bab v hasil dan pembahasan 5.1 desain...
TRANSCRIPT
31
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Desain Primer
Desain primer dilakukan dengan menggunakan urutan gen lipase yang
telah dikarakterisasi dimana open reading frame lengkap dan telah diklon serta
diketahui secara pasti memiliki aktivitas enzim lipase. Urutan yang digunakan
tersebut adalah urutan gen asilgliserol lipase dari bakteri dalam genus dan spesies
yang sama dan hanya berbeda strain saja yaitu, Azospirillum sp. B510 dengan
accession number NCBI NC_013857. Bakteri jenis ini memiliki banyak
kemiripan dengan Azospirillum sp. JG3 sehingga diprediksi DNA pengkode lipase
yang dihasilkan akan memiliki homologi dan tingkat kemiripan yang tinggi.
Pendekatan seperti ini lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan dasar dari
desain primer umum atau disebut sebagai degenerate primer. Urutan DNA yang
digunakan dalam desain primer selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 1.
Dengan menggunakan urutan nukleotida Azospirillum sp. B510 dan
dengan software Primer3 diperoleh beberapa pasang primer. Beberapa kandidat
primer tersebut adalah:
Tabel 5.1 Kandidat primer hasil desain Primer3
Kandidat Pasangan Primer Posisi
primer (*)
Ukuran
fragmen
(pb)
Tm
(°C)
Konten
GC (%)
F1:CACCTACGCCTATGACCAG
R1:CTTCAGGTCACGCAACAG
285-303
903-886
619 56,71
56,24
57,8
55,5
F2:ACCTACGCCTATGACCAG
R2:CTTCAGGTCACGCAACAG
286-304
903-886
618 53,48
56,24
55,5
55,5
F3:GGATCACCTATACCCTCGTC
R3:CTTCAGGTCACGCAACAG
563-582
903-886
341 55,95
56,24
55,0
55,5
F4:CACCTACGCCTATGACCAG
R4:GATGTTGTCGGATGGATG
285-303
639-622
355 56,71
55,39
57,0
50,0
F5:CACCTACGCCTATGACCAG
R5:TCTCGATGTTGTCGGATG
285-303
643-626
359 56,71
56,37
57,8
50,0
(*): berdasarkan urutan nukleotida dari Azospirillum sp. B510
32
Dari hasil kandidat primer yang berhasil terdesain dengan menggunakan
Primer3, dipihlah salah satu yang dianggap memiliki kriteria lebih sebagai calon
pasangan primer yang digunakan pada amplifikasi menggunakan PCR. Akhirnya
dipilihlah pasangan primer F3 dan R3 dengan pertimbangan berikut ini. Pertama,
dibandingkan dengan pasangan primer yang lain F3 dan R3 memiliki perbedaan
Tm yang kecil sehingga ini menjadi antisipasi ketika proses sintesis primer. Tm
primer hasil desain biasanya akan berbeda dengan hasil sintesis dan dengan selisih
suhu yang sedikit akan memungkinkan perbedaan yang sedikit pula pada hasil
sintesis. Kedua adalah konten GC yang sama.
Dari hasil ini oligonukleotida F3 dijadikan forward primer dengan nama
AzoF3 sedangkan urutan keduanya (R3) adalah reverse primer dengan nama
AzoR3. Selengkapnya karakteristik hasil sintesis kedua primer tersebut
ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.2 Primer hasil sintesis dan perkiraan hasil amplifikasinya
Pasangan Primer Posisi
primer (*)
Ukuran
fragmen
(pb)
Tm
(°C)
Konten
GC (%)
AzoF3 5'GGATCACCTATACCCTCGTC 3‘
AzoR3 5'CTTCAGGTCACGCAACAG 3'
563-582
903-886
341
62,4
62,9
55,0
55,6
(*): berdasarkan urutan nukleotida dari Azospirillum sp. B510
Daerah amplifikasi pasangan primer AzoF3 dan AzoR3 pada Azospirillum
sp. B510 ditunjukkan pada gambar berikut:
1 ATGCGGCGTAGCGGGTTGGCGGCTGTCGGCTTGGCGGCTGTTCTCGGGCTGGGGCTTCTG
61 CTTGGCGGCTGCGCCGCGGATTTCCAGCCGATGGGAGCGGCCGTCGTCGAGCCGCGGTTG
121 AACGACCGGGGACTGATCGCCGCCGACGGATTCGAGCTGCCGATGCGTTCCTGGCTGCCG
181 GCGGACGGCAAGGTCCGGGCGGCGGTGGTCGCCCTGCATGGCTTCAACGACTATTCCAAC
241 GCCTTCGACGGCGCCGGCCGCGACTTCGCCGCCGCCGGCATCGCCACCTACGCCTATGAC
F1,F2, F4,F5
301 CAGCGCGGTTTCGGCGCCACCCGCGACCGCGGCGTATGGCCGGGCACACCGACCCTGGTC
361 AGCGACGCCCGCACCGCGGTCGAAATGGTGCGCCGACGCCATCCCGGCGTCCCGGTCTAT
33
421 CTTCTGGGCGAAAGCATGGGTGGGGCGGTGGTGCTCACCGCGATGACCGGCCCCAATCCG
481 CCCGAGGTCGCCGGCACCATCCTGGTCGCCCCCGCCGTCTGGGGCCGGCAGGCCATGGGC
541 TTCTTCCCGCGCGCCGCCCTGTGGATCACCTATACCCTCGTCCCCGGCATGGTCGTCCAT
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> AzoF3
601 CCGCCGCAGGATTTGGACATCCATCCATCCGACAACATCGAGATGCTGCGGGCGCTCGGC
661 CGCGACCCGCTGGTCATCAAGGGATCGCGGGTCGATGCGCTGGAGGGGTTGACCGACCTG
721 ATGGGCAGCGCGCTCGACGCCTGCCAGCATCTGCAAATCCCGTCCCTGGTCCTCTATGGC
781 GCGCATGAGGAGGTGCTGCCACCCAAGCCGGTCGAGCGGGCACTGAAGGAGTTCGAAACC
841 GGCGGGCGGCATGTCGTCGCCGTCTATCCCGACGGCTACCACATGCTGTTGCGTGACCTG
<<<<<<<<<<<<<<<
901 AAGGGCAAACTGGTCGTCGACGACATCGTCGCCTGGATCGAAAACCCGAAGCTGCCGCTG
<<< AzoR3
961 GCCAGCGGCGCCGACCGCGCTCCAAGGGCCCTGCTCGCCTCCAAGTGA
Gambar 5.1 Posisi urutan nukleotida primer AzoF3 dan AzoR3 pada
Azospirillum sp. B510
Dari hasil desain, pasangan primer yang didapatkan memiliki konten GC
yang sama yaitu 55%. Pada untai DNA pasangan basa G-C melibatkan tiga ikatan
hidrogen, sedangkan untuk pasangan basa A-T terlibat dalam dua ikatan hidrogen
(Burpo, 2001). Oleh karena itu keseimbangan prosentase GC memungkinkan
ikatan yang terbentuk lebih spesifik dan stabil. Spesifitas dan stabilitas ini juga
dipengaruhi oleh Tm primer.
Suhu leleh (Tm) primer seharusnya sama atau paling tidak perbedaan
antara forward primer dan reverse primer tidak terlalu jauh. Hasil desain primer
dengan menggunakan software Primer3 ini menghasilkan Tm masing-masing
untuk AzoF3 dan AzoR3 adalah 62,4 dan 62,9 °C, berbeda hanya 0,5 °C. Suhu ini
digunakan sebagai acuan untuk penentuan atau optimasi Ta (suhu annealing-
penempelan primer pada cetakan DNA), tahap penting dalam proses amplifikasi
DNA dengan menggunakan PCR. Ta yang terlalu tinggi akan menghasilkan
hibridisasi primer-cetakan DNA tidak cukup sehingga mengakibatkan rendahnya
produk PCR, sedangkan Ta yang terlalu rendah akan mengarah pada amplifikasi
34
DNA yang tidak spesifik yang disebabkan oleh timgginya kemungkinan
kesalahan penempelan primer pada cetakan DNA (Burpo, 2001).
Persentase GC dan besarnya Tm primer secara tidak langsung juga
dipengaruhi oleh panjang primer. AzoF3 dan AzoR3 hasil desain memiliki
panjang masing-masing 20 pb dan 18 pb. Menurut Johnson (2000) primer-primer
yang digunakan dalam PCR sebaiknya memiliki ukuran 17 hingga 28 nukleotida
untuk dapat mengamplifikasi target DNA dengan spesifisitas yang bagus.
Semakin pendek ukuran primer akan menyebabkan terjadinya mispriming
(penempelan primer di tempat lain yang tidak dikehendaki) tinggi sehingga
menyebabkan spesifitas dari primer tersebut berkurang dan berakibat pada
efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan panjang primer lebih dari 28 pb
tidak menyebabkan bertambahnya spesifisitas dan akan berpengaruh pada Tm
primer (Handoyo dan Rudiretna, 2001).
Dari hasil yang terlihat, maka software Primer3 ini bagus untuk digunakan
dalam desain pasangan primer PCR yang diturunkan langsung dari urutan
nukleotida pengkode enzim tertentu dalam penelitian ini adalah enzim lipase.
Akan tetapi software ini belum bisa secara langsung untuk mendesain jenis primer
lain misal, degenerate primer. Hal ini dikarenakan dalam mendesain jenis primer
tersebut memerlukan pensejajaran sekuen asam amino terlebih dahulu. Sedangkan
Primer3 tidak bisa untuk proses pensejajaran tersebut.
5.2 Isolasi DNA Azospirillum sp. JG3
Isolasi dan purifikasi DNA adalah tahap yang penting pada studi mengenai
makhluk hidup termasuk didalamnya adalah identifikasi molekular, genetika, dan
genom makhluk hidup. Pada penelitian ini DNA bakteri Azospirillum sp. JG3
diisolasi dengan menggunakan metode yang sebelumnya diterapkan oleh Zakary
et al. (2011) dengan beberapa modifikasi. Prisip dari teknik isolasi DNA ini
adalah pemecahan atau lisis dinding sel bakteri dengan menggunakan detergen
SDS yang dibantu dengan penambahan enzim yaitu proteinase K.
Sebelum menuju ke tahap lisis bakteri untuk mendapatkan DNA,
penambahan PBS diperlukan untuk menjaga jaringan, sel, dan protein agar tidak
35
rusak selama proses penghancuran sel dan pelarutan komponen sel. Kemudian hal
ini bisa dilanjutkan ke tahap lisis bakteri. Bufer lisis yang digunakan mengandung
detergen Triton X-100 yang digunakan untuk memecah membran sel. Secara
keseluruhan fungsi dari bufer lisis juga untuk memisahkan protein histon dari
DNA dan mendenaturasikannya, serta merusak struktur sekunder dan tersier
protein dengan tetap menjaga kestabilan untai DNA target pada pH dan komposisi
bufer lisis yang digunakan.
Untuk mendapatkan kualitas DNA yang bagus tahap pencucian sangat
diperlukan yaitu dengan menggunakan NaCl dan EDTA. NaCl akan
mendenaturasi protein kromosomal sedangkan EDTA berperan sebagai agen
pengkhelat yang dapat menetralisir ion logam seperti Mg2+
dan Ca2+
. Mengkhelat
ion-ion ini akan menjaga DNA tetap utuh pada kondisinya. Pelet yang didapatkan
semuanya merupakan hasil dari sentrifugasi 4000 rpm selama 10 menit pada suhu
4 °C. Dari tahap pencucian kemudian pelet atau endapan dilarutkan pada tris-
EDTA dan lisis kembali dilakukan dengan menggunakan SDS dan proteinase K.
SDS digunakan untuk melarutkan membran sel. Enzim perusak komponen
penyusun sel atau penyusun sitosol biasanya ditambahkan pada sistem bufer SDS.
Enzim yang biasa dipergunakan adalah proteinase K. Proteinase K memecah
glikoprotein dan RNAse-DNAse inaktif pada konsentrasi 0,5% hingga 1% larutan
SDS (Shahriar et al., 2011). Pada penelitian ini digunakan konsentrasi SDS 10%
dan volume proteinase K sebanyak 20 µL. Hal ini dilakukan dengan alasan bakteri
yang akan diisolasi DNA-nya adalah golongan bakteri gram negatif yang
memiliki lapisan peptidoglikan lebih tebal dibandingkan dengan milik bakteri
gram positif. Lapisan inilah yang sering menjadi masalah dalam isolasi DNA
bakteri karena akan mempengaruhi pada tingkat kemurnian isolat DNA yang
didapatkan.
Setelah tahap tersebut, protein dan kontaminan lainnya dihilangkan dengan
presipitasi NaCl. Dan presipitasi terakhir dilakukan dengan isopropanol.
Mekanisme presipitasi dengan menggunakan isopropanol ini adalah dengan
menggunakan sistem perbedaan kelarutan. Semula DNA berada dalam fasa
aquaeous (air) dan tidak larut dalam isopropanol. Di sisi lain alkohol lebih mudah
36
larut dalam air dibandingkan dengan DNA. Hal ini menyebabkan isopropanol
akan menyatu atau larut dengan air sehingga DNA terdesak, terpisah, dan
terpresipitasi. Keuntungan menggunakan isopropanol dibandingkan dengan etanol
adalah efisiensi dari proses presipitasi yang dihasilkan lebih tinggi sehingga lebih
efisien jika rendemen DNA yang dihasilkan sangat sedikit. Kelemahannya terletak
pada kurang volatilnya isopropanol dibandingkan dengan etanol, sehingga hal ini
menyebabkan pengeringan pelet DNA perlu waktu lebih lama. Pelet DNA yang
dihasilkan juga tidak terlalu melekat didasar tabung saat setelah dilakukan
sentrifugasi (Chen et al., 2010).
DNA Azospirillum sp. JG3 telah berhasil diisolasi. Analisis kualitatif dari
DNA hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa
untuk menunjukkan bahwa DNA bakteri tersebut berhasil terisolasi atau tidak.
Hasil elektroforesis isolat DNA ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.
Gambar 5.2 Elektroforegram Isolasi DNA Azospirillum sp. JG3 dengan
variasi waktu inkubasi bakteri (A) 24 jam, (B) dan (C) 40 jam
Visualisasi hasil kualitas isolasi DNA Azospirillum sp. JG3 ditunjukkan
dengan terbentuknya pita DNA yang tebal dan jelas pada daerah dekat sumur gel.
Dari tiga variasi isolat DNA yang dianalisis, DNA lajur ke-3 (C) menunjukkan
hasil yang bagus, dibuktikan dengan pita DNA terlihat dengan jelas dan tidak
37
terdapatnya pita visualisasi dari RNA seperti yang ditunjukkan pada lajur A dan
B. Sehingga isolat C inilah yang selanjutnya digunakan sebagai cetakan DNA
pada proses PCR. Konsentrasi yang digunakan dalam proses selanjutnya akan
ditentukan setelah dilakukan analisis kuantitatif pada isolat DNA.
Tabel 5.3 Data analisis kuantitatif hasil isolasi DNA
No. Sampel A (260 nm) A (280 nm) Rasio (A260/A280)
1 A 0,119 0,103 1,16
2 B 0,114 0,087 1,31
3 C 0,104 0,087 1,20
Berdasarkan analisis kuantitatif DNA dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis menunjukkan rasio absorbansi 260/280 1,2 -1,3 dari 3
macam sampel. Nilai kemurnian ini dinilai masih rendah dan isolat DNA yang
didapatkan masih terkontaminasi oleh protein jika dibandingan dengan tingkat
DNA murni memiliki rasio absorbansi 260/280 mendekati 1,80. Protein tersebut
kemungkinan besar berasal dari lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri
Azospirillum sp. JG3 mengingat bakteri ini adalah bakteri gram negatif di mana
pada lapisan tersebut lebih tebal jika dibandingkan dengan lapisan peptidoglikan
milik bakteri gram positif. Ketika dikalkulasikan konsentrasi DNA terkuantifikasi
adalah 260 ng/µL. Meskipun nilai rasio absorbansi 260/280 rendah, DNA ini bisa
untuk amplifikasi PCR karena proses PCR tidak dipengaruhi oleh tingkat
kemurnian DNA.
5.3 Amplifikasi DNA Pengkode Lipase dengan PCR
Karakterisasi urutan DNA pengkode enzim lipase dalam penelitian ini
menggunakan teknik PCR. Metode PCR disini adalah yang paling menjanjikan
ditinjau dari kesederhanaan, spesifisitas, dan sensitivitasnya (Mirhendi et al.,
2006). Amplifikasi DNA target dengan menggunakan teknik ini memerlukan
beberapa protokol, di antaranya adalah cetakan DNA, primer forward, primer
reverse, bufer PCR, MgCl2, dan enzim DNA polimerase. Cetakan DNA yang
digunakan untuk proses amplifikasi ini adalah DNA Azospirillum sp. JG3 hasil
38
isolasi sebelumnya. Konsentrasi cetakan yang digunakan bukan 260 ng/µL atau
menggunakan hasil isolasi DNA secara langsung melainkan menggunakan
cetakan dengan konsentrasi tertentu. Menurut Sambrook dan Russell (2001),
konsentrasi cetakan DNA yang digunakan untuk proses amplifikasi DNA dengan
teknik PCR adalah 10 ng/µL hingga 1 µg/µL. Dalam penelitian ini dipilih
konsentrasi cetakan DNA 50 ng/µL. Kisaran konsentrasi ini biasa digunakan
dalam proses PCR yang dilakukan dari DNA genom bakteri atau yeast.
Penggunaan konsentrasi cetakan DNA yang rendah atau tidak pekat juga berguna
untuk menghindari kesalahan penempelan primer ketika terjadi amplifikasi DNA
target.
Sepasang primer diperlukan untuk menginisiasi terjadinya amplifikasi atau
perbanyakan DNA. Dalam tahap ini digunakanlah pasangan primer hasil desain
yaitu AzoF3 dan AzoR3. Konsentrasi yang digunakan dari sepasang primer juga
tertentu. Dalam penelitian ini digunakan primer forward dan primer reverse
dengan konsentrasi 10 pmol/µL dengan panjang masing-masing 20 dan 18
nukleotida.
Protokol lain yang diperlukan dalam proses PCR adalah bufer PCR,
MgCl2, dNTP, dan enzim DNA polimerase. Fungsi bufer di sini adalah untuk
menjaga pH medium karena PCR hanya akan berlangsung pada pH tertentu. Ion
Mg2+
dari MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi untuk menstimulasi
aktivasi enzim DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan
interaksi primer dengan cetakan DNA yang membentuk kompleks larut dengan
dNTP (Handoyo dan Rudiretna, 2001). dNTP sendiri merupakan suatu campuran
dari dATP (deoksiadenosin trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP
(deoksisitidin trifosfat), dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). dNTP ini bertindak
sebagai agen pembangun DNA yang diperlukan dalam proses perpanjangan DNA
yang terkatalisis oleh enzim DNA polimerase. Dalam penelitian ini, protokol-
protokol tersebut berada dalam 1 butir PureTaq Ready To Go PCR. Penggunaan
kit ini mempermudah peneliti karena tidak perlu lagi melakukan optimasi
konsentrasi masing-masing. Pada volume akhir 25 µL konsentrasi dNTP adalam
200 mM dalam 10mM Tris-HCl (pH 9,0), 50 mM KCl, dan 1,5 mM MgCl2
39
(GE Healthcare, 2006). Ketika kebutuhan protocol-protokol tersebut terpenuhi,
selanjutnya proses PCR bisa terlaksana.
Pada tahap PCR ada tiga tahap yang harus menjadi perhatian. Tahap
tersebut berturut-turut adalah denaturasi, penempelan primer pada cetakan DNA
(annealing),dan pemanjangan untai DNA hasil amplifikasi (extension).
Denaturasi dilakukan pada suhu 95 °C selama 30 detik. Proses ini
membuka untai double helix DNA dengan memecah ikatan hidrogen yang
menghubungkan keduanya (Rahman et al., 2013) sehingga pada tahap selanjutnya
primer AzoF3 dan AzoR3 akan menempel pada masing-masing bagiannya. Suhu
yang digunakan untuk menempelkan primer-primer pada cetakan DNA adalah
57 °C selama 30 detik. Suhu yang diperlukan untuk penempelan primer ini
tergantung pada komposisi basa, panjang, dan konsentrasi DNA. Suhu annealing
terbaik biasanya 2-5 °C di bawah Tm. Tm merupakan suhu pada saat setengah dari
molekul DNA mengalami denaturasi. Pada suhu terlalu tinggi menyebabkan
penempelan primer spesifik tetapi konsentrasi amplikon yang didapatkan sangat
kecil sehingga suhu annealing sangat kritis pada proses amplifikasi DNA target.
Sedangkan suhu terlalu rendah menyebabkan pita DNA target yang diharapkan
hasilnya tidak spesifik. Sedangkan ekstensi primer pada proses PCR biasa
dilakukan pada suhu 72 °C karena pada suhu ini adalah suhu optimum polimerase
DNA. Waktu ekstensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 45 detik.
Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu
1 menit (Rahman et al., 2013).
Siklus PCR yang digunakan dalam amplifikasi DNA target pengkode
enzim lipase ini sebanyak 35 kali. Jumlah siklus yang biasa digunakan adalah
antara 30-35. Penggunaan siklus lebih dari jumlah tersebut tidak akan
meningkatkan jumlah amplikon yang bermakna justru dikhawatirkan akan
menambah masalah pada keberadaan produk atau amplikon non-target.
Hasil amplifikasi DNA dengan PCR dengan pasangan primer AzoF3 dan
AzoR3 ditunjukkan pada gambar di bawah ini setelah dianalisis kualitatif
menggunakan elektroforesis dengan konsentrasi gel agarosa 1,5%.
40
Gambar 4.3 Hasil Amplifikasi DNA dengan primer AzoF3 dan AzoR3 (A)
fragmen 820 pb (B) fragmen 229 pb (M) DNA marker 100 pb
Hasil analisis kualitatif di atas menunjukkan adanya 2 fragmen yang
berhasil diamplifikasi oleh primer AzoF3 dan AzoR3. Pada ukuran
820 pb menunjukkan pita tebal dan sangat jelas, sedangkan ukuran basa yang
lebih pendek yaitu 229 pb jauh lebih tipis (penentuan panjang fragmen pada
Lampiran 3). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa primer yang digunakan adalah
primer yang spesifik. Semakin spesifik primer yang digunakan semakin sedikit
pula DNA fragmen yang dihasilkan pada saat amplifikasi DNA target. Langkah
selanjutnya yang diambil adalah mengisolasi kedua fragmen DNA yang
dihasilkan.
Jika dikembalikan ke awal lagi, maka hasil amplifikasi DNA target
pengkode lipase ini tidaklah cocok dengan perkiraan awal. Pada tahap desain
primer PCR, perkiraan hasil amplifikasinya adalah 341 pb. Maka bisa ditarik
kesimpulan bahwa ketidaksamaan hasil amplifikasi dengan dugaan awal adalah
dasar dari desain primer yang digunakan yaitu urutan nukleotida pengkode lipase
500 pb
1 kb A
B
M
41
milik Azospirillum sp. B510. Ukuran 341 pb akan didapatkan dengan
menggunakan pasangan primer AzoF3 dan AzoR3 pada hasil amplifikasi jika
yang digunakan sebagai cetakan DNA adalah DNA milik Azospirillum sp. B510
bukan Azospirillum sp. JG3. Hal ini disebabkan karena homologi urutan
nukleotida gen yang sama antar mikroba berbeda-beda, dan bisa jadi sekuen
nukleotida Azospirillum sp. JG3 yang terletak di antara primer AzoF3 dan AzoR3
tidak sama dengan Azospirillum sp. B510 melainkan ada tambahan sekuen
sehingga menyebabkan panjang amplikon tidak 341 bp. Primer AzoF3 dan AzoR3
dinilai cocok untuk mengamplifikasi urutan DNA lipase milik Azospirillum sp.
JG3, hal ini dibuktikan dengan adanya pita amplikon DNA yang tebal dengan
ukuran 820 pb.
5.4 Isolasi Fragmen DNA
Proses amplifikasi DNA menggunakan proses PCR membutuhkan
berbagai optimasi untuk menghasilkan target fragmen DNA yang diharapkan. Jika
hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan dalam arti saat proses
amplifikasi fragmen DNA yang dihasilkan lebih dari satu maka purifikasi fragmen
yang diinginkan adalah langkah berikutnya yang harus ditempuh. Isolasi fragmen
DNA dari gel agarosa dalam penelitian ini menggunakan metode pemisahan
kolom dengan menggunakan PureLinkTM
Quick Gel Extraction Kit (Invitrogen).
Kit ini mampu memurnikan fragmen DNA dari TAE gel agarosa pada berbagai
konsentrasi dan titik leleh.
Hasil purifikasi pertama dilakukan untuk ukuran amplikon 820 pb.
Hasilnya diverifikasi secara kualitatif menggunakan elektroforesis gel agarosa 1%
untuk mengetahui kualitas DNA murni yang dihasilkan dari isolasi fragmen
produk PCR. Dari hasil analisis kualitatif tersebut terlihat telah didapatkan
fragmen tunggal untuk DNA target 820 bp Gambar 5.4 sehingga bisa langsung
bisa disekuensing untuk diketahui urutan nukleotidanya.
42
Gambar 5.4 Hasil purifikasi fragmen DNA 820 pb (M) DNA marker 1 kb
Sedangkan fragmen lain dari produk amplifikasi PCR ukuran 229 pb
sangat sulit untuk dilakukan purifikasi. Pengambilan fragmen produk PCR dari
gel agarosa tetap dilakukan, akan tetapi perlakuan selanjutnya bukanlah
sekuensing. Hal ini dikarenakan konsentrasi fragmen DNA yang didapatkan
terlalu sedikit dengan ditandainya tipisnya pita DNA pada awal verifikasi produk
amplifikasi PCR yang dihasilkan. Langkah yang ditempuh untuk mendapatkan
konsentrasi DNA pada ukuran tersebut yang cukup untuk dilakukan sekuensing
adalah dengan cara re-PCR.
Re-PCR adalah suatu proses amplifikasi DNA target yang dilakukan
kembali dengan protokol dan kondisi reaksi yang sama dengan PCR pertama akan
tetapi yang membedakan disini adalah cetakan DNA yang digunakan. Re-PCR
menggunakan cetakan DNA dari hasil purifikasi fragmen dari gel agarosa dengan
konsentrasi yang sangat kecil.
820 pb
M
1 kb
43
Gambar 5.5 Hasil re-PCR fragmen 229 pb (M) DNA marker 100 pb
5.5 Urutan DNA Hasil sekuensing
Sekuensing dilakukan dengan metode Dye ddNTP terminator dengan
pemisahan fragmen menggunakan metode elektroforesis kapiler. Dua fragmen
hasil reaksi PCR dalam penelitian ini disekuensing dengan menggunakan dua
primer, AzoF3 dan AzoR3.
Kromatogram hasil pemisahan fragmen reaksi PCR untuk sekuensing
kedua fragmen dicantumkan dalam Lampiran 3. Pertama hasil pembacaan
sekuensing untuk fragmen gen lipase 820 pb adalah sebagai berikut:
Sekuen Fragmen 820 pb dengan primer AzoF3
1 TACTGCAAGT CGAGCGGACA GAAGGGAGCT TGCTCCCGGA TGTTAGCGGC 50
51 GGACGGGTGA GGANGGATGG GGTAACCTGC CTGTAAGACT GGGATAACTC 100
101 CGGGATACCG GAGANAAAGG TGCTGTCATC CTTNCACCTC ACCCTGTGGA 150
151 GCCACACCCT AGGGTTGGCC AATCTACTCC CCCGAGCGAG GGAGGGCACG 200
201 AGCCAGGACT GGGCATAAAG ACAAGGGCAT AGCCATCTAT TGGAAACCTG 250
251 TGCTTCTGAC AGC
Sekuen Fragmen 820 pb dengan primer AzoR3 1 TTTTCAGGGG ACGGCAACAG GCTCGTACCT CAACATCAAC TTGGAGGATG 50
200 pb
300 pb
M
200 pb
300 pb
44
51 CCGGGGACAG CGGCCGTACG AGCGCTAGGG CCGAGCGACG TTATGACTTC 100
101 CGTTAGTAGG GGAACAATCC GTACAGTGCG CAAGCCCGGC CGGATTACAT 150
151 GGCCACCCGG ATTGGCGCCA CCAATAGCGG GGGCTCTACG TTGGGAACGG 200
201 AATCAGGCCG TCGTGCGTGC AGCATTTGGC GGGGTAGCGC GCATATGAAT 250
251 TACGAGTGCT GAACCAAATC AATCCGACAT ACTATGGGGA GAGCGTGATC 300
301 GGTGCACTGG AAGACATAAC GCAAGCCACG GTGGATGATT ATACCCGGGC 350
351 AGCCGGTCGC CCACAAACAT CTGGAAGCGG GGGTGATCAA AGATTTGTGC 400
401 ATAAAACAGG CGCCGGACGT CCGGAGCGAG TTTTTTGCAC CGATCTTTGA 450
451 TACACAGGAT TTCGAGCTCC CACTGGGCGA CTGGCTGCCC CGTTAGAATC 500
501 ATCGCCGTGG CGATGGGTAT GTCTTCAAAC ACACCGATCA CGTCCTCACG 550
551 ATAGTCCACA GGATTGATGT CCTCGACCAC TGCCAACTGA TCTGCACGCC 600
601 CCCACTCCAC GTCCAGCCAG AAGAGGGCCA GATTGCCGTC GCCAGGCAAG 650
651 AGCCGCCATA AAACATGGGC CCAATCAGCG TTCCATCGGT AATCGCCCAG 700
701 CATGGTCTAT GCAGGAAGTC GCCGTCTTAA ACAAAGTCAG AGTCGGGCTA 750
751 TCCCCTGGCG CTTGTAGTAA GCGACGTAGA CGGCGTGTGC AGTCGAGCAT 800
801 GCC
Gambar 5.6 Urutan DNA hasil sekuensing dengan primer AzoF3 dan
AzoR3
Dari hasil sekuensing fragmen 820 pb ini terlihat hasil sekuensing dengan
menggunakan primer AzoF3 lebih pendek. Hal ini mengakibatkan tidak adanya
keseimbangan jumlah nukleotida ketika disejajarkan dengan hasil sekuensing
dengan menggunakan primer AzoR3. Data kromatogram dari AzoF3 pun dinilai
sangat jelek ditunjukkan resolusi puncak yang sangat rendah, kemungkinan besar
disebabkan oleh inhibitor pada sampel yang berupa kontaminan atau konsentrasi
cetakan DNA dan primer tidak mencukupi saat reaksi sekuensing. Pada prinsipnya
sekuensing pada satu cetakan DNA dilakukan 2 kali dengan 2 primer berbeda
untuk melengkapi sekuen satu dengan yang lain yang disebut sebagai daerah
konsensus. Reverse complement dari sekuen AzoR3 disejajarkan dengan sekuen
AzoF3 pada program BioEdit sehingga diperoleh daerah konsensus seperti yang
terlihat di bawah ini:
1 TTTTCAGGGG ACGGCAACAG GCTCGTACCT CAACATCAAC TTGGAGGATG 50
51 CCGGGGACAG CGGCCGTACG AGCGCTAGGG CCGAGCGACG TTATGACTTC 100
101 CGTTAGTAGG GGAACAATCC GTACAGTGCG CAAGCCCGGC CGGATTACAT 150
151 GGCCACCCGG ATTGGCGCCA CCAATAGCGG GGGCTCTACG TTGGGAACGG 200
201 AATCAGGCCG TCGTGCGTGC AGCATTTGGC GGGGTAGCGC GCATATGAAT 250
251 TACGAGTGCT GAACCAAATC AATCCGACAT ACTATGGGGA GAGCGTGATC 300
45
301 GGTGCACTGG AAGACATAAC GCAAGCCACG GTGGATGATT ATACCCGGGC 350
351 AGCCGGTCGC CCACAAACAT CTGGAAGCGG GGGTGATCAA AGATTTGTGC 400
401 ATAAAACAGG CGCCGGACGT CCGGAGCGAG TTTTTTGCAC GGATCTTTGA 450
451 TACACAGGAT TTCGAGCTCC CACTGGGCGA GCTGGCTGCC GGCCGTTAGA 500
501 ATCGGATCGC CGTGGACGGA TGGGGTAACC TGTCTTCAAA CACACCGATC 550
551 ACGTCCTCAC GATACCGTCC ACAGGGTTGA TGTCCTCCGA CCACTGCCAA 600
601 CTGATCTGCC ACGCCCTAGG GTTGGCCACT CCACGTCCAG CCAGAAGAGG 650
651 GCCAGATTGC CGTCGCCAGG CAAGAGCCGC CATAAAGACA TGGGCCCAAT 700
701 CAGCGTTCCA TCGGTAATCG CCCAGCATGG TCTATGACAG GAAGTCGCCG 750
751 TCTTAAACAA AGTCAGAGTC GGGCTATCCC CTGGCGCTTG TAGTAAGCGA 800
801 CGTAGACGGC GTGTGCAGTC GAGCATGCC
Gambar 5.5 Urutan konsensus fragmen gen 820 pb.
Berdasarkan data konsensus sekuen di atas, maka urutan nukleotida untuk
fragmen hasil PCR yang semula diperkirakan 820 pb menjadi 829 pb. Fragmen
kedua juga berhasil diketahui urutan nukleotidanya dengan menggunakan primer
AzoF3 dan AzoR3. Panjang sekuen antara keduanya tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Hasil pembacaan fragmen gen lipase yang kedua
adalah sebagai berikut:
Sekuen Fragmen 229 pb dengan primer AzoF3
1 CGGAAAAGAA GCTGGAGCTC GACGCCGCCT GTTCATGTCG GCCGCTACTG 50
51 CGGCGGCTGG CACGCCAGCA CCCAAGGCAT GGGCCGGGCC AGTTTCCACC 100
101 TGGTGGTGCA GGGCCATTGC TGGCTGCATA TCGATGGCCA GGCGCACCCG 150
151 CTGCGCCTGG AGAGCGGCGA TGCGGTGTTC CTGTTGCGTG ACCTGAAGA
Sekuen Fragmen 229 pb dengan primer AzoR3 1 TGGATCACCT ATACCCTCGT CGATTGGTTA TTAGAGAGCC TGGAGCTCGA 50
51 CGCCAGCCTG TTCCATGTCG GCCGCTAGTG CGGCGGCTGG CACGCCAGCA 100
101 CCCAGGGCAT GGGCCGGGCC AGTTTCCACC TGGTGGTGCA GGGCCATTGC 150
151 TGGCTGCATA TCGATGGCCA GGCGCAGCCG CGCGACCTGA ATTCGGAACC 200
201 TG
Gambar 5.6 Urutan Fragmen DNA 229 pb hasil sekuensing menggunakan
primer AzoF3 dan AzoR3
Hasil sekuensing terhadap fragmen dengan primer AzoF3 menghasilkan
urutan nukleotida sebanyak 201 pb sedangkan sekuensing fragmen pendek ini
dengan menggunakan primer AzoR3 menghasilkan 205 pb. Pembacaan sekuen
gabungan antara kedua hasil ini dilakukan dengan cara yang sama dengan
46
fragmen gen sebelumnya, yaitu menggunakan program BioEdit dimana sekuen
AzoR3 dijadikan reverse complement-nya. Hasil konsensus yang merupakan
urutan lengkap sekuensing fragmen 229 ini adalah seperti pada gambar dibawah
ini di mana terdapat 230 pb.
1 TGGATCACCT ATACCCTCGT CGATTGGTTA TTAGAGAGCC TGGAGCTCGA 50
51 CGCCAGCCTG TTCCATGTCG GCCGCTAGTG CGGCGGCTGG CACGCCAGCA 100
101 CCCAGGGCAT GGGCCGGGCC AGTTTCCACC TGGTGGTGCA GGGCCATTGC 150
151 TGGCTGCATA TCGATGGCCA GGCGCAGCCG CTGCGACCTG GAGAGCGGCG 200
201 ATTCGGTGAA CCTGTTGCGT GACCTGAAGA
Gambar 5.7 Urutan konsensus nukleotida fragmen 229 pb.
5.6 Analisis Urutan Nukleotida
Kedua fragmen produk PCR yang telah diketahui sekuen lengkapnya
dianalisis dengan menggunakan prosedur bioinformatika. Pertama yang dilakukan
adalah mengetahui kesamaan kedua sekuen yang dihasilkan dengan urutan
nukleotida pengkode enzim lipase milik bakteri Azospirillum sp. B510.
Pensejajaran sekuen-sekuen dari hasil PCR DNA Azospirillum sp. JG3 ini
menggunakan software Clustal Omega. Software ini merupakan versi terbaru dari
generasi sebelumnya yaitu ClustalW dan ClustalX yang diyakini memiliki tingkat
keakuratan data lebih baik dibanding dengan seri lamanya. Hasil penjajaran
sekuen 829 pb dan 230 pb dengan gen lipase dari Azospirillum sp. B510 disajikan
pada gambar di bawah ini:
CLUSTAL O(1.1.0) multiple sequence alignment
Azo_sp_B510 ATGCGGCGTAGCGGGTTGGCGGCTGTCGGCTTGGCGGCTGTTCTCGGGCTGGGGCTTCTG
Azo_sp_JG3_820 ---------------TTTTCAGGGGACGGCAA-----CA-GGCTCGTACCTCAACATCAA
** *.* *:****:: *: **** .* ..*:**:.
Azo_sp_B510 CTTGGCGGCTGCGCCGCGGATTTCCAGCCGATGGGAGCGGCCGTCGTCGAGCCGCGGTTG
Azo_sp_JG3_820 CTTGGAGGATG----------------CCGGGGACAGCGGCCGTAC--------------
*****.**.** ***. *. *********.
Azo_sp_B510 AACGACCGGGGACTGATCGCCGCCGACGGATTCGAGCTGCCGATGCGTTCCTGGCTGCCG
Azo_sp_JG3_820 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 GCGGACGGCAAGGTCCGGGCGGCGGTGGT-CGCCCT---GCATGGCTTCAACGACTATTC
Azo_sp_JG3_820 ---GAGCGCTAGGGCCGAGCGACGTTATGACTTCCGTTAGTAGGGGAA------C-AATC
** **:*** ***.***.** *. * ** * * ** :: * *:**
47
Azo_sp_B510 CAACGCCTTCGACGGCGC-----CGGCCGCGACTTCGCCGCCGCCGGCA---TCGCCACC
Azo_sp_JG3_820 CG------TACAGTGCGCAAGCCCGGCCGG-ATTACATGGCCACCCGGATTGGCGCCACC
*. *. * **** ****** * *:*. ***.** * * *******
Azo_sp_B510 TACGCCT--------ATGACCAGCGCGGTTTCGGCGCCACCCGCGACCGCGGCGTATGGC
Azo_sp_JG3_820 AATAGCGGGGGCTCTACGTTGGGAACGGAATCAGGCCG--TCGTGCGTGCAGCATTTGGC
:* . * * *: .*..***::**.* * ** *. **.**.*:****
Azo_sp_B510 CGGGCACACCGACCCTGGTCAGCGACGCCCGCACCGCGGTCGAAATGGTGCGCCGACGCC
Azo_sp_JG3_820 GGGGTAGCGCGCATATGAATTACGA-------------------GTGCTGAACCAAATC-
*** * . **.. .**.: :.*** .** **..**.*. *
Azo_sp_B510 ATCCCGGCGTCCCGGTCTATCTTCTGGGCGAAAGCATGGGTGGGGCGGTGGTGCT-----
Azo_sp_JG3_820 AATCCG---------ACATACTATGGG--GAGAGCGTGATCGGTGCACTGGAAGACATAA
*: *** :*:::**: ** **.***.**. ** **. ***:. :
Azo_sp_B510 ----CACCGCGATGACCGGCCCCAATCCGCCCGAGGTCGCCGGCACCATCCTGGTCGCCC
Azo_sp_JG3_820 CGCAAGCCACGGTGGATGA-----TTATACCCG-GGCAG-----------CCGGTCGCCC
..**.**.**.. *. :*. .**** ** .* * ********
Azo_sp_B510 CC-GCCGTCTGGGGCCGGCA--GGCC------ATGGGCTTCTTCCCGCGCGCC----GCC
Azo_sp_JG3_820 ACAAACATCTGGAAGCGGGGGTGATCAAAGATTTGTGCATAAAA-CAGGCGCCGGACGTC
.* ..*.*****.. *** . *. * :** **:*.::. *. ***** * *
Azo_sp_B510 CTGTGGATCACCTATACCCTCGTCCCCGGCATGGTCGTCCATCCGCCGCAGGATTTGGAC
Azo_sp_JG3_820 CGGAGCGAGTTTTTTGCA--------CGGA----TC---TTTGATACACAGGATTTCGAG
* *:* .: : *:*.*. ***. ** :* . .*.******** **
Azo_sp_B510 ATCCATCCATCCGACAACATCGAGATGCTGCGGGCGCTCGGCCGCGACCCGCTGGTCATC
Azo_sp_JG3_820 CTCCCACTGG---------GCG------AGCTGGCTGCCGGCCGTTA-----------GA
.***.:* . ** :** *** ****** * .
Azo_sp_B510 AAGGGATCGCGGGTCGATGCGCTGGAGGGGTTGACCGACCTGATGGGCAGCGCGCTCG--
Azo_sp_JG3_820 ATCGGATCGCCG-----TGGACGGATGGGGTAACCTGTCTTCAAACACACCGATCACGTC
*: ******* * ** .* *.:*****:..* *:* * *:. .** **. *:**
Azo_sp_B510 ----------------------------------ACGCCTGCCAGCA--TCTGCAAATCC
Azo_sp_JG3_820 CTCACGATACCGTCCACAGGGTTGATGTCCTCCGACCACTGCCAACTGATCTGCCACGCC
** .******.*: *****.*. **
Azo_sp_B510 CGTCCCTGGTCC--TCTATGGCGCGCATGAGGAGGTGCTGCCA-CCCAAGCCGGTCGAG-
Azo_sp_JG3_820 CTAGGGTTGGCCACTCCACGTCCAGCCAGAAGAGGGCCAGATTGCCGTCGCCAGGCAAGA
* : * * ** ** * * * .**.:**.**** *:*. : ** :.***.* *.**
Azo_sp_B510 ---------------CGGGCACTGAAGGAGTTCGA-----A----ACCGGC-----GGGC
Azo_sp_JG3_820 GCCGCCATAAAGACATGGGCCCAATCAGCGTTCCATCGGTAATCGCCCAGCATGGTCTAT
****.*:.:..*.**** * * .**.** .
Azo_sp_B510 GGCATGTCGTCGCCGTCTATCCCGACGGCTACCACATGCTGTTGCGTGACCTGAAGGGCA
Azo_sp_JG3_820 GACAGGAAGTCGCCGTCTTAAACAAAGTCAGAGTCGGGCTATCCC-----CTGG--CG--
*.** *:.**********::..*.*.* *:.. :*. ***.* * ***. *
Azo_sp_B510 AACTGGTCGTCGACGACATCGTCGCCTGGATCGAAAACCCGAAGCTGCCGCTGGCCAGCG
Azo_sp_JG3_820 --CTTGTAGTAAGCGACGTAGACGGCGTGTGC----------------------------
** **.**...****.*.*:** * *: *
Azo_sp_B510 GCGCCGACCGCGCTCCAAGGGCCCTGCTCGCCTCCAAGTGA
Azo_sp_JG3_820 -AGTCG------------------AGCATGCC---------
.* ** :**: ***
Gambar 5.8 Hasil Penjajaran sekuen fragmen 820 Azospirillum sp. JG3
dengan Azospirillum sp. B510.
48
CLUSTAL O(1.1.0) multiple sequence alignment
Azo_sp_B510 ATGCGGCGTAGCGGGTTGGCGGCTGTCGGCTTGGCGGCTGTTCTCGGGCTGGGGCTTCTG
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 CTTGGCGGCTGCGCCGCGGATTTCCAGCCGATGGGAGCGGCCGTCGTCGAGCCGCGGTTG
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 AACGACCGGGGACTGATCGCCGCCGACGGATTCGAGCTGCCGATGCGTTCCTGGCTGCCG
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 GCGGACGGCAAGGTCCGGGCGGCGGTGGTCGCCCTGCATGGCTTCAACGACTATTCCAAC
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 GCCTTCGACGGCGCCGGCCGCGACTTCGCCGCCGCCGGCATCGCCACCTACGCCTATGAC
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 CAGCGCGGTTTCGGCGCCACCCGCGACCGCGGCGTATGGCCGGGCACACCGACCCTGGTC
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 AGCGACGCCCGCACCGCGGTCGAAATGGTGCGCCGACGCCATCCCGGCGTCCCGGTCTAT
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 CTTCTGGGCGAAAGCATGGGTGGGGCGGTGGTGCTCACCGCGATGACCGGCCCCAATCCG
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 CCCGAGGTCGCCGGCACCATCCTGGTCGCCCCCGCCGTCTGGGGCCGGCAGGCCATGGGC
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 TTCTTCCCGCGCGCCGCCCTGTGGATCACCTATACCCTCGTCCCCGGCATGGTCGTCCAT
Azo_sp_JG3_229 ---------------------TGGATCACCTATACCCTCGTCGATTGGTTATTAG-----
********************* . * :*. *.*
Azo_sp_B510 CCGCCGCAGGATTTGGACATCCATCCATCCGACAACATCGAGATGCTGCGGGCGCTCGGC
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 CGCGACCCGCTGGTCATCAAGGGATCGCGGGTCGATGCGCTGGAGGGGTTGACCGACCTG
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 ATGGGCAGCGCGCTCGACGCCTGCCAGCATCTGCAAATCCCGTCCCTGGTCCTCTATGGC
Azo_sp_JG3_229 -AGAGCCTGGAGCTCGACGCCAGCCTGTTCCATGTC------------GGCCGC------
:*.**. *.**********:***:* : *: :. * ** *
Azo_sp_B510 GCGCATGAGGAGGTGCTGCCA--------CCCAAG-------CCGGTCGAGCGGGCA-CT
Azo_sp_JG3_229 ----TAGTGCGGCGGCTGGCACGCCAGCACCCAGGGCATGGGCCGGGCCAGTTTCCACCT
::*:* .* **** ** ****.* **** * ** ** **
Azo_sp_B510 GAAGGAGTTCGAAACCGGCGGGCGGCATGTCGTC-----------GCCGTCT--------
Azo_sp_JG3_229 GGTGGTGCAGGGCCATTGCTGGCTGCATATCGATGGCCAGGCGCAGCCGCTGCGACCTGG
*.:**:* : *.... ** *** ****.***: ****
Azo_sp_B510 ATCCCGACGGCTACCACATGCTGTTGCGTGACCTGAAGGGCAAACTGGTCGTCGACGACA
Azo_sp_JG3_229 AGAGCGGCGATTCGGTGAACCTGTTGCGTGACCTGAAGA---------------------
* . **.**. *. : *: ******************.
Azo_sp_B510 TCGTCGCCTGGATCGAAAACCCGAAGCTGCCGCTGGCCAGCGGCGCCGACCGCGCTCCAA
Azo_sp_JG3_229 ------------------------------------------------------------
Azo_sp_B510 GGGCCCTGCTCGCCTCCAAGTGA
Azo_sp_JG3_229 -----------------------
Gambar 5.9 Hasil Penjajaran sekuen fragmen 229 Azospirillum sp. JG3
dengan Azospirillum sp. B510.
49
Berdasarkan hasil pensejajaran baik sekuen 829 pb dan 230 pb dari
Azospirillum sp. JG3 dengan sekuen gen lipase dari Azopsirillum sp. B510
menunjukkan bahwa sekuen 829 pb yang dihasilkan belum memenuhi daerah
amplifikasi seperti yang diperkirakan pada waktu desain primer sedangkan untuk
sekuen 230 pb hampir mendekati. Daerah tersebut adalah daerah belakang yang
merupakan posisi target amplifikasi gen target. Hal ini disebabkan karena
perbedaan jenis DNA yang teramplifikasi pada dua bakteri tersebut. Gen
pengkode lipase dari Azospirillum sp. B510 berasal dari plasmid pAB510c
(Kaneko et al, 2010) sedangkan yang diuji dari DNA Azospirillum sp. JG3
merupakan DNA kromosom. Meskipun begitu sekuen-sekuen hasil PCR tersebut
masih memiliki prosentase kemiripan dengan sekuen lipase pAB510c milik
Azospirillum sp. B510.
Tanda bintang menunjukkan nukleotida yang sama pada semua fragmen
yang dibandingkan. Perbandingan urutan nukleotida fragmen 829 pb dan 230 pb
menunjukkan prosentase kemiripan berturut-turut sebesar 55,59% dan 61,03%
dengan gen pengkode lipase milik Azospirillum sp. B510 pada plasmid pAB510c.
Tingkat kemiripan kedua sekuen hasil ini bisa dikatakan hampir sama karena
perbedaannya yang tidak terlalu signifikan. Berdasarkan data-data ini bisa
diindikasikan bahwa Azospirillum sp. JG3 memiliki bagian dari gen pengkode
lipase yang terletak pada kromosomnya. Penelitian lanjut tentang keberadaan gen
pengkode enzim lipase pada bakteri ini masih sangat diperlukan, baik dari segi
DNA kromosomik maupun DNA plasmid dengan menggunakan primer yang
lebih spesifik, misal degenerate primer.
Tingkat kemiripan antar gen lipase sebelumnya pernah dibahas oleh Bell
et al. (2002). Pada ulasannya, meskipun urutan gen lipase tersebut memiliki
struktur dan mekanisme yang sama, gen-gen lipase menunjukkan sedikit
kemiripan (kurang dari 20%) pada tingkat asam amino. Hal demikian juga
dibuktikan oleh Beven, et al., 2008, bahwa sekuen gen lipase A dan lipase B dari
Ps. fluorescens C9 memiliki sedikit sekali kemiripan, yaitu kurang dari 10%
dengan menggunakan program pensejajaran Clustal. Beven et al., 2008, juga
50
membandingkan lipase A Ps. fluorescens dengan sesama lipase A dari Ps. fragi
yang hanya memiliki kemiripan 45%.
Analisis nukleotida dari kedua fragmen hasil ini juga dilakukan dengan
menggunakan software nucleotide BLAST dari NCBI. Azospirillum sp. JG3
merupakan bakteri yang diisolasi dari tanah dari golongan bakteri gram negatif.
Analisis nucleotide BLAST menunjukkan kemiripan ~90% untuk fragmen 230
bp dan ~70% untuk fragmen 829 pb (lampiran 5) dengan bakteri tanah gram
negatif lainnya, yaitu Pseudomonas sp, tetapi sayangnya enzim yang dikode
bukan dari golongan lipase melainkan merkuri reduktase dan AraC family
transcriptional regulator.
(A)
(B)
Gambar 5.10 Distribusi hasil BLASTing dari (A) fragmen 230 pb
(B) fragmen 829 pb.
51
Berikut ini adalah daftar kemiripan fragmen gen 230 pb dan 829 pb
dengan bakteri Pseudomonas sp.
Tabel 5.4 Hasil pensejajaran dengan BLAST dari fragmen 230 pb.
Deskripsi Max
Score
E-
Value
Max
Ident
(%)
Pseudomonas entomophila str. L48, kromosom,
sekuen lengkap
274 2E-70 90
Pseudomonas putida HB3267, genom lengkap 260 3E-66 88
Pseudomonas putida S16, genom lengkap 255 1E-64 87
Pseudomonas putida GB-1, genom lengkap 248 2E-62 86
Pseudomonas putida DOT-T1E, genom lengkap 246 6E-62 86
Pseudomonas putida ND6, genom lengkap 246 6E-62 86
Pseudomonas putida F1, genom lengkap 246 6E-62 86
Pseudomonas putida BIRD-1, genom lengkap 242 7E-61 86
Pseudomonas putida KT2440, genom lengkap 237 3E-59 86
Pseudomonas protegens CHA0, genom lengkap 210 4E-51 85
Pseudomonas protegens Pf-5, genom lengkap 210 4E-51 82
Tabel 5.5 Hasil pensejajaran dengan BLAST dari fragmen 829 pb
Deskripsi Max
Score
E-
Value
Max
Ident
(%)
Pseudomonas putida HB3267, genom lengkap 271 6E-69 76
Pseudomonas putida KT2440, genom lengkap 241 1E-59 74
Pseudomonas putida BIRD-1, genom lengkap 230 2E-56 74
Pseudomonas putida ND6, genom lengkap 226 2E-55 73
Pseudomonas putida F1, genom lengkap 226 2E-55 73
Dari data BLAST ini meragukan asumsi pertama bahwa bakteri
Azospirillum sp. JG3 pada kromosomnya terdapat gen pengkode lipase. Analisis
peneliti menyimpulkan ada dua kemungkinan sehingga didapatkan data seperti
ini. Pertama, Azospirillum sp. JG3 tidak menutup kemungkinan mampu
menghasilkan enzim lain di samping lipase yang terdapat pada untaian DNA
52
kromosomnya. Hal ini tentunya memerlukan investigasi lebih lanjut. Kedua, dari
awal ada kontaminan bakteri lain yang terdapat pada kultur bakteri yang akan
diisolasi DNA kromosomnya. Dugaan terbesar adalah adanya Pseusomonas sp.
yang sama-sama merupakan bakteri tanah gram negatif. Dengan demikian untuk
penelitian selanjutnya perlu dilakukan uji kemurnian dari isolat bakteri
Azospirilium sp. JG3 seperti yang dilakukan oleh Nurosid et al. (2008) sebelum
dilakukan karakterisasi fragmen gen pengkode lipase maupun pengkode enzim
lainnya.
53
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang telah diperoleh pada penelitian ini, maka dapat
disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Urutan nukleotida enzim asilgliserol lipase dari Azospirillum sp. B510
dapat digunakan untuk desain primer PCR dalam rangka mengamplifikasi
fragmen gen lipase dari Azospirillum sp. JG3.
2. Pasangan primer AzoF3 (5’ GGA TCA CCT ATA CCC TCG TC 3’) dan
AzoR3 (5’ CTT CAG GTC ACG CAA CAG 3’) dapat mengamplifikasi
fragmen gen putatif lipase Azospirillum sp. JG3 dengan panjang fragmen
829 pb (0,8 kb) dan 230 pb (0,2 kb).
3. Urutan nukleotida fragmen gen putatif lipase Azospirillum sp. JG3
masing-masing memiliki kemiripan 55,59% (0,8 kb) dan 61,03% (0,2 kb)
dengan urutan nukleotida pengkode enzim asilgliserol lipase milik
Azospirillum sp. B510 (NC_013857).
6.2 Saran
Penelitian ini masih memerlukan investigasi lebih lanjut mengenai
kecocokan primer dengan cetakan DNA Azospirillum sp. JG3 dan disarankan
kedepannya untuk menggunakan degenerate primer yang disusun berdasarkan
urutan asam amino dari beberapa lipase bakteri. Bisa juga dalam penelitian
digunakan primer yang tetap disusun berdasarkan urutan DNA pengkode
asilgliserol lipase milik Azospirillum sp. B510 di mana urutan primer diambil
pada daerah yang terletak di antara daerah conserve.