bab viii pararelitas.pdf
TRANSCRIPT
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 1/33
190
BAB VIII
PARALELITAS SASTRA LEKRA DENGAN TEKS NONSASTRA
Bab ini menyajikan analisis karya yang bertumpu pada hubungan antarteks
puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dan
pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Antarteks adalah hubungan teks
secara sinkronis yang diakibatkan oleh proses sejarah pada suatu zaman. Pada
konteks penelitian ini, Revolusi Indonesia adalah proses sejarah yang melahirkan
puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah, pidato
Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit. Metode membaca paralel atau membaca
berdampingan didasari oleh konsep bahwa sejumlah teks yang dikaji memiliki
hubungan secara paralel. Teori new historicism memandang bahwa fiksi dan nonfiksi
adalah teks yang paralel secara sinkronis. Paralelitas teks sezaman dapat dianalogikan
dengan cara media massa atau media sosial menulis laporan peristiwa yang sama.
Berita mengenai peristiwa tersebut dimuat di surat kabar, majalah, disiarkan di radio,
ditayangkan di televisi, diunggah di media sosial yang pada akhirnya membentuk
jejaring teks. Hubungan antarteks dalam jejaring ini terjadi karena teks dilahirkan dan
berperan di dalam proses sejarah dan budaya pada zamannya. Pemaknaan teks tidak
bertumpu pada teks tunggal tetapi pada hubungan antarteks.
Revolusi Indonesia direpresentasikan dalam berbagai teks (sastra, sejarah) dan
berhubungan secara antarteks. Memaknai karya sastra semasa Revolusi Indonesia
tidak cukup hanya bertumpu pada teks tunggal, baik dari segi genre maupun
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 2/33
191
kuantitas. Revolusi Indonesia adalah sumber semua teks yang telah dilahirkannya.
Memaknai puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari
Bawah dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antarteks puisi, cerpen dan
pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.
8.1 Representasi Perlawanan Kaum Tani dalam Puisi ”Tak Terpatahkan”
Puisi ‖Tak Terpatahkan‖ (Chalik Hamid, hal. 269) ditulis dengan
menggunakan gaya narasi yang kuat. Puisi ini merepresentasikan pandangan dunia
Marxis. Kaum tani hidup di bawah pengisapan dan penindasan tuan tanah feodal.
Pada masa Revolusi Indonesia, Marxisme melalui gerakan PKI mengambil peran
penting dalam memperjuangkan landreform atau reforma agraria yang menuntut
tanah garapan bagi kaum tani. Oleh karena itu, landreform indentik dengan PKI.
Pandangan ini dibantah oleh Presiden Soekarno bahwa banyak negara yang non-
Komunis menjalankan landreform (Soekarno, 1964:420). Chalik Hamid tidak
membicarakan penderitaan kaum tani Indonesia karena telah menjadi pemahaman
umum.
Puisi ‖Tak Terpatahkan‖ diawali dengan penegasan bahwa telah menjadi
keyakinan yang tidak bisa dibantah atau ‖tidak terpatahkan‖ bahwa ‖manusia
dihidupi oleh tanah garapan‖. Manakala tanah garapan hanya menjadi alat pengisapan
dan penindasan yang sama artinya dengan perampasan tanah oleh tuan tanah, maka
‖tiap jengkal tanah kita pertahankan‖. Keyakinan bahwa tanah garapan menghidupi
manusia, namun keyakinan ini tidak terjadi dalam kehidupan masyarakat.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 3/33
192
Kesenjangan antara keyakinan (apa yang diharapkan) dan kenyataan, digunakan oleh
Chalik Hamid untuk menggelorakan aksi perlawanan kaum tani. Berdasarkan hukum
materialisme dialektika historis, puisi ini mencerminkan pola pertentangan antara
penderitaan kaum tani (tesis) dan perjuangan menghancurkan belenggu penderitaan
(antitesis). Pola ini sejalan dengan pola dasar Revolusi Indonesia, yaitu penderitaan
bangsa Indonesia karena ditindas/diisap oleh imperialisme-kolonialisme serta
feodalisme (tesis) dan perjuangan (revolusi) untuk membebaskan diri dari belenggu
penderitaan (antitesis). Kesejalanan pola dasar ini merupakan salah satu indikator
terjadinya hubungan antarteks puisi dan revolusi.
Fokus puisi ini adalah propaganda perlawanan kaum tani agar
mempertahankan dan merebut tanah dari kekuasaan tuan tanah. Persoalan ini
dipayungi oleh agenda landreform Revolusi Indonesia. Dalam hal ini puisi berfungsi
sebagai media propaganda menegakkan UUPA dan UUPBH. Reforma agraria adalah
perwujudan prinsip bahwa kaum tani dan buruh adalah sokoguru utama Revolusi
Indonesia. Menurut Aidit (1964b:56) landreform saja belum cukup karena yang
terpenting adalah pelaksanaan landreform secara radikal. Pelaksanaan landreform
secara radikal dilakukan dengan menempa ‖satu barisan‖ dan ‖marakkan api yang
menyala‖ untuk mem-‖bakar setandesa‖. Lebih lanjut, Chalik Hamid
menggambarkan bentuk perlawanan (aksi) kaum tani dengan: (ibu-ibu) ‖menghadang
traktor‖, (bapa- bapa) ‖mengacungkan pacul‖, (pemuda- pemuda) ‖merentangkan
tangan‖.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 4/33
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 5/33
194
Jika dihubungkan dengan pandangan D.N. Aidit dan pandangan Presiden
Soekarno mengenai landreform, maksud puisi ini semakin kuat, yaitu propaganda
aksi kaum tani untuk menegakkan reforma agraria. Aksi kaum tani yang
dipropagandakan dalam puisi ‖Tak Terpatahkan‖ dilandasi oleh kesadaran terhadap
kenyataan bahwa tuan tanah berlaku sewenang-wenang dan menindas kaum tani
(Aidit, 1964b:56); tuan tanah menggunakan tanah sebagai alat pengisap kaum tani
penggarap (Soekarno, 1964:419). Puisi ini juga mempropagandakan kesadaran
revolusioner, yaitu kaum tani harus mengambil bagian aktif memperjuangkan
landreform.
Kaum tani dalam puisi ini adalah indikator representasi ajaran Marxisme
karena yang identik dengan massa rakyat pekerja dalam Revolusi Indonesia adalah
kaum tani (Aidit 1964b:52). Kaum tani adalah kelas yang berkeringat menghasilkan
benda kebutuhan masyarakat. Ironisnya kaum tani menjadi kelas tertindas dan terisap.
Kenyataan inilah yang digunakan sebagai pertimbangan ketika memberi kedudukan
terhormat kepada kaum tani sebagai sokoguru Revolusi Indonesia (Soekarno,
1964:263).
Diksi berupa ungkapan revolusioner yang merakyat pada masa Revolusi
Indonesia, menjadi petunjuk terbinanya hubungan timbal-balik antara puisi ‖Tak
Terpatahkan‖ dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Diksi yang
dimaksud yaitu ‖tanah garapan‖. ‖Tanah garapan‖ dalam puisi ini berhubungan
dengan pandangan Presiden Soekarno mengenai masalah pertanahan dalam Revolusi
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 6/33
195
Indonesia. Permasalahan ini dijelaskan dalam pidato yang berjudul ‖Laksana
malaikat jang menjerbu dari langit, djalannja revolusi kita‖ yang merupakan amanat
Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1960. Dalam
pidato ini dinyatakan bahwa salah satu program Revolusi Indonesia adalah
perombakan hak tanah dan penggunaan tanah (Soekarno, 1964:419). Hal ini
dilakukan untuk mencapai tujuan atau cita-cita Revolusi Indonesia, yaitu
mewujudkan masyarakat adil makmur, khususnya meninggikan taraf hidup kaum
tani, yang sekaligus berarti meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat (Soekarno,
1964:419).
Berkenaan dengan pentingnya program perombakan hak tanah dan
penggunaan tanah, Presiden Soekarno menyatakan bahwa landreform dalam Revolusi
Indonesia adalah hal yang mutlak karena dengan melaksanakan landreform berarti
telah melaksanakan satu bagian yang mendasar dari Revolusi Indonesia (Soekarno,
1964:419). ‖Tanah garapan‖ juga berhubungan dengan pandangan D.N. Aidit
mengenai masalah pertanahan dalam Revolusi Indonesia. Hal ini dibicarakan di
bawah subbab ‖Tentang Sokoguru Buruh dan Tani‖ dalam buku Revolusi Indonesia,
Latarbelakang sedjarah dan haridepannja (Aidit, 1964b). Menurut Aidit (1964b:71),
sebagai sokoguru utama masyarakat, kaum tani berperan penting sebagai
penyambung hidup bangsa. Aidit (1964b) juga membicarakan permasalahan tanah
garapan pada subbab ‖Sifat Revolusi Indonesia pada tahap sekarang adalah nasional
dan demokratis‖. Pada subbab ini D.N. Aidit menguraikan permasalahan tanah
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 7/33
196
garapan pada konteks program berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang pangan yang
memberi tugas mulia kepada kaum tani, mengingat merekalah yang menghasilkan
pangan bagi kehidupan bangsa (Aidit, 1964b:56). Sehubungan dengan tugas yang
mulia itu, kaum tani harus memiliki tanah garapan sendiri (Aidit, 1964:56). Agar
kaum tani memiliki tanah garapan sendiri, landreform harus ditegakkan secara
radikal yang berarti membebaskan kaum tani secara radikal pula dari penindasan
feodal (Aidit, 1964b:56).
8.2 Revolusi Indonesia dalam Puisi ”Rapat Mengganyang 7 Setan”
Puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ (H.R. Bandaharo, hal. 388-389)
menggambarkan suasana rapat umum PKI di alun-alun kota Klaten (Jawa Tengah).
Rapat umum ini dihadiri oleh petinggi PKI, Njoto. Ketika ia menaiki mimbar, massa
menyambutnya dengan salam, ‖Selamat datang, Bung Nyoto!‖ Njoto digambarkan
sedang berpidato di atas mimbar di alun-alun yang dibanjiri massa yang gegap
gempta berseru dan berteriak, ‖Aksi terus, pantang mundur!‖ Puisi ini bergaya
reportase atau seperti laporan pandangan mata. Penggunaan teknik pandangan mata
dalam puisi ini memberi peluang kepada pembaca melihat secara langsung aksi
mimbar Njoto, alun-alun Klaten yang menjadi lautan massa, dan mendengar Njoto
berteriak lantang menyerukan komando untuk meng-‖ganyang tujuh setan desa‖
(bandit desa, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, tuan tanah) dan ‖ganyang
Malaysia‖. Njoto juga meneriakkan slogan revolusi: ‖tanah garapan untuk petani‖,
‖ buruh dan tani soko guru revolusi‖, dan ‖rakyat sebagai kekuatan revolusi‖.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 8/33
197
Pembaca juga seperti mendengar seruan lantang Njoto, agar kaum tani melakukan
‖aksi sepihak ‖; agar bangsa Indonesia ‖anti-Amerika‖. Dalam pidato tersebut, Njoto
juga mengingatkan massa rakyat pekerja tentang keberadaan ‖ Nasakom‖, arti penting
‖UUPA dan UUPBH‖, prinsip ‖berdiri dengan dua kaki di atas tanah garapan‖, dan
agar selalu optimis terhadap ‖sosialisme‖.
Bagi masyarakat yang mengalami proses sejarah dan sosial politik pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno, lebih-lebih simpatisan, kader, dan anggota PKI,
pokok-pokok pidato Njoto telah mereka ketahui, melalui buku-buku revolusi, kursus-
kursus partai, dan rapat-rapat umum. Pidato Njoto dalam puisi ‖Rapat Mengganyang
7 Setan‖ adalah representasi Revolusi Indonesia, seperti: (1) Nasakom (penyatuan
tiga kekuatan besar dalam Revolusi Indonesia, Nasionalis, agama, dan Komunis); (2)
rakyat adalah kekuatan Revolusi Indonesia; (3) sokoguru Revolusi Indonesia adalah
kaum tani dan buruh; (4) perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme; (5)
perlawanan terhadap tujuh setan desa; (6) landreform; dan (7) sosialisme.
Gaya reportase, penggunaan kosa kata sehari-hari, dan slogan-slogan revolusi
mempermudah pemahaman terhadap puisi ini. Diksi, kesederhanaan kalimat-
kalimatnya, kejelasan isi atau pesan, menunjukkan bahwa karya ini memiliki ciri khas
sastra Lekra, sebagaimana pendapat Teeuw (1996:31) dan Foulcher (1986:141),
sastra yang sederhana dan mudah dimengerti oleh rakyat. Slogan-slogan revolusi
tersebut menjadi petunjuk terjalinnya hubungan timbal-balik antara puisi ‖Rapat
Mengganyang 7 Setan‖ dengan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 9/33
198
Puisi ini diawali penggambaran suasana rapat umum di alun-alun Klaten,
yang dihadiri oleh ‖berpuluh ribu kaum tani, buruh dan seniman, sastrawan, pelukis,
penyanyi dan penari‖. Sosok Njoto menjadi pusat perhatian. Pada bait pertama, Njoto
digambarkan berdiri di atas mimbar. Seorang perempuan berteriak mengucapkan
salam, ‖Selamat datang, Bung Nyoto!‖ Ketika Njoto berteriak, ‖Siapa di antara
kawan-kawan sedang tersangkut perkara?‖; serentak massa menyambut bergemuruh,
‖Aksi terus, pantang mundur!‖ yang diiringi dengan aksi mengacungkan tinju dan
caping. Bait kedua menggambarkan lautan massa di alun-alun. ‖Kami berdiri berjejal
dialun-alun Klaten/memenuhi jalanan sekitarnya sampai kewarung-warung‖,
menunjukkan bahwa penyair berada di antara lautan massa. Ungkapan ini
mencerminkan bahwa penyair menyatukan diri ke tengah-tengah massa dan lebur di
dalamnya. Menyatukan diri ke tengah-tengah massa adalah salah satu
pengejawantahan prinsip kerja Lekra, yaitu turba (turun ke bawah). Bait kedua
menyajikan gambaran mengenai lautan massa yang terpanggang terik matahari.
Walaupun demikian, massa tetap menyimak pidato Njoto, ‖semua bergantung pada
bibir Nyoto‖.
Bait ketiga tidak hanya menggambarkan keteguhan hati ‖berpuluh ribu kaum
tani, buruh dan seniman/ sastrawan, pelukis, penyanyi dan penari‖ dan mereka sama
sekali ‖tidak hiraukan matahari membakar ubun-ubun‖ dan tidak ‖hiraukan matahari
menggigit kulit; tetapi juga diperkaya dengan ungkapan yang puitis. Ungkapan puitis
tersebut memperdalam makna dan memberi efek emosional yang kuat terhadap
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 10/33
199
penggambaran keteguhan massa, yang ‖lebih kokoh dari tebing-tebing karang pantai
selatan‖ dan bergeming terhadap ‖gelombang-gelombang panas menampar muka‖.
Di antara bait 1 sampai 3 (bait-bait yang menggambarkan keadaan lautan
massa di alun-alun Klaten) terdapat bait pendek (terdiri atas dua baris) yang menjadi
penghubung bagian gambaran latar suasana puisi dengan bagian utama puisi, yaitu
propaganda untuk melawan. Bagian utama puisi ini adalah gemuruh teriakan massa
yang dikomando oleh Njoto. Teriakan ini adalah janji, tekad, dan tuntutan massa.
Janji ini antara lain ganyang Malaysia, menolak segala bantuan Amerika, penegakan
UUPA dan UUPBH, ganyang tuan tanah, meneruskan aksi sepihak, ‖ritul‖
(mengganti) penguasa-penguasa jahat, ganyang bandit desa, ganyang kapitalis
birokrat, lintah darat, ganyang tukang ijon, dan basmi semua musuh rekyat.
Bagian akhir puisi ditegaskan bahwa janji, tekad, dan tuntutan rakyat berupa
penggambaran keyakinan terhadap harapan atau cita-cita perjuangan massa rakyat
akan menjadi kenyataan. Harapan atau cita-cita itu tiada lain adalah sosialisme.
Sosialisme adalah ‖bumi subur ini kepunyaan Rakyat‖ atau ‖megahnya haridepan
yang didukung kaum buruh dan kaum tani‖. Sosialisme juga ‖jalan pembebasan
desa‖ dalam me-‖ musnahkan 7 setan keparat!‖
Hubungan puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dengan pidato Presiden
Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, tampak melalui ungkapan-ungkapan atau slogan-
slogan Revolusi Indonesia, seperti ‖tujuh setan desa‖, ‖kaum tani dan buruh‖,
‖berdiri dengan dua kaki‖, ‖tanah garapan‖, ‖palu-godam revolusi ditangan Rakyat‖,
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 11/33
200
‖ganyang‖ (Malaysia, Amerika Serikat, tuan tanah jahat, bandit desa, kapitalis
birokrat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak), ‖UUPA dan UUPBH‖, ‖aksi sepihak‖,
‖ritul‖ (dari kata ‖retool‖, melengkapi), ‖Nasakom‖, ‖sosialisme‖, dan ‖rakyat‖.
Ungkapan atau slogan revolusioner tersebut, mengacu kepada program atau
agenda Revolusi Indonesia. Ungkapan ‖setan desa‖ memang tidak ditemukan di
dalam pidato Presiden Soekarno dan tulisan D.N. Aidit. Walaupun demikian, maksud
yang dikandung dalam ungkapan ‖setan desa‖ adalah musuh rakyat atau musuh kaum
tani yang juga musuh Revolusi Indonesia. Setan desa adalah istilah umum untuk
menyebut sekelompok musuh yang merugikan rakyat, yaitu tuan tanah jahat, bandit
desa, kapitalis birokrat, lintah darat, tukang ijon, dan tengkulak.
Kata ‖sjaitan‖ muncul dalam pidato yang berjudul ‖Penemuan kembali
Revolusi kita‖ (‖The Rediscovery of our Revolution‖), amanat Presiden Soekarno
pada hari ulang tahun Peoklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1959. Dalam
pidato ini, kata ‖sjaitan‖ digunakan untuk menyebut musuh Revolusi Indonesia.
Menurut Presiden Soekarno ‖sjaitan‖ atau musuh Revolusi Indonesia adalah
federalisme, sukuisme, individualisme, golonganisme, penyelewengan, korupsi,
multipartai, dan separatisme (Soekarno, 1964:376). Karena ungkapan ‖setan desa‖
mengacu kepada musuh atau pihak yang dilawan rakyat atau kaum tani, cara
penggunaan kata ‖setan‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dan ‖sjaitan‖
dalam pidato Presiden Soekarno memiliki maksud yang sama, yaitu untuk
merendahkan dan menistakan musuh Revolusi Indonesia.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 12/33
201
Ungkapan ‖kaum tani dan buruh‖ mengacu kepada pemikiran bahwa kaum
tani dan buruh adalah sokoguru Revolusi Indonesia (Aidit, 1964b:71). Kaum tani dan
buruh sebagai sokoguru Revolusi Indonesia juga dibicarakan dalam pidato yang
berjudul ‖Genta Suara Republik Indonesia‖ (disingkat Gesuri), amanat Presiden
Soekarno pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1963. Dasar pikiran menjadikan kaum tani dan buruh sebagai sokoguru Revolusi
adalah dalam rangka menaikkan atau meningkatkan produksi (Soekarno, 1964:543).
Mengingat tenaga yang paling produktif adalah kaum tani dan buruh maka tidak
mungkin menaikkan produksi tanpa tenaga kaum tani dan buruh. Untuk menaikkan
produksi, harus mengembangkan tanaga produktif kaum tani dan buruh (Soekarno,
1964:543).
Memandang kaum tani dan buruh dari aspek ketenagakerjaan dan
produktivitasnya, pada konteks kaum tani dan buruh sebagai sokoguru Revolusi
Indonesia seperti pandangan Presiden Soekarno, sejalan dengan pandangan Marxis
bahwa massa rakyat pekerja adalah pencipta sejarah yang sesungguhnya karena
merekalah yang nyata bekerja keras dan menghasilkan barang-barang untuk
memenuhi kebutuhan manusia sehingga masyarakat dan sejarahnya berkembang
(Aidit, 1964a:51). Ironisnya, sepanjang sejarah masyarakat berkelas, massa rakyat
pekerja hidup tertindas (Aidit, 1964a:52). Penderitaan massa rakyat pekerja terjadi
karena mereka tidak memiliki alat-alat produksi (Aidit, 1964a:50). Kesadaran dan
perjuangan kelas yang bertujuan menghancurkan sistem masyarakat berkelas dan
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 13/33
202
menggantinya dengan sistem masyarakat tanpa kelas merupakan jalan pembebasan
massa rakyat pekerja. Di samping memandang kaum tani sebagai tenaga kerja yang
produktif, Presiden Soekarno juga menyadari bahwa tuan tanah mengisap dan
menindas kaum tani (Soekarno, 1964:419).
Ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan duakaki ditanah garapan‖, yang
diteriakkan oleh Njoto dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dalam rangka
membebaskan kaum tani dari cengkraman tuan tanah. Hal ini berkaitan dengan
program landreform yang diwujudkan menjadi UUPA dan UUPBH. Sebagai jalan
pembebasan kaum tani dari penindasan dan pengisapan tuan tanah, landreform
mengandung pengertian memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah untuk
seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani (Soekarno, 1964:419). Karena
landreform menyangkut nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang mayoritas adalah
kaum tani, maka pada hakikatnya Revolusi Indonesia adalah revolusi agraria (Aidit,
1964b:70). Pada kenyataanya, pelaksanaan UUPA dan UUPBH tidak mudah karena
dihambat oleh tuan tanah sebagai kelas yang dirugikan. Karena itu, kaum tani dituntut
terus melakukan gerakan revolusioner dalam menegakan UUPA dan UUPBH.
Ungkapan ‖aksi sepihak‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ adalah bentuk
gerakan revolusioner kaum tani dalam menegakkan UUPA dan UUPBH. Gerakan
revolusioner ini mencerminkan tingkat kesadaran politik dan kesadaran organisasi
kaum tani (Aidit, 1964b:71).
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 14/33
203
Ketika landreform telah diwujudkan, UUPA dan UUPBH juga telah
ditegakkan, ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan duakaki ditanah garapan‖ menjadi
kenyataan dalam kehidupan kaum tani. Ungkapan atau slogan ‖berdiri dengan
duakaki ditanah garapan‖ ini juga digunakan oleh Aidit (1964b:56) dalam versi lain,
‖berdiri diatas kaki sendiri dibidang pangan‖, namun dengan makna yang sama.
Ungkapan atau slogan ini sebenarnya lahir dalam kerangka ‖nation-building dan
character- building‖ semasa Revolusi Indonesia (Aidit, 1964b:70). Menurut Aidit
(1964b:69), pembangunan bangsa dan pembangunan karakter bangsa, dilandasi oleh
tiga prinsip, yaitu: bebas dalam bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam
bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Ungkapan perlawanan yang keras, kasar, dan berani, yaitu ‖ganyang‖
ditemukan dalam pidato berjudul ‖Tahun Vivere Pericoloso‖, amanat Presiden
Soekarno pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17
Agustus 1964. Dalam pidato ini, ungkapan ‖mengganjang neo-kolonialisme
‖Malaysia‖!‖ dijadikan komando kepada sukarelawan dan sukarelawati agar
menenuaikan tugas nasional- patriotik, sebagai perjuangan suci ‖mengganjang neo-
kolonialisme ‖Malaysia‖ (Soekarno, 1964:591). Dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7
Setan‖, penggunaan ungkapan ‖ganyang‖ diperluas, sehingga tidak lagi identik
dengan ‖ganyang Malaysia‖ tetapi juga ‖ganyang Amerika Serikat‖, ‖ganyang tuan
tanah jahat‖, ‖ganyang bandit desa‖, ‖ganyang kapitalis birokrat‖, ‖ganyang lintah
darat‖, ‖ganyang tukang ijon‖, dan ‖ganyang tengkulak ‖.
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 15/33
204
Ungkapan atau slogan ‖ganyang Malaysia‖ berkaitan dengan pandangan dan
sikap Presiden Soekarno bahwa Malaysia adalah benteng imperialis Amerika dan
Tengku Abdul Rachman (Perdana Menteri Malaysia) adalah antek-antek imperialis
(Soekarno, 1964:563). D.N. Aidit mengutip kata-kata Presiden Soekarno bahwa
Malaysia adalah anjing penjaga imperialisme yang dipasang di depan pintu RI (Aidit,
1964b:51). Karena itu, Malaysia harus diganyang. Menurut pandangan D.N. Aidit,
perjuangan rakyat Indonesia mengganyang Malaysia dan Inggris adalah perjuangan
yang tidak terpisahkan dari pengganyangan imperialisme Amerika sebagai musuh
nomor satu. Mengganyang Malaysia tanpa mengganyang Amerika adalah omong
kosong (Aidit, 1964b:51). Sikap ini dilandasi oleh sejumlah fakta, seperti penanaman
modal Amerika di Indonesia, dukungan Amerika terhadap Malaysia melalui Armada
VII, pernyataan bersama Johnson-Tengku yang bersifat bermusuhan terhadap
Indonesia dan kegiatan subversi Amerika di Indonesia (Aidit, 1964b:51).
Ungkapan atau slogan ‖persetan bantuan Amerika Serikat!‖ dan ‖ganyang
Amerika Serikat‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dapat dipahami dengan
jelas sebagai cerminan sikap anti-Amerika (membenci dan melawan) yang
dinyatakan dengan berani oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memilih
kehormatan, patriotisme, dan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia ketimbang
bantuan Amerika (Soekarno, 1964:586).
Nasakom yang muncul di dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖
bersumber pada pandangan Presiden Soekarno. Soekarno muda mencetuskan konsep
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 16/33
205
Nasakom dalam salah satu artikel yang dimuat di surat kabar Suluh Indonesia Muda
pada tahun 1926 (Lane, 2012:84). Nasakom adalah tiga golongan objektif dari
kesadaran politik rakyat Indonesia yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila
(Soekarno, 1964:544). Menurut Aidit, Nasakom adalah tiga aliran politik (nasionalis,
agama, dan komunis) dan merupakan inti dari persatuan nasional (Aidit, 1964b:72).
‖Nasakom‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ adalah kekuatan untuk
menyingkirkan musuh Revolusi Indonesia, dalam rangka mencapai ‖sosialisme‖.
Ungkapan atau slogan ‖sosialisme‖ dalam puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖
bersumber pada pandangan Presiden Soekarno dan D.N. Aidit, yang bergema di
kolong langit Indonesia di bawah kibaran bendera-bendera revolusi. Menurut
Presiden Soekarno, sosialisme harus menjadi darah daging rakyat Indonesia
(Soekarno, 1964:459) karena sosialisme memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mencapai
kebahagiaan rakyat (Soekarno, 1964:460). Revolusi Indonesia menudju Sosialisme
atau Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de
nation par nation (pengisapan manusia atas manusia)
(Soekarno, 1964:566-567).
Menurut D.N. Aidit, sosialisme adalah keadaan masyarakat tanpa penindasan
dan penghisapan manusia oleh manusia karena alat-alat produksi tidak lagi menjadi
milik perseorangan tetapi telah menjadi milik kemasyarakatan yang berwujud
masyarakat tanpa kelas (Aidit, 1964b:50; Aidit, 1964b:79). D.N. Aidit
mengemukakan bahwa hari depan Indonesia jaya adalah sosialisme (Aidit,
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 17/33
206
1964b:113). D.N. Aidit merumuskan juga bahwa sosialisme sebagai hari depan
Revolusi Indonesia bukanlah ide perseorangan tetapi kesadaran sosial yang
ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia dan sebagai keharusan sejarah (Aidit,
1964b:114).
Analisis terhadap puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖, menunjukkan bahwa
puisi mengambil bagian dalam reproduksi teks Revolusi Indonesia. Dalam teks
nonsastra, Revolusi Indonesia adalah susunan gagasan yang harus dipahami dengan
cermat sebagai ajaran atau ideologi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam puisi,
Revolusi Indonesia tidak hanya digunakan untuk mengintensifkan
pengertian/pemahaman/pemaknaan tetapi juga digunakan sebagai alat atau ‖ bahan
bakar ‖ untuk mengobarkan api perlawanan kelas tertindas.
Uraian di atas dapat digambarkan melalui model di bawah ini. Model ini
menunjukkan hubungan antara puisi ‖Rapat Mengganyang 7 Setan‖ dan pidato
Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit. Melalui kutipan-kutipan yang disajikan
dalam model di bawah ini tampaklah simpul paralelitas puisi dan pidato Presiden
Soekarno serta tulisan D.N. Aidit.
Puisi “Rapat Mengganyang
7 Setan”
Pidato Presiden Soekarno Tulisan D.N. Aidit
―berdiri dengan dua kaki ditanah garapan‖
―untuk membangun ekonominasional kita diatas kaki kita
sendiri‖ (Soekarno, 1964:453)
―prinsip berdiri diatas kakisendiri dibidang pangan‖
(Aidit, 1964b:53, 56)
― persekutuan buruh dan tani‖
―sebagai palu-godam revolusi‖
‖Buruh dan tani adalah soko-
guru-soko-gurunja Revolusi!‖
(Soekarno, 1964:453)
1) ―sokoguru revolusi kaum
buruh dan kaum tani jang
mendjadi landasan dari front
nasional‖ (Aidit, 1964b:78)
2) ‖kaum buruh dan tani
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 18/33
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 19/33
208
1964:535)
5) ‖Revolusi Indonesia menudju
Sosialisme ! Revolusi Indonesia
menudju kepada Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme
par l’homme dan exploitation de
nation par nation. (Soekaeno,
1964:566-567)
memberi kemakmuran kepada
setiap anggota masjarakatnja‖
(Aidit, 1964a:95)
―persetan bantuan Amerika
Serikat‖
1) ‖Go to hell with your
“aid‖!‖ (Soekarno, 1964:582)
2) ‖Di Amerika tempo hari saja
katakan: lebih baik kita tiada
bertractor dan tiada
berbulldozer daripada
mengorbankan sebagian
ketjilpun daripada kedaulatan
kita dan tjita-tjita kita, lebih baik kita membuka hutan kita
dan menggaruk tanah kita
dengan djari-sepuluh dan kuku
kita ini, daripada mendjual
serambutpun daripada
kemerdekaan kita ini untuk
dollar atau untuk rubel.‖
(Soekarno, 1964:257).
-
―UUPBH dan UUPA supaya
dilaksanakan‖
―Saja peringkatkan bahwa
UUPA, djuga UUPBH itu,
adalah undang-undang
progresif bikinan kita sendiri‖
(Soekarno, 1964:579)
―pada waktu sekarang ini adalah
pelaksanaan UUPA dan
UUPBH setjara konsekwen dan
setjepat mungkin (Aidit,
1964b:56)
Catatan: cetak tebal dari penulis
8.3 Representasi Materialisme Dialektika Historis dalam Cerpen
”Dua Kemenangan”
Cerpen ‖Dua Kemenangan‖ (Dwijono, hal. 104-107) menceritakan
perjuangan kaum tani dalam menegakkan UUPBH. Sebelum diberlakukannya
UUPBH, petani penggarap memperoleh 1/3 dan pemilik memperoleh 2/3. UUPBH
menetapkan pembagian hasil antara petani penggarap dan pemilik 1:1 dan segala
ongkos ditanggung oleh pemilik. Cerpen ini diakhiri dengan kemenangan di pihak
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 20/33
209
petani penggarap. Kaum tani telah berhasil memperjuangkan hak-haknya sesuai
dengan ketentuan UUPBH.
Cerpen ini terdiri atas satuan-sataun cerita, yakni: [A] hari pertama: (1) kaum
tani menyambut musim panen; (2) padi menguning di sawah dan telah siap dipanen;
(3) kaum tani mempersiapkan perlawanan; (4) Parijem menggalang massa perempuan
tani untuk melakukan perlawanan; (5) Parijem dan para wanita tani mendatangi
rumah Bung Ali (tokoh PKI); [B] hari kedua: (6) Parijem dan wanita tani menuju
kelurahan; (7) (di kelurahan) Parijem dan kaum tani penggarap menuntut Pardi (tuan
tanah) agar mematuhi UUPBH; dan (8) Pardi memenuhi tuntutan kaum tani
penggarap (kaum tani penggarap memperoleh kemenangan).
Satuan-satuan cerita tersebut mengindikasikan cerpen ini dibangun dengan
mengikuti hukum materialisme dialektika historis. Tesis di dalam cerita ini adalah
penderitaan kaum tani penggarap (tuan tanah berlaku sewenang-wenang terhadap
kaum tani penggarap). Penderitaan kaum tani penggarap diakibatkan oleh
ketidakadilan dalam sistem bagi hasil. Kaum tani penggarap menerima bagian hanya
1/3 dan segala ongkos penggarapan sawah ditanggung oleh kaum tani, tuan tanah
menerima 2/3, ‖[...], kalau tidak Tarman hanya akan menerima bagiannya seperti
tahun yang lalu, yaitu 2/3 untuk Pak Pardi sepertiga lagi untuk Tarman.‖
Antitesis keadaan tersebut adalah diberlakukannya UUPBH. Kaum tani
penggarap dan tuan tanah menerima masing-masing setengah dan semua ongkos
penggarapan sawah ditanggung oleh tuan tanah; ‖Baru kali ini Wati mengetahui
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 21/33
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 22/33
211
Pemikiran revolusioner yang diungkapkan oleh cerpen ini berkaitan dengan
kaum perempuan tani. Perempuan tani dicitrakan terlibat langsung dalam perjuangan
politik di tingkat desa yang diwujudkan melalui sosok Parijem. Parijem (ibu yang
sedang menyusui anaknya) tampil sebagai pemimpin perlawanan kaum tani (lihat
pula cerita lain dalam antologi Laporan dari Bawah, ‖Bibi Kerti‖, ‖Istri Kawanku‖,
dan ‖Lelaki itu Datang Lagi‖). Melalui sosok Parijem pengarang melawan pandangan
feodal terhadap kaum perempuan, yang hanya subordinat laki-laki.
Makna cerpen ini tidak serta-merta terkait dengan pokok persoalan sosial
politik yang direpresentasikan, yaitu perjuangan kaum tani menuntut keadilan dalam
sistem bagi hasil. Persoalan tersebut hanya dijadikan landasan oleh pengarang dalam
menyampaikan pemikiran revolusionernya terhadap pandangan feodal yang
memosisikan kaum perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Cerpen ini adalah
perlawanan terhadap feodalisme.
Metode membaca paralel cerpen ‖Dua Kemenangan‖, pidato Presiden
Soekarno, tulisan D.N. Aidit, menunjukkan bahwa cerpen ini mengungkap persoalan
landreform, yaitu penegakan UUPBH. Hubungan antarteks cerpen dengan teks
nonsastra dikemukakan dalam model sebagai berikut.
Cerpen “Dua Kemenangan” Pidato Presiden
Soekarno
Tulisan D.N. Aidit
1)―Kan sekarang di daerah lain
sudah banyak yang
melaksanakan UU Bagi Hasil‖
2)‖Apa kau belum tahu, bahwa
perjanjian Bagi Hasil itu harus
dilaksanakan pada panenan
ini, kalau tidak Tarman hanya
akan menerima bagiannya
―Saja peringkatkan bahwa
UUPA, djuga UUPBH itu,
adalah undang-undang
progresif bikinan kita sendiri‖
(Soekarno, 1964:579)
―pada waktu sekarang ini adalah
pelaksanaan UUPA dan
UUPBH setjara konsekwen dan
setjepat mungkin (Aidit,
1964b:56)
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 23/33
212
seperti tahun lalu, yaitu 2/3
untuk Pak Pardi sepertiga lagi
untuk Tarman. Sedangkan UU
Bagi Hasil itu menentukan bahwa penggarap menerima
separo, si pemilik separo dan
ongkos-ongkos penggarapan
sawah dipikul oleh pemilik‖
keterangan: cetak miring dari penulis
8.4 Propaganda PKI dalam Cerpen ”Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI”
Cerpen ‖Menyambut Kongres ke-VI PKI‖ (L.S. Retno, hal. 165-170)
menceritakan suasana hati, harapan, dan kegembiraan petani ketika menanti musim
panen tiba. Harapan dan kegembiraan petani semakin bermakna karena panen kali ini
bertepatan dengan pelaksanaan Kongres Nasional VI PKI. Sepulang dari sawah,
mereka berkumpul memperbincangkan keadaan politik negara, khususnya yang
berkaitan dengan PKI. Besarnya perhatian para petani terhadap Kongres Nasional VI
PKI menunjukkan hubungan dekat kaum tani dan PKI. Gambaran kedekatan
hubungan petani dan PKI merupakan salah satu materi propaganda PKI yang
dilakukan melalui cerpen. Propaganda ini bertujuan menyadarkan kaum tani terhadap
penderitaan, bangkit melakukan perlawanan, dan meraih sosialisme. Sastra
propaganda dengan sadar memikul beban politik dan ideologi sebagai kehormatan.
Para petani memperbincangkan agenda Kongres Nasional VI PKI, perjuangan
PKI dalam membela kaum tani, ajaran Marxisme-Leninisme, sikap antiimperialisme-
kolonialisme, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan ancaman gerombolan bersenjata.
Gerombolan bersenjata dipandang sebagai pengkhianat negara dan penghalang
mencapai masyarakat adil dan makmur. Munculnya peristiwa sejarah di dalam cerpen
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 24/33
213
ini dapat dipahami melalui konsep sastra reportase (literary reportage) (Foulcher,
1986:141).
Di antara para petani hadir seorang guru sekolah rakyat (SR) yang juga kader
PKI, Kusno. Kusno representasi etos kerja politik seorang kader PKI. Seorang kader
harus menyatu dengan kehidupan massa rakyat pekerja, dalam hal ini kehidupan
kaum tani. Hanya dengan hidup bersama kaum tani, seorang kader memahami,
mengerti, dapat merasakan penderitaan, memahami harapan-harapan para petani, dan
memperjuangkannya. Etos kerja ini disebut gerakan turun ke bawah (turba) yang
dijadikan salah satu prinsip kerja seniman dan sastrawan Lekra. Dalam bidang sastra,
prinsip turba menggariskan bahwa penciptaan puisi atau cerpen harus dilandasi oleh
pemahaman, pengertian, pengetahuan yang sebenarnya mengenai kehidupan rakyat
bawah. Untuk mengetahui kehidupan rakyat, mereka dituntut melakukan gerakan
turba, sebagaimana telah digariskan di dalam asas metode kerja kombinasi 1-5-1
Lekra. Cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖ tampaknya tercipta
melalui proses turba yang dilakukan oleh pengarangnya.
Di tengah kesibukan kerja para petani, Kusno berperan sebagai narasumber
ideologi Marxis. Kusno adalah wakil langsung PKI di tengah kehidupan para petani.
Hal ini mencerminkan usaha menjadikan partai ini milik kaum tani dan membangun
militansi terhadap PKI. Kutipan di bawah ini menunjukkan peran Kusno di desa.
Dalam pertemuan-pertemuan itu kadang-kadang malah Kusno dimintai
penjelasan ini-itu yang meruwetkan. Kusno yang sudah mendapat tempat di
hati penduduk selalu berusaha menerangkan dengan sejelas mungkin. Ya, berita tentang pemberontakan, situasi dunia, dimana Amerika Serikat gila
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 25/33
214
perang, kaum imperialis menindasi pemberontakan-pemberontakan di negara
jajahan yang ingin merdeka, semua ini selalu menjadi bahan penjelasan bagi
Kusno.(cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional Ke-VI PKI, L.S. Retno, hal. 167)
Kusno yang digambarkan dalam kutipan di atas adalah seorang propagandis.
Cerpen ini merupakan salah satu model propaganda yang dijalankan melalui sastra,
melalui tokoh cerita. Cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖
merepresentasikan agenda perjuangan PKI yang berbasis pada permasalahan hidup
kaum tani di pedesaan. Perjuangan ini dijalankan oleh Kusno yang bersedia hidup di
tengah kaum tani. Untuk menjalankan peran yang sangat mulia itu, Kusno melakukan
berbagai kegiatan nyata, seperti mendidik kaum tani tentang ideologi Marxis dan
garis perjuangan PKI serta memberantas buta huruf. Hanya kader partai yang
memiliki jiwa pengabdian kepada rakyat seperti Kusno-lah yang menjadikan PKI
dicintai, dipercaya, dan menjadi harapan kaum tani. Cerpen ini menegaskan juga
bahwa jiwa pengabdian kepada rakyat yang tumbuh dalam diri Kusno, yang
terbentuk berkat ajaran Marxisme-Leninisme sebagai manifestasi ideologi Marxis
pada diri seorang kader partai. Penggambaran tokoh Kusno bertujuan membangun
citra ideal seorang kader PKI yang patut menjadi panutan. Di samping
merepresentasikan persoalan sosial politik, ideologi, dan agenda revolusi PKI, cerpen
‖Menyambut Kongres Nasional ke-VI PKI‖, menyelipkan pesan pembinaan kader
partai dalam melakukan propaganda.
Permasalahan sosial politik yang diungkap dalam cerpen ini berpusat pada
perjuangan PKI dalam: (1) menghadapi/melawan Amerika atau negara-negara
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 26/33
215
imperialis; (2) membela rakyat/mencintai rakyat; (3) mewujudkan masyarakat adil
makmur (sosialisme); dan (4) berjuang untuk kaum tani/tanah bagi kaum tani.
Keempat persoalan tersebut adalah materi propaganda PKI, yang bersumber pada
ajaran Marxis dan garis revolusi PKI.
Permasalahan di atas sejalan dengan garis revolusi Presiden Soekarno yang
dibicarakan dalam pidato-pidato di bawah bendera revolusi. Sikap anti-Amerika
tersebut terungkap, baik dalam pandangan D.N. Aidit maupun Presiden Soekarno.
Amerika adalah musuh Revolusi Indonesia karena negara ini masih mempunyai
pengaruh kuat di lapangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan militer (Aidit,
1964b:7). Presiden Soekarno dan D.N. Aidit kecewa terhadap Amerika karena negara
ini mendukung neokolonialisme Malaysia. Presiden Soekarno tidak lagi percaya dan
menaruh hormat kepada Amerika sebagai negara pusat segala ide kemajuan. Presiden
Soekarno menyatakan, ‖Dulu Amerika saja sebut ‖the Centre of an idea‖. Sekarang
saja tidak bisa lagi menjebutkan Amerika ‖the centre of an ide‖ (Soekarno,
1964:594).
Tokoh-tokoh cerpen yang merepresentasikan massa rakyat pekerja yang
tertindas dan terisap adalah salah satu kecenderungan umum dalam Laporan dari
Bawah. Cara penokohan ini merepresentasikan konsep massa rakyat pekerja sebagai
pencipta sejarah (Aidit, 1964a:51). Pengarang memang memberi nama tokoh secara
pribadi namun karakterisasi individu tidak dirinci karena lebih mengutamakan kelas
sebagai identitas tokoh cerita. Hal ini berhubungan dengan pandangan Marxis bahwa
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 27/33
216
peranan individu dalam sejarah adalah penting, tetapi bukan yang menentukan (Aidit,
1964a:51). Apabila dilihat dari teori pertentangan kelas, penokohan cerpen-cerpen
Lekra merupakan representasi dialektika kelas. Dialektika kelas pemicu objektif
perkembangan sejarah, sejak masyarakat terbagi-bagi menjadi kelas-kelas yang saling
bertentangan (Aidit, 1964b:49). Kedua kelas yang saling bertentangan itu mengalami
konflik, saling melawan dan menindas untuk memenangkan kepentingan kelasnya
masing-masing.
Melalui metode membaca paralel cerpen ‖Menyambut Kongres Nasional ke-
VI PKI‖, pidato Presiden Soekarno, dan tulisan D.N. Aidit yang disajikan dalam
model untuk memperlihatkan bahwa cerpen ini membicarakan: (1) Dekrit Presiden 5
Juli 1959; (2) gerombolan bersenjata dan koruptor yang mengancam negara; (3) nasib
kaum tani; (4) tanah untuk kaum tani; dan (5) sosialisme. Kelima persoalan yang
dibicarakan tersebut adalah simpul yang menunjukkan hubungan antara karya sastra
dan teks nonsastra.
Cerpen ”Menyambut
Kongres Nasional ke-VI
PKI”
Pidato Presiden Soekarno Tulisan D.N. Aidit
―Belakangan ini, dengan
ramainya perdebatan di
Konstituante tentang kembali
ke UUD’45 yang ternyata
gagal, tentang Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 dan
sebagainya.‖
1)‖Maka karena kegagalan
Konstituante itu, demi
kepentingan Nusa dan Bangsa,
demi keselamatan Revolusi, saja
pada tanggal 5 Djuli jang lalu
mengeluarkan Dekrit‖
(Soekarno, 1964:358)2)―bahwa kita pada 5 Juli 1959
kembali kepada Undang-
Undang Dasar ’45 itu‖
(Soekarno, 1964:448)
-
―Adalah memang tidak
mungkin bila kita akan menuju
ke suatu masyarakat Indonesia
―isi Manifesto Politik bab
keamanan:
Tiada kompromis dengan D.I.-
―Sampai kini sisa-sisa
feodalisme tetap merupakan
dasar kemasjarakatan bagi
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 28/33
217
yang adil dan makmur, tidak
menumpas segala pengkhianat
negara seperti gerombolan
teror DI/TII, PRRI&Permestaatau koruptor-koruptor yang
kini masih banyak bercokol di
pemerintahan.‖
T.I.I!
Tiada kompromis dengan
P.R.R.I.-Permesta!
Tiada kompromis denganR.M.S.! (Soekarno, 1964:422)
imperialisme dan kakitangan-
kakitanganja (DI-TII, PRRI-
Permesta, gerombolan Kahar
Muzakar, kegiatan-kegiatansubversif dll.‖ (Aidit, 1964b:52)
―penting pula diperhatikan
keadaan kaum tani yang
miskin-miskin karena
penghisapan dan penindasan tuantanah-tuantanah‖
―kaum tani mengalami
penghi sapan dobel :
penghisapan dari feodalisme,
dan penghisapan dari
kapitalisme‖ (Soekarno,
1964:578)
―kaum tani jang hidup
menderita dibawah penindasan
tuantanah feodal‖ (Aidit,
1964b:54)
―sahkan milik kaum tani atas
tanah‖
‖Tanah untuk tani! Tanah
untuk mereka jang betul-betul
menggarap tanah! (Soekarno,
1964:419)
‖kaum tani harus mempunjai
miliktanah garapannja
sendiri‖ (Aidit, 1964b:56)
―hari depan mereka yang
gemilang‖
‖bahwa hari-depan kita adalah
sosialisme‖ (Soekarno,
1964:542)
1)‖Revolusi Indonesia‖
menudju kepada Sosialisme‖
(Aidit, 1964b:61)
2)‖meneruskan perdjuangan
hingga tertjapainja kemenangan
Sosialisme Indonesia‖ (Aidit,
1964b:80)
3)‖Sosialisme Indonesia sebagai
masa depan Revolusi
Indonesia‖ (Aidit, 1964a:113)
keterangan: cetak miring dari penulis
8.5 Cetak Biru Sastra dan Revolusi Indonesia
Hubungan timbal-balik (paralel, ekuivalen, berkorespodensi) puisi-puisi
dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dan pidato Presiden
Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, terjadi karena politik sastra yakni sastra sebagai
bagian dari gerakan politik yang dijalankan oleh Lekra. Sastra sebagai bagian dari
gerakan politik didasari oleh prinsip politik sebagai panglima. Politik sebagai
panglima menuntut pengarang dan budayawan memiliki kewajiban mengintegrasikan
diri dengan rakyat, terutama kaum tani dan buruh (Situmorang, 2004b:198).
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 29/33
218
Politik sastra juga tampak dalam rumusan teori sastra yang disusun oleh
Situmorang (2004a:172) yang bersumber pada konsep revolusi Presiden Soekarno.
Kesusastraan Indonesia harus mengandung tiga unsur revolusi, yaitu: (1) dinamika
(sastra Indonesia harus melihat hakikat gerak maju masyarakat dan manusia
Indonesia secara revolusioner); (2) dalektika (sastra harus menggambarkan
perjuangan dan pertentangan antara masyarakat lama dan masyarakat baru;
mengambarkan watak-watak revolusioner yang mewakili sejarah dan pendiri
masyarakat baru, yaitu buruh dan tani; sastra harus menegaskan bahwa sosialisme
sebagai sistem masa datang); dan (3) romantika (sastra harus menghasilkan gagasan
pahlawan baru menggantikan pahlawan lama, pahlawan feodal dan borjuis).
Situmorang (2004a:172) bertujuan melawan teori sastra Indonesia yang
dikembangkan oleh para ahli Belanda yang borjuis-feodal dan tidak mengakui
keberadaan kesusastraan rakyat (Dharta, 2010a:26).
Pengertian ‖politik sastra‖ yang digunakan dalam kajian ini, tidak sama
dengan literary politic (Foulcher, 1986:119). Literary politic berorientasi kepada
produk sastra yang bermuatan politik. Politik sastra berkaitan dengan proses bersastra
yang menyatu dengan dan merupakan bagian dari gerakan politik. Melalui konsep
politik sastra, dipahami bahwa puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerepn
dalam Laporan dari Bawah tidak secara pasif merepresentasikan proses sejarah
zamannya. Representasi persoalan sosial politik Revolusi Indonesia, sikap atau
pendirian politik dan ideologi dalam puisi dan cerpen, bukan sebagai tujuan tetapi
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 30/33
219
hanya sebagai konsekuensi gerakan politik sastra. Karya sebagai produk representasi
bukanlah tujuan terpenting dalam politik sastra karena yang jauh lebih penting adalah
gerakan politiknya sendiri yang dilakukan oleh sastrawan dalam untuk mencapai cita-
cita ideologi dan partai.
Mukadimah Lekra dan Konsepsi Kebudayaan Rakyat adalah dasar
sikap/pendirian politik kebudayaan. Kajian terhadap puisi-puisi dalam Gugur Merah
dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah, baik dari segi representasi ideologi,
lebih-lebih muatan persoalan sosial politiknya, maupun hubungan timbal-balik karya
sastra dan teks nonsastra memberi kejelasan bahwa para penyair dan pengarang
melakukan gerakan politik melalui jalan sastra. Menurut Karl Marx, kebudayaan
bukan suatu kenyataan independen tetapi tidak terpisahkan dari kondisi sejarah
tempat manusia menciptakan materi-materi kehidupannya (Selden dan Widdowson,
1993:71). Pandangan ini dipraktikkan oleh aktivis Lekra dengan menjadikan
kebudayaan sebagai alat/senjata perjuangan ideologi dan politik (PKI) yang
melahirkan sastra propaganda sebagai jalan memuliakan sastra.
Landasan yang digariskan di dalam Mukadimah Lekra dan Konsepsi
Kebudayaan Rakyat menunjukkan hubungan sastra Lekra dengan tumbuh suburnya
paham kerakyatan pada masa Revolusi Indonesia. Hal ini tampak dalam kutipan
sebagai berikut.
Kesenian, ilmu, dan industri harus menjadi kepunyaan rakyat.
Kebudayaan rakyat berfungsi sebagai stimulator (pendorong) dan senjata
perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaanrakyat adalah sumber api revolusi yang tidak pernah mati. Kebudayaan rakyat
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 31/33
220
harus mencatat dan memuja perjuangan rakyat, mengajar dan mendidik rakyat
dalam perjuangannya. Kebudayaan tradisional dan kebudayaan asing diterima
dengan cara tidak memperbudak diri sendiri tetapi dengan mengambil sarinya,yaitu segi progresifnya. Kebudayaan adalah sebagai salah satu kekuatan
dalam revolusi demokrasi rakyat. (dalam Foulcher, 1986: 211)
Kutipan tersebut sejalan dengan pandangan Presiden Soekarno bahwa Revolusi
Indonesia adalah revolusi rakyat. Pandangan Marxis yang dianut oleh D.N. Aidit
menyatakan bahwa yang melakukan revolusi adalah massa rakyat pekerja. Jadi,
Mukadimah Lekra, Konsepsi Kebudayaan Rakyat, paham kerakyatan Presiden
Soekarno, dan konsep massa rakyat pekerja D.N. Aidit, saling berhubungan.
8.6 Simpulan
Hubungan timbal-balik puisi-puisi dalam Gugur Merah, cerpen-cerpen dalam
Laporan dari Bawah dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N. Aidit, dapat
dipahami berdasarkan konsep politik sastra. Representasi persoalan politik dalam
Gugur Merah dan Laporan dari Bawah merupakan produk gerakan politik sastra.
Gerakan politik sastra lebih mengutamakan proses politik ketimbang karya sastra
sebagai produk representasi. Ketika sastra identik dengan teks, maka proses lahirnya
karya diabaikan. Pada konteks sastra Lekra, pandangan ini harus digeser ke proses
mencipta karya. Pergeseran pandangan dari karya sebagai ‖produk‖ ke ‖proses‖
penciptaan karya adalah bagian yang memperoleh penekanan dalam kajian sastra
dengan menggunakan teori new historicism. Proses penciptaan karya sastra Lekra
yang bertumpu kepada proses sejarah (Revolusi Indonesia) dan dokumen-dokumen
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 32/33
221
Lekra merupakan faktor penting dalam memaknai puisi-puisi dalam Gugur Merah
dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah.
Hubungan timbal-balik puisi, cerpen dan pidato Presiden Soekarno serta
tulisan D.N. Aidit, tampak melalui paralelitas ide, gagasan, pemikiran, sikap,
pendirian, dan pandangan yang juga dinyatakan dalam ungkapan pidato Presiden
Soekarno dan tulisan D.N. Aidit. Ungkapan tersebut misalnya ‖tanah garapan‖,
‖setan-setan desa, ‖7 setan desa‖, ‖ persekutuan buruh dan tani‖, ‖ganyang Malaysia‖,
‖UUPBH dan UUPA‖, ‖musuh Rakyat‖, ‖ berdiri dengan dua kaki‖, ‖Nasakom,
‖Sosialisme‖, ― persetan bantuan Amerika Serikat‖, ― petani‖, ‖Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959‖, ―masyarakat Indonesia yang adil dan makmur ‖, dan lain-lain. Ide,
gagasan, pemikiran, sikap, pendirian, pandangan yang terkandung di dalam ungkapan
tersebut mencerminkan proses budaya dan sejarah semasa Revolusi Indonesia. Di
samping melalui ungkapan langsung, hubungan antarteks puisi-puisi dalam Gugur
Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dan pidato Presiden Soekarno
serta tulisan D.N. Aidit terjadi secara tersirat. Hubungan antarteks ini terbina di atas
paham kerakyatan.
Sebagai konsekuensi dari ‖kesusastraan yang terikat pada zaman, abad, dan
masyarakat‖ (Situmorang, 2004d:228), puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen
dalam Laporan dari Bawah dialiri oleh jiwa revolusioner, perlawanan, pendobrakan,
dan dekonstruksi karena ‖Lekra pertama-tama berorientasi pada kehidupan
pergerakan‖ (Dharta, 2010b:97). Pada konteks Revolusi Indonesia, ‖sastra mengabdi
8/10/2019 BAB VIII Pararelitas.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/bab-viii-pararelitaspdf 33/33