bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi Anak Prasekolah
1. Pengertian Status Gizi
Supariasa dkk (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Sampai saat ini dikenal kurang
lebih 45 jenis zat gizi dan sejak akhir tahun 1980an dikelompokkan
keadaan zat gizi makro yaitu zat gizi sumber energi berupa karbohidrat,
lemak, dan protein dan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral.
Almatsier (2002), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara
status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih.Zat gizi diartikan sebagai zat
kimia yang terdapat dalam makanan yang diperlukan manusia untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan. Jadi status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan
makanan yang memenuhi gizi tubuh, dan membawa ke status gizi yang
memuaskan.
2. Macam Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2002). Status gizi
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama,
yaitu:
a. Status Gizi Lebih
Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi
dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau
membahayakan.Gizi lebih menyebabkan kegemukan atau
obesitas.Kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan di dalam
jaringan dalam bentuk lemak.Kegemukan merupakan salah satu
faktor risiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti
8
9
hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakit-penyakit diabetes,
jantung koroner, hati, dan kantung empedu (Almatsier,
2002).Budiyanto (2002) mendefinisikan status gizi lebih adalah
keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan,
mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh
untuk jangka waktu yang panjang.
b. Status Gizi Baik
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien,
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi
mungkin (Almatsier, 2002). Budiyanto (2002) status gizi baik adalah
kondisi pada saat asupan gizi seimbang dengan kebutuhan gizi
seseorang yang bersangkutan.Kebutuhan gizi seseorang ditentukan
oleh kebutuhan gizi basal, kegiatan, dan pada keadaan fisiologis
tertentu serta dalam keadaan sehat.
c. Status Gizi Kurang
Status gizi kurang terjadi bila tubuh kekurangan satu atau
lebih zat-zat gizi esensial. Akibat kurang gizi terhadap proses
tumbuh bergantung pada zat gizi apa yang kurang. Kekurangan gizi
secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas)
menyebabkan gangguan pada proses-proses pertumbuhan, produksi
tenaga, pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak, perilaku
(Almatsier, 2002).Adapun Budiyanto (2002), mengartikan gizi
kurang merupakan keadaan tidak sehat (patologis) yang timbul
karena tidak cukup makan dengan demikian konsumsi energi dan
protein kurang selama jangka waktu tertentu.Berat badan yang
menurun adalah tanda utama dari gizi kurang.
d. Status Gizi Buruk
Status gizi buruk terjadi apabila hampir semua penyakit gizi
kurang diderita seseorang (Apriadji, 1986).
10
3. Penilaian dan Pengukuran Gizi
Penilaian status gizi bisa dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
Adapun penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi
3 yaitu survey konsumsi makan, statistik vital, faktor ekologi (Supariasa,
2002).
a. Penilaian status gizi secara langsung:
1) Pengukuran Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perunbahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat seperti kulit, mata,
rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat
dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan
metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid
clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara
cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau
lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui
tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan
fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat
penyakit (Supariasa, 2002).
2) Pengukuran Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja, dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadinya keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak
gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali
11
dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan
gizi yang spesifik (Supariasa, 2002).
3) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur jaringan. Umumnya dapat digunakan
dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic
(epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes
adaptasi gelap (Supariasa, 2002).
4) Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap
dimensi tubuh dan komposisi tubuh.Antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa
parameter.Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks
antropometri.Indeks antropometri yang umum digunakan dalam
menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total
berat badan termasuk air, lemak, tulang dan otot, indeks TB/U
adalah pengukuran pertumbuhan linier, indeks BB/TB adalah
untuk membedakan apakah kekurangan gizi secara kronis atau
akut (Supariasa, 2002).
Dalam buku petunjuk Teknik Pemantauan Status Gizi
anak balita 1999, klasifikasi status gizi dapat diklasifikasikan
menjadi 5 yaitu : gizi lebih, gizi baik, gizi sedang, gizi kurang,
dan gizi buruk. Buku rujukan yang digunakan adalah World
Health Organization – National Center For Health Statistic
(WHO–NCHS), dengan indeks berat badan menurut umur.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes, dan Pemantauan
Status Gizi (PSG) anak balita tahun 1999 menggunakan rujukan
WHO-NCHS dengan klasifikasi pada tabel.
12
Tabel 2.1
Klasifikasi Status Gizi Menurut WHO-NCHS
(Supariasa, 2002)
Tabel 2.2
Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indikator Antropometri
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung,masih baik
Rendah Rendah Tinggi Buruk
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
Tinggi Tinggi Rendah Lebih, obesitas
Tinggi Tinggi Normal Lebih, tidak obesitas
Tinggi Normal Rendah Lebih, pernah kurang
(Supariasa, 2002)
Kategori Cut of poin *)
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi sedang
Gizi kurang
Gizi buruk
>120% Median BB/U baku WHO-NCHS
80%-120% Median BB/U baku WHO-NCHS
70%-79,9% Median BB/U baku WHO-NCHS
60%-69,9% Median BB/U baku WHO-NCHS
<60% Median BB/U baku WHO-NCHS
13
Berdasarkan penilaian Z-Score adalah sebagai berikut :
BB/U (Berat badan menurut Umur berdasarkan Z-Score)
1). Gizi buruk ; < - 3 SD
2). Gizi kurang : - 3 SD sampai -2 SD
3). Gizi baik : -2 SD sampai +2 SD
4). Gizi lebih ; +3 SD
b. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung:
1) Survey Konsumsi Makanan
Survey konsumsi makanan dimaksudkan untuk
mengetahui kebiasaan makanan zat gizi tingkat kelompok,
rumah tangga, dan perorangan serta faktor yang berpengaruh
terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode pengukuran
konsumsi makanan berdasarkan sasaran pengamatan atau
pengguna yaitu tingkat nasional, rumah tangga, dan individual
(Supariasa, 2002).
2) Statistik Vital
Cara untuk mengetahui keadaan gizi di suatu wilayah
adalah dengan cara menganalisis statistik kesehatan. Dengan
menggunakan statistik kesehatan dapat diperhitungkan
penggunaannya sebagai bagian dari indikator tidak langsung
pengukuran status gizi anak (Supariasa, 2002).
3) Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
yang saling mempengaruhi dan interaksi beebrapa faktor fisik,
biologi, dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan zat-
zat gizi yang tersedia bergantung pada keadaan lingkungan
seperti iklim, tanah, irigasi, penyimpanan, dan tingkat ekonomi
masyarakat (Supariasa, 2002). Keadaan tubuh dikatakan pada
tingkat gizi optimal, jika jaringan tubuh jenuh oleh semua zat
gizi maka disebut status gizi optimal. Kondisi ini
memungkinkan tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai
14
daya tahan yang tinggi. Apabila konsumsi gizi makanan pada
seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan
terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan
zat gizi (Supariasa, 2002). Pemeliharaan gizi dan pengaturan
makanan pada bayi dan anak usia dibawah 5 tahun, dapat dibagi
dalam beberapa tahapan yaitu tahapan semasa air susu ibu (ASI)
merupakan satu-satunya sumber zat gizi bayi anak, yaitu pada
waktu mulai lahir sampai mencapai usia 4 bulan. Tahapan
dimana anak sudah memerlukan makanan pendamping selain
ASI, yaitu usia 5-8 bulan. Tahapan anak mulai dapat menerima
makanan biasa dengan ASI sebagai penambah, yaitu usia 9
bulan sampai 2 tahun dan tahapan usia 2 tahun sampai 5 tahun,
makanan yang diberikan kepada anak berbeda sesuai dengan
perkembangan tubuh serta masalah-masalah gizi dan kesehatan
yang sering ditemukan (Mochji, 1992).
Kurang gizi pada anak prasekolah tidak mudah dikenali
oleh pemerintah atau masyarakat bahkan keluarga. Artinya
andaikata disuatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita
gizi kurang dan tidak segera menjadi perhatian karena anak
tampak tidak sakit. Faktor timbulnya gizi kurang pada anak
balita lebih kompleks, maka upaya penanggulangannya
memerlukan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak
secara terintegrasi. Artinya tidak hanya memperbaiki aspek
makanan saja tetapi juga lingkungan hidup anak seperti pada
pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan kesehatan
lingkungan, mutu layanan kesehatan dan sebagainya (Supariasa,
2002).
15
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor External
Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain :
1) Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf
ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang
dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999). Pendapatan keluarga
mempengaruhi daya beli keluarga akan bahan makanan yang
bergizi karena penghasilan / pendapatan menentukan jenis pangan
yang akan dibeli (Berg dalam Kholifah, 2002). Keluarga dengan
pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat memenuhi
kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh.
Setidaknyakeanekaragaman bahan makanan kurang bisa dijamin.
2) Pendidikan dan pengetahuan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah
pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk
mewujudkan dengan status gizi yang baik (Suliha,2001). Masalah
penting yang menyebabkan adanya kekurangan gizi adalah
ketiadaan informasi yang memadai. Sekalipun kurangnya daya
beli merupakan halangan utama, tetapi sebagian kekurangan gizi
akan bisa diatasi kalau orang mengetahui bagaimana seharusnya
memanfaatkan sumber yang dimiliki (Berg dalam Kholifah,
2002). Faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah
tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi
yang mereka perole. Sebagian kejadian gizi buruk dapat dihindari
apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara
memelihara gizi dan mengatur makan anak. Ketidaktahuan baik
yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan,
menimbulkan salah paham tentang cara perawatan bayi dan anak
yang benar, juga .salah mengerti tentang penggunaan bahan
16
pangan tertentu dan cara mengatur makan anggota keluarga yang
sedang sakit (Arisman, 2004).
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja umumnya
merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu
akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga
(Markum, 1991).
4) Budaya
Seringkali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan
oleh masyarakat dalam mengasuh anak. Orang tua mengharapkan
kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh
karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
mengasuh anak juga mempengaruhi orang tua dalam memberikan
pola asuh pada anaknya (Soetjiningsih, 2002).
5) Jumlah anggota keluarga
Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar
anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Anak-anak yang lebih kecil seringkali mendapatkan jatah makan
yang kurang mencukupi karena kalah dengan kakaknya yang
makannya lebih cepat dan dengan porsi suap yang lebih besar
pula. Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam
mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang di
dalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan
mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara tidak langsung
akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang terlalu
peka terhadap suasana yang kurang menyenangkan (Apriadji,
1986).
17
b. Faktor Internal
Faktor Internal yang mempengaruhi status gizi antara lain :
1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang
dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam,
2008).
2) Kondisi Fisik
Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang
lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status
kesehatan mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak yang
kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode
hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat
(Suhardjo, 1986)
3) Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan
(Suhardjo, 1986).
Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling
mempengaruhi secara kompleks. Ditingkat rumah tangga,
keadaan gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga
menyediakan pangan di dalam jumlah dan jenis yang cukup serta
pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, perilaku dan
keadaan kesehatan rumah tangga. Salah satu penyebab timbulnya
kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang
kurang memadai (Soekirman, 2000).
B. Pola Asuh Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Sudiharto (2007) keluarga adalah dua orang atau lebih yang
dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dam materiil yang layak, bertaqwa kepada
18
Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara
anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
satu atap dalam keadaan saling tergantung (Depkes RI, 1988).Secara
sosiologis (Melly dalam Busono, 2005), keluarga dituntut berperan dan
berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh
individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga
perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai
lembaga sosial terkecil.
2. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Person adalah memlihara rumah tangga,
dan mengakrabkan hubungan antar anggota keluarga. Friedman (1986)
mengidentifikasi macam-macam fungsi keluarga yaitu :
1) Fungsi Biologis
Bagi pasangan suami istri, fungsi ini untuk memenuhi kebutuhan
seksual dan mendapatkan keturunan.Fungsi ini memberi kesempatan
hidup bagi setiap anggotanya. Keluarga disini menjadi tempat untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan
dengan syarat-syarat tertentu.
2) Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk
mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan,
sehingga terdapat proses saling belajar diantara anggota keluarga.
Dalam situasi ini orang tua menjadi pemegang peran utama dalam
proses pembelajaran anak-anaknya, terutama dikala mereka belum
dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan, dan
teladan.
3) Fungsi Beragama
Fungsi beragama berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk
mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak
19
serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan
perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua, sebagai
seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan
iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
4) Fungsi Perlindungan
Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan
memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif
yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan
keluarga.
5) Fungsi Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk
menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi
ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak
dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga
kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada
gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap
lingkungannya.
6) Fungsi Kasih Sayang
Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga
interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai
dengan status dan peranan sosial masing-masing dalam kehidupan
keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat
dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih sayang.
Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam
menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
7) Fungsi Ekonomis
Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan
ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan
pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran
biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.
20
8) Fungsi Rekreatif
Suasana rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga
lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan
damai, jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu
merasakan kehidupan bebas dari kesibukan sehari-hari.
3. Pola Asuh Keluarga Tentang Perilaku Makan
a. Pengertian pola asuh keluarga
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang
diterapkan pada anak yang bersifat relaif dan konsisten dari waktu
kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari negative
maupun positif (Drew, 2006).Pola pengasuhan (parenting) atau
perawatan anak sangat bergantung pada nilai-nilai yang dimiliki
keluarga (Supartini, 2002).
Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk
mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan
kesehatannya, memfasilitasi anak untuk kemampuan sejalan dengan
tahapan perkembangannya. Anak terus berkembang baik secara fisik
maupun secara psikis untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan
anak dapat terpenuhi bila orang tua dalam memberi pengasuhan dapat
mengerti, memahami, menerima dan memperlakukan anak sesuai
dengan tingkat perkembangan psikis anak, disamping menyediakan
fasilitas bagi pertumbuhan fisiknya. Hubungan orang tua dengan anak
ditentukan oleh sikap, perasaan dan keinginan terhadap anaknya.
Sikap tersebut diwujudkan dalam pola asuh orang tua di dalam
keluarga (Supartini, 2002).
Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara
orang tua dengan anak. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui
pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Dalam
interaksinya dengan orang tua anak cenderung menggunakan cara-
cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disuatu sisi orang
tua harus bisa mementukan pola asuh yang tepat dalam
21
mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai
orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk
anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik
dari orang tuanya (Jas & Rahmadian, 2004).
Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, menurut
Amaliya (2000) mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua
dalam mengasuh anak meliputi:
1) Perilaku yang patut dicontoh
Artinya setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang
bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa
perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi
anak-anaknya.
2) Kesadaran diri
Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan
mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-
nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu
mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui
komunikasi dialogis.
3) Komunikasi
Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan
anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya
membantu mereka untuk memecahkan permasalahannya.
b. Bentuk Pola Asuh
Menurut Baumrind (1974) dalam Junaidi (2010) ada empat
bentuk pola asuh orang tua, yaitu :
1) Pola asuh otoriter
Orang tua yang otoriter menekankan batasan dan larangan
diatas respon positif. Orang tua sangat menghargai anak yang
patuh terhadap perintah orang tua dan tidak melawan. Orang tua
tipe ini cenderung untuk menentukan peraturan tanpa bediskusi
dengan anak terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan
22
harapan-harapan dan kehendak hati anak. Hukuman sebagai
penegak kedisiplinan dan amarah diterapkan pada tipe orang tua
otoriter.Penelitian telah memunjukkan bahwa anak dari orang tua
yang otoriter bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri
dan berisiko terkena depresi. Anak bisa menjadi sulit membuat
keputusan untuk dirinya sendiri karena sudah biasa diperintah apa
yang harus dikerjakan.
2) Pola asuh demokratis
Orang tua yang demokratis menyeimbangkan kasih sayang
dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam
membesarkan anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan
cinta kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan
secara aktif dan penuh perhatian serta menyediakan waktu
bertemu yang positif secara rutin dengan anak. Orang tua tipe
demokratis membiarkan anak untuk mementukan keputusan
sendiri dan mendorong anak untuk membangun kepribadian.
Orang tua yang demokratis menyadari bahwa beberapa sikap
yang sulit dikendalikan pada anak pasti diimbangi dengan sikap
positif. Seorang anak keras kepala yang sering membantah juga
dapat menjadi anak yang gigih, fokus dan selalu menuntaskan
tugas mereka. Intinya, pola asuh demokratis melibatkan rasa
hormat kepada anak sebagai individu unik yang bisa diterima dan
dicintai bahkan ketika anak bersikap tidak normal.
3) Pola asuh permisif
Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan
batasan yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung
mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan
harapan sangatlah penting bagi perkembangan psikologis. Orang
tua menyembunyikan ketidaksabaran, kemarahan atau
kejengkelan pada anak. Ketika orang tua menentukan peraturan,
23
batasannya cenderung tidak jelas dan diterapkan secara tidak
konsisten.
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua tipe permisif
biasanya menjadi anak yang manja. Anak cenderung menuntut,
kurang percaya diri, dan kurang mengendalikan diri. Anak senang
bilakeinginan dipenuhi, tetapi mudah marah ketika keinginannya
tidak dipenuhi.
4) Campuran
Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam
mengasuh anak. Orang tua terombang ambing antara tipe
permisif, otoriter, atau demokratis. Orang tua mungkin
menghadapi sikap anak dari waktu ke waktu dengan cara yang
berbeda. Contohnya, orang tua bisa memukul anaknya ketika
anak menolak perintah orang tua, pada kesempatan lain orang tua
mengabaikan anak bila anak melanggar perintah orang tua.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuhorang tua antara lain :
1) Usia orang tua
Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjelaskan peran
pengasuhan. Apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat
menjelaskan peran tersebut secara optimal karena diperlukan
kekuatan fisik dan psikososial (Notoatmodjo, 2003).
2) Budaya
Seringkali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan
oleh masyarakat dalam mengasuh anak, karena pola-pola tersebut
dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.
Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di
masyarakat dengan baik. Oleh karena itu kebudayaan atau
kebiasaan dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang
tua dalam memberika pola asuh pada anaknya (Anwar, 2000).
24
3) Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta
pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak.
Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pokor dan
pandangan orang tua terhadap mendidik anaknya. Semakin tinggi
pendidikan yang dimiliki oleh orang tua maka akan semakin
memperluas dan melengkapi pola berfikirnya dalam mendidik
anaknya.
4) Tingkat sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh
yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan
sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang
sesuai dengan perkembangan anak (Effendi, 1998).
5) Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya
dalam merawat anak lebih siap menjalankan pengasuhan dan
lebih mudah.
6) Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan
berdampak pada kemampuan dalam menjalankan perannya
sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan
penuh rasa bahagia karena salah satu dapat saling memberi
dukungan dan menghadapi segala masalah dengan cara yang
positif.
d. Perilaku Makan Anak
Pemberian makan pada anak memang sering menjadi masalah
bagi orang tua atau pengasuh anak. Kesulitan makan karena sering
dan berlangsung lama sudah dianggap biasa. Sehingga akhirnya
timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya pada anak.
Salah satu keterlambatan penanganan masalah tersebut adalah
pemberian vitamin, tanpa mencari penyebabnya sehingga kesulitan
25
makan tersebut terjadi berkepanjangan. Kesulitan makan merupakan
gejala atau tanpa adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang
sedang terjadi pada tubuh anak. Pengertian kesulitan makan adalah
jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami
kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan
jumlah sesuai usia (alamiah dan wajar), yaitu mulai membuka
mulutnya tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat
tertentu.
1) Pengasuhan dalam memberikan makan, menurut Anwar HM,
2008, yaitu :
a) Bagaimana membujuk anak makan
b) Menciptakan situasi yang nyaman saat makan
c) Berperilaku yang ramahterhadap anak
d) Menghindari pertengkaran sewaktu makan
e) Membiasakan waktu makan yang teratur
f) Memberikan perlindungan kepada anak
g) Memberi makan setiap kali anak merasalapar
h) Memantau banyaknya makanan yangdihabiskan oleh anak
2) Cara pemberian makanan yang baik menurut Juwono L, 2003
meliputi :
a) Menempatkan makanan anak dalam mangkuk yang terpisah
untuk memastikan bahwa anak mendapatkan bagian yangadil
dan makanan dalam jumlah yang tepat.
b) Duduk bersama anak pada waktu makan,memperhatikan apa
yangdimakan anak dan secara memberikan bantuan dan
dorongan jika diperlukan.
c) Tidak membuat terburu-buru ketika anak sedang makan.
d) Bila anak berhenti makan tunggu sebentar dan kemudian
tawarkan makan lagi.
e) Memberikan beberapa makanan yang dapat dipegang atau
diambil oleh anak.
26
f) Memberikan makan dengan segera ketika anak mulai
merasalapar.
g) Tidak memberi makan ketika anak mengantuk.
h) Tidak memaksa memberikan makanan. Hal ini akan
meningkatkan stres dan menurunkan nafsu makan, acara
makan seharusnya menjadi peristiwa yang santai dan
menggembirakan.
i) Memastikan anak tidak haus (tetapi jangan memberikan
minum terlalu banyak sebelum atau selama makan sehingga
menurunkan nafsu makan anak).
j) Melakukan permainan untuk mendorong anak yang enggan
agar makan lebih banyak, sebagai contoh berpura-pura bahwa
sendok adalah seekor burung yang menukik untuk memberi
makan anaknya, atau berpura-pura bahwa makanan bahwa
makanan itu untuk boneka atau untuk anak lain atau untuk
boneka binatang.
k) Bersiap untuk melakukan pembersihan sesudahnya.
l) Mencampur makanan menjadi satu jika anak hanya
mengambil dan memakan makanan yang disukainya.
3) Membangkitkan selera makan pada anak
a) Usahakan sebelum makan anak berada dalam keadaan lapar.
Hal ini penting, mengingat kalau anak belum lapar biasanya
mereka enggan bahkan melakukan aktivitas penolakan.
b) Biasakan untuk memberi makan secara teratur. Jam makan
untuk anak meliputi sarapan pagi, makan siang dan makan
malam.
c) Jangan sekali-kali memberikan camilan yang manis-manis
diantara jam-jam makan. Pengaruhnya kurang baik bagi
kesehatan maupun peningkatan selera makan.
d) Mengatur sedemikian rupa suasana makan dengan variasi
menu atau makanan kesukaannya.
27
e) Anak yang sedang malas makan, jangan dipaksa makan.
Simpan saja dulu makanan itu untuk jam berikutnya.
f) Jelaskan pada anak dengan suara “manis” dan “ketulusan”
tentang manfaat makanan bagi pertumbuhan dan
perkembangan tubuh.
g) Kembangkan sikap tegas, terbuka dan logis ketika orang tua
menolak permintaan jajan dari anak yang tidak baik dan
sehat. Berikan kepada mereka alternative pilihan mereka
yang sekiranya lebih baik tapi disenangi anak.
h) Selalu memberi contoh positif kepada anak. Jangan gampang
marah atau tersinggung ketika anak belum antusias makan
sesuai keinginan orang tua.
Anak-anak prasekolah sering tidak berselera untuk
makan sehingga orang tua sering menjadi was-was. Dalam
memberikan makan pada anak, orang tua harus
memperhatikan porsi. Tidak perlu porsi maksimal, disajikan
dalam sekali makan. Cara lain yang juga dianggap baik
adalah dengan mengijinkan mereka untuk mengambil sendiri
porsi yang mereka inginkan. Hal ini akan membuat anak
merasa lebih dihormati dan memiliki hak yang sama dengan
orang tuanya saat di meja makan.
Untuk memperkenalkan jenis makanan baru pada anak
usia prasekolah, orang tua harus memilih waktu yang tepat.
Makanan baru hendaknya disajikan ketika anak sedang lapar.
Kondisi lapar akan membuat anak merasa bahwa makanan itu
sesuai dengan seleranya. Pada umumnya dalam hal makanan,
anak tidak menyukai cita rasa yang menyengat dan tidak
terlalu asin (setengah asin pada orang tua) (Sintha, 2001).
Pada usia kelompok ini, telah dapat memilih serta menyukai
makanan yang manis seperti permen, cokelat, dan es krim
(Markum, 2002).
28
Gejala kesulitan makan pada anak adalah menurut
Judarwanto, 2007 :
1) kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau
hanya bisa makanan yang lunak atau cair.
2) memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan
yang sudah masuk ke dalam mulut anak.
3) makan berlama-lama dan memainkan makanan.
4) sama sekali tidak mau memasukkan makanan ke dalam
mulut atau menutup mulut rapat.
5) memuntahkan atau menumpahkan makanan, menepis
suapan dari orang tua
6) tidak menyukai banyak variasi makanan, dan
7) kebiasaan makan yang aneh
C. Hubungan Pola Asuh Keluarga Tentang Perilaku Makan Anak dengan
Status Gizi Usia Prasekolah
Peranan keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak sangat
menentukan tumbuh kembang anak. Pengasuhan anak didefinisikan
sebagai perilaku yang diterapkan keluarga (ibu, bapak, nenek, orang lain)
dalam memberikan makanan dan pemeliharaan kesehatan. Juga termasuk
didalamnya tentang kasih sayang dan tanggung jawab orang tua.
Ibu yang dapat membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan
makanan yang bergizi akan meningkatkan gizi pada anak. Banyaknya
porsi yang dihabiskan anak tergantung pada bagaimana ibu atau salah
satu keluarga memberi makan dengan bermacam-macam perilaku makan
anak. Ada budaya yang mengharuskan ibu mengontrol anak makan atau
sering memaksa anak makan. Cara ini kurang baik, karena dapat
membuat anak takut makan atau sebaliknya yaitu makan rakus sehingga
kegemukan. Masalah lainnya dapat terjadi bila orang tua tidak acuh
terhadap makanan anaknya. Sikap pasif dari orang tua ini dapat berakibat
anak tidak senang makan, atau tidak cukup makanan yang dimakan, atau
29
anak menolak makan. Sehingga situasi makan dapat berpengaruh pada
kebiasaan makan anak sehari-hari yang berhubungan dengan keadaan
status gizi anak (Supariasa, 2002).
30
D. Kerangka Teori
Gambar 2.3
Kerangka Teori Penelitian (Sumber : Supariasa, 2002 dan Nursalam, 2001)
Pola asuh keluarga dalam
pemberian makan anak
Kesehatan anak Status gizi anak
prasekolah
Perilaku makan anak:
Memuntahkan atau menumpahkan
makanan
Mau makan sambil bermain dengan
teman-temannya
Makanan dimuntahkan apabila tidak
berselera
Makan berlama-lama dan memainkan
makanan
Faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi anak :
Faktor eksternal
Pendapatan keluarga
Pendidikan dan pengetahuan
Pekerjaan
Budaya
Jumlah anggota keluarga
Faktor internal
Usia
Kondisi fisik
Infeksi
31
A. Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
B. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan untuk penelitian ini ada dua yaitu :
1. Variabel Bebas (Variabel Independent)
Penelitian ini sebagai variabel independent adalah pola asuh
keluarga tentang perilaku makan anak. Pola asuh keluarga merupakan
sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependent (variabel terikat).
2. Variabel Terikat (Variabel Dependent)
Penelitian ini sebagai variabel dependent adalah status gizi anak
usia prasekolah, variabel tersebut dipengaruhi atau yang terjadi akibat
adanya variabel bebas.
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep penelitian yang telah dibuat, maka
hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan : Ada hubungan antara pola asuh
keluarga tentang perilaku makan anak dengan status gizi pada usia prasekolah
di RW II Desa Sidomulyo Pati Jawa Tengah.
Pola asuh keluarga tentang
perilaku makan anak
Status gizi anak usia pra
sekolah