bab ii tinjauan umum tentang perlindungan konsumen, … · 2017. 4. 1. · 27 bab ii tinjauan umum...

30
27 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, JUAL BELI ONLINE, DAN BPSK 1.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 2.1.1. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen Istilah konsumen berasal dari bahasa kata consumer (Inggris-Amerika) atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. 1 Menurut Janus Sidabalok, “konsumen adalah semua orang yang membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya”. 2 Menurut Munir Fuady, “konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 3 1 Az Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, hal. 3. 2 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 17. 3 Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 227.

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 27

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, JUAL

    BELI ONLINE, DAN BPSK

    1.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

    2.1.1. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen

    Istilah konsumen berasal dari bahasa kata consumer (Inggris-Amerika)

    atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan

    dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.1

    Menurut Janus Sidabalok, “konsumen adalah semua orang yang

    membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri,

    keluarganya ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya”.2

    Menurut Munir Fuady, “konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari

    suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

    dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, dan orang

    lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.3

    1 Az Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit

    Media, Jakarta, hal. 3. 2 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. I, PT.

    Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 17. 3 Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global,

    PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 227.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 28

    Menurut Hornby, konsumen (consumer) adalah: “seseorang yang membeli

    barang atau menggunakan jasa, seseorang atau suatu perusahaan membeli

    barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, sesuatu atau seseorang yang

    menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.4

    Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat

    YLKI), konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

    masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan

    tidak untuk diperdagangkan kembali.5 Pengertian konsumen menurut Yayasan

    Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini tidak jauh berbeda dengan pengertian

    konsumen dalam UUPK.

    UUPK mengatur pengertian konsumen dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang

    berbunyi: “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

    tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

    lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sebagaimana

    disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 tersebut bahwa konsumen yang

    dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.

    Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas hanya konsumen akhir.

    Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang

    lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit menetapkan

    4 Anonim, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Cited 2010 nov, 7), available from: URL: http://hukbis.files.wordpress.com/2008/02/hukum-bisnis-akuntansi, diakses tanggal 2 Juni 2015

    5Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, hal. 10.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 29

    batas-batas seperti itu. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen

    akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau

    pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah

    konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi

    lainnya.

    Dari pengertian ini, maka pengertian konsumen setidaknya mengandung

    beberapa unsur, yaitu:

    1. Setiap orang (natuurlijke person) atau pribadi kodrati dan bukan

    berbentuk badan hukum (recht person);

    2. Pemakai yang dalam hal ini ditekankan pada pemakai akhir; 3. Barang dan/atau jasa; 4. Tersedia dalam masyarakat; 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluaga, orang lain maupun makhluk

    hidup lain;

    6. Barang dan/atau jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan.

    Dari pengertian-pengertian konsumen diatas, menunjukkan sangat

    beragamnya pengertian konsumen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan ada 3

    (tiga) macam pengertian konsumen yang dikenal, yaitu :6

    1. Konsumen umum, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang atau

    jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

    6Ibid, hal. 13.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 30

    2. Konsumen antara, yaitu setiap orang yang medapatkan barang dan/atau

    jasa lain untuk diperdagangkan kembali.

    3. Konsumen akhir, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa

    yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

    orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

    Kata “pemakai” dalam definisi diatas menunjukkan barang dan/atau jasa

    yang dipakai konsumen tidak selalu harus berasal dari hubungan kontrak jual beli

    antara konsumen dan pelaku usaha. Misalnya seseorang mendapatkan kiriman

    parcel dari relasinya dan ternyata salah satu makanan didalamnya sudah

    kadaluarsa, maka konsumen yang bersangkutan dapat menggugat produsen

    makanan tersebut. Dengan definisi seperti ini hak konsumen diperluas tidak

    hanya sebagai pembeli, tetapi semua orang yang mengkonsumsi barang

    dan/atau jasa walaupun melalui peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

    Dari penelitian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen

    sebagai orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan

    hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan konsumen tersebut

    menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual,

    diproduksi lagi).7

    Dari pendapat-pendapat sarjana, maka pengertian konsumen adalah setiap

    orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu,

    7 Az. Nasution, 1994, Hukum dan Konsumen Indonesia, Cet ke I, PT. Citra Aditya

    Bakti, Jakarta, hal. 9.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 31

    atau setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

    masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

    makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

    Hak konsumen (diatur dalam Pasal 4 UUPK) adalah:

    a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

    barang dan/atau jasa;

    b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

    jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

    dijanjikan;

    c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

    barang dan/ atau jasa;

    d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang

    digunakan;

    e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

    sengketa perlindungan konsumen secara patut;

    f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

    g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

    deskriminatif;

    h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

    barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

    sebagaimana mestinya;

    i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 32

    Kewajiban konsumen (diatur dalam Pasal 5 UUPK) adalah:

    a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

    pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

    b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

    jasa;

    c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

    d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

    secara patut.

    1.1.2. Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

    Menurut Janus Sidabalok, pelaku usaha diartikan sebagai pengusaha yang

    menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya

    pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang atau

    badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan

    konsumen. Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut

    pertanggungjawaban dari produsen atau pelaku usaha.8

    Menurut Munir Fuady, pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan

    usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

    hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama

    melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan

    ekonomi.9

    8Janus Sidabalok, op.cit, hal. 16. 9Munir Fuady, loc.cit

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 33

    Pasal 1 ayat 3 UUPK menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap

    orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

    maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

    melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Baik

    sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

    usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

    Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 ayat 3 UUPK cukup luas karena

    meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian

    pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dalam pengertian

    pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang

    dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished

    product), penghasil bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang

    menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan mencantumkan namanya, tanda

    pengenal tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijual-belikan,

    disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi

    perdagagan, pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau

    importer tidak dapat ditentukan.10

    Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat

    atau pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait

    dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai ke tangan

    konsumen.

    10 Johanes Gunawan, 1994, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia, Tahun XI, Nomor 2 April 1994, Jakarta, hal. 4

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 34

    Dengan kata lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen

    diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk

    makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang

    terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri (pangan olahan) itu

    hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah : pabrik (pembuat),

    distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan

    hukum ataupun yang bukan badan hukum.11

    Jadi, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan

    atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

    hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

    wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

    melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

    ekonomi yang terkait dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai

    ke tangan konsumen.

    Hak pelaku usaha (diatur dalam Pasal 6 UUPK) adalah:

    a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

    kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

    b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

    beriktikad tidak baik;

    c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

    hukum sengketa konsumen;

    d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

    11Janus Sidabalok, loc.cit.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 35

    kerugian kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa

    yang diperdagangkan;

    e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

    Kewajiban pelaku usaha (diatur dalam Pasal 7 UUPK) adalah:

    a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

    b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

    perbaikan dan pemeliharaan;

    c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

    diskriminatif;

    d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

    diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

    yang berlaku;

    e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

    barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

    barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

    f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

    penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

    diperdagangkan;

    g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

    dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 36

    1.1.3. Pengertian, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

    Pasal 1 ayat 1 UUPK menyebutkan bahwa “perlindungan konsumen

    adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

    perlindungan kepada konsumen”. Dengan demikian UUPK sangat melindungi

    kepentingan konsumen sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen.

    Menurut Janus Sidabalok, “perlindungan konsumen adalah istilah

    yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada

    konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dari hal-hal yang dapat

    merugikan konsumen itu sendiri.12

    Ada lima asas perlindungan konsumen yang ditetapkan UUPK yaitu pada

    pasal 2 antara lain:

    1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan; 3. Asas keseimbangan; 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; 5. Asas kepastian hukum.

    Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya

    dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

    sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

    keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum

    12Janus Sidabalok, op.cit, hal. 9.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 37

    perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak

    diatas pihak lainnya atau sebaliknya, tetapi adalah memberikan kepada masing-

    masing pihak, produsen dan konsumen apa yang menjadi haknya. Dengan

    demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

    konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya

    bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

    Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen

    dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban

    secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan

    hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil

    melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu

    UUPK ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha

    (produsen).

    Asas keseimbangan dimaksudkan memberikan keseimbangan antara

    kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

    dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen) dan

    pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan-

    penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen,

    produsen dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai

    dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas

    kepentingan yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 38

    negara.

    Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

    memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

    penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

    atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen

    akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya dan

    sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan

    keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu, UUPK membebankan

    sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan

    yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan

    produknya.

    Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun

    konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

    perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya

    undang- undang mengharapkan bahwa aturan tentang hak dan kewajiban yang

    terkandung didalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan

    sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,

    negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan

    isinya.

    Perlindungan konsumen bertujuan (diatur dalam Pasal 3 UUPK) :

    a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

    melindungi diri;

    b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 39

    dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

    c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

    menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

    d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

    kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

    informasi;

    e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

    konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

    berusaha;

    f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

    usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

    keselamatan konsumen.

    1.2. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Online (E-Commerce)

    1.2.1. Pengertian Jual Beli Online (E-Commerce)

    Sebelum menguraikan pengertian perjanjian jual beli online, terlebih

    dahulu akan ditinjau dari Buku III KUH Perdata yaitu tentang perikatan yang

    terdiri dari bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-

    peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang

    bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan

    sebagainya. Sedangkan bagian yang khusus memuat peraturan-peraturan

    mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 40

    mempunyai nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian

    perburuhan dan lain sebagainya.

    Menurut Hartono Hadisoeprapto, “perikatan adalah suatu perhubungan

    hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana yang satu berhak

    menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntuan

    itu”.13

    Perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa dimana seseorang

    berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

    melaksanakan sesuatu hal”.14

    Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan hukum antara orang itu yang

    disebut perikatan. Apabila dilihat dari bentuknya, perjanjian itu merupakan

    rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan

    yang diungkapkan baik secara lisan maupun secara tertulis, saling berjanji dalam

    arti para pihak sama-sama mengemukakan kehendaknya dan sesuatu hal, ini bisa

    berarti :

    ü Memberikan sesuatu

    ü Berbuat sesuatu

    ü Tidak berbuat sesuatu

    13Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Perikatan dan Jaminan, Liberty, Yogyakarta,

    hal. 28. 14Subekti I, loc.cit.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 41

    Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, “Perjanjian adalah suatu

    perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk

    menimbulkan akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang".15

    Menurut Wiryono Projodikoro mengemukakan, sebagai : “Perjanjian adalah

    suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana

    satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau

    untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut

    pelaksanaan perjanjian tersebut”.16

    Selanjutnya dalam buku III KUHPer, perikatan di atur dalam pasal 1233

    KUHPer yang berbunyi : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,

    baik karena Undang-Undang. Oleh karena Undang-Undang tidak memberikan

    tentang pengertian perikatan, maka mengenai pengertian perikatan tersebut

    menurut pendapat C.S.T. Kansil adalah sebagai berikut :

    Perikatan ialah ikatan dalam bidang hukum harta benda (vermogene recht) antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban melaksanakannya. Perikatan hukum harus dibedakan dari ikatan yang timbul dalam pergaulan hidup di dalam masyarakat yang berada di luar hukum. Banyaklah ikatan yang timbul dari sopan santun atau janji yang tidak perlu diperhatikan oleh hukum.17

    Menurut Subekti bahwa “perkataan perikatan sudah tepat sekali untuk

    melukiskan suatu pengertian yang sama dalam Bahasa Belanda, yang

    dimaksudkan dengan verbintenis yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak,

    15Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.

    II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 25. 16 Wiryono Projodikoro, 1988, Asas-Asas Hukum Perdata, Cet. XI, Sumur, Bandung, hal. 2 17C.S.T. Kansil, 2004, Modul Hukum Perdata, Cet. IV, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hal.

    203.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 42

    yang isinya adalah hak dan kewajiban. Suatu hak untuk menuntut sesuatu dan

    disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.18

    Di dalam hubungan masyarakat jika seseorang mengadakan suatu

    perjanjian dengan orang lain, maka ini berarti bahwa tiap-tiap pihak akan

    mengikatkan dirinya masing-masing dan mereka akan secara tidak sengaja telah

    membebankan diri mereka dengan suatu hak dan kewajiban sehingga melahirkan

    suatu hubungan hukum. Suatu perjanjian adalah menerbitkan suatu perikatan.

    Maka perjanjian adalah merupakan sumber penting karena melahirkan perikatan

    disamping sumber-sumber yang tersebut adalah Undang-Undang. Jadi, ada

    perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada pula perikatan yang lahir dari

    Undang-Undang.

    Berdasarkan pada pendapat di atas bahwa, timbulnya perjanjian itu adalah

    adanya hubungan manusia di dalam masyarakat atau adanya hubungan antara

    pihak yang satu dengan yang lain, yang bertujuan untuk dapat memenuhi berbagai

    keperluannya, yang akan dapat dipenuhi dengan melalui perjanjian sedangkan

    yang dimaksud dengan pihak-pihak adalah sebagai subyek perjanjian tersebut.

    Subyek perjanjian itu dapat berupa manusia pribadi dan dapat pula berupa badan

    hukum. Disamping itu sebagai subyek perjanjian harus mampu melakukan

    perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

    Setelah diuraikan mengenai pengertian perjanjian, maka selanjutnya akan

    diuraikan pengertian tentang perjanjian jual beli online (E-Commerce).

    E-commerce adalah suatu proses membeli dan menjual produk-produk

    18 Subekti, 1980, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cet. I, Alumni, Bandung,

    (selanjutnya disingkat Subekti II), hal. 56.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 43

    secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan computer

    sebagai perantara transaksi bisnis.19

    E-commerce juga dapat diartikan bahwa adanya transaksi jual beli antara

    pelaku usaha dengan konsumen yang pembelian dan pemesanan barangnya

    melalui media online. Di dalam pengertian lain, e-commerce yakni

    transaksi komersial yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan

    pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah

    barang, pelayanan dan peralihan hak.20

    Dari berbagai definisi, terdapat kesamaan. Kesamaan tersebut

    memperlihatkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik sebagai berikut :

    a. Terjadi transaksi antara dua belah pihak.

    b. Adanya pertukaran barang, jasa atau informasi.

    c. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme

    perdagangan tersebut. (Hadi Faulidi Asnawi, 2004 : 17)

    2.2.2. Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Online (E-Commerce)

    Perjanjian yang sah artinya suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-

    syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga ia diakui oleh hukum.

    Tentang syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, dalam pasal 1320 KUH Perdata

    telah ditentukan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

    19 Budi Rahardjo, 2003, “Pernak-Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di

    Indonesia”, (Serial Online), URL : http://www.budi.insan.co.id, diakses tanggal 20 Mei 2015. 20Ibid

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 44

    1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

    2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

    3. Mengenai suatu hal tertentu.

    4. Suatu sebab yang halal.

    Ad. 1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

    Sepakat maksudnya adalah adanya kesepakatan atau persesuaian kemauan

    masing-masing pihak yang membuat perjanjian mengenai hal-hal pokok dari

    perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak satu juga

    dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama-sama

    secara timbal balik.

    Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa “persetujuan kehendak itu

    sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada

    paksaan sama sekali dari pihak manapun”. 21 Dalam pengertian persetujuan

    kehendak itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (pasal 1321-1328

    KUH Perdata), bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan

    karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

    Menurut Subekti mengemukakan ajaran yang lazim dianut sekarang,

    “bahwa perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan

    penawaran yang menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab

    detik itulah dapat dianggap sebagai lahirnya kesepakatan”.22

    21Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Cet. I (selanjutnya

    disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 89

    22Subekti II, Op. Cit, hal. 28

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 45

    Dalam hal perjanjian jual beli online, para pihak dalam perjanjian tersebut

    harus bersepakat mengenai apa yang diperjanjikan atau disetujui mengenai hal-hal

    yang pokok dari perjanjian yang dibuat, dan apa yang dikehendaki oleh para pihak

    lainnya. Jadi, kedua belah pihak menghendaki sesuatu secara timbal balik, dimana

    pihak penjual (pengirim) menghendaki agar barang dagangan online nya laris

    terjual, dikirim dengan aman dan selamat sampai ketempat tujuan. Sedangkan

    pihak pembeli (penerima) menghendaki barang yang ingin dibelinya secara

    online, barang yang dibeli datang tepat pada waktunya dan sesuai dengan pesanan

    pada saat membeli online.

    Ad. 2 Cakap untuk membuat suatu perjanjian

    Pada umumnya dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila

    sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun dan belum berumur 21

    tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi sudah pernah kawin. Sedangkan dalam

    pasal 1230 KUH Perdata dikatakan bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian

    adalah orang yang belum dewasa, orang yang dibawah pengampunan dan wanita

    yang bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili

    oleh mereka dan bagi istri setelah mendapat ijin dari suaminya.

    Dalam hubungan dengan membuat suatu perjanjian, menurut R. Setiawan

    mengemukakan bahwa, seorang dikatakan cakap apabila berdasarkan ketentuan

    Undang-Undang ia dianggap mampu membuat sendiri perjanjian dengan akibat

    hukum yang sempurna.23

    23R. Setiawan, 1986, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. III, Binacipta, Bandung, hal. 61.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 46

    Memanglah sangat perlu bahwa setiap orang yang membuat suatu

    perjanjian, orang-orang tersebut haruslah benar-benar menginsafi akan tanggung

    jawab yang akan dipikul dari perbuatannya. Dan karena setiap orang yang

    membuat perjanjian itu berarti akan mempertaruhkan harta kekayaannya, maka

    orang tersebut haruslah setiap orang yang sungguh-sungguh berhak bebas untuk

    berbuat sesuatu dengan kekayaan atau merupakan pemiliknya yang sah.

    ad. 3 Mengenai suatu hal tertentu

    Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian yang harus dipenuhi

    sebagai syarat ketiga sahnya suatu perjanjian yang telah ditentukan oleh Undang-

    Undang. Menurut pendapat Abdulkadir Muhammad bahwa : “Suatu hal tertentu

    merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus

    tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus

    cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat

    dihitung atau ditetapkan.”24

    Memang syarat suatu hal tertentu itu ditentukan dalam pasal 1333

    KUHPer, yang menyebutkan sebagai berikut : Suatu persetujuan harus

    mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya,

    tidaklah halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal jumlahnya itu kemudian

    dapat ditentukan atau dihitung.

    Dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli online haruslah suatu hal

    tertentu artinya barang yang diperjanjikan dalam perjanjian tesrsebut dapat

    24Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, hal. 93.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 47

    ditentukan jenisnya. Hal ini nantinya akan mempunyai hubungan dengan hak-hak

    dan kewajiban serta tanggung jawab dari para pihak dan lebih memudahkan bagi

    para pihak yang mempunyai kepentingan untuk menuntut haknya terhadap

    lawannya, bila timbul suatu perselisihan.

    Demikian pula dengan perjanjian jual beli online di dunia maya, mengenai

    syarat suatu hal tertentu yang terdapat pada perjanjian pada umumnya juga sangat

    diperlukan, yaitu bahwa yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut paling tidak

    atau paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, yang kemudian dapat dihitung

    atau ditetapkan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa suatu hal

    tertentu, sebagai syarat sahnya suatu perjanjian pada umunya dan perjanjian jual

    beli online di masyarakat pada khususnya haruslah menyangkut dari pada isi

    perjanjian, jenis serta jumlah barangnya yang dipesan dapat ditentukan atau

    ditetapkan.

    ad. 4 Suatu sebab yang halal

    Syarat ini merupakan tujuan dari perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1337

    KUH Perdata ditentukan bahwa, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang

    oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

    ketertiban umum. Menurut Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa isi

    perjanjian disini pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang

    telah diperjanjikan oleh pihak-pihak.25

    Jadi, pada dasarnya syarat sahnya perjanjian jual beli yakni sudah

    25Abdulkadir Muhammad I, op. cit, hal. 125

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 48

    tertuang di dalam Pasal 1320 KUHPer, hal ini juga dapat menjadi acuan syarat

    sahnya suatu perjanjian jual beli melalui e-commerce. Karena e-commerce juga

    merupakan kegiatan jual beli yang perbedaanya dilakukan melalui media online.

    Hanya saja dalam jual beli melalui e-commerce dilakukan melalui media internet

    yang bisa mempercepat dan mempermudah transaksi jual beli tersebut. Dalam

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

    Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) juga telah menambahkan beberapa

    persyaratan lain, yaitu :

    a. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

    dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah, perluasan dari alat bukti

    yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, dan sahnya

    suatu informasi elektronik. (Pasal 5).

    b. Ketentuan mengenai waktu pengiriman dan penerimaan informasi dan/atau

    Transaksi Elekstronik. (Pasal 8).

    c. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus

    menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat

    kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. (Pasal 9).

    d. Ketentuan mengenai persyaratan Tanda Tangan Elektronik agar memiliki

    kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. (Pasal 11 ayat 1). Ketentuan

    lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 11 ayat 2).

    e. Menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung

    jawab. (Pasal 15).

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 49

    f. Beritikad baik. (Pasal 17 ayat 2).

    g. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik

    mengikat para pihak. (Pasal 18).

    Perjanjian e-commerce adalah perjanjian yang di dalamnya terdapat proses

    penawaran dan proses jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual

    (seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis

    barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau

    pilihan barang telah diketahui oleh penjual. Setelah penjual menerima konfirmasi

    bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual

    akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa

    pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah

    semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan

    penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau

    perjanjian tersebut berakhir.

    1.2.3. Tanggung jawab Para Pihak dalam Jual Beli Online (E-Commerce)

    Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun

    pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan

    berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang

    terkait tersebut antara lain :

    a. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui internet

    sebagai pelaku usaha.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 50

    b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang yang

    menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan

    malakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.

    c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada

    penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan

    secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab

    mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat

    dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.

    d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

    Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di

    atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant

    merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu

    penjual bertanggung jawab memberikan secara benar dan jujur atas produk yang

    ditawarkan kepada pembeli atau konsumen.

    Di samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang

    diperkenankan oleh undang-undang maksudnya barang yang ditawarkan tersebut

    bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

    tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi dan sesuai dengan pesanan,

    sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjual

    belikan.

    Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa yang

    telah dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli

    termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siap pun yang membelinya. Di sisi

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 51

    lain, seseorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan

    pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang di jualnya dan juga

    berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang

    beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik ini. Jadi,

    pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau jasa

    yang telah dipesannya pada penjual tersebut.

    Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik,

    berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran

    suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja

    pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui

    internet yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud

    harus menggunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga

    produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pertransferan

    dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).

    Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik,

    dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk

    menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat

    melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan

    penjualan yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini

    terdapat kerja sama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam

    menjalankan usaha melalui internet ini. Transaksi jual beli secara elektronik

    merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan mamadukan jaringan

    (network) dari sistem yang informasi berbasis computer dengan sistem

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 52

    komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.

    Terkait dengan hal tersebut di atas Pasal 12 Ayat (3) Undang-undang ITE

    menjelaskan bahwa “Setiap Orang yang Melakukan Pelanggaran Ketentuan

    Sebagaimana yang dimaksud Pada Ayat 1 bertanggung jawab atas segala

    kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul”. Artinya para pihak bertanggung

    jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan

    terhadap pemberian pengamanan dalam perjanjian jual beli online.

    1.2.4. Jenis–Jenis Transaksi Jual Beli Online (E-Commerce)

    Secara umum, ada tiga tipe penjualan melalui internet. Yaitu :

    1. Pertama, situs Toko Online. Situs ini menyediakan multiproduk

    layaknya supermarket di dunia maya. Masuk dalam kategori ini, antara

    lain, Lazada.com, Blibli.com, dll atau bisa juga hanya menjual produk

    spesialis seperti paket wisata, tiket, dll.

    2. Kedua, situs Pasar Online. Situs ini memungkinkan penjual dan

    pembeli bertemu di internet. Yang masuk kategori situs pasar online,

    antara lain, kaskus.com, OLX.co.id, berniaga.com, dll.

    3. Ketiga, Pasar Media Sosial. Jual beli ini memanfaatkan media sosial

    seperti Facebook, Twitter, dll sebagai sarana. Bbm Group juga

    termasuk kategori ini.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 53

    1.3. Tinjauan Umum Tentang BPSK

    2.3.1. Pengertian BPSK

    UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen,

    yaitu BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang

    bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

    konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus

    sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.26

    Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan,

    terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen,

    karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, biasanya

    nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan

    karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan

    dituntut.27

    BPSK adalah lembaga yang memeriksa dan memutus sengketa konsumen,

    yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu, BPSK ini dapat

    disebut sebagai peradilan kuasi.

    26Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari

    Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cet. II, Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal. 74. 27Indah Sukmaningsih, “Harapan Segar Dari Kehadiran UUPK”, Kompas, 20 April 2000

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 54

    Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan

    masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen

    yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.28

    Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen

    dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian

    sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja,

    dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian

    perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan

    yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa

    diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan

    sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.29 Jika putusan BPSK dapat

    diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat,

    sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Keberadaan BPSK juga diharapkan

    akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.

    2.3.2. Fungsi BPSK

    BPSK adalah badan publik yang berfungsi sebagai instrumen hukum

    untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen

    di luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi,

    mediasi dan arbitrase.

    28 Sularsi, 2001, “Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam UUPK” dalam Lika Liku

    Perjalanan UUPK, disunting oleh Arimbi, Penerbit:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, hal. 86-87.

    29 Yusuf Shofie dan Somi Awan, 2004, “Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap

    Berbagai Persoalan Mendasar BPSK” Piramedia, Jakarta, hal. 17.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 55

    Keberadaan BPSK merupakan salah satu amanat UUPK yang

    diaktualisasikan melalui Keputusan Presiden. BPSK Kota Denpasar dibentuk

    berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pembentukan

    Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Pekalongan,

    Kota Parepare, Kota Pekanbaru, Kota Denpasar, Kota Batam, Kabupaten Aceh

    Utara, dan Kabupaten Serdang Badagai.

    2.3.3. Kewenangan BPSK

    Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK meliputi :

    a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan

    cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi,

    b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen,

    c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku,

    d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

    dalam undang-undang ini,

    e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen

    tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen,

    f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen,

    g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

    terhadap perlindungan konsumen,

    h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

    dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini,

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22

  • 56

    i. Meminta bantuan penyidik untuk mengahadirkan pelaku usaha saksi, saksi

    ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,

    yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK,

    j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

    lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

    k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

    konsumen,

    l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

    pelanggaran terhadap perlindungan konsumen,

    m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

    ketentuan undang-undang ini.

    Melihat pada tugas dan wewenang BPSK sebagaimana disebutkan di

    atas, dapat dikatakan bahwa BPSK ini lebih luas dari sebuah badan peradilan

    perdata yang sampai masuk pada tugas dan wewenang Badan Perlindungan

    Konsumen Nasional (BPKN), yang dapat melakukan tugas di bidang

    pengawasan dan konsultasi. Sebaiknya tugas dan wewenang ini dipersempit

    sampai batas-batas penyelesaian sengketa saja sehingga BPSK ini dapat

    mencapai tujuannya.

    http://www.pdfcomplete.com/cms/hppl/tabid/108/Default.aspx?r=q8b3uige22