bab iii konsep ali syari’ati tentang...

37
29 BAB III KONSEP ALI SYARI’ATI TENTANG RAUSYANFIKR A. Latar Belakang Kehidupan Ali Syari’ati Ali Syari’ati adalah seorang intelek, ideolog dan pemikir revolusi Iran terkemuka. Dia lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Desanya di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran, 1 dan meninggal 19 Juni 1977 di South Hamton, Inggris. 2 Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi’ Syari’ati, seorang ulama terkenal di Iran adalah gurunya yang pertama, yang mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil. Tahun-tahun pembentukan pribadi dalam kehidupan Syari’ati yang dijalaninya bersama dengan ayahnya, meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya. Sebagaimana diungkapkan oleh dia sendiri: Bapak saya menciptakan dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang pertama-tama mengajarkanku seni berfikir dan seni menjadi manusia … Dialah yang memperkenalkanku kepada sahabatnya, yaitu buku-bukunya, mereka adalah teman-temanku yang tetap dan akrab sejak tahun-tahun permulaanku belajar. Aku menjadi besar dan matang dalam perpustakaannya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang harus ku bayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remaja secara mudah spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Taramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu, bagian ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh. 3 Sungguh, yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. 1 Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama; Pandangan Ali Syari’ati, dalam M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987), hlm. 167. 2 Ali Rahmena, “Warisan Politik Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 12. 3 Ali Syari’ati, “Menjawab Beberapa Soal”, dalam John L Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 237.

Upload: doanmien

Post on 26-Apr-2018

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

29

BAB III

KONSEP ALI SYARI’ATI TENTANG RAUSYANFIKR

A. Latar Belakang Kehidupan Ali Syari’ati

Ali Syari’ati adalah seorang intelek, ideolog dan pemikir revolusi Iran

terkemuka. Dia lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota

Masyhad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Desanya di tepi gurun pasir

Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran,1 dan meninggal 19 Juni 1977 di

South Hamton, Inggris.2

Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi’ Syari’ati,

seorang ulama terkenal di Iran adalah gurunya yang pertama, yang

mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil. Tahun-tahun pembentukan

pribadi dalam kehidupan Syari’ati yang dijalaninya bersama dengan ayahnya,

meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya. Sebagaimana diungkapkan

oleh dia sendiri:

Bapak saya menciptakan dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang pertama-tama mengajarkanku seni berfikir dan seni menjadi manusia … Dialah yang memperkenalkanku kepada sahabatnya, yaitu buku-bukunya, mereka adalah teman-temanku yang tetap dan akrab sejak tahun-tahun permulaanku belajar. Aku menjadi besar dan matang dalam perpustakaannya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang harus ku bayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remaja secara mudah spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Taramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu, bagian ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh.3

Sungguh, yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri,

melainkan bagaimana melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah

sejak awal dia sudah bergulat untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya.

1 Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama; Pandangan Ali Syari’ati, dalam M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987), hlm. 167.

2 Ali Rahmena, “Warisan Politik Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 12.

3 Ali Syari’ati, “Menjawab Beberapa Soal”, dalam John L Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 237.

30

Selain itu, dia pun menyadari benar betapa berat amanah yang diwarisi dari

leluhurnya. Dia ingin memikul amanah itu sebaik-baiknya sampai ke tempat

tujuan, sehingga sekejap dia tidak pernah menyia-nyiakan atau membiarkan

waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil.4

Di bandingkan dengan teman-teman seusianya, Syari’ati memang beda.

Di Sekolah Dasar, dia telah membaca buku Les Mise’ables karya Victor Hugo

yang diterjemahkan ke bahasa Persia, buku tentang vitamin dan sejarah

sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad

Aram. Dia juga mempelajari karya Saddeq-e Hedayat, Novelis Iran beraliran

nihilis, Nima Yousheej, bapak syair modern Iran, Akhavan Saless, penyair

kontemporer Iran, dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgia yang memadukan

mistisme dengan simbolisme.5 Sementara itu, karya Arthur Schopenhauer dan

Tranz Kafka juga dibacanya. Sehingga tidak heran bila Syari’ati memiliki dua

perilaku yang berbeda. Dia pendiam, tidak mau diatur tapi rajin. Dia

dipandang sebagai penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar, karena

itu dia tampak tidak bermasyarakat. Menurut teman sekelasnya, dia tidak

banyak bergaul dengan teman sekelas, tidak bermain sepak bola, olah raga

yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar

jendela, tidak memperhatikan dunia sekelilingnya.

Namun bila suasana hatinya sedang baik, Syari’ati menjadi ramah dan

akrab, memperhatikan kepentingan orang lain dan menyenangkan. Dia

menjadi anak bandel yang ikut kelompok pelajar di kelas yang mengolok-olok

guru.6

Secara jujur, Syari’ati sendiri mengakui, bahwa ia mengalami krisis

kepribadian antara tahun 1946-1950, ini berarti antara usia 13-17 tahun.

Kesejukan, ketenangan, dan keyakinan akan eksistensi Tuhan yang

dirasakannya berubah menjadi kegelisahan karena keraguan. Baginya, gagasan

4 Ali Syari’ati, On The Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Press, 1979 ), hlm. 13. 5 Ali Rahmena, op. cit., hlm. xiv. Lihat pula, Ahmed Nurullah, “Genesis: Dari Dentuman

Besar ke Revolusi”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 233.

6 Ibid.

31

tentang eksistensi tanpa Tuhan sempat dirasa menakjubkan, sepi dan asing.

Hidup dirasakannya suram, kering dan hampa. Ia merasa jauh terseret ke jalan

buntu filosofis yang jalan keluarnya ia akui hanya bisa ditembus dengan cara

bunuh diri atau gila. Bahkan pada suatu malam di musim dingin, ia berpikir-

pikir untuk bunuh diri di estakhr-e koohsangi yang romantis, di Masyhad.7

Maka, Pabila kau hidup hanya untuk dirimu sendiri Pabila kau ingin ada hanya untuk dirimu sendiri, Hanya sendiri Pabila kau hanya mau bergandengan dengan nol-nol Hidupmu akan berputar kembali menuju dirimu Sendiri persis sebuah nol8

Ali Syari’ati rupanya tidak ingin terus “berputar-putar dan

menggelinding seperti nol”. Ia mungkin tidak mau mengikuti jejak

Schopenhaner, Saddeq-e Hedayat, apalagi Sartre yang dikenalnya kemudian.

Maka jika filsafat Barat sempat membuatnya linglung, kemudian ia merasa

menemukan kesejukan, makna dan ketenangan hidup lewat Masnawi-nya

Maulawi (Jalaluddin Rumi), gudang spiritual filsafat Timur. Baginya kata-kata

dan pemikiran Maulawi dirasakan menyejukkan dan bahkan ia akui sebagai

penyelamat dari kehancuran spiritual. Mistisisme Maulawi dirasa

meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan pada diri Syari’ati muda.

Kemudian Syari’ati menyebutkan mistisisme, bersama persamaan dan

kemerdekaan, sebagai tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia

ideal.9

B. Perjalanan Intelektual dan Sosiohistoris Ali Syari’ati

Sebagaimana anak-anak dan bocah sebayanya, Syari’ati melalui

pendidikan dasar dan menengahnya dengan biasa-biasa saja. Pendidikan dasar

dan menengahnya diperolehnya di Ibn-e Yasin Primary School dan Firdowsi

7 Ahmad Amrullah, Karangka Masalah Perguruan Tinggi Islam, Sebuah Ikhtiar Mencari

Pula Alternatif Telaah Kasus IAIN dalam Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm. 234.

8 Ali Syari’ati, Islam Madzab dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 144. 9 Ahmad Amrullah, op. cit. hlm. 235.

32

Secondary School di Masyhad.10 Di sekolah, dia juga melalui ujian-ujian dan

naik kelas sebagaimana layaknya murid-murid yang lain. Di tengah-tengah

pendidikan seperti itu, Syari’ati dengan tekun belajar bahasa Arab dan ilmu-

ilmu keagamaan. Sesudah menyelesaikan sekolah menengahnya, dia

melanjutkan ke Akademi Pendidikan Guru, dan itu dilakukannya karena

minatnya yang besar terhadap seni mengajar. Sejak saat itu, Ali Syari’ati

memulai karirnya dengan menjadi seorang penulis, buku karangannya semisal

al-Madzhab al-Wasith dalam filsafat sejarah dan penguasannya yang baik

terhadap bahasa Arab dan Perancis telah memungkinkan dirinya

menerjemahkan beberapa kitab dari kedua bahasa tersebut ke bahasa Persia,

antara lain Abu Dzar al-Ghifari (dari bahasa Arab) dan al-Du’a (dari bahasa

Perancis), di samping memberikan kata pengantar yang amat berbobot untuk

dua buku terjemahnya tersebut, yang di dalamnya dia memaparkan

pemikirannya yang objektif.11

Selain menulis, Syari’ati mulai pula menyampaikan berbagai ceramah

dan kuliah di Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah di Masyhad yang

didirikan oleh ayahnya.

Markaz Nasyir al-Haqaiq al-Islamiyyah di Masyhad mempunyai andil

besar dalam berbagai aktivitas yang terjadi di samping dekade tiga puluhan,

dan berpengaruh terhadap kehidupan para praktisi dan kaum terpelajar.

Lembaga ini memainkan peran yang sangat besar dalam menyebarkan

pemikiran-pemikiran Syari’ati, dan sebaliknya, Syari’ati pun memberikan

saham yang sama besarnya pula dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas

lembaga ini, melainkan kuliah-kuliah dan pidato ilmiahnya, menjawab

berbagai persoalan dan memimpin berbagai pertemuan yang diselenggarakan

dalam berbagai kesempatan di lembaga ini.12 Pada waktu yang sama, dia

10 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), hlm. 106. 11 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, “Sepintas tentang Ali Syari’ati”, terj. Afif Muhammad,

Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 17. 12 Ibid.

33

terlibat dalam urusan politik, ia menggabungkan diri dengan kelompok oposisi

pro Mosaddeq.13

Ketika berumur 23 tahun, dia masuk Fakultas Sastra Universitas

Masyhad. Di sinilah Syari’ati untuk pertama kali masuk penjara selama 8

bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim, di bawah pimpinan

Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) Cabang Masyhad.14

Setelah lulus dari Universitas Masyhad15 ia melanjutkan pendidikan

tingginya ke Universitas Sorbonne, Perancis atas beasiswa pemerintah Iran. Di

Sorbone inilah, ia menjalin hubungan secara pribadi dengan para intelektual

terkemuka, seperti Louis Massignon, seorang Islamolog Perancis beragama

Katholik, Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialism “Che” Guevera, dan

Jacques Bergue. Dia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus.16

Ali Syari’ati sangat tertarik untuk mempelajari studi keislaman dan

sosiologi. Aliran sosiologi Prancis yang analitis dan kritis rupanya sangat

berkesan padanya, namun meskipun pernah tertarik oleh sosiologi semacam

ini, pandangan sosiologi Syari’ati adalah gabungan antara ide dan aksi.

Pendekatan positivis terhadap masyarakat yang menganggap sosiologi sebagai

ilmu mutlak, maupun pendekatan Marxis murni baginya tidaklah

menyakinkan. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu memahami atau

menganalisa kenyataan-kenyataan di dunia non industri, yang sering disebut

sebagai dunia ketiga. Karena itu, Syari’ati terus mencari sosiologi yang bisa

menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang

berada di bawah tindakan imperialisme, yang akhirnya disetujui oleh kaum

komunis Eropa, dalam perjuangan mereka merebut kembali martabat dan

kemerdekaan.17

13 Ali Rahnema, op. cit.,hlm. 4. 14 Ibid., hlm. 5. 15 Ada beberapa riwayat yang berbeda tentang kapan Syari’ati lulus sebagai sarjana. Dari

satu riwayat, Syari’ati dikabarkan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1959. Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., hlm. 106.

16 Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 8. 17 Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, (Jakarta: al-

Huda, 2001), hlm. 21.

34

George Gurvich, profesor sosiologi Universitas Sorbonne sangat

berpengaruh pada diri Syari’ati, Syari’ati tidak terpengaruh hanya dari segi

intelektualitas, tetapi juga pengorbanannya melawan ketidakadilan. Gurvich

adalah seorang komunis yang membelot melawan kediktatoran Stali, fasisme

dan penjajahan Perancis atas Aljazair. Kombinasi sosok intelektual dan aktivis

yang terjun langsung ke lapangan melawan ketidakadilan ini sedikit banyak

membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dari

dia pula, Syari’ati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologi Marx,

khususnya analisis tentang kelas sosial dan “truisme” (Itsar). Dari Jaegues

Berque, Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam, sedangkan dengan

Fanon, ia sering berkorespondensi dan saling bertukar ide tentang peran Islam

seputar tema anti kolonialisme.18

Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi oleh Massignon, George

Gurvich, Jean Paul Sartre, dan Franz Fanon. Masa tinggal Syari’ati di Perancis

bersamaan dengan bergolaknya revolusi di Aljazair yang ikut menyibukkan

berbagai kekuatan politik di Perancis. Bahkan para pemikir dan para sosiolog

pun dilanda perpecahan pendapat, ada yang memandangnya positif dan ada

pula yang negatif terhadap nasib bangsa muslim yang selama satu abad penuh

berada di bawah. Syari’ati pun menggali “kapak perang”nya dan menyatakan

hidup atau mati dalam pengertian yang jelas kepada Perancis.19

Syari’ati menaruh perhatian yang sangat tinggi terhadap masalah

Aljazair, sebab dia merasakan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

perjuangan kaum muslim yang ada di negeri itu. Bahkan dia melihat dirinya

berada bersama nasib yang saat itu sedang diperjuangkan rakyat Aljazair.

Masalah penting yang harus dipecahkan di sini adalah persoalan keadilan

terhadap tuntutan kaum muslim, baik yang berada di wilayah Arab maupun

yang berada di negeri-negeri lainnya. Mereka mendukung perjuangan tersebut

sebagai masalah mereka pula. Melalui komando Panglima Tertinggi Rakyat

Aljazair, beribu-ribu mahasiswa muslim meninggalkan bangku kuliah mereka,

18 Ekky Malaky, Ali Syari’ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 16.

19 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 20.

35

yang sebagian di antaranya adalah murid-murid Syari’ati yang duduk di

semester akhir di Fakultas Teknik dan Kedokteran. Mereka bergabung dengan

para pejuang Aljazair dan memikul tugas dan tanggung jawab yang beraneka

macam dalam upaya melawan musuh dan membebaskan negeri mereka.20

Aktivitas-aktivitas teoritis yang disaksikan oleh negeri Aljazair di

samping pengorbanan praktis, dibahas berbagai artikel yang dipublikasikan

dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Menarik sekali ialah tulisan-tulisan

dan buku-buku Franz Fanon. Sebagai warga negara Aljazair asal Martinique,

sejak awal dia telah turut aktif dalam revolusi Aljazair dan telah menulis

berbagai buku, seperti “Yang Terkutuk di Bumi” dan “Tahun Kelima Revolusi

Aljazair”.

Fanon ditemukan dan ditampilkan di kalangan cendekiawan Eropa oleh

Jean Paul Sartre. Tetapi Syari’atilah sebenarnya yang pertama kali membahas

karya-karyanya dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1962 untuk suatu

jurnal sosio-politik yang diterbitkan oleh mahasiswa-mahasiswa Iran di Eropa.

Menurut pendapat Syari’ati, bahwa buku “Yang Terkutuk di Bumi”

mengandung analisis sosiologis dan psikologis mendalam tentang revolusi

Aljazair. Buku ini diakui sebagai bingkisan intelektual yang berharga bagi

mereka yang sedang memperjuangkan perubahan di Iran. Dengan menjelaskan

teori-teori Fanon, yang tadinya hampir tidak dikenal sama sekali serta dengan

menterjemahkan dan menerbitkan beberapa pokok pikirannya, Syari’ati telah

mengumandangkan ide-ide Fanon di kalangan rakyat Iran.21

Ide-ide Fanon telah disajikan secara tepat oleh Syari’ati yang bersimpati

penuh kepadanya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapat-pendapatnya.

Akibatnya, Fanon jadi terkenal dan dihormati di Iran, sehingga tidak sedikit

cendekiawan yang mempelajari dan menterjemahkan karyanya.

Syari’ati juga memperkenalkan ide-ide para penulis revolusioner Afrika

lainnya, termasuk Umar Uzgan, yang menulis “Perjuangan Utama” (Afdal el-

Jihad), maupun beberapa penulis dan penyair non-muslim lain, karena dia

20 Ibid., hlm. 21. 21 Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 22.

36

yakin bahwa ide-ide yang sedang berkembang diberbagai gerakan rakyat

maupun gerakan Islamiyah di Afrika bisa mengilhami suatu “dinamisme

intelektual” baru bagi perjuangan sosial dan politik muslim di Iran. Dia selalu

menyarankan kepada teman-teman maupun murid-muridnya agar mereka

memetik manfaat intelektual dari setiap gerakan atau perjuangan Islamiyah

yang murni di zamannya.22

Dalam kajiannya terhadap pemikiran para ahli dan pakar asing di Eropa,

dan hubungan pribadinya dengan sebagian di antara mereka. Syari’ati sama

sekali tidak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran negatif mereka

(sebagaimana yang dialami oleh sebagian pemikir), bahkan dia berhasil

melahirkan pemikiran baru yang konstruktif dan orisinil yang kemudian

disosialisasikan kepada orang banyak.

Syari’ati juga sering mengamati dan bergabung dengan Gerakan

Pembebasan al-Jazair (The Algerian Liberation Movement). Ia bahkan

mengorganisir sejumlah demonstrasi untuk mendukung pembebasan itu. Salah

satu tulisannya, What Should We Learn Upon dimuat di sebuah majalah

Perancis.Syari’ati juga berpartisipasi aktif dalam Gerakan Nasional Anti Syah

di Eropa, yaitu Gerakan Pembebasan Iran (Liberation Movement of Iran) dan

kemudian berkenalan dengan Ibrahim Yazdi, Shadiq Quthzadah, Abu al-

Hasan Bani Shadr dan Mustafa Chamran, yang semuanya menjadi orang

penting di Iran pada masa awal pemerintahan pasca revolusi Iran 1979.23

Dalam pergerakan di Perancis itu, Syari’ati menjadi redaktur jurnal

Iran-e Azad (free Iran) yang baru didirikan organisasi itu. Dia juga menulis di

jurnal Nameh-e Par, dan menyumbangkan revolusioner al-Jazair, al-Mujahid.

Karena peduli dengan gerakan revolusi dunia ketiga itulah, Syari’ati akrab

dengan pemikiran, seperti Franz Fanon (wafat 1961), Aime Cesaire dan

Amilcar Cabral (wafat 1973).

Bahkan dia sempat ditahan karena memberikan kuliah kepada para

mahasiswa revolusioner Kongo. Satu sumber menyatakan bahwa, Syari’ati

22 Ali Syari’ati, On The Sociology …, op. cit., hlm. 23. 23 Ekky Malaky, op. cit., hlm. 18.

37

ditahan di Paris karena aktivitasnya dalam gerakan pembebasan Aljazair dan

dikirim ke City Prison.24

Keberadaan Syari’ati di Paris bersamaan pula dengan masa-masa

munculnya kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap kemajuan

gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Tidak memakan waktu lama,

muncullah gelombang gerakan kebebasan yang melanda Iran. Dan

penguasapun segera melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-

tokoh gerakan kebebasan negeri ini. Sebagian di antara mereka ditembak mati,

dan sebagian lagi dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa secara keji, yang

ditujukan pula untuk menghancurkan gerakan nasionalis dan keagamaan,

khususnya para tokoh gerakan kebebasan Iran.25

Dalam gerakan inilah, Syari’ati termasuk dan melibatkan diri, tanpa

henti dia menulis dan memproklamirkan apa yang diyakininya sebagai suatu

yang hak serta menganalisa gerakan Islamiyah yang telah terbentuk di bawah

pimpinan Ayatullah Khomeini. Sementara itu, sebagian besar penerbitan

berbahasa Persia di luar negeri selalu saja bernada non agama, bahkan anti

agama, sekalipun gerakan di dalam negeri Iran secara fundamental adalah

Islamiyah dan seluruh asasnya adalah ideologi keagamaan progresif. Para

intelektual Iran di luar negeri cenderung mengabaikan kenyataan sosial dalam

negeri Iran serta hakikat perjuangan rakyatnya, karena maksud buruk,

persekongkolan diam-diam ataupun kebodohan mereka.26

Setelah memperoleh gelar doktor, pada 196427 ia kembali ke Iran.

Dalam perjalanan pulang ke Iran, ia ditangkap di perbatasan lalu dijebloskan

ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis ia

telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Setelah dibebaskan pada tahun

1965 ia mulai mengajar di Masyhad University. Sebagai seorang pakar

24 Ibid. 19 25 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 23. 26 Ibid., hlm. 24. 27 Gelar doktornya masih menimbulkan pertanyaan, menurut pendapat umum ia

memperoleh dua gelar doktor: dalam sosiologi dan filsafat sejarah Islam. Namun, disertasinya yang membahas filologi Persia abad pertengahan menarik untuk mempertimbangkan gelar doktornya.

38

sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan28 dan

mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu

singkat ia meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan

sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa

untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.29

Pemecatan Syari’ati dari universitas Masyhad tidak menghentikan

kegiatan-kegiatannya. Bahkan, kejadian itu memberinya kesempatan untuk

memasuki panggung baru sebagai pemikir dan aktivis revolusioner. Ia

kemudian pindah ke Teheran dan menjadi anggota dewan pengurus

Husayniyah Irsyad.30 Dengan menjadikan Husayniyah Irsyad sebagai lembaga

pengetahuan, penelitian dan dakwah Islam yang besar, Syari’ati berusaha

mempersiapkan generasi muda Iran untuk pergolakan revolusioner. Ia

mengajari mereka, bahwa Islam bukan hanya susunan kepercayaan yang

religius, melainkan pula sebuah ideologi revolusioner yang lain bisa

menentang segala bentuk pelanggaran dan gangguan Barat terhadap Iran.31

Syari’ati, dalam artian sepenuhnya adalah seorang penganut tauhid,

seorang intelektual yang memiliki rasa tanggung jawab sosial yang mendalam.

Tidak pernah sekejappun dia mengelakkan tanggung jawab. Dia telah

membuktikan, sungguhpun kebodohan begitu meraja lela, bagaimana

mengabdikan seluruh kehidupan, penelaahan, karya-karyanya dan bahkan

keluarganya, bagi cita-cita dan penyampaian dakwahnya. Dia mencurahkan

seluruh waktunya untuk jihad, perjuangan dan bimbingan, dengan harapan

agar generasi muda yang belum pandai itu dapat terbebas dari kebimbangan

dan kegelapan yang selama ini membelit mereka.32

28 Terutama dalam bentuk ceramah dan kemudian ditranskrip dan diedarkan kepada para

mahasiswa. 29 Ali Syari’ati, Makna Haji, (Jakarta: Yayasan Fatimah, 2002), hlm. 231-232. 30 Semacam pesantren atau Islamic Centre. Lembaga ini didirikan atas prakarsa Murtadha

Muthahari pada tahun 1964 dan atas biaya Humamah Humayun. Lihat, M. Deden Ridwan, 1999, hlm. 79.

31 Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami Kemelut Tokoh Pemberontak”, dalam M, Deden Ridwan (ed..), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1994), hlm. 82-83.

32 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 26.

39

Tahun 1969 adalah masa-masanya yang paling produktif. Salah satu

kuliahya di bulan Oktober 1968, diterbitkan dengan judul Ravisy-I Syinakh-I33

(Approaches to the understanding of Islam, Cara Memahami Islam). Pada

tahun 1969 ini juga, otobiografinya berjudul Kavir (Padang Garam)

diterbitkan.

Sejarah telah mencatat bahwa perjalanan hidup Ali Syari’ati

ditumpahkan dalam perjuangan menegakkan keadilan dan nilai-nilai

kemanusiaan serta melawan segala bentuk eksploitasi dan penindasan dengan

menandaskan Islam sebagai basis ideologinya. Perjuangan itu tidak hanya

diwujudkan dalam dataran intelektual, namun juga melalui perjuangan

praksis.34 Ali Syari’ati hidup saat Iran digoncang oleh persoalan yang sangat

rumit, Iran di bawah pemerintahan Syah Pahlavi telah menggerogoti budaya

religius Islam yang mestinya punya tanggung jawab moral terhadap kondisi

sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat. Upaya meniadakan daya

hidup ini secara lebih khusus ditujukan kepada generasi muda. Para pemuda

didorong ke jurang pengasingan diri (self alienation). Hal ini mengakibatkan

peranan mereka dalam masyarakat sangat dangkal dan adakalanya

menyimpang.35

Sementara itu para cendekiawan Iran yang berpendidikan sekuler, yang

seharusnya dapat memberikan tuntutan praktis yang diperlukan oleh pemuda

Iran, malah berpuas diri, egosentris dan asyik dengan materialisme ketimbang

menanggapi kesulitan yang ada. Mereka enggan bergaul dengan pemuda dan

rakyat Iran yang dianggapnya bertradisi primitif. Umumnya mereka tidak

menghargai nilai-nilai tradisi mereka sendiri.36

33 Terdapat dalam kumpulan tulisan on the Sociology of Islam. 34 Ada tiga aspek kegiatan Syari’ati waktu itu yang membedakannya dri orang lain, yaitu

perjuangan intelektual, perjuangan praktis dan perjuangan untuk menanamkan sistem pendidikan yang benar. Ketiga bentuk kegiatan tersebut berorientasi kepada rakyat. Karena itulah ia tidak membiarkan dirinya terlibat total dalam pergolakan kegiatan politik mahasiswa. Karena dia mendambakan sesuatu yang lebih langgeng serta berharga untuk rakyatnya. Lihat, “Introduction: A Bibliograpical Sketch”, dalam Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, (Berkeley: Mizan Press, 1979), hlm. 24.

35 Abdul Aziz Sechedina, “Ali Syari’ati Ideolog Revolusi Iran”, dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 234.

36 Ibid., hlm. 235.

40

Kondisi itulah yang mengakibatkan Syari’ati tidak bisa tidur nyenyak

dan selalu ingin melakukan perubahan. Belum lagi rakyat Iran yang saat itu

dalam cengkraman Barat yang hegemonik, baik dalam wilayah politik,

ekonomi, pendidikan dan budaya. Pada saat yang bersamaan, mereka harus

hidup di bawah pemerintahan Syah Pahlavi yang sentralistik, diktator,

menindas serta semua tatanan kehidupan menjiplak gaya Barat.37

Ketika Syah Iran hendak mengadakan pesta megah 2500 kerajaan

Persia, dalam rangka tahun baru Iran (Naruz), Syari’ati bercerita tentang 5000

tahun penindasan di Iran. Pada 13 November 1971, ia melancarkan pidatonya

yang terkenal “Tanggung Jawab Seorang Syi’ah”, yang berisi agitasi militan

dan revolusioner untuk mengajak mahasiswa-mahasiswanya meruntuhkan

rezim Syah.

Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama resmi yang

disebutnya sebagai “Borjuasi Kecil” bahkan lebih pedas ia mencemooh

mereka “sebagai anjing dan keledai”38 menurutnya, banyak ulama yang

berpandangan sangat picik yang hanya bisa mengulang-ulang doktrin Fiqh

secara bodoh.39 Karena kekritisannya, Syari’ati akhirnya dianggap pemerintah

Syah sebagai “srigala ganas” yang harus disingkirkan dan dimusnahkan. Ia

pun difitnah sebagai seorang “marxisme” dan kemudian dipenjarakan pada

tahun 1973.40

Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia

internasional41, pada 20 Maret 1975, terpaksa Syari’ati dibebaskan. Walaupun

dibebaskan, ia tetap diawasi dengan ketat. Menyadari dirinya diawasi dan

dibatasi serta tidak bisa berkembang di Iran, Syari’ati pergi ke London,

37 Dalam pandangan Syari’ati, bahwa rakyat dunia ketiga (terjajah) selalu diremehkan negara Barat, dilempar ke suatu ras dan kebudayaan yang inferior. Rakyat terjajah seringkali terpaksa meniru-niru sopan, santun, cara hidup dan kebiasaan-kebiasaan Barat, sehingga nampak lebih mirip dengan anak-anaknya dari pada menjadi bangsa sendiri. Lihat, Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 168.

38 Ahmad Amrullah, op. cit., hlm. 237. 39 Azyumardi Azra, “Akar-akar Ideologi Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”,

dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 65. 40 John L Esposito, Islam dan Negera; Dinamika Kebangkitan, (Bandung: Mizan, 1996),

hlm. 119. 41 Dari berbagai intelektual, antara lain di Persia dan Aljazair, bahkan Menlu Aljazair

Abdul Aziz Bouteflika pada pertemuan OPEC di Aljazair meminta pembebasan Syari’ati.

41

Inggris. Tetapi pada 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di South

Hamton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit

jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia

Iran.42

Syari’ati lalu dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan

makam Zainab, cucu Nabi dan Saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin

Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr

pemimpin Syi’ah Lebanon.

Kematiannya menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak

selama berlangsungnya revolusi Iran, Pebruari 1979. saat itu, fotonya

mendominasi jalan-jalan di Teheran, berdampingan dengan Ayatullah

Khomeini.43

C. Karya dan Ide Ali Syari’ati

Banyak karya dan pemikiran yang telah Syari’ati wariskan kepada

generasi muda. Karya dan pemikiran Syari’ati itu berupa rekaman ceramah-

ceramah, catatan-catatan kuliah, buku-buku serta berbagai artikel yang telah

berkali-kali dicetak ulang atau diperbanyak dalam edisi sepuluh ribuan kopi

atau lebih. Karya dan pemikirannya sangat menarik perhatian angkatan muda

Iran dan sangat mendalam pengaruhnya, sehingga tidaklah mudah untuk

menghapusnya begitu saja dari ingatan dan hati mereka. Semua tulisan dan

pemikiran Syari’ati bersumber dari kejujuran dan keimanan terhadap apa yang

dipandangnya bisa diterima oleh masyarakat banyak.

Syari’ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari tulisan yang sengaja

dibuat untuk sebuah buku utuh, bisa disebut di antaranya Kavir44 (The Salt

Desert) dan Hajj. Karena jarang sekali menulis buku utuh, maka tidak heran

42 Ali Rahmena, “Warisan Politik ..., op. cit., hlm. Xii. 43 Riza Sih Budi, “Posisi Ali Syari’ati dalam Revolusi Islam Iran” dalam Melawan

Hegemoni Barat; Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Bandung: Lentera, t.th.), hlm. 105.

44 Semacam otobiografinya, sebagian petikannya bisa dibaca di On the Sociology of Islam.

42

bila kita temui buku Syari’ati dengan judul yang berbeda, tetapi sesungguhnya

memuat tulisan-tulisan yang sama.

Di Husayniah Irshad, Syari’ati memberikan banyak kuliah. Kuliah-

kuliahnya yang bertema “Sejarah Islam” dikumpulkan dan diterbitkan dalam

judul Islam Syinasi (Islamologi). Sedangkan kuliah yang bertema Peradaban

Dunia diterbitkan dengan judul Tarikh-e Tamaddun (The History of

Civilization).

Buku lainnya yang menarik adalah Hajj. Syari’ati menafsirkan haji

secara filosofis dan mendalam berbeda dengan penafsiran para ulama

konvensional. Baginya, haji adalah perjalanan eksistensial evolusi manusia

menuju Allah, sebuah proses manusia untuk menjadi (becoming) “manusia

sempurna”, sebuah contoh simbolis dari filsafat penciptaan Adam. Haji

mengandung makna “penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam dan umat”.

Dalam kata pengantarnya, Steven Benson menyebut buku ini sebagai a

mystical handbook for revolutionaries dan juga hasil kombinasi mistisisme

dengan kesadaran sosial dan kebebasan individu yang membuat seorang

muslim mampu secara penuh berpartisipasi dalam dunia modern.45

Pemikiran Syari’ati yang sarat dengan filsafat dan etika adalah Man and

Islam dan Marxim and Other Western Fallacies. Kedua buku ini kurang lebih

adalah representatif dari sistem pemikiran Syari’ati yang berkaitan dengan

filsafat dan etika.

Karya Syari’ati yang merupakan catatan-catatan kuliah di antaranya

Husain, Pewaris Adam; Ali, Ajaran Tauhid dan Keadilan; Menanti Agama

Protes; Ummah dan Imamah; Syi’ah Alawi dan Syi’ah Safawi; Abu Dzar al-

Ghoffari; Salman Syahid; Pertanggungjawaban Penganut Syi’ah. Tulisan

Syari’ati di atas mengumandangkan pembelaannya terhadap kebenaran

Islam.46

45 Mun’im A Sirry, Drama Kolosal Haji: Membangun Pandangan dunia Monoteistik,

dalam “Melawan Hegemoni” op. cit., hlm. 162. 46 Islam yang dimaksud Ali Syari’ati tentunya Islamnya Abu Dzar Islam yang

revolusioner yang mengajarkan tanggung jawab dan kesadaran.

43

Karya pikir Syari’ati lainnya adalah tentang sosiologi syirik yang

merupakan analisa realitas dan kritis tentang masyarakat dewasa ini. Dalam

hubungan ini dia membahas peranan berbagai kelompok dan strata

masyarakat, terutama golongan intelektual, tentang aneka ideologi dan aliran

pemikiran di dunia dan tentang peran berbagai peradaban serta kebudayaan,

yang kesemuanya tidak didasarkan atas tauhid. Menurut pendapatnya,

manusia dewasa ini, tanpa tauhid pada hakikatnya mengalami alinasi dan

bahwa ilmunya tanpa hati nurani, menjadi semacam neo-skolastisisme,

sedangkan mereka berisikap sok dan pura-pura menggeser kedudukan

intelektual sejati. Ditinjau dari sudut pandang sosiologis, boleh dikatakan

tidak banyak sarjana Iran yang telah meneliti kenyataan masyarakat Islam

dewasa ini dengan kaca mata realisme yang mendalam seperti halnya

Syari’ati. Bagi Syari’ati, bahwa yang terpenting bukanlah konsep-konsep yang

abstrak, melainkan realitas yang ada, nilai-nilai, cara-cara tingkah laku serta

struktur-struktur ide dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Islam.47

Sedangkan karya Syari’ati yang berbentuk tulisan yang lain adalah al-

‘Ilm wa al-Madaris al-Jadidah (Ilmu Pengetahuan dan Isme-isme Modern),

al-Insan al-Gharib ‘an Nafsih (Manusia yang Tidak Mengenal Dirinya

Sendiri), ‘Ilm al-Ijtima’ Hawl al-Syirik (Sosiologi Kemusyrikan), al-

Mutsaqqah wa Mas’uliyyatuh fi al-Mujtama’ (Tanggung Jawab Kaum

Cendekiawan di Masyarakat), al-Wujudiyyah wa al-Firaqh al-Fikri

(Eksistensialisme dan Kekosongan Pemikiran).48

Syari’ati memang mempunyai semangat intelektual yang tinggi. Ketika

di Paris maupun di Masyhad, ia banyak menerjemahkan karya para penulis

dunia. Di antaranya adalah The Wrethed of the Earth karya Fanon, Niyayesh

(La Piere) karya Alexis Carrel, Paris 1338/1960, Guerilla Warfare karya Che

Guerara, What is Poetry? Karya Jean Paul Sartre, Salman Park, Louis

47 Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 28. 48 Ghulam ‘Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 30.

44

Massignon, Masyhad, 1965.49 Di satu sisi, Syari’ati juga menghargai dan

mencintai seni, cinta akan seni itu dituangkannya dalam bentuk puisi.50

Karya Syari’ati yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

juga banyak, baik berupa terjemahan murni, maupun telah mengalami

saduran, di antaranya adalah:

Pertama, Ideologi Kaum Intelektual; Suatu Wawasan Islam, diterbitkan

oleh Mizan Bandung (cet IV, 1992). Buku yang kata pengantarnya adalah

Jalaluddin Rahmat ini diterjemahkan dari berbagai buku berbahasa Inggris

karya Ali Syari’ati yang diterbitkan oleh Free Islamic Literature Inc.

Kedua, Membangun Masa Depan Islam, Pesan untuk Para Intelektual

Muslim, diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung (cet II, 1989). Buku yang

kata pengantarnya oleh John L Esposito ini diterjemahkan dari buku berbahasa

Inggris karya Ali Syari’ati yaitu What is to be Done; The Enlightened

Thinkers and Islamic Renaissance, terbitan IRIS, Houston, 1989.

Ketiga, Paradigma Kaum Tertindas, diterbitkan oleh al-Huda, Jakarta.

Buku ini terjemahan dari karya Syari’ati, On the Sociology of Islam dan The

Visage of Muhammad. Buku ini diawali dengan menampilkan sketsa

bibliografis Ali Syari’ati yang ditulis oleh sahabat karibnya.

Keempat, Tugas Cendekiawan Muslim. Buku ini diterjemahkan dari

kuliah-kuliah Ali Syari’ati, edisi bahasa Inggris berjudul Man and Islam (Iran,

University of Masyhad, 1982) edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh

M.Amin Rais dan diterbitkan oleh Rajawali Press (cet. IV, 1994).

Kelima, Pemimpin Mustadh’afin yang diterbitkan oleh Muthahari

Paperbacks, Maret 2001. buku ini disadur ulang dari beberapa buku karya Ali

Syari’ati.

Keenam, Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat, yang

diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung (cet. II, 1996). Buku ini

49 Islam Agama Protes, op. cit., hlm. 8. 50 Syari’ati menulis puisi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul One

Followed by Eternity of Zeroes serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Afif Muhammad menjadi Salah Satu Diikuti oleh Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya, yang dimuat bersama larangan Ali Syari’ai, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi oleh Penerbit Mizan.

45

diterjemahkan dari buku al-Insan, al-Islam wa Madaris al-Gharb karya Ali

Syari’ati, terbitan Dar al-Shahf li al-Nasyr.

Ketujuh, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir – Barat Lainnya,

Mizan Bandung (cet. II, 1988). Buku yang diberi kata pengantar M. Dawam

Raharjo ini diterjemahkan dari Marxisme and Other Western Fallacies karya

Ali Syari’ati.

Kedelapan, Islam Agama Protes, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah

Bandung (cet. II, 1996). Buku ini diterjemahkan dari beberapa karya Ali

Syari’ati: A Glance at Tomorrow’s History, A Waiting The Religion of Protes

dan An Approach to Understanding of Islam.

Kesembilan, Makna Haji, diterbitkan oleh yayasan Fatimah Jakarta

(cet. II, 2002). Buku ini merupakan terjemahan dari Hajj karya Ali Syari’ati.

Kesepuluh, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi. Diterbitkan oleh Mizan

Bandung (cet. II, 1992). Dan masih banyak lagi terjemahan karya Ali Syari’ati

yang lain.

Begitu banyak karya yang telah dihasilkan oleh Syari’ati. Pemikiran-

pemikirannya sangat berlian dan revolusioner serta berpihak pada keadilan. Ia

menentang “status quo” dan penindasan, serta menyuarakan kebebasan dan

kemerdekaan. Dan ini tentunya bukan pendidikan konvensional formalnya,

termasuk pendidikan tinggi di luar negerinya. Kegemarannya untuk belajar,

membaca, berfikir, kreativitas dan tanggung jawab yang berasal dari

keislamannya yang teguh yang telah membuatnya demikian. Begitupun

lingkungan pertamanya yang selalu menuntunnya serta persinggungannya

dengan para pemikir dunia sewaktu di Paris juga tidak bisa dilupakan.

Termasuk pula di Husayyniyah Irshad di Masyhad juga punya andil besar

terhadap kesuksesan Syari’ati. Lebih-lebih kondisi bangsa dan masyarakatnya

yang menuntunnya untuk bangkit, berkarya dan sekaligus beraksi.

Kendati syari’ati mewarnai pandangan atau pemikirannya dengan

seruan untuk perpegang pada agama (Islam). Namun tulisan-tulisannya

memuat epistemologi, dasar-dasar filsafat dan sejarah, serta prinsip-prinsip

46

sosiologi dalam bentuknya yang sangat jelas, yang didukung oleh usaha

mengembangkan dialetika secara konsisten.51

Ide dasar pemikiran dan perjuangan Syari’ati adalah pembebasan

manusia dari himpitan kekuatan ketidakadilan, baik dalam sistem sosial politik

maupun sosial budaya.52 Syari’ati menempatkan Islam sebagai sebuah

ideologi revolusioner yang bisa dipraktekkan dan membebaskan.53 Dan untuk

keperluan ini, Syari’ati menempatkan pandangan dunia tauhid sebagai

landasan dasar dan pokok dari seluruh pemikirannya.

Syari’ati senantiasa berpegang pada realitas dan menghindari pemikiran

abstrak. Dia adalah seorang sosiolog yang realistis dan komit. Dengan

pandangan serta pemikiran Islamiyahnya yang khas dia berhasil mempelajari

masyarakatnya sendiri, melampaui sosiologi positivis maupun Marxis. Dan

dengan menggunakan metode historis dan religius yang mendalam dia telah

menambahkan dimensi-dimensi baru pada sosiologi Islam. Dia telah membuat

suatu analisa realistis dan kritik sosiologis mengenai dimensi statis

masyarakat, susunan tingkah laku, nilai serta kepercayaan berbagai kelompok

religius maupun kelompok non-religius dewasa ini.

Begitupun mengenai dimensi dinamisnya, yakni perubahan-perubahan

dan perkembangan-perkembangan historis yang dihayati oleh umat Islam dan

masyarakat Iran dalam berbagai era. Menurutnya, ilmu seperti sosiologi tidak

pernah netral dan dia tidak bisa menerima pendapat bahwa seorang sosiolog

hanya sekedar mengamati masyarakat. Apalagi sekarang ini umumnya konsep

netralitas ilmu telah kehilangan arti, sehingga tugas sekedar observasi dan

deskripsi telah berganti dengan komitmen dan partisipasi sosial.

51 Ghulam Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 27. 52 Tim IAIN Syarif Hidayatullah, op. cit., hlm. 107. 53 Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang bisa dipraktekkan, Syari’ati menyajikan

secara detail tahapan-tahapan ideologi, berkenaan dengan cara memahami dan menerima Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu, ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode praktis untuk merubah “status quo”. Tahap pertama, adalah penyadaran diri, pada tahap ini, Syari’ati memulai dari pertanyaan mendasar tentang kedudukan manusia berhubungan dengan Tuhan, dan alam semesta. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia meletakkan terlebih dahulu pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Tahap kedua, mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Lihat, M. Nafis, op. cit., hlm. 85.

47

Karena itu, tepatlah bila karya-karya seru ide-ide Syari’ati kita pelajari

dari sudut pandang sosiologi. Dia telah meletakkan dasar-dasar sosiologi

Islam yang benar dan multifalset. Dan yang penting bagi kita adalah bahwa

dia telah mempelajari sejarah, filsafat dan semuanya dalam kerangka

pandangan hidup tauhid. Dengan demikian tauhid menjadi landasan

intelektual ideologis, baik untuk filsafat sejarah, mengenai nasib umat

manusia dan masyarakat di masa silam, begitupun untuk meramalkan keadaan

mereka di masa mendatang.54

Syari’ati menyatakan tauhid sebagai pandangan dunia. Menurutnya

bahwa tauhid bukanlah pemahaman monoteisme sebagaimana yang

dimengerti umat Islam pada umumnya. Tauhid versi Syari’ati memandang

seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dikotomi

alamiah, supra alamiah, dunia kini-nanti, jiwa raga dan sebagainya. Jadi,

pandangan ini memandang seluruh eksistensi sebagai suatu bentuk tunggal,

sebagai suatu organisme tunggal yang harmonis dan mempunyai tujuan, yang

hidup dan memiliki kesadaran, cipta, rasa dan karsa.

Tauhid adalah suatu pandangan hidup tentang kesatuan universal,

kesatuan antara tiga hipositas yang terpisah, Allah, alam dan manusia karena

ketiganya bersama asal.55 Kesemuanya mempunyai arah yang sama, kehendak

yang sama, ruh yang sama, gerak yang sama serta hidup yang sama pula.

Hubungan antara manusia, alam dan Tuhan adalah bagaikan hubungan

antara cahaya dan pelita yang memancarkannya, atau seperti hubungan antara

kesadaran seseorang tentang tangannya dengan tangan itu sendiri. Persepsinya

tentang tangan tidak dapat dipisahkan dari tangannya, tetapi persepsinya tidak

identik dengan tangan, dan juga bukan merupakan bagian dari tangan itu

sendiri. Syari’ati, dengan tegas menyatakan bahwa pandangan dunia tauhid ini

berbeda dengan panteisme, trinitarianisme, monisme, wihdatul al-wujud

(kesatuan wujud, unity of being) ataupun dualisme.

54 Ali Syari’ati, Paradigma …, op. cit., hlm. 29. 55 Maksud Syari’ati mengatakan, bahwa Allah, alam dan manusia bersamaan asal, ialah

ketiganya tidak terpisah dan terasing satu sama lain, tidak saling bertentangan dan tidak terceraikan oleh sekat-sekat. Masing-masing tidak mempunyai arah sendiri-sendiri.

48

Konsekuensi dari pandangan ini adalah ditolaknya ketergantungan

manusia dari sesuatu kekuatan sosial, dan dikaitkannya manusia maupun

dalam semua dimensinya pada kesadaran dan kehendak Yang Maha Kuasa.

Sumber bantuan, orientasi, kepercayaan dan pertolongan setiap orang adalah

suatu titik sentral tunggal,suatu proses yang dikitari dengan radius benderang

yang sama jarak dari pusatnya yang merupakan sumber utama segenap alam

merupakan satu-satunya kekuatan yang ada dan menguasai jagad raya. Posisi

manusia dalam alam, dalam pandangan tauhid adalah sebagai peragaan

objektif dari kebenaran ini, yang terlihat jelas pada saat thawaf (ritual

mengelilingi Ka’bah) dalam ibadah haji.56

Dengan mendasarkan eksistensinya pada tauhid, maka manusia pun

mencapai kebebasan. Tauhid ini merupakan fundasi semua prinsip, termasuk

kegiatan-kegiatan manusia yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa

politik, social, ekonomi dan kebudayaan. Tauhid juga menghapus

ketidakpedulian, kekhawatiran dan ketamakan serta menerima persamaan,

kebebasan dan kemerdekaan.57 Maka wajib bagi orang-orang yang beriman

pada tauhid untuk mendukung jihad dalam bentuk perbuatan nyata.

Syari’ati yakin sepenuhnya bahwa manusia modern, manakala tidak

memiliki ketauhidan, hanya akan menjadi “makhluk yang mengenal dirinya

sendiri”, dan karya-karya mereka – pada saat mereka kehilangan nuraninya

seperti itu – akan menjelma menjadi sejenis ajaran baru, yang di situ manusia

mengklaim telah menggeser posisi kaum terpelajar pragmatis.58

Demikianlah gambaran sekilas pandangann dunia tauhid Syari’ati. Ide

dasar (termasuk pemikirannya tentang rausyanfikr) tidak dapat dilepaskan

begitu saja dengan ide besarnya tersebut.

56 Ali Syari’ati, Makna Haji......op. cit., hlm. 49. 57 Ekky Malaky, Dari Sayyid Qutb, Ali Syari’ati, The Lord od the Rings hingga

Bollywood, (Jakarta: Lentera, 2004), hlm. 21-22. 58 Ghulam Abbas Tawassuli, op. cit., hlm. 30.

49

D. Pemikiran Ali Syari’ati tentang Rausyanfikr

1. Pengertian Rausyanfikr

Di Iran, sejak belahan kedua abad ke-19, dikenal istilah rausyanfikr

yang secara harfiyah diartikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”.59 Tapi

secara historis istilah itu menunjuk pada pengertian umum tentang kaum

intelektual sekuler yang yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai

dipakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi

dan dipengaruhi oleh para filosof Eropa abad ke-18 yang dikenal sebagai

abad pencerahan.

Rausyanfikr pada mulanya terbatas pengertiannya. Kaum intelektual

yang berpaham modernis dan berkecenderungan liberal, yang bekerja dan

berfikir secara professional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahan-

perubahan politik, sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya,

kelompok ini berbeda dan membedakan diri dari mereka yang disebut

Mullah atau ahli-ahli ilmu agama,60 yang di lingkungan dunia Islam

dikenal sebagai ulama. Pembedaan seperti itu juga tidak asing di

Indonesia. Kita mengenal kelompok “kyai” atau “ulama” di satu pihak dan

“cendekiawan” atau “intelegensia” di lain pihak.61

Tapi, apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalan revolusi

dapat disejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan.62 Kedua

kelompok itu malah mengandung ciri yang berkebalikan. Karena itu

menjelang tahun 1978, pengertian rausyanfikr telah berubah atau

berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang

59 Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-

Masalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 554. 60 Dalam konsep Ali Syari’ati, dikotomi itu dijembatani dan di dalamnya juga terkandung

makna “Nabi sosial”. 61 M. Dawam Raharjo, Ali Syari’ati; Mujtahid-Intelektual, dalam Kritik Islam atas

Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 7. 62 Ali Syari’ati menentang atau mengkritik peranan sebagian pemuka agama yang

menolak tanggung jawab sosial atau mendustakan sikap-sikap kemasyarakatan, walaupun mereka adalah pemuka-pemuka masyarakatnya. Itulah elit penguasa yang dapat dijumpai dalam masyarakat kuno atau modern, dan kritik Ali Syari’ati sudah jelas ditujukan kepada elit Iran pra-1978. dan hal itu terjadi pula di lingkungan Syi’ah sendiri.

50

terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada predikat tambahan,

sehingga menjadi alim-i rausyanfikr.63

Ringkasannya, tidak ada contoh universal untuk menjadi “yang

tercerahkan”. Ada berbagai jenis orang yang tercerahkan. Seseorang dapat

menjadi orang yang tercerahkan di Afrika Hitam, tetapi orang yang sama

tidak dapat dikatakan demikian di kalangan komunitas Islam. Seseorang

mungkin dapat dianggap sebagai orang yang tercerahkan di Prancis atau

negara industri Eropa pasca perang, dan ia adalah orang yang sederhana

dan jujur yang tercerahkan, yang sangat menonjol di kalangan

masyarakatnya sendiri, tetapi orang yang sama di India tidak dapat dan

mungkin tidak akan mampu memainkan peran sebagai orang yang

tercerahkan di sama.64 Pendeknya, pencerahan secara langsung berkaitan

dengan waktu, tempat, lingkungan sosial dan kondisi sejarah.

Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya “pemikir yang

tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau

enlightened thinkers.65 Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang

ilmuwan menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan

kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya,

rausyanfikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan

berbicara dengan bahasa universal, rausyanfikr seperti para Nabi,

berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam

menjalankan pekerjaannya, rausyanfikr harus melibatkan diri pada

ideologinya.66

Berkaitan dengan hal di atas, Jalaluddin Rahmat membedakan

sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang

lulus dari Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya ini

banyak, karena setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan

63 Ibid., hlm. 14. 64 Ali Syari’ati, Membangun …, op. cit., hlm. 33. 65 Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspective, (New

York: Oxford University Press, 1982), hlm. 297. 66 Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab dalam Ideologi Kaum

Intelektual Suatu Wawasan Islam, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 14-15.

51

adalah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan

ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di

antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian

berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan

rutin, dan menjadi tukang-tukang professional.

Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan

kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh

gelar sarjana. Mereka juga bukan ilmuwan yang mendalami dan

mengembangkan ilmu penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok

orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya,

menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat

dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan

masalah.67

Memang, kata “intelektual” memiliki banyak arti. Begitu

beragamnya definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan

istilah itu sama sekali. Tetapi James Mac Gregor Burns, ketika bercerita

tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership,

mengartikan intelektual seperti Syari’ati menjelaskan kata rausyanfikr.

Menurut Burn, ciri utama intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge,

values. Seorang intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan

nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.68

Dalam definisi ini, “orang yang hanya menggarap gagasan-gagasan dan

data analitis adalah seorang teoritis, orang yang bekerja hanya dengan

gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap

sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah

seorang intelektual”, kata Burns.

Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk

lingkungannya dengan gagasan-gagasan analitis dan normatifnya.

Sedangkan menurut Edward A. Shils, dalam International Encyclopedia of

67 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 212.

68 Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati ...., op. cit., hlm. 15.

52

the Social Science, dijelaskan, bahwa tugas intelektual adalah

“menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam

tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing

pengalaman astetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat ….”.69

Bagi Syari’ati, tidak semua yang tercerahkan adalah intelektual, dan

tidak semua intelektual peraih gelar akademis adalah orang yang

tercerahkan. Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” adalah orang

yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya,

serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa

tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan

bertanggung jawab, yang tujuan dan tangung jawab utamanya adalah

membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari

rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah

rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.

Perubahan-perubahan itu akhirnya melahirkan jenius-jenius hebat

dan menciptakan lompatan-lompatan hebat, yang pada gilirannya menjadi

batu loncatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawan-

pahlawan yang agung. Mereka mengajarkan pada masyarakat bagaimana

caranya “berubah” dan akan mengarahkan ke mana perubahan itu. Mereka

menjalankan misi “menjadi” (becoming) dan merintis jalan dengan

memberi jawaban kepada pertanyaan “akan menjadi apakah kita?”70

Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan

filosof. Seorang filosof, Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe

kesadaran dan keyakinan seperti di atas. Aristoteles bukanlah seorang

rausyanfikr, karena ia tidak memprakarsai gerakan sosial atau revolusi

satupun dalam masyarakatnya, di samping tidak pernah mencoba

membangkitkan kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta

masyarakat mereka.

69 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif …. , op. cit., hlm. 12. 70 Ekky Malaky, op. cit., hlm. 29-30.

53

Plato tidak pula berbeda dari Aristoteles, karena Plato tidak dapat

mempengaruhi persoalan-persoalan masyarakatnya secara menentukan,

meskipun memang ia berhasil membangun suatu madzhab berfikir.

Ptolemy adalah seorang ilmuwan dan dokter dengan pengetahuan yang

cukup banyak, tetapi ilmunya tidak berpengaruh sama sekali pada nasib

zaman dan masyarakatnya. Andaikata bangsa Yunani mempunyai seribu

orang seperti mereka, maka kehidupan bangsa Yunani akan sama saja

seperti sebelumnya, malah mungkin lebih buruk, karena intelektual-

intelektual seperti itu merupakan konsumen-konsumen mulus yang hidup

menggantungkan diri pada kekuatan para petani. Yang dibutuhkan Yunani

bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi intelektual aktif untuk memperbaiki

dan mengubah nasib para budak yang malang, walaupun intelektual

tersebut mungkin dari kalangan orang biasa atau para hamba. Terbelenggu

dalam pemikiran tentang misteri penciptaan sebagai materi utamanya dan

esensinya, sang filosof tidak dapat melibatkan dirinya untuk memecahkan

masalah-masalah kemasyarakatan.71

Menurut Syari’ati, para Nabi datang bukan sekedar untuk

mengajarkan dzikir dan do’a. Mereka datang membawa suatu ideologi

pembebasan. Para Nabi adalah orang-orang yang lahir di tengah-tengah

massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup

mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang

bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban,

kebudayaan dan pahlawan.72 Nabi Ibrahim datang untuk membebaskan

umat manusia dari penyembahan terhadap berhala dan dari kekejaman raja

Namrud. Nabi Musa juga datang untuk membebaskan kaumnya dari

cengkraman raja Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Demikian pula nabi Muhammad saw. datang untuk membebaskan

umatnya dari kebudayaan Jahiliyyah. Oleh sebab itu, para nabi harus

71 Ali Syari’ati, op. cit., hlm. 223-224. 72 Jalaluddin Rahmat, Ali Syari’ati...op. cit.,hlm. 13

54

dilihat secara terpisah dari kaum filosof, ilmuwan, artis dan manusia

kebanyakan.

Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang

yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup melahirkan gagasan-

gagasan analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga menguasai

sejarah Islam, seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, al-Qur’an

sebenarnya mempunyai istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul

albab. Dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama

Republik Indonesia mengartikan ulul albab sebagai “orang-orang yang

berakal”, “orang-orang yang mempunyai pikiran”, terjemahan yang tidak

terlalu tepat. Terjemahan Inggris men of understanding, men of wisdom,

mungkin lebih tepat.

Untuk memahami siapa yang dimaksud ulul albab, baik kiranya kita

memahami ayat 190 surat Ali Imran, yang dapat memberikan gambaran,

walaupun secara umum, tentang siapa mereka menurut pandangan al-

Qur’an, yang berbunyi:

الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق ذابا عفقن كانحباطلا سذا به لقتا خا منبض رالأرات وومالس

) 191: ال عمران(النار (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang pencitaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.. (QS. Ali Imran: 190) 73

Dalam ayat tersebut secara jelas digarisbawahi ciri-ciri atau sifat-

sifat berikut: a) berdzikir atau mengingat Tuhan dalam segala situasi dan

kondisi, b) memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang

pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan

kebesaran Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk

73 Soenarjo, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 105.

55

kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi, dan c) berusaha dan

berkreasi dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasil-hasil yang

diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut. Dari sini terlihat jelas,

bahwa peran mereka tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan

tujuan-tujuan, tetapi sekaligus harus memberikan contoh pelaksanaan serta

sosialisasinya di tengah masyarakat. 74

Sedangkan Jalaluddin Rahmat menyebutkan lima tanda atau ciri

ulul albab, di antaranya:

1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu 2. Mau mempertahankan keyakinannya 3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan 4. Tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah SWT., dan 5. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk

memperbaiki masyarakatnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, dia tampil dihadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat.75

Dengan demikian jelas, bahwa seorang ulul albab tidak jauh

berbeda dengan seorang rausyanfikr, apabila kita perhatikan tanda-tanda

atau ciri-ciri ulul albab tersebut sama dengan ciri-ciri dari rausyanfikr

sebagaimana disebutkan oleh Ali Syari’ati yakni orang yang sadar akan

keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta setting

kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung

jawab social. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan

bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah

membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari

rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah

rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.

74 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 389. 75 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif .. op. cit., hlm. 214..

56

2. Faktor Munculnya Rausyanfikr

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada sub bab pertama, pada

bab ini bahwa rausyanfikr dikenal pada dekade belahan kedua abad ke-19

di Iran, yang istilah ini untuk menunjuk pada kaum intelektual sekuler atau

kaum intelektual yang berpaham modernis, berkecederungan liberal, yang

bekerja dan berfikir professional dan sekaligus terpanggil untuk

melakukan perubahan-perubahan sosial, sampai istilah ini berkembang

lebih luas.

Faktor munculnya rausyanfikr ini dipicu adanya “gap” atau

kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan

kaum intelektual dengan Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub

teori dengan kutub praktek, jauhnya rakyat dari budayanya sendiri akibat

pengaruh ide-ide Barat yang hegemonic dan fkator-faktor lain yang

mempengaruhi munculnya rausyanfikr ini. Kesenjangan-kesenjangan

tersebut banyak terjadi dan melanda di dunia ketiga dan masyarakat-

masyarakat muslim pada khususnya.

Tragedi paling menyedihkan yang menimpa masyarakat-

masyarakat tradisional pada umumnya, dan masyarakat-masyarakat

muslim pada khususnya, disebabkan oleh tidak adanya komunikasi dan

besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelata dan golongan

terpelajar. Sedangkan di negara-negara industri Barat, rakyat jelata dan

kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih baik dan

mempunyai pandangan yang relatif serupa. Di Eropa, seorang professor

universitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang

tak terpelajar. Juga, professor itu tidak memandang dirinya mempunyai

status yang lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh

yang tak tersentuh, terbungkus di dalam kertas kaca.

Bahkan dalam sejarah awal masyarakat-masyarakat Islam,

kesenjangan besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan

rakyat jelata tidak ada para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama

termasuk ahli hukum (fuqaha), ahli teologi dialektis (mutakallimun), ahli

57

tafsir al-Qur’an (mufassirun), para filosof dan para sastrawan (‘udaba’)

mempunyai ikatan erat dengan masyarakat umum melalui agama.

Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminari-seminari (hawzah) yang

tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan hubungan

dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat bahkan

masih ada sekarang ini. Sebagian besar rakyat jelata yang tidak terpelajar

dapat duduk berdampingan dengan ulama, yang telah mencapai status

kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka

merasa cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhan-

kebutuhan, keluhan-keluhan atau persoalan keluarga mereka.76

Sayangnya, dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern,

kaum muda dididik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung

dan tak tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan

masyarakat, mereka ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang

sama sekali terpisah dari rakyat jelata. Maka, kaum intelektual itu hidup

dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat, tetapi di dalam suatu

sangkar emas lingkungan eksklusif.

Ide-ide dan nilai-nilai cultural dan intelektual Barat telah

membanjiri alam pikiran mereka dan karena itu mempengaruhi cara

berpikir mereka. Dari dunia Barat masalah-masalah ilmiah, penilaian-

penilaian yang telah diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode

yang sudah distandarisasi, berbagai kritik dan konsep-konsep serta

gagasan-gagasan yang telah mapan, semuanya dibungkus rapi dan diberi

cap, persis seperti makanan kaleng yang diawetkan, kemudian dikirim

kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi ke Barat.

Di sini mereka baca berbagai cap tersebut, kemudian mereka buka

isinya dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran

yang diimpor, tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya

76 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan untuk Para Intelektual Muslim,

(Bandung: Mizan, 1989), hlm. 25.

58

terhadap masyarakat, maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri

dan tanpa kehati-hatian dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.77

Menurut Ali Syari’ati, cara kita meniru yang paling baik adalah

menyelidiki jalan yang telah ditempuh oleh Barat yang telah

mengantarkan Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang

dan kita harus menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati.78

3. Tugas dan Tanggung Jawab Rausyanfikr

Rausyanfikr sebagai orang yang tercerahkan atau nabi sosial

memiliki peran dan tanggung jawab yang besar. Setelah nabi terakhir

Muhammad saw., orang yang tercerahkanlah yang melanjutkan misi

kenabian. Sebagaimana dikemukakan oleh Chandell, bahwa “Pencerahan

adalah suatu bentuk kenabian”. Setelah nabi Muhammad saw., orang yang

tercerahkanlah yang melanjutkan misi kenabiannya. Orang yang

tercerahkan adalah individu yang sadar, yang diutus sebagai misi di

kalangan masyarakat untuk memandu mereka untuk menuju tujuan,

kebebasan, dan kesempurnaan manusiawi, dan membantu mereka untuk

menyelamatkan diri sendiri dari kebodohan, kemusyrikan dan penindasan.

Bersikap sosial, berada di tengah masyarakat, dan merasa bertanggung

jawab atas nasib masyarakat yang diperbudak dan ditindas adalah

karakteristik hakiki sifat tercerahkan. Orang yang tercerahkan adalah

seorang nabi yang tidak menerima wahyu, tetapi mengemban tugas dan

tanggung jawabnya.

Jadi, meskipun bukan nabi, orang-orang yang tercerahkan harus

memainkan peranan sebagai nabi bagi masyarakatnya. Dia harus

menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat

yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam

hati mereka yang mandek.

77 Ali Syari’ati, Tugas......op.ci., hlm. 106. 78 Ibid., hlm. 108.

59

Orang-orang yang tercerahkan, seperti nabi-nabi di masa lampau,

berbeda dengan para filosof, sastrawan, ilmuwan, mistikus dan seniman-

seniman yang hidup bersama orang-orang yang mempunyai minat yang

sama, terpencil, jauh dari masyarakat umum, dan berada pada lingkaran

masyarakat mereka sendiri, di gunung-gunung, biara, kuil, universitas,

sekolah, perpustakaan dan di rumah-rumah pribadi mereka. Yang terakhir

ini dapat melahirkan tugas mereka sendiri, tanpa mengetahui sesuatupun

tentang nasib masyarakat atau kesengsaraan-kesengsaraan dan kebutuhan-

kebutuhan mereka, dan meraih kedudukan mulia sebagai filosof, pendeta

yang saleh, mistikus pemuja Tuhan, atau jenius dalam bidang kesenian.

Sebaliknya, segera setelah seorang nabi menerima tugas, ia melangkah

langsung menuju jantung masyarakatnya untuk mencari rakyat. Wahyu

pertama, misalnya memerintahkan Muhammad untuk keluar dari

pengasingan individualnya, meninggalkan kehidupan pribadi, keluarga dan

kelompoknya dan berdiri di tengah masyarakat memberi mereka harapan,

peringatan, menyerang lambang-lambang kebodohan, kebohongan,

ketahayulan dan menghancurkan Tuhan-tuhan palsu yang telah diciptakan

oleh masyarakatnya sendiri.79

Menjadi satu dengan masyarakat, bangkit dari kalangan mereka

dan bersama-sama dengan mereka itulah salah satu makna dari kata sifat

“ummi”.80 Menjadi satu dengan masyarakat merupakan ciri khas nabi dan

orang yang tercerahkan, yang menjadi pewaris nabi. Dengan demikian,

mereka tidak boleh hidup terpencil, tersembunyi dari rakyat dan

sebagaimana dikatakan oleh orang-orang Eropa, berada dalam “menara

gading” atau seperti dinyatakan al-Qur’an “terbungkus dalam selimut”

mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Maka, seorang yang

79 Ali Syari’ati, Membangun … op. cit., hlm. 86. 80 Ummi adalah turunan dari kata umat, yang diturunkan dari kata “umm” berarti jalan,

dan orang yang tidak terpelajar, filosof, penyair dan sebagainya yang merupakan orang-orang terbaik dari kalangannya, dan menjadi pelindung tradisi-tradisi lama. Seorang nabi adalah ummi yang berasal dari rakyat jelata, orang yang sederhana dan tak terpelajar. Banyak penafsir mengartikan “ummi” sebagai buta huruf, padahal kebutahurufan bukan merupakan suatu sifat yang menjadi sumber kelestarian. Tidak berarti kemudian bahwa nabi Muhammad pandai baca tulis, tidak pula ia buta huruf, keduanya tidak sama.

60

tercerahkan harus turun dari “menara gading” dan bergabung dengan

rakyat, sebab seperti dikatakan Chandell, berbicara tentang rakyat tanpa

adanya mereka sama saja dengan kebohongan. Orang-orang yang

berbicara tentang rakyat, masyarakat, kolonialisme, dunia ketiga, dan

sebagainya. Sementara mereka duduk di restoran mewah di Teheran Utara

atau di tempat-tempat lainnya, boleh menyebut dirinya ahli sosiologi,

politisi, ilmuwan, penulis, filosof dan sebagainya, tetapi mereka bukan

individu-individu tercerahkan.

Plato boleh menutup pintu taman akademisnya untuk rakyat, dan

menyatakan bahwa “barangsiapa tidak mengetahui tentang geometri

dilarang memasuki taman ini”, berbincang-bincang dengan beberapa

ilmuwan jenius yang memahami geometri dan memikirkan hanya tentang

Republik Utopia, puisi, kebenaran, kepalsuan, moral dan keadilan. Maka,

sebaliknya Muhammad tidak boleh berbuat begitu. Ia menjalani awal

kehidupannya sendirian di Padang Pasir sebagai gembala, di rumah

Khadijah (istrinya) atau di Gua Hira untuk bersemedi. Tetapi, segera

setelah ditunjuk sebagai nabi, dari ketinggian gunung yang sepi dan

lengang, cepat-cepat ia turun dan menuju jantung kota Mekkah. Ia

menyampaikan pesannya di bukit Shafa, di hadapan Dar al-Nadwah yang

merupakan tempat pertemuan (majlis) para bangsawan dan menentang

keras Tuhan-tuhan palsu sembahan masyarakatnya. Muhammad

meninggalkan batasan-batasan rumahnya dan tinggal di masjid dan

membuka pintu kamarnya di masjid yang menjadi rumah rakyat. Itu

berarti bahwa, karena ia kini telah menjadi utusan atau nabi yang

terpercaya untuk menyampaikan pesan, ia menyibakkan selimut yang

membungkus dirinya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.

Ali Syari’ati menekankan pentingnya memahami masyarakat,

keyakinan dan kepercayaan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, sebab-

sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan

berbagai tipe sosialnya, maka setelah jelas semua ini, tanggung jawab

paling besar dari orang-orang yang tercerahkan atau rausyanfikr adalah

61

menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan

rakyat dalam lingkungannya, lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya

yang bodoh dan masih tertindas, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib

sosiohistoris mereka yang tragis.

Dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab,

kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus

menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan

masyarakatnya membebaskan diri mereka dari “status quo”. Berdasarkan

pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam

masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat

itu, orang yang tercerahkan harus berusaha untuk menemukan hubungan

sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan

kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya,

orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman di luar kelompok

rekan-rekannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.81

Orang-orang yang tercerahkan yang cukup tanggap di abad ini

telah menyadari betapa kaum intelektual yang kebarat-baratan telah

demikian tergantung pada Barat dan kebudayaannya. Apa yang mereka

pinjam dan impor dari Barat sering kali tidak relevan dengan maksud-

maksud kita dan masalah kita. Timur menderita kelaparan, Barat

menderita kekenyangan. Seseorang yang kata-katanya bernada

kekenyangan tidak akan bermakna bagi seseorang yang sedang mati

kelaparan. Pernyataan-pernyataan dari Barat adalah tepat dan bermakna

bagi orang Barat. Hanya di tanah asal usulnya kata-kata itu dapat memetik

hasil yang banyak, tetapi tidak di tanah asing. Jika di tanam di tanah

Timur, maka rasa aslinya, keharuman dan kaitannya menjadi hilang.82

Dalam pada itu kondisi dan watak masyarakat kita sekarang

bukanlah seperti masyarakat yang terdapat pada abad ke-19 di Eropa

Barat. Bila kita buat perbandingan antara dua masyarakat tersebut. Kita

81 Ibid., hlm. 42. Lihat juga Ali Syari’ati, Tugas …, op. cit., hlm. 243-246. 82 Ibid., hlm. 147.

62

akan menemukan bahwa masyarakat kita sesungguhnya mirip masyarakat

Eropa abad ke-13. namun, kaum intelektual kita masih terus menyuguhnya

pendapat-pendapat abad ke-19 kepada manusia abad ke-13, dan karena

itulah mereka tidak mendapatkan pendengar yang paham, dan sebab itu

pula mereka menjadi begitu tidak efektif dan mandul. Sementara

intelektual dari masyarakat ini hidup pada suatu abad yang mirip dengan

abad ke-13 di Eropa, ia menerima pendapat-pendapat, pemikiran dan

gagasan-gagasan kaum intelektual Eropa dari dua abad terakhir. Tidak

aneh jika kekurangan pendengar, sebab ia telah memisahkan diri dari

waktu yang tepat.83 Maka sangat penting bagi intelektual untuk

mengetahui secara riil yang menjadi kebutuhan dan kondisi sosial suatu

masyarakatnya.

Sebagai contoh, orang-orang yang tercerahkan dari suatu

masyarakat terjajah terutama bertanggung jawab untuk menciptakan

kesadaran kolektif guna melawan kolonialis, sehingga bangsanya dapat

mengambil sikap tegas melawan kekuatan-kekuatan kolonialis. Jenis

kesadaran seperti ini harus diciptakan oleh orang-orang yang tercerahkan

di dalam alam pikiran massa. Dalam agama, dalam sejarah, dalam seni dan

sastra, dalam prosa dan puisi dan di atas panggung dalam semua ini,

orang-orang yang tercerahkan harus merefleksikan dan mendramatisasi

jenis kesadaran tersebut.

Rausyanfikr yang hidup dengan pandangan hidup tauhid juga

memiliki peran dan tanggung jawab untuk terus menerus mempelajari

kitab suci dalam rangka mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilainya

yang bersifat umum agar dapat ditarik darinya petunjuk-petunjuk yang

dapat disumbangkan atau diajarkan pada masyarakat, bangsa dan negara,

yang selalu berkembang, berubah dan meningkat kebutuhan-

kebutuhannya. Atau, agar dapat diterapkan dalam membangun dunia ini

serta memecahkan masalah-masalahnya.

83 Ibid., hlm. 234.

63

Mereka juga dituntut untuk terus mengamati ayat-ayat Tuhan di

alam raya ini, baik pada diri manusia secara perorangan maupun

kelompok, serta mengamati fenomena alam, ini mengharuskan mereka

untuk mampu menangkap dan selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan

alam dan sosial. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa peran mereka

tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi

sekaligus harus mampu memberikan contoh pelaksanaan serta

sosialisasinya.84

4. Gerakan Sosial Politik dan Sosial Keagamaan

Kalau diamati, ide dan pemikiran-pemikiran Ali Syar’ati selalu

berorientasi atau beraroma revolusi, pergerakan menentang tatanan sosial

politik yang tidak adil dan menindas. Hampir semua pemikirannya tidak

luput dari pergerakan, seperti bagaimana Ali Syari’ati memaknai ritual

ibadah haji, sejarah, agama dan manusia. Semua ini mengandung unsur

pergerakan dan pemberontakan. Demikian pula tentang rausyanfikr,

seorang rausyanfikr bagi Syari’ati tidak cukup hanya berpangku tangan,

duduk-duduk manis di kantor-kantor, laboratorium ataupun tempat-tempat

mewah lainnya tanpa mau turun langsung ke tengah-tengah masyarakat,

menyatu dengan masyarakat untuk mengetahui apa yang menjadi masalah,

kebutuhan dan faktor-faktor apa yang menyebabkan kebodohan,

kemunduran dan kemudian dengan analisisnya yang tajam mencarikan

solusi demi perbaikan dan kemajuan masyarakatnya. Ali Syari’ati tidak

hanya sekedar pandai mengkonsep saja. Namun Ali Syari’ati menjadikan

dirinya sebagai ikon atau terlibat langsung di dalamnya.

Pandangan atau pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati sebenarnya

tidak bisa dilepaskan dari ide besarnya, yaitu untuk menjadikan Islam

sebagai ideologi revolusioner yang bisa dipraktekkan dan membebaskan.

Hal ini bisa dipahami, Syari’ati hidup dalam suasana gejolak revolusi, Iran

di bawah rezim Syah yang pemerintahannya sentralistik, diktaktor, tiranik

84 M. Quraish Shihab, Membumikan … op. cit., hlm. 390.

64

dan menindas sangat menyengsarakan rakyat, sehingga wajar apabila

pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati bersifat revolusioner dan beraroma

perjuangan, kemerdekaan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan

dan ketidakadilan.

Bersama teman-temannya, Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi

mendirikan Gerakan Pembebasan Iran. Ia juga turut serta dalam Front

Nasional dan juga ikut dalam gerakan al-Jazair. Ini sebagai bukti, bahwa

Ali Syari’ati secara langsung ikut aktif bergerak dalam kegiatan-kegiatan

politik menentang rezim Syah.

Kalau ditelusuri sejarah, ketika demontrasi besar-besaran merebak

di Iran antara tahun 1978-1979. pada saat revolusi Islam di Iran hampir

mencapai klimaksnya. Ada dua foto yang mendominasi jalan-jalan di

Teheran, yaitu foto Imam Khomeini dan Ali Syari’ati. Memang, seperti

diakui banyak ahli masalah Iran, bahwa Ali Syari’ati di samping Khomeini

merupakan figur terdepan dalam revolusi Islam Iran.

Kedati Ali Syari’ati sudah meninggal dunia dua tahun sebelum

kemenangan kaum revolusioner, ia sering disebut-sebut sebagai ideolog

revolusi Islam di Iran. Ini antara lain, karena pemikiran-pemikiran Ali

Syari’ati dipandang mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan

rakyat Iran, terutama kaum mudanya, yang tampil sebagai barisan

terdepan dalam gerakan anti rezim Syah.85

Di samping pergerakan Ali Syari’ati bersifat pergerakan sosial

politik, pergerakannya juga bersifat sosial keagamaan. Di mana, Syari’ati

mengkritik tajam terhadap kaum ulama tradisional yang menjadikan

agama mandul, tidak peduli dengan problem yang dihadapi umat dan lebih

melanggengkan “status quo”.

Menurut Syari’ati, kemunduran dalam masyarakat Islam tidak

hanya disebabkan oleh imperialisme Barat, tetapi juga oleh kemapanan

agama yang menjerumuskan ideologi revolusioner yang dinamis, yaitu

Syiah yang asli menjadi agama kemapanan. Seperti banyak pembaharu

85 M. Riza Sihbudi, op.cit., hlm. 105.

65

Islam kontemporer, Syari’ati juga menyalahkan ulama atas banyak

penyakit dalam masyarakat Islam. Di tangan kemapanan agama, Islam

Syiah menjadi “skolastik”, terlembagakan dan secara historis

dimanfaatkan oleh penguasa Iran, sehingga memudarkan pesan sosial

keagamaan yang revolusioner dan dinamis pada tahun-tahun awalnya.

Islam tradisional di bawah para ulama telah menjadi tenggelam di masa

lalu. Islam telah berhenti sebagai kekuatan sosial, yang memperhatikan

realitas masyarakat yang berubah.86

Mazhab Syiah yang asli sebenarnya merupakan gerakan Islam

intelektual yang progresif dan juga merupakan kekuatan sosial yang

militan, dan sebagai mazhab Islam yang paling revolusioner. Dan Ali

Syari’ati telah berhasil mengubah agama orang yang beriman dan patuh

menjadi suatu ideologi politik revolusioner yang tangguh.

Di sisi lain, di kalangan umat Syiah sendiri, Imamiyah hampir

tidak dikenal istilah pemisahan agama dan politik, baik dalam dataran

konseptual maupun politik praktis. Setiap bentuk ritual keagamnaan selalu

dikaitkan dengan “ritual politik”. Syiah memang lahir karena faktor

politis. Dalam pengertian lain, kekuasan, yaitu mengangkat masalah siapa

yang berhak menggantikan nabi sebagai pemimpin umat Islam. Sebagai

konsekuensi logis dari pandangan tersebut, maka bagi kaum Syiah

Imamiah merupakan keyakinan yang paling penting setelah keyakinan

akan wahyu kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Mereka meyakini,

bahwa imamah bukan sekedar berarti kepemimpinan masyarakat atau

kepemimpinan politik, melainkan juga berarti sebagai pemimpin religius.87

86 A. Rahman Zainuddin, dkk., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian,

(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 68. 87 Ibid., hlm. 69.