cerita rakyt 3
TRANSCRIPT
Pembelajaran Cerita Rakyat
PENANAMAN NILAI-NILAI KERARIFAN LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT
Oleh A. Totok Priyadi
1. Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik
masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Cerita rakyat merupakan buah pikiran warisan leluhur bangsa mengandung
bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai
gagasan dan penuh nilai (makna) yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. (Hutama, 1991;
Danandjaya,1984; Rusyana, 1975;1978;2000).
Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan daerah sangat beragam jenis dan isinya.
Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral, gagasan, cita-cita, dan
pedoman hidup masyarakat pada masa lampau baik tentang manusia sebagai pribadi maupun
manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Jadi bagaimana para
leluhur zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya dapat terproyeksikan dalam cerita
rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam cerita rakyat terkandung kearifan lokal masyarakat
pemiliknya.
Sebagai warisan atau peninggalan leluhur atau nenek moyang, kearifan lokal adalah
kekayaan budaya dan tradisi besar yang tidak saja harus dipertahankan atau dilestarikan tetapi
sudah sepantasnya dihargai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (Alqadrie, 2009:3).
Lebih lanjut Alqadrie (2009:3) mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dihargai dan
dilaksanakan bukan saja oleh masyarakat setempat pemilik budaya tetapi juga oleh masyarakat
pendatang dan pemerintah daerah di mana kearifan lokal berada. Kearifan lokal menurut Haba
(2006) mengacu kepada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuhkembang dalam masyarakat,
dikenal, dan dipercayai serta diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal
kohesi sosial di antara warga masyarakat. Dengan melaksanakannya secara konsisten berarti
bahwa anggota masyarakat dan pemerintah menghargai dan melestarikan kearifan lokal yang
menjadi tradisi dan warisan serta kekayaan budaya masyarakat.
Priyadi (2010) menambahkan bahwa dalam kearifan lokal termuat juga Sistem
Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL) atau sistem pengetahuan asli atau sistem
pengetaahuan adat atau sistem pengetahuan tradisional. SPTL dapat dipahami sebagai
seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau teritori
tertentu dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sasaran yang diciptakan untuk digunakan
untuk menopang kehidupan sehari-hari (Adimihardja, 2008:2).
Menurut Abdullah (2008:7) kearifan lokal atau local wisdom haruslah dipahami sebagai
basis sosial yang memiliki kekuatan penggerak dalam berbagai hal termasuk dinamika konflik
yang tidak usai-usai, mengoptimalkan potensi kearifan lokal sebagai alternatif solusi merupakan
bagian dari pendekatan budaya dalam mengatasi konflik. Dalam pandangan Haba (2007:334-
335) kearifan lokal mempunyai enam fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah
komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan.
Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down) tetapi sebuah unsur
kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu daya ikatnya lebih mengena dan
bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam,
kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus
sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir
bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran
bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.
Dalam cerita rakyat terdapat kearifan lokal masyarakat. Beberapa contoh cerita yang
memuat kearifan lokal masyarakat misalnya cerita “Rumput Kalanjana” dari Jawa Timur.
Dikisahkan Raja Brawijaya mencari putrinya yang menghilang ke desa Maja. Ia tak berhasil
menemukan putrinya tersebut. Oleh karena itu, Raja Brawijaya meninggalkan tempat tersebut.
Apa yang terjadi? Setelah Raja Brawijaya meninggalkan tempat itu terlihat ada sesuatu yang
terbakar (kobong/bahasa Jawa). Maka tempat itu dinamakan Gunung Kobong . Di tempat itu
tumbuh rumput kalanjana yang mempunyai khasiat memberikan kekuatan dan dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itu sampai sekarang ada kepercayaan bahwa rumput
kalanjana dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat
ditemukan cerita berjudul Abakng Balungkur. Cerita ini mengisahkan sepasang suami istri yang
iri kepada tetangganya karena hasil ladangnya selalu jelek. Karena itu Abakng Balungkur
mengasah parang dan hendak membunuh Jubata (Tuhan). Ia berjalan naik gunung turun gunung,
masuk hutan ke luar hutan, mencari rumah Jubata dan bila telah bertemu ingin dibunuhnya. Ia
terus berjalan tetapi tidak pernah bisa menemukan Jubata hingga ia kesasar ke suatu rumah orang
yang telah tua. (yang sebenarnya rumah itu rumah Jubata) Oleh orang tua tadi Abakng
Balungkur disuruh pulang ke rumahnya karena sampai kapanpun ia tidak akan bisa menemukan
Jubata. Abakng Balungkur tidak mau dan nekat ingin mencari Jubata.
Oleh orang tua tadi, Abakng Balungkur diajak ke ladang untuk mengadakan upacara
membuka ladang. Seekor ayam dipotong dan orang tua tadi berdoa kepada Jubata agar ladangnya
subur dan mengasilkan padi berlimpah. Orang tua tadi juga mengusir setan yang mengganggu.
Orang tua tadi juga mengajak Abakng Balungkur mendengarkan suara burung Tingkakok untuk
menentukan ladang yang bagus.
Selesai mengadakan upacara membuka ladang, Abakng Balungkur diajak pulang ke
rumah orang tua tadi. Istri orang tua itu disuruh masak dan membuat oleh-oleh untuk keluarga
Abakng Balungkur. Maka pulanglah Abakng Balungkur. . Sesampainya di rumah ia dan istrinya
membuka oleh-oleh yang diberikan orang tua tadi, ternyata ada daging ayam sebelah, beras padi,
dan beras ketan. Ia dan istrinya langsung memakan oleh-oleh tersebut. Setelah selesai makan
tiba-tiba teringatlah Balungkur tentang acara selamatan yang ia lakukan bersama orang tua tadi.
Segera ia pergi ke ladangnya dan di sana ia melihat masih ada api yang menyala dan ayam bakar
yang masih membara. Maka tersadarlah dia, ternyata acara yang mereka lakukan tadi adalah di
ladangnya sendiri. Dari cerita ini diperoleh kearifan lokal berupa Sistem Pengetahuan dan
Teknologi Lokal (SPTL) yakni bagaimana orang Dayak Kanayatn membuka ladang.
2.Tujuan Pembelajaran Sastra
Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan. Sastra lisan adalah bagian dari Sastra
Indonesia. Pendidikan sastra memupuk kecerdasan siswa hampir dalam semua aspek. Peran guru
berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Guru sebagai yang digugu dan ditiru harus
dapat mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan mempersiapkan
diri menatap masa depan. Guru adalah panutan bagi anak didiknya. Guru harus tahu bagaimana
menempatkan dirinya di tengah-tengah anak didik dan masyarakat. Contoh yang salah akan
membawa pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak didik (Baedhowi. 2008:8).
Lebih lanjut Baedhowi (2008:8) mengatakan bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan
untuk penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat mengembangkan anak
didik dengan penanaman nilai-nilai. Melalui apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan,
penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ) anak dapat dilatih. Latihan yang dapat
dilakukan misalnya dengan mencari unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (termasuk cerita
rakyat ) seperti tema, amanat, penokohan, latar, alur, dan pusat pengisahan.
Baedhowi (2008:9) juga mengatakan bahwa di samping melatih IQ anak, kegiatan
apresiasi sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional
adalah bagaimana siswa tangguh dan berinisiatif serta optimis dalam menghadapi persoalan
hidup. Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat (Damono, 1984, 2000; Teeuw, 1984;
Luxemburg, 1984), maka siswa dapat mempelajari kehidupan yang ditampilkan dalam karya
sastra, termasuk dari cerita rakyat. Secara kreatif siswa akan mengenal watak-watak tokoh dalam
karya sastra. Watak tokoh dalam cerita itu secara kreatif dipelajari anak didik. Mereka akan
meniru watak tokoh yang mereka senangi dan akan menolak tokoh-tokoh yang tidak
disenanginya. Bertambah banyak mereka diperkenalkan dengan karya sastra termasuk cerita-
cerita rakyat, mereka akan mengenal bermacam-macam kehidupan beserta latar dan watak
tokohnya.
Rahmanto (1988:Moody: 1971) mengatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki
beberapa tujuan yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan
budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak.
Mengingat apresiasi sastra dapat membantu keterampilan berbahasa dan meningkatkan
pengetahuan budaya maka Littlewood (1987:178-183; Nugraha, 2009) dalam artikelnya yang
berjudul “Literature in the School Foreign Language Course” mengajukan lima perspektif
berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:
1. Pada perpektif paling awal karya sastra menyediakan struktur kebahasaan. Hal ini
sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa khususnya membaca
pemahaman yang disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.
2. Pada perpektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang berbeda dari
bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan sebagai sarana
pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh karya
sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan, dialog, dan ragam
naratif dalam teksnya.
3. Perpektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji dari segi
babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan pengarang dalam
karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini pembelajar dihadapkan pada “dunia”
kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia kreasi itu, pembelajar akan
diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas konteks kebahasaan, sekaligus
dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia nyata, termasuk di dalamnya
pemakaian bahasanya.
4. Perpektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar apabila
dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga perpektif
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perpeektif ini pembelajar dituntun
ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai ekspresi kebahasaan
yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula diskusi dalam bahasa
target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan logika bernalar yang
dimiliki oleh pembelajar.
5. Perpektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang sekiranya
dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang historis
dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan pembelajaraan.
Pada perpektif ini siswa/mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan
pemahaman budaya yang menjadi latar sosial atau tema karya sastra yang
dibahas.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembelajaran sastra termasuk pembelajaran
cerita rakyat mempunyai beberapa tujuan.
a. Mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan
mempersiapkan diri menatap masa depan.
b. Penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat
mengembangkan anak didik dengan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai
kearifan lokal.
c. Mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ)
anak.
d. Mengembangkan kecerdasan emosional (EQ).
e. Membantu keterampilan berbahasa.
f. Meningkatkan pengetahuan budaya.
g. Mengembangkan cipta dan rasa.
h. Menunjang pembentukan watak.
3. Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di Indonesia
Dalam pelaksanaan pembelajaran sastra di Indonesia, pembelajaran sastra disatukan
dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini seringkali dianggap sebagai suatu permasalahan
(Rusyana, 2008:1). Mengingat pembelajaran sastra disatukan dengan pembelajaran bahasa
Indonesia, bisa jadi hal ini menjadikan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia tidak
memuaskan. Hal ini tercermin dari nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dari tahun ke tahun
sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel Rata-rata nilai bahasa Indonesia sekolah negeri dan swasta tingkat nasional
NO. TAHUN SMP SMAIPA
SMAIPS
SMA BHS
1. 1994/1995 6,07 6,84 6,07 6,182. 1995/1996 6,64 7,01 6,19 6,193. 1996/1997 6,73 6,74 6,30 6,154. 1997/1998 5,62 6,17 5,59 5,775. 1998/1999 5,96 5,56 5,00 4,756. 1999/2000 5,38 5,74 5,05 5,297. 2000/2001 5,40 5,34 4,67 5,068. 2001/2002 5,30 5,84 5,13 4,489. 2002/2003 5,79 5,60 4,93 4,6610. 2003/2004 5,84 5,96 5,36 5,6111. 2004/2005 6,64 6,96 6,32 6,8412. 2005/2006 7,46 7,90 7,26 7,4013. 2006/2007 7,39 7,56 6,95 7,0814. 2007/2008 7,00 7,60 6,95 6,56
Sumber: Puspendik, Balitbang Diknas (dalam Tola, 2008: 2)
Menurut Rahmanto (2008) pembelajaran sastra di Indonesia haruslah direvitalisasi agar
mampu menyumbangkan perannya untuk pembangunan moral bangsa Indonesia yang sudah
centang merentang dan amburadul. Humaniora selayaknya digiatkan dan dihidupkan lagi karena
humaniora memberikan wawasan luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan
untuk implikasi sosial dan kultural, serta kemampuan untuk melihat keseluruhan gambar
kehidupan. Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat
berbagai kearifan lokal dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra yang pada gilirannya
dapat diharapkan berkontribusi dalam membangun moral bangsa.
Pembelajaran Sastra menurut Rahmanto harus dipisahkan dengan bahasa. Pembelajaran
sastra adalah membaca teks sastra dan mengapresiasi sastra. "Kecakapan yang perlu
dikembangkan justru indrawi, nalar, afektif, sosial, dan religius. Hal ini sejalan dengan
mengasah, mengasuh, mengasihi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, yaitu personal,
sosial, dan religius"(http://www.usd.ac.id).
4. Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran
Menurut Rahmanto (1988) prinsip penting dalam pengajaran sastra (termasuk cerita
rakyat) adalah bahwa bahan pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan
kemampuan siswa. Sesuai dengan kemampuan siswa karya sastra yang akan disajikan hendaknya
juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya. Tanpa
adanya kesesuaian antara siswa dengan bahan yang akan diajarkan maka pembelajaran sastra
akan gagal (1988:26).
Para guru sastra yang telah berpengalaman tentu mempunyai catatan pengalaman yang
menarik berkaitan dengan pemilihan bahan pengajaran sastra. Sebagai contoh novel yang
menarik perhatian anak-anak yang berumur 15 – 16 tahun ternyata sangat menjemukan (tidak
menarik perhatian) para siswa yang umurnya 12 – 13 tahun. Manusia ternyata mempunyai
keterbatasan dan jarang ada siswa yang dapat dijejali pengalaman sastra di luar jangkauan
pengetahuannya betapapun terkenal dan hebatnya pengarang karya sastra tersebut.
Kemampuan untuk memilih bahan pengajaraan sastra dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain : berapa banyaknya karya sastra yang tersedia di perpustaakaan sekolah, kurikulum
yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus disampaikan agar dapat men ngikuti tes akhir
tahun,perlu dan lain-lain.
Rahmanto (1988:26-33; Moody, 1971) menyarankan 3 kriteria dalam pemilihan bahan
pembelajaran sastra yaitu (1) bahasa, (2) kematangan jiwa/psikologi, dan (3) latar belakang
kebudayaan siswa.
(1) Bahasa
Seorang guru hendaknya selalu berusaha memahami tingkat kebahasaan siswa-siswinya
sehingga berdasarkan pemahaman tersebut guru dapat memilih materi yang cocok untuk
disajikan. Dalam meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru hendaknya tidak hanya
memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu juga mempertimbangkan situasi dan isi
wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu perlu juga diperhatikan cara
penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga dapat
memahami kata-kata kiasan yang digunakan.
(2) Psikologi
Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis anak
hendaknya diperhatikan karena tahap perkembangan psikologis anak sangat perpengaruh
terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis
juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan
bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.
Menurut Rahmanto (1988, Moody, 1971) pentahapan psikologis anak dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tahap pengkhayal ( 8 sampai 9 tahun)
Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan
berbagai fantasi kekanakan.
b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)
Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski
pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tetapi pada tahap ini anak telah
menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.
c. Tahap realitas (13 sampai 16 tahun)
Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat
berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan
siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan
yang nyata.
d. Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan selanjutnya)
Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga
berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.
Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab
utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan
keputusan-keputusan moral.
Karya sastra yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada
umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan
psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya
secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu.
(3) Latar belakang budaya
Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang erat
hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka terutama bila karya sastra itu
menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan
mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.
Dengan demikian secara umum guru sastra hendaknya memilih bahan pengajaran dengan
menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya yang latar ceritanya dikenal oleh para
siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat
menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan
kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya.
Secara umum Rusyana (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sastra hendaknya
memperhatikan (1) landasan-landasan pendidikan sastra dan (2) konteks keindonesiaan.
Landasan-landasan pendidikan sastra meliputi (a) kebudayaan, (b) edukasional seperti filsafat
pendidikan, psikologi pendidikan, dan kurikulum, dan (c) kesastraan yang meliputi karya sastra
dan ilmu sastra. Sedangkan konteks keindonesiaan meliputi aspek ideologi, politik, dan
kanonisasi.
5. Model yang Ditawarkan
a. Model Penuturan Dongeng (Mopendo)
Sukatman (2009:183-187) mengemukakan bahwa Mopendo dapat dikembangkan
menjadi model pembelajaran sastra di sekolah dengan modifikasi dan pemodernan seperlunya.
Mopendo mempunyai tahapan (1) persiapan, (2) penuturan cerita, (3) tanggapan lisan, (4)
konsulidasi, (5) reproduksi, dan (6) evaluasi.
Pada tahap persiapan, seorang guru perlu menyiapkan materi misalnya materi berupa
cerita rakyat. Guru juga perlu menyiapkan media penuturannya apakah akan disampaikan secara
langsung atau lewat rekaman. Guru juga perlu menyiapkan setting penuturan apakah akan
dilaksanakan di dalam kelas atau di alam terbuka. Penyiapan alat bantu penyimakan cerita juga
perlu disiapkan. Mungkin diperlukan ringkasan cerita atau naskah cerita dan alat tulis.
Pada tahap penuturan cerita, menurut Sukatman (2009:184) meliputi penciptaan suasana
yang kondusif, suasana yang aman, akrab, menyenangkan, dan siap dengar. Sesudah terwujud
suasana yang kondusif barulah dilaksanakan penuturan cerita yang dalam pelaksanaannya bisa
langsung dilakukan oleh tukang cerita atau guru atau siswa atau hanya berupa pemutaran
kaset/film. Bila memungkinkan, siswa yang mendengar cerita bisa meminta agar si pencerita
mengulangi ceritanya pada bagian yang tidak jelas.
Pada tahap tanggapan lisan, siswa diminta untuk menceritakan hasil menyimak cerita
secara singkat. Guru juga bisa meminta tanggapan siswa mengenai hal yang disenangi dan tidak
disenangi tentu disertai alasan mengapa senang dan tidaak senang. Untuk siswa tingkat SMA
komentar bisa dikaitkan dengan unsur intrinsik yang membangun cerita.
Pada tahap konsulidasi, guru perlu meluruskan hasil penyimakan siswa yang kurang
tepat. Guru juga perlu menyampaikan pelurusan terhadap pemahaman cerita yang salah. Pada
tahap ini, pemantapan pemahaman cerita dan penangkapan konsep oleh guru dan siswa perlu
dilakukan secara bersama-sama.
Pada tahap reproduksi, siswa diminta untuk menuliskan kembali cerita dengan gaya dan
bahasa siswa. Siswa juga dapat diminta untuk menulis kritik sederhana. Siswa juga dapat diminta
mengubah cerita menjadi bentuk karya sastra yang lain seperti puisi dan drama.
Pada tahap evaluasi, ada lima aspek yang dapat dievaluasi yakni tahap persiapan
penuturan, tahap proses penuturan cerita, tanggapan lisan, konsolidasi, dan reeproduksi.
Menurut hemat penulis, model Mopendo ini dapat digunakan oleh guru bila ingin
menanamkan nilai-nilai kearifan lokal kepada para siswa. Model ini menurut hemat penulis akan
lebih cocok bila diterapkan di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
b. Analisis Struktur dan Fungsi Model Maranda
Teori struktur naratif dipelopori oleh Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda, dan
Vladimir Propp. Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda menulis buku Structural Models in
Folklore and Transformasional Essays (1971) yang berisikan model-model penganalisisan
struktur sastra lisan yang menggunakaan satuan unsur yang bernama terem (term) dan fungsi
(function) (Sudikan, 2001:25).
Konsep utama struktur naratif ala Maranda dapat dideskripsikan sebagai berikut. Terem
(term) adalah simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan. Selain
itu terem dapat berupa dramatis personae, pelaku magis, dan gejala alam. Semua itu merupakan
segala subjek yang dapat berbuat atau melakukan peran tertentu dalam cerita. Terem-terem
tersebut satu sama lain saling bertentangan. Semua terem dapat dikategorikan sebagai peran
tunggal dan peran ganda.
Terem pertama (TP) terdapat dalam unsur peran tunggal pada awal cerita (rakyat/cerita
lisan) sebelum pemecahan suatu krisis. Terem kedua (TK) yang disebut juga sebagai mediator
dapat dijumpai pada unsur peran ganda dalam situasi sebelum suatu krisis terselesaikan. Alur
cerita rakyat ala Maranda dapat diskemakan sebagai berikut.
Fungsi (function) adalah peranan yang dipegang oleh terem. Dengan demikian fungsi
mempengaruhi terem, bersifat dinamis. Walaupun demikian, fungsi wujudnya dibatasi oleh
terem maksudnya wujud itu hanya seperti apa yang diekspresikan dalam terem yang memberinya
wujud yang nyata. Simpulannya, terem berubah-ubah sedangkan fungsi tetap. Hal tersebut dapat
diskemakan sebagai berikut:
KEBURUKAN
KEBAIKAN FUNGSI
Terem : A A
B B
Catatan: Kedudukan A dapat digantikan oleh B.
Dalam analisis digunakan tanda : dan :: untuk menunjukkan hubungan sebab akibat.
Untuk terem dipergunakan tanda a, b, c, d, e, f, dan seterusnya. Sedangkan untuk fungsi
dipergunakan tanda x, y, dan z. Sedangkan rumus yang dipergunakan adalah: (a) x : (b)y :: (b)x :
(y)a-1
Terem (a) adalah terem pertama yang menyatakan unsur dinamik. Tanda (b) adalah terem
kedua. Tanda x adalah fungsi yang memberi kekhasan pada terem (a). Tanda y adalah fungsi
yang bertentangan dengan tanda x yang memberi kekhasan kepada terem (b) dalam
pemunculannya yang pertama. Tanda (a-1 ) merupakan tanda perubahan terem menjadi tanda
fungsi. Hal ini terjadi karena rumus tersebut tidak linear.
Tahapan analisis (1) membaca naskah cerita rakyat secara berulang-ulang, (2) Membuat
susunan peristiwa, (3) Menyusun alur cerita, (4) Menentukan terem, (5) Menentukan fungsi, (6)
Merumuskan alur, (7) Menjelaskan rumus alur, (8) Merumuskan fungsi, dan (9) Menjelaskan
rumus fungsi.
Berikut ini disampaikan contoh analisis struktur dan fungsi cerita Kale Ngelampe yang
berasal dari cerita rakyat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.
(a) Susunan Peristiwa Cerita Kale Ngelampe I.Musim Buah Kelampe
1.Musim kelampe berbuah. Banyak babi hutan yang berdatangan. 2. Tias pergi berburu sampai suatu tempat yang ditumbuhi oleh banyak sekali pohon kelampe. .3. Tias mendengar ada orang yang sedang bernyanyi. Di dengar dari bawah pohon suaranya terdengar di atas dan bila di dengar dari atas pohon maka suaranya sepertinya ada di bawah. 4. Tias ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 5. Orang kampung mengadakan musyararah untuk membahas asal suara tersebut. 6. Tongkor Labant mendapatkan giliran untuk menyelidiki asal suara tersebut. 7. Sesampainya di tempat yang dituju, Tongkor Labatn mendengar nyanyian:Ribut...ribut...angin ribut...menggoyang buah kelampai. Jatuh sebiji makanan saya, jatuh setandan makanan kami”. 8. Tongkor Labatn ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 9. Tongkor Mayam mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 10. Sampai di tempat, ia mendengar nyanyian yang sama. 11. Tongkor Mayam ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 12. Gadunggu Kase mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 13. Sampai di tempat ia mendengar suara yang sama. 14. Gadunggu Kase ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 15. Ganteleng Lonos mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 16. Ganteleng Lonos ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 17. Ujant mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 18. Sampai tempat yang dituju, Ujatn mendengar suara yang sama. 19. Ujatn tidak takut. Ia dapat mengetahui bahwa suara perempuan itu berasal dari seekor ikan kale (ikan lele). Ujatn pantang kawin (pamali kawin) maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya ketaakutan dan tidak membawa hasil. 20. Maniamas mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 21. Sampai di tempat yang dituju, ia mendengar suara perempuan. 22. Maniamas tidak takut. Ia pemberani. Suara perempuan itu dari seekor ikan kale (ikan lele). Maniamas menangkap ikan tersebut yang kemudian berubah menjadi putri Kale Ngelampe.23. Putri Kale Ngelampe akan dijadikan istri Maniamas. 24. Putri Kale Ngelampe bersedia asalkan Maniamas tidak memberitahukan kepada siapapun tentang asal-usulnya. 25. Maniamas menyetujui syarat tersebut.26. Putri Kale Ngelampe dibawa pulang oleh Maniamas kemudian dinikahinya. II. Pesta Kawin 27. Beras yang ditumbuk hanya satu cawan tetapi tepungnya menjadi bernyiru-nyiru. 28. Beras pulut yang ditumbuk hanya satu canting tetapi tepungnya bertingkalang- tingkalang (keranjang).29. Babi yang ditangkap hanya sebesar tikus tetapi tak seorangpun berhasil menangkapnya kecuali Maniamas. Sisa daging babi disimpan dalam bamboo (wadah/baskom yang sangat besar) sampai penuh. 30. Makannya nasi bungkus sebesar orang sembahyang ternyata sisanya berlebih. 31. Mia mulai mengerti bahwa Kale Ngelampe, istri Maniamas adalah manusia setengah dewa. Dia orang yang sangat sakti.
III. Sesudah Pesta Kawin32. Anak pasangan Kale Ngelampe dan Maniamas mulai besar dan mengerti soal makanan. 33. Ibunya pulang dari ladang membawa tebu. 34. Anak itu membawa tebu kepada bapaknya agar dirautnya. Ayah sibuk meraut rotan. Ayahnya menyuruh anak itu agar minta tolong kepada ibunya. 35. Anak itu mendatangi ibunya dan minta tolong agar mengupaskan tebu. Ibu tidak mau dengan alasan lelah. Ibu menyuruh anak itu agar meminta tolong pada ayahnya. 36. Anak itu untuk yang kesekian kalinya mendatangi ayahnya agar mengupaskan tebu. Ayah menjadi marah. Ia katakan bahwa mau mengupas tebu kalau ibunya bersedia menyanyi ”Kale Ngelampe”. 37. Ibunya pergi ke sungai sambil bernyanyi ”Kale Ngelampe” (Angin...angin...dst). Lama kelamaan Putri Kale Ngelampe berubah menjadi ikan kale dan menghilang.38. Anaknya menangis memberitahukan kepada bapaknya tetapi bapaknya tidak peduli.39. Ketika segalanya telah terjadi, Maniamas baru tersadar. Ia mencari istrinya di sungai tetapi tidak ketemu. Ia terus menyelam dan akhirnya menangkap ikan baung yang sangat besar. Dipeluknya ikan baung itu karena dikira istrinya. Ikan itu dipeluknya erat-erat hingga dadanya terkena patil. Maniamas meninggal dunia. 40. Anak itu hidup sebatang kara. (b) Alur CeritaMusim Buah Kelampe(1) Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, Ganteleng Lonos, dan Ujatn tidak berhasil menyelidiki asal muasal suara perempuan (nyanyian Kale Ngelampe) karena sombong dan ketakutan. (2) Maniamas berhasil mendapatkan Putri Kale Ngelampe karena tidak sombong, mendapatkan restu dari ibunya, dan pemberani. Putri Kale Ngelampe bersedia diperistri oleh Maniamas dengan perjanjian tidak tidak boleh memberitahukan asal-usul putri. Pesta Kawin(3) Orang kampung mengadakan pesta perkawinan Maniamas dengan putri Kale Ngelampe. Terjadi keajaiban. Beras putih dan beras pulut yang hanya satu cawan setelah ditumbuk hasilnya berupa tepung bernyiru-nyiru. Demikian juga babi yang hanya sebesar tikus setelah dimasak hasilnya sisa satu bamboo besar. Kesombongan Mia mengakibatkan ia dipermalukan. Sesudah Pesta Kawin(4) Anak pasangan antara Maniamas dan Kale Ngelampe minta dikupaskan tebu tetapi Kedua orangtuanya tidak mau karena sibuk dan lelah. (5) Maniamas melanggar perjanjian akibatnya Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Anak pasangan Maniamas dan Kale Ngelampe hidup sebatang kara.
Terema: Tujuh orang pemuda
a1 : Tias a2 : Tongkor Labant a3 : Tongkor Mayam a4 : Gadunggu Kase a5 : Ganteleng Lonosa6 : Ujatn a7 : Maniamas b : Ikan Kale (Lele)/Putri Kale Ngelampe c : Mia d : Anak (dari pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe)Fungsix1 : penakut x2 : gagaly1 : pemberani y2 : berhasily3 : menderita, mati z1 : saktiz3 : dipermalukan N = (a1+a2+a3+a4+a5)x1 : (a6+a7)y1 :: (a1+a2+a3+a4)(x1+x2) : (a6+a7)(y1+y2)// bz1 : cz2 :: bz1 : c(z2+z3)//bz1 : a7y1 :: bz1 : a7(y1+y3)::bz1:dy3
Ketakutan lima pemuda (Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, dan Ganteleng Lonos) mengakibatkan kelima pemuda tersebut gagal mendapatkan asal suara perempuan yang diselidikinya sedangkan karena keberaniannya maka Ujatn dan Maniamas bisa berhasil.
Kesaktian Putri Kale Ngelampe mengakibatkan dia mampu mengubah secawan dan ketan secawan menjadi tepung bernyiru-nyiru untuk dibuat kue cucur dan lain-lain sedangkan kesombongan Mia mengakibatkan dirinya dipermalukan.
Karena kesaktian Putri Kale Ngelampe dan karena Maniamas tidak menepati janji mengakibatkan Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Maniamas meninggal dunia dan anaknya hidup sebatang kara. Fungsi(y1+y2+z1) > (x1 + y2) Fungsi pemberani lebih besar dari fungsi penakut karena sesuai yang diinginkan pencerita bahwa dalam mencapai sesuatu diperlukan suatu keberanian. Pelaku1.Tias, laki-laki, penakut. 2. Tongkor Labant, laki-laki, sombong, penakut. 3. Tongkor Mayam, laki-laki, sombong, penakut. 4. Gadunggu Kase, laki-laki, sombong, penakut. 5. Ganteleng Lonos, laki-laki, sombong, penakut. 6. Ujatn, laki-laki, rendah hati, pemberani, selibat (berjanji tidak menikah). 7. Maniamas, laki-laki, pemberani, ingkar janji. 8. Mia, perempuan, sombong, keras kepala. 9. Anak (pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe), tidak disebutkan jenis kelamin.
Menurut hemat penulis, model analisis ini dapat diterapkan pada pembelajaran sastra di
Perguruan Tinggi. Dengan ditawarkannya berbagai model pembelajaran sastra diharapkan dapat
menjadi alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di Indonesia. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Manusia – Tanah – Kearifan Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2009. Kearifan Setempat (Local Wisdom) dan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Makalah Seminar). Singkawang, Kalbar: Hotel Mahkota (30 Juni 2009).
Baedhowi. 2008. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2008. (Makalah Kongres IX Bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra :Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Haba, Jhon. 2006. Analisis SWOT: Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik (Makalah Seminar). Bogor: Hotel Taman Aer (5 Juni 2006).
Haba, Jhon. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resplusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commion.
Hutomo, Suripan sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.
Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature in Developing Countries. London: Longman.
Nugraha, Setya Tri. 2009. Penggalian Nilai-nilai Budaya Melalui Karya Sastra
dalam Pembelajaran BIPA. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Priyadi, A. Totok. Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanayatn (Naskah Disertasi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmanto, B. 2008. Mengoptimalkan Peran Organisasi Profesi dalam Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetition. (Makalah Konggres IXBahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Yus. 1975. Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan dalam Pengembangan Sastra Indonesia (Makalah Seminar). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Yus. 2000. Prosa Tradisional Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Yus. 2008. Pembelajaran Sastra di Sekolah dan Landasan-landasannya serta Tautannya dengan Keindonesiaan. Malang: Konferensi International Kesusastraan XIX HISKI.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tola, Burhanuddin. 2008. Pengujian Hasil Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia (Makalah Kongres IX). Jakarta: Pusat Bahasa.
Diposkan oleh Totok Priyadi di 21.46 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Pembelajaran Cerita Rakyat
PENANAMAN NILAI-NILAI KERARIFAN LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT
Oleh A. Totok Priyadi
1. Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik
masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Cerita rakyat merupakan buah pikiran warisan leluhur bangsa mengandung
bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai
gagasan dan penuh nilai (makna) yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. (Hutama, 1991;
Danandjaya,1984; Rusyana, 1975;1978;2000).
Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan daerah sangat beragam jenis dan isinya.
Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral, gagasan, cita-cita, dan
pedoman hidup masyarakat pada masa lampau baik tentang manusia sebagai pribadi maupun
manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Jadi bagaimana para
leluhur zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya dapat terproyeksikan dalam cerita
rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam cerita rakyat terkandung kearifan lokal masyarakat
pemiliknya.
Sebagai warisan atau peninggalan leluhur atau nenek moyang, kearifan lokal adalah
kekayaan budaya dan tradisi besar yang tidak saja harus dipertahankan atau dilestarikan tetapi
sudah sepantasnya dihargai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (Alqadrie, 2009:3).
Lebih lanjut Alqadrie (2009:3) mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dihargai dan
dilaksanakan bukan saja oleh masyarakat setempat pemilik budaya tetapi juga oleh masyarakat
pendatang dan pemerintah daerah di mana kearifan lokal berada. Kearifan lokal menurut Haba
(2006) mengacu kepada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuhkembang dalam masyarakat,
dikenal, dan dipercayai serta diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal
kohesi sosial di antara warga masyarakat. Dengan melaksanakannya secara konsisten berarti
bahwa anggota masyarakat dan pemerintah menghargai dan melestarikan kearifan lokal yang
menjadi tradisi dan warisan serta kekayaan budaya masyarakat.
Priyadi (2010) menambahkan bahwa dalam kearifan lokal termuat juga Sistem
Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL) atau sistem pengetahuan asli atau sistem
pengetaahuan adat atau sistem pengetahuan tradisional. SPTL dapat dipahami sebagai
seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau teritori
tertentu dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sasaran yang diciptakan untuk digunakan
untuk menopang kehidupan sehari-hari (Adimihardja, 2008:2).
Menurut Abdullah (2008:7) kearifan lokal atau local wisdom haruslah dipahami sebagai
basis sosial yang memiliki kekuatan penggerak dalam berbagai hal termasuk dinamika konflik
yang tidak usai-usai, mengoptimalkan potensi kearifan lokal sebagai alternatif solusi merupakan
bagian dari pendekatan budaya dalam mengatasi konflik. Dalam pandangan Haba (2007:334-
335) kearifan lokal mempunyai enam fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah
komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan.
Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down) tetapi sebuah unsur
kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu daya ikatnya lebih mengena dan
bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam,
kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus
sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir
bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran
bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.
Dalam cerita rakyat terdapat kearifan lokal masyarakat. Beberapa contoh cerita yang
memuat kearifan lokal masyarakat misalnya cerita “Rumput Kalanjana” dari Jawa Timur.
Dikisahkan Raja Brawijaya mencari putrinya yang menghilang ke desa Maja. Ia tak berhasil
menemukan putrinya tersebut. Oleh karena itu, Raja Brawijaya meninggalkan tempat tersebut.
Apa yang terjadi? Setelah Raja Brawijaya meninggalkan tempat itu terlihat ada sesuatu yang
terbakar (kobong/bahasa Jawa). Maka tempat itu dinamakan Gunung Kobong . Di tempat itu
tumbuh rumput kalanjana yang mempunyai khasiat memberikan kekuatan dan dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itu sampai sekarang ada kepercayaan bahwa rumput
kalanjana dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat
ditemukan cerita berjudul Abakng Balungkur. Cerita ini mengisahkan sepasang suami istri yang
iri kepada tetangganya karena hasil ladangnya selalu jelek. Karena itu Abakng Balungkur
mengasah parang dan hendak membunuh Jubata (Tuhan). Ia berjalan naik gunung turun gunung,
masuk hutan ke luar hutan, mencari rumah Jubata dan bila telah bertemu ingin dibunuhnya. Ia
terus berjalan tetapi tidak pernah bisa menemukan Jubata hingga ia kesasar ke suatu rumah orang
yang telah tua. (yang sebenarnya rumah itu rumah Jubata) Oleh orang tua tadi Abakng
Balungkur disuruh pulang ke rumahnya karena sampai kapanpun ia tidak akan bisa menemukan
Jubata. Abakng Balungkur tidak mau dan nekat ingin mencari Jubata.
Oleh orang tua tadi, Abakng Balungkur diajak ke ladang untuk mengadakan upacara
membuka ladang. Seekor ayam dipotong dan orang tua tadi berdoa kepada Jubata agar ladangnya
subur dan mengasilkan padi berlimpah. Orang tua tadi juga mengusir setan yang mengganggu.
Orang tua tadi juga mengajak Abakng Balungkur mendengarkan suara burung Tingkakok untuk
menentukan ladang yang bagus.
Selesai mengadakan upacara membuka ladang, Abakng Balungkur diajak pulang ke
rumah orang tua tadi. Istri orang tua itu disuruh masak dan membuat oleh-oleh untuk keluarga
Abakng Balungkur. Maka pulanglah Abakng Balungkur. . Sesampainya di rumah ia dan istrinya
membuka oleh-oleh yang diberikan orang tua tadi, ternyata ada daging ayam sebelah, beras padi,
dan beras ketan. Ia dan istrinya langsung memakan oleh-oleh tersebut. Setelah selesai makan
tiba-tiba teringatlah Balungkur tentang acara selamatan yang ia lakukan bersama orang tua tadi.
Segera ia pergi ke ladangnya dan di sana ia melihat masih ada api yang menyala dan ayam bakar
yang masih membara. Maka tersadarlah dia, ternyata acara yang mereka lakukan tadi adalah di
ladangnya sendiri. Dari cerita ini diperoleh kearifan lokal berupa Sistem Pengetahuan dan
Teknologi Lokal (SPTL) yakni bagaimana orang Dayak Kanayatn membuka ladang.
2.Tujuan Pembelajaran Sastra
Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan. Sastra lisan adalah bagian dari Sastra
Indonesia. Pendidikan sastra memupuk kecerdasan siswa hampir dalam semua aspek. Peran guru
berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Guru sebagai yang digugu dan ditiru harus
dapat mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan mempersiapkan
diri menatap masa depan. Guru adalah panutan bagi anak didiknya. Guru harus tahu bagaimana
menempatkan dirinya di tengah-tengah anak didik dan masyarakat. Contoh yang salah akan
membawa pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak didik (Baedhowi. 2008:8).
Lebih lanjut Baedhowi (2008:8) mengatakan bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan
untuk penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat mengembangkan anak
didik dengan penanaman nilai-nilai. Melalui apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan,
penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ) anak dapat dilatih. Latihan yang dapat
dilakukan misalnya dengan mencari unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (termasuk cerita
rakyat ) seperti tema, amanat, penokohan, latar, alur, dan pusat pengisahan.
Baedhowi (2008:9) juga mengatakan bahwa di samping melatih IQ anak, kegiatan
apresiasi sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional
adalah bagaimana siswa tangguh dan berinisiatif serta optimis dalam menghadapi persoalan
hidup. Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat (Damono, 1984, 2000; Teeuw, 1984;
Luxemburg, 1984), maka siswa dapat mempelajari kehidupan yang ditampilkan dalam karya
sastra, termasuk dari cerita rakyat. Secara kreatif siswa akan mengenal watak-watak tokoh dalam
karya sastra. Watak tokoh dalam cerita itu secara kreatif dipelajari anak didik. Mereka akan
meniru watak tokoh yang mereka senangi dan akan menolak tokoh-tokoh yang tidak
disenanginya. Bertambah banyak mereka diperkenalkan dengan karya sastra termasuk cerita-
cerita rakyat, mereka akan mengenal bermacam-macam kehidupan beserta latar dan watak
tokohnya.
Rahmanto (1988:Moody: 1971) mengatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki
beberapa tujuan yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan
budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak.
Mengingat apresiasi sastra dapat membantu keterampilan berbahasa dan meningkatkan
pengetahuan budaya maka Littlewood (1987:178-183; Nugraha, 2009) dalam artikelnya yang
berjudul “Literature in the School Foreign Language Course” mengajukan lima perspektif
berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:
1. Pada perpektif paling awal karya sastra menyediakan struktur kebahasaan. Hal ini
sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa khususnya membaca
pemahaman yang disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.
2. Pada perpektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang berbeda dari
bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan sebagai sarana
pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh karya
sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan, dialog, dan ragam
naratif dalam teksnya.
3. Perpektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji dari segi
babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan pengarang dalam
karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini pembelajar dihadapkan pada “dunia”
kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia kreasi itu, pembelajar akan
diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas konteks kebahasaan, sekaligus
dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia nyata, termasuk di dalamnya
pemakaian bahasanya.
4. Perpektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar apabila
dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga perpektif
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perpeektif ini pembelajar dituntun
ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai ekspresi kebahasaan
yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula diskusi dalam bahasa
target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan logika bernalar yang
dimiliki oleh pembelajar.
5. Perpektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang sekiranya
dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang historis
dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan pembelajaraan.
Pada perpektif ini siswa/mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan
pemahaman budaya yang menjadi latar sosial atau tema karya sastra yang
dibahas.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembelajaran sastra termasuk pembelajaran
cerita rakyat mempunyai beberapa tujuan.
a. Mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan
mempersiapkan diri menatap masa depan.
b. Penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat
mengembangkan anak didik dengan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai
kearifan lokal.
c. Mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ)
anak.
d. Mengembangkan kecerdasan emosional (EQ).
e. Membantu keterampilan berbahasa.
f. Meningkatkan pengetahuan budaya.
g. Mengembangkan cipta dan rasa.
h. Menunjang pembentukan watak.
3. Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di Indonesia
Dalam pelaksanaan pembelajaran sastra di Indonesia, pembelajaran sastra disatukan
dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini seringkali dianggap sebagai suatu permasalahan
(Rusyana, 2008:1). Mengingat pembelajaran sastra disatukan dengan pembelajaran bahasa
Indonesia, bisa jadi hal ini menjadikan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia tidak
memuaskan. Hal ini tercermin dari nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dari tahun ke tahun
sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel Rata-rata nilai bahasa Indonesia sekolah negeri dan swasta tingkat nasional
NO. TAHUN SMP SMAIPA
SMAIPS
SMA BHS
1. 1994/1995 6,07 6,84 6,07 6,182. 1995/1996 6,64 7,01 6,19 6,193. 1996/1997 6,73 6,74 6,30 6,154. 1997/1998 5,62 6,17 5,59 5,775. 1998/1999 5,96 5,56 5,00 4,756. 1999/2000 5,38 5,74 5,05 5,297. 2000/2001 5,40 5,34 4,67 5,068. 2001/2002 5,30 5,84 5,13 4,489. 2002/2003 5,79 5,60 4,93 4,6610. 2003/2004 5,84 5,96 5,36 5,6111. 2004/2005 6,64 6,96 6,32 6,8412. 2005/2006 7,46 7,90 7,26 7,4013. 2006/2007 7,39 7,56 6,95 7,0814. 2007/2008 7,00 7,60 6,95 6,56
Sumber: Puspendik, Balitbang Diknas (dalam Tola, 2008: 2)
Menurut Rahmanto (2008) pembelajaran sastra di Indonesia haruslah direvitalisasi agar
mampu menyumbangkan perannya untuk pembangunan moral bangsa Indonesia yang sudah
centang merentang dan amburadul. Humaniora selayaknya digiatkan dan dihidupkan lagi karena
humaniora memberikan wawasan luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan
untuk implikasi sosial dan kultural, serta kemampuan untuk melihat keseluruhan gambar
kehidupan. Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat
berbagai kearifan lokal dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra yang pada gilirannya
dapat diharapkan berkontribusi dalam membangun moral bangsa.
Pembelajaran Sastra menurut Rahmanto harus dipisahkan dengan bahasa. Pembelajaran
sastra adalah membaca teks sastra dan mengapresiasi sastra. "Kecakapan yang perlu
dikembangkan justru indrawi, nalar, afektif, sosial, dan religius. Hal ini sejalan dengan
mengasah, mengasuh, mengasihi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, yaitu personal,
sosial, dan religius"(http://www.usd.ac.id).
4. Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran
Menurut Rahmanto (1988) prinsip penting dalam pengajaran sastra (termasuk cerita
rakyat) adalah bahwa bahan pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan
kemampuan siswa. Sesuai dengan kemampuan siswa karya sastra yang akan disajikan hendaknya
juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya. Tanpa
adanya kesesuaian antara siswa dengan bahan yang akan diajarkan maka pembelajaran sastra
akan gagal (1988:26).
Para guru sastra yang telah berpengalaman tentu mempunyai catatan pengalaman yang
menarik berkaitan dengan pemilihan bahan pengajaran sastra. Sebagai contoh novel yang
menarik perhatian anak-anak yang berumur 15 – 16 tahun ternyata sangat menjemukan (tidak
menarik perhatian) para siswa yang umurnya 12 – 13 tahun. Manusia ternyata mempunyai
keterbatasan dan jarang ada siswa yang dapat dijejali pengalaman sastra di luar jangkauan
pengetahuannya betapapun terkenal dan hebatnya pengarang karya sastra tersebut.
Kemampuan untuk memilih bahan pengajaraan sastra dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain : berapa banyaknya karya sastra yang tersedia di perpustaakaan sekolah, kurikulum
yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus disampaikan agar dapat men ngikuti tes akhir
tahun,perlu dan lain-lain.
Rahmanto (1988:26-33; Moody, 1971) menyarankan 3 kriteria dalam pemilihan bahan
pembelajaran sastra yaitu (1) bahasa, (2) kematangan jiwa/psikologi, dan (3) latar belakang
kebudayaan siswa.
(1) Bahasa
Seorang guru hendaknya selalu berusaha memahami tingkat kebahasaan siswa-siswinya
sehingga berdasarkan pemahaman tersebut guru dapat memilih materi yang cocok untuk
disajikan. Dalam meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru hendaknya tidak hanya
memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu juga mempertimbangkan situasi dan isi
wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu perlu juga diperhatikan cara
penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga dapat
memahami kata-kata kiasan yang digunakan.
(2) Psikologi
Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis anak
hendaknya diperhatikan karena tahap perkembangan psikologis anak sangat perpengaruh
terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis
juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan
bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.
Menurut Rahmanto (1988, Moody, 1971) pentahapan psikologis anak dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tahap pengkhayal ( 8 sampai 9 tahun)
Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan
berbagai fantasi kekanakan.
b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)
Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski
pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tetapi pada tahap ini anak telah
menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.
c. Tahap realitas (13 sampai 16 tahun)
Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat
berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan
siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan
yang nyata.
d. Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan selanjutnya)
Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga
berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.
Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab
utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan
keputusan-keputusan moral.
Karya sastra yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada
umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan
psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya
secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu.
(3) Latar belakang budaya
Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang erat
hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka terutama bila karya sastra itu
menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan
mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.
Dengan demikian secara umum guru sastra hendaknya memilih bahan pengajaran dengan
menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya yang latar ceritanya dikenal oleh para
siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat
menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan
kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya.
Secara umum Rusyana (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sastra hendaknya
memperhatikan (1) landasan-landasan pendidikan sastra dan (2) konteks keindonesiaan.
Landasan-landasan pendidikan sastra meliputi (a) kebudayaan, (b) edukasional seperti filsafat
pendidikan, psikologi pendidikan, dan kurikulum, dan (c) kesastraan yang meliputi karya sastra
dan ilmu sastra. Sedangkan konteks keindonesiaan meliputi aspek ideologi, politik, dan
kanonisasi.
5. Model yang Ditawarkan
a. Model Penuturan Dongeng (Mopendo)
Sukatman (2009:183-187) mengemukakan bahwa Mopendo dapat dikembangkan
menjadi model pembelajaran sastra di sekolah dengan modifikasi dan pemodernan seperlunya.
Mopendo mempunyai tahapan (1) persiapan, (2) penuturan cerita, (3) tanggapan lisan, (4)
konsulidasi, (5) reproduksi, dan (6) evaluasi.
Pada tahap persiapan, seorang guru perlu menyiapkan materi misalnya materi berupa
cerita rakyat. Guru juga perlu menyiapkan media penuturannya apakah akan disampaikan secara
langsung atau lewat rekaman. Guru juga perlu menyiapkan setting penuturan apakah akan
dilaksanakan di dalam kelas atau di alam terbuka. Penyiapan alat bantu penyimakan cerita juga
perlu disiapkan. Mungkin diperlukan ringkasan cerita atau naskah cerita dan alat tulis.
Pada tahap penuturan cerita, menurut Sukatman (2009:184) meliputi penciptaan suasana
yang kondusif, suasana yang aman, akrab, menyenangkan, dan siap dengar. Sesudah terwujud
suasana yang kondusif barulah dilaksanakan penuturan cerita yang dalam pelaksanaannya bisa
langsung dilakukan oleh tukang cerita atau guru atau siswa atau hanya berupa pemutaran
kaset/film. Bila memungkinkan, siswa yang mendengar cerita bisa meminta agar si pencerita
mengulangi ceritanya pada bagian yang tidak jelas.
Pada tahap tanggapan lisan, siswa diminta untuk menceritakan hasil menyimak cerita
secara singkat. Guru juga bisa meminta tanggapan siswa mengenai hal yang disenangi dan tidak
disenangi tentu disertai alasan mengapa senang dan tidaak senang. Untuk siswa tingkat SMA
komentar bisa dikaitkan dengan unsur intrinsik yang membangun cerita.
Pada tahap konsulidasi, guru perlu meluruskan hasil penyimakan siswa yang kurang
tepat. Guru juga perlu menyampaikan pelurusan terhadap pemahaman cerita yang salah. Pada
tahap ini, pemantapan pemahaman cerita dan penangkapan konsep oleh guru dan siswa perlu
dilakukan secara bersama-sama.
Pada tahap reproduksi, siswa diminta untuk menuliskan kembali cerita dengan gaya dan
bahasa siswa. Siswa juga dapat diminta untuk menulis kritik sederhana. Siswa juga dapat diminta
mengubah cerita menjadi bentuk karya sastra yang lain seperti puisi dan drama.
Pada tahap evaluasi, ada lima aspek yang dapat dievaluasi yakni tahap persiapan
penuturan, tahap proses penuturan cerita, tanggapan lisan, konsolidasi, dan reeproduksi.
Menurut hemat penulis, model Mopendo ini dapat digunakan oleh guru bila ingin
menanamkan nilai-nilai kearifan lokal kepada para siswa. Model ini menurut hemat penulis akan
lebih cocok bila diterapkan di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
b. Analisis Struktur dan Fungsi Model Maranda
Teori struktur naratif dipelopori oleh Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda, dan
Vladimir Propp. Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda menulis buku Structural Models in
Folklore and Transformasional Essays (1971) yang berisikan model-model penganalisisan
struktur sastra lisan yang menggunakaan satuan unsur yang bernama terem (term) dan fungsi
(function) (Sudikan, 2001:25).
Konsep utama struktur naratif ala Maranda dapat dideskripsikan sebagai berikut. Terem
(term) adalah simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan. Selain
itu terem dapat berupa dramatis personae, pelaku magis, dan gejala alam. Semua itu merupakan
segala subjek yang dapat berbuat atau melakukan peran tertentu dalam cerita. Terem-terem
tersebut satu sama lain saling bertentangan. Semua terem dapat dikategorikan sebagai peran
tunggal dan peran ganda.
Terem pertama (TP) terdapat dalam unsur peran tunggal pada awal cerita (rakyat/cerita
lisan) sebelum pemecahan suatu krisis. Terem kedua (TK) yang disebut juga sebagai mediator
dapat dijumpai pada unsur peran ganda dalam situasi sebelum suatu krisis terselesaikan. Alur
cerita rakyat ala Maranda dapat diskemakan sebagai berikut.
Fungsi (function) adalah peranan yang dipegang oleh terem. Dengan demikian fungsi
mempengaruhi terem, bersifat dinamis. Walaupun demikian, fungsi wujudnya dibatasi oleh
terem maksudnya wujud itu hanya seperti apa yang diekspresikan dalam terem yang memberinya
wujud yang nyata. Simpulannya, terem berubah-ubah sedangkan fungsi tetap. Hal tersebut dapat
diskemakan sebagai berikut:
KEBURUKAN
KEBAIKAN FUNGSI
Terem : A A
B B
Catatan: Kedudukan A dapat digantikan oleh B.
Dalam analisis digunakan tanda : dan :: untuk menunjukkan hubungan sebab akibat.
Untuk terem dipergunakan tanda a, b, c, d, e, f, dan seterusnya. Sedangkan untuk fungsi
dipergunakan tanda x, y, dan z. Sedangkan rumus yang dipergunakan adalah: (a) x : (b)y :: (b)x :
(y)a-1
Terem (a) adalah terem pertama yang menyatakan unsur dinamik. Tanda (b) adalah terem
kedua. Tanda x adalah fungsi yang memberi kekhasan pada terem (a). Tanda y adalah fungsi
yang bertentangan dengan tanda x yang memberi kekhasan kepada terem (b) dalam
pemunculannya yang pertama. Tanda (a-1 ) merupakan tanda perubahan terem menjadi tanda
fungsi. Hal ini terjadi karena rumus tersebut tidak linear.
Tahapan analisis (1) membaca naskah cerita rakyat secara berulang-ulang, (2) Membuat
susunan peristiwa, (3) Menyusun alur cerita, (4) Menentukan terem, (5) Menentukan fungsi, (6)
Merumuskan alur, (7) Menjelaskan rumus alur, (8) Merumuskan fungsi, dan (9) Menjelaskan
rumus fungsi.
Berikut ini disampaikan contoh analisis struktur dan fungsi cerita Kale Ngelampe yang
berasal dari cerita rakyat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.
(a) Susunan Peristiwa Cerita Kale Ngelampe I.Musim Buah Kelampe
1.Musim kelampe berbuah. Banyak babi hutan yang berdatangan. 2. Tias pergi berburu sampai suatu tempat yang ditumbuhi oleh banyak sekali pohon kelampe. .3. Tias mendengar ada orang yang sedang bernyanyi. Di dengar dari bawah pohon suaranya terdengar di atas dan bila di dengar dari atas pohon maka suaranya sepertinya ada di bawah. 4. Tias ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 5. Orang kampung mengadakan musyararah untuk membahas asal suara tersebut. 6. Tongkor Labant mendapatkan giliran untuk menyelidiki asal suara tersebut. 7. Sesampainya di tempat yang dituju, Tongkor Labatn mendengar nyanyian:Ribut...ribut...angin ribut...menggoyang buah kelampai. Jatuh sebiji makanan saya, jatuh setandan makanan kami”. 8. Tongkor Labatn ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 9. Tongkor Mayam mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 10. Sampai di tempat, ia mendengar nyanyian yang sama. 11. Tongkor Mayam ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 12. Gadunggu Kase mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 13. Sampai di tempat ia mendengar suara yang sama. 14. Gadunggu Kase ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 15. Ganteleng Lonos mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 16. Ganteleng Lonos ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 17. Ujant mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 18. Sampai tempat yang dituju, Ujatn mendengar suara yang sama. 19. Ujatn tidak takut. Ia dapat mengetahui bahwa suara perempuan itu berasal dari seekor ikan kale (ikan lele). Ujatn pantang kawin (pamali kawin) maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya ketaakutan dan tidak membawa hasil. 20. Maniamas mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 21. Sampai di tempat yang dituju, ia mendengar suara perempuan. 22. Maniamas tidak takut. Ia pemberani. Suara perempuan itu dari seekor ikan kale (ikan lele). Maniamas menangkap ikan tersebut yang kemudian berubah menjadi putri Kale Ngelampe.23. Putri Kale Ngelampe akan dijadikan istri Maniamas. 24. Putri Kale Ngelampe bersedia asalkan Maniamas tidak memberitahukan kepada siapapun tentang asal-usulnya. 25. Maniamas menyetujui syarat tersebut.26. Putri Kale Ngelampe dibawa pulang oleh Maniamas kemudian dinikahinya. II. Pesta Kawin 27. Beras yang ditumbuk hanya satu cawan tetapi tepungnya menjadi bernyiru-nyiru. 28. Beras pulut yang ditumbuk hanya satu canting tetapi tepungnya bertingkalang- tingkalang (keranjang).29. Babi yang ditangkap hanya sebesar tikus tetapi tak seorangpun berhasil menangkapnya kecuali Maniamas. Sisa daging babi disimpan dalam bamboo (wadah/baskom yang sangat besar) sampai penuh. 30. Makannya nasi bungkus sebesar orang sembahyang ternyata sisanya berlebih. 31. Mia mulai mengerti bahwa Kale Ngelampe, istri Maniamas adalah manusia setengah dewa. Dia orang yang sangat sakti.
III. Sesudah Pesta Kawin32. Anak pasangan Kale Ngelampe dan Maniamas mulai besar dan mengerti soal makanan. 33. Ibunya pulang dari ladang membawa tebu. 34. Anak itu membawa tebu kepada bapaknya agar dirautnya. Ayah sibuk meraut rotan. Ayahnya menyuruh anak itu agar minta tolong kepada ibunya. 35. Anak itu mendatangi ibunya dan minta tolong agar mengupaskan tebu. Ibu tidak mau dengan alasan lelah. Ibu menyuruh anak itu agar meminta tolong pada ayahnya. 36. Anak itu untuk yang kesekian kalinya mendatangi ayahnya agar mengupaskan tebu. Ayah menjadi marah. Ia katakan bahwa mau mengupas tebu kalau ibunya bersedia menyanyi ”Kale Ngelampe”. 37. Ibunya pergi ke sungai sambil bernyanyi ”Kale Ngelampe” (Angin...angin...dst). Lama kelamaan Putri Kale Ngelampe berubah menjadi ikan kale dan menghilang.38. Anaknya menangis memberitahukan kepada bapaknya tetapi bapaknya tidak peduli.39. Ketika segalanya telah terjadi, Maniamas baru tersadar. Ia mencari istrinya di sungai tetapi tidak ketemu. Ia terus menyelam dan akhirnya menangkap ikan baung yang sangat besar. Dipeluknya ikan baung itu karena dikira istrinya. Ikan itu dipeluknya erat-erat hingga dadanya terkena patil. Maniamas meninggal dunia. 40. Anak itu hidup sebatang kara. (b) Alur CeritaMusim Buah Kelampe(1) Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, Ganteleng Lonos, dan Ujatn tidak berhasil menyelidiki asal muasal suara perempuan (nyanyian Kale Ngelampe) karena sombong dan ketakutan. (2) Maniamas berhasil mendapatkan Putri Kale Ngelampe karena tidak sombong, mendapatkan restu dari ibunya, dan pemberani. Putri Kale Ngelampe bersedia diperistri oleh Maniamas dengan perjanjian tidak tidak boleh memberitahukan asal-usul putri. Pesta Kawin(3) Orang kampung mengadakan pesta perkawinan Maniamas dengan putri Kale Ngelampe. Terjadi keajaiban. Beras putih dan beras pulut yang hanya satu cawan setelah ditumbuk hasilnya berupa tepung bernyiru-nyiru. Demikian juga babi yang hanya sebesar tikus setelah dimasak hasilnya sisa satu bamboo besar. Kesombongan Mia mengakibatkan ia dipermalukan. Sesudah Pesta Kawin(4) Anak pasangan antara Maniamas dan Kale Ngelampe minta dikupaskan tebu tetapi Kedua orangtuanya tidak mau karena sibuk dan lelah. (5) Maniamas melanggar perjanjian akibatnya Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Anak pasangan Maniamas dan Kale Ngelampe hidup sebatang kara.
Terema: Tujuh orang pemuda
a1 : Tias a2 : Tongkor Labant a3 : Tongkor Mayam a4 : Gadunggu Kase a5 : Ganteleng Lonosa6 : Ujatn a7 : Maniamas b : Ikan Kale (Lele)/Putri Kale Ngelampe c : Mia d : Anak (dari pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe)Fungsix1 : penakut x2 : gagaly1 : pemberani y2 : berhasily3 : menderita, mati z1 : saktiz3 : dipermalukan N = (a1+a2+a3+a4+a5)x1 : (a6+a7)y1 :: (a1+a2+a3+a4)(x1+x2) : (a6+a7)(y1+y2)// bz1 : cz2 :: bz1 : c(z2+z3)//bz1 : a7y1 :: bz1 : a7(y1+y3)::bz1:dy3
Ketakutan lima pemuda (Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, dan Ganteleng Lonos) mengakibatkan kelima pemuda tersebut gagal mendapatkan asal suara perempuan yang diselidikinya sedangkan karena keberaniannya maka Ujatn dan Maniamas bisa berhasil.
Kesaktian Putri Kale Ngelampe mengakibatkan dia mampu mengubah secawan dan ketan secawan menjadi tepung bernyiru-nyiru untuk dibuat kue cucur dan lain-lain sedangkan kesombongan Mia mengakibatkan dirinya dipermalukan.
Karena kesaktian Putri Kale Ngelampe dan karena Maniamas tidak menepati janji mengakibatkan Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Maniamas meninggal dunia dan anaknya hidup sebatang kara. Fungsi(y1+y2+z1) > (x1 + y2) Fungsi pemberani lebih besar dari fungsi penakut karena sesuai yang diinginkan pencerita bahwa dalam mencapai sesuatu diperlukan suatu keberanian. Pelaku1.Tias, laki-laki, penakut. 2. Tongkor Labant, laki-laki, sombong, penakut. 3. Tongkor Mayam, laki-laki, sombong, penakut. 4. Gadunggu Kase, laki-laki, sombong, penakut. 5. Ganteleng Lonos, laki-laki, sombong, penakut. 6. Ujatn, laki-laki, rendah hati, pemberani, selibat (berjanji tidak menikah). 7. Maniamas, laki-laki, pemberani, ingkar janji. 8. Mia, perempuan, sombong, keras kepala. 9. Anak (pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe), tidak disebutkan jenis kelamin.
Menurut hemat penulis, model analisis ini dapat diterapkan pada pembelajaran sastra di
Perguruan Tinggi. Dengan ditawarkannya berbagai model pembelajaran sastra diharapkan dapat
menjadi alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di Indonesia. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Manusia – Tanah – Kearifan Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2009. Kearifan Setempat (Local Wisdom) dan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Makalah Seminar). Singkawang, Kalbar: Hotel Mahkota (30 Juni 2009).
Baedhowi. 2008. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2008. (Makalah Kongres IX Bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra :Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Haba, Jhon. 2006. Analisis SWOT: Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik (Makalah Seminar). Bogor: Hotel Taman Aer (5 Juni 2006).
Haba, Jhon. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resplusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commion.
Hutomo, Suripan sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.
Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature in Developing Countries. London: Longman.
Nugraha, Setya Tri. 2009. Penggalian Nilai-nilai Budaya Melalui Karya Sastra
dalam Pembelajaran BIPA. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Priyadi, A. Totok. Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanayatn (Naskah Disertasi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmanto, B. 2008. Mengoptimalkan Peran Organisasi Profesi dalam Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetition. (Makalah Konggres IXBahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Yus. 1975. Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan dalam Pengembangan Sastra Indonesia (Makalah Seminar). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rusyana, Yus. 2000. Prosa Tradisional Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Yus. 2008. Pembelajaran Sastra di Sekolah dan Landasan-landasannya serta Tautannya dengan Keindonesiaan. Malang: Konferensi International Kesusastraan XIX HISKI.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Tola, Burhanuddin. 2008. Pengujian Hasil Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia (Makalah Kongres IX). Jakarta: Pusat Bahasa.
Diposkan oleh Totok Priyadi di 21.46 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar