan sama, hasil EEG, CT scan dikatakan tidak ada kelainan. Tidak pernah kontrol (Riwayaat epilepsy 5 tahun yang lalu, tidak kontrol).
HT (-), DM (-), stroke (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat Pengobatan :
Obat lupa Vit otak dan obat penenang (dokter umum)
Merokok/alkohol : +/+
Pemeriksaan fisik IRD
1. TD: 110/60 mmHg; N: 80; RR: 25; T:37oC
2. Kepala dan wajah: AIC (-)D(+)
3. Thorax: SIS2 tunggal, m (-); v/v; th (+)(+)
4. Abdomen BU (+), soefl (+), H/L dbn
5. Pemeriksaan neurologis: GCS:114 MS (-)
6. Ekstremitas/ muskuloskeleton; odeme (-), HKM, CRT <2 detik
3.1.2 Hasil pemeriksaan penunjang :
No. Tanggal Jenis pemeriksaan Hasil
12/11 Foto Thx Cardio dan pulmo dbn
12/11 CT Scan Kepala Tak tampak kelainan
14/11 15/11 Kultur air kemih Kultur aerob, tidak ada
pertumbuhan kuman
14/11 21/11 Kultur darah Tidak ada pertumbuhan
kuman aerob dan anaerob
3.1.3 Lembar Konsultasi :
Tanggal Bagian/Devisi Hasil Saran
15/11 Kulit Bibir pecah, pus,
selaput putih +
radang, susp
Candidiasis Oris + sek
infeksi
Siclidon 2x100mg
Nistatin sol drop
3x2cc (dioles di bibir
dalam yang
putih/memerah)
Luka dikompres PZ
16/11 Urologi Susp rupture uretra
iantrogenik (rupture
parsial)
Evaluasi miksi, bila
retesi uretrogrin
Bila tidak retesi
observasi
3.1.4 Data Laboratorium
3.1.4.1 Hematologi
DATA LAB DATA NORMALTgl (Nov 2011)
13 14
WBC 4,5-10,5x 103/mm3 14,5 9,55
LYM 20,5-51,1% 9,8
MONO 1,7-9,3% 1,3
RBC 3,9-5,0.106/ L 4,91 5,01
Hb 11-18 g/dl 15 14,4
Hct 35-60% 43,7 43,1
PLT 150-450x 103/mm3 218 235
LED <20/menit 55
3.1.4.2 Kimia Darah
DATA LAB DATA NORMALTgl (Nov 2011)
12 13
GDA 40-121 mg/dl 126
SGOT/ <38 U/I 52
SGPT <41 U/I 35
Alb 3,5-5 mg/dl 4,65
BUN 10-20 mg/dl 11 11,6
Scr O,5-1,2mg/dl 1,01
HIV Rapid Test-
stik
Non reaktif (-)/ non reaktif
3.1.4.3 Elektrolit
DATA LAB DATA NORMAL 12/11
K 3,5-5 mmol/L 3,8
Na 135-145 mmol/L 141
Cl 95-108 mmol/L 106
3.1.4.4 Urine
LAB NORMAL 14/11
SG 1,010-1,009 1,009
Ph 4,5-7,5 7
LEU (-)/ul 100
Nitrogen (-) (-)
Protein (-) mg/dl (-)
Glu (-) mg/dl Norm
KET (-) (-)
UBG (-) Norm
BIL (-) (-)
ERY (-)/ul 250
Colour Yellow P. Yell
Clarity Clear Clear
Erytrosit (mikros) 0-2/Lp Banyak
Leukosit (mikros) 0-5/Lp 8-10
Epitel (mikros) Sedikit 0-1
Kristal (mikros) (-) (-)
Silinder (mikros) (-) Granular (+)
Mikros bakteri (-) (-)
3.1.4.5 Gas Darah (BDA)
DATA LAB DATA NORMAL 12/11
Ph 7,35-7,45 mmHg 7,26
pCO2 35-45 mmHg 24
pO2 80-107 mmol/l 110
HCO3 21-25 mmol/l 10,8
TCO2 11,5
Beecf -3,5 - +2,0 -16,3
SO2 % 97
Temp 37Oc 37
AaDO2 mmHg 9
3.1.5 Data Klinik
DATA
KLINIK
13/11 14/11 15/11 16/11 17/11 18/11 19/11 20/1
1
AICD (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
GCS 456 456 456 456 456 456 456 456
TD 110/60 100/60 110/70 140/80 110/80 120/80 120/80 100/6
0
N (x/’) 80 84 80 100 84 88 84 80
RR (x/’) 18 20 20 24 22 24 20 24
T (oC) 36,4 37,4 36,6 37 36,4 36,2 36,8 36,6
CK 2600 1200 1300 Aff
Luka
dibibir
+ + + +
Hematuri + + + +
BAB + +
3.2 Asuhan Keperawatan
3.2.1 Asuhan Keperawatan Epilepsy
1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan pneumonia
(Doengoes,2002) adalah sebagai berikut:
1. Riwayat perjalanan penyakit
a. Pola Aktivitas/ istirahat
Subjektif : kelemahan, kelelahan, insomnia.
Objektif : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Pola Sirkulasi
Subjektif : riwayat adanya gangguan jantung kronis.
Objektif : takikardia, penampilan kemerehan atau pucat.
c. Integritas Ego
Subjektif : banyaknya stressor, masalah financial
d. Pola Nutrisi
Subjektif : kehilangan nafsu makan, mual/ muntah, riwayat diabetes
mellitus.
Objektif : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering
dengan turgor buruk, penampilan kekeksia (malnutrisi).
e. Neurosensori
Subjektif : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Objektif : perubahan mental (bingung, somnolen)
f. Nyeri/ Kenyamanan
Sujektif :sakit kepala, nyeri dada (pleuritik), meningkat oleh batuk:
nyeri dada substernal (influenza), mialgia, atralgia.
Objektif : melindungi area yang sakit(pasien umumnya tidur pada
sisi yang sakit untuk membatasi gerakan
g. Pernapasan
Subjektif : riwayat adanya / ISK kronis, PPOM, merokok sigaret,
takipnea, dispnea progresif, pernapasan dangkal, penggunaan otot
aksesori, pelebarab nasal.
Objektif : sputum : merah muda, berkarat, atau purulen
Perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi
Fremitus : taktil dan vocal bertahap meningkat
dengan konsolidasi.
Bunyi napas : menurun atau tak ada di atas area yang
terlibat, atau napas bronchial.
Warna : pucat atau sianosis bibir/kuku.
h. Keamanan
Subjektif : riwayat gangguan sistem imun, misal: SLE, AIDS,
penggunaan steroid atau kemote
rapi, institusionalisasi, ketidakmampuan umum, demam (mis: 38,5-
39,60 C).
Objektif : berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan
mungkin ada pada kasus rubella dan varisela
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
2. Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
3. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori
persepsi
4. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
5. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan sigma
buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
6. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan)
7. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
8. Resiko tinggi terhadap penghentian pernafasan berhubungan dengan
perubahan kesadaran
9. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan napas b.d kerusakan
neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial, kerusakan persepsi atau
kognitif
3. Rencana Keperawatan
a. Potensial kecelakaan sehubungandengan penurunan kesadaran,
kelemahan fisik, gerak otot tonik klonik.
b. Potensial terjadi sumbatan jalan nafas sehubungan dengan
obstruksi tracheo bronkhial, gangguan persepsi dan neuro muskuler.
c. Gangguan konsep diri sehubungan dengan stigma sosial, salah
persepsi dari lingkungan sosial.
d. Gangguan mekanisme koping (koping tidak efektif) sehubungan
dengan terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit (epilepsi) dan
pengobatannya sehubungan dengan mis interpretasi dan kurang
informasi.
4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi perawatan,
diantaranya:
1. Jalan nafas kembali efektif
2. Tidak terjadi cedera
3. Mempertahan kan kontrol kejang
a. Mengikuti program pengobatan dan mengidentifikasi bahaya obat
b. Mengidentifikasi bahaya obat
c. Dapat menghindari faktor atau situasi yang dapat menimbulakn
kejang
d. Mengikuti gaya hidup hemat
4. Meningkatnya penyesuaian psikososial dengan mendiskusikan perasaan
5. Meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang epilepsi
6. Bebas dari kejang dan komplikasi status epileptikus
3.2.2 Asuhan Keperawatan Hematuria
1. Pengkajian
Tanda dan gejala gangguan/penyakit pada sistem perkemihan dapat dilihat
atau ditanyakan langsung pada pasien, yang meliputi:
Frekwensi buang berkemih (miksi):
Poliuri (sering miksi)
Oliguri (jumlah urine yang keluar kurang dari normal, minimal
urine keluar kurang lebih 400 cc)
Stranguri (miksi sering tetapi sedikit-sedikit, lambat dan sakit).
Urgensi (pasien berkeinginan untuk miksi, tetapi tidak terkontrol
untuk keluar).
Nokturi (pasien terbangun tengah malam untuk miksi).
Pasien mengalami keraguan/kesukaran saat memulai untuk miksi.
Intermiten (pasien mengalami tempo berhenti arcs urinenya selama miksi).
Urine keluar secara menetes atau tidak memancar).
lnkontinen urine (urine keluar dengan sendirinya tanpa disadari).
Kelainan miksi:
Disuri (adanya rasa sakit sewaktu miksi)
Adanya rasa papas sewaktu miksi
Hematuri (adanya darah yang keluar bercampur dengan urine).
Piuri (adanya nanah dalam urine, keadaan ini diketahui melalui
pemeriksaan mikroskopis, disebabkan tidak semua urine menjadi keruh
karena mengandung nanah.
Lituri (urine keluar bersama bate kecil sewaktu miksi)
Selain hal-hal di atas, dalam pengkajian pasien harus termasuk : 1)
identitas pasien; 2) riwayat kesehatan umum meliputi berbagai
gangguan/penyakit yang lalu, yang berhubungan atau yang dapat
mempengaruhi penyakit perkemihan, riwayat kesehatan keluarga, dan
riwayat kesehatan pasien; 3) riwayat kesehatan sekarang meliputi
keluhan/gangguan yang berhubung¬
an dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan mekanisme
pertahanan primer
3) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan Hb
4) Cemas berhubungan dengan krisis situasional
3. Rencana Tindakan
Diagnosa 1
a. Kaji tingkat nyeri PQRST
b. Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)
c. Berikan klien posisi yang nyaman
d. Anjurkan klien agar melakukan aktivitas seperti duduk, jalan atau
miring ke kanan dan ke kiri
e. Libatkan keluarga untuk dapat memberikan tindakan nyaman ; massase
punggung
f. Kolaborasi pemberian analgesik
Diagnosa 2
a. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Pengunjung juga dianjurkan
melakukan hal yang sama
b. Jaga personal higiene klien dengan baik
c. Monitor temperatur
d. Hindari / batasi prosedur invasi f dan jaga aseptik prosedur
e. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik bila
diindikasikan
Diagnosa 3
a. Cek laboratorium untuk kadar Hb
b. Kelola tranfusi darah sesuai dengan golongan darahnya
c. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy obat
d. Anjurkan klien makan makanan tinggi zat besi
Diagnosa 4
a. Tentukan pengamatan klien sebelumnya terhadap penyakit yang
dideritanya
b. Berikan informasi tentang prognosis secara akurat
c. Jelaskan pengobatan, dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan
diri dalam pengobatan
d. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman
e. Pertahankan kontak dengan klien, bicara & sentuhlah dengan wajar
4. Evaluasi
S :
- Klien mengatakan terasa nyeri saat BAK, skala nyeri 6
- Klien mengeluh kalau nyerinya belum berkurang
- Klien mengatakan takut nanti bagaimana keadaanya kalau tidak segera
sembuh
- Klien mengatakan pasrah akan dilakukan apa saja yang penting segera
sembuh
O :
- Klien terlihat tegang, meringis menahan sakit
- Klien cemas, gelisah
- Suara gemetaran
- TD : 130/80 mmHg
- N : 90 kali/menit
- RR : 24 kali/menit
- S : 37 ºC
- Klien terlihat lebih rileks setelah napas dalam
- Klien terlihat dapat tertidur saat diantar sampai bangsal
- Hb : 8,7 g/dL
- WBC : 14,4 103/µL
A : tujuan tercapai sebagian
P : modifikasi intervensi selanjutnya di bangsal