case amy pph
DESCRIPTION
pphTRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
A. DATA DASAR
1. Karakteristik Penderita
Data Pasien
Nama : Ny. K
Umur : 35 tahun
Alamat : Tranjang, Siman
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Data Suami Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 50 tahun
Alamat : Tranjang, Siman
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Kawin
Jumlah Perkawinan : 1 kali
Umur Pertama Kawin : 15 tahun
No. RM : 30xxxx
Tanggal Masuk RS : 24 Desember 2013 pukul 22.45 WIB
Bangsal : Melati
2. Keluhan Utama
Pasien rujukan dari bidan dengan perdarahan post partum.
3. Riwayat
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari bidan datang ke ruang VK Melati RSUD
Dr.Hardjono Ponorogo pada pukul 22.45, datang dengan perdarahan
pasca melahirkan. Pasien baru saja melahirkan bayi laki-laki dengan
berat badan lahir 3300 gram di bidan pada pukul 19.45.
b. Riwayat Obstetri
PIII A0
♂ lahir tahun 1996, spontan
♂ lahir tahun 2006, spontan
♂ lahir tahun 2013, spontan BB 3300 gram
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis (24 Desember 2013)
Keadaan umun : lemah
Kesadaran : somnolen
Berat badan : -
Tinggi badan : -
Vital sign :
Tekanan darah: 60 mmHg (palpasi)
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Respirasi : 36 x/menit
Kepala : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Leher : dalam batas normal
Thorax :
Pulmo : dalam batas normal
Cor : dalam batas normal
Mammae : tidak ada kelainan
Abdomen : pemeriksaan obstetri
Ekstremitas : edema - - , akral dingin + +
- - + +
2. Pemeriksaan Obstetri
a. Pemeriksaan Luar (24 Desember 2013)
Inspeksi : dinding perut < dinding dada, striae
(-), hipervenektasi (-), sikatriks (+)
Palpasi : kontraksi uterus (-), TFU tidak teraba
b. Pemeriksaan Dalam : V/V = perdarahan (+++), laserasi grade II. V/U =
portio pembukaan 5 cm
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HASIL RANGE
WBC 15.4 x 10^3/μl 4.0 - 10.0
Lymph# 2.5 x 10^3/μl 0.8 – 4.0
Mid# 0.7 x 10^3/μL 0.1 – 0.9
Gran# 12.2 x 10^3/μl 2.0 – 7.0
Lymph% 16.3 % 20.0 - 40.0
Mid% 4.4 % 3.0 – 9.0
Gran% 79.3 % 50.0 – 70.0
Hb 4.3 g/dL 11.0 – 16.5
RBC 1.65 x 10^6/μL 3.50 -5.50
HCT 12.8 % 37.0 – 50.0
MCV 77.8 fL 82.0 – 95.0
MCH 26.0 pg 27.0 – 31.0
MCHC 33.5 g/dL 32.0 – 36.0
RDW-CV 15.8 % 11.5 – 14.5
RDW-SD 47.8 fL 35.0 – 56.0
PLT 115 x 10^3/μL 100 – 300
MPV 7.4 fL 7.0 – 11.0
PDW 17.1 15.0 – 17.0
PCT 0.085 % 0.108 – 0.282
D. DAFTAR IDENTIFIKASI MASALAH
1. Anamnesis
- Pasien baru melahirkan ± 3 jam sebelumnya di bidan secara spontan,
dengan BB bayi yang dilahirkan 3300 gram
- Perdarahan pervaginam setelah melahirkan bayi secara spontan.
2. Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis (+/+)
- Pada inspeksi abdomen didapatkan dinding perut < dinding dada
- Pada palpasi abdomen didapatkan kontraksi uterus (-), TFU tidak
teraba
- Pemeriksaan Dalam : V/V : perdarahan (+++), laserasi grade II, portio
pembukan 5 cm
E. DIAGNOSIS
Multipara ( P3A0) dengan perdarahan postpartum
F. RENCANA TERAPI
- Rehidrasi grojog infus RL kanan-kiri
- Transfusi whole blood 6 kolf
- O2 2 L/menit
- Pasang DC
- Inj. Metergin iv
- Inj. Dopamine (dosis 2 – 20 μg/KgBB/menit)
- Inj. Furosemid
- Inf. Drip oxytosin 2 amp
- Cytotec 4 tab per rectal
- Kompresi bimanual internal/ekternal pasang tampon balon kateter
- Hysterectomy
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERDARAHAN PASCA PERSALINAN
1. Definisi
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal
dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan
sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus (Prawirohardjo, 2009).
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau
lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000).
Perdarahan pasca persalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang
hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu jatuh ke dalam
syok, atau suatu perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus
menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan
menjadi banyak yang mengakibatkan ibu menjadi lemas dan jatuh dalam
syok (Mochtar, 1995).
2. Etiologi
Penyebab perdarahan pasca persalinan antara lain :
a. Atonia uteri (50%-60%)
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu mnutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
b. Robekan jalan lahir (4%-5%)
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu
dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan servik
belum lengkap.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy,
robekan perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinea
totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, foniks
uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang
terberat ruptur uteri (Prawirohardjo, 2009)
c. Retensio Plasenta (16%-17%)
Reteniso plasenta adalah keadaan dimana plasenta tertinggal dalam
uterus setengah jam setelah anak lahir. Plasenta yang sukar
dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan
adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar,
atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya
kotiledon yang tidak lengkap pada saat pemeriksaan plasenta dan
masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat
kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan larir sudah terjahit
(Prawirohardjo, 2009).
d. Inversi Uterus
Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus
(endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri ekternum, yang
dapat bersifat inkomplit dampai komplit (Prawirohardjo, 2009).
3. Klasifikasi Perdarahan Pasca Persalinan
Klasifikasi klinis perdarahan pasca persalinan yaitu (Manuaba,
1998):
a. Perdarahan Pasca Persalinan Primer yaitu perdarahan pasca
persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab
utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio
uteri. Sering terjadi umumnya pada 2 jam pertama.
b. Perdarahan Pasca Persalinan Sekunder yaitu perdarahan pasca
persalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran.
Perdarahan pasca persalinan sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
4. Gejala Klinik Perdarahan Pasca Persalinan
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala
baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa
perdarahan pervaginam yang terus menerus setelah bayi lahir. Kehilangan
banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita
pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas
dingin dan lain-lain ( Wiknjosastro, 2005).
5. Diagnosis Perdarahan Pasca Persalinan
Diagnosis perdarahan pasca persalinan pada umumnya tidak sukar,
yaitu :
a. Terjadi perdarahan segera setelah bayi lahir: sebelum plasenta lahir
atau sesudah plasenta lahir.
b. Keluar pada umumnya mendadak, tanpa disadari.
c. Dapat diikuti dengan menurunnya kesadaran.
d. Dapat dikuti dengan perubahan system kardiovaskular.
Banyaknya perdarahan mempengaruhi timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi, nafas cepat, pucat, akral dingin,sampai terjadi syok.
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan
pasca persalinan:
a. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
b. Memeriksa plasenta dan ketuban: lengkap atau tidak.
c. Eksplorasi kavum uteri: untuk mencari sisa plasenta dan ketuban,
robekan rahim, dan plasenta succenturiata.
d. Inspekulo: melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
e. Pemeriksaan laboratorium: waktu perdarahan, hemoglobin, clot
observation test, dan lain-lain.
Diagnosis Perdarahan Postpartum (Saifuddin et al, 2006)
6. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan
Penanganan pada perdarahan pasca persalinan terdapat dua agian
sebagai berikut:
Gejala dan tanda yang selalu ada Tanda dan gejala yang kadang ada
Diagnosis Kemungkinan
Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir
Syok Atonia Uteri
perdarahan segera, setelah bayi lahir darah segar yang mengalir uterus kontraksi baik plasenta langkap
pucatlemahmenggigil
Laserasi Jalan Lahir
plasenta belum lahir setelah 30 menit perdarahan segera uterus kontraksi baik
tali pusat putus akibat traksi berlebihan
Inversio Uteri akibat tarikan
Perdarahan lanjutan
Retensio Plasenta
Plasenta/sebagian selaput tidak lengkap (mengandung pembuluh darah)
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang
Sisa Plasenta
Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Tampak tali pusat (jika plasenta
belum lahir) Perdarahan segera Nyeri sedikit atau berat
Syok neurogenikPucat dan limbung
Inversio Uteri
Perdarahan segera ( perdarahan intraabdominal/vaginum)
Nyeri perut berat
SyokNyeri tekan perutDenyut nadi cepat
Ruptur Uteri
a. Suportif, yaitu perbaikan keadaan umum, penambahan cairan dan
darah serta komponen-komponennya.
b. Kausatif, yaitu dengan melakukan identifikasi penyebab perdarahan
dan usaha untuk menghentikannya.
Ada beberapa cara untuk menghentikan perdarahan yaitu:
a. Pemberian uteritonika dengan oksitosin, metal ergometrin atau
prostaglandin.
b. Hemostasis secara mekanis dengan manual plasenta, kuret sisa
plasenta, kompresi manual atau packing.
c. Pembedahan, yaitu penjahitan laserasi, ligasi pembuluh darah atau
dilakukan histerektomi.
Tujuan utama penanganan perdarahan pasca persalinan adalah:
a. Mengembalikan volume darah dan mempertahankan oksigenasi.
b. Menghentikan perdarahan dengan menangani penyebab perdarahan
pasca persalinan.
Idealnya stabilisasi dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan
definitif dikerjakan, tetapi hal ini terkadang tidak mungkin dikerjakan
sendiri-sendiri melainkan seringkali dikerjakan perbaikan keadaan umum
(resusitasi) sambil dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan
tersebut.
Pada saat awal resusitasi cairan juga diambil sampel darahnya
untuk diperiksakan laboratorium sederhana dahulu, yaitu kadar
hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, faal pembeku darah atau
dikerjakan pemeriksaan waktu pembekuan darah dan waktu perdarahan
secara langsung.
7. Prognosis
Menurut Hakimi (2010), kematian karena perdarahan pasca
persalinan akibat terus menerus terjadi perdarahan yang jumlahnya
kadang-kadang tidak menimbulkan kecurigaan. Yang menimbulkan
kematian bukanlah perdarahan yang sekaligus dalam jumlah yang banyak
tetapi justru perdarahan terus menerus yang terjadi sedikit demi sedikit.
Interval rata-rata antara kelahiran dan kematian adalah 5 jam 20 menit.
Kenyataan ini menunjukkan adanya cukup waktu untuk melangsungkan
terapi yang efektif jika pasiennya selalu diamati dengan seksama,
diagnosis dibuat secara dini, dan tindakan yang tepat segera dikerjakan.
B. ATONIA UTERI
1. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2009).
Sedangkan menurut Hakimi (2010), perdarahan pasca persalinan bisa
dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometriu. Kontraksi
dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga
aliran darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat
gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri. Atonia uteri merupakan
penyebab tersering perdarahan pasca persalinan, sekurang-kurangnya 2/3 dari
semua perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri (Depkes RI,
2007).
2. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri menurut Nelson (2006)
adalah:
a. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemelli, polihidramnion,
atau anak terlalu besar (BB > 4000 gram).
b. Kehamilan lewat waktu.
c. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
d. Kehamilan grande-multipara.
e. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium Sulfat)
f. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau solution plasenta)
g. Riwayat perdarahan pasca persalinan.
h. Obesitas.
i. Umur > 35 tahun.
j. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita
penyakit menahun.
k. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
l. Infeksi intrauterine (korioamnionitis).
m. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
n. Tindakan operasu dengan anestesi terlalu dalam.
Jika seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang
berisiko ini, maka penting bagi penolong persalinan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya atonia uteri pasca persalinan. Meskipun demikian,
20% atonia uteri pasca persalinan dapat terjadi pada ibu tanpa faktor-faktor
risiko ini. Penting bagi semua penolong persalinan untuk mempersiapkan diri
dalam melakukan penatalaksanaan awal terhadap masalah yang mungkin
terjadi selama proses persalinan (Depkes RI, 2007).
3. Etiologi
a. Disfungsi uterus: atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik
uterus.
b. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala
III dengan dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan
pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.
c. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi
miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi
menyebabkan atonia uteri dan perdarahan pasca persalinan.
d. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang
kemungkinan besar akan diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi
miometrium jika dalam kala III.
e. Overdistensi uterus: uterus yang mengalami distensi secara berlebihan
akibat keadaan bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion,
cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek.
f. Kelemahan akibat partus lama: bukan hanya rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang
keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan darah.
g. Grande-multipara: uterus yang lemah banyak melahirkan anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
h. Mioma uteri: dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu
kontraksi dan retraksi miometrium uteri.
4. Pencegahan
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pasca persalinan lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi
kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah (Schuurmans et al, 2000).
Manajemen aktif kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan
untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus
dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan dengan menghindari atonia
uteri. Atonia uteri dapat dicegah dengan manajemen aktif kala III, yaitu:
a. Memberikan oxitisin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir.
b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali.
c. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap
berkontraksi.
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan
bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada
darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi
masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi
pemberian darah pengganti (Prawirohardjo, 2009).
6. Penatalaksanaan
Menurut Kartaka yang dikutip Prawirohardjo (2009), banyaknya darah
yang hilang mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan
sadar, sedikit anemis, atau syok hipovolemik berat. Perdarahan yang lebih dari
1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20%-25% volume darah) akan
menimbulkan gangguan vascular hingga terjadi syok hemoragik sehingga
transfusi darah diperlukan. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila
pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line dan memberikan oksigen.
b. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
1) Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
2) Pemberian obat uterotonika.
a) Oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara im, iv,
atau sc.
b) Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost
tromethamine) yang kadang memberikan efek samping berupa
diare, hipertensi, mual, muntah, febris, dan takikardi.
c) Pemberian misoprostol (800-1000 μg) per rektal.
3) Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
4) Kompresi aorta abdominalis.
5) Pemasangan tampon kondom.
Pada tahun 2003, Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif
baru dengan pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter.
Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%,
kondom dapat dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan
komplikasi yang berat. Cara ini kemudian disebut dengan Metode
Sayeba. Cara pemasangannya adalah secara aseptic kondom yang
telah diikatkan pada kateter dimasukkan dalam kavum uteri.
Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc
sesuai kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian
kondom dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang. Untuk
menjaga kondom agar tetap di kavum uteri, dipasang tampon kasa
gulung di vagina.
Bila penanganan dengan tindakan non operatif tidak berhasil, baru
dilakukan penanganan secara operatif (laparotomi dengan pilihan bedah
konservatif / mempertahankan uterus atau melakukan histerektomi), yaitu
a. Laparotomi pemakaian metode B-Lynch
b. Ligasi arteri uterin, arteri hipogastrika (iliaka interna)
Bila dengan cara ini belum berhasil menghentikan perdarahan,
dilakukan:
a. Histerektomi supravaginal
b. Histerektomi total abdominal
C. SYOK HIPOVOLEMIK
1. Definisi
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa
organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat
pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering syok hipovolemik merupakan
akibat dari kehilangan darah yang cepat (syok kardiogenik).
2. Patofisiologi
Aliran darah kapiler pada berbagai organ dikendalikan arteriol, dan
setelah kembali ke pembuluh darah besar sebagian dikontrol oleh sistem saraf
pusat. Setidaknya 70 persen dari total volume darah berada di dalam
pembuluh darah vena, dimana pembuluh darah resisten secara pasif dikontrol
oleh faktor humoral. Pelepasan katekolamin selama perdarahan menyebabkan
secara umum penebalan pada vena, yang menyebabkan autotranfusion dari
kapasitansi reservoir. Perubahan ini diikuti dengan kompensasi peningkatan
detak jantung, resistensi sistemik dan vaskular pulmonal dan kontraktilitas
miokard. Sebagai akibatnya ada redistribusi dari curah jantung dan volume
darah selektif yang berakibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Hal ini
mengakibatkan penurunan perfusi pada ginjal, kulit, uterus, tetapi aliran darah
ke jantung, otak , kelenjar adrenal relative dipertahankan ( Williams, 2010 ).
Pada saat kehilangan darah melebihi 25 persen, mekanisme
kompensasi biasanya kurang adekuat untuk menjaga curah jantung dan
tekanan darah. Pada titik ini jika ada kehilangan sedikit darah saja akan
memperburuk keadaan klinis secara cepat. Meskipun ada peningkatan dari
total oxygen estraction oleh jaringan maternal, tetapi maldistribusi aliran
darah akan menyebabkan jaringan lokal hipoksia dan asidosis metabolik,
sehingga akan menyebabkan vasokontriksi, iskemik organ dan kematian sel.
3. Gambaran Klinis
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat
ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan
pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus
berlangsung maka tubuh tidak dapat mengkompensasinya dan menimbulkan
gejala-gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala
peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang
lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas yang
dingin dan pengisian kapiler yang lambat (Guyton, 2010).
4. Klasifikasi Syok
Stadium syok dibagi berdasarkan presentase kehilangan darah, yaitu :
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-
tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal.
Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada
kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama
terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika
ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan
syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan
sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit (Udeani et
al, 2013).
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus
memperhatikan prinsip-prinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi
jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan
selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan
yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan
sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan
secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan
yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan
selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat
membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi
pasien trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang
terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kearah kiri agar kehamilannya
tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh fungsi
sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi
karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru (Kolecki et al, 2013).
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya
harus dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang
digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian
awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau
sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika
terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus
dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan
volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi cairan
koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika
tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan
pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien multipara rujukan dari bidan, datang dengan perdarahan pasca
melahirkan. Pasien baru saja melahirkan bayi laki-laki dengan berat badan lahir
3300 gram di bidan kurang lebih 3 jam sebelumnya.
Riwayat menikah 20 tahun, pertama kali menikah usia 15 tahun. Anak
pertama laki-laki, lahir spontan tahun 1996, anak kedua laki-laki, lahir spontan
tahun 2006, dan anak ketiga laki-laki, lahir spontan BBL 3300 gram tahun 2013.
Keadaan umum pasien lemah, kesadaran somnolen. Vital sign didapatkan TD: 60
mmHg (palpasi), nadi 80 x/menit, pernapasan 36 x/menit. Dari pemeriksaan fisik
di bagian mata ditemukan adanya konjuntivitas anemis (+/+), dan ekstremitas
dingin. Dari pemeriksaan obstetrik didapatkan kontraksi uterus (-) dan TFU tidak
teraba. Pada pemeriksaan dalam V/U: portio pembukaan 5, V/V: perdarahan (++
+) dan laserasi grade II. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Hb
(4.3 g/dL), hematokrit, dan sel darah merah.
Diagnosis kerja kasus ini adalah multipara dengan perdarahan pasca
persalinan. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan
merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan pervaginam
500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir).
Diagnosis perdarahan pasca persalinan dapat diketahui dari adanya
perdarahan segera setelah bayi lahir, dapat diikuti dengan penurunan kesadaran
dan perubahan system kardiovaskular, seperti penurunan tekanan darah, takikardi,
nafas cepat, pucat, akral dingin sampai terjadi syok. Langkah-langkah sistematik
untuk mendiagnosisi perdarahan pasca persalinan antara lain, palpasi uterus,
memeriksa plasenta dan ketuban, eksplorasi kavum uteri, inspekulo, dan
pemeriksaan laboratorium.
Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan ada beberapa yaitu
atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta dan inversio uterus. Atonia uteri
merupakan penyebab tersering perdarahan pasca persalinan. Sekurang-kurangnya
2/3 dari semua perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.
Diagnosis atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa
pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian
darah pengganti. Banyaknya darah yang hilang mempengaruhi keadaan pasien.
Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau syok hipovolemik
berat. Perdarahan yang lebih dari 1000 ml atau bahkan lebih dari 1500 ml (20%-
25% volume darah) akan menimbulkan gangguan vaskular hingga terjadi syok
hemoragik sehingga transfusi darah diperlukan.
Pada umumnya penatalaksanaan pasien yang sudah terjadi syok dilakukan
secara simultan yaitu: sikap Trandelenburg; sekaligus merangsang kontraksi
uterus dengan cara masase fundus uteri, pemberian obat uterotonika, kompresi
bimanual (KBI/KBE), kompresi aorta abdominalis, dan menggunakan tampon
kondom kateter. Bila penanganan non-operatif tidak berhasil maka baru dilakukan
tindakan operatif (laparotomi dengan mempertahankan uterus atau histerektomi).
Pada pasien ini kondisinya sudah buruk dengan Hb 4,3 g/dL, TD: 60
mmHg, kesadaran somnolen, akral dingin, pernafasan cepat. Hal ini menunjukkan
pasien sudah mengalami syok. Hal ini dikarenakan kehilangan darah dan
berkurangnya cairan di dalam tubuh pasien, sehingga akan mengganggu curah
jantung dengan mengurangi aliran balik vena ke jantung. Bila kehilangan cairan
500 mL (ringan) aktivitas respon simpatis umumnya akan cukup memadai untuk
memulihkan curah jantung dan tekanan darah hingga hampir mendekati normal,
meskipun denyut jantung masih tetap lebih cepat. Tetapi apabila kehilangan cairan
lebih berat ( > 1000 ml ) maka vasokontriksi simpatis dan vasokontriksi yang
diperantarai angiotensin II juga meningkat. Darah dipirai dari ginjal, saluran
cerna, otot dan kulit, sedangkan aliran darah menuju jantung dan otak relatif
dipertahankan. Pada pasien ini dilakukan histerektomi dengan pertimbangan
pasien sudah mempunyai 3 anak (multipara), kehilangan banyak darah dan cairan
dan sudah menunjukkan tanda syok, sedangkan perdarahan yang terjadi masih
berlangsung atau belum berhenti.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan
sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan pasca
persalinan adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala
III selesai (setelah plasenta lahir).
2. Etiologi perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri, robekan jalan
lahir, retensio plasenta dan inversio uterus, dimana yang paling sering
menjadi penyebab perdarahan pasca persalinan adalah atonia uteri.
3. Atonia uteri diagnosisnya ditegakkan bila setelah bayi lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lembek.
4. Perdarahan pasca persalinan dapat menyebabkan pasien syok
hipovolemik. Tanda-tandanya antara lain penurunan tekanan darah,
takikardi, pernafasan cepat, pucat, dan akral dingin.
5. Pada umumnya penatalaksanaan pasien yang sudah terjadi syok
dilakukan secara simultan yaitu: sikap Trandelenburg; sekaligus
merangsang kontraksi uterus dengan cara masase fundus uteri,
pemberian obat uterotonika, kompresi bimanual (KBI/KBE), kompresi
aorta abdominalis, dan menggunakan tampon kondom kateter. Bila
penanganan non-operatif tidak berhasil maka baru dilakukan tindakan
operatif (laparotomi dengan mempertahankan uterus atau histerektomi).
B. Saran
1. Ibu hamil sebaiknya rajin melakukan ANC.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
Guyton A., Hall, J. 2010. Circulatory shock and physiology og its
treatment (chapter 24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Philadelphia, Pensylvania: Saunders
Hakimi, M. 2010. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi persalinan. Edk 1.
ANDI; YEM: Yogyakarta
Kolecki, P., Menckhoff C. R., Dire, D. J., Talavera, F., Kazzi, A. A.,
Halamka, J. D., et al. 2013. Hypovolemic shock treatment and
management.
Leveno, K. J., Cunningham, F. G., Gant, n. F., Alexander, J.
M., Bloom. S. L., Casey, B. M., Dashe, J. S., Sheffield,
J. S., Yost, n. P., 2004. Obstetri Williams. Jakarta: EGC
Mochtar, R. 1995. Perdarahan Postpartum, Sinopsis Obstetri, Jilid I Edisi
2,. Jakarta: EGC
Nelson GS, Birch C. Compression jahitans for uterine atony and
hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet
2006;92:248–250.
Saifuddin A. B. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, edisi ke-1. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 2006.
Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention
and Management of postpartum Haemorrhage, No. 88.
Udeani, J., Kaplan, L. J., Talavera, F., Sheridan, R. L., Rice, T. D., Geibel,
J. 2013. Hemorhagic Shock.
Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta 2009.
Wiknjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, Jakarta, 2007.