bab iii kosmopolitanisme, gerakan intelektual, dan ...digilib.uinsby.ac.id/883/6/bab 3.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB III
KOSMOPOLITANISME, GERAKAN INTELEKTUAL, DAN
TRANSMISI KEILMUAN PADA MASA ABBASIYAH
Transfer ilmu pengetahuan, asimilasi, dan penggabungan ilmu pengetahuan
filsafat Yunani ke dalam dunia Muslim, memberi keunikan tersendiri bagi
perjalanan sejarah peradaban Islam. Qadir memberikan alasannya, bahwa, hal
tersebut jarang ditemui pada sejarah peradaban manusia. Namun, dalam
perjalanan sejarah peradaban masyarakat Islam Abbasiyah, sebuah kebudayaan
yang asing, diserap oleh masyarakat dan melengkapi dasar-dasar dari
perkembangan intelektual dan pemahaman filosofinya.1
Islam sangat menghargai para pemeluknya yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan. Keyakinan dalam Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu
dan memasukkannya sebagai ibadah.2 Maka, berbagai keilmuan yang
mengandung unsur-unsur budaya asing tersebut, menjadi suatu kewajaran dan
lumrah untuk dipelajari dan ditransmisikan oleh orang-orang Muslim melalui
gerakan-gerakan intelektual yang diselenggarakan pada masa Abbasiyah.
Keadaan dinasti yang stabil dan kondusif turut menyumbang berlangsungnya
berbagai gerakan intelektual dan perkembangan intelektual. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh siklus Dinasti Abbasiyah yang berada dalam tahapan
kesenangan dan kesentosaan, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam
teorinya. Tahap ini merupakan tahap puncak sebuah dinasti dalam
1 C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 31.
2 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, 53.
48
mengembangkan kebudayaan, maka, berbagai gerakan intelektual dan transmisi
keilmuan diselenggarakan, demi terciptanya kebudayaan-kebudayaan baru.
Kosmopolitanisme masyarakat Islam Abbasiyah memberikan dampak bagi
berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk unsur-unsur pendukungnya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, budaya dari luar
yang diadopsi oleh Islam mengalami kulturkompleks, yang turut membawa unsur-
unsur budaya asing pendukung suatu budaya yang diasimilasi, salah satunya ialah
transmisi keilmuan.
Transmisi keilmuan menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran
berbagai ilmu-ilmu yang berkembang di berbagai gerakan-gerakan intelektual
yang diselenggarakan pada masa Abbasiyah. Transmisi pengetahuan ini, tidak
kalah pentingnya dengan penemuan ilmu baru. Seandainya hasil pemikiran
Aristoteles, Galen, dan Ptolomius menghilang tanpa jejak dan tidak adanya rasa
humanisme dan kosmopolitanisme dari orang-orang Muslim, maka dunia menjadi
miskin, sebab seolah-olah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh orang-
orang Muslim tersebut tidak pernah dihasilkan.3
Berbagai gerakan-gerakan intelektual yang diselenggarakan, berkembang
secara bebas, dan berimplikasi pada pemfusian ilmu-ilmu yang berserakan di
berbagai tempat yang berbentuk lokal menjadi satu kesatuan. Di samping itu,
adanya pembebasan ilmu-ilmu yang ada ini dari berbagai bentuk lokal, etnis,
mitologi, dan lain sebagainya kemudian membentuknya dalam skala universal.
3 Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 454.
49
Islam juga menyajikan ilmu yang ada ini secara internasional, tanpa mengenal
batasan geografis.4
Transmisi keilmuan berarti sebuah proses pemindahan atau penyebaran
keilmuan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan menjadi hal yang mendasar
dalam berkembangnya suatu keilmuan. Proses transmisi keilmuan ini
menjadikannya bersifat dinamis dan aktif.
Transmisi keilmuan tidak hanya melihat mengenai soal apa yang ditransmisi,
tetapi juga mengenai proses dan cara berlangsungnya transmisi. Ada empat
bidang dalam meneliti apa yang ditransmisi, yaitu unsur-unsur yang menyangkut
proses fisiologi, refleks-refleks, gerak-gerak, reaksi-reaksi, serta penyesuaian fisik
yang diperlukan untuk dapat bertahan dalam masyarakat dan kebudayaan, yang
kedua ialah sikap psikologi serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud
yang sama, yang ketiga ialah berbagai adat sosial yang perlu untuk berinteraksi
dan bergaul dalam masyarakat, dan yang terakhir ialah berbagai konsep, nilai
budaya, adat istiadat, dan pandangan umum dalam kebudayaan.5
Pengaruh politik Arab memang telah berkurang, akan tetapi prestis sosio-
religius dalam kehidupan sosial tetap ada dan menyisakan dampak bagi dinasti.6
Kalangan istana khalifah dan elit politik berperan dalam gerakan-gerakan
intelektual dalam bidang seni keislaman, arsitektur, filsafat, sains, dan bentuk-
bentuk kepustakaan Hellenistik dan Iranian ke dalam Bahasa Arab. Sedangkan
komunitas perkotaan yang heterogen, mengekspresikan sisi keagamaan, moral,
dan nilai-nilai sosial masyarakat Muslim perkotaan yang berperan dalam
4 Naqiyah Mukhtar, “Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik” Ibda’, Vol. 3,
No. 1, (Jan-Jun 2005), 122. 5 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, 229.
6 G. E. Von Grunebaum, Classical Islam, A History 600-1258, 80.
50
pengembangan berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan penafsiran Al-
Qur‟an, hukum, mistisisme, dan teologi.7
Eksistensi dan ekses dua kalangan pada awal periode Abbasiyah, tidak
menjadi suatu hambatan dalam penyelenggaraan gerakan-gerakan intelektual.
Justru hal tersebut memicu terjadinya keragaman dan semaraknya perkembangan
keilmuan.8 Ditopang oleh watak kosmopolitanisme masyarakat Abbasiyah, proses
transmisi keilmuan yang berlangsung menjadi aktivitas yang mungkin dan sah-sah
saja untuk dilakukan.9 Sehingga, dapat dipastikan, dalam semaraknya berbagai
penyelenggaraan transmisi keilmuan, didapati kecenderungan yang berbeda-beda
antara penyelenggaraan gerakan intelektual yang dilakukan oleh kaum elit
kerajaan, maupun masyarakat perkotaan, baik dari tradisi keilmuannya maupun
orientasi pendidikan sebagai tujuan akhirnya. Apalagi, jika dihubungkan dengan
peta politik yang tengah menjadi pijakan seorang penguasa dalam menjalankan
pemerintahan. Akan banyak ditemui orientasi pendidikan khas yang menjadi
prioritas dan kepentingan politik seorang penguasa melalui lembaga-lembaga
pendidikan umum yang tersebar.10
Sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Usman dalam
tesisnya, dua status sosial pada masyarakat Abbasiyah, yaitu kaum elit kerajaan
dan masyarakat perkotaan, mempunyai orientasi pendidikan dan tujuan
pendidikan yang berbeda sama sekali. Jika masyarakat perkotaan concern untuk
mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan proses transmisi yang dilakukan secara
kolektif dan metode klasikal di lembaga-lembaga pendidikan Islam, maka,
7 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, 150.
8 Ibid., 133.
9 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, 11.
10 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, 64.
51
orientasi dan transmisi keilmuan yang diselenggarakan oleh kaum elit kerajaan
sangat kental dengan “rasa” Persia dan diajarkan secara privat dan pribadi dengan
mendatangkan dan di istana khalifah.11
Keadaan finansial
kerajaan memungkinkan hal itu dilakukan, mengingat, gaji mendatangkan
dan ke istana tidak murah.
Semaraknya gerakan-gerakan intelektual yang diselenggarakan di lembaga-
lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, merupakan cermin dari
kosmopolitanisme masyarakat Islam masa Abbasiyah pada waktu itu.
Keberagaman tempat-tempat pendidikan dalam Islam yang variatif dan tidak
hanya identik dengan madrasah,12
merupakan representasi dari potret Dinasti
Abbasiyah yang secara total dalam upaya mengembangkan kajian intelektual.13
Berbagai gerakan-gerakan intelektual tersebut memunculkan macam-macam jenis
keilmuan, proses transmisi keilmuan, metode-metode belajar, dan tokoh-tokoh
intelektual Muslim yang memberikan kontribusi besar dalam dunia intelektual
Muslim, bahkan memberikan pengaruh besar terhadap renaissance Eropa pada
abad pertengahan.
Penyelenggaraan gerakan-gerakan intelektual dan kegiatan transmisi keilmuan
pada masa kejayaan intelektual di era Abbasiyah pertama, merupakan kajian
sejarah pendidikan Islam masa klasik, yang terbagi atas tiga rumpun, yaitu
rumpun adab (humaniora), rumpun ilmu-ilmu keagamaan, dan rumpun ilmu
pengetahuan asing, khususnya yang berasal dari Yunani.14
Oleh sebab itu,
pembahasan terkait kosmopolitanisme masyarakat Islam Abbasiyah dan transmisi
11
Usman, “Tradisi Keilmuan Kaum Elit Dinasti Abbasiyah”, 60-62. 12
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, 53. 13
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 80. 14
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Terj.: A. Syamsu Rizal dan Nur Hidayah (Jakarta:
Serambi, 2005), 139.
52
keilmuan, akan menitik beratkan pada pembahasan mengenai transmisi ilmu-ilmu
humaniora, falsafah, dan sains, sebagai representasi dan trademark bagi kalangan
istana, sekaligus transmisi ilmu agama sebagai ilmu-ilmu yang dikembangkan
oleh masyarakat perkotaan, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Lapidus pada
beberapa alinea sebelumnya.
A. Transmisi Ilmu-ilmu Humaniora
Kajian humaniora dalam peradaban Arab-Islam menjadi kajian keilmuan
cukup tua yang telah dikenal oleh masyarakat Arab, dan merupakan hal yang
tidak terpisahkan dalam perjalanan keilmuan Islam. Menurut Makdisi, kajian
humaniora pada masa Islam klasik seringkali dikaitkan dengan istilah ,
yang meliputi kajian filologi dan sastra.15
Pesatnya kajian humaniora pada masa Abbasiyah, khususnya Abbasiyah
pertama, secara tidak langsung merupakan imbas dari upaya Khalifah Al-
Makmun yang memberikan perhatiannya terhadap gerakan-gerakan
penerjemahan. Khalifah Al-Makmun menggelontorkan dana cukup besar bagi
gerakan penerjemahan dan kelangsungan kajian keilmuan di -.
Oleh sebab itu, karya-karya bahasa dan sastra berkembang pesat dan mencapai
kematangan pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun. Kematangan
dalam hal sastra dan kebahasaan, melahirkan lembaga , yang memotori
gerakan-gerakan humanisme.16
Sekaligus, adanya perhatian yang diberikan
terhadap Bahasa Arab klasik, usaha sungguh-sungguh untuk mengumpulkan
kosa katanya yang begitu luas, dan menelusuri kata-kata asing dan kata-kata
langka yang terdapat dalam puisi Arab kuno, Al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi
15
Ibid., 85. 16
Marshall Hodgson, the Venture of Islam 2, 473.
53
pada akhirnya memicu lahirnya cabang-cabang pengetahuan dalam kajian
adab, diantaranya:
1. Filologi, yaitu tata bahasa dan ilmu tentang makna („, ,
).
2. Syair atau puisi, termasuk di dalamnya ilmu „ (kajian menarik
tentang metrik dalam puisi) dan ilmu (kajian tentang rima atau
bunyi akhir sebuah puisi).
3. Retorika (, , , ) seperti yang
diterapkan dalam ilmu persuratan () dan penulisan pidato
().
4. Sejarah (, ), meliputi kajian terhadap silsilah orang Arab
terdahulu („), kisah peperangan, adat kebiasaan dan
sejarah suku mereka (). Tradisi penulisan ini
memunculkan berbagai genre penulisan sejarah, seperti catatan harian
(), catatan tahunan (), catatan peristiwa
().
5. Filsafat moral („), termasuk peribahasa dan ungkapan
tentang moral, pepatah, ilmu pemerintahan, aturan dan tata tertib untuk
para pejabat, baik di pemerintah maupun pejabat agama seperti
sekretaris, hakim, menteri, dan sebagainya.17
Kajian ilmu humaniora terus menemui perkembangannya dan
memposisikan diri sebagai kajian keilmuan yang pokok dalam peradaban
Arab-Islam. Maka, tidak mengherankan jika pada masa kejayaan intelektual
17
Ibid., 184-185.
54
masa Abbasiyah, kajian humaniora mendapat perhatian yang cukup besar
dengan ditransmisikannya ilmu-ilmu humaniora tersebut di berbagai lembaga-
lembaga pendidikan Islam, seperti , masjid, perpustakaan, klub
, rumah-rumah, dan toko buku.
Transmisi ilmu-ilmu humaniora tidak bisa dilepaskan dari lembaga
pendidikan dasar, . ialah institusi yang telah ada sejak abad
pertama Islam. Di awal kemunculannya, secara khusus mengajarkan
ilmu-ilmu agama, membaca, dan menulis. Namun, kemudian muncul
yang mengajarkan kajian humaniora atau sejak abad ke 8.
mengajarkan pengetahuan umum, khususnya bidang humaniora disamping
ilmu-ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam
dengan warisan budaya Hellenisme, sehingga banyak membawa perubahan
dalam bidang kurikulum pendidikan Islam.18
Sekolah mengajarkan ilmu nahwu dan ilmu Al-Qur‟an yang terbagi
dalam beberapa jenjang, yaitu tingkatan dasar, menengah, dan tingkat ahli
yang secara khusus mengajarkan kepandaian menulis. Selain sebagai lembaga
pendidikan dasar dan menengah, juga dikenal dengan fungsinya
sebagai perguruan tinggi, tempat alumninya dapat melanjutkan pendidikannya
secara otodidak, mengabdi kepada seorang guru, atau hidup di tengah-tengah
masyarakat, sambil mengumpulkan bahan-bahan sejarah dan leksikografi serta
memperkaya pengetahuan mereka dengan syair dan prosa Arab klasik.
Misalnya, yang dilakukan oleh penyair abad ke 10, Sayduk, setelah
menyelesaikan studi nya di Basrah, Sayduk kemudian tinggal
18
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: dari Abad Pertengahan Hingga Masa Klasik (Jakarta:
Grafindo, 2010), 34.
55
bersama dengan suku-suku Badui di (padang pasir Arab) selama
sepuluh tahun, guna memperdalam pengetahuan Bahasa Arab klasik.
Selain , kegiatan transmisi ilmu-ilmu humaniora dilakukan di
lembaga pendidikan Islam tertua, yaitu masjid. Di samping berfungsi sebagai
lembaga pengajaran ilmu-ilmu agama, masjid juga digunakan untuk
mengajarkan kajian-kajian , seperti leksikografi, syair, sejarah, silsilah,
dan kajian lainnya. Pada abad ke 8, para guru sering mengajar dua
bidang keilmuan ini sekaligus. Al-Maqdîsî menemukan berbagai macam
atau lingkaran-lingkaran pendidikan di Palestina, Suriah, Mesir, dan
Faris. Al-Maqdîsî melihat sekelompok pelajar yang berkumpul mengitari
seorang guru (), juga lingkaran para pembaca Al-Qur‟an dan karya sastra
di masjid-masjid. Sedangkan Ibnu Hawqal menyatakan, bahwa dirinya pernah
menjumpai lingkaran-lingkaran belajar serupa di kota Sijistan. Materi yang
disampaikan tidak hanya materi keagamaan, akan tetapi juga linguistik dan
puisi.19
Yûnus Ibn Habîb, merupakan guru dari sejumlah ulama, seperti Sîbawayh,
Al-Kisâ‟î dan Al-Farrâ‟, yang mengajar nahwu di Masjid Basrah. Kelompok
belajarnya sering dipenuhi oleh para sastrawan dan orang-orang Arab yang
dianggap sebagai penutur asli Bahasa Arab klasik. Di masjid Manshûr
Baghdad, Ibn Al-Syajarî, mengajarkan nahwu di tempat yang sebelumnya
dipakai oleh Tsa‟lab.
Di Masjid Basrah, ada beberapa lingkar studi (), diantaranya
adalah Khalîl Ibnu Ahmad yang mengkaji pelajaran tata bahasa, puisi,
19
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 519.
56
dan (ilmu tentang ritme dalam puisi). digunakan sebagai
metode untuk belajar dan menghafal bahan-bahan kajian , serta
memeliharanya agar tetap segar dalam ingatan. Selain sebagai cara bersama
untuk mendapatkan pengetahuan, juga digunakan sebagai cara
untuk menguji pengetahuan seorang pelamar yang ingin menduduki suatu
jabatan. Misalnya dalam pengangkatan tutor yang dilakukan Khalifah Al-
Mahdî untuk mengangkat Al-Kisâ‟î sebagai tutor anaknya, Hârûn.
Istilah merujuk pada beberapa arti, salah satunya ialah diskusi
ilmiah. Dalam suatu beberapa orang terlibat di dalam suatu
percakapan tentang suatu tema atau pelajaran tertentu. Mereka saling bertukar
pendapat dan pengetahuan, agar setiap cendekia yang terlibat memperoleh
manfaat, begitu pula orang-orang yang hadir untuk mendengarkan saja.
Selain itu, keberadaan perpustakaan menjadi tempat vital dalam transmisi
ilmu-ilmu humaniora yang diselenggarakan pada masa Dinasti Abbasiyah.
Perpustakaan dengan segala jenisnya, dikenal dengan beberapa nama, yaitu
(rumah), (rumah), dan (gudang), yang digabungkan dengan
kata (pengetahuan), (kebijaksanaan), dan (buku)
menyediakan berbagai macam buku-buku sastra yang dibutuhkan oleh pecinta
ilmu humaniora. Kegiatan transmisinya dilakukan dengan melakukan
sejumlah penelitian, memecahkan masalah, maupun menganalisis karya-karya
sastra.
Selanjutnya, tempat diselenggarakannya kegiatan transmisi ilmu-ilmu
humaniora ialah klub-klub atau . Terbentuknya klub-klub
atau , dilatar belakangi dari kegiatan lingkar-lingkar sastra
57
yang ada di dalam masjid, kemudian lambat laun membentuk pusat-pusat
pendidikan di rumah-rumah dan klub-klub atau . Klub-
klub dikelola oleh para intelektual yang bidang keahlian mereka tidak
termasuk dalam kurikulum pendidikan resmi, seperti kedokteran dan filsafat.
Pendiri klub yang pertama adalah para dokter yang merangkap
sebagai budayawan. Hal ini lumrah terjadi, dikarenakan posisi sebagai
ilmu yang dapat dijalani secara amatir, artinya, profesi sebagai budayawan
tidak menjadi penghidupan utama, melainkan ada profesi lain yang menjadi
penghidupan utamanya, seperti dokter, teolog, maupun pegawai pemerintahan.
Yûsuf Ibn Ibrâhîm menemukan sejumlah kelompok-kelompok studi di
kota Baghdad yang dikelola oleh dokter, teolog kalam, atau seorang filsuf.
Salah satu lingkar studi yang cukup terkenal ialah kelompok ()
milik dokter Yuhâna Ibn Masawayh, yang keadaan studi nya
digambarkan oleh Yûsuf Ibn Ibrâhîm sebagai kelompok yang paling maju.
Kelompok studi milik Yuhâna Ibn Masawayh menjadi tempat pertemuan
sejumlah ahli dari berbagai kajian .
Yuhâna Ibn Masawayh merupakan seorang dokter dari Jundishapur,
tempat sekolah kedokteran tertua berdiri. Beberapa karyanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dan beliau juga melakukan sejumlah
penerjemahan beberapa karya Yunani pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid
dan Al-Makmun. Bahkan, Khalifah Al-Makmun mengutus Yuhâna Ibn
Masawayh ke Bizantium untuk mencari karya-karya Yunani dan
membawanya ke Baghdad.20
Selain itu, sebagai etalase dalam
20
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, 103.
58
mempertunjukkan kehebatan para ahli sastra, penguasa pada masa
kekhalifahan Abbasiyah pertama, sering menyelenggarakan berbagai kontes
puisi, debat keagamaan dan konferensi pendidikan.21
ahli nahwu di Baghdad lebih mendekati sebuah akademi. Di tempat
itu, para intelektual yang sekaligus berperan sebagai budayawan
mendiskusikan karya-karya mereka dan menambah pengetahuan dalam
berbagai bidang. Salah satunya ialah (akademi ahli
nahwu) yang berdiri pada abad ke 3-4 Hijriyah. Akademi ini sering
mengundang Ibnu Kaysân dan Zajjâj untuk ikut berdiskusi. Ibnu Hubayrah,
perdana menteri khalifah dinasti Abbasiyah yang bermazhab Hanbalî, yaitu
Al-Nâshir, memiliki sebuah terbuka bagi para intelektual dalam bidang
agama dan . Salah satu anggotanya ialah seorang dokter yang merangkap
sekaligus menjadi seorang budayawan, yang bernama Abû Ja‟far Al-Dzahah.
Tempat kajian adab lainnya ialah di rumah-rumah. Rumah atau tempat
tinggal sering digunakan sebagai tempat belajar, khususnya ketika tidak
tersedia lembaga pendidikan resmi yang mengajarkan disiplin ilmu tertentu.
Terutama, kajian-kajian yang menjadi tempat pertemuan rutin berbagai
kelompok kajian .
Ibnu Thufayl pernah berkata kepada pelindungnya, Ahmad Ibnu Thûlun,
bahwa dirinya mempunyai seorang anak laki-laki yang diajari berbagai cabang
ilmu humaniora di rumahnya sendiri. Sastrawan yang juga ahli nahwu, Al-
Nuhhâs, dikatakan tidak pernah melewatkan satu pertemuan pun yang
21
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 519.
59
diselenggarakan setiap Jum‟at di rumah seorang yang juga seorang
teolog dan sastrawan, Ibnu Al-Haddâd.
Juzajani, seorang murid dari filsuf Ibnu Sînâ, menceritakan perihal
gurunya yang menjadikan rumah pribadinya sebagai sekolah filsafat dan
kedokteran pada malam hari. Juzajani sering diminta untuk membaca buku
filsafat, Al-Syifâ‟, karya gurunya, dan seorang murid lainnya membacakan
buku kedokteran Al-Qânûn di hadapan murid-murid yang lain. Setelah
pelajaran selesai, mereka menyantap makanan dan minuman sambil
menikmati lagu dari para biduan. Lebih lanjut, ia menyatakan perkuliahan itu
dilakukan pada malam hari, karena di siang hari Ibnu Sînâ sibuk bertugas
sebagai dokter istana.22
Selain rumah, toko-toko buku juga sering digunakan sebagai pusat
kegiatan ilmiah. Al-Qifthî mengisahkan seorang sastrawan penjual buku, yaitu
„Abdullah Al-Azdî. Toko bukunya di Baghdad, dijadikan tempat pertemuan
para sastrawan. Di sana, perdebatan dan diskusi dilakukan lebih intens
dibandingkan dengan klub-klub sastra lainnya. Al-Qifthî telah memperoleh
beberapa salinan sejumlah besar karya sastra untuk perpustakannya sendiri,
khususnya karya Abû „Ubayd yang berjudul (Buku
Peribahasa). Al-Qifthî berkomentar, bahwa buku itu merupakan hasil
suntingan terbaik yang pernah dilihatnya. Al-Qifthî juga berkisah tentang para
sejarawan yang sedang mencari-cari naskah dan mereka bersaing untuk
mendapatkan naskah karya Al-Azdî.
22
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, 106-107. Lihat juga Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, 156.
60
Yâqût memulai karirnya sebagai pegawai di sebuah toko buku. Al-Nadîm,
menjalani karirnya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian
menulis sebuah karya besar berupa katalog yang berjudul Al-Fihrist, dimana
Al-Fihrist ini diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya
sastra yang sangat baik.
Keberadaan kajian humaniora tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam
bidang kesekretariatan. Dimana bidang kesekretariatan merupakan unsur
penting dalam menjalankan pemerintahan Abbasiyah. Salah satu cara
transmisi yang dilakukan ialah dengan cara magang di kantor arsip negara.
Sekretaris pertama yang menjadi sangat terkenal ialah „Abd Al-Hamîd yang
dilatih di kantor arsip Bani Umayyah pada masa Khalifah Sâlim. Ia menjadi
sekretaris Khalifah Hisyâm Ibnu „Abdul Al-Mâlik. Pada akhirnya „Abdul Al-
Hamîd menjadi bagian keluarga istana, karena menikahi salah seorang putri
bangsawan. Sebagai gantinya, „Abdul Al-Hamîd melatih anak lelakinya
sendiri, Ismâ‟îl. Selanjutnya, Ismâ‟îl melatih sekretarisnya, Ya‟qûb Ibnu
Dâwud yang kelak menjadi perdana menteri Khalifah Al-Mahdî pada masa
Abbasiyah.23
Al-Fadhl Ibnu Marwân memulai karirnya sebagai pembantu gubernur
jenderal Hartsama Ibnu A‟yân. Ketika Hartsama Ibnu A‟yân meninggalkan
Baghdad, Fadhl meminta izin untuk tetap tinggal di kota Baghdad, sehingga ia
sempat bekerja di kantor arsip Khalifah Hârun Al-Rasyîd. Disinilah ia dilatih
sebagai sekretaris dan karirnya terus meningkat sampai akhirnya ia menjadi
perdana menteri pada masa Khalifah Al-Mu‟tashim.
23
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 108.
61
Metode hafalan memainkan peran yang sangat penting dalam proses
belajar ilmu-ilmu humaniora. Metode hafalan melibatkan sejumlah bahan
bacaan. Setiap pelajar harus membaca bahan-bahan tersebut, kemudian
berusaha memahaminya, dan menyimpannya dalam memori dengan cara
mengulangi bahan bacaan itu terus-menerus dalam interval waktu yang tidak
begitu lama. Ada dua bentuk hafalan, yaitu hafalan yang terbatas hanya
dengan cara memindahkan bahan bacaan ke dalam ingatan, sebagaimana yang
umumnya dilakukan oleh para ahli hadis dan ahli leksikografi.
Sedangkan hafalan bentuk kedua biasanya dilakukan oleh para sastrawan
dan kaum skolastik yang menghendaki pemahaman yang lebih baik terhadap
suatu bahan. Mereka menghendaki tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Jalan
menuju kreativitas membutuhkan perjuangan yang lebih keras untuk
mendapatkan bahan pelajaran dan yang diriwayatkan dari seorang pakar
(proses ), kemudian melalui proses , yaitu memahami bahan-
bahan yang disampaikan, dan akhirnya mencapai tahapan , yaitu
berusaha seoptimal mungkin dengan segala kemampuan sendiri, dengan gaya
yang menarik, dan diungkapkan dengan gaya bahasa yang fasih, jelas, dan
ringkas ().24
Filsuf Ibnu Sînâ, menurut muridnya, Juzâjânî, menuntaskan
penulisan beberapa buku dari karyanya, Kitâb Al-Syifâ‟, yang semuanya ia
hafal.
B. Transmisi Ilmu-ilmu Filsafat dan Sains
Ilmu-ilmu filsafat dan sains merupakan ilmu-ilmu yang banyak
terpengaruh budaya dari luar, khususnya budaya Yunani. Maka, berdasarkan
24
Ibid., 315.
62
klasifikasi Makdisi mengenai ilmu-ilmu yang berkembang pada masa Islam
klasik, ilmu filsafat dan sains menjadi satu pembahasan, sebab, keduanya
merupakan rumpun ilmu yang mendapat pengaruh budaya dari luar.
Ilmu filsafat membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif
tentang hidup ini dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya. Salah satu leader
Mu‟tazilah pada periode Abbasiyah, Al-Nazhzhâm mengembangkan
kecenderungan dualistik Persia dalam Islam dan menyatakan bahwa keraguan
merupakan kebutuhan niscaya dalam pengetahuan. Hal ini berdampak pada
corak berkembangnya macam-macam keilmuan yang ditransmisikan,
khususnya dominasi ilmu filsafat.
Filsafat mendapat pengaruh kuat dari Hellenisme atau pemikiran Yunani.25
Pengaruh kuat tersebut kemudian memunculkan kontroversi terhadap filsafat
itu sendiri dalam Islam. Kontroversi filsafat ialah sampai dimana Islam
mengijinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan
Yahudi dan Kristen, apalagi dari orang-orang kuno Yunani yang pagan
melalui gerakan penerjemahan yang banyak dilakukan pada masa kejayaan
intelektual masa Dinasti Abbasiyah.
Melalui penerjemahan karya-karya asing tersebut, khususnya Yunani,
pemikiran Muslim dirangsang dan didorong untuk berpikir, sejak itu pula
banyak doktrin-doktrin dan keyakinan-keyakinan yang ditransmisikan ke
dalam Bahasa Arab melalui gerakan penerjemahan ini menjadi antitesa dari
dasar-dasar ajaran Islam.26
Filsafat mempunyai karakteristik tersendiri,
25
Sholihan, Pernik-pernik Pemikiran Filsafat Islam (Semarang: Wali Songo Press, 2010), 4. 26
C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 28.
63
sehingga filsafat memungkinkan untuk diterima oleh Islam, seperti yang
dikemukakan oleh Anawati, dikutip dari Sholihan, antara lain:
1. Keberagaman para filosof Muslim berpangkal sama, yaitu kebenaran
Al-Qur‟an dan ajaran-ajaran Islam. Tak seorang pun yang berani
meragukannya. Namun, dalam rangka ini, mereka tetap berbasis
rasional sama, yaitu filsafat Yunani.
2. Filsafat merupakan bagian dari gejala pemikiran Yunani yang secara
terus menerus mengimbau kepada orang-orang bijak yang besar dari
jaman kuno, percaya kepada kesatuan kebijaksanaan, semacam
inspirasi bagi kalangan filosof kuno, dimana pewahyuan Islam tidak
lain daripada kelanjutannya. Para filosof Muslim ingin tetap taat pada
tradisi kebijaksanaan ini.
3. Filsafat Islam bermaksud menjadi kebijaksanaan ().
4. Kualitas kebijaksanaan yang diusahakan dan diikuti oleh filsafat Islam
ini, setidaknya dalam niatnya, tidak lain ialah kualitas keagamaan. Ia
mengandung unsur-unsur keagamaan yang diambil dari Al-Qur‟an,
tetapi bukan sekadar meminjam sebagai unsur-unsur keagamaan saja,
melainkan sungguh-sungguh berusaha untuk “merujukkan” agama dan
akal, dengan tujuan memberikan “status” keilmuan yang pertama.
Mereka menerapkan struktur filsafat Yunani kepada prinsip-prinsip
agama, dengan demikian memberi sentuhan keagamaan pada filsafat
Yunani, hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Yunani
sendiri.
64
5. Filsafat Islam menunjukkan kegemarannya pada masalah-masalah
pengetahuan dan masalah basis psikologis dan ontologisnya. Misalnya
dalam traktat-traktat falsafah Al-Kindi, Al-Farabi, dan terutama Ibnu
Sînâ, analisis-analisis yang ditemukan merupakan bentuk mendalam
dan cermat mengenai berbagai kekuasaan makhluk, dan tingkat-tingkat
yang harus dilalui untuk mencapai kesatuan dengan sumber segala
makhluk, termasuk tingkat penyucian moral. Disini, secara jelas
terlihat bagaimana Neo-Platonismeme Yunani diperkuat oleh
penjelasan-penjelasan tertentu yang diambil oleh Al-Qur‟an.27
Dari karakteristik yang telah disampaikan, terlihat bahwa bahan-bahan
yang dipakai untuk menyusun sistem falsafah ini ialah bahan-bahan Yunani
atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani. Maka, dalam materi atau isi,
sifatnya ialah sama sekali Hellenistik. Namun, konstruksi aktual yang dipakai
ialah sistemnya sendiri, jelas merk Islam, sepanjang seluruh batas-batas
metafisiknya ia berurusan dengan jalinan metafisika religius Islam dan dengan
sadar menciptakan tidak hanya titik singgung, tetapi juga titik persamaan
dengan metafisika Islam.28
Ketika hal ini menjadi keniscayaan yang benar, bahwa filsafat Muslim
berhutang besar terhadap pemikiran Yunani, disisi lain dibenarkan juga bahwa
orang-orang Muslim secara pokok “agak menyimpang” dari pemikiran Yunani
pada konsepsi-konsepsi mereka mengenai Allah, manusia dan alam semesta,
27
Sholihan, Pernik-pernik Filsafat Islam, 13-14. 28
Ibid., 15.
65
dan pengenalan pada bidang filsafat, seperti permasalahan yang tidak
diketahui dalam pemikiran Yunani.29
Era Abbasiyah pertama, merupakan era kejayaan intelektual yang
tercermin dari majunya kajian ilmu-ilmu filsafat dan sains. Puncaknya, ketika
memasuki pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid dengan paham
Mu‟tazilahnya, dimana hal tersebut lantas menjadikan ilmu filsafat dan sains
berkembang subur dan menjadi perhatian oleh kaum elit kerajaan. Ilmu
filsafat merupakan ilmu yang sangat mengedepankan rasionalisme, dimana
rasionalisme menjadi hal yang sangat ditekankan oleh penguasa pada waktu
itu, sesuai dengan pemakaian paham Mu‟tazilah. Bahkan, karena filsafat,
Baghdad mencapai kemajuannya dalam peradaban dan kebudayaannya.
Kecintaan Khalifah Harun Al-Rasyid terhadap keilmuan, ditunjukkan
dengan pembangunan yang berfungsi untuk
memfasilitasi berbagai gerakan-gerakan intelektual. Kejayaan ilmu-ilmu
falsafah ini lantas kian menemui puncaknya pada pemerintahan Khalifah Al-
Makmun dengan meneruskan apa yang telah dilakukan ayahnya, Khalifah
Harun Al-Rasyid. Khalifah Al-Makmun membangun -, yang
menjadi poros utama dalam melakukan berbagai gerakan-gerakan intelektual
Muslim di dalamnya. Bahkan, lembaga-lembaga tersebut mendapat perhatian
khusus dari penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Sehingga, kalangan elit
kerajaan mempunyai kekuasaan penuh dalam pengembangan ilmu filsafat dan
sains sebagai orientasi khusus untuk generasi penerus kerajaan, sekaligus
29
C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 28.
66
didasari oleh semangat penyelidikan ilmiah guna membuktikan ajaran-ajaran
Al-Qur‟an.
Namun, tidak serta merta kegiatan transmisi ilmu-ilmu filsafat dan sains
menjadi monopoli mutlak bagi elit kerajaan di istana. Selain di -
, transmisi ilmu-ilmu filsafat dan sains diselelnggarakan pula di
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, seperti perpustakaan,
observatorium, toko-toko buku, dan rumah-rumah ulama.
Perpustakaan berfungsi sebagai lembaga kajian ilmu yang terbuka untuk
umum dengan menyimpan sejumlah koleksi buku-buku logika, filsafat,
astronomi, dan bidang ilmu-ilmu lainnya. Perpustakaan umum dibangun untuk
masyarakat umum yang ingin mengakses berbagai macam ilmu pengetahuan
yang tersedia di dalamnya. Sedangkan perpustakaan pribadi dibangun oleh
orang-orang kaya atau di istana khalifah.30
Transmisi ilmu-ilmu filsafat dan sains yang dilakukan di perpustakaan
atau observatorium, dilakukan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti
luas, yaitu belajar bukan berarti menerima ilmu dari guru sebagaimana
umumnya, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa
(student centris), misalnya belajar dengan memecahkan masalah (problem
solving), bereksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan
penemuan (inquiry).31
Ada juga perpustakaan yang digunakan sebagai tempat-
tempat pertemuan untuk diskusi dan debat ilmiah, seperti perpustakaan yang
dibangun oleh „Adûd Al-Dawlah di Syiraz.32
30
Soewito, et. al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 31. 31
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 161. 32
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 521.
67
Diceritakan, Abû „Ali Al-Husayn, atau nama depan Ibnu Sînâ adalah putra
dari „Abdullâh dari keluarga Ismâ‟îl. Ketika Ibnu Sînâ muda berhasil
menyembuhkan seorang Sultan dari Dinasti Samaniyah di Bukhara, Nûh Ibn
Manshûr, Ibnu Sînâ diberikan hak istimewa untuk menggunakan perpustakaan
besar milik raja. Dianugerahi dengan kemampuan luar biasa untuk menyerap
dan memelihara pengetahuan, sarjana Islam Persia ini bebas mengakses buku-
buku di perpustakaan itu dan berhasil menulis sebuah buku pada usia 21
tahun.33
Ibnu Sînâ tidak hanya mampu menulis buku berdasarkan alasan
intelektual yang dikemukakannya, akan tetapi juga didasarkan atas penelitian
dan eksperimen secara sistematis dan akurat yang dilakukan di perpustakaan.
Sementara kegiatan transmisi ilmu-ilmu di observatorium yang dibangun
oleh Khalifah Al-Makmun di Jundishapur yang letaknya dekat dengan
, para astronom kerajaan tidak saja mengamati dengan
seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-benda langit, tetapi juga
menguji semua unsur penting dalam Almagest dan menghasilkan amatan yang
sangat akurat mengenai sudut ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari,
panjang tahun matahari, dan sebagainya.34
Selain itu, ada juga observatorium lain yang dibangun oleh ketiga anak
Mûsâ Ibnu Syâkir di rumah mereka di Baghdad. Dari penelitian di
observatorium ini, terciptalah buku (bintang-bintang
yang berada pada tempatnya) dan menjadi karya besar dalam bidang
astronomi. Sebelumnya, dilakukan penelitian yang memastikan sudut ekliptik
bumi, dan memecahkan persoalan Archimedes tentang ekuasi kubik. Selain
33
Ibid., 460. 34
Ibid., 469.
68
itu, ada beberapa observatorium lain yang dibangun untuk secara khusus
menjadi kegiatan transmisi ilmu-ilmu sains, dimana dalam observatorium-
observatorium dan perpustakaan-perpustakaan tersebut, teori-teori yang
dikemukakan telah melewati serangkaian eksperimen yang rumit dan
penelitian yang benar-benar akurat.
Sedangkan transmisi ilmu filsafat dan sains yang berlangsung di toko
buku, menurut deskripsi Ahmad Syalabi ialah sekelompok manusia yang
berkumpul di pasar-pasar bangsa Arab dan menggunakan kesempatan
pertemuan ini untuk mempertunjukkan kehebatan dalam bidang sastra.
Mereka membaca syair dan menyelenggarakan diskusi serta berpidato.
Lambat laun, muncullah cara-cara dan metode serupa yang menyebar dengan
cepat pada setiap ibu kota.35
Penyebaran toko-toko buku ini bermula dengan
keperluan berdagang, namun kemudian menjadi tempat untuk pertunjukan
kebudayaan dan peradaban serta kegiatan ilmiah yang didatangi oleh para
budayawan dan sastrawan. Metode seperti ini, menunjukkan sisi demokratis
yang dimiliki oleh masyarakat Abbasiyah. Berdiskusi dan menunjukkan
kebolehan melalui pertunjukan sastra secara bergantian, merupakan suatu
etalase dalam menunjukkan kemampuan.
Toko-toko buku yang berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai
bermunculan sejak awal Dinasti Abbasiyah. Al Ya‟qûbi meriwayatkan,
bahwa, pada sekitar tahun 891 Hijriyah, ibukota negara Abbasiyah diramaikan
dengan lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang
sama. Toko-toko buku itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat menjual buku
35
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 250.
69
saja, akan tetapi juga sebagai pusat aktivitas para ahli, pusat kegiatan ilmiah
dan menyalin naskah.36
Mereka yang berkutat dalam kegiatan di toko-toko
buku tersebut, mendapatkan kedudukan terhormat di tengah masyarakat.
Abu Yusuf Ya‟qub Ibn Ishaq Al-Kindi (801-873 M), merupakan pemikir
yang dengan suara bulat diterima sebagai filosof Arab pertama, baik dalam
arti etnik maupun kultural. Memang dalam beberapa pemikiran Al-Kindi
masih bernuansa , yang dalam hal ini adalah Mu‟tazilah, namun
Al-Kindi adalah orang pertama yang merintis jalan menyesuaikan filsafat
Yunani dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga lahirlah suatu disiplin
ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang disebut falsafah.
Al-Farabi mengunjungi Baghdad pada abad ke 10, disana ia berjumpa
dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah.
Al- Farabi hidup pada tahun 870-950 M, yang berarti ia hidup pada masa
kurang lebih satu abad setelah gerakan penerjemahan secara besar-besaran
karya-karya Yunani yang digagas Khalifah Al-Makmun. Dengan karya-karya
tersebut, Al-Kindi tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari dan
mendalami filsafat Yunani, dan seterusnya kemudian melakukan usaha-usaha
pemaduan antara filsafat Yunani dengan Islam.
Ilmu falsafah mengalami kemunduran ketika tradisionalisme menguat,
sebab ilmu falsafah ini dipandang sebagai ilmu subversif. Pada perkembangan
selanjutnya, ketika Madrasah Nizhamiyah mulai tersebar, ilmu falsafah ini
dibatasi dan perlahan dihapuskan dari kurikulum madrasah seiring
36
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 521.
70
terpuruknya paham Mu‟tazilah ketika Khalifah Al-Mutawakkil memakai
paham tradisionalisme pasca diberlakukannya peristiwa .37
C. Transmisi Ilmu-ilmu Agama
Transmisi ilmu-ilmu agama pada masa Abbasiyah mengarah pada ilmu
teologi, hukum, Al-Qur‟an, dan hadis. Aktivitas-aktivitas intelektual dalam
ilmu-ilmu agama yang muncul, condong pada orang Arab sebagai orang Arab
dan seorang Muslim. Kebanyakan sarjana dalam bidang ini merupakan
keturunan Arab, dimana berbeda dengan sarjana di bidang filsafat dan sains
yang kebanyakan berasal dari Suriah, Yahudi, dan keturunan Persia.38
Perhatian dan minat orang Arab pada masa paling awal tertuju pada cabang
keilmuan yang lahir dari motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan
menjelaskan Al-Qur‟an, kemudian menjadi landasan kajian teologis dan
linguistik yang serius.
Ilmu hadis menjadi salah satu landasan kurikulum yang paling pokok
dalam transmisi ilmu-ilmu agama. Hafalan menjadi metode pokok yang sangat
ditekankan pada pengajaran ilmu ini, mengingat catatan harian atau
memorandum belum membudaya, sehingga kemampuan menghafal harus
dikembangkan setinggi mungkin. Al-Ghazâlî mendapat gelar sebagai
, karena mampu menghafal 300.000 hadis. Imam Ahmad Ibnu
Hanbâl mampu menghafal 1.000.000 hadis. Kalangan lain yang menandingi
para ahli hadis dalam menghafal adalah para penyair. Al-Mutanabbi, seorang
penyair, setelah membaca sebuah buku yang dipinjamkan oleh seorang
37
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Logos, 1999), 2. 38
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 492.
71
penjual buku, dia merasa tidak perlu lagi membeli buku, sebab seluruh isinya
telah tersimpan dalam ingatannya.
Teologi atau menjadi ilmu yang dominan dipelajari dan
ditransmisikan dalam rumpun ilmu agama. Para penulis Arab menerapkan
kata dan (filosof atau sufi) terhadap para filosof yang
pemikiran spekulatifnya tidak dibatasi agama, dan menerapkan istilah
(ahli bicara atau ahli dialektika) pada orang-orang yang
memposisikan sistem pemikirannya dibawah ajaran agama samawi. Kelompok
merumuskan teori mereka dalam bentuk proposisi sehingga
mereka disebut dengan ahli pembuat proposisi. Perlahan, disebut
dengan teologi, dan disinonimkan dengan teolog.39
Ilmu merupakan ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis dalam
mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang
menyimpang dalam dogma yang dianut kaum Muslim pertama dan ortodoksi
muslim, .40
Ilmu mengarahkan pembahasannya
kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya, yang oleh
karenanya sering disebut dengan teologi. Ilmu menjadi tumpuan
pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam. Dari
sebutan-sebutan lain ilmu , terlihat bahwa kalam masih membatasi diri
pada masalah yang spesifik pada agama, sehingga dalam pengelompokan
ilmu-ilmu, ilmu dikelompokkan Ibn Khaldun dalam kelompok
.
39
Ibid., 463. 40
Ibn Khaldun, Muqaddimah, 589.
72
Seperti halnya falsafah, juga mendapat pengaruh budaya dari luar,
khususnya Hellenisme. Keberadaan juga mengalami kontroversi, meski
tidak setajam kontroversi yang dialami oleh falsafah. memperoleh
kedudukan lebih terhormat dari falsafah, terbukti dengan jenis-jenis
penyebutan lain ilmu ini. disebut juga dengan ilmu , ilmu
, Ilmu Tauhid, dan Ilmu .41
Dalam perkembangannya, ilmu telah berkembang menjadi beberapa
aliran-aliran. Unsur Yunani dalam penalaran keagamaan adalah Jahm Ibn
Shafwan yang berpaham Jabbariyah, yakni pandangan bahwa manusia tidak
berdaya sedikitpun jika berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.
Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabbariahnya dari Aristotelianisme,
yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah
suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal
keadaan-keadaan umum (universal tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus/
partikular). Maka, Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum
alam. Hukum alam tidak mengenal pribadi dan bersifat pasti dan tidak
terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang pribadi.
Baginya, Tuhan adalah kekuatan yang maha dahsyat, namun tidak
berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka, mengikuti Aristoteles
tersebut, Jahm dan para pengikutnya sampai pada mengingkari adanya sifat
bagi Tuhan. bagi mereka, dengan adanya sifat-sifat Tuhan, membuat Tuhan
menjadi ganda dan bertentangan dengan konsep tauhid yang diyakini.42
41
Sholihan, Pernik-pernik Filsafat Islam, 5. 42
Ibid., 10.
73
Sebaliknya, kaum Mu‟tazilah menolak paham Jabbariyah kaum Jahmi, dan
memutuskan untuk mengikuti paham Qadariyah. Mu‟tazilah menggunakan
bahan-bahan Yunani yang semakin dimudahkan dengan adanya kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani ke Bahasa Arab. Selain itu, timbul aliran
yang bersifat memadukan antara pola pikir tradisionalis dan pola pikir
rasional, yaitu paham Maturidiyah.43
Abû Hasan „Alî Al-Asy‟arî merupakan orang yang paling berjasa dalam
menyingkirkan teori-teori Mu‟tazilah dan membangun kembali ajaran
ortodoks yang sejak saat itu menjadi warisan Sunni Islam. Pada awalnya Abû
Hasan „Alî Al-Asy‟arî adalah murid seorang teolog Mu‟tazilah, Al-Zubbâ‟î,
yang kemudian mengubah pandangannya dan terlibat polemik dengan guru-
gurunya terdahulu. Abû Hasan „Alî Al-Asy‟arî menggunakan argumen-
argumen logis dan filosofis yang telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh
guru-guru Mu‟tazilahnya. Dengan demikian, sebagai tambahan pencapaian-
pencapaiannya yang lain, Abû Hasan „Alî Al-Asy‟arî menjadi pendiri mazhab
teologi skolastik dalam Islam ().
Kajian teologi Al-Asy‟arî menyuguhkan konsep (tanpa
modalitas), yang berarti penganjuran pada setiap Muslim untuk menerima
ungkapan-ungkapan antropomorfis dalam Al-Qur‟an tanpa mencari atau
mengupayakan penjelasan tertentu. Dari konsep inilah, penelitian
dan pemikiran bebas mengalami pengendalian dan pembatasan.44
Oleh karena
itu, mazhab pemikiran ini menemui puncaknya seiring dikembangkannya
Madrasah Nizhamiyah, dimana madrasah ini berorientasi untuk menyebar
43
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 106. 44
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 543.
74
luaskan teologi Al-Asy‟arî. Paham Asy‟ariyah tumbuh menjadi aliran
paling berpengaruh dalam islam sampai sekarang, lebih-lebih atas
dukungan Al-Ghazâlî pada aliran ini. Dominasi Asy‟ariyah ini menjadikan
aliran ini dipandang sebagai “jalan keselamatan” bagi sebagian besar Muslim.
Transmisi ilmu-ilmu agama agak sedikit “eksklusif” dengan jumlah
tempat-tempat pendidikan Islam yang mentransmisikan ilmu-ilmu agama yang
agak terbatas. Ilmu-ilmu agama, banyak ditransmisikan di , -
di masjid, maupun rumah-rumah ulama. Setelah periode Al-Asy‟arî,
kalangan skolastik berusaha untuk menggabungkan ajaran-ajaran agama
dengan pemikiran Yunani, sehingga menjadi bagian penting dari kehidupan
intelektual Muslim.
Transmisi ilmu-ilmu agama di masjid, tidak terlepas dari alasan yang
mendasari sejak lama, yaitu peran vital masjid sebagai pusat aktivitas
keagamaan. Diceritakan oleh Al-Maqdîsî ketika mengunjungi kota Susa,
seorang tamu mengunjungi sebuah kota, ia bisa langsung mendatangi masjid
dengan tujuan untuk mengikuti kajian tentang hadis melalui -.
Fungsi masjid lainnya ialah sebagai tempat menyimpan buku-buku yang
didapatkan dari hadiah-hadiah kepada pengurus masjid. Maka, masjid-masjid
pada masa itu memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya.
Salah satu donatur buku-buku ialah sejarawan terkenal Al-Khathîb Al-
Baghdâdi yang menyerahkan buku-bukunya sebagai wakaf untuk umat Islam.
Transmisi ilmu-ilmu agama di diajarkan dengan lingkaran-
lingkaran () yang berisi dengan kegiatan diskusi (), tanya
jawab, maupun perdebatan (). merupakan proses
75
transmisi keilmuan yang dilakukan dengan bertukar pikiran. Dari proses
inilah, terjadi proses saling memperkaya dan melengkapi.45
Forum
ini merupakan semacam pertunjukan yang mempertunjukkan
kehandalan seorang ilmuwan dalam mengajukan pandangan-pandangannya.
Pandangan-pandangan tersebut berfungsi sebagai pembuktian, atau bahkan
malah menurunkan reputasi ilmuwan tersebut karena kalah unggul dalam
berargumen dengan ilmuwan lainnya. Tradisi ini memiliki pengaruh yang kuat
kepada para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuannya
masing-masing.46
Sementara itu, transmisi ilmu di masjid agak terbatasi dengan
fungsi masjid yang erat kaitannya dengan fungsi peribadatannya. Maka,
transmisi ilmu yang dilakukan di toko buku terkesan lebih bebas dalam
hal perdebatan maupun diskusi. Metode pengajaran ilmu di toko buku
hampir sama dengan transmisi ilmu yang dilakukan di masjid, hanya
saja prosesnya lebih demokratis, terbuka, dan tidak terbatasi proses
perdebatannya, karena proses transmisinya boleh disaksikan dan diikuti oleh
siapa saja, serta tidak terikat dengan fungsi peribadatan, seperti di masjid.47
Ilmu-ilmu agama secara khas ditransmisikan di lembaga pendidikan dasar,
yang secara khusus mengajarkan ilmu Al-Qur‟an sebagai bacaan utama
bagi para siswanya, sekaligus mengajari mereka dengan membaca dan
menulis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak hanya
mentransmisikan ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu humaniora.
Ketika Ibnu Al-Jubayr mengunjungi Damaskus pada tahun 1184, dia
45
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 166. 46
George Makdisi, the Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, 70. 47
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 510.
76
mendapati anak-anak belajar membaca dan menulis, tata Bahasa Arab, kisah-
kisah para Nabi, dasar aritmatika, serta puisi. Metode yang digunakan dalam
transmisi ilmu-ilmu agama di menggunakan metode hafalan.
Sedangkan guru wajib memiliki sebuah tongkat kecil sebagai salah satu alat
mengajar bagi guru.48
48
Ibid., 514.