bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan teori, model ... · narasi dapat mewakili identitas...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL
PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian di bidang promosi pariwisata, terutama yang melibatkan
pemanfaatan film masih sangat kurang dilakukan di Indonesia. Penelitian-
penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai pemasaran dan promosi
pariwisata banyak mengulas pada strategi pemasaran secara umum (Dewi, 2012;
Nugraha, 2012). Hal ini mungkin disebabkan oleh masih kurang disadarinya peran
publikasi melalui karya fiksi seperti film serta pemanfaatan film tourism bagi
promosi destinasi pariwisata. Promosi produk melalui dunia hiburan juga
memiliki kelebihan dibandingkan iklan karena proses penerimaan penonton yang
berbeda (Hackely dkk, 2006). Namun, penelitian-penelitian mengenai narasi dan
film untuk promosi pariwisata masih lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti
dari luar negeri (Busby dkk, 2001; Amir dkk, 2009; Green dkk, 2010; Hudson dkk,
2011; Vagionis dan Loumioti, 2011; Araujo, 2013; Connel, 2012; Skinner, 2014).
Dewi (2012), mengevaluasi strategi promosi yang digunakan dalam usaha
meningkatkan kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata istana Pagaruyungan
– Sumatera Barat. Data penelitian tersebut didapatkan dengan menyebar kuisioner
seratus kuisioner masing-masing kepada masyarakat Pagaruyungan dan
wisatawan nusantara, sedangkan wawancara dengan wisatawan asing dilakukan
terhadap empat puluh tujuh wisatawan. Hasil dari penelitian tersebut didapati
bahwa hanya 9% dari masayrakat Pagaruyungan dan 41% wisatawan nusantara
21
yang mendapat informasi tentang istana Pagaruyungan melalui media. Pada
wawancara terhadap wisatawan mancanegara, 17% di antaranya antusias dengan
destinasi pariwisata istana Pagaruyungan, namun hanya 1% yang mendapatkan
informasi melalui internet. Simpulan yang didapatkan oleh peneliti adalah bahwa
pemerintah dirasakan masih kurang melakukan kegiatan promosi untuk istana
Pagaruyungan. Peneliti juga menyinggung mengenai pentingnya partisipasi
masyarakat dalam mempromosikan destinasi tersebut. Rekomendasi yang
diberikan dari penelitian tersebut adalah dengan meningkatkan promosi pariwisata
melalui media lokal dan nasional, baik cetak maupun elektronik, pembuatan
brosur wisata, serta promosi melalui media internet.
Nugraha (2012), mengkaji mengenai pengimplementasian program
Sightseeing Denpasar sebagai bagian dari program promosi pariwisata yang
mendukung Visit Indonesia Year. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk
mengetahui bagaimana program Sightseeing Denpasar tersebut dicanangkan,
bagaimana pengimplementasiannya, serta bagaimana dampak yang dihasilkan dari
program tersebut. Nugraha melakukan kajian kualitatif dengan menggunakan teori
pemasaran dan promosi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, pertama,
program Sightseeing Denpasar yang mulanya dicanangkan untuk mendukung
program Visit Indonesia Year telah berkembang menjadi lebih dominan sebagai
suatu program promosi pariwisata bagi Denpasar itu sendiri. Kedua, implementasi
program Sightseeing Denpasar dilakukan dalam tiga tahapan yaitu pengadaan
program pariwisata unggulan, melaksanakan program promosi pariwisata kota
Denpasar, dan penyuluhan kepariwisataan di kota Denpasar. Program promosi
22
yang dilakukan meliputi promosi langsung dan tidak langsung. Program promosi
langsung dilakukan dengan mengikuti pameran nasional dan internasional serta
mengadakan table top di daerah-daerah lain. Program promosi tidak langsung
dilakukan dengan memanfaatkan website dan iklan media cetak maupun
elektronik. Hasil ketiga yang didapatkan adalah bahwa program Sightseeing
Denpasar memberikan pengaruh positif kepada jumlah kunjungan wisatawan ke
kota Denpasar.
Kedua contoh penelitian di atas merupakan kajian mengenai strategi
promosi yang perlu dilakukan maupun sudah dilakukan suatu destinasi. Ulasan
mengenai masing-masing jenis media promosi yang biasa direkomendasikan
masih belum banyak dilakukan. Sebagai contoh, rekomendasi yang diberikan
adalah dengan membuat iklan pariwisata untuk mempromosikan destinasi yang
dimaksud, namun kajian mengenai bagaimana suatu iklan pariwisata idealnya
dibuat, maupun bagaimana evaluasi mengenai iklan pariwisata yang sudah ada
masih belum banyak dilakukan. Untuk mendapatkan suatu rumusan bentuk
promosi yang dapat diadopsi oleh suatu destinasi juga dapat dilakukan dengan
meneliti media-media promosi yang diadopsi destinasi lainnya. Kelebihan dan
kekurangan dari praktek yang sudah dilakukan oleh destinasi lain dapat dijadikan
masukkan untuk membuat bentuk-bentuk promosi yang lebih baik.
Pada penelitian ini, dibahas mengenai bagaimana suatu narasi yang dibuat
dengan baik dapat memberikan dampak promotif bagi destinasi yang
bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan fenomena kisah naratif yang dapat
mempengaruhi perilaku manusia Green dkk (2010), berpendapat bahwa pembaca
23
yang mengetahui bahwa mereka sedang membaca narasi karya sastra akan
memiliki keterlibatan yang lebih mengikat dibandingkan pembaca yang
menyadari bahwa mereka sedang membaca berita. Pembaca narasi dapat
mengalami proses yang disebut Green dan Brock (2000, dalam Green dkk, 2010)
sebagai “transportasi ke dalam dunia naratif”. Pembaca yang tertransportasi akan
merasa bahwa mereka bisa melihat adegan-adegan naratif tersebut di hadapan
mereka. Respon positif terhadap tokoh-tokoh simpatik di dalamnya juga
meningkat seiring meningkatnya kadar ter-„transportasi‟ yang dialami pembaca.
Keadaan terpesona dengan narasi membuat pembaca tidak mampu maupun tidak
ingin untuk meragukan cerita yang dibacanya (Gilbert, 1991; Gilbert dkk, 1993
dalam Green dkk. 2010).
Pemanfaatan narasi karya sastra dalam pemasaran destinasi salah satunya
diteliti oleh Busby dkk (2001). Analisis terhadap „L'Impromptu de Madrid‟ karya
Marc Lambron and „Mysteries of Madrid‟ oleh Antonio Munoz Molina
menunjukkan bahwa narasi mampu memberikan gambaran mengenai kota Madrid
dan juga berperan dalam menarik kunjungan pariwisata ke kota Madrid. Pada dua
novel tersebut, wisatawan bukan hanya mampu membaca gambaran fisik kota
Madrid namun juga beserta segala kondisi sosial masyarakat yang terpapar pada
penulis saat penulisan. Dalam kajiannya, Busby dkk, juga menggunakan
argumentasi Marc Auge (1998) bahwa wisatawan melihat pengalaman
berwisatanya berdasarkan gambaran melalui narasi yang sudah diterima
sebelumnya.
24
Connell (2012) menjelaskan bahwa perkembangan pariwisata sastra,
seperti yang menjadi tema penelitian Busby dkk (2001), merupakan cikal bakal
berkembangnya film tourism. Persepsi calon wisatawan terhadap suatu destinasi
dapat dibentuk dari penampilan suatu narasi film. Iwashita (2008, dalam Connell,
2012) menemukan dalam risetnya bahwa karakter yang ditampilkan dalam suatu
narasi dapat mewakili identitas nasionalnya dan membentuk citra terhadap
destinasi yang bersangkutan. Namun, citra yang dibentuk juga dapat terdistorsi
dengan adanya kendala misintepretasi antara sineas, destinasi itu sendiri, target
penonton yang disasar, budaya, orang, dan tempat yang difilmkan (Connel, 2012).
Connell (2012), memberikan evaluasi berdasarkan studi pustaka terhadap
perkembangan penelitian di bidang film tourism. Melalui tulisannya, Connell
menjelaskan pentingnya penelitian yang mengunakan pendekatan antar disiplin
ilmu untuk memahami film tourism secara lebih komprehensif. Hasil studi
tersebut membagi ranah penelitian film tourism ke dalam dua ranah besar, yaitu
dari ranah praktik dan ranah konseptual. Ranah praktis meneliti hal-hal yang
berkaitan dengan implikasi film tourism terhadap pengelolaan dan pemasaran
suatu destinai serta kesempatan dan tantangan yang ditimbulkan. Penelitian-
penelitian di ranah ini umumnya dilakukan secara empiris terhadap lokasi maupun
film tertentu. Ranah konseptual yang mengekplorasi hal-hal yang berkontribusi
dalam membentuk aktifitas, makna, dan respon yang timbul dari film sehubungan
dengan kegiatan film tourism. Kajian terhadap makna dan simbol dilihat dari
sudut pandang sinema dan pariwisata sebagai sebuah praktek sosial serta
hubungan antara keduanya.
25
Pada tulisannya, Connell (2012) juga menyampaikan pentingnya kajian di
bidang film tourism dikarenakan beberapa hal, yaitu perkembangan penelitian di
bidang ini telah berkembang sangat pesat selama lebih dari sepuluh tahun terakhir,
kemudian semakin berkembangnya tema-tema pemelitian di bidang ini, serta
pentingnya membuat penelitian film tourism dari sudut pandang beberapa sub
disiplin. Tema-tema penelitian yang banyak berkembang meliputi konsumerisme
yang ditimbulkan oleh film tourism, bisnis film tourism, dan juga mengenai
pengidentifikasian suatu lokasi dikarenakan keberadaan film. Penggabungan
beberapa sub disiplin ilmu dalam mengkaji film tourism diharapkan mampu
membantu memahami film tourism dari segi konsep dan stimulasi-stimulasi yang
membuat wisatawan terkoneksi dengan gambar, tema, dan lokasi film. Sub
disiplin ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu geografi kebudayaan, sosial, dan film.
Connel (2012: 1013) menuliskan bahwa film tourism dianggap sebagai
“cultural and spatial application in a world dominated by image and iconography”
(aplikasi kultural dan spasial dalam dunia yang didominasi oleh citra dan
ikonografi). Oleh karenanya, pendekatan geografi kebudayaan menjadi salah satu
sub disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengkaji film tourism. Dalam
kaitannya dengan ilmu sosial, film tourism dapat dilihat dari proses pembuatan
dan proses konsumsi yang meliputi penggunaan, pemaknaan dan reaksi terhadap
film tourism. Terdapat suatu fenomena yang dijelaskan Connell (2012: 1013)
bahwa penawaran untuk mengunjungi suatu lokasi yang berkaitan dengan suatu
film dapat menjadi lebih menarik daripada kualitas-kualitas utama yang dimiliki
oleh lokasi tersebut. Ilmu perfilman menawarkan sudut pandang sosial psikologi
26
dan semiotika dalam melihat film tourism. Connell (2012: 1014) menjelaskan
bahwa muatan makna dan simbol yang memenuhi suatu film memungkinkan
untuk menimbulkan kemampuan untuk mempengaruhi respon penonton dalam
suatu kerangka sistem sosial dan budaya tertentu sehingga dapat berpotensi
menimbulkan kesadaran dan ketertarikan terhadap lokasi pembuatan film.
Penempatan fitur-fitur pariwisata dapat juga disejajarkan dengan praktek
Product Placement. Penempatan suatu produk pada media hiburan dapat
memberikan efek yang lebih dalam dibandingkan iklan. Hackley dan Tiwsakul
(2006), menjelaskan mengenai penempatan merk produk pada media hiburan.
Merk tidak boleh terlihat berdiri sendiri di luar konteks hiburan maupun terlihat
seperti suatu promosi berlebihan. Iklan dan media hiburan memiliki jalinan
hubungan yang berbeda dengan penonton. Pada media hiburan, penonton tidak
menyadari adanya anjuran untuk melakukan transaksi ekonomi, karena simbol-
simbol emosional di antara keduanya berbeda. Hal ini menjadikan pengkajian
pelekatan produk pada dunia hiburan tidak dapat disamakan dengan pengkajian
iklan pada umumnya (Hackley dan Tiwsakul, 2006).
Merk-merk produk yang dihadirkan dalam media hiburan, termasuk film,
disisipkan secara halus ke dalam narasi dan menjadi bagian dari plot. Keberadaan
merk-merk tersebut dikuatkan dengan adanya interaksi dengan tokoh. Penyisipan
merk ke dalam narasi juga memberikan kelebihan dalam hal segmentasi dan target
pasar, sebab narasi yang berbeda membawa pada kesan yang berbeda tergantung
dari segmen yang didramatisasikan. Penonton membawa cerminan tokoh ke
dalam dirinya, termasuk pada perilaku ekonominya (Hackley dan Tiwsakul, 2006)
27
Hackley dan Tiwsakul (2006) menambahkan bahwa penempatan merk
harus ditangani hati-hati. Pada kasus-kasus dimana merk secara jelas terlihat
seperti iklan, terdapat umpan balik yang negatif. Efek positif terhadap citra merk
hanya akan timbul jika merk tersebut mengambil peran dalam narasi, bukan hanya
sekedar hadir pada salah satu frame. Penempatan merk yang memiliki relefansi
dan digunakan secara proporsional oleh tokoh ataupun selebritis yang
bersangkutan akan memberikan efek anjuran untuk menggunakan.
Pengidentifikasian diri penonton dengan tokoh dalam film menjadikan Product
Placement memiliki gaung yang lebih kuat.
Karakter pemasaran melalui dunia hiburan yang berbeda dengan iklan
konvensional ini membutuhkan pendekatan-pendekatan penelitian yang berbeda.
Hackley dan Tiwsakul (2006) mengajukan tiga topik untuk mengkaji
Entertainment Marketing ini, yaitu Representasi Merk, Pengalaman Konsumen,
dan Identifikasi Konsumen. Representasi merk memiliki kaitan dengan konteks
sosial dimana merk ditempatkan. Pada kasus film, simbolisasi yang disajikan
secara sinematografis memberikan pengaruh pada citra merk. Konteks emosional
budaya pada film akan melekat pada merk. Pengalaman-pengalaman yang dialami
oleh setiap konsumen ketika menonton suatu film juga berbeda-beda antara satu
dengan lainnya, sehingga dapat menghasilkan berbagai interpretasi. Narasi-narasi
dramatis memungkinkan ekspos yang lebih besar kepada merk, namun apakah
identifikasi konsumen terhadap suatu merk sesuai dengan yang diharapkan? Oleh
karenanya, merk yang dilekatkan pada Entertainment Marketing harus dapat
28
memberikan pengalaman kultural yang dapat dipahami oleh merk dan konsumen
secara linear.
Vagionis dan Loumioti (2011) menerangkan bahwa secara Internasional,
film telah menjadi bagian penting dari pemasaran suatu destinasi wisata. Efek
yang ditimbulkan dari promosi jenis ini diperkuat oleh kehadiran perilaku tokoh
pada latar belakang lokasi tertentu. Identifikasi penonton terhadap tokoh, baik
secara sadar maupun tidak, telah mempengaruhi motivasi untuk mengunjungi
suatu destinasi yang ditampilkan.
Proses membuat pilihan wisata cenderung dipengaruhi oleh hal-hal yang
dilihat pada hasil-hasil produk hiburan, seperti film (Butler, 1990, Gartner, 1993,
Hyounggon dan Richardson, 2003, dalam Vagionis dan Loumioti, 2011). Prinsip
penyisipan pesan-pesan promosional untuk mengunjungi destinasi pariwisata
berlaku seperti halnya peletakan produk (Product Placement). Ketidaksadaran
akan adanya pesan promosional dalam film menjadikannya alat komunikasi yang
efektif. Pembentukan citra yang ditimbulkan oleh tokoh dan cerita menjadikan
efek film tetap efektif menarik wisatawan bahkan setelah beberapa tahun setelah
penayangan awal (Vagionis dan Loumioti, 2011).
Vagionis dan Loumioti (2011) mengemukakan harapan agar badan
promosi pariwisata mampu mengelola film induced tourism dengan efisien tanpa
bias, dan terus mengikuti implilkasinya terhadap citra dan pemasaran destinasi
yang bersangkutan. Banyak destinasi yang mengkhawatirkan besarnya investasi
yang harus diletakkan pada produksi film tourism tidak akan berbanding lurus
dengan hasil yang didapatkan. Pada beberapa destinasi yang telah menerapkan
29
promosi pariwisata melalui Film Tourism, mereka menggunakan jasa professional
dalam hal komunikasi atau hubungan masyarakat, agar konten film dapat
menyampaikan pesan yang maksimal. Vagionis juga memberikan contoh
beberapa destinasi yang mengelola film tourism dengan serius, seperti Chicago,
Kansas, Australia, dan New Zealand. Destinasi-destinasi ini menggunakan jasa
pihak ketiga sebagai konsultan untuk merancang komunikasi pemasaran melalui
film.
Pada artikel ini, Vagionis dan Loumioti (2011) menyimpulkan bahwa
wisatawan membentuk citra sentimental dari suatu destinasi melalui informasi
naratif yang telah dimiliki sebelumnya. Informasi naratif ini banyak diberikan
oleh film yang mengambil suatu destinasi sebagai latarnya. Paris selalu
diasosiasikan dengan romantisme karena sering kali digunakan sebagai lokasi
film-film romantis. Melalui proses identifikasi dengan tokoh dalam film, penonton
ingin mengalami hal yang sama dengan yang ditampilkan dalam film dengan cara
mengunjungi lokasi yang bersangkutan. Eksplorasi terhadap pemanfaatan aspek
sinematografi harus dilakukan untuk memperkuat keunikan lokal, merk destinasi,
dan daya tarik wisata. Sebagai suatu media yang memiliki efek besar, film tourism
harus dikelola dengan lebih seksama. Penyediaan infrastruktur yang baik di
destinasi juga menjadi bagian di dalamnya.
Kecenderungan wisatawan film untuk memberikan nilai sentimental pada
suatu destinasi tercermin pada penelitian Zeng dkk (2015) mengenai persepsi
wisatawan Cina terhadap citra pariwisata di Korea Selatan. Pada penelitian
tersebut ditemukan adanya perbedaan antara persepsi wisatawan film dan
30
wisatawan non film. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 311 responden
wisatawan Cina yang ditemui di kawasan pariwisata Myeongdong, Seoul Tower,
dan Dongdaemun. Tempat-tempat ini dipilih karena sering ditampilkan dalam
drama-drama Korea. Persepsi wisatawan disurvey berdasarkan citra kognitif
destinasi dan citra afektif destinasi. Hasilnya, secara kognitif, persepsi wisatawan
film terhadap atribut keamanan, kemudahan dalam bepergian, variasi makanan,
keramahtamahan, dan atraksi sejarah memiliki skor yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan skor wisatawan non film. Pada atribut afektif, penilaian
wisatawan film terhadap Korea Selatan sebagai tempat yang nyaman dan menarik
adalah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian wisatawan non film
terhadap atribut yang sama.
Plot film juga dapat mempengaruhi kesan penonton terhadap suatu
destinasi. Seperti telah disinggung pada bagian latar belakang, salah satu kendala
dalam memanfaatkan film sebagai iklan pariwisata adalah bahwa film-film yang
mengetengahkan suatu destinasi sebagai latarnya belum tentu diproduksi untuk
mendukung promosi pariwisata. Plot yang ditampilkan di dalam film bisa saja
menampilkan karakter-karakter yang tidak sesuai dengan tujuan promosi
pariwisata. Salah satu penelitian mengenai efek film dengan plot yang memuat
adegan-adegan negatif terhadap citra destinasi serta keinginan mengunjungi suatu
destinasi dilakukan oleh Amir dkk (2009), Hudson dkk (2011), serta Araujo
(2013). Pada penelitian-penelitian tersebut ditemukan bahwa plot yang negatif
dapat menggeser pendapat penonton terhadap lokasi yang ditampilkan dalam film,
walaupun tidak memberikan perubahan drastis terhadap citra umum destinasi.
31
Amir dkk (2009), meneliti mengenai pengaruh film yang berlatar belakang
sejarah terhadap citra Amerika Selatan sebagai sebuah destinasi pariwisata. Film
yang dipilih dalam penelitian adalah „Motorcycle Diaries‟ yang mengisahkan
petualangan Che Guavara melintasi beberapa negara di Amerika Selatan. Film ini
dipilih karena film ini banyak memperlihatkan adegan-adegan yang menunjukkan
adanya kemiskinan, eksploitasi manusia, penindasan dan pencabutan hak memilih
di Argentina, Chile, dan Peru. Selain itu terdapat pula adegan yang berlatar koloni
lepra dan menunjukkan cuaca yang beresiko. Faktor Che Guavara sebagai seorang
tokoh kontroversial juga menjadi salah satu alasan dipilihnya film ini.
Penelitian dilakukan terhadap 215 mahasiswa S1 dari sebuah universitas
ternama di Amerika Serikat bagian Selatan yang belum pernah menonton film
„Motorcycle Diaries‟ sebelumnya. Penayangan film dilakukan dalam suasana
kelas dan responden diminta untuk mengisi survey sebelum dan sesudah
menonton film. Responden diminta untuk melakukan penilaian dengan skala
Likert 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Survey terbagi ke dalam
tiga bagian. Bagian pertama berisi tigapuluhempat atribut kognitif yang berkaitan
dengan citra Amerika Selatan sebagai sebuah destinasi wisata. Bagian kedua dari
survey memuat empat sifat-sifat afektif yang dapat mewakili opini responden
terhadap Amerika Selatan. Sedangkan survey bagian ketiga digunakan untuk
mengetahui intensi perilaku responden berkaitan dengan kemungkinan kunjungan
ke Amerika Selatan.
Hasil studi menunjukkan bahwa pada survey bagian pertama, perubahan
negatif yang signifikan muncul pada atribut-atribut yang berkaitan dengan
32
kemampuan warga lokal dalam berbahasa Inggris, kualitas infrastuktur pariwisata,
kualitas akomodasi wisata. Sedangkan, atribut-atribut yang mendapatkan
perubahan positif yang signifikan adalah atribut yang berkaitan dengan
keramahtamahan warga lokal, perbedaan budaya yang menarik, dan keindahan
pemandangan. Atribut-atribut yang tidak mengalami perubahan signifikan adalah
atribut yang berkaitan dengan keamanan dan stabilitas politik.
Pada survey bagian kedua, keempat dimensi afektif terhadap citra Amerika
Selatan sebagai destinasi pariwisata semuanya mengalami perubahan negatif.
Setelah menonton film, responden mengganggap Amerika Selatan sebagai
destinasi yang kurang menyenangkan, kurang ceria, menyedihkan, dan suram.
Walaupun kedua survey mengenai atribut kognitif dan afektif menunjukkan
perubahan negatif, namun respon partisipan terhadap keinginan untuk
mengunjungi Amerika Selatan tetap baik. Di antara responden yang menyatakan
keinginan untuk tetap mengunjungi Amerika Selatan, faktor yang paling
berpengaruh dalam memotivasi adalah faktor alam, pemandangan, dan atraksi
budaya. Sedangkan, faktor yang paling sedikit berpengaruh adalah faktor romansa,
petualangan yang ditampilkan oleh film, tokoh-tokoh yang digambarkan, serta
keberadaan aktor yang memainkan tokoh-tokoh tersebut.
Penelitian lain kemudian juga dilakukan dengan menggunakan film yang
sama. Penelitian tersebut dilakukan oleh Hudson dkk (2011). Kali ini penelitian
dilakukan terhadap mahasiswa dari tiga negara berbeda terhadap film „Motorcycle
Diaries‟ sehubungan dengan keinginan untuk mengunjungi destinasi yang
bersangkutan setelah menonton film tersebut. Penelitian tersebut bertujuan untuk
33
mengetahui apakah perbedaan budaya juga mempengaruhi respon terhadap daya
tarik emosional yang disajikan oleh film yang mengetengahkan cerita travelogue
yang juga memuat kisah romansa ini. Penelitian tersebut menggunakan
metodologi eksperimental, dimana survey dilakukan sebelum dan sesudah
kegiatan menonton film.
Responden adalah 74 pelajar dari Kanada, 141 pelajar dari Amerika
Serikat, dan 67 pelajar dari Spanyol. Dari total sampel, sebanyak 32% adalah pria
dan 68% adalah wanita. Survey tersebut menerapkan penilaian dalam skala Likert
dengan kisaran 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Survey dilakukan
dalam dua bagian. Bagian pertama menampilkan tigapuluhempat atribut kognitif
yang menjadi perwakilan citra Amerika Selatan sebagai destinasi pariwisata.
Ketigapuluhempat atribut tersebut dikelompokkan ke dalam delapan kelompok
besar yang meliputi kenyamanan/keamanan, minat/petualangan, kondisi alam,
fasilitas pariwisata, atmosfer pada lokasi/iklim, kesamaan budaya, faktor biaya
rendah, dan rendahnya kendala bahasa. Bagian kedua dilakukan untuk
mengetahui dampak penempatan produk dalam film melalui model AIDA
(Attention, Interest, Desire, Action).
Hasil dari penelitian dengan melihat perbedaan persepsi antara sebelum
dan sesudah menonton film, menunjukkan bahwa untuk faktor minat/petualangan,
kondisi alam, dan faktor biaya rendah terdapat dampak yang positif. Sedangkan
untuk faktor kenyamanan/keamanan, fasilitas pariwisata, atmosfer di lokasi/iklim,
kesamaan budaya, dan rendahnya kendala bahasa, perubahan persepsi terhadap
citra destinasi bergerak negatif. Perubahan persepsi tersebut, baik yang positif
34
maupun negatif, sebagian besar tidak memberikan dampak signifikan terhadap
citra Amerika Selatan sebagai destinasi pariwisata.
Pada pengukuran terhadap dampak film dilihat dari hierarchy of effect
model AIDA, hasil pertama dibandingkan pada responden dari masing-masing
negara. Hasilnya, untuk pelajar dari Kanada film tersebut memberikan dampak
yang secara signifikan positif pada tahap awareness, desire to visit, dan attention
to book. Pola yang sama juga ditemukan pada pelajar dari Florida. Namun, pada
responden dari Spanyol, dampaknya tidak signifikan pada keempat tahapan AIDA.
Hasil perbandingan antara satu negara dengan negara lainnya menunjukkan bahwa
selisih skor pada responden dari Kanada dan Florida secara signifikan lebih tinggi
daripada responden dari Spanyol.
Responden yang menyatakan bahwa film tersebut menginspirasi untuk
mengunjungi Amerika Selatan disurvey lebih lanjut untuk mengetahui faktor
dalam film yang paling mempengaruhi pendapat mereka berdasarkan tiga pull
factor, yaitu place, performance, dan personality. Dari hasil survey tersebut
diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi persepsi partisipan adalah
faktor place yang meliputi pemandangan, suasana, atraksi budaya, dan
pengalaman orang-orang dalam film. Faktor yang paling sedikit mempengaruhi
adalah faktor aktor yang memainkan film. Grup responden yang paling sedikit
terpengaruh oleh faktor performance dan personality adalah responden dari
Spanyol. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hudson dkk (2011) juga mengambil
kesimpulan akan adanya kesan bahwa Amerika Selatan merupakan destinasi yang
menarik bagi wisatawan dari Amerika Utara. Oleh karena itu, badan promosi
35
pariwisata dapat melakukan usaha-usaha untuk mengkontrol pemanfaatan film
untuk mentargetkan kepada wisatawan yang potensial.
Kasus yang digunakan Araujo (2013) adalah film „City of God‟ yang
menjadikan Brazil sebagai latarnya. Film tersebut merupakan salah satu film
Brazil yang cukup dikenal secara internasional. Cerita dalam film „City of God‟
didasarkan pada fakta-fakta aktual yang terjadi di kota Favela “Cidade de Deus”
(City of God). Film tersebut bertemakan jaringan trafficking yang menampilkan
plot-plot penuh kekerasan, perkosaan, kekejaman, dan pembunuhan. Penelitian
dilakukan pada September 2012, terhadap 150 mahasiswa di Lisbon. Para
responden tersebut mengisi kuisioner sebelum dan setelah menonton penayangan
film. Kuisioner bagian pertama ditujukan untuk menentukan profil responden.
Kuisioner kedua terdiri dari tiga set pertanyaan yang menyasar pada impresi
responden terhadap Brazil. Set pertama mengenai citra kognitif Brazil, set kedua
mengenai citra afektif, dan set ketiga mengenai kecenderungan perilaku untuk
mengunjungi destinasi yang digambarkan. Hasil dari tes menunjukkan bahwa
mayoritas atribut mengalami pergerakan negatif dan lainnya menetap. Citra
negatif tidak hanya mengenai obyek-obyek yang ada di dalam film namun juga
terhadap obyek-obyek yang tidak berhubungan dengan film. Keinginan responden
untuk mengunjungi Brazil menurun karena pemampilan narasi yang menunjukkan
situasi yang tidak aman.
Melihat pada penelitian-penelitian terdahulu, topik film tourism adalah
suatu hal yang menarik. Beberapa peneliti telah melakukan pemetaan penelitian
yang dilakukan di bidang ini, serta memberikan saran-saran topik yang dapat
36
diambil sebagai topik penelitian, baik secara empirik maupun konseptual.
Beberapa contoh penelitian yang menunjukkan bukti empirik telah disajikan di
atas. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa penampilan suatu lokasi
pada suatu film dapat mempengaruhi citra lokasi tersebut sebagai suatu destinasi
pariwisata. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa perbedaan budaya
juga mempengaruhi respon penonton terhadap citra destinasi dalam suatu film
maupun keinginan penonton untuk mengunjungi destinasi tersebut.
Penelitian mengenai film sebagai sebuah media promosi yang potensial
sehubungan juga dengan praktek film tourism merupakan topik yang masih
kurang mendapat perhatian pada ranah penelitian pariwisata di Indonesia.
Penelitian dengan judul “Promosi Pariwisata Melalui Film: Studi Kasus Film „Eat
Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟” ini merupakan salah satu usaha untuk mengisi
celah penelitian yang masih terbuka lebar di Indonesia. Penelitian ini ingin
melihat fenomena film tourism dari sudut pandang yang lebih konseptual, dengan
cara melihat bagaimana representasi yang dilakukan kedua film ini terhadap
lokasi yang digunakan sebagai latar dapat memuat pesan-pesan simbolik yang
bersifat promotif terhadap kedua destinasi yang bersangkutan. Penelitian ini
ditujukan untuk mengidentifikasi simbol-simbol konten yang disajikan oleh sineas
dan mengintepretasikan simbol-simbol yang ditampilkan oleh konten dari sudut
pandang promosi pariwisata. Kedua film ini tidak dimaksudkan untuk dibuat
sebagai media promosi namun secara kebetulan membawa efek promosional, oleh
karenanya menjadi menarik untuk melihat bagaimana efek promotif ini terbentuk
dari konten yang disajikan. Meskipun kedua film tidak hanya menujukkan
37
gambaran-gambaran yang ideal saja, namun tetap memberikan publikasi positif
bagi dunia pariwisata di masing-masing destinasi. Kajian ini akan
mengkomparasikan dua film, sehingga dapat dilihat kelebihan dan kekurangan
masing-masing film dalam hal promosi pariwisata.
2.2 Konsep
Di bawah ini akan dibahas beberapa konsep yang berkaitan dengan judul
tesis “Promosi Pariwisata melaui Film: Studi Kasus Film „Laskar Pelangi‟ dan
„Eat, Pray, Love‟”. Konsep-konsep tersebut adalah mengenai konsep film - yang
meliputi struktur dan unsur film - kemudian konsep promosi, konsep publisitas,
dan juga konsep film tourism.
2.2.1 Struktur Film
Struktur fisik film disusun oleh shot, adegan, dan sekuen. Shot merupakan
bagian terkecil dari film. Shot diartikan sebagai rangkaian gambar yang tidak
terpotong. Sekelompok shot yang saling berhubungan dan memiliki
kesinambungan aksi dijadikan satu menjadi sebuah adegan. Berikutnya, kelompok
adegan-adegan yang memiliki satu periode waktu, lokasi, atau suatu rangkaian
aksi panjang disebut sebagai sekuen. Sekuen dapat disejajarkan dengan babak
pada drama teater atau bab pada novel. Satu film umumnya terdiri dari delapan
sampai limabelas sekuen (Pratista, 2008).
2.2.2 Unsur Film
Film harus dilihat dalam satu kesatuan bentuk sistem dimana elemen-
elemen yang ada di dalamnya saling berhubungan antara satu dengan lainnya.
38
Pesan narasi film disampaikan melalui penggabungan visual dan audio yang
pengaplikasiannya harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh narasi.
Suatu film dapat terbentuk dengan adanya kerjasama antara unsur naratif dan
unsur sinematik. Unsur naratif adalah cerita yang menjadi bahan dari suatu film
sedangkan unsur sinematik merupakan alat untuk membentuk cerita tersebut.
Unsur sinematik dibagi ke dalam mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara
(Bordwell dan Thompson, 2001, Pratista, 2008).
a. Narasi
Narasi merupakan hasil strukturisasi terhadap serangkaian kejadian
yang membentuk cerita. Narasi mengandung serangkaian kejadian yang
dipilih, kemudian disusun agar bermakna untuk disajikan kepada
penerimanya. Narasi merupakan serangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan kausalitas dan dapat mengacu kepada keseluruhan cerita hidup
ataupun hanya berkutat pada suatu kisah tertentu yang tersusun atas plot,
karakter, dan setting. (Polkinghorne, 1991, Bordwell dan Thompson, 2001,
Reisman, 2003).
b. Mise-en-scene
Mise-en-scene adalah segala sesuatu yang terlihat di depan layar
meliputi setting (latar), kostum dan tata rias, pencahayaan, dan akting
(Pratista, 2008).
c. Sinematografi
Sinematografi meliputi aspek kamera dan film, framing, serta
durasi gambar. Framing merupakan pembingkaian gambar mise-en-scene
39
yang disesuaikan dengan kebutuhan narasi. Shot-shot yang sudah tersedia
kemudian diolah dan digabungkan melalui Editing (Pratista, 2008).
d. Suara
Unsur suara merupakan segala suara yang muncul dalam film, baik
yang merupakan bagian dari cerita maupun dan berada di luar cerita. Jenis-
jenis suara yang digunakan dalam film dapat dibagi ke dalam dialog,
musik, efek suara, dan suara sekitar (noise). Musik dapat berupa musik
diagetic yang merupakan bagian dari cerita, maupun nondiagetic yang
berada di luar adegan cerita (Bordwell dan Thompson, 2001, Pratista,
2008).
2.2.3 Promosi
Suatu usaha untuk mengkomunikasikan pesan dari perusahaan kepada
calon pembeli potensial dan pihak-pihak lain yang berhubungan disebut dengan
promosi. Informasi yang berupa nilai-nilai dari suatu produk ini bukan hanya
sekedar disampaikan kepada konsumen, namun juga harus dikomunikasikan
secara persuasif. Kegiatan promosi tidak hanya terdiri dari satu jenis kegiatan saja,
namun merupakan suatu perpaduan dari berbagai kegiatan yang dimasukkan ke
dalam konsep integrated marketing communication. Kegiatan yang digunakan
untuk mengkomunikasikan alat-alat promosi ini disebut dengan promotion mix
atau integrated marketing communication. Alat-alat yang digunakan dalam
integrated marketing communication ini secara sederhana dengan Personal
Selling, Mass Selling, dan Sales Promotion, dimana publisitas dan iklan berada di
bawah ranah penjualan massal. Pembagian lain dapat berupa advertising, sales
40
promotion, personal selling, public relations (termasuk di dalamnya publikasi),
dan direct marketing, (Perreault dan McCarthy, 2002; Kotler dan Armstrong,
2012)
2.2.4 Publisitas
Publisitas adalah suatu bentuk kegiatan mempromosikan gagasan, barang,
atau jasa dimana perusahaan tidak membayar kepada saluran yang digunakan
untuk menyampaikan publitas tersebut. Publisitas berbeda dengan iklan yang
harus membayar harga tertentu untuk ditampilkan di media cetak atau elektronik.
Public relations, termasuk di dalamnya publisitas melakukan tugas promosinya
dengan membentuk citra positif perusahaan, atau pada kasus pariwisata adalah
citra positif destinasi. Publisitas dapat dilakukan di antaranya dengan mengolah
informasi yang sedang menarik untuk dijadikan berita yang dapat diliput oleh
media, mengeluarkan informasi resmi dari perusahaan dalam bentuk press release,
menjadi sponsor dari suatu kegiatan, mengatur agar seorang pemain film diundang
ke acara talk show untuk mempromosikan film yang dimainkannya, atau justru
merahasiakan informasi produk yang sangat ditunggu-tunggu oleh konsumen
potensial untuk membangkitkan rasa penasaran (Perreault dan McCarthy, 2002;
Yoeti, 2006).
2.2.5 Film Tourism
Film Tourism adalah suatu kegiatan wisata yang distimulasi oleh adanya
suatu film yang mengambil latar suatu destinasi tertentu. Istilah Film Tourism ini,
41
dalam kalangan akademisi, juga umum digunakan sebagai ekuivalen dari istilah
Film-Induced Tourism. Kegiatan wisata yang timbul memang seringkali
merupakan akibat dari ketidaksengajaan dari ketenanaran suatu film tanpa ada
tujuan awal untuk mempromosikan destinasi tersebut, namun film juga dapat
dibuat secara sadar dan dimanfaatkan secara simultan untuk mempromosikan
destinasi yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan wisata yang ditimbulkan oleh
adanya Film Tourism dapat berupa kunjungan pada lokasi syuting film yang
bersangkutan (baik lokasi nyata maupun dalam set studio), kunjungan pada
sebuah taman hiburan yang berkaitan dengan film (Disneyland, Universal Studio,
Dae Jang Geum Theme Park, dll), kunjungan pada sebuah lokasi buatan yang
dikemas dengan tema film tertentu, kegiatan partisipasi pada suatu lokasi film
tertentu sehingga wisatawan dapat merasakan berperan seperti tokoh dalam film
(tur Lord of the Ring), kegiatan tur mengunjungi rumah selebritis dan lokasi film
yang bersangkutan, kunjungan ke festival film, dan kunjungan pada destinasi-
destinasi tempat premier suatu film diadakan (Roesch, 2009; Connell, 2012;
Beeton, 2015).
2.3 Landasan Teori
Teori-teori yang digunakan dalam menganalisis film „Laskar Pelangi‟ dan
„Eat, Pray, Love‟ dalam hubungannya dengan simbol-simbol promosi pariwisata
adalah teori semiotika, teori resepsi, dan teori promosi. Teori utama yang
digunakan adalah teori promosi dengan didukung oleh teori semiotika dan teori
resepsi. Pertama, bagaimana simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang
ditampilkan diidentifikasi dan diintepretasikan dengan menggabungkan teori
42
semiotika dan teori resepsi. Kedua, sejauh mana tingkat kontribusi kedua film
dalam memenuhi tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kegiatan promosi
dianalisis dengan teori promosi kemudian dikomparasikan.
2.3.1 Teori Semiotika
Tradisi Saussurean menggunakan ilmu semiotika untuk menjelaskan
mengenai sistem penandaan dalam bahasa, namun bahasa hanyalah satu bagian
dari ilmu semiotika (Eco, 1986: 9). Piliang (2010: 19) dalam glosariumnya
memberikan batasan semiotika sebagai “Ilmu tentang tanda dan kode-kodenya
serta penggunaannya dalam masyarakat”. Tanda yang dimaksud di sini adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal (Chandler,
2007: 2). Pierce (Chandler, 2007: 13) menjelaskan bahwa tanda-tanda ini menjadi
bermakna dalam merepresentasikan sesuatu di luar dirinya ketika terjadi proses
interpretasi, Pierce juga menyebutkan bahwa manusia berpikir melalui sarana
tanda-tanda (Sobur, 2013: xxii), sehingga dapat dikatakan proses interpretasi
terhadap tanda-tanda tersebut yang memungkinkan manusia berkomunikasi.
Chandler (2007) menjelaskan dua model yang berkembang dalam
semiotika, yaitu berdasarkan tradisi Saussure dan tradisi Pierce. Tradisi Sausurre
menjelaskan proses pemaknaan tanda yang melibatkan signifier (penanda) dan
signified (petanda). Penanda adalah hal yang material yang dapat ditangkap panca
indera, sedangkan petanda adalah konsep yang direpresentasikan oleh obyek
material tersebut. Model triadik Pierce meliputi representamen, interpretan, dan
obyek. Representamen merupakan materi yang mewakili sesuatu di luar dirinya,
dan interpretan adalah kesan yang timbul dari representanmen. Obyek, dalam
43
model Pierce, adalah hal yang diwakili oleh representamen (Chandler, 2007).
Pierce membagi obyek tanda menjadi tiga (Atkin, 2013), yaitu ikon, index, dan
simbol. Ikon diwakili oleh representanmen dengan cara menghadirkan ciri-ciri
kualitatifnya. Index memiliki keterkaitan secara fisik dengan representamennya
dimana sebagian dari ciri fisik yang ditampilkan representamen dapat menjadi
penanda kehadiran obyek tanda. Simbol adalah obyek tanda yang membutuhkan
interpretasi atas konvensi-konvensi sosial.
Piliang menyebutkan semiotika sebagai suatu metode yang bersifat
kualitatif-interpretatif (2010: 313). Proses interpretasi atau pemaknaan terhadap
tanda-tanda yang disampaikan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan
mengandalkan seperangkat konvensi yang disebut Jakobson, seorang penganut
Saussure, sebagai kode (Chandler, 2007: 147). Pemaknaan tanda terkait dengan
suatu sistem kode dan konteks tertentu yang dipahami oleh masyarakat
penggunanya. Kode-kode tersebut juga dapat menjadi suatu “kode dominan”
karena telah dipelajari sejak usia dini, dikenal secara hampir universal, dan telah
menjadi suatu “makna yang dipilih” sehingga nampak alamiah (Hall, 1999: 511).
Chandler mengklasifikasikan kode-kode tersebut ke dalam tiga kerangka, yaitu
kode sosial, kode textual, dan kode interpretatif. Kode sosial meliputi bahasa
verbal, kode badaniah, kode komoditi, dan kode perilaku. Kode textual berkenaan
dengan kode ilmiah (termasuk matematika); kode estetik dalam berbagai macam
ekspresi seni; kode genre, retorika dan style; dan kode media massa. Kode
interpretatif membawahi kode perseptual dan kode ideologi. Proses pemaknaan
dalam kerangka kode-kode tersebut membutuhkan pengetahuan yang cukup
44
mengenai keadaan sosial, medium dan genre pesan, serta hubungan antara
keduanya (Chandler, 2007: 147-150).
Pada tesis ini, proses interpretasi tanda dilakukan menurut teori Barthes
dimana proses interpretasai tersebut dilakukan secara bertingkat. Tingkatan ini
terdiri dari denotasi sebagai makna tingkat pertama dan konotasi sebagai makna
tingkat kedua. Makna denotasi merujuk pada kode-kode yang memperlihatkan
hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) yang eksplisit.
Sedangkan, makna konotatif sebagai makna tingkat kedua menghadirkan sistem
kode yang maknanya implisit dimana pemaknaannya berkaitan dengan aspek-
aspek psikologis. Makna konotatif ini berada pada kawasan ideologi atau mitologi
yang mendapatkan maknanya dari hasil serangkaian kode yang berlaku dan
disepakati bersama. Ideologi yang dimaksud adalah sistem gagasan, ide, atau
kepercayaan yang sudah menjadi konvensi pada suatu masyarakat. Jika suatu hal
yang bersifat konotatif dikodekan secara berlebihan sehingga tampak natural
maka makna tersebut menjadi mitos (Piliang, 2012: Thwaites, dkk, 2011: 108,
119).
Antara penanda dan petanda terdapat suatu interaksi dalam proses
pereprentasian. Dua interaksi utama yang dikenal adalah metafora dan metonimi.
Metafora menjelaskan dengan menggunakan perbandingan. Metafora bekerja
dengan menggunakan kualitas dari suatu tanda untuk menjelaskan tanda lainnya.
Metonimi adalah penandaan yang menggunakan asosiasi sebagai intrumennya,
dimana sebagian dari sesuatu (fungsi, atribut, konsep) digunakan untuk mewakili
keseluruhan bagian (Piliang 2012: 305; Thwaites, dkk, 2011: 69-78).
45
2.3.2 Teori Resepsi
Resepsi merupakan pandangan dalam semiotika yang berpendapat bahwa
suatu pesan hanya akan bermakna jika terdapat peran penerima pesan. Menurut
Williamson (Piliang, 2012:164), suatu tanda hanya akan mendapatkan maknanya
jika ada kehadiran penerima pesan yang mampu mengenali makna suatu penanda.
Dalam hal memaknai sebuah karya, reaksi pembaca, atau penonton, terhadap
suatu karya dianggap sebagai suatu hal yang sentral (Ratna, 2005: 208).
Interpretasi yang terjadi ditentukan bukan hanya dari historis pribadi pembaca
yang menginterpretasikan, tetapi juga situasi keadaan dalam kesejarahannya.
Keadaan kondisi di masa suatu karya diciptakan dan masa kini pembaca berbaur
menjadi pemahaman. (Teeuw, 2015: 134).
Teeuw (2015: 135) Menjelaskan pendapat Gadamer yang memberikan
batasan pembeda antara arti dan makna. Arti merupakan maksud dari pembuat
karya yang diwujudkan dalam karyanya, sedangkan makna menghubungkan
antara arti dengan pembaca yang merupakan bagian dari situasi pada suatu masa
tertentu. Situasi yang dimaksud di sini (Teeuw, 2015: 159) dapat berupa kondisi
sosial, politik, dan budaya yang sedang terjadi pada masa tersebut. Pengaruh dari
situasi tersebut terhadap proses pemaknaan dapat menjadi sesuatu yang disadari
maupun tidak disadari.
Ratna menjelaskan pendekatan teori resepsi dibedakan menjadi dua (2005:
209), yaitu resepsi secara sinkronis dan diakronis. Pada resepsi secara sinkronis,
penelitian dilakukan terhadap pembaca yang sejaman dengan karya yang sedang
dibahas. Resepsi diakronis mencakup penelitian di masa yang berbeda dengan
46
karya yang dibahas untuk melihat adanya perubahan tanggapan terhadap suatu
karya sebagai akibat dari perubahan sudut pandang, horizon, dan paradigma yang
berkembang dalam masyarakat. Teori ini menyoroti perubahan tanggapan atau
respon pembaca disepanjang jaman. Nilai dan dampak kultural suatu karya
terhadap pembaca tidaklah tetap, namun dapat berubah sesuai dengan kondisi
sosial budaya pembacanya (Ratna 2005: 213). Pada tesis ini, resepsi pembaca atau
penonton yang diteliti adalah resepsi sinkronis atau sejaman.
Stuart Hall (1999) memberikan pandangan bahwa suatu pesan yang
disampaikan antara pengirim pesan kepada penerima pesan mengalami proses
encoding (penyusunan kode) dan decoding (penyingkapan kode). Baik proses
encoding maupun decoding, keduanya dipengaruhi oleh kode-kode yang sudah
dipahami oleh masing-masing partisipan. Namun, pada proses decoding makna
yang diinginkan untuk disampaikan oleh pemberi pesan dalam tahap encoding
tidak selalu dimaknai seperti yang diinginkan. Hal ini, menurut Hall (1999): 515-
517) dikarenakan penerima pesan dapat berada pada salah satu dari tiga posisi
dalam menjalani proses decoding, yaitu posisi dominan-hegemonik, posisi
negosiasi, dan posisi oposisi.
Pada posisi dominan-hegemonik, Hall (1999) menjelaskan, penerima
pesan mengintepretasikan pesan sesuai dengan yang diinginkan oleh pengirim
pesan karena baik pengirim pesan maupun penerima pesan berada pada satu
kelompok konvensi yang sama dan memiliki pemahaman yang sama terhadap
kode dominan yang digunakan. Ketika penerima pesan memiliki cukup
pengetahuan mengenai kode dominan dalam pesan namun penerima pesan
47
memilih untuk bereaksi dengan pemahamannya sendiri sesuai dengan kode yang
berlaku di lingkungannya atau situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, maka
posisi ini disebut posisi negosiasi. Posisi negosiasi berada di antara dominan-
hegemonik dan oposisi. Pada posisi oposisi, reaksi penerima pesan sama sekali
bertolak belakang dengan yang diharapkan oleh pemberi pesan. Reaksi
berseberangan ini tidak selalu karena adanya ketidakpahaman mengenai kode
yang sedang disampaikan, namun karena penerima pesan memiliki kerangka
berpikir alternatif yang didasari oleh situasi tertentu yang memberikan dasar
dalam membuat interpretasi makna yang bertolak belakang dengan yang disusun
oleh pemberi pesan (Hall, 1999: 515-517).
2.3.3 Teori Promosi
Secara umum, tujuan promosi adalah untuk memberikan informasi
mengenai suatu produk (informing), memberikan bujukan untuk menggunakan
produk (persuading), dan mengingatkan konsumen mengenai kepuasaan-kepuasan
yang pernah dirasakan konsumen ketika menggunakan produk yang bersangkutan
(reminding). Promosi yang bersifat informatif banyak dipergunakan untuk
memperkenalkan produk-produk baru dan mengedukasi masyarakat mengenai
produk tersebut, umumnya digunakan untuk menimbulkan adanya permintaan
pertama terhadap produk tersebut. Informasi yang disampaikan dapat berupa
pemberitahuan mengenai manfaat produk serta kegunaan-kegunaan lainnya yang
berkaitan dengan produk. Promosi persuasif merupakan tindakan penting saat
suatu produk memiliki pesaing-pesaing. Persuasi atau bujukan untuk memilih dan
menggunakan produk yang bersangkutan, dalam media promosi dapat diterapkan
48
dengan memunculkan daya tarik rasional, emosional, maupun moral. Salah satu
cara yang banyak digunakan adalah dengan menampilkan keunggulan suatu
produk dibandingkan produk kompetitor. Penjelasan mengenai daya tarik ini akan
dibahas lebih lanjut pada pembahasan mengenai kualitas promosi berdasarkan isi.
Promosi pengingat (reminding), diterapkan pada keadaan dimana suatu produk
telah mendapatkan respon positif dari pasar. Promosi jenis ini dilakukan agar
preferensi konsumen tidak beralih kepada produk kompetitor dan untuk
meyakinkan konsumen bahwa pilihan mereka terhadap produk yang bersangkutan
sudah benar (Kotler, 2000; Perreault dan McCarthy, 2002: 398; Kotler dkk, 2010:
379-380; Morissan, 2010:342).
Promosi dapat dikatakan sebagai usaha dari perusahaan untuk menjaga
jalinan komunikasi dengan konsumen potensialnya (Kotler, Bowen, dan Makens,
2010: 358). Komunikasi ini tidak hanya menjadi kebutuhan dari pihak penyedia
produk untuk menyampaikan pesan-pesan kepada konsumen, namun juga
bermanfaat bagi pihak konsumen untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkannya sebelum melakukan pembelian (Morissan, 2010: 1). Jika
perusahaan ingin mendapatkan respon positif, maka proses komunikasi yang
dilakukan harus dapat mempengaruhi segala hal yang dialami oleh calon
konsumen sebagai penerima pesan (Blair dkk, 2003: 7).
Calon konsumen melalui beberapa tahapan sebelum akhirnya membuat
keputusan atau melakukan pembelian. Pesan komunikasi yang disampaikan harus
mempertimbangkan tahapan-tahapan yang sedang dialami oleh calon konsumen
tersebut, agar pesan menjadi efektif dan mengenai target sasaran. Tujuan dari
49
komunikasi akan menyesuaikan dengan tahapan proses pembelian yang sedang
dialami calon konsumen (Mill, 2000: 320). Pemahaman terhadap posisi calon
konsumen terhadap merk produk akan memudahkan dalam memilih pesan yang
tepat untuk mendorong konsumen bergerak ke tahapan berikutnya hingga
mencapai tahap pembelian (Kotler dkk, 2010). Konsep yang banyak digunakan
dalam menjelaskan tahapan proses pengambilan keputusan pembelian oleh calon
konsumen adalah buyer readiness states, dan hierarchy of effects.
Pada buyer readiness states, Kotler, dkk (2010) menjelaskan bahwa calon
konsumen melalui enam tahapan dalam mengambil keputusan pembelian.
Tahapan-tahapan tersebut adalah, awareness, knowledge, liking, preference,
conviction dan purchase. Tugas pemasar adalah menggiring calon konsumen
untuk melalui tahapan-tahapan tersebut hingga calon konsumen teryakinkan untuk
melakukan pembelian. Pada kondisi dimana suatu merk produk belum dikenal
luas, pemasar diharuskan membuat bentuk-bentuk promosi yang dapat
meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap keberadaan merk yang
bersangkutan. Selanjutnya, terdapat suatu kondisi dimana telah tercipta kesadaran
terhadap keberadaan suatu merk, namun pengetahuan mengenai kualifikasi
produk dari merk tersebut masih kurang. Kondisi ini dapat menjadi acuan bagi
pemasar untuk membuat pesan promosi yang menitikberatkan kepada pemberian
pengetahuan (knowledge) mengenai produk. Setelah pengetahuan terhadap
kualifikasi produk yang bersangkutan telah terbentuk, maka pertanyaan yang
timbul adalah level minat terhadap merek produk. Jika minat calon konsumen
masih rendah, maka pesan promosi harus menggiring kepada peningkatan minat
50
(Liking) terhadap produk. Suatu produk yang diminati juga memiliki kompetitor,
sehingga pada tahapan berikutnya dirancang untuk meningkatkan preferensi
(Preference) calon konsumen untuk memilih merk yang dimaksud dibandingkan
merk lainnya. Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah mendorong keyakinan
(Conviction) calon konsumen mengenai pilihannya dan melakukan pembelian
(Purchase).
Konsep berikutnya yang juga berorientasi pada perilaku konsumen dalam
membuat keputusan pembelian adalah hierarchy of effects. Model yang dapat
dengan mudah menjelaskan konsep ini adalah AIDA yang merupakan singkatan
dari Attention, Interest, Desire, Action. Tahapan pertama dari model ini ada
menarik perhatian (attention) konsumen kepada produk yang sedang ditawarkan.
Tahapan kedua merupakan proses mempertahankan minat (interest) konsumen
untuk tetap tertarik dengan produk. Tahapan ketiga adalah membangkitkan
keinginan (desire) untuk memilih produk. Tahapan keempat mengacu kepada
kemampuan memperoleh tindakan (action) untuk membeli produk (Perreault dan
McCarthy, 2002).
Kotler, dkk (2010) menjelaskan bahwa konsep buyer readiness states
dapat memberikan panduan kepada pesan apa yang harus disampaikan dalam
promosi sesuai dengan tahapan yang sedang dialami calon konsumen terhadap
merek produk yang sedang dipromosikan, sedangkan AIDA dapat memberikan
panduan tentang bagaimana pesan promosi harus disampaikan agar promosi yang
dilakukan dapat mendapatkan respon yang diinginkan (Kotler dkk, 2010: 356).
Promosi yang berhasil adalah yang mampu mencuri perhatian masyarakat (Kotler,
51
2004: 22), sehingga pada tahapan mendapatkan perhatian (attention) dan
mempertahankan minat (interest), tidak hanya dapat dilihat kepada perhatian dan
minat terhadap produk tetapi juga kepada promosi itu sendiri. Masyarakat kini
terpapar oleh begitu banyaknya promosi-promosi, sehingga seringkali promosi
tersebut, terutama iklan, tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk
dilihat atau didengarkan. Untuk menarik perhatian kepada produk, maka bentuk-
bentuk promosi yang disampaikan harus terlebih dahulu menarik perhatian untuk
dilihat atau didengarkan. Setelah timbul ketertarikan untuk melihat atau
mendengarkan promosi yang disampaikan, maka berikutnya merupakan proses
mempertahankan minat (interest) masyarakat untuk tetap memperhatikan promosi
yang disampaikan. Hal ini dapat dicapai jika pesan yang disampaikan sesuai
dengan pengalaman dan perilaku masyarakat yang menjadi target konsumen
dengan memanfaatkan elemen-elemen emosional yang didukung dengan bukti.
Pada pemasaran jasa, maka bukti menjadi sangat penting untuk memperlihatkan
wujud jasa yang ditawarkan. Bukti-bukti ini juga dapat memberikan keyakinan
kepada calon konsumen bahwa produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya,
sehingga munculah keinginan (desire) untuk memilih produk. Bukti-bukti yang
disajikan juga tidak hanya memuat bujukan-bujukan emosional namun juga harus
memberikan alasan-alasan logis mengapa merk tersebut dapat memenuhi
kebutuhan calon konsumen. Tahapan keempat mengacu kepada kemampuan
memperoleh tindakan (action) untuk membeli produk (Perreault dan McCarthy,
2002; Armstrong dkk, 2005; Kotler dkk, 2010).
52
Setiap alat promosi (advertising, sales promotion, public relations, dan
personal selling), memiliki keunggulannya masing-masing dalam mencapai hasil
promosi yang diinginkan. Advertising dan public relations sangat sesuai untuk
membangkitkan kesadaran dan minat terhadap produk, sedangkan personal selling
dan sales promotion yang bersifat langsung dapat memiliki efek yang lebih kuat
dalam menciptakan keinginan untuk membeli hingga sampai pada tindakan
pembelian. Oleh karenanya, pemilihan bentuk-bentuk komunikasi yang efektif
dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan promosi.
Kualitas suatu pesan yang dikomunikasikan dapat dilihat dari tiga
kelompok indikator yaitu isi pesan, stuktur pesan, dan format pesan. Isi pesan
yang disampaikan dapat memuat satu atau keseluruhan daya tarik rasional,
emosional, dan moral. Daya tarik rasional mengetengahkan manfaat yang dimiliki
oleh produk berkenaan dengan minat calon konsumen. Provokasi emosional dapat
dilakukan dengan menampilkan pesan yang menyentuh emosi seperti ketakutan,
rasa bersalah, dan rasa malu, cinta, kasih sayang, maupun hal-hal yang
berhubungan dengan minat, status, dan pengakuan umum, yang dapat memotivasi
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan. Sedangkan,
Daya tarik moral menganjurkan kepada hal-hal yang benar dan pantas untuk
dilakukan. Daya tarik moral ini banyak digunakan untuk mempromosikan
kegiatan-kegiatan lingkungan hidup (Kotler dkk, 2010: 365-367).
Morissan (2010) menjelaskan bentuk informasi-informasi yang dapat
digunakan sebagai daya tarik rasional antara lain berkenaan dengan kualitas, daya
guna, kenyamanan, ekonomi, kesehatan, relaksasi, dan manfaat-manfaat sensorik.
53
Belch (dalam Morissan, 2010) menyebutkan lima bentuk pengaplikasian daya
tarik rasional pada media promosi. Pertama, dengan mengetengahkan daya tarik
atribut yang menunjukkan informasi kualitas produk. Kedua, dengan
menunjukkan keunggulan kompetitif suatu produk dibandingkan dengan produk
lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketiga, dengan
menggunakan daya tarik harga. Keempat, dengan menunjukkan pengumuman di
media massa pada media promosinya untuk menginformasikan manfaat suatu
produk yang diakui oleh lembaga lain. Kelima, dengan menekankan kepopuleran
suatu produk yang dapat menunjukkan bahwa produk tersebut dipakai secara luas
karena berkualitas (Morissan, 2010: 342-345).
Daya tarik emosional dapat diaplikasikan berupa bentuk promosi yang
menghibur, menarik, menimbulkan gairah, membangkitkan semangat dan bentuk-
bentuk lain yang mempengaruhi emosi konsumen dan mendorong mereka untuk
memiliki pandangan positif terhadap suatu produk. Daya tarik emosional juga
digunakan untuk mentranformasikan seperangkat sifat psikologis ke dalam
pemahaman konsumen mengenai suatu produk sehingga konsumen akan
mengalihkan emosi yang ditunjukkan pada media promosi ke dalam pengalaman
mereka ketika menggunakan produk (Morissan, 2010: 345-348).
Indikator isi pesan ini mirip dengan penjelasan Hackley (2005) mengenai
model think-feel-do hierarchy dalam proses pembelian. Hackley menjelaskan
model ini ke dalam tiga tahapan, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Tahapan
kognitif melibatkan pemberian pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai
manfaat produk. Tahapan afektif dijalankan dengan memberikan gambaran-
54
gambaran yang menarik dan menyenangkan mengenai produk yang bersangkutan.
Pada tahapan ini suatu kegiatan promosi diharapkan mampu mempengaruhi calon
konsumen secara emosional. Terakhir, tahapan konatif merupakan penggabungan
dari tahapan kognitif dan afektif yang bekerja secara simultan dalam satu media
untuk menimbulkan terjadinya tindakan pembelian (Hackley, 2005: 29).
Kotler dkk (2010) juga membahas mengenai struktur pesan. Struktur pesan
yang berbeda dapat menghasilkan respon yang berbeda. Pesan yang disampaikan
dapat secara langsung menyajikan kesimpulan atau membiarkan penonton
menarik kesimpulannya sendiri. Argumen-argumen yang diberikan juga dapat
berupa argumen sepihak yang diberikan oleh pihak perusahaan atau menampilkan
argumen dua pihak antara perusahaan dan konsumen. Pesan promosi juga dapat
memilih antara memunculkan argumen yang paling kuat terlebih dahulu, atau
menyimpannya untuk ditampilkan di akhir pesan. Promosi juga membutuhkan
format pesan yang kuat agar mampu menarik perhatian. Pemilihan media, tulisan,
kata-kata yang difokuskan, warna, bentuk, ukuran, posisi, gerakan, suara, tekstur,
aroma harus dibuat agar memiliki efek yang dapat memikat dan mendorong
preferensi calon konsumen. (Kotler dkk, 2010: 367).
Tesis ini bertujuan untuk mengkaji kontribusi film „Eat Pray Love‟ dan
„Laskar Pelangi‟ dalam memenuhi tujuan promosi pariwisata. Tujuan promosi
yang dimaksudkan di sini adalah dalam hal tujuan untuk menginformasikan
(informing), membujuk (persuading), dan mengingatkan (reminding), sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Perreault dan McCarthy (2002), Kotler (2000), dan
Kotler dkk (2010). Karena rancangan pesan promosi pariwisata yang
55
menunjukkan pemenuhan terhadap tujuan promosi berkaitan dengan tahapan
proses pengambilan keputusan oleh konsumen dan kualitas suatu pesan, maka
kajian tehadap dua hal tersebut juga dilakukan dalam tesis ini sebagai bagian
untuk menentukan seberapa besar kontribusi masing-masing film dalam
memenuhi tujuan promosi pariwisata bagi masing-masing destinasi secara khusus
dan Indonesia secara umum. Tahapan proses pengambilan keputusan oleh
konsumen yang digunakan pada tesis ini adalah Buyer Readiness States oleh
Kotler dkk (2010) untuk mengkaji mengenai pesan promosi apa yang disampaikan
oleh film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dan Hierarchy of Effects (model
AIDA) sesuai yang dijelaskan oleh Perreault dan McCarthy (2002), Armstrong
dkk (2005), dan Kotler dkk (2010) untuk mengkaji bagaimana pesan promosi
disampaikan oleh masing-masing film. Kualitas pesan promosi mengacu pada
indikator kualitas pesan oleh Kotler dkk (2010) yang memuat tiga kelompok
indikator yaitu berdasarkan isi, struktur, dan format pesan.
2.4 Model Penelitian
Model untuk penelitian tesis berjudul “Promosi Pariwisata melalui Film:
Studi Kasus Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi” terlihat pada Gambar 2.1.
Penelitian ini merupakan penelitian dalam ranah promosi pariwisata dimana salah
satu bentuk alternatif yang dapat digunakan adalah melalui film. Pada dunia
pariwisata praktek ini juga dimanfaatkan dalam bentuk Film Tourism.
Terdapat dua film yang pernah menjadi pembicaraan umum karena
dianggap mampu menjadi promosi bagi pariwisata Indonesia. Kedua film tersebut
adalah „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟. Dua film ini tidak secara langsung
56
dimaksudkan untuk menjadi iklan pariwisata, namun ternyata cara kedua film ini
merepresentasikan hubungan antara tokoh dengan lingkungannya membawa pada
efek publisitas terhadap destinasi-destinasi yang ditampilkan. Dengan melihat
pada konsep-konsep film, promosi, publisitas, dan film tourism, serta
mendasarkan pada teori semiotika, teori resepsi dan teori promosi, maka timbul
beberapa masalah yang menarik untuk diteliti. Pertama, mengenai bagaimana
masing-masing film, „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟, dalam menampilkan
simbol pesan promosi pariwisata beserta makna yang timbul dari penampilan
tersebut. Kedua, mengenai bagaimana perbandingan kontribusi antara film „Eat
Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dalam memenuhi tujuan yang ingin dicapai oleh
promosi pariwisata.
Melalui analisis pada penelitian ini didapatkan kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing film serta perbandingan di antara kedua film mengenai
kontribusinya terhadap promosi pariwisata. Hal ini kemudian dijadikan referensi
untuk memberikan saran dan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait sebagai
sumbangsih untuk peningkatan kualitas promosi pariwisata Indonesia.
57
Gambar 2.1
Model Penelitian
PARIWISATA INDONESIA
Bagaimanakah
simbol dan makna
pesan promosi
pariwisata yang
ditampilkan dalam
film „Laskar
Pelangi‟ untuk
Belitung?
LASKAR PELANGI
EAT,PRAY,LOVE
PROMOSI PARIWISATA MELALUI FILM
Simpulan dan
Saran
Bagaimanakah
kontribusi film „Eat
Pray Love‟
dibandingkan
dengan „Laskar
Pelangi‟ dalam
mencapai tujuan
promosi pariwisata
untuk Indonesia?
Bagaimanakah
simbol dan makna
pesan promosi
pariwisata yang
ditampilkan dalam
film „Eat Pray Love‟
untuk Bali?
TEORI SEMIOTIKA
TEORI RESEPSI
TEORI PROMOSI
KONSEP FILM
KONSEP PROMOSI
KONSEP PUBLISITAS
KONSEP FILM TOURISM