bab viii pararelitas.pdf

33
190 BAB VIII PARALELITAS SASTRA LEKRA DENGAN TEKS NONSASTRA Bab ini menyajikan analisis karya yang bertumpu pada hubungan antarteks  puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam  Laporan dari Bawah dan  pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Antarteks adalah hubungan teks secara sinkronis yang diakibatkan oleh proses sejarah pada suatu zaman. Pada konteks penelitian ini, Revolusi Indonesia adalah proses sejarah yang melahirkan  puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam  Laporan dari Bawah , pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit. Metode membaca paralel atau membaca  berdampingan didasari oleh konsep bahwa sejumlah teks yang dikaji memiliki hubungan secara paralel. Teori new historicism memandang bahwa fiksi dan nonfiksi adalah teks yang paralel secara sinkronis. Paralelitas teks sezaman dapat dianalogikan dengan cara media massa atau media sosial menulis laporan peristiwa yang sama. Berita mengenai peristiwa tersebut dimuat di surat kabar, majalah, disiarkan di radio, ditayangkan di televisi, diunggah di media sosial yang pada akhirnya membentuk  jejaring teks. Hubungan antarteks dalam jejaring ini terjadi karena teks dilahirkan dan  berperan di dalam proses sejarah d an budaya pada zamannya. Pemaknaan teks tidak  bertumpu pada teks tunggal tetapi pada hubungan antarteks. Revolusi Indonesia direpresentasikan dalam berbagai teks (sastra, sejarah) dan  berhubungan secara antarteks. Memaknai karya sastra semasa Revolusi Indonesia tidak cukup hanya bertumpu pada teks tunggal, baik dari segi  genre maupun

Upload: dr-i-wayan-artika-spd-mhum

Post on 02-Jun-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 1/33

190

BAB VIII

PARALELITAS SASTRA LEKRA DENGAN TEKS NONSASTRA

Bab ini menyajikan analisis karya yang bertumpu pada hubungan antarteks

 puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam  Laporan dari Bawah  dan

 pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Antarteks adalah hubungan teks

secara sinkronis yang diakibatkan oleh proses sejarah pada suatu zaman. Pada

konteks penelitian ini, Revolusi Indonesia adalah proses sejarah yang melahirkan

 puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam  Laporan dari Bawah, pidato

Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit. Metode membaca paralel atau membaca

 berdampingan didasari oleh konsep bahwa sejumlah teks yang dikaji memiliki

hubungan secara paralel. Teori new historicism memandang bahwa fiksi dan nonfiksi

adalah teks yang paralel secara sinkronis. Paralelitas teks sezaman dapat dianalogikan

dengan cara media massa atau media sosial menulis laporan peristiwa yang sama.

Berita mengenai peristiwa tersebut dimuat di surat kabar, majalah, disiarkan di radio,

ditayangkan di televisi, diunggah di media sosial yang pada akhirnya membentuk

 jejaring teks. Hubungan antarteks dalam jejaring ini terjadi karena teks dilahirkan dan

 berperan di dalam proses sejarah dan budaya pada zamannya. Pemaknaan teks tidak

 bertumpu pada teks tunggal tetapi pada hubungan antarteks.

Revolusi Indonesia direpresentasikan dalam berbagai teks (sastra, sejarah) dan

 berhubungan secara antarteks. Memaknai karya sastra semasa Revolusi Indonesia

tidak cukup hanya bertumpu pada teks tunggal, baik dari segi  genre  maupun

Page 2: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 2/33

  191

kuantitas. Revolusi Indonesia adalah sumber semua teks yang telah dilahirkannya.

Memaknai puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam  Laporan dari

 Bawah  dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antarteks puisi, cerpen dan

 pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.

8.1 Representasi Perlawanan Kaum Tani dalam Puisi ”Tak Terpatahkan” 

Puisi ‖Tak Terpatahkan‖ (Chalik Hamid, hal. 269)  ditulis dengan

menggunakan gaya narasi yang kuat. Puisi ini merepresentasikan pandangan dunia

Marxis. Kaum tani hidup di bawah pengisapan dan penindasan tuan tanah feodal.

Pada masa Revolusi Indonesia, Marxisme melalui gerakan PKI mengambil peran

 penting dalam memperjuangkan landreform atau reforma agraria yang menuntut

tanah garapan bagi kaum tani. Oleh karena itu, landreform indentik dengan PKI.

Pandangan ini dibantah oleh Presiden Soekarno bahwa banyak negara yang non-

Komunis menjalankan landreform (Soekarno, 1964:420). Chalik Hamid tidak

membicarakan penderitaan kaum tani Indonesia karena telah menjadi pemahaman

umum.

Puisi ‖Tak Terpatahkan‖ diawali dengan penegasan bahwa telah menjadi

keyakinan yang tidak bisa dibantah atau ‖tidak terpatahkan‖  bahwa ‖manusia

dihidupi oleh tanah garapan‖. Manakala tanah garapan hanya menjadi alat pengisapan

dan penindasan yang sama artinya dengan perampasan tanah oleh tuan tanah, maka

‖tiap jengkal tanah kita pertahankan‖. Keyakinan bahwa tanah garapan menghidupi

manusia, namun keyakinan ini tidak terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Page 3: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 3/33

  192

Kesenjangan antara keyakinan (apa yang diharapkan) dan kenyataan, digunakan oleh

Chalik Hamid untuk menggelorakan aksi perlawanan kaum tani. Berdasarkan hukum

materialisme dialektika historis, puisi ini mencerminkan pola pertentangan antara

 penderitaan kaum tani (tesis) dan perjuangan menghancurkan belenggu penderitaan

(antitesis). Pola ini sejalan dengan pola dasar Revolusi Indonesia, yaitu penderitaan

 bangsa Indonesia karena ditindas/diisap oleh imperialisme-kolonialisme serta

feodalisme (tesis) dan perjuangan (revolusi) untuk membebaskan diri dari belenggu

 penderitaan (antitesis). Kesejalanan pola dasar ini merupakan salah satu indikator

terjadinya hubungan antarteks puisi dan revolusi.

Fokus puisi ini adalah propaganda perlawanan kaum tani agar

mempertahankan dan merebut tanah dari kekuasaan tuan tanah. Persoalan ini

dipayungi oleh agenda landreform Revolusi Indonesia. Dalam hal ini puisi berfungsi

sebagai media propaganda menegakkan UUPA dan UUPBH. Reforma agraria adalah

 perwujudan prinsip bahwa kaum tani dan buruh adalah  sokoguru  utama Revolusi

Indonesia. Menurut Aidit (1964b:56) landreform saja belum cukup karena yang

terpenting adalah pelaksanaan landreform secara radikal. Pelaksanaan landreform

secara radikal dilakukan dengan menempa ‖satu barisan‖ dan ‖marakkan api yang

menyala‖ untuk mem-‖bakar setandesa‖. Lebih lanjut, Chalik Hamid

menggambarkan bentuk perlawanan (aksi) kaum tani dengan: (ibu-ibu) ‖menghadang

traktor‖, (bapa- bapa) ‖mengacungkan pacul‖, (pemuda- pemuda) ‖merentangkan

tangan‖.

Page 4: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 4/33

Page 5: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 5/33

  194

Jika dihubungkan dengan pandangan D.N. Aidit dan pandangan Presiden

Soekarno mengenai landreform, maksud puisi ini semakin kuat, yaitu propaganda

aksi kaum tani untuk menegakkan reforma agraria. Aksi kaum tani yang

dipropagandakan dalam puisi ‖Tak  Terpatahkan‖ dilandasi oleh kesadaran terhadap

kenyataan bahwa tuan tanah berlaku sewenang-wenang dan menindas kaum tani

(Aidit, 1964b:56); tuan tanah menggunakan tanah sebagai alat pengisap kaum tani

 penggarap (Soekarno, 1964:419). Puisi ini juga mempropagandakan kesadaran

revolusioner, yaitu kaum tani harus mengambil bagian aktif memperjuangkan

landreform.

Kaum tani dalam puisi ini adalah indikator representasi ajaran Marxisme

karena yang identik dengan massa rakyat pekerja dalam Revolusi Indonesia adalah

kaum tani (Aidit 1964b:52). Kaum tani adalah kelas yang berkeringat menghasilkan

 benda kebutuhan masyarakat. Ironisnya kaum tani menjadi kelas tertindas dan terisap.

Kenyataan inilah yang digunakan sebagai pertimbangan ketika memberi kedudukan

terhormat kepada kaum tani sebagai  sokoguru  Revolusi Indonesia (Soekarno,

1964:263).

Diksi berupa ungkapan revolusioner yang merakyat pada masa Revolusi

Indonesia, menjadi petunjuk terbinanya hubungan timbal-balik antara puisi ‖Tak

Terpatahkan‖ dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Diksi yang

dimaksud yaitu ‖tanah garapan‖. ‖Tanah garapan‖ dalam puisi ini berhubungan

dengan pandangan Presiden Soekarno mengenai masalah pertanahan dalam Revolusi

Page 6: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 6/33

  195

Indonesia. Permasalahan ini dijelaskan dalam pidato yang berjudul ‖Laksana

malaikat jang menjerbu dari langit, djalannja revolusi kita‖ yang merupakan amanat

Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1960. Dalam

 pidato ini dinyatakan bahwa salah satu program Revolusi Indonesia adalah

 perombakan hak tanah dan penggunaan tanah (Soekarno, 1964:419). Hal ini

dilakukan untuk mencapai tujuan atau cita-cita Revolusi Indonesia, yaitu

mewujudkan masyarakat adil makmur, khususnya meninggikan taraf hidup kaum

tani, yang sekaligus berarti meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat (Soekarno,

1964:419).

Berkenaan dengan pentingnya program perombakan hak tanah dan

 penggunaan tanah, Presiden Soekarno menyatakan bahwa landreform dalam Revolusi

Indonesia adalah hal yang mutlak karena dengan melaksanakan landreform  berarti

telah melaksanakan satu bagian yang mendasar dari Revolusi Indonesia (Soekarno,

1964:419). ‖Tanah garapan‖ juga berhubungan dengan pandangan D.N. Aidit

mengenai masalah pertanahan dalam Revolusi Indonesia. Hal ini dibicarakan di

 bawah subbab ‖Tentang Sokoguru Buruh dan Tani‖ dalam buku Revolusi Indonesia,

 Latarbelakang sedjarah dan haridepannja (Aidit, 1964b). Menurut Aidit (1964b:71),

sebagai  sokoguru  utama masyarakat, kaum tani berperan penting sebagai

 penyambung hidup bangsa. Aidit (1964b) juga membicarakan permasalahan tanah

garapan pada subbab ‖Sifat Revolusi Indonesia pada tahap sekarang adalah nasional

dan demokratis‖. Pada subbab ini D.N. Aidit menguraikan permasalahan tanah

Page 7: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 7/33

  196

garapan pada konteks program berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang pangan yang

memberi tugas mulia kepada kaum tani, mengingat merekalah yang menghasilkan

 pangan bagi kehidupan bangsa (Aidit, 1964b:56). Sehubungan dengan tugas yang

mulia itu, kaum tani harus memiliki tanah garapan sendiri (Aidit, 1964:56). Agar

kaum tani memiliki tanah garapan sendiri, landreform harus ditegakkan secara

radikal yang berarti membebaskan kaum tani secara radikal pula dari penindasan

feodal (Aidit, 1964b:56).

8.2 Revolusi Indonesia dalam Puisi ”Rapat Mengganyang 7 Setan” 

Puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ (H.R. Bandaharo, hal. 388-389)

menggambarkan suasana rapat umum PKI di alun-alun kota Klaten (Jawa Tengah).

Rapat umum ini dihadiri oleh petinggi PKI, Njoto. Ketika ia menaiki mimbar, massa

menyambutnya dengan salam, ‖Selamat datang, Bung Nyoto!‖  Njoto digambarkan

sedang berpidato di atas mimbar di alun-alun yang dibanjiri massa yang gegap

gempta  berseru dan berteriak, ‖Aksi terus, pantang mundur!‖ Puisi ini bergaya

reportase atau seperti laporan pandangan mata. Penggunaan teknik pandangan mata

dalam puisi ini memberi peluang kepada pembaca melihat secara langsung aksi

mimbar Njoto, alun-alun Klaten yang menjadi lautan massa, dan mendengar Njoto

 berteriak lantang menyerukan komando untuk meng-‖ganyang tujuh setan desa‖ 

(bandit desa, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, tuan tanah) dan ‖ganyang

Malaysia‖.  Njoto juga meneriakkan slogan revolusi:  ‖tanah garapan untuk petani‖,

‖ buruh dan tani soko guru revolusi‖, dan ‖rakyat sebagai kekuatan revolusi‖.

Page 8: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 8/33

  197

Pembaca juga seperti mendengar seruan lantang Njoto, agar kaum tani melakukan

‖aksi sepihak ‖; agar bangsa Indonesia ‖anti-Amerika‖. Dalam pidato tersebut, Njoto

 juga mengingatkan massa rakyat pekerja tentang keberadaan ‖ Nasakom‖, arti penting

‖UUPA dan UUPBH‖, prinsip ‖berdiri dengan dua kaki di atas tanah garapan‖, dan

agar selalu optimis terhadap ‖sosialisme‖.

Bagi masyarakat yang mengalami proses sejarah dan sosial politik pada masa

 pemerintahan Presiden Soekarno, lebih-lebih simpatisan, kader, dan anggota PKI,

 pokok-pokok pidato Njoto telah mereka ketahui, melalui buku-buku revolusi, kursus-

kursus partai, dan rapat-rapat umum. Pidato Njoto dalam puisi ‖Rapat Mengganyang

7 Setan‖ adalah representasi Revolusi Indonesia, seperti: (1) Nasakom (penyatuan

tiga kekuatan besar dalam Revolusi Indonesia, Nasionalis, agama, dan Komunis); (2)

rakyat adalah kekuatan Revolusi Indonesia; (3)  sokoguru Revolusi Indonesia adalah

kaum tani dan buruh; (4) perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme; (5)

 perlawanan terhadap tujuh setan desa; (6) landreform; dan (7) sosialisme.

Gaya reportase, penggunaan kosa kata sehari-hari, dan slogan-slogan revolusi

mempermudah pemahaman terhadap puisi ini. Diksi, kesederhanaan kalimat-

kalimatnya, kejelasan isi atau pesan, menunjukkan bahwa karya ini memiliki ciri khas

sastra Lekra, sebagaimana pendapat Teeuw (1996:31) dan Foulcher (1986:141),

sastra yang sederhana dan mudah dimengerti oleh rakyat. Slogan-slogan revolusi

tersebut menjadi petunjuk terjalinnya hubungan timbal-balik antara puisi ‖Rapat

Mengganyang 7 Setan‖ dengan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.

Page 9: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 9/33

  198

Puisi ini diawali penggambaran suasana rapat umum di alun-alun Klaten,

yang dihadiri oleh ‖berpuluh ribu kaum tani, buruh dan seniman, sastrawan, pelukis,

 penyanyi dan penari‖. Sosok Njoto menjadi pusat perhatian. Pada bait pertama, Njoto

digambarkan berdiri di atas mimbar. Seorang perempuan berteriak mengucapkan

salam, ‖Selamat datang, Bung Nyoto!‖ Ketika Njoto berteriak, ‖Siapa di antara

kawan-kawan sedang tersangkut perkara?‖; serentak  massa menyambut bergemuruh,

‖Aksi terus, pantang mundur!‖ yang diiringi dengan aksi mengacungkan tinju dan

caping. Bait kedua menggambarkan lautan massa di alun-alun. ‖Kami berdiri berjejal

dialun-alun Klaten/memenuhi jalanan sekitarnya sampai kewarung-warung‖,

menunjukkan bahwa penyair berada di antara lautan massa. Ungkapan ini

mencerminkan bahwa penyair menyatukan diri ke tengah-tengah massa dan lebur di

dalamnya. Menyatukan diri ke tengah-tengah massa adalah salah satu

 pengejawantahan prinsip kerja Lekra, yaitu turba (turun ke bawah). Bait kedua

menyajikan gambaran mengenai lautan massa yang terpanggang terik matahari.

Walaupun demikian, massa tetap menyimak pidato Njoto, ‖semua bergantung pada

 bibir Nyoto‖.

Bait ketiga tidak hanya menggambarkan keteguhan hati ‖berpuluh ribu kaum

tani, buruh dan seniman/ sastrawan, pelukis, penyanyi dan penari‖ dan mereka sama

sekali ‖tidak hiraukan matahari membakar ubun-ubun‖ dan tidak ‖hiraukan matahari

menggigit kulit; tetapi juga diperkaya dengan ungkapan yang puitis. Ungkapan puitis

tersebut memperdalam makna dan memberi efek emosional yang kuat terhadap

Page 10: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 10/33

  199

 penggambaran keteguhan massa, yang ‖lebih kokoh dari tebing-tebing karang pantai

selatan‖ dan bergeming terhadap ‖gelombang-gelombang panas menampar muka‖.

Di antara bait 1 sampai 3 (bait-bait yang menggambarkan keadaan lautan

massa di alun-alun Klaten) terdapat bait pendek (terdiri atas dua baris) yang menjadi

 penghubung bagian gambaran latar suasana puisi dengan bagian utama puisi, yaitu

 propaganda untuk melawan. Bagian utama puisi ini adalah gemuruh teriakan massa

yang dikomando oleh Njoto. Teriakan ini adalah janji, tekad, dan tuntutan massa.

Janji ini antara lain ganyang Malaysia, menolak segala bantuan Amerika, penegakan

UUPA dan UUPBH, ganyang tuan tanah, meneruskan aksi sepihak, ‖ritul‖ 

(mengganti) penguasa-penguasa jahat, ganyang bandit desa, ganyang kapitalis

 birokrat, lintah darat, ganyang tukang ijon, dan basmi semua musuh rekyat.

Bagian akhir puisi ditegaskan bahwa janji, tekad, dan tuntutan rakyat berupa

 penggambaran keyakinan terhadap harapan atau cita-cita perjuangan massa rakyat

akan menjadi kenyataan. Harapan atau cita-cita itu tiada lain adalah sosialisme.

Sosialisme adalah ‖bumi subur ini kepunyaan Rakyat‖  atau ‖megahnya haridepan

yang didukung kaum buruh dan kaum tani‖. Sosialisme juga ‖jalan pembebasan

desa‖ dalam me-‖ musnahkan 7 setan keparat!‖ 

Hubungan  puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dengan pidato Presiden

Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, tampak melalui ungkapan-ungkapan atau slogan-

slogan Revolusi Indonesia, seperti ‖tujuh setan desa‖, ‖kaum tani dan buruh‖,

‖berdiri dengan dua kaki‖, ‖tanah garapan‖, ‖palu-godam revolusi ditangan Rakyat‖,

Page 11: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 11/33

  200

‖ganyang‖ (Malaysia, Amerika Serikat, tuan tanah jahat, bandit desa, kapitalis

 birokrat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak), ‖UUPA dan UUPBH‖, ‖aksi sepihak‖,

‖ritul‖ (dari kata ‖retool‖, melengkapi), ‖Nasakom‖, ‖sosialisme‖, dan ‖rakyat‖.

Ungkapan atau slogan revolusioner tersebut, mengacu kepada program atau

agenda Revolusi Indonesia. Ungkapan ‖setan desa‖ memang tidak ditemukan di

dalam pidato Presiden Soekarno dan tulisan D.N. Aidit. Walaupun demikian, maksud

yang dikandung dalam ungkapan ‖setan desa‖ adalah musuh rakyat atau musuh kaum

tani yang juga musuh Revolusi Indonesia. Setan desa adalah istilah umum untuk

menyebut sekelompok musuh yang merugikan rakyat, yaitu tuan tanah jahat, bandit

desa, kapitalis birokrat, lintah darat, tukang ijon, dan tengkulak.

Kata ‖sjaitan‖ muncul dalam pidato yang berjudul ‖Penemuan kembali

Revolusi kita‖ (‖The Rediscovery of our Revolution‖), amanat Presiden Soekarno

 pada hari ulang tahun Peoklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1959. Dalam

 pidato ini, kata ‖sjaitan‖ digunakan untuk menyebut musuh Revolusi Indonesia.

Menurut Presiden Soekarno ‖sjaitan‖  atau musuh Revolusi Indonesia adalah

federalisme, sukuisme, individualisme, golonganisme, penyelewengan, korupsi,

multipartai, dan separatisme (Soekarno, 1964:376). Karena ungkapan ‖setan desa‖

mengacu kepada musuh atau pihak yang dilawan rakyat atau kaum tani, cara

 penggunaan kata ‖setan‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dan ‖sjaitan‖

dalam pidato Presiden Soekarno memiliki maksud yang sama, yaitu untuk

merendahkan dan menistakan musuh Revolusi Indonesia.

Page 12: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 12/33

  201

Ungkapan ‖kaum tani dan buruh‖ mengacu kepada  pemikiran bahwa kaum

tani dan buruh adalah sokoguru Revolusi Indonesia (Aidit, 1964b:71). Kaum tani dan

 buruh sebagai  sokoguru  Revolusi Indonesia juga dibicarakan dalam pidato yang

 berjudul ‖Genta Suara Republik Indonesia‖  (disingkat Gesuri), amanat Presiden

Soekarno pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus

1963. Dasar pikiran menjadikan kaum tani dan buruh sebagai  sokoguru  Revolusi

adalah dalam rangka menaikkan atau meningkatkan produksi (Soekarno, 1964:543).

Mengingat tenaga yang paling produktif adalah kaum tani dan buruh maka tidak

mungkin menaikkan produksi tanpa tenaga kaum tani dan buruh. Untuk menaikkan

 produksi, harus mengembangkan tanaga produktif kaum tani dan buruh (Soekarno,

1964:543).

Memandang kaum tani dan buruh dari aspek ketenagakerjaan dan

 produktivitasnya, pada konteks kaum tani dan buruh sebagai  sokoguru  Revolusi

Indonesia seperti pandangan Presiden Soekarno, sejalan dengan pandangan Marxis

 bahwa massa rakyat pekerja adalah pencipta sejarah yang sesungguhnya karena

merekalah yang nyata bekerja keras dan menghasilkan barang-barang untuk

memenuhi kebutuhan manusia sehingga masyarakat dan sejarahnya berkembang

(Aidit, 1964a:51). Ironisnya, sepanjang sejarah masyarakat berkelas, massa rakyat

 pekerja hidup tertindas (Aidit, 1964a:52). Penderitaan massa rakyat pekerja terjadi

karena mereka tidak memiliki alat-alat produksi (Aidit, 1964a:50). Kesadaran dan

 perjuangan kelas yang bertujuan menghancurkan sistem masyarakat berkelas dan

Page 13: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 13/33

  202

menggantinya dengan sistem masyarakat tanpa kelas merupakan jalan pembebasan

massa rakyat pekerja. Di samping memandang kaum tani sebagai tenaga kerja yang

 produktif, Presiden Soekarno juga menyadari bahwa tuan tanah mengisap dan

menindas kaum tani (Soekarno, 1964:419).

Ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan duakaki ditanah garapan‖, yang

diteriakkan oleh Njoto dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖  dalam rangka

membebaskan kaum tani dari cengkraman tuan tanah. Hal ini berkaitan dengan

 program landreform yang diwujudkan menjadi UUPA dan UUPBH. Sebagai jalan

 pembebasan kaum tani dari penindasan dan pengisapan tuan tanah, landreform

mengandung   pengertian memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah untuk

seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani (Soekarno, 1964:419). Karena

landreform menyangkut nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang mayoritas adalah

kaum tani, maka pada hakikatnya Revolusi Indonesia adalah revolusi agraria (Aidit,

1964b:70). Pada kenyataanya, pelaksanaan UUPA dan UUPBH tidak mudah karena

dihambat oleh tuan tanah sebagai kelas yang dirugikan. Karena itu, kaum tani dituntut

terus melakukan gerakan revolusioner dalam menegakan UUPA dan UUPBH.

Ungkapan ‖aksi sepihak‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ adalah bentuk

gerakan revolusioner kaum tani dalam menegakkan UUPA dan UUPBH. Gerakan

revolusioner ini mencerminkan tingkat kesadaran politik dan kesadaran organisasi

kaum tani (Aidit, 1964b:71).

Page 14: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 14/33

  203

Ketika landreform telah diwujudkan, UUPA dan UUPBH juga telah

ditegakkan, ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan duakaki ditanah garapan‖ menjadi

kenyataan dalam kehidupan kaum tani. Ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan

duakaki ditanah garapan‖ ini juga digunakan oleh Aidit (1964b:56) dalam versi lain,

‖berdiri diatas kaki sendiri dibidang pangan‖, namun  dengan makna yang sama.

Ungkapan atau slogan ini sebenarnya lahir dalam kerangka ‖nation-building dan

character- building‖ semasa Revolusi Indonesia (Aidit, 1964b:70). Menurut Aidit

(1964b:69), pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa, dilandasi oleh

tiga prinsip, yaitu: bebas dalam bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam

 bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Ungkapan perlawanan yang keras, kasar, dan berani, yaitu ‖ganyang‖

ditemukan dalam pidato berjudul ‖Tahun Vivere Pericoloso‖, amanat Presiden

Soekarno pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17

Agustus 1964. Dalam pidato ini, ungkapan ‖mengganjang neo-kolonialisme

‖Malaysia‖!‖ dijadikan komando kepada sukarelawan dan sukarelawati agar

menenuaikan tugas nasional- patriotik, sebagai perjuangan suci ‖mengganjang neo-

kolonialisme ‖Malaysia‖ (Soekarno, 1964:591). Dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7

Setan‖, penggunaan ungkapan ‖ganyang‖ diperluas, sehingga tidak lagi identik

dengan ‖ganyang Malaysia‖ tetapi juga ‖ganyang Amerika Serikat‖, ‖ganyang tuan

tanah jahat‖, ‖ganyang  bandit desa‖, ‖ganyang kapitalis birokrat‖, ‖ganyang lintah

darat‖, ‖ganyang tukang ijon‖, dan ‖ganyang tengkulak ‖.

Page 15: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 15/33

  204

Ungkapan atau slogan ‖ganyang Malaysia‖ berkaitan dengan pandangan dan

sikap Presiden Soekarno bahwa Malaysia adalah benteng imperialis Amerika dan

Tengku Abdul Rachman (Perdana Menteri Malaysia) adalah antek-antek imperialis

(Soekarno, 1964:563). D.N. Aidit mengutip kata-kata Presiden Soekarno bahwa

Malaysia adalah anjing penjaga imperialisme yang dipasang di depan pintu RI (Aidit,

1964b:51). Karena itu, Malaysia harus diganyang. Menurut pandangan D.N. Aidit,

 perjuangan rakyat Indonesia mengganyang Malaysia dan Inggris adalah perjuangan

yang tidak terpisahkan dari pengganyangan imperialisme Amerika sebagai musuh

nomor satu. Mengganyang Malaysia tanpa mengganyang Amerika adalah omong

kosong (Aidit, 1964b:51). Sikap ini dilandasi oleh sejumlah fakta, seperti penanaman

modal Amerika di Indonesia, dukungan Amerika terhadap Malaysia melalui Armada

VII, pernyataan bersama Johnson-Tengku yang bersifat bermusuhan terhadap

Indonesia dan kegiatan subversi Amerika di Indonesia (Aidit, 1964b:51).

Ungkapan atau slogan ‖persetan bantuan Amerika Serikat!‖ dan ‖ganyang

Amerika Serikat‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dapat dipahami dengan

 jelas sebagai cerminan sikap anti-Amerika (membenci dan melawan) yang

dinyatakan dengan berani oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memilih

kehormatan, patriotisme, dan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia ketimbang

 bantuan Amerika (Soekarno, 1964:586).

 Nasakom yang muncul di dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖

 bersumber pada pandangan Presiden Soekarno. Soekarno muda mencetuskan konsep

Page 16: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 16/33

  205

 Nasakom dalam salah satu artikel yang dimuat di surat kabar Suluh Indonesia Muda

 pada tahun 1926 (Lane, 2012:84). Nasakom adalah tiga golongan objektif dari

kesadaran politik rakyat Indonesia yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila

(Soekarno, 1964:544). Menurut Aidit, Nasakom adalah tiga aliran politik (nasionalis,

agama, dan komunis) dan merupakan inti dari persatuan nasional (Aidit, 1964b:72).

‖Nasakom‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ adalah kekuatan untuk

menyingkirkan musuh Revolusi Indonesia, dalam rangka mencapai ‖sosialisme‖.

Ungkapan atau slogan ‖sosialisme‖  dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ 

 bersumber pada pandangan Presiden Soekarno dan D.N. Aidit, yang bergema di

kolong langit Indonesia di bawah kibaran bendera-bendera revolusi. Menurut

Presiden Soekarno, sosialisme harus menjadi darah daging rakyat Indonesia

(Soekarno, 1964:459) karena sosialisme memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mencapai

kebahagiaan rakyat (Soekarno, 1964:460). Revolusi Indonesia menudju Sosialisme 

atau  Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de

nation par nation  (pengisapan manusia atas manusia)

(Soekarno, 1964:566-567).

Menurut D.N. Aidit, sosialisme adalah keadaan masyarakat tanpa penindasan

dan penghisapan manusia oleh manusia karena alat-alat produksi tidak lagi menjadi

milik perseorangan tetapi telah menjadi milik kemasyarakatan yang berwujud

masyarakat tanpa kelas (Aidit, 1964b:50; Aidit, 1964b:79). D.N. Aidit

mengemukakan bahwa hari depan Indonesia jaya adalah sosialisme (Aidit,

Page 17: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 17/33

  206

1964b:113). D.N. Aidit merumuskan juga bahwa sosialisme sebagai hari depan

Revolusi Indonesia   bukanlah ide perseorangan tetapi kesadaran sosial yang

ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia dan sebagai keharusan sejarah (Aidit,

1964b:114).

Analisis terhadap  puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖, menunjukkan bahwa

 puisi mengambil bagian dalam reproduksi teks Revolusi Indonesia. Dalam teks

nonsastra, Revolusi Indonesia adalah susunan gagasan yang harus dipahami dengan

cermat sebagai ajaran atau ideologi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam puisi,

Revolusi Indonesia tidak hanya digunakan untuk mengintensifkan

 pengertian/pemahaman/pemaknaan tetapi juga digunakan sebagai alat atau ‖ bahan

 bakar ‖ untuk mengobarkan api perlawanan kelas tertindas.

Uraian di atas dapat digambarkan melalui model di bawah ini. Model ini

menunjukkan hubungan antara  puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dan pidato

Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Melalui kutipan-kutipan yang disajikan

dalam model di bawah ini tampaklah simpul paralelitas puisi dan pidato Presiden

Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.

Puisi “Rapat Mengganyang

7 Setan” 

Pidato Presiden Soekarno Tulisan D.N. Aidit

―berdiri dengan dua kaki ditanah garapan‖ 

―untuk membangun ekonominasional kita diatas kaki kita

sendiri‖ (Soekarno, 1964:453) 

―prinsip berdiri diatas kakisendiri dibidang pangan‖

(Aidit, 1964b:53, 56)

― persekutuan buruh dan tani‖

―sebagai palu-godam revolusi‖ 

‖Buruh dan tani adalah soko-

guru-soko-gurunja Revolusi!‖

(Soekarno, 1964:453)

1) ―sokoguru revolusi kaum

buruh dan kaum tani jang

mendjadi landasan dari front

nasional‖ (Aidit, 1964b:78) 

2) ‖kaum buruh dan tani 

Page 18: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 18/33

Page 19: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 19/33

  208

1964:535)

5) ‖Revolusi Indonesia menudju

Sosialisme ! Revolusi Indonesia

menudju kepada Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme

 par l’homme dan exploitation de

nation par nation. (Soekaeno,

1964:566-567)

memberi kemakmuran kepada

setiap anggota masjarakatnja‖

(Aidit, 1964a:95)

―persetan bantuan Amerika

Serikat‖ 

1) ‖Go to hell with your

“aid‖!‖ (Soekarno, 1964:582) 

2) ‖Di Amerika tempo hari saja

katakan: lebih baik kita tiada

 bertractor dan tiada

 berbulldozer daripada

mengorbankan sebagian

ketjilpun daripada kedaulatan

kita dan tjita-tjita kita, lebih baik kita membuka hutan kita

dan menggaruk tanah kita

dengan djari-sepuluh dan kuku

kita ini, daripada mendjual

serambutpun daripada

kemerdekaan kita ini untuk

dollar atau untuk rubel.‖

(Soekarno, 1964:257).

-

―UUPBH dan UUPA supaya

dilaksanakan‖ 

―Saja peringkatkan bahwa

UUPA, djuga UUPBH itu,

adalah undang-undang

 progresif bikinan kita sendiri‖

(Soekarno, 1964:579)

―pada waktu sekarang ini adalah

 pelaksanaan UUPA dan

UUPBH setjara konsekwen dan

setjepat mungkin (Aidit,

1964b:56)

Catatan: cetak tebal dari penulis

8.3 Representasi Materialisme Dialektika Historis dalam Cerpen

”Dua Kemenangan” 

Cerpen ‖Dua Kemenangan‖ (Dwijono, hal. 104-107) menceritakan

 perjuangan kaum tani dalam menegakkan UUPBH. Sebelum diberlakukannya

UUPBH, petani penggarap memperoleh 1/3 dan pemilik memperoleh 2/3. UUPBH

menetapkan pembagian hasil antara petani penggarap dan pemilik 1:1 dan segala

ongkos ditanggung oleh pemilik. Cerpen ini diakhiri dengan kemenangan di pihak

Page 20: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 20/33

  209

 petani penggarap. Kaum tani telah berhasil memperjuangkan hak-haknya sesuai

dengan ketentuan UUPBH.

Cerpen ini terdiri atas satuan-sataun cerita, yakni: [A] hari pertama: (1) kaum

tani menyambut musim panen; (2) padi menguning di sawah dan telah siap dipanen;

(3) kaum tani mempersiapkan perlawanan; (4) Parijem menggalang massa perempuan

tani untuk melakukan perlawanan; (5) Parijem dan para wanita tani mendatangi

rumah Bung Ali (tokoh PKI); [B] hari kedua: (6) Parijem dan wanita tani menuju

kelurahan; (7) (di kelurahan) Parijem dan kaum tani penggarap menuntut Pardi (tuan

tanah) agar mematuhi UUPBH; dan (8) Pardi memenuhi tuntutan kaum tani

 penggarap (kaum tani penggarap memperoleh kemenangan).

Satuan-satuan cerita tersebut mengindikasikan cerpen ini dibangun dengan

mengikuti hukum materialisme dialektika historis. Tesis di dalam cerita ini adalah

 penderitaan kaum tani penggarap (tuan tanah berlaku sewenang-wenang terhadap

kaum tani penggarap). Penderitaan kaum tani penggarap diakibatkan oleh

ketidakadilan dalam sistem bagi hasil. Kaum tani penggarap menerima bagian hanya

1/3 dan segala ongkos penggarapan sawah ditanggung oleh kaum tani, tuan tanah

menerima 2/3, ‖[...], kalau tidak Tarman hanya akan menerima bagiannya seperti

tahun yang lalu, yaitu 2/3 untuk Pak Pardi sepertiga lagi untuk Tarman.‖ 

Antitesis keadaan tersebut adalah diberlakukannya UUPBH. Kaum tani

 penggarap dan tuan tanah menerima masing-masing setengah dan semua ongkos

 penggarapan sawah ditanggung oleh tuan tanah; ‖Baru kali ini Wati mengetahui

Page 21: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 21/33

Page 22: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 22/33

  211

Pemikiran revolusioner yang diungkapkan oleh cerpen ini berkaitan dengan

kaum perempuan tani. Perempuan tani dicitrakan terlibat langsung dalam perjuangan

 politik di tingkat desa yang diwujudkan melalui sosok Parijem. Parijem (ibu yang

sedang menyusui anaknya) tampil sebagai pemimpin perlawanan kaum tani (lihat

 pula cerita lain dalam antologi  Laporan dari Bawah, ‖Bibi Kerti‖, ‖Istri Kawanku‖,

dan ‖Lelaki itu Datang Lagi‖). Melalui sosok Parijem pengarang melawan pandangan

feodal terhadap kaum perempuan, yang hanya subordinat laki-laki.

Makna cerpen ini tidak serta-merta terkait dengan pokok persoalan sosial

 politik yang direpresentasikan, yaitu perjuangan kaum tani menuntut keadilan dalam

sistem bagi hasil. Persoalan tersebut hanya dijadikan landasan oleh pengarang dalam

menyampaikan pemikiran revolusionernya terhadap pandangan feodal yang

memosisikan kaum perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Cerpen ini adalah

 perlawanan terhadap feodalisme.

Metode membaca paralel cerpen ‖Dua Kemenangan‖, pidato Presiden

Soekarno, tulisan D.N. Aidit, menunjukkan bahwa cerpen ini mengungkap persoalan

landreform, yaitu penegakan UUPBH. Hubungan antarteks cerpen dengan teks

nonsastra dikemukakan dalam model sebagai berikut.

Cerpen “Dua Kemenangan”  Pidato Presiden

Soekarno

Tulisan D.N. Aidit

1)―Kan sekarang di daerah lain

sudah banyak yang

melaksanakan UU Bagi Hasil‖ 

2)‖Apa kau belum tahu, bahwa

 perjanjian Bagi Hasil itu harus

dilaksanakan pada panenan

ini, kalau tidak Tarman hanya

akan menerima bagiannya

―Saja peringkatkan bahwa

UUPA, djuga UUPBH itu,

adalah undang-undang

 progresif bikinan kita sendiri‖

(Soekarno, 1964:579)

―pada waktu sekarang ini adalah

 pelaksanaan UUPA dan

UUPBH setjara konsekwen dan

setjepat mungkin (Aidit,

1964b:56)

Page 23: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 23/33

  212

seperti tahun lalu, yaitu 2/3

untuk Pak Pardi sepertiga lagi

untuk Tarman. Sedangkan UU

Bagi Hasil itu menentukan bahwa penggarap menerima

separo, si pemilik separo dan

ongkos-ongkos penggarapan

sawah dipikul oleh pemilik‖ 

keterangan: cetak miring dari penulis

8.4 Propaganda PKI dalam Cerpen ”Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI” 

Cerpen ‖Menyambut Kongres ke-VI PKI‖  (L.S. Retno, hal. 165-170)

menceritakan suasana hati, harapan, dan kegembiraan petani ketika menanti musim

 panen tiba. Harapan dan kegembiraan petani semakin bermakna karena panen kali ini

 bertepatan dengan pelaksanaan Kongres Nasional VI PKI. Sepulang dari sawah,

mereka berkumpul memperbincangkan keadaan politik negara, khususnya yang

 berkaitan dengan PKI. Besarnya perhatian para petani terhadap Kongres Nasional VI

PKI menunjukkan hubungan dekat kaum tani dan PKI. Gambaran kedekatan

hubungan petani dan PKI merupakan salah satu materi propaganda PKI yang

dilakukan melalui cerpen. Propaganda ini bertujuan menyadarkan kaum tani terhadap

 penderitaan, bangkit melakukan perlawanan, dan meraih sosialisme. Sastra

 propaganda dengan sadar memikul beban politik dan ideologi sebagai kehormatan.

Para petani memperbincangkan agenda Kongres Nasional VI PKI, perjuangan

PKI dalam membela kaum tani, ajaran Marxisme-Leninisme, sikap antiimperialisme-

kolonialisme, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan ancaman gerombolan bersenjata.

Gerombolan bersenjata dipandang sebagai pengkhianat negara dan penghalang

mencapai masyarakat adil dan makmur. Munculnya peristiwa sejarah di dalam cerpen

Page 24: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 24/33

  213

ini dapat dipahami melalui konsep sastra reportase (literary reportage) (Foulcher,

1986:141).

Di antara para petani hadir seorang guru sekolah rakyat (SR) yang juga kader

PKI, Kusno. Kusno representasi etos kerja politik seorang kader PKI. Seorang kader

harus menyatu dengan kehidupan massa rakyat pekerja, dalam hal ini kehidupan

kaum tani. Hanya dengan hidup bersama kaum tani, seorang kader memahami,

mengerti, dapat merasakan penderitaan, memahami harapan-harapan para petani, dan

memperjuangkannya. Etos kerja ini disebut gerakan turun ke bawah (turba) yang

dijadikan salah satu prinsip kerja seniman dan sastrawan Lekra. Dalam bidang sastra,

 prinsip turba menggariskan bahwa penciptaan puisi atau cerpen harus dilandasi oleh

 pemahaman, pengertian, pengetahuan yang sebenarnya mengenai kehidupan rakyat

 bawah. Untuk mengetahui kehidupan rakyat, mereka dituntut melakukan gerakan

turba, sebagaimana telah digariskan di dalam asas metode kerja kombinasi 1-5-1

Lekra. Cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖ tampaknya tercipta

melalui proses turba yang dilakukan oleh pengarangnya.

Di tengah kesibukan kerja para petani, Kusno berperan sebagai narasumber

ideologi Marxis. Kusno adalah wakil langsung PKI di tengah kehidupan para petani.

Hal ini mencerminkan usaha menjadikan partai ini milik kaum tani dan membangun

militansi terhadap PKI. Kutipan di bawah ini menunjukkan peran Kusno di desa.

Dalam pertemuan-pertemuan itu kadang-kadang malah Kusno dimintai

 penjelasan ini-itu yang meruwetkan. Kusno yang sudah mendapat tempat di

hati penduduk selalu berusaha menerangkan dengan sejelas mungkin. Ya, berita tentang pemberontakan, situasi dunia, dimana Amerika Serikat gila

Page 25: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 25/33

  214

 perang, kaum imperialis menindasi pemberontakan-pemberontakan di negara

 jajahan yang ingin merdeka, semua ini selalu menjadi bahan penjelasan bagi

Kusno.(cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional Ke-VI PKI, L.S. Retno, hal. 167)

Kusno yang digambarkan dalam kutipan di atas adalah seorang propagandis.

Cerpen ini merupakan salah satu model propaganda yang dijalankan melalui sastra,

melalui tokoh cerita. Cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖

merepresentasikan agenda perjuangan PKI yang berbasis pada permasalahan hidup

kaum tani di pedesaan. Perjuangan ini dijalankan oleh Kusno yang bersedia hidup di

tengah kaum tani. Untuk menjalankan peran yang sangat mulia itu, Kusno melakukan

 berbagai kegiatan nyata, seperti mendidik kaum tani tentang ideologi Marxis dan

garis perjuangan PKI serta memberantas buta huruf. Hanya kader partai yang

memiliki jiwa pengabdian kepada rakyat seperti Kusno-lah yang menjadikan PKI

dicintai, dipercaya, dan menjadi harapan kaum tani. Cerpen ini menegaskan juga

 bahwa jiwa pengabdian kepada rakyat yang tumbuh dalam diri Kusno, yang

terbentuk berkat ajaran Marxisme-Leninisme sebagai manifestasi ideologi Marxis

 pada diri seorang kader partai. Penggambaran tokoh Kusno bertujuan membangun

citra ideal seorang kader PKI yang patut menjadi panutan. Di samping

merepresentasikan persoalan sosial politik, ideologi, dan agenda revolusi PKI, cerpen

‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖, menyelipkan pesan pembinaan kader

 partai dalam melakukan propaganda.

Permasalahan sosial politik yang diungkap dalam cerpen ini berpusat pada

 perjuangan PKI dalam: (1) menghadapi/melawan Amerika atau negara-negara

Page 26: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 26/33

  215

imperialis; (2) membela rakyat/mencintai rakyat; (3) mewujudkan masyarakat adil

makmur (sosialisme); dan (4) berjuang untuk kaum tani/tanah bagi kaum tani.

Keempat persoalan tersebut adalah materi propaganda PKI, yang bersumber pada

ajaran Marxis dan garis revolusi PKI.

Permasalahan di atas sejalan dengan garis revolusi Presiden Soekarno yang

dibicarakan dalam pidato-pidato di bawah bendera revolusi. Sikap anti-Amerika

tersebut terungkap, baik dalam pandangan D.N. Aidit maupun Presiden Soekarno.

Amerika adalah musuh Revolusi Indonesia karena negara ini masih mempunyai

 pengaruh kuat di lapangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan militer (Aidit,

1964b:7). Presiden Soekarno dan D.N. Aidit kecewa terhadap Amerika karena negara

ini mendukung neokolonialisme Malaysia. Presiden Soekarno tidak lagi percaya dan

menaruh hormat kepada Amerika sebagai negara pusat segala ide kemajuan. Presiden

Soekarno menyatakan, ‖Dulu Amerika saja sebut ‖the Centre of an idea‖. Sekarang

saja tidak bisa lagi menjebutkan Amerika ‖the centre of an ide‖ (Soekarno,

1964:594).

Tokoh-tokoh cerpen yang merepresentasikan massa rakyat pekerja yang

tertindas dan terisap adalah salah satu kecenderungan umum dalam  Laporan dari

 Bawah. Cara penokohan ini merepresentasikan konsep massa rakyat pekerja sebagai

 pencipta sejarah (Aidit, 1964a:51). Pengarang memang memberi nama tokoh secara

 pribadi namun karakterisasi individu tidak dirinci karena lebih mengutamakan kelas

sebagai identitas tokoh cerita. Hal ini berhubungan dengan pandangan Marxis bahwa

Page 27: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 27/33

  216

 peranan individu dalam sejarah adalah penting, tetapi bukan yang menentukan (Aidit,

1964a:51). Apabila dilihat dari teori pertentangan kelas, penokohan cerpen-cerpen

Lekra merupakan representasi dialektika kelas. Dialektika kelas pemicu objektif

 perkembangan sejarah, sejak masyarakat terbagi-bagi menjadi kelas-kelas yang saling

 bertentangan (Aidit, 1964b:49). Kedua kelas yang saling bertentangan itu mengalami

konflik, saling melawan dan menindas untuk memenangkan kepentingan kelasnya

masing-masing.

Melalui metode membaca paralel cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-

VI PKI‖, pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit yang disajikan dalam

model untuk memperlihatkan bahwa cerpen ini membicarakan: (1) Dekrit Presiden 5

Juli 1959; (2) gerombolan bersenjata dan koruptor yang mengancam negara; (3) nasib

kaum tani; (4) tanah untuk kaum tani; dan (5) sosialisme. Kelima persoalan yang

dibicarakan tersebut adalah simpul yang menunjukkan hubungan antara karya sastra

dan teks nonsastra.

Cerpen ”Menyambut

Kongres Nasional ke-VI

PKI” 

Pidato Presiden Soekarno Tulisan D.N. Aidit

―Belakangan ini, dengan

ramainya perdebatan di

Konstituante tentang kembali

ke UUD’45 yang ternyata

gagal, tentang Dekrit Presiden

tanggal 5 Juli 1959 dan

sebagainya.‖

1)‖Maka karena kegagalan

Konstituante itu, demi

kepentingan Nusa dan Bangsa,

demi keselamatan Revolusi, saja

 pada tanggal 5 Djuli jang lalu

mengeluarkan Dekrit‖

(Soekarno, 1964:358)2)―bahwa kita pada 5 Juli 1959 

kembali kepada Undang-

Undang Dasar ’45 itu‖

(Soekarno, 1964:448) 

-

―Adalah memang tidak

mungkin bila kita akan menuju

ke suatu masyarakat Indonesia

―isi Manifesto Politik bab

keamanan:

Tiada kompromis dengan D.I.-

―Sampai kini sisa-sisa

feodalisme tetap merupakan

dasar kemasjarakatan bagi

Page 28: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 28/33

  217

yang adil dan makmur, tidak

menumpas segala pengkhianat

negara seperti gerombolan

teror DI/TII, PRRI&Permestaatau koruptor-koruptor yang

kini masih banyak bercokol di

 pemerintahan.‖

T.I.I!

Tiada kompromis dengan

P.R.R.I.-Permesta!

Tiada kompromis denganR.M.S.! (Soekarno, 1964:422)

imperialisme dan kakitangan-

kakitanganja (DI-TII, PRRI-

Permesta, gerombolan Kahar

Muzakar, kegiatan-kegiatansubversif dll.‖ (Aidit, 1964b:52) 

―penting pula diperhatikan

keadaan kaum tani yang

miskin-miskin karena

penghisapan dan penindasan tuantanah-tuantanah‖

―kaum tani mengalami

penghi sapan dobel :

 penghisapan dari feodalisme,

dan penghisapan dari

kapitalisme‖ (Soekarno,

1964:578)

―kaum tani jang hidup

menderita dibawah penindasan

tuantanah feodal‖ (Aidit,

1964b:54)

―sahkan milik kaum tani atas

tanah‖ 

‖Tanah untuk tani! Tanah

untuk mereka jang betul-betul

menggarap tanah! (Soekarno,

1964:419)

‖kaum tani harus mempunjai

miliktanah garapannja

sendiri‖ (Aidit, 1964b:56) 

―hari depan mereka yang

gemilang‖ 

‖bahwa hari-depan kita adalah

 sosialisme‖ (Soekarno,

1964:542)

1)‖Revolusi Indonesia‖

menudju kepada Sosialisme‖

(Aidit, 1964b:61)

2)‖meneruskan perdjuangan

hingga tertjapainja kemenangan

Sosialisme Indonesia‖ (Aidit,

1964b:80)

3)‖Sosialisme Indonesia sebagai

masa depan Revolusi

Indonesia‖ (Aidit, 1964a:113) 

keterangan: cetak miring dari penulis

8.5 Cetak Biru Sastra dan Revolusi Indonesia

Hubungan timbal-balik (paralel, ekuivalen, berkorespodensi) puisi-puisi

dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dan pidato Presiden

Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, terjadi karena politik sastra yakni sastra sebagai

 bagian dari gerakan politik yang dijalankan oleh Lekra. Sastra sebagai bagian dari

gerakan politik didasari oleh prinsip politik sebagai panglima. Politik sebagai

 panglima menuntut pengarang dan budayawan memiliki kewajiban mengintegrasikan

diri dengan rakyat, terutama kaum tani dan buruh (Situmorang, 2004b:198).

Page 29: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 29/33

  218

Politik sastra juga tampak dalam rumusan teori sastra yang disusun oleh

Situmorang (2004a:172) yang bersumber pada konsep revolusi Presiden Soekarno.

Kesusastraan Indonesia harus mengandung tiga unsur revolusi, yaitu: (1) dinamika

(sastra Indonesia harus melihat hakikat gerak maju masyarakat dan manusia

Indonesia secara revolusioner); (2) dalektika (sastra harus menggambarkan

 perjuangan dan pertentangan antara masyarakat lama dan masyarakat baru;

mengambarkan watak-watak revolusioner yang mewakili sejarah dan pendiri

masyarakat baru, yaitu buruh dan tani; sastra harus menegaskan bahwa sosialisme

sebagai sistem masa datang); dan (3) romantika (sastra harus menghasilkan gagasan

 pahlawan baru menggantikan pahlawan lama, pahlawan feodal dan borjuis).

Situmorang (2004a:172) bertujuan melawan teori sastra Indonesia yang

dikembangkan oleh para ahli Belanda yang borjuis-feodal dan tidak mengakui

keberadaan kesusastraan rakyat (Dharta, 2010a:26).

Pengertian ‖politik sastra‖ yang digunakan dalam kajian ini, tidak sama

dengan literary politic  (Foulcher, 1986:119).  Literary politic  berorientasi kepada

 produk sastra yang bermuatan politik. Politik sastra berkaitan dengan proses bersastra

yang menyatu dengan dan merupakan bagian dari gerakan politik. Melalui konsep

 politik sastra, dipahami bahwa puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerepn

dalam  Laporan dari Bawah tidak secara pasif merepresentasikan proses sejarah

zamannya. Representasi persoalan sosial politik Revolusi Indonesia, sikap atau

 pendirian politik dan ideologi dalam puisi dan cerpen, bukan sebagai tujuan tetapi

Page 30: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 30/33

  219

hanya sebagai konsekuensi gerakan politik sastra. Karya sebagai produk representasi

 bukanlah tujuan terpenting dalam politik sastra karena yang jauh lebih penting adalah

gerakan politiknya sendiri yang dilakukan oleh sastrawan dalam untuk mencapai cita-

cita ideologi dan partai.

Mukadimah Lekra  dan Konsepsi Kebudayaan Rakyat adalah dasar

sikap/pendirian politik kebudayaan. Kajian terhadap puisi-puisi dalam Gugur Merah

dan cerpen-cerpen dalam  Laporan dari Bawah,  baik dari segi representasi ideologi,

lebih-lebih muatan persoalan sosial politiknya, maupun hubungan timbal-balik karya

sastra dan teks nonsastra memberi kejelasan bahwa para penyair dan pengarang

melakukan gerakan politik melalui jalan sastra. Menurut Karl Marx, kebudayaan

 bukan suatu kenyataan independen tetapi tidak terpisahkan dari kondisi sejarah

tempat manusia menciptakan materi-materi kehidupannya (Selden dan Widdowson,

1993:71). Pandangan ini dipraktikkan oleh aktivis Lekra dengan menjadikan

kebudayaan sebagai alat/senjata perjuangan ideologi dan politik (PKI) yang

melahirkan sastra propaganda sebagai jalan memuliakan sastra.

Landasan yang digariskan di dalam Mukadimah Lekra dan Konsepsi

Kebudayaan Rakyat menunjukkan hubungan sastra Lekra dengan tumbuh suburnya

 paham kerakyatan pada masa Revolusi Indonesia. Hal ini tampak dalam kutipan

sebagai berikut.

Kesenian, ilmu, dan industri harus menjadi kepunyaan rakyat.

Kebudayaan rakyat berfungsi sebagai stimulator (pendorong) dan senjata

 perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaanrakyat adalah sumber api revolusi yang tidak pernah mati. Kebudayaan rakyat

Page 31: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 31/33

  220

harus mencatat dan memuja perjuangan rakyat, mengajar dan mendidik rakyat

dalam perjuangannya. Kebudayaan tradisional dan kebudayaan asing diterima

dengan cara tidak memperbudak diri sendiri tetapi dengan mengambil sarinya,yaitu segi progresifnya. Kebudayaan adalah sebagai salah satu kekuatan

dalam revolusi demokrasi rakyat. (dalam Foulcher, 1986: 211)

Kutipan tersebut sejalan dengan pandangan Presiden Soekarno bahwa Revolusi

Indonesia adalah revolusi rakyat. Pandangan Marxis yang dianut oleh D.N. Aidit

menyatakan bahwa yang melakukan revolusi adalah massa rakyat pekerja. Jadi,

Mukadimah Lekra, Konsepsi Kebudayaan Rakyat, paham kerakyatan Presiden

Soekarno, dan konsep massa rakyat pekerja D.N. Aidit, saling berhubungan.

8.6 Simpulan

Hubungan timbal-balik puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam

 Laporan dari Bawah  dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, dapat

dipahami berdasarkan konsep politik sastra. Representasi persoalan politik dalam

Gugur Merah dan  Laporan dari Bawah merupakan produk gerakan politik sastra.

Gerakan politik sastra lebih mengutamakan proses politik ketimbang karya sastra

sebagai produk representasi. Ketika sastra identik dengan teks, maka proses lahirnya

karya diabaikan. Pada konteks sastra Lekra, pandangan ini harus digeser ke proses

mencipta karya. Pergeseran pandangan dari karya sebagai ‖produk‖ ke ‖proses‖

 penciptaan karya adalah bagian yang memperoleh penekanan dalam kajian sastra

dengan menggunakan teori new historicism. Proses penciptaan karya sastra Lekra

yang bertumpu kepada proses sejarah (Revolusi Indonesia) dan dokumen-dokumen

Page 32: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 32/33

  221

Lekra merupakan faktor penting dalam memaknai puisi-puisi dalam Gugur Merah

dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah.

Hubungan timbal-balik puisi, cerpen dan pidato Presiden Soekarno serta

tulisan D.N. Aidit, tampak melalui paralelitas ide, gagasan, pemikiran, sikap,

 pendirian, dan pandangan yang juga dinyatakan dalam ungkapan pidato Presiden

Soekarno dan tulisan D.N. Aidit. Ungkapan tersebut misalnya ‖tanah garapan‖,

‖setan-setan desa, ‖7 setan desa‖, ‖ persekutuan buruh dan tani‖, ‖ganyang Malaysia‖,

‖UUPBH dan UUPA‖, ‖musuh Rakyat‖, ‖ berdiri dengan dua kaki‖, ‖Nasakom,

‖Sosialisme‖, ― persetan bantuan Amerika Serikat‖, ― petani‖, ‖Dekrit Presiden tanggal

5 Juli 1959‖, ―masyarakat Indonesia yang adil dan makmur ‖, dan lain-lain. Ide,

gagasan, pemikiran, sikap, pendirian, pandangan yang terkandung di dalam ungkapan

tersebut mencerminkan proses budaya dan sejarah semasa Revolusi Indonesia. Di

samping melalui ungkapan langsung, hubungan antarteks puisi-puisi dalam Gugur

 Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dan pidato Presiden Soekarno

serta tulisan D.N. Aidit terjadi secara tersirat. Hubungan antarteks ini terbina di atas

 paham kerakyatan.

Sebagai konsekuensi dari ‖kesusastraan yang terikat  pada zaman, abad, dan

masyarakat‖ (Situmorang, 2004d:228), puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen

dalam Laporan dari Bawah dialiri oleh jiwa revolusioner, perlawanan, pendobrakan,

dan dekonstruksi karena ‖Lekra pertama-tama berorientasi pada kehidupan

 pergerakan‖ (Dharta, 2010b:97). Pada konteks Revolusi Indonesia, ‖sastra mengabdi

Page 33: BAB VIII Pararelitas.pdf

8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 33/33