buletin hasil penelitian agroklimat dan hidrologi vol 14...
TRANSCRIPT
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
2
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Penanggung Jawab: Harmanto Redaksi Teknis: Kurmen Sudarman, Yeli Sarvina,
Nani Heryani dan Yulius Argo Baroto Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,
Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia
Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909
PRAKATA
Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumber daya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat lima
makalah, yang disajikan dalam bahasa Indonesia.
Untuk memperlancar penerbitan tahun-tahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh
ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
CARA MERUJUK YANG BENAR
Muchamad Wahyu Trinugroho dan Sawiyo. 2017. Rehabilitasi Sistem Drainase Rawa Siancap Desa Talang Benuang. hal 3-14. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 14. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.
Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumber-daya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.
Rehabilitasi Sistem Drainase Rawa
Siancap Desa Talang Benuang.
MUCHAMAD WAHYU TRINUGROHO
dan SAWIYO ……………………………..
Efiensien Irigasi Melalui Implementasi
Irigasi Sprinkler Di Lahan Kering Pada
Tanaman Bawang Merah. SUMARNO ..
Proyeksi Curah Hujan Ekstrim dan Dam-
paknya Studi Kasus: Provinsi Banten.
YELI SARVINA …………………………..
Kalibrasi Sensor Kelembaban Udara Menggunakan Experimental Standard Deviation of Means. Tri Nandar Wihen-dar, Suciantini dan Anton Aprilyanto ..…. Peningkatan Ketahanan Air Untuk Men-ingkatkan IP Tanaman Pada Lahan Tadah Hujan dan Lahan Kering NONO SUTRISNO ……………….……………….
3
15
23
30
39
@ 2017, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 14, 2017
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
3
REHABILITASI SISTEM DRAINASE RAWA SIANCAP
DESA TALANG BENUANG
Muchamad Wahyu Trinugroho dan Sawiyo
ABSTRAK
Pengelolaan air pada lahan rawa sangat menantang, pada musim hujan terlalu banyak air sedangkan pada musim kemarau air berkurang. Dengan demikian, Diperlukan sistem drainase dengan kinerja memadai untuk menyalurkan air pada saat kelebihan. Desa Talang Benuang merupakan lahan rawa yang diandalkan penduduknya untuk budidaya pertanian terutama tanaman padi. Drainase yang tidak berjalan secara baik mempengaruhi pola tanam para petani. Kajian ini untuk mengidentifikasi masalah utama pada saluran drainase dan sekaligus mencari solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Dari hasil survey lapangan serta analisis peta rupa bumi maka saluran drainase . Rawa Siancap mempunyai saluran drainase yang sudah rusak sehingga perlu perbaikan sepanjang 476 m dan pembuatan saluran baru menghubungkan saluran yang telah ada ke S. Siabun (outelet) sepanjang 500 m yang pada ujung saluran dibuat pintu stoplock. Bentuk saluran yang optimum adalah trapesium dengan lebar atas 6 m, lebar bawah 4 m, diukur dari permukaan tanah saat ini 3 m. Tanggul dengan tinggi 2 m diperlukan dengan galian dengan ukuran lebar 4 m bawah dan 2 m di kanan kiri saluran.
Kata kunci : Rehabilitasi, drainase, lahan rawa
ABSTRACT
Water management in swamplands is very challenging, abundant freshwater in the rainy season while shortage water in the dry season. Adequate drainage system performance is required to manage water at the time of water excess. Talang Benuang Village swamp land is an agricultural rice crops cultivation for residents. Inadequate drainage system affects the change of cropping patterns. This study identifies the main problem with the drainage channel and finds the optimum solution to solve the problem. Based on the results, the Siancap Swampland has a damaged drainage channel that requires 476m of upgrades and a new drainage channeling an existing channel to a 500m long Siabun (outlet) station at the end of the channel is made a stoplock gate. The channel shape is a trapezoidal width over 6 m, width below 4 m, in measured from the ground surface at 3 m. The height 2 m of Embankment is required by land excavation is used to create a 2 m with a width of 4 m below and 2 m upper surface on the right side of the channel.
Keyword : Rehabilitation, drainage, swamp land
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
4
PENDAHULUAN
Budidaya pertanian di lahan rawa meru-
pakan tantangan besar bagi bangsa Indo-
nesia. Karakteristik hidrologi yang begitu
dinamis membutuhkan pola manajemen
sumber daya air, tidak berlebih pada saat
musim hujan dan tidak kekurangan air
pada musim kering. Saluran drainase dan
pintu air menjadi kunci dalam pola penga-
turan air. Tipologi lahan di desa Binaan
adalah lahan rawa gambut pasang surut.
Lahan kering di dataran rendah dimanfaat-
kan sebagai lahan perkampungan,
pekarangan, tegalan, kebun kelapa sawit
dan kebun karet; Sedangkan lahan basah
berupa lahan pasang surut gambut diman-
faatkan untuk persawahan, sebagian
lainnya berupa kebun kelapa sawit. Lahan
basah pasang surut ini yang digunakan
untuk persawahan bernilai penting karena
berfungsi sebagai penyediaan pangan
(padi dan sayuran) yang sampai saat ini
belum dapat dimanfaatkan secara optimal
karena masalah genangan. yang terjadi
dengan durasi lebih 6 bulan dengan ket-
inggian relatif tinggi (> 50 cm), sehingga
hanya dapat dimanfaatkan untuk pesawa-
han 1 kali tanam dalam tiap tahun, dan
pada sebagian lain tidak dapat ditanami
karena ditumbuhi semak belukar. Untuk
mengatasi hal tersebut maka perlu dilaku-
kan rehabilitasi drainase yang rusak, dan
menambah saluran drainase yang diperlu-
kan. Untuk keperluan tersebut maka dila-
kukan identifikasi karakteristik lahan rawa
Siancap yang merupakan salah satu
bagian rawa kecil yang terdapat di desa
Talang Benuang. Rawa siancap meru-
pakan bagian kecil dari hamparan rawa
gambut pasang surut yang terdapat di
daerah Kabupaten Seluma. Dengan
adanya perbaikan dan pembangunan
sarana jaringan drainase ini diharapkan
dapat meningkatkan masa tanam dari 0-1
kali /tahun menjadi 2 kali /tahun. Selain itu
diharapkan dapat meningkatkan diversi-
kasi jenis tanaman sehingga dapat men-
ingkatkan produktivitas dan pendapatan
petani. Tujuan dari kegiatan ini adalah
Identifikasi jaringan drainase dan keadaan
topografi lahan rawa gambut pasang surut
sebagai dasar untuk desain perbaikan
sarana jaringan drainase di desa Talang
benuang, Kecamatan Air Periukan, Kabu-
paten Seluma, Provinsi Bengkulu.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian
Kegiatan dilaksanakan di Rawa Siancap di
desa Talang Benuang, Kecamatan Air
Periukan, Kabupaten kegiatan disajikan
pada Gambar 1.Seluma, Provinsi Beng-
kulu. Lokasi kegiatan disajikan pada Gam-
bar 1.
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari data dan
peta-peta yang dikumpulkan sebelum dan
saat verifikasi lapangan.
Bahan-bahan dan alat terdiri atas:
1. Peta rupabumi Peta Rupa bumi
Indonesai skala 1 : 50.000,
Bakosurtanal, tahun 1984 Lembar
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
5
2. Citra Citra satelit Landsat-7 Thematic
Mapper, gabungan band 543, dengan
resolusi 30 x 30 m2
3. Peta satuan lahan dan tanah kegiatan
Primatani Desa Talang Benuang Skala
1 : 50.000 (BBSDL, 2006)
4. GPS Geodetik.
Keadaan Lokasi
Lokasi Desa Talang Benuang, Kecamatan
Air Periukan ini dapat ditempuh melalui
jalan trans Sumatera + 49 km dari Kota
Bengkulu ke arah tenggara. Secara
geografis Desa Talang benuang teletak
diantara 30 57’ 36“- 40 00’ 00’ LS 1020 22’
12” – 1020 25’ 12” BT. Perbatasan Desa
Talang Benuang di sebelah utara
berbatasan dengan Desa Lubuk Saung
dan Paninjaan, Sebelah timur dengan Dea
Sukamaju dan Dermayu, Sebelah selatan
dengan Desa Dermayu dan Tawang Rejo
dan disebelah barat dengan Desa Tawang
Rejo dan Panijaan. Total luas Desa
Talang Benuang adalah 1.488,66 ha,
terdiri lahan kering seluas 608,80 ha atau
40,90 %, dan lahan basah berupa rawa
gambut seluas 1.364,40 ha atau (59,10%).
Dari total luas Rawa lebak di desa tersebut
terbagi 2 yaitu Rawa Siancap seluas
213,81 ha atau 14,36 % dan rawa besar
seluas 666,05 ha atau 44,74 %. Wilayah
Desa Talang Benuang dilintasi oleh jalan
utama trans Sumatera yang
menghubungkan Kota Bengkulu dengan
Kota Mana sampai ke Kota Krui,
Kabupaten Lampung Utara. Jarak antara
Kota Bengkulu dengan Ibukota Air
Periukan dapat ditempuh selama + 60
menit dengan kendaraan roda empat.
BENGKULU
Wilayah
Kabupaten
Seluma
Lokasi Kegiatan Wilayah
Desa Talang Benuang,
Kecamatan Air Periukan
PROVINSI BENGKULU
Gambar 1. Peta Situasi daerah kegiatan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
6
Metode Kerja
Penelitian ini dilaksanakan melalui
beberapa tahapan kegiatan, yaitu:
persiapan, penelitian lapangan,
pengolahan data, dan penyusunan
laporan.
Persiapan
Penyusunan peta dasar yang digunakan
adalah peta Rupa Bumi Indonesia digital
skala 1:50.000 (Bakosurtanal, 1999).
Persiapan sebelum operasional lapang
dengan melakukan pembuatan peta
rencana lapang.
Kegiatan lapangan
Identifikasi masalah dilakukan dengan
melakukan diskusi dan peninjauan lokasi
di Desa Talang Benuang. Pengamatan
topografi Rawa Siancap Dilakukan dengan
menggunakan GPS geodetik pada lokasi.
Penentuan titik dibuat dengan sistem grid
dikombinasikan dengan pemilihan lokasi
terpilih seperti batas rawa dengan daratan,
saluran, belokan, persimpangan jalan,
sungai, jembatan dsb., Pengamatan
fisiografi, tanah, dan penggunaan lahan
mengacu pada laporan identifikasi tanah
tahun 2006.
Pengolahan Data
Pengolahan data yang terekam dalam
GPS dilakukan dengan mentransfer data
ke sistem GIS sehingga dapat dioverlay
dengan peta dasar. Data titik terdiri dari
koordinat dan elevasi dijadikan dasar
untuk menentukan posisi jaringan
drainase, jalan, batas rawa dan lainnya
sehingga dapat ditarik garis maupun
poligon.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Iklim dan Hidrologi
Iklim
Berdasarkan data iklim yang berasal dari
Stasiun Rimbo Keduai yang merupakan
stasiun terdekat dengan daerah survei,
pada lokasi mempunyai curah hujan
tahunan rata-rata sebesar 2.626 mm
dengan curah hujan bulanan maksimum
354 mm yang terjadi pada bulan Oktober
dan curah hujan minimum 114 mm yang
terjadi pada bulan Juni. Sedangkan hari
hujan bulanan tertinggi selama 14 hari
terjadi pada bulan Januari dan terendah
4,6 hari terjadi pada bulan Juli. Sehingga
daerah survei tergolong daerah basah
(Tabel 1).
Kondisi faktor iklim yang lainnya
yakni suhu udara rata-rata berdasarkan
hasil pencatatan dari Stasiun Bandara
Padang Kemiling dengan periode
pengamatan selama 9 tahun tahun 1971
sampai 1979 menunjukkan 26,2oC,
dengan suhu minimum 26,3 oC yang
terjadi pada bulan Juli dan Pebruari, suhu
maksimum 27,1 oC yang terjadi pada bulan
Mei (Tabel 1). Kelembaban udara rata-rata
tahunan tergolong tinggi yaitu 80,3%
dengan rata-rata bulanan terendah 84,3%
dan tertinggi 86,4%. Lama penyinaran
matahari rata-rata tahunan sebesar 58,8%
dengan nilai rata-rata terendah bulanan
sebesar 53,3% dan tertinggi sebesar
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
7
70,9%, masing-masing terjadi pada bulan
Nopember dan Juni. Kecepatan angin rata
-rata bulanan di sepanjang tahun lebih dari
4 knot dengan rata-rata tertinggi sebesar
4,4 knot terjadi pada bulan Pebruari dan
rata-rata terendah sebesar 3,6 knot pada
bulan April.
Menurut klasifikasi iklim Koppen
(Mohr, et al. 1972) daerah survei termasuk
iklim Afa, yaitu iklim tropis basah yang
dicirikan oleh curah hujan terkering >60
mm serta suhu udara rata-rata dari bulan
terpanas >22oC. Menurut Schmidt dan
Ferguson (1951) daerah survei termasuk
ke dalam tipe hujan A dengan nilai Q =
10,3%.
Berdasarkan zona agroklimat
(Oldeman, et.al., 1979) daerah survei
termasuk ke dalam zona agoklimat A dan
B1. Zona A yaitu daerah yang mempunyai
jumlah bulan basah berturut-turut terjadi
lebih dari 9 bulan dengan bulan kering
terjadi kurang dari 2 bulan. Sedangkan
zona B1 yaitu zona yang mempunyai
jumlah bulan basah berturut-turut terjadi
selama 7-9 bulan dengan bulan kering
terjadi kurang dari 2 bulan (Gambar 2).
Keadaan iklim seperti ini sangat
menguntungkan bagi usaha pertanian.
Tabel 1. Data iklim di Stasiun Iklim Rimbo Kedui
Data curah hujan dan evapotranspirasi
0
50
100
150
200
250
300
350
400
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES(mm)
Curah hujan (mm)
Evapotranspirasi mm
Gambar 2. Data rata-rata bulanan curah hujan dan evapotranspirasi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
8
Berdasarkan Gambar 2 diketahui
bahwa curah hujan yang lebih kecil dari
jumlah evapotranspirasi terjadi selama 3
bulan yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus.
Keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya potensi genangan yang cukup
lama di daerah rawa Siancap
Hidrologi
Wilayah Kecamatan Air Periukan dilintasi
oleh beberapa sungai, yang terbesar
adalah Sungai Sindur yang bercabang
menjadi Sungai Tumbuan. Selain itu
beberapa sungai lain yang melintasi
wilayah survai antara lain : Sungai
Kungkai memotong bagian tengah sejajar
dengan Sungai Sindur, dan Sungai
Ngalam melintasi bagian selatan dan
Sungai Siabun yang terletak di bagian
utara melintasi desa Talang Benuang.
Sungai-sungai tersebut dibagian hilir pola
meander (berliku-liku). Hal ini
menunjukkan adanya perlambatan aliran
dan beberapa lokasi mengalami
pengendapan yang besar, bahkan terjadi
penggenangan berbaur dengan rawa-rawa
dengan persediaan air yang banyak dari
bagian hulu. Dengan curah hujan yang
relatif tinggi sepanjang tahun, maka
dibagian hilir sangat berpotensi untuk
menimbulkan genangan hampir sepanjang
tahun terutama pada daerah yang jaringan
drainasenya belum tersedia atau
mengalami kerusakan. Pada wilayah
perkebunan kelapa sawit PT Agri Andalas
saluran drainase cukup baik dengan
pemeliharaan secara berkala. Sedangkan
di wilayah sekitar Desa Talang Benuang
masih terjadi penggenangan sebagai rawa
lebak. Sehingga untuk memanfaatkan
lahan ini dengan baik harus dilakukan
pembuatan jaringan drainase yang
memadai. Jaringan drainase alam untuk
pembuangan pada lahan rawa di desa
Talang Benuang ini adalah S. Siabun,
sehingga perlu dilakukan pembuatan
saluran drainase dari lahan ke sungai
Siabun. Dengan mengacu daerah
perkebunan kelapa sawit PT Agri Andalas,
maka genangan yang terjadi di Rawa
Siancap di desa Talang Benuang akan
dapat diatasi dengan pembuatan dan
pemeliharaan saluran drainase yang
benar.
Landform dan Bentuk Wilayah
Berdasarkan pedoman klasifikasi landform
menurut Marsoedi et. al. (1997) grup
landform di desa Talang Benuang
dibedakan menjadi 4 grup yakni Aluvial,
Marin, Struktural, dan Grup Lain-lain yang
disajikan pada Tabel 4 dan uraiannya
berikut ini.
a. Landform aluvial
Landform aluvial yang ada di daerah
penelitian termasuk dalam grup dataran
banjir sungai meander dan rawa belakang
sungai dengan bentuk wilayah datar, lereng
0-3%. Landform ini terbentuk karena
pengendapan sungai terdiri dari kerikil,
pasir, debu, dan liat. Penyebaran utamanya
di sepanjang jalur aliran sungai Siabun yang
membentuk hamparan dataran banjir di
kanan kiri sungai.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
9
b. Grup Marin
Grup Marin terbentuk oleh aktivitas marin
(laut) yang berupa pengendapan maupun
pengikisan. Di Desa Talang Benuang grup
ini berupa rawa belakang yang sebagian
berupa rawa lebak yang tergenang dan
bergambut.
c. Grup Tektonik/Struktural
Grup tektonik/ struktural merupakan
landform yang terbentuk dari batuan
sedimen yang telah mengalami proses
tektonisme yaitu proses pengangkatan,
pelipatan, patahan, dan pengikisan/ erosi. Di
Desa Talang Benuang didominasi oleh
proses pengangkatan sehingga membentuk
grup tektonik yang merupakan teras
angkatan, relief agak datar sampai
berombak, lereng antara 1 hingga 8
d. Grup pemukiman dan tubuh air.
Pemukiman umumnya menempati daerah
dataran tektonik dan tubuh air terdapat di
sungai Siabun
Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil analisis citra landsat
tahun 2003 dan pengamatan di lapangan
di Desa Talang Benuang saat ini terdiri
atas terbagai macam penggunaan lahan
sebagai berikut:
a. Sawah
Sawah yang ada di Desa Talang Benuang
adalah merupakan sawah rawa lebak yang
dapat ditanami hanya sekali dalam
setahun. Setelah itu biasanya lahan hanya
dibiarkan bera karena sebagian besar
lahan mengalami genangan dalam dan
permanen, sedangkan tanahnya termasuk
tanah bergambut atau tanah gambut.
Penyebarannya terdapat di bagian lahan
basah merupakan rawa lebak di wilayah
Rawa Siancap dan Rawa Besar.
b. Kebun karet
Kebun karet yang ada di Desa Talang
Benuang terdiri atas dua pola yaitu pola
kebun karet rakyat yang diusahakan
secara tradisional dan Perkebunan Swasta
yaitu PIR Karet PTPN. Perkebunan karet
rakyat mempunyai pola/ penanaman yang
tidak teratur dan keadaan kebun yang
kurang terawat.
c. Kebun kelapa sawit
Kebun kelapa sawit yang di Desa Talang
Benuang pola perkebunan rakyat yang
diusahakan oleh masyarakat, letaknya
terpencar-pencar dan sebagian besar
kondisinya kurang baik. Penyebarannya
terdapat di lahan kering maupun lahan
basah yang sebagian telah di buat saluran
drainase yang kadang-kadang kurang
memadai dan masih tergenang di saat
musim penghujan.
d. Pemukiman
Pemukiman di desa Talang Benuang
merupakan pola transmigrasi dengan
bentuk dan pola yang telah disusun
sedemikian rupa sehingga teratur.
Pemukiman menempati derah lahan
kering dengan bentuk wilayah agak datar
sampai berombak.
Tanah
Tanah di desa Talang dapat dibedakan ke
dalam 3 ordo tanah sebagai berikut:
Histosols
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
10
Histosols adalah tanah gambut, terbentuk
dari hasil pengendapan bahan organik,
berasal dari daun-daunan, batang kayu
dan akar pepohonan, dan berkembang
dalam kondisi basah atau jenuh air. Tanah
ini dicirikan oleh kandungan C (Carbon)
organik atau bahan organik yang tinggi.
Ketebalan lapisan gambut bervariasi
antara 60 cm sampai lebih dari 2 meter.
Tingkat dekomposisi (kematangan)
gambut umumnya agak mentah (hemik)
dan sebagian yang sudah mengalami
penu runan ( subs idens i ) ak iba t
pengelolaan, termasuk sudah matang
(saprik) tetapi umumnya dangkal.
Penyebarannya dijumpai pada fisiografi
rawa lebak. Pada tingkat Great group
tanah ini diklasifikasikan sebagai
Hap losap r is t s . Hap losapr i s t s -
Penyebarannya dijumpai pada wilayah
yang relatif luas pada fisiografi rawa
belakang pantai yang termasuk rawa
lebak. Kondisi drainase lebih baik dari
pada tanah Haplohemists, ketebalan
gambut kurang dari satu meter dan sudah
mengalami subsidensi tinggi. Pada tingkat
sub group tanah ini diklasifikasikan
sebagai Terric Haplosaprists atau disebut
juga tanah Organosol Saprik.
Inceptisols
Inceptisols adalah tanah dengan tingkat
perkembangan lemah yang dicirikan oleh
adanya horison pencir i kambik
(berkembang). Penyebarannya dijumpai
pada lahan basah yang berdrainase
terhambat berkembang dari bahan
aluvium, dicirikan oleh sifat hidromorfik
(adanya pengaruh air) yang ditunjukkan
oleh warna tanah kelabu dengan atau
tanpa karatan yang menunjukkan adanya
proses basah dan kering secara
bergantian. Tanah ini diklasifikasikan pada
tingkat grup sebagai Endoaquepts dan
pada tingkat sub grup tanah yang lebih
basah termasuk dalam Typic Endoaquepts
atau disebut tanah Gleisol Distrik,
sedangkan tanah yang bagian atasnya
kadang-kadang mengalami keadaan
kering termasuk dalam Aeric Endoaquepts
atau disebut juga tanah Gleisol Aerik.
Ultisols
Ultisols adalah tanah yang mengalami
tingkat perkembangan cukup sampai kuat
yang dicirikan oleh adanya horizon argilik
(pelindian liat ke lapisan bawah) dan
kejenuhan basa <40%. Penyebarannya
dijumpai pada fisiografi teras angkatan.
Tanah umumnya berdrainase baik dengan
rezim kelembaban tanah Udik. Pada
tingkat Great Group tanah ini termasuk ke
dalam Hapludults. Kedalaman tanah
dalam, reaksi tanah masam, dan drainase
baik. Pada t ingkat sub group
diklasifikasikan sebagai Typic Hapludults
atau disebut juga tanah Podsolik Haplik.
Lahan Rawa
Berdasarkan hasil analisis landsat dan
pengamatan di lapang dengan
menggunakan GPS Geodetik, wilayah
Desa Talang Benuang terdiri dari dataran
tektonik dan rawa lebak. Luas desa Talang
Benuang kurang lebih 1.488,66 ha terdiri
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
11
Gambar 3. Peta Lahan Rawa Desa Talang Benuang, Kec. Air Periukan
Benuang kurang lebih 1.488,66 ha terdiri
dari lahan kering seluas 638,8 ha atau
42,91% dan lahan rawa lebak seluas
849,86 ha atau 57,09%. Rawa Siancap
merupakan bagian kecil dari rawa yang
terdapat di Desa Talang Benuang seluas
183,8 ha atau 12,34% dan rawa lainnya
yaitu rawa besar seluas 666,06 ha atau
44,74% dari total luas desa Talang
benuang. Lahan rawa tersebut merupakan
kesatuan dari rawa pasang surut dan rawa
lebak yang di kabupaten Seluma.
Topografi Rawa Siancap
merupakan cekungan memanjang, bentuk
wilayah datar agak cekung, ketinggian
antara 13-18 m dpl. Posisi Rawa Siancap
terdapat di sebelah barat desa dengan
ukuran rawa yang terdapat di desa Talang
Benuang, memanjang dari arah Tenggara
ke Barat Daya sampai ke S. Siabun di
desa Bukit Paminjaan dengan pajang +
4.100 m dengan lebar + 554 m. Bentuk
rawa agak cekung dengan beda tinggi
antara tepi rawa dan bagian tengah rawa
berkisar antara 50-100 cm.
Tanahnya berkembang dari bahan
induk endapan organik, dengan ketebalan
sedang sampai dalam, tingkat
kematangan gambut termasuk matang
(saprik), tidak mempunyai lapisan pirit
sampai kedalaman 100 cm dari
permukaan tanah. Dalam tingkat Subgrup
tanahnya termasuk Typic Haplosaprists.
Posisi rawa Siancap dalam desa Talang
Benuang dapat dilihat pada Gambar 3.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
12
Peta rekomendasi rehabilitasi jaringan
drainase
Jaringan drainase di lahan rawa Siancap
telah dibuat oleh direktorat transmigrasi
pada saat penyiapan lahan untuk
pemukiman transmigrasi umum. Namun
karena kurang terawat dan terjadinya
proses subsidens tanah gambut saat
saluran tersebut ini mengalami kerusakan
yang parah sehingga fungsi untuk
mendrainase sudah tidak berjalan sebagai
mana mestinya. Selain saluran tersebut
masyarakat telah membuat saluran
drainase dari mulai jalan Kampung yang
didiami masyarakat Bali sampai ke Sungai
Siabun dengan ukuran kecil lebar 50 cm
dengan kedalaman kurang lebih 50 cm,
posisinya terdapat dipinggir rawa sebelah
barat di perbatasan antara lahan gambut
dan lahan kering, sehingga kurang efektif.
Berdasarkan hasil pengukuran elevasi
rawa Siancap dapat diketahui posisi dan
keadaan jaringan drainase yang sudah
ada, kerusakannya maupun pembangunan
jaringan drainase yang baru sebagaimana
disajikan pada Gambar 4.
Keterangan
Gambar 4. Peta posisi saluran di Rawa Siancap
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
13
Berdasarkan Gambar 3 diketahui
bahwa di Rawa Siancap terdapat 2 buah
saluran drainase yaitu yang sebelah timur
dibuat oleh Dep. Transmigrasi dan yang
sebelah barat saluran drainase kecil dibuat
masyarakat petani pemilik lahan. Saluran
drainase yang dibuat oleh Dep.
Transmigrasi dilengkapi dengan pintu
pengatur yang terdapat di ujung sebelah
utara yang posisinya sudah di luar desa
Talang Benuang. Saluran ini diukur dari
jalan penghubung kampung sampai ke
pintu mempunyai panjang 733 m. Saluran
ini perlu perbaikan secara keseluruhan,
dan yang menjadi prioritas karena rusak
adalah sepanjang 476 m dari TB 15
sampai TB 36 dan dari TB 15 ke TB 31
(Pintu yang ada saat ini) sepanjang 200 m.
Pembuatan Saluran baru sepanjang 544
m dimulai dari TPB 36 melalui TB 32
sampai ke Sungai Siabun (TB 25).
Ukuran saluran diharapkan cukup
besar berbentuk trapesium lebar atas 6 m,
lebar bawah 4 m, dalam diukur dari
permukaan tanah saat ini 3 m. Galian di
pergunakan untuk membuat tanggul
dengan tinggi 2 m dengan ukuran lebar 4
m bawah dan 2 m permukaan atasnya di
kanan kiri saluran.
Untuk mengatur ketinggian air di
saluran maka perlu dibuat pintu Stoplock
di ujung saluran di tepi sungai Siabun (TB
25). Ukuran pintu disesuaikan dengan
lebar saluran. Keberadaan pintu yang
dapat dibuka tutup ini berfungsi antara
lain:
1. Menutup pada saat menghindari
luapan Sungai Siabun
2. Membuka untuk membuang air dari
rawa Siancap ke Sungai Siabun.
KESIMPULAN
1. Desa Talang Benuang mempunyai luas kurang lebih 1.488,66 ha terdiri dari lahan
kering seluas 638,8 ha atau 42,91% dan lahan rawa lebak seluas 849,86 ha atau
57,09%. Lahan rawa terbagi 2 bagian yaitu Rawa siancap seluas 183,8 ha atau 12,34%
dan rawa besar seluas 666,06 ha atau 44,74% dari total luas desa.
2. Topografi Rawa Siancap merupakan cekungan memanjang dari arah Tenggara ke Barat
Daya sampai ke S. Siabun di desa Bukit Paminjaan dengan pajang + 4.100 m dengan
lebar + 554 m. Bentuk rawa agak cekung dengan beda tinggi antara tepi rawa dan
bagian tengah rawa berkisar antara 50-100 cm.
3. Rawa Siancap mempunyai saluran drainase yang sudah rusak sehingga perlu
perbaikan sepanjang 476 m dan pembuatan saluran baru menghubungkan saluran yang
telah ada ke S. Siabun (outelet) sepanjang 500 m yang pada ujung saluran dibuat pintu
stoplock.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
14
4. Bentuk saluran adalah trapesium lebar atas 6 m, lebar bawah 4 m, dalam diukur dari
permukaan tanah saat ini 3 m. Galian di pergunakan untuk membuat tanggul dengan
tinggi 2 m dengan ukuran lebar 4 m bawah dan 2 m permukaan atasnya di kanan kiri
saluran.
PUSTAKA
Bakosurtanal, 1984 Peta Rupa Bumi Bakosurtanal. Bakosurtanal.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof, dan E.R.
Jordens.1997. Pedoman klasifikasi landform. LT 5 Versi 3.0. Proyek LREP II, CSAR,
Bogor. Mitchell,
Mohrr, C.C.J.,F.A Van Barren, and J.V Schuylenborg, 1972. Tropical Soils. A Comperhesive
Study of Their Genesis. Muoton. The Hague, Netherlands.
Oldeman, et.al., 1979. An Agroclimate Map of Sumatra. CRlA Bogor. Contr No.17
Schmidt, F.H., and Fergusson, J.H.A. 1951. Rainfall Type and Dry Period Rations for
Indonesia and Western New Guinea. Verh. Djawatan Mety dan Geofisik. Jakarta.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
15
EFIENSIEN IRIGASI MELALUI IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINKLER DI
LAHAN KERING PADA TANAMAN BAWANG MERAH
Sumarno
ABSTRAK
Perkembangan pertanian lahan kering pada kenyataannya banyak menghadapi kendala
antara lain kekurangan air pada saat kemarau dan keadaan tanah yang peka terhadap
erosi. Rendahnya produktivitas lahan kering selain disebabkan oleh kesuburan tanah yang
rendah juga disebabkan rendahnya indeks pertanaman karena kebutuhan air untuk
tanaman tidak tersedia sepanjang tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan
produktivitas lahan adalah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada melalui
teknologi tepat guna seperti penggunaan mulsa dan sistem irigasi sprinkler. Irigasi spinkler
penggunaannya mudah, efisien, dan dapat digunakan dalam waktu yang lama. Penelitian
ini bertujuan untuk mengimplementasikan teknologi hemat air melalui irigasi sprinkler pada
tanaman bawang merah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa teknik irigasi
sprinkler untuk tanaman bawang merah berhasil diimplementasikan. Pengamatan
pertumbuhan tanaman bawang merah yang dilakukan adalah tinggi tanaman, bobot umbi
dan produksi bawang. Pada perlakuan irigasi dan mulsa pertumbuhan tanaman bawang
relatif lebih baik dibandingkan irigasi dengan pola petani. Adapun perlakuan kombinasi
irigasi dan mulsa relatif lebih baik dibandingkan irigasi tanpa mulsa.
Kata Kunci: Irigasi, sprinkler, lahan kering, dan bawang merah
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian lahan kering banyak menghadapi kendala antara lain kekurangan
air pada saat kemarau dan keadaan tanah yang peka terhadap erosi. Rendahnya
produktivitas lahan kering selain disebabkan oleh kesuburan tanah yang rendah juga
disebabkan rendahnya indeks pertanaman karena kebutuhan air untuk tanaman tidak
tersedia sepanjang tahun (Haryati et al., 1995). Pengelolaan lahan kering perlu dilakukan
dengan teknologi tepat guna. Pengembangan teknologi tepat guna yang memanfaatkan
sumber alam merupakan upaya yang harus dilakukan.
Kebutuhan air untuk tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan oleh tanaman
dalam lahan yang diairi, pertanian lahan kering membutuhkan air dalam jumlah yang besar,
baik air permukaan (sungai atau danau) maupun air tanah.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
16
Banyak cara telah dilakukan untuk
mengangkat air dari sumbernya ke lahan
pertanian. Teknik irigasi pada tanaman
melalui jaringan pipa dengan sistem irigasi
sprinkler, merupakan salah satu pilihan
yang bisa digunakan dan bisa
menghemat pemakaian air untuk
tanaman. Dengan sistem ini, mengelolaan
lahan kering menjadi lebih produktif.
Irigasi sprinkler adalah suatu sistem
pemberian air yang dipancarkan melalui
nozzle dengan menggunakan tekanan
tertentu dan digerakkan oleh pompa atau
listrik (Afandi, 2013). Irigasi ini bisa
digunakan di lahan dengan keadaan
topografi tidak teratur dan lahan mudah
tererosi. Sistem irigasi sprinkler ini juga
sudah banyak digunakan untuk tanaman-
tanaman hortikultura bernilai tinggi seperti
bawang merah (Allium cepa var
ascalonicum L).
Tanaman bawang merah tidak
menyukai banyak air yang tergenang,
tetapi kekurangan air tanaman akan tidak
berkembang. Tanaman bawang merah
dapat tumbuh dengan baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi hingga
sekitar 1000 m di atas permukaan laut
(dpl). Produksi terbaik umumnya diperoleh
di dataran rendah yang didukung oleh
iklim yang baik (suhu udara berkisar 25 –
32 OC). Jenis tanah yang baik adalah
lempung berpasir atau lempung berdebu,
pH tanah 5,5 – 6,5, dan drainase serta
aerasi tanah baik (Azzamy. 2017) Jika
kondisi tanah kurang baik dilakukan
pemupukan dengan pupuk organik.
Tanaman bawang merah akan tumbuh
dengan baik kalau kebutuhan air
tercukupi, tetapi tidak tahan dengan air
yang menggenang. Gembor biasanya
banyak digunakan petani untuk menyiram
tanaman bawang merah secara
konvensional. Namun sistim konvensional
ini sangat boros air dan memerlukan
waktu dan tenaga yang banyak.
Tujuan percobaan untuk
mengimplementasikan teknologi hemat air
dengan irigasi sprinkler pada beberapa
fase irigasi.
BAHAN DAN METODA
Tempat dan waktu pecobaan
Percobaan dilaksanakan di dusun
Kedungmiri, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri,
kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada bulan Mei sampai bulan Juli 2017.
Bahan dan alat percobaan
Bahan yang digunakan adalah umbi
bawang merah, pupuk Urea, SP36, KCL,
Pupuk kandang, jerami padi, bambu dan
pestisida. Alat yang digunakan terdiri dari
pompa air, pipa PVC, sprinkler head, ball
valve, SDL, SDD, vlosox, elbow, tee,
water meter dan timbangan.
Perlakuan percobaan
Perlakuan disusun dalam rancangan petak
terpisah diulang lima kali, dengan petak
utama dosis irigasi (rendah, sedang dan
tinggi) dan anak petak pemberian mulsa
jerami. Dosis irigasi petak utama terdiri
dari 3 level, yaitu 100% (R1), 85% (R2)
dan 70 % (R3), dengan anak petak terdiri
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
17
dari 2 level yaitu dengan mulsa (M1) dan
tanpa mulsa jerami (M0).
Luas petak 121 m2 terbagi dalam
8 bedengan (11 x 11 m) dengan jarak
tanam bawang merah 20 x 20 cm.
Perlakuan yang diuji adalah sebagai
berikut:
R1 Mo dosis Irigasi 100 % (rendah) tanpa mulsa jerami
R1 M1 dosis irigasi 100 % (rendah) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha
R2 Mo dosis Irigasi 85 % (sedang) tanpa mulsa jerami
R2 M1 dosis irigasi 85 % (sedang) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha
R3 Mo dosis Irigasi 70 % (tinggi) tanpa mulsa jerami
R3 M1 dosis irigasi 70 % (tinggi) dengan mulsa jerami 5 ton/ ha
R0 M0 dosis irigasi pola petani tanpa mulsa
R0 M1 dosis irigasi pola petani dengan mulsa jerami 5 ton/ ha
Peubah percobaan
Peubah yang diamati pada percobaan
adalah:
1. Tinggi tanaman diamati dengan cara
mengukur pangkal sampai bagian
tanaman tertinggi dilakukan pada
umur 10 dan 30 dan pada saat panen
umur 60 hari setelah tanam (HST)
2. Jumlah umbi dihitung per rumpun
pada setiap sample pengamatan
3. Bobot panen ubinan ditimbang dari
hasil panen ubinan seluas 6,25 m2
( 2,5 x 2,5 m)
Kinerja jaringan irigasi sprinkler
Kinerja sistem irigasi sprinkler meliputi
debit sprinkler yang keluar melalui nozzle,
pompa berfungsi sebagai sumber tekanan
penggerak air dari sumber (Sungai)
menggunakan pompa submersieble yang
dipasang didalam sumur bor dengan
kedalaman sekitar 30 m, air disalurkan
melalui pipa utama dan water meter
dengan tujuan untuk mengontrol volume
air yang keluar pada setiap fase irigasi. Air
kemudian dialirkan ke lahan/plot yang
sudah ditanami bawang merah. Skema
aliran irigasi sprinkler seperti disajikan
pada Gambar 1.
Jaringan pipa utama, pipa lateral
dan pipa tegak harus mampu menahan
tekanan dari pompa yang akan
disemburkan sprinkler melalui nozzle.
Supaya mudah dalam pengolahan tanah
di musim hujan, pipa utama dan leteral
dipasang permanen didalam tanah
dengan kedalaman antara 75 – 100 cm.
Gambar 1. Jaringan irigasi sprinkler
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
18
Irigasi tanaman bawang merah
Irigasi tanaman dilakukan sesuai masa
pertumbuhan tanaman bawang merah
dengan durasi waktu berbeda sesuai
tahap irigasi 100 %, 85 % dan 70 %.
Untuk masa inisiasi dan vegetasi
dilakukan setiap hari sampai umur satu
bulan. Penyiraman dilakukan dua hari
sekali pada masa pembentukan umbi
sampai umur tanaman bawang merah
berumur 51 hari. Pada saat terjadi hujan
penyiraman, dilakukan dengan tujuan
untuk membersihkan daun bawang merah
dari percikan tanah dan embun tepung
yang menempel akibat hujan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebutuhan air bawang merah
Hasil analisis fisika tanah diperoleh
evapotranspirasi (Eto) berkisar 3,1 mm/
hari - 3,3 mm/hari (Tabel 1). Koefisien
tanaman mempunyai kisaran antara 0,5 -
1,2 pada setiap fase tumbuh berbeda.
Nilai evapotranspirasi (Eto) tanaman
bawang tergantung pada tingkat
pertumbuhan tanaman dan nilai Koefisien
tanaman (kc). Pada masa inisiasi sebesar
0,7, fase vegetatif sebesar 0,9 dan fase
pembentukan umbi dan pematangan umbi
nilai kc meningkat menjadi 1,2.
Nilai evapotranspirasi tanaman
(Etc) tanaman bawang terus meningkat
dari fase pertumbuhan vegetatif sampai
pada tahap pembentukan umbi. Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk
pertumbuhan tanaman terus meningkat,
sejalan dengan fase pertumbuhan
tanaman. Dari Tabel 1 terlihat bahwa air
tanah tersedia 14,7 %, kapasitas lapang
sebesar 35,4 dan titik layu permanen 23,7.
Berdasarkan data hasil analisis tersebut
dapat dipergunakan untuk menghitung
interval irigasi dan dosis irigasi,
selanjutnya dirancang durasi pemberian
air perhari untuk tahap fase irigasi 100 %,
85 % dan 70 %.
Tabel 1. Hasil analisis fisika tanah untuk menghitung kebutuhan irigasi bawang merah. Tanggal Tanam 10 Mei 2017
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
19
Tabel 2. Hasil analisa fisika tanah untuk menghitung interval dan kebutuhan irigasi.
Analisis kebutuhan irigasi tanaman
bawang merah yang dilakukan di Dusun
Kedungmiri, Desa Sriharjo, Kecamatan
Imogiri, Kabupaten Bantul, menggunakan
acuan FAO (Doorenbos and Pruitt, 1977)
menghasilkan data input air tersedia
tertera pada Tabel 2. Adapun perhitungan
dosis irigasi dan rata-rata interval irigasi
untuk pertanaman bawang merah
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perhitungan dosis irigasi dan rata – rata interval irigasi untuk tanaman bawang merah di Imogiri, Bantul.
Pengaruh pemberian irigasi dan mulsa
terhadap pertumbuhan bawang merah
Dari hasil pengamatan tinggi tanaman
(Gambar 2) pada umur 10 HST
pertumbuhan tanaman bawang merah
belum menunjukkan pengaruh yang
signifikan, semuanya seragam hampir
tidak nampak perbedaan yang mencolok.
Hanya terlihat perbedaan sekitar 1.09 cm
dari yang tertinggi 17,40 cm untuk
perlakuan pola petani dengan mulsa
(R0M1) dan terendah 16,13 cm dari
perlakuan irigasi 70 % tanpa mulsa
(R3M0). Tingkat pertumbuhan yang
hampir seragam itu diduga dari pengaruh
tersedianya unsur hara yang cukup
ditanah. Rendahnya perbedaan tinggi
tanaman dari taraf irigasi 70 %, 85% dan
100 % terhadap pertumbuhan bawang
merah, menunjukan belum ada nya
pengaruh perbedaan taraf irigasi 70 %,
85, dan 100 % dan mulsa dari kebutuhan
air tanaman bawang merah.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
20
Gambar 2. Grafik rata-rata tinggi tanaman bawang merah
Pengamatan tinggi tanaman yang
kedua pada umur 30 HST, sudah mulai
menunjukan adanya pengaruh perlakuan
irgasi dan mulsa jerami. Data pengamatan
tinggi tanaman untuk perlakuan irigasi 70
%, 85%, 100 % dan irigasi pola petani
dikombinasikan dengan mulsa jerami
menunjukan ada pengaruh, untuk
perlakuan R1M0 dengan R1M1, dengan
perbedaan 3,31 cm. Perlakuan R1M1
lebih tinggi dibandingkan R1M0 dan
R2M0 dan perlakuan R3M0 dengan R3M1
hanya 1,53 cm. Pengamatan
pertumbuhan tanaman yang terakhir
dilakukan pada saat panen menunjukkan
adanya pengaruh irigasi dan mulsa,
secara umum dapat dilihat bahwa
pemberian mulsa jerami berpengaruh
terhadap tinggi tanaman pada saat
tanaman berumur 30 sampai 60 HST.
Tanaman bawang merah dengan
perlakuan mulsa jerami tersaji pada
Gambar 3.
Gambar 3. Tanaman bawang merah perlakuan irigasi 100% dan mulsa jerami
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
21
Pengaruh pemberian irigasi dan
mulsa terhadap hasil bawang merah
Rata – rata jumlah umbi per rumpun dari
perbedaan taraf irigasi dan mulsa 70 %,
85% dan 100 % dapat dilihat di Tabel 5.
Jumlah umbi bawang merah terbanyak
diperoleh pada perlakuan R3 M1 (10,19
umbi), dan terendah 8,41 umbi perlakuan
(R1M0) perbedaan berkisar 1,78. Jumlah
umbi yang dihasilkan merupakan salah
harapan petani, karena dengan banyaknya
umbi akan berpengaruh terhadap bobot,
tetapi jumlah umbi yang banyak belum
tentu menentukan produksi yang optimal,
tetapi secara keseluruhan produksi
meningkat pada perlakuan irigasi dan
mulsa
Gambar 4. Data rata-rata jumlah umbi dan produksi tanaman bawang merah
Panen bawang merah dilakukan
setelah berumur 60 hari, umbi bawang
merah sudah penuh terisi, umbi bawang
sudah terlihat di atas permukaan tanah,
daun sudah menguning dan pangkal daun
lemas. Pada Tabel 5 terlihat produksi
tertinggi 12,78 t/ha pada perlakuan R3M1
disusul 12,68 t/ha dengan perlakuan irigasi
70% tanpa mulsa (R3M0). Dari hasil
pengamatan ubinan dikonversi ke hektar
terlihat adanya pengaruh irigasi 100%
terhadap produksi dibanding irigasi 70%
yang hanya mencapai 10,72
perbedaannya cukup tinggi hingga
mencapai 2,06 ton.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
22
KESIMPULAN
1. Pengamatan pertumbuhan tanaman bawang merah melalui tinggi tanaman pada
perlakuan irigasi dan mulsa lebih tinggi dibandingkan irigasi dengan irigasi tanpa
mulsa. Perlakuan irigasi 70% dengan mulsa berpengaruh paling baik bila
dibandingkan dengan irigasi tanpa mulsa baik untuk pertumbuhan, tetapi tidak
berpengaruh dengan pola petani.
2. Pada pemberian irigasi 70 % dengan mulsa dapat meningkatkan jumlah umbi per
rumpun sebanyak 10,19 umbi dan produksi bawang merah 12,78 ton per ha.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi M. 2013. Cara-cara Pemberian Air Irigasi. Blog Materi Irigasi Lengkap.
Azzamy. 2017. Panduan Teknis Budidaya Menanam Bawang Merah dari Umbi Dimusim
Hujan. Budidaya Holtikultura & Tanaman Pangan.
Haryati, U., & Haryono, A. A. (1995). Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pembrit Penelitian Tanah dan Pupuk, 13, 40
-50
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
23
PROYEKSI CURAH HUJAN EKSTRIM DAN DAMPAKNYA STUDI KASUS: PROVINSI BANTEN
Yeli Sarvina
ABSTRAK
Perubahan iklim telah menjadi isu dunia dan merupakan tantangan utama dalam pemban-
gunan pertanian. Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah peningkatan iklim ekstrim
dimana dampak buruknya terhadap sektor pertanian telah dirasakan. Untuk dapat mengantisa-
pasi dampak dari iklim ekstrim akibat perubahan iklim tersebut, diperlukan adanya informasi
tentang proyeksi iklim ekstrim ke depan. Global Circular Model (GCM) adalah perangkat yang
digunakan untuk mengetahui proyeksi iklim ke depan melalui teknik donwscaling dan dengan
berbagai skenario. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proyeksi iklim ekstrim yaitu
curah hujan total dan curah hujan ekstrim 95 persentil untuk wilayah Banten yang merupakan
salah satu sentra pangan Indonesia. Model yang digunakan adalah GCM pada CMIP5 dan
downscaling dilakukan pada platform APCC Integrateed Model Solution (AIMS) dengan ske-
nario RCP 4,5 dan 8,5. Hasil analisis menunjukkan bahwa total curah hujan dan curah hujan
95 percentile di proyeksikan akan meningkat. Dampak yang diprakirakan akan terjadi adalah
peningkatan intensitas dan frekwensi banjir. Strategi adaptasi ke depan pada bidang perta-
nian yang dapat dlakukan adalah pengembangan varietas tahan banjir dan genangan, penye-
suian waktu tanam dan pengembangan sistem drainase yang efektif dan efesien.
Kata kunci: Perubahan iklim, iklim ekstrim, GCM, Skenario
PENDAHULUAN
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan pembangunan pertanian global termasuk
Indonesia. Sebagai negara benua maritim faktor iklim Indonesia dipengaruhi oleh banyak fak-
tor sehingga dampak perubahan iklim diprakirakan akan lebih signifikan dibandingkan negara-
negara lain. Salah satu dampak perubahan iklim adalah peningkatan iklim ekstrim. Iklim ek-
strim telah menimbulkan dampak yang sangat siginifikant pada penurunan produksi baik kuan-
titas maupun kualitasnya. Iklim ekstrim yang paling sering menyebabkan kerugian pada perta-
nian Indonesia adalah banjir dan kekeringan (Surmaini & Faqih 2016).
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
24
Untuk mengantisipasi dampak perubahan
iklim pada sektor pertanian di masa yang
akan datang diperlukan informasi tentang
proyeksi iklim. Informasi ini dapat dijadikan
dasar pengambilan keputusan arah
pembangunan pertanian terutama pada
sub-sektor yang terkena dampak paling
besar seperti tanaman pangan
(Candradijaya, 2014, Surmaini et al.,
2010), hortukultura ( Direktorat Jenderal
Hortikultura 2014), dan tanaman
perkebunan ( Supriadi & Heryana 2011 ;
Supriadi 2014 ; Supriadi& Rokhmah 2014).
Pemodelan Iklim melalui Global
Circular Model (GCM) digunakan untuk
mengetahui proyeksi iklim kedepan
melalui berbagai skenario. Berbagai GCM
telah dikembangkan oleh lembaga
atmosfer dunia yang saat in tergabung
dalam Couple Model Intercomparison
Project phase 5 (CMIP5). Permasalahan
utama penggunaan GCM untuk kajian
dampak perubahan iklim adalah skalanya
yang kasar sedangkan dalam kajian
dampak diperlukan informasi skala lokal
dan detail. Untuk mengatasi permasalahan
skala ini maka perlu dilakukan
downscaling. (Fowlwe et al. 2007 and
Benestad et al. 2008)
Penelitian ini bertujuan untuk
mendowscaling GCM CMIP5 untuk
wilayah Banten dengan fokus untuk
mendapatkan proyeksi iklim ekstrim.
Banten merupakan salah satu provinsi
sentra pertanian Indonesia. Untuk
mengatasi dampak perubahan iklim maka
diperlukan informasi proyeksi iklim
terutama iklim ekstrim. Pada kajian kali ini
variable iklim ekstrim yang di analisis
adalah curah hujan karena variasi spasial
dan temporalnya yang sangat tinggi. Dua
indeks curah hujan ekstrim yang
digunakan adalah curah hujan total dan
curah hujang 95 percentile.
METODOLOGI
Wilayah Kajian
Wilayah kajian penelitian ini adalah
provinsi Banten. Data iklim yang
digunakan dalam penelitian ini diunduh
melalui data online BMKG (http://
dataonline.bmkg.go.id/home). Deskripsi
posisi stasiun ditampilkan pada tabel 1.
Sedangkan data GCM yang digunakan
a d a l a h d a t a C o u p l e M o d e l
Intercomparison Project phase 5 (CMIP5)
yang sudah disediakan oleh Asian Pacific
Climate Center (APCC) melalui http://
adss.apcc21.org/opendap/CMIP5DB/
contents.html.
Tabel 1. Informasi stasiun iklim
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan platform
APCC Integrated Model Solution (AIMS)
yang telah dikembangkan oleh APCC
(Eum, 2017). Secara umum tahapan
analisis perubahan iklim menggunakan
platform ini adalah:
1. Analisis data observasi/ pengamatan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
25
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
pola data dan data kosong. Jika data
kosong lebih dari 30 %, maka tidak
dapat digunakan
2. Downscaling yaitu mendowscaling
data dari GCM untuk data lokal sesuai
dengan lokasi penelitian
3. Menentukan metode downscaling
terbaik. Ada dua metode downscaling
yang dikembangkan yaitu Simple
Quantile Mapping (SQM) dan Spatial
Disaggregation with Detrended
Quantile Mapping (SDDQM)
4. Pemilihan GCM terbaik. Pada tahap ini
akan dilakukan pengujian performa
G C M . G C M y a n g d a p a t
mempresentasikan data historical
paling baik dianggap sebagai GCM
terbaik
5. Downcaling dengan menggunakan
metode terbaik dan GCM terbaik pada
dua scenario RCP yaitu RCP 45 dan
85. Dalam penelitian ini periode data
histori adalah 1976-2005 sedangkan
periode proyeksi adalah 2010-2039
(near future) dan 2040-2069 (far
future)
6. Analisis iklim ekstrim. Indeks yang
digunakan dalam peneitian ini adalah
indeks yang dikembangkan oleh
Expert Team on Climate Change
Detection and Indices (ETCCDI)
(http://etccdi.pacificclimate.org/). Pada
kajian ini indeks iklim ekstrim yang
digunakan adalah curah hujan total
(PRCPTOT) dan hujan ekstrim
(R99pTOT)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Data Observasi
Evaluasi data observasi ditampilkan pada
Tabel 2 dimana data kosong (missing
value) terbesear dari tiga stasiun untuk
curah hujan sekitar 13 %, suhu maksimum
dan minimum 10%. Data ini dapat
digunakan dalam analisis perubahan iklim
selanjutnya karena memenuhi persyaratan
data kosong kecil dari 30 %.
Tabel 2. Evaluasi data observasi
Pola curah hujan, suhu maksimum
dan minimum bulanan disajikan pada
Gambar 1. Untuk curah hujan terlihat
ketiga stasiun mempunyai pola yang sama
yaitu memiliki tipe hujan monsoonal
dimana curah hujan bulanan Soekarno
Hatta lebih kecil dibandingkan Serang dan
Tanggerang. Untuk suhu udara baik
maksimum maupun minimum terlihat
bahwa suhu udara di Soekarno Hatta lebih
tinggi dibandingkan Serang dan
Tanggerang. Terlihat juga bahwa suhu
udara tertinggi terjadi sekitar Bula Mei.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
26
Gambar 1. Pola curah hujan
Metode Downscaling dan GCM Terbaik
Hasil evaluasi metode downscaling
disajikan dalam bentuk boxplot (Gamba2 ).
Metode yang terbaik adalah metode yang
nilai mediannya paling mirip dengan
observasi dan inter quartile range (IQR)
yang paling kecil. Untuk curah hujan total
metode SQM terlihat memiliki media
hampir sama dengan obsrvasi dan IQRnya
lebih kecil dibandingkan dengan metode
SDQDM sedangkan untuk nilai curah
hujan ekstrim R95ptot curah metode
SDQDM terlihat memiliki median hapir
sama denga observasi namun IQRnya
lebih besar. Berdasarkan analisis di atas
maka kedua metode diatas digunakan
dalam analisis proyeksi curah hujan total
dan curah hujan ekstrim.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
27
Gambar 3. Evaluasi GCMM
Gambar 2. Evaluasi Metode downscaling
Evaluasi terhadap performa GCM disajikan pada gambar 3. Dasi hasil analisis AIMS maka
GCM terbaik untuk wilayah ini adalah CSIRO-Mk3-6-, HadGEM2-AO, CanESM2 dan Bcc-
csm1-1.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
28
Proyeksi iklim ekstrim dan dampaknya.
Hasil proyeksi curah hujan ekstrim yaitu
curah hujan total dan curah hujan 95
percentile dengan metode SQM dan
SDQDM serta scenario RCP 45 dan 85
disajikan pada Gambar 4. Terlihat bahwa
proyeksi curah hujan total baik pada near
maupun far future meningkat dibandingkan
data historical. Namun peningkatannya
lebih besar pada near future dibandingkan
dengan far future. Peningkatan curah
hujan total diwilayah ini mengindikasikan
bahwa wilayah ini semakin basah.
Beberapa implikasi penting dari proyeksi
ini adalah frekwensi dan intensitas banjir
meningkat sehingga perlu diperhatikan
sistem drainase pada budidaya pertanian
serta penyesuian waktu tanam.
Curah hujan ekstrim 95 percentile
juga diproyeksikan meningkat baik pada
near maupun far future. Berbeda dengan
curah hujan total yang pada far future
turun dibandingkan dengan near future,
curah hujan ekstrim ini terus meningkat
pada far future. Ini mengindikasikan
bahwa curah hujan ekstrim tinggi akan
semakin sering terjadi dengan intensitas
yang semakin meningkat pula.
Gambar 4. Pola curah hujan
KESIMPULAN
Curah hujan total dan curah hujan ekstrim tinggi di wilayah Banten bagian utara ini
diproyeksikan meningkat. Dampak dari peningkatan curah hujan ekstrim dan curah hujan
total ini adalah peningkatan frekwensi dan intesitas banjir. Sehingga upaya-upaya untuk
penanggulangan banjir di masa yang akan di daerah ini perlu menjadi perhatian. Dalam
bidang pertanian beberapa strategi adaptasi yang dapat dilakukan adalah pengembangan
varitas baru yang tahan banjir dan genangan serta penyesuian waktu tanam.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
29
DAFTAR PUSTAKA
Chandradijaya, A., Syaukat, Y., Syaufina, L., dan Faqih, A. 2014. Pemanfaatna Model Proyeksi Iklim dan Simulasi Tanaman dalam Penguatan Adaptasi Sistem Pertanian Padi Terhadap Penurunan Produktivitas Akibat Perubahan iklim : Studi Kasus di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Informatika Pertanian, Vol 23 (2) : 159-168
Direktorat Perlindungan Hortikultura . 2014. Sekola Lapang Iklim Hortikultura Antisipasi Terhadap Perubahan Iklim. http://ditlin.hortikultura.pertanian.go.id/index.php?o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w = a r t i c l e & i d = 4 1 : s e k o l a h - l a p a n g - i k l i m -hortikultura&catid=19:berita-terbaru [ 30 Oktober 2017)
Eum, H. 2017. Climate Change Practice. Materi Pelatihan pada 2017 APCC Training Program. User-oriented Statistical Downscaling of Climate Information in Agriculture and Water Resources. http://www.apcc21.org/ic/tpView.do?lang=en&bbsId=BBSMSTR_000000000005&nttId=5184&pageIndex=1&recordCountPerPage=10&searchCnd=&cate1=&searchBgnDe2=&searchEndDe2=&searchWrd= [ diunduh 30 Oktober 2017]
Fowler, H.J., Kilsby,C.G., & Stunnel,J. 2007. Modelling the impacts of projected future climate change on water resources in north west England. Hydrol.Earth Syst. Sci., 11(3): 1115-1126
Supriadi, H dan Heryana, N. 2011. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Jambu Mete dan Upaya Penanggulangannya. Buletin RISTRI Vol. 2 : 175-186
Supriadi, H., dan Rokhmah, D.N. 2014. Teknologi Adaptasi untuk Mengatasai Perubahan Iklim pada tanaman Teh. SIRINOV Vol 2 : 147-156
Surmaini , E dan Faqih, A. 2016. Kejadian Iklim Ekstrem dan Dampaknya Terhadap Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia.Jurnal Sumber Daya Lahan Vol 10. No2 : 115–128.
Surmaini, E., Runtunuwi, E. dan Las, I. 2010. Upaya Sektor Pertanian dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian, 30 (1) : 1-7
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
30
KALIBRASI SENSOR KELEMBABAN UDARA MENGGUNAKAN
EXPERIMENTAL STANDARD DEVIATION OF MEANS
Tri Nandar Wihendar, Suciantini dan Anton Aprilyanto
ABSTRAK
Dalam meningkatkan produksi tanaman pertanian stasiun cuaca sangat diperlukan ke-
beradaannya.Oleh karena itudiperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan mutu data
rekam yang teramati di stasiun iklim melalui kalibrasi rutin.Kalibrasi sangat diperlukan
untuk peningkatan presisi dan akurasi data.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
perhitungan kalibrasi sensor kelembaban udara dari stasiun cuaca.Metode perhitungan
Experimental Standard Deviation of Meanyangdigunakan untuk menghitung kalibrasi
sensor kelembaban udara (RH) yang efisien adalah dengan menggunakan senyawa
garam NaCl, dengan batasan nilai standar RH 75,4%, faktor koreksi yang berkisar 0-0,5
dan ketidakpastian bentangan yang berkisar antara 0-0,5. Hasil kajian pada alat sensor
kelembaban udara menunjukkan bahwa nilai RH adalah 75,0%, faktor koreksi 0,5 dan
ketidakpastian bentangan 0,2. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa penggunaan
metoda Experimental Standard Deviation of Mean dengan garam NaCl dapat diperguna-
kan untuk kalibrasi secara efektif dan efisien.
Kata Kunci: kalibrasi, akurasi data, kelembaban udara, NaCl
ABSTRACT
Routine calibrations of RH sensor are required for improving quality of data records at
climate station. Calibration is necessary to increase the precision and accuracy of the
data. Experimental Standard Deviation of Means method was used for standard calcula-
tion of humidity sensor (RH) using NaCl with the value of RH of 75,4%, correction stan-
dard factor range from 0-0.5, uncertainty factor range from 0-0.5.Results of assessment
on the humidity sensor instrument in this study showed that the average of RH was 75%,
correction factor means of 0.5 and uncertainty factor of 0.2. Results of the study shows
that applying Experimental Standard Deviation of Mean and NaCl could be used for cali-
bration effectively.
Keywords: calibrations,accurate,relative humididty, data quality, NaCl
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
31
PENDAHULUAN
Stasiun cuaca manual dan otomatis
digunakan sehari-hari untuk meteorology
dan pemantauan lingkungan. Dalam
meningkatkan analisis interaksi tanaman
pertanian dengan lingkungan menuju
pertanian yang lebih baik, keberadaan
stasiun cuaca di lingkungan sentra
produksi tanaman pertanian sangat
diperlukan. Parameter cuaca utama yang
diukur adalah kecepatan angin, arah
angin, suhu udara, kelembaban udara,
tekanan udara, curah hujan, dan radiasi
matahari.
Logger data mengumpulkan dan
menyimpan data hasil pengukuran sensor.
Untuk transfer data Automatic Weather
Stations (AWS) memiliki beberapa solusi,
termasuk GSM/GPRS, atau data yang
dapat ditampilkan pada sebuah situs web.
Pada kebanyakan aplikasi meteorologi
dan industri telah mengembangkan
stasiun cuaca yang memenuhi standar
persyaratan aplikasi ini. Semua stasiun
cuaca dirancang sesuai dengan pedoman
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian sejak tahun
1975 telah membangun sejumlah stasiun
klimatologi kelas A (manual) di beberapa
lokasi sentra produksi. Hingga kini
terdapat 24 stasiun manual yang masih
aktif digunakan sebagai stasiun observasi
iklim. Sejak tahun 1999 kapasitas
observasi iklim ditingkatkan dengan
memasang 74 buah Automatic Weather
Stations (AWS) dan 23 automatic water
level recorder (AWLR) yang tersebar di 7
propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi
Tenggara. Sampai dengan tahun 2012
(Tabel 1), telah dilakukan relokasi dan
pemasangan AWS baru bekerjasama
dengan Balai Pengkajian dan Penerapan
teknologi Pertanian (BPTP) di seluruh
Indonesia, Balitbang Pertanian (2013).
Tabel 1. Sebaran stasiun iklim di BPTP
Salah satu media bentuk
peningkatan kualitas data hasil
pengamatan stasiun cuaca melalui
peningkatan sebaran (coverage
observation) dengan tetap menjaga
keberlanjutan dan akurasi (kualitas)
dilakukan pengamatan terhadap unsur
iklim dalam skala ruang dan waktu.Salah
satu faktor penting lainnya dalam menjaga
kontinuitas dan kualitas data rekam iklim
adalah pembinaan jejaring iklim.Hal
tersebut dapat dilakukan baik melalui
pembinaan sumberdaya (pengamat iklim)
maupun pengelolaan terhadap peralatan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
32
iklim itu sendiri.Usaha untuk peningkatan
mutu juga dilakukan baik melalui
komunikasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menyamakan persepsi
terhadap arti penting stasiun iklim dan
data iklim, maupun melalui kegiatan
perawatan, kalibrasi dan perbaikan
peralatan iklim.
Dengan demikian data yang
diperoleh dapat digunakan secara optimal
dalam mengantisipasi penyimpangan
(anomali) iklim, seperti melalui prakiraan
dan prediksi iklim. Sebuah proses
pemeliharaan dan perawatan yang efektif
membutuhkan tiga tingkatan yang
berbeda, yaitu:
1. Pemeliharaan perlindungan
(protective maintenance), adalah
strategi pemeliharaan alat berdasarkan
pada penggantian item pada interval
yang tetap, terlepas dari kondisi pada
saat itu. Perlindungan atau
pemeliharaan preventif, harus
dibedakan dari perbaikan atau
pemeliharaan dan proses
pelaksanaannya terjadwal.
2. Pemeliharaan korektif (corrective
maintenance), adalah setiap kegiatan
pemeliharaan yang diperlukan untuk
memperbaiki kegagalan yang telah
terjadi atau sedang dalam proses.
Kegiatan ini terdiri dari perbaikan,
restorasi atau penggantian komponen.
3. Kalibrasi (calibration), adalah proses
penentuan parameter kinerja sebuah
instrumen atau sistem dengan
membandingkannya dengan standar
pengukuran. Penyesuaian dapat
menjadi bagian dari kalibrasi.
Melakukan kalibrasi berarti menjamin
bahwa suatu perangkat atau sistem
akan menghasilkan hasil yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan
dengan tingkat keyakinan tertentu.
Dua konsep penting yang terkait
dengan pengukuran kalibrasi adalah
presisi dan akurasi. Presisi (precision)
merujuk pada perubahan dilihat minimum
dalam parameter yang diukur, sedangkan
akurasi (accuracy) mengacu pada jumlah
sebenarnya kesalahan yang ada dalam
sebuah kalibrasi.
Perhitungan kalibrasi
menggunakan metode Experimental
Standard Deviation of Mean (ESDM)
dengan membandingkan data yang
dihasilkan sensor dengan nilai standar.
Sebagai pembanding yang mempunyai
nilai standar dapat digunakan
Psychrometer atau salinitas dengan
larutan garam NaCl dengan nilai Relative
Humidity (RH) sebesar 75,4% dan butiran
garam masih terlihat. Berdasarkan
referensi dari pabrikan bahwa larutan
garam dengan butiran garam masih
terlihat mempunyai nilai kelembaban (RH)
NaCl 75,4%, MgCl 32,8%, LiCl 11,1%,
K2SO4 97,3% dan Mg (NO3) 53,0% pada
suhu 20oC.
Dari uraian sebelumnya dapat
diduga bahwa kalibrasi peralatan iklim
memegang peranan penting dalam
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
33
menjaga kualitas data yang relevan sesuai
dengan presisinya.Sehingga data yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai data
yang dapat dianalisis yang menghasilkan
ouput yang handal dan dapat dipercaya
serta dipertanggungjawabkan.
Merujuk dari permasalahan diatas,
maka studi ini dimaksudkan untuk
melakukan kajian perhitungandengan
mengetahui ketepatan operator atau
petugas dalam melakukan kalibrasi
sensor. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan hasil perhitungan metode
ESDM sebagai metode kalibrasi sensor
kelembaban udara (RH) yang praktis dan
efisien dilakukan di laboratorium maupun
dilapangan.
METODE PENELITIAN
Kajian kalibrasi dan perbaikan alat sensor
kelembaban udara (RH) dilaksanakan
pada tahun 2009, di laboratorium
AGROHIDROMET Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.Jenis
sensor RH yang akan dikalibrasi
mempunyai spesifikasi variabel kapasitor
HUMICOR dengan filter penutup, rentang
ukur 0-100% dengan faktor koreksi
(akurasi) antara 0,1-0,5 dan ketidakpastian
bentangan (resolusi) antara 0-5, F1 awal:
15265, A.Point: 416, U:1 CE 191,
No.219.2 U. Data logger yang digunakan
untuk menghubungkan sensor dan
merekam data hasil output sensor RH
bertipe Enerco 407 buatan Cimel
Electronique Perancis dengan durasi data
setiap jam selama 20 jam. Sedangkan nilai
RH yang digunakan sebagai nilai RH
standar adalah larutan NaCl (nilai RH
75,4%) dengan butiran NaCl masih
terlihat.
Dalam melakukan pengukuran dan
perhitungan kalibrasi sensor RH terdiri dari
tiga tahap; 1) tahap persiapan; 2) tahap
pengukuran/pengambilan data; dan 3)
tahap evaluasi dengan metode
pembandingan Experimental Standard
Deviation of Means (ESDM) serta
memperhatikan tahapan pengukuran
kalibrasi sebagai berikut:
Tahap Persiapan. Dilakukan
dengan menyiapkan sensor RH yang akan
dikalibrasi dan menempatkan sensor RH
diatas larutan dalam wadah sehingga tidak
terkena air dari larutan NaCl. Peralatan
lainnya adalah Datta logger sebagai alat
perekam data, kertas dan pulpen untuk
mencatat, larutan NaCl dengan butiran
masih terlihat ditempatkan dalam tempat
yang terisolasi dapat berupa kotak plastik
atau kotak kaca seperti tertera pada
Gambar 1.
Gambar 1. Sensor kelembaban udara, tempat kali-brasi sensor RH berisi larutan NaCl dan Data Logger sebagai perekam data
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
34
Tahap Pengukuran. Pada tahap
ini dilakukan pengukuran dan pencatatan
hasil pengukuran sensor RH sebelum dan
setelah pengukuran kalibrasi
menggunakan data logger dengan lama
durasi perekaman data setiap jam selama
20 jam sebelum dan setelah perhitungan
kalibrasi dilakukan. Hasil pengukuran
yang direkam data logger kemudian
dicatat serta dibuat tabel.
Tahap Evaluasi. Pada tahap ini
dilakukan perhitungan, evaluasi dan
membandingkan hasil pengukuran sensor
RH dengan nilai kalibrasi yang dianggap
standar (NaCl nilai RH 75,4%).
Perhitungan kalibrasi sensor RH melalui
perhitungan nilai rerata ( ), perhitungan
nilai standar deviasi (S),derajat kebebasan
(Degree of Freedom) v = n-1 dan
perhitungan ketidakpastian baku atau
ESDM (Experimental Standard Deviasi of
Means) dengan persamaan:
Perhitungan ketidakpastian baku (standard
uncertainty) tipe A (U) adalah nilai ESDM,
yaitu U = ESDM. Berikutnya dengan
asumsi mempunyai distribusi normal,
maka perhitungan ketidakpastian
bentangan dari sensor RH yang dikalibrasi
dapat diperoleh dengan faktor cakupan
k=2. Dengan demikian ketidakpastian
bentangan adalah U = 2 x ESDM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kegiatan pengukuran dan pencatatan
data dari data logger yang didapatkan
tertera pada Tabel 2. Hasil perhitungan
rerata sensor kelembaban udara (RH)
dengan NaCl (Tabel 2) menunjukkan
bahwa, hasil pembacaan sensor RH yang
dibandingkan dengan NaCl sebagai nilai
standar menghasilkan nilai rerata 85,5
sebelum dilakukan kalibrasi perbaikan
sensor RH tersebut.
Tabel 2. Data hasil pengukuran sensor Kelembaban udara (RH, %) dengan NaCl sebelum kalibrasi
X
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
35
Hasil perhitungan faktor koreksi
(Tabel 3) menunjukkan bahwa, hasil rerata
faktor koreksi mempunya nilai -10,1
sedangkan nilai analisis perhitungan
ketidakpastian bentangan mempunyai nilai
0,4 yang disajikan pada Tabel 3. Pada
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil ini
masih termasuk dalam rentang nilai
standar, tetapi nilai koreksi tidak sesuai
standar yang dianjurkan.Rentang nilai
rerata keluaran sensor RH sebelum
dilakukan kalibrasi dengan pembanding
NaCl nilai 75,4% sangat besar jaraknya
(Gambar 2) dan nilai rerata 85,5%. Hasil
ini sebagai indikator bahwa sensor RH
tersebut perlu dilakukan pemeriksaan
fisik.Apabila ternyata tidak ada kerusakan
fisik pada sensor RH tersebut, maka
sensor dilanjutkan untuk dikalibrasi agar
dapat digunakan.
Tabel 3. Hasil perhitungan kalibrasi sensor
kelembaban udara (RH) dengan
NaCl.
Berdasarkan pemeriksaan fisik
dan hasil analisis faktor koreksi dan
ketidakpastian bentangan, sensor tersebut
dapat dilanjutkan dengan melakukan
kalibrasi agar nilai ouput dari sensor
kembali menjadi relevan dan akurat. Nilai
yang memenuhi standar berkisar antara
0,1-0,5 untuk faktor koreksi, 0-0,5 untuk
ketidakpastian bentangan dan nilai rerata
ouput sensor sama atau mendekati nilai
standar kalibrasinya.
Hasil sebelum dilakukan kalibrasi
dan nilai standar yang ditunjukkan pada
Gambar 2 memperlihatkan bahwa nilai
jarak antara titik standar nilai kalibrasi
(NaCl) sangat lebar.Diperkirakan kondisi
nilai kalibrasi sensor RH dari pabrikan
telah bergeser. Pergeseran nilai tersebut
dapat disebabkan oleh umur dari sensor
tersebut yang melebihi masa waktu
kalibrasi, atau cekaman iklim yang
mempengaruhi bahan dasar dari sensor
tersebut. Kedua kondisi ini dapat
mempengaruhi nilai kalibrasi atau dapat
mengakibatkan kerusakan fisik sensor.
Gambar 2. Sensor kelembaban udara (RH) dengan NaClnilai 75,4% sebagai pembanding sebelum dilakukan perbaikan melalui kalibrasi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
36
Hasil perhitungan rerata
pengukuran setelah dilakukan kalibrasi
tertera pada Tabel 3, yang menunjukkan
bahwa, rerata sensor RH bernilai 75% dan
faktor koreksi 0,5. Nilai rerata pada
rentang tersebut menunjukkan bahwa
kondisi sensor tersebut masih baik karena
nilai ouput dari sensor RH mendekati nilai
kalibrasi standar NaCl, setelah
pengukuran dan perhitungan sederhana
rerata dari ouput sensor RH diketahui.
Apabila indikasi dari nilai rerata telah
didapatkan akan menunjukkan bahwa
sensor tidak rusak secara fisik maka
dilanjutkan dengan perhitungan analisis
dengan metode ESDM. Pada dasarnya
setiap sensor RH mempunyai nilai
parameter kalibrasi yang diberikan oleh
pabrikan sebagai nilai akurasi dan
koefisien bentangan dalam spesifikasinya.
Tabel 4. Data hasil pengukuran sensor Kelembaban udara (RH, %) dengan NaCl setelah kalibrasi.
Nilai dari pabrikan tersebut dapat menjadi
acuan nilai koreksi bagi nilai kalibrasi
sensor tersebut, sehingga nilai rentang
data pengukuran hasil kalibrasi masih
dalam spesifikasi dan relevan. Analisis
perhitungan dengan menggunakan
metode Experimental Standard Deviation
of Mean (ESDM)terhadap sensor RH,
pada tahap evaluasi menunjukkan nilai
RH yang mengarah pada nilai kalibrasi
standar. Nilai-nilai output dari sensor RH
dengan durasi perekaman data setiap jam
selama 20 jam. Tabel 4 menunjukkan
bahwa perubahan yang signifikan dengan
kumpulan data mengarah ke normal pada
nilai standar NaCl. Nilai hasil kalibrasi
dengan metode ESDM dimasukkan
kedalam parameter data logger sesuai
spesifikasi teknis yang diberikan oleh
pabrikan.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
37
Hasil analisis yang diberikan dari
perhitungan ESDM setelah dilakukan
kalibrasi menunjukkan bahwa nilai rerata
sensor RH 75%, koreksi 0,5 dan
ketidakpastian bentangan 0,2 (Tabel 2).
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai
tersebut termasuk rentang nilai yang dapat
diterima baik oleh spesifikasi pabrik
maupun kaidah-kaidah kalibrasi yang
dihasilkan. Pada Gambar 3 dapat dilihat
bahwa setelah diberikan perlakuan
kalibrasi terhadap sensor RH, garis nilai
ouput sensor terdistribusi mendekati dan
mengikuti nilai standarnya. NaCl dalam
wadah yang terisolasi dapat menyerap
udara yang berair didalamnya, sehingga
udara tersebut dapat mencapai nilai RH
tetap NaCl (75,4%). Hal ini menunjukkan
bahwa, larutan garam jenuh dapat
digunakan untuk mengkarakterisasi sensor
kelembaban.
Hasil perhitungan dengan metode
ESDM dengan nilai standard kalibrasi
NaCl (nilai RH 75,4%) menunjukkan
Gambar 3. Sensor kelem-baban udara (RH) dengan N a C l n i l a i 75,4% sebagai pemband ing setelah dilaku-kan perbaikan melalui kali-brasi
dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Analisis kalibrasi dengan
menggunakan metode ESDM juga
memperhatikan nilai rerata ouput sensor
yang dikalibrasi tidak melebihi atau kurang
terhadap nilai standar, faktor koreksi dan
koefisien bentangan yang diberikan oleh
pabrikan.Kalibrasi garam NaCl terbukti
lebih dapat diandalkan efektif dan efisien
daripada RH generator. Pergeseran nilai
sensor RH yang merespon NaCl sebagai
standar kalibrasi dapat menjamin
keandalan prosedur pengukuran.
KESIMPULAN
Hasil kajian kalibrasi alat sensor RH
(kelembaban udara) menggunakan
perhitungan ESDM dengan pembanding
NaCl sebagai standar memperoleh nilai
RH 75,0%, faktor koreksi 0,5 dan koefisien
bentangan 0,2. Hasil ini sesuai dengan
standar kalibrasi menggunakan garam
NaCl. Dengan demikian penggunaan
garam NaCl dapat digunakan secara
efektif dan efisien.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
38
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Stasiun Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 34 hal.
Tjasjono, B. 1995.Klimatologi Umum.Bandung: Penerbit ITB Bandung. Puslittanak-Badan Litbang Pertanian. 1997. Pengembangan Sistem Jaringan Stasiun dan
Data-Base Iklim Badan Litbang Pertanian dalam Menunjang Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian.
Rojali, Ah.MG. 1997.Alat-alat Meteorologi (Jilid A).Bahan kuliah Taruna Akademi Meteorologi dan Geofisika.Balai Pendidikan dan Latihan Meteorologi dan Geofisika.Badan Pendidikan dan Latihan.Jakarta: Departemen Perhubungan.
Kolka, R.K and A. T. Wolf. 1998. Estimating Actual Evapotranspiration for Forested Sites: Modifications to the Thornthwaite Model. Research Note SRS6. Forest Service.Asheville:USDA.
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. 1976. Laporan Kemajuan, Seri Fisiologi No.1. Bogor: Departemen Pertanian
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.2008.Optimasi Sebaran dan Pengembangan Jaringan Stasiun Iklim dan Hidrologi yang dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Laporan Akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor: Departemen Pertanian.
Thornthwaite, C.W and J.R. Mather. 1957. Instructions and Table for Computing Potential Evapotranspiration and Water Balance. Centerton, New Jersey: Publishingof Climatology. vol. X No. 3.Drexel Institute of Technology.
Syahbuddin, H., I. Las, E. Runtunuwu, K. Sari, E. Surmaini, dan K. Subagyono. 2007. Optimasi sebaran dan pemanfaatan jaringan stasiun iklim dan hidrologi mendukung perencanaan pertanian. Laporan akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, BBSDLP, Badan Litbang Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian
Syahbuddin, H., M.D. Yamanaka, and E. Runtunuwu. 2004. Impact of Climate Change to Dry Land Water Budget in Indonesia: Observation during 1980-2002 and Simulation for 2010-2039. Asia Oceania and Geosciences Society (AOGS)-1st Annual Meeting, on July 20-24, 2004, Singapore: Abstract proceeding.
Willmott, C.J., C.M. Rowe, and Y. Mintz. 1985. Climatology of the Terrestrial Seasonal Water Cycle. Journal of Climatology. 5: 589-606.
Universitas Indonesia.2007. Dasar-dasar Pengukuran dan Kesalahan Pengukuran. Jakarta: P2M Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik.
Hutagalung, S.S. 2007. Materi Pelatihan Kalibrasi Departemen Pertanian. Bogor: LIPI Cimel Informations. 2006. CIRAD-France. Komite Akreditasi Nasional.2003. Pedoman Evaluasi dan Pelaporan Ketidakpastian
Pengukuran. Jakarta: KAN. DP.01.23. Relative humidity above saturated salt solutions at various temperatures. 2012.(http://
www.robertharrison.org/icarus/wordpress/hardware/relative-humidity-above-saturated-salt-solutions-at-various-temperatures/, diakses tanggal 12 April 2012, Kamis jam: 09.01.WIB).
How hard could that be? Practical Humidity Calibration Experiences. 2012. (http://www.veriteq.com/humidity/calibration.htm, diakses tanggal 12 April 2012, Kamis jam: 09.05.WIB)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
39
PENINGKATAN KETAHANAN AIR UNTUK MENINGKATKAN IP TANAMAN PADA LAHAN TADAH HUJAN DAN LAHAN KERING
Nono Sutrisno
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan, tertuang dalam Nawacita. Semua potensi daerah harus diu-
payakan optimal agar dapat meningkatkan keunggulan masing-masing daerah. Khususnya
dalam upaya optimalisasi sumber daya lahan dan air dalam mencapi swasembada pan-
gan,bahkan diharapkan mencapai surplus agar berdampak secara nasional. Namun
demikian, Indonesia menghadapi tantangan dan permasalahan dalam ketahanan air. Per-
tumbuhan ekonomi dan urbanisasi mengakibatkan permintaan air yang lebih besar, baik
dari sektor domestik, industri maupun pertanian. Di daerah perkotaan, tingkat kesediaan air
tanah telah memasuki ambang kritis karena eksploitasi berlebih, di lain pihak beberapa DAS
penting menunjukkan tingkat erosi dan polusi yang tinggi. Terjadinya kelangkaan air (water
scarcity) terutama di musim kemarau, semakin terasa akibat kompetisi pemanfaatan untuk
berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Perubahan iklim juga telah menyebab-
kan masalah ketidak tentuan ketersediaan air untuk produksi pertanian. Secara keseluruhan
permasalahan tersebut akan berdampak negatif terhadap peningkatan produksi pertanian
khususnya produksi bahan pangan.
Menurut Hasan (2012), pengelolaan sumber daya air semakin lama semakin kom-
pleks, pada awal tahun 1970-an pengelolaan sumber daya air masih memperhitungkan
aspek teknis, ekonomi dan pertanian. Namun pada tahun 1990-an pengelolaan sumber
daya air mulai menambahkan aspek kelembagan, dan pada tahun 2000-an mulai memper-
timbangkan aspek lingkungan, sampai isu perubahan iklim. Dalam mengelola air untuk
mendukung peningkata indeks pertanaman, diperhitungkan aspek water foot print, selain
itu, dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air juga memperhitungkan aspek water
security. Untuk mencapai water security, diperlukan adanya investasi skala nasional dalam
pengembangan SDA, baik untuk infrastruktur maupun kelembagaan. Dimana konsep dari
ketahanan air adalah lebih luas daripada ketersediaan air, upaya mendapat air, keamanan
dari daya rusak dan penyediaan air yang berkelanjutan. Prinsip dari ketahanan air adalah
dikaitkan dengan empat hal yakni aksesibilitas, berkelanjutan, keamanan dan ketersediaan
potensi air.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
40
Ketahanan air pengertiannya lebih
luas daripada ketersediaan air. Ketahanan
air merupakan upaya mendapatkan air,
kemampuan masyarakat untuk menjaga
keberlanjutan dalam pemenuhan
kebutuhan air, baik dalam jumlah yang
mencukupi serta mutu yang dapat diterima
serta keamanan dari daya rusak.
Ketahanan air adalah ketersediaan air
secara kuantitas dan kualitas untuk
kesehatan, kehidupan, ekosistem dan
produksi, serta tingkat risiko terkait air
yang dapat diterima oleh manusia,
lingkungan, dan ekonomi (Grey dan
Sadoff, 2007 dalam Radhika et al, 2017).
Menurut Khan (2014 dalam Radhika et al,
2017) ketahanan air adalah kemampuan
masyarakat (penduduk) untuk menjaga
akses pada jumlah air yang mencukupi
dan kualitas air yang dapat diterima untuk
keberlanjutan kesehatan manusia dan
ekosistem pada suatu daerah tangkapan,
dan menjamin perlindungan kehidupan
dan harta benda terhadap bencana terkait
air yaitu banjir, tanah longsor, penurunan
tanah, dan kekeringan. Definisi ketahanan
air yang memberikan pengertian sangat
komprehensif disampaikan oleh UN-Water
(2013) dalam Radhika et al, (2017),
ketahanan air (water security) adalah (1)
kemampuan masyarakat untuk menjaga
keberlanjutan dalam pemenuhan
kebutuhan air, baik dalam jumlah yang
mencukupi serta mutu yang dapat
diterima; (2) Pemenuhan kebutuhan air
tersebut dimaksudkan untuk: (a) menjaga
keberlanjutan kehidupan, kesejahteraan
umat manusia, dan perkembangan sosial-
ekonomi; (b) menjamin perlindungan atas
pencemaran air dan bencana terkait air;
(c) melestarikan ekosistem dalam suasana
damai dan kondisi politik yang stabil.
Menurut Alam (2017), ketahanan
air Indonesia masih sangat rendah
dibandingkan dengan negara lain.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
ketahanan air atau daya tampung air yang
dimiliki Indonesia saat ini hanya mencapai
63 meter kubik per kapita per tahun.
Idealnya memiliki daya tamping 1.600
meter kubik per kapita per tahun. Untuk
meningkatkan daya tampung air,
pemerintah akan membangun 65
bendungan baru yang tersebar di
beberapa wilayah. Adanya peningkatan
daya tamping air yang dilakukan akan
meningkatkan ketahanan air nasional, bisa
mencapai 150 meter kubik per kapita per
tahun. Selain itu, adanya bendungan akan
membangkitkan energi ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil pengkajian
Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Asia-
Pacific Water Forum (APWF) tahun 2013,
Indonesia dan 37 negara-negara di Asia-
Pasifik sedang mengalami ketahanan air
yang cukup memprihatinkan (a serious
lack of water security), tanpa tindakan
segera memperbaiki manajemen
sumberdaya air, akan menyebabkan
Indonesia dan banyak di antara negara-
negara tersebut yang dalam waktu dekat
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
41
akan mengalami krisis air (Soim,
2013). Pada dasarnya Indonesia
merupakan negara dengan potensi
sumber air tawar diatas rata-rata global,
tetapi tidak luput dari masalah ketahanan
air nasional (national water security) dan
tentu akan sangat mempengaruhi upaya
pembangunan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Ditambahkan
oleh IWMI, (2015) dalam PPI Delft (2017),
Indonesia masih menempati peringkat 14
dari 28 negara Asia Pasifik dalam hal
Water Security Index, skor 5.82 dari 10
(Low Level) dalam hal Ketahanan Energi
(DEN, 2014 dalam PPI Delft, 2017), dan
peringkat 74 dari 109 negara dalam hal
Ketahanan Pangan (GFSI, 2015 dalam
PPI Delft, 2017). Hal ini membuktikan
bahwa Indonesia masih perlu banyak
berbenah menuju terciptanya ketahanan
Air, Enegi dan Pangan yang berkeadilan
Di sisi lain,sampai saat ini,
produktivitas sawah tadah hujan dan lahan
kering masih rendah, antara lain karena
air tidak tersedia sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Air untuk kebutuhan
tanaman hanya mengandalkan curah
hujan tidak sesuai dengan target yang
ingin dicapai. Akan lebih tidak menentu
lagi dengan adanya perubahan iklim yang
menyebabkan semakin seringnya terjadi
iklim ekstrim yang berakibat terjadinya
banjir dan kekeringan. Tidak tersedianya
air sepanjang tahun pada kawasan sawah
tadah hujan dan lahan kering
menyebabkan lahan tadah hujan dan
lahan kering rendah produktivitasnya.
Padahal Peranan sawah tadah
hujan dan lahan kering sebagai penghasil
bahan pangan hususnya beras sangat
besar baik pada skala nasional maupun
global. Sawah tadah hujan dan lahan
kering sebagai penghasil bahan pangan
sangat strategis baik pada skala nasional
maupun global.Tiga puluh persen tanaman
yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia
berasal dari lahan kering dan lahan
sawah tadah hujan. Dalam system global,
lahan kering menempati hampir 72 % dan
terletak di negara berkembang, dari porsi
tersebut, sekitar 90% menjadi andalan
kehidupan di daerah pedesaan (Smith et
al., 2009 dalam Sutrisno et al., 2012).
Ditambahkan oleh Kasryno et al, (2012),
sekitar 40% lahan pertanian dunia adalah
lahan kering, dengn distribusi sebagai
berikut: terluas berada di Asia sebesar
34,4%, ke dua terluas di Afrika sebesar
24,15% dan di Amerika sebesar 24,03%.
Lahan kering tersebut merupakan sumber
daya yang dimiliki oleh pemerintah secara
nasional, regional, maupun pemerintah
lokal, dan kelompok masyarakat atau
individu (Meinzen-Dick, 2009).
Pada saat ini, luas lahan sawah
tadah hujan dan lahan kering yang
berpotensi dapat ditingkatkan IP nya
sangat luas.Menurut Syahbuddin (2016),
luas sawah tadah hujan dan lahan kering
yang potensial untuk ditingkatkan indeks
pertanamannya, yang posisinya tidak jauh
dari sumber air permukaan (sungai,
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
42
embung dan longstorege) atau yang
ketersediaan air tanahnya dangkal adalah
seluas 4,1 juta ha. Artinya, indeks
pertanaman pada lahan sawah tadah
hujan dan lahan kering seluas 4,1 juta ha
dapat ditingkatkan menjadi 200 atau
bahkan menjadi 300.
Kendala utama dalam
pengembangan lahan tadah hujan dan
lahan kering adalah jaminan ketersediaan
air yang tidak pasti dan terbatas. Oleh
karena itu, sawah tadah hujan hanya
ditanam 1 kali (IP 100) dalam setahun.
Demikian juga tentunya untuk lahan kering
yang ditanami tanaman pangan hanya 1
kali dalam setahun kecuali tanaman
tahunan/pohon. Untuk meningkatkan
indeks pertanaman padi pada sawah
tadah hujan dan tanaman pangan pada
lahan kering, diperlukan adanya tambahan
air untuk irigasi yang dapat menambah air
irigasi sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Artinya peningkatan tampungan air atau
peningkatan ketahanan air untuk irigasi
pada musim kemarau.
Menurut Amron, (2010),
peningkatan ketahanan air yang dilakukan
oleh Kementerian PUPRyaitu membangun
infrastruktur di bidang sumber daya air
yakni bendungan, waduk, jaringan irigasi
dan sistem pengendali banjir.
Ditambahkan oleh Kirmanto (2012),
bahwa dalam rangka membangun ketahan
air nasional yang lebih kuat diperlukan
Program dan Pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya air (SDA) yang disusun
berdasarkan Rencana Pengelolaan SDA,
dan sampai saat ini telah terbangun waduk
dengan total tampungan sebesar 14 miliar
m3 dan sedang dibangun waduk baru
dengan tambahan tampungan sebesar 5,6
miliar m3. Tambahan tampungan tersebut,
antara lain Waduk Jatigede dengan
kapasitas tampung 979,5 juta m3 yang
telah beroperasi penuh pada saat ini.
Waduk Jatibarang dengan kapasitas
tampung 20,4 juta m3 yang telah selesai
pada tahun 2014 dan Waduk Karian
dengan Volume tampungan sebesar
314,70 juta m³, yang direncanakan selesai
tahun 2019. Dani, (2017) menambahkan,
peningkatan ketahanan air lainnya dapat
dilakukan dengan melakukan
pembenahan pengelolaan danau. Sampai
saat ini, di seluruh Indonesia terdapat 840
danau dengan tipologi yang bervariasi dan
total luas seluruh danau mencapai 7.130
kilometer persegi. Tetapi dari 840 danau
yang ada, pemerintah saat ini baru
memprioritaskan pembenahan
pengelolaan 15 danau. Danau yang
diprioritaskan untuk dilakukan
pembenahan yaitu Danau Rawa Pening di
Jawa Tengah, Rawa Danau di Banten,
Danau Batur di Bali, Danau Toba di
Sumatera Utara, Danau Kerinci di Jambi,
Danau Maninjau di Sumatera Barat,
Danau Poso di Sulawesi Tengah, Danau
Cascade Mahakam-Semayang, Danau
Melintang dan Danau Tondano di
Sulawesi Utara, Danau Tempe dan Danau
Matano di Sulawesi Selatan, Danau
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
43
Limboto di Gorontalo, Danau Sentarum di
Kalimantan Barat, Danau Jempang di
Kalimantan Timur, dan Danau Sentani di
Papua. Kebijakan melakukan
pembenahan danau lainnya diperlukan
untuk meningkatkan ketahanan air agar
produksi pertanian menjadi lebih
meningkat lagi.
Untuk melihat kondisi ketahanan
air suatu wilayah sungai, disampaikan
hasil penelitian Radhika et al, (2017) yang
menganalisis ketahanan air wilayah sungai
(WS) Ciliwung-Cisadane, bahwa
ketahanan air WS Cilwung-Cisadane perlu
ditingkatkan agar produksi pertanian
meningkat. Hasil analisis menunjukkan
bahwa WS Ciliwung-Cisadane mempunyai
indeks ketahanan air irigasi pada tingkat
level 2 dengan prosentase antara 60% -
70% dan predikatnya Engaged berarti
buruk. Kesimpulan ini merupakan hasil
resultante dari: Indeks Pemakaian Air
(IPA) irigasi WS Ciliwung-Cisadane dari
debit andalan 80% sudah mencapai angka
44% , dan IPA irigasi dari debit kapasitas
terpasang sebesar 85%. Debit kapasitas
terpasang sudah 53% dari debit andalan
80%, dengan indeks ketersediaan air
perkapita sebesar 150 m3/orang/tahun.
Produksi irigasi perkapita sebesar 0,06
ton/orang/tahun dan untuk produktivitas air
irigasi dari debit andalan 80% sebesar
0,23 kg/m3 dan dari debit kapasitas
terpasang sebesar 0,44 kg/m3 (Radhika et
al, 2017). Perbaikan kebijakan yang harus
dilakukan untuk WS Ciliwung-Cisadane
adalah meningkatkan predikat indeks
ketahanan air irigasi dari predikat Engaged
yang berarti buruk, level 2 menjadi
predikat Capable yang berarti sedang,level
3, dan bahkan kalau memungkinkan
ditingkatkan lebih tinggi lagi predikatnya
menjadi Effective, level 4 yang berarti baik.
Upaya peningkatan IP tanaman
pada lahan sawah tadah hujan melalui
peningkatan ketahanan air, dilakukan
dengan menerapkan pengelolaan air
irigasi melalui implementasi teknologi
irigasi pompa air sungai Way Seputih di
Kabupaten Lampung Tengah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan ketahanan air melalui irigasi
pompa air sungai dapat menigkatkkan IP
tanaman padi sawah tadah hujan dari IP
100 menjadi 200. Dalam implementasinya,
pengelolaan air yang diterapkan adalah
teknologi pemanfaatan air dari Way
Seputih menggunakan pompa irigasi guna
mengangkat air dari sungai dan
mengalirkannya ke lahan yang berada
didekat sisi sungai yang memiliki
ketinggian kurang dari 10 m (Gambar 1).
Spesifikasi pompa ditetapkan memiliki
kapasitas debit antara 15 - 20 l/dt dan
head total 20 m. Target lahan terairi
mencapai luas ± 9 ha. Air dari pompa
didistribusikan ke lahan melalui saluran
terbuka terbuat dari bahan terpal/HDPE
setebal 3 mm yang dibuat membentuk
trapesium. Saluran dilengkapi pintu bagi
dari beton semen.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
44
Dimensi saluran terbuka didesain
dengan mempertimbangkan elevasi lokasi
sumber air dan lokasi lahan target irigasi,
jarak antara titik pengambilan air/sumber
air dan titik outlet air di lahan target irigasi,
kontur lahan antara lokasi sumber air
dengan lokasi target irigasi, debit sumber
air saat musim hujan dan musim kemarau,
luas target irigasi serta kebutuhan volume
irigasi. Untuk memperoleh data dan
infromasi yang dibutuhkan, maka
dilakukan surveI identifikasi lokasi sumber
air dan lokasi target irigasi, serta
identifikasi potensi debit.Desain demfarm
irigasi pada lahan sawah di Desa Bumi
Udik, Kec. Anak Tuha, Kabupaten
Lampung Tengah, Prov. Lampung,
disajikan pada Gambar 2. Debit Way
Seputih hasil pengamatan
dengan current meter pada
kondisi baseflow sebesar 3,061
m3/detik, artinya, air yang
t e r s e d i a t e r s e b u t d a p a t
dimanfaatkan untuk irigasi seluas
lebih dari 2000 ha.
Gambar 1. Irigasi memanfaatkan air Sungai Way Seputih dengan pompa di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung
Gambar 2. Hasil pemetaan lokasi demfarm seluas ± 10 ha dan desain irigasi di Desa Bumi Udik, Kec. Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Prov. Lampung
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
45
Keragaan tanaman menjelang
panen terlihat kurang baik, karena
terserang neckblast, dapat dilihat pada
Gambar 3. Selanjutnya, terjadi serangan
hama burung menyebabkan hasil panen
semakin menurun. Banyaknya serangan
hama yang terjadi karena padi ditanam
pada saat musim kemarau, petani lain
tidak tanam, sehingga hama burung
banyak menyerang ke lokasi demfarm.
Gambar 3. Keragaan tanaman padi sawah menjelang panen di Desa Bumi Udik, Kecama-tan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah
Hasil panen MK II menunjukkan
hasil yang kurang memuaskan karena
banyak serangan hama hususnya
serangan burung pada saat mau panen.
Pengamatan panen dilakukan ubinan
dengan ukuran: 4 m x 2,5 m atau luas
ubinan 10 m2. Hasil pengamatan panen
ubinan pada lahan 3 petani kooperator
disajikan pada Tabel 1. Hasil gabah kering
panen (GKP) tertinggi adalah di lahan
petani kooperator/Sunadi yakni sebesar
5,19 t/ha GKP disusul dengan hasil di
lahan Senen sebesar 2,74 t/ha GKP dan
yang terkecil adalah di lahan Kento yakni
sebesar 1,10 t/ha GKP (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Panen Ubinan Padi IP100 Desa Bumi Udik, Kec. Anak Tuha
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
46
DAFTAR PUSTAKA
Alam. N.N. 2017. Ketahanan Air Indonesia Dinilai Masih Rendah. https://kumparan.com/
angga-sukmawijaya/ketahanan-air-indonesia-dinilai-masih-rendah.
Amron. M. 2010. Ketahanan Air dan Berbagai Tantangan Perubahan Iklim. http://
www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw220710sda.htm.
Asian Development Bank (ADB) dan Asia-Pacific Water Forum (APWF). 2013. Asian Water Development Outlook 2013. Measuring Water Security in Asia and the Pacific. https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/asian-water-development-
outlook-2013.pdf
Dani. 2017. Wujudkan Ketahanan Air, Pengelolaan 15 Danau Jadi Prioritas Nasional. https://economy.okezone.com/read/2017/05/15/320/1690995/wujudkan-ketahanan-
air-pengelolaan-15-danau-jadi-prioritas-nasional.
Hasan. M. 2012. Ketahanan Air dan Pangan. http://sda.pu.go.id/index.php/berita-sda/datin-
sda/item/85-ketahanan-air-dan-pangan.
Kasryno. F, Haryono. S. 2012. Pertanian Lahan Kering sebagai Solusi untuk Mewujudkan Kemandirian Pangan Msa Depan. Buku: prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Ed. A. Dariah, B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradis-astra, M. Sarwani, Haryono. S, E. Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengemban-
gan Pertanian.
Kirmanto. D. 2012. Menteri PU Dorong Perguruan Tinggi Sikapi Ketahanan Air. http://sda.pu.go.id/index.php/berita-sda/pu-net/item/161-menteri-pu-dorong-pt-sikapi-
masalah-ketahanan-air.
PPI Delft. 2017. Pembangunan Ketahanan Air, Energi dan Pangan (AEP) Nasional Berbasis Lokal dengan Pendekatan ‘Nexus’ & Model Sistem Dinamik. http://ppibelanda.org/kopi-delft-pembangunan-ketahanan-air-energi-dan-pangan-aep-nasional-berbasis-
lokal-dengan-pendekatan-nexus-model-sistem-dinamik/.
Meinzen-Dick, R. & Mwangi, E. 2009 Cutting theweb of interests: pitfalls of formalizing prop-
erty rights.Land Use Pol. 26, 36–43. (doi:10.1016/j.landusepol.2007.06.003).
Rhadika. Nk; Firmnansyah. R; Hatmoko. W. 2017. Konsep Indikator Ketahanan Air Irigasi. Puslitbang Sumberdaya Air. Kementerian PUPR. INACID. ICID. CIID ttps://
www.researchgate.net/publication/315486393.
Sutrisno. N; A. Dariah; E. Pasandaran. 2012. Memperkuat Kemampuan Pertanian Lahan Kering dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Buku: Propek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Editor: A. Dariah; B. Kartiwa; N. Sutrisno; K. Suradisastra; M. Sarwani; Haryono.S; E. Pasandaran. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Syahbuddin. H. 2016. Identifikasi Lokasi dan Pemanfaatan Air Permukaan untuk Menganti-sipasi Iklim Ekstrim dan Meningkatkan Intensitas Pertanaman. Laporan Ahir Tahun
2016. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 14 2017 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
47
UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu), berisi penghargaan singkat kepada pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).
PUSTAKA disusun menurut abjad dan diberi nomor urut. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas nama penulis, tahun, judul, halaman, dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut: Untuk Artikel di dalam buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh:
Ginting, Z., K. Romimohtarto, S. Hadi , dan S. Saimima. 2004 Prediksi perkembangan iklim di Indonesia Tahun 2004, hal. 135-185. Dalam H. Djojodihardjo et al. (red.). Strategi Antisipasi Dampak Perubahan Iklim, Bogor, 21-23 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor.
Untuk Terbitan Berkala: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman. Contoh:
Yates, A. W., Jr., J. R. Boyle, and D. R. Duran. 2004. Improving water use efficiency in the rainfed farming systems. J. Agric. Science. 72(4): 519-522.
Untuk buku: Nama(-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi, nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh:
Su, J. 2004. Forecasting and time series analysis, vol I. Edwards, Ann Arbor, Michigan, 345pp.
PERSIAPAN TULISAN. Persiapan Tulisan. Naskah diketik dua spasi pada kertas ukuran A4 , satu muka, tipe huruf baku ukuran 12 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel, gambar, dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3cm atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.
Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana halnya lampiran. Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu). Judul gambar terletak di bawah gambar yang bersangkutan Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggeris). Besaran ditulis menurut Standar Internasional, bukan besaran lokal (e.g., kuintal, are) dan mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (misalnya: g, l, kg, bukan gr. Ltr, atau Kg). Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angkadengan posisi agak naik (superscript). Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini: Microsoft Excel dan Corel Draw. Foto hendaknya kontras, tajam, dan jelas.
Penyerahan File Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar
menyerahkan file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) file
diserahkan ke bagian Jasa Penelitian Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi jl.
Tentara Pelajar No. 1 A Cimanggu Bogor 16111.