cerita rakyt 3

55
Pembelajaran Cerita Rakyat PENANAMAN NILAI-NILAI KERARIFAN LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT Oleh A. Totok Priyadi 1. Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat merupakan buah pikiran warisan leluhur bangsa mengandung bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai gagasan dan penuh nilai (makna) yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. (Hutama, 1991; Danandjaya,1984; Rusyana, 1975;1978;2000). Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan daerah sangat beragam jenis dan isinya. Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral, gagasan, cita-cita, dan pedoman hidup masyarakat pada masa lampau baik tentang manusia sebagai pribadi maupun manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Jadi bagaimana para leluhur zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya dapat terproyeksikan dalam cerita rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam cerita rakyat terkandung kearifan lokal masyarakat pemiliknya. Sebagai warisan atau peninggalan leluhur atau nenek moyang, kearifan lokal adalah kekayaan budaya dan tradisi besar yang tidak saja harus dipertahankan atau dilestarikan tetapi sudah

Upload: dewi-julianti

Post on 08-Feb-2016

74 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CERITA RAKYT 3

Pembelajaran Cerita Rakyat

PENANAMAN NILAI-NILAI KERARIFAN LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT

Oleh A. Totok Priyadi

1. Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik

masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Cerita rakyat merupakan buah pikiran warisan leluhur bangsa mengandung

bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai

gagasan dan penuh nilai (makna) yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. (Hutama, 1991;

Danandjaya,1984; Rusyana, 1975;1978;2000).

Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan daerah sangat beragam jenis dan isinya.

Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral, gagasan, cita-cita, dan

pedoman hidup masyarakat pada masa lampau baik tentang manusia sebagai pribadi maupun

manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Jadi bagaimana para

leluhur zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya dapat terproyeksikan dalam cerita

rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam cerita rakyat terkandung kearifan lokal masyarakat

pemiliknya.

Sebagai warisan atau peninggalan leluhur atau nenek moyang, kearifan lokal adalah

kekayaan budaya dan tradisi besar yang tidak saja harus dipertahankan atau dilestarikan tetapi

sudah sepantasnya dihargai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (Alqadrie, 2009:3).

Lebih lanjut Alqadrie (2009:3) mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dihargai dan

dilaksanakan bukan saja oleh masyarakat setempat pemilik budaya tetapi juga oleh masyarakat

pendatang dan pemerintah daerah di mana kearifan lokal berada. Kearifan lokal menurut Haba

(2006) mengacu kepada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuhkembang dalam masyarakat,

dikenal, dan dipercayai serta diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal

kohesi sosial di antara warga masyarakat. Dengan melaksanakannya secara konsisten berarti

bahwa anggota masyarakat dan pemerintah menghargai dan melestarikan kearifan lokal yang

menjadi tradisi dan warisan serta kekayaan budaya masyarakat.

Page 2: CERITA RAKYT 3

Priyadi (2010) menambahkan bahwa dalam kearifan lokal termuat juga Sistem

Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL) atau sistem pengetahuan asli atau sistem

pengetaahuan adat atau sistem pengetahuan tradisional. SPTL dapat dipahami sebagai

seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau teritori

tertentu dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sasaran yang diciptakan untuk digunakan

untuk menopang kehidupan sehari-hari (Adimihardja, 2008:2).

Menurut Abdullah (2008:7) kearifan lokal atau local wisdom haruslah dipahami sebagai

basis sosial yang memiliki kekuatan penggerak dalam berbagai hal termasuk dinamika konflik

yang tidak usai-usai, mengoptimalkan potensi kearifan lokal sebagai alternatif solusi merupakan

bagian dari pendekatan budaya dalam mengatasi konflik. Dalam pandangan Haba (2007:334-

335) kearifan lokal mempunyai enam fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah

komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan.

Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down) tetapi sebuah unsur

kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu daya ikatnya lebih mengena dan

bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.

Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan

kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam,

kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus

sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir

bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran

bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.

Dalam cerita rakyat terdapat kearifan lokal masyarakat. Beberapa contoh cerita yang

memuat kearifan lokal masyarakat misalnya cerita “Rumput Kalanjana” dari Jawa Timur.

Dikisahkan Raja Brawijaya mencari putrinya yang menghilang ke desa Maja. Ia tak berhasil

menemukan putrinya tersebut. Oleh karena itu, Raja Brawijaya meninggalkan tempat tersebut.

Apa yang terjadi? Setelah Raja Brawijaya meninggalkan tempat itu terlihat ada sesuatu yang

terbakar (kobong/bahasa Jawa). Maka tempat itu dinamakan Gunung Kobong . Di tempat itu

tumbuh rumput kalanjana yang mempunyai khasiat memberikan kekuatan dan dapat

menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itu sampai sekarang ada kepercayaan bahwa rumput

kalanjana dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Page 3: CERITA RAKYT 3

Pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat

ditemukan cerita berjudul Abakng Balungkur. Cerita ini mengisahkan sepasang suami istri yang

iri kepada tetangganya karena hasil ladangnya selalu jelek. Karena itu Abakng Balungkur

mengasah parang dan hendak membunuh Jubata (Tuhan). Ia berjalan naik gunung turun gunung,

masuk hutan ke luar hutan, mencari rumah Jubata dan bila telah bertemu ingin dibunuhnya. Ia

terus berjalan tetapi tidak pernah bisa menemukan Jubata hingga ia kesasar ke suatu rumah orang

yang telah tua. (yang sebenarnya rumah itu rumah Jubata) Oleh orang tua tadi Abakng

Balungkur disuruh pulang ke rumahnya karena sampai kapanpun ia tidak akan bisa menemukan

Jubata. Abakng Balungkur tidak mau dan nekat ingin mencari Jubata.

Oleh orang tua tadi, Abakng Balungkur diajak ke ladang untuk mengadakan upacara

membuka ladang. Seekor ayam dipotong dan orang tua tadi berdoa kepada Jubata agar ladangnya

subur dan mengasilkan padi berlimpah. Orang tua tadi juga mengusir setan yang mengganggu.

Orang tua tadi juga mengajak Abakng Balungkur mendengarkan suara burung Tingkakok untuk

menentukan ladang yang bagus.

Selesai mengadakan upacara membuka ladang, Abakng Balungkur diajak pulang ke

rumah orang tua tadi. Istri orang tua itu disuruh masak dan membuat oleh-oleh untuk keluarga

Abakng Balungkur. Maka pulanglah Abakng Balungkur. . Sesampainya di rumah ia dan istrinya

membuka oleh-oleh yang diberikan orang tua tadi, ternyata ada daging ayam sebelah, beras padi,

dan beras ketan. Ia dan istrinya langsung memakan oleh-oleh tersebut. Setelah selesai makan

tiba-tiba teringatlah Balungkur tentang acara selamatan yang ia lakukan bersama orang tua tadi.

Segera ia pergi ke ladangnya dan di sana ia melihat masih ada api yang menyala dan ayam bakar

yang masih membara. Maka tersadarlah dia, ternyata acara yang mereka lakukan tadi adalah di

ladangnya sendiri. Dari cerita ini diperoleh kearifan lokal berupa Sistem Pengetahuan dan

Teknologi Lokal (SPTL) yakni bagaimana orang Dayak Kanayatn membuka ladang.

2.Tujuan Pembelajaran Sastra

Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan. Sastra lisan adalah bagian dari Sastra

Indonesia. Pendidikan sastra memupuk kecerdasan siswa hampir dalam semua aspek. Peran guru

berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Guru sebagai yang digugu dan ditiru harus

dapat mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan mempersiapkan

diri menatap masa depan. Guru adalah panutan bagi anak didiknya. Guru harus tahu bagaimana

Page 4: CERITA RAKYT 3

menempatkan dirinya di tengah-tengah anak didik dan masyarakat. Contoh yang salah akan

membawa pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak didik (Baedhowi. 2008:8).

Lebih lanjut Baedhowi (2008:8) mengatakan bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan

untuk penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat mengembangkan anak

didik dengan penanaman nilai-nilai. Melalui apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan,

penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ) anak dapat dilatih. Latihan yang dapat

dilakukan misalnya dengan mencari unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (termasuk cerita

rakyat ) seperti tema, amanat, penokohan, latar, alur, dan pusat pengisahan.

Baedhowi (2008:9) juga mengatakan bahwa di samping melatih IQ anak, kegiatan

apresiasi sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional

adalah bagaimana siswa tangguh dan berinisiatif serta optimis dalam menghadapi persoalan

hidup. Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat (Damono, 1984, 2000; Teeuw, 1984;

Luxemburg, 1984), maka siswa dapat mempelajari kehidupan yang ditampilkan dalam karya

sastra, termasuk dari cerita rakyat. Secara kreatif siswa akan mengenal watak-watak tokoh dalam

karya sastra. Watak tokoh dalam cerita itu secara kreatif dipelajari anak didik. Mereka akan

meniru watak tokoh yang mereka senangi dan akan menolak tokoh-tokoh yang tidak

disenanginya. Bertambah banyak mereka diperkenalkan dengan karya sastra termasuk cerita-

cerita rakyat, mereka akan mengenal bermacam-macam kehidupan beserta latar dan watak

tokohnya.

Rahmanto (1988:Moody: 1971) mengatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki

beberapa tujuan yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan

budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak.

Mengingat apresiasi sastra dapat membantu keterampilan berbahasa dan meningkatkan

pengetahuan budaya maka Littlewood (1987:178-183; Nugraha, 2009) dalam artikelnya yang

berjudul “Literature in the School Foreign Language Course” mengajukan lima perspektif

berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:

1. Pada perpektif paling awal karya sastra menyediakan struktur kebahasaan. Hal ini

sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa khususnya membaca

pemahaman yang disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.

2. Pada perpektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang berbeda dari

bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan sebagai sarana

Page 5: CERITA RAKYT 3

pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh karya

sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan, dialog, dan ragam

naratif dalam teksnya.

3. Perpektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji dari segi

babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan pengarang dalam

karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini pembelajar dihadapkan pada “dunia”

kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia kreasi itu, pembelajar akan

diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas konteks kebahasaan, sekaligus

dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia nyata, termasuk di dalamnya

pemakaian bahasanya.

4. Perpektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar apabila

dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga perpektif

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perpeektif ini pembelajar dituntun

ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai ekspresi kebahasaan

yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula diskusi dalam bahasa

target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan logika bernalar yang

dimiliki oleh pembelajar.

5. Perpektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang sekiranya

dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang historis

dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan pembelajaraan.

Pada perpektif ini siswa/mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan

pemahaman budaya yang menjadi latar sosial atau tema karya sastra yang

dibahas.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembelajaran sastra termasuk pembelajaran

cerita rakyat mempunyai beberapa tujuan.

a. Mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan

mempersiapkan diri menatap masa depan.

b. Penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat

mengembangkan anak didik dengan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai

kearifan lokal.

c. Mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ)

Page 6: CERITA RAKYT 3

anak.

d. Mengembangkan kecerdasan emosional (EQ).

e. Membantu keterampilan berbahasa.

f. Meningkatkan pengetahuan budaya.

g. Mengembangkan cipta dan rasa.

h. Menunjang pembentukan watak.

3. Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di Indonesia

Dalam pelaksanaan pembelajaran sastra di Indonesia, pembelajaran sastra disatukan

dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini seringkali dianggap sebagai suatu permasalahan

(Rusyana, 2008:1). Mengingat pembelajaran sastra disatukan dengan pembelajaran bahasa

Indonesia, bisa jadi hal ini menjadikan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia tidak

memuaskan. Hal ini tercermin dari nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dari tahun ke tahun

sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel Rata-rata nilai bahasa Indonesia sekolah negeri dan swasta tingkat nasional

NO. TAHUN SMP SMAIPA

SMAIPS

SMA BHS

1. 1994/1995 6,07 6,84 6,07 6,182. 1995/1996 6,64 7,01 6,19 6,193. 1996/1997 6,73 6,74 6,30 6,154. 1997/1998 5,62 6,17 5,59 5,775. 1998/1999 5,96 5,56 5,00 4,756. 1999/2000 5,38 5,74 5,05 5,297. 2000/2001 5,40 5,34 4,67 5,068. 2001/2002 5,30 5,84 5,13 4,489. 2002/2003 5,79 5,60 4,93 4,6610. 2003/2004 5,84 5,96 5,36 5,6111. 2004/2005 6,64 6,96 6,32 6,8412. 2005/2006 7,46 7,90 7,26 7,4013. 2006/2007 7,39 7,56 6,95 7,0814. 2007/2008 7,00 7,60 6,95 6,56

Sumber: Puspendik, Balitbang Diknas (dalam Tola, 2008: 2)

Page 7: CERITA RAKYT 3

Menurut Rahmanto (2008) pembelajaran sastra di Indonesia haruslah direvitalisasi agar

mampu menyumbangkan perannya untuk pembangunan moral bangsa Indonesia yang sudah

centang merentang dan amburadul. Humaniora selayaknya digiatkan dan dihidupkan lagi karena

humaniora memberikan wawasan luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan

untuk implikasi sosial dan kultural, serta kemampuan untuk melihat keseluruhan gambar

kehidupan. Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat

berbagai kearifan lokal dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra yang pada gilirannya

dapat diharapkan berkontribusi dalam membangun moral bangsa.

Pembelajaran Sastra menurut Rahmanto harus dipisahkan dengan bahasa. Pembelajaran

sastra adalah membaca teks sastra dan mengapresiasi sastra. "Kecakapan yang perlu

dikembangkan justru indrawi, nalar, afektif, sosial, dan religius. Hal ini sejalan dengan

mengasah, mengasuh, mengasihi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, yaitu personal,

sosial, dan religius"(http://www.usd.ac.id).

4. Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran

Menurut Rahmanto (1988) prinsip penting dalam pengajaran sastra (termasuk cerita

rakyat) adalah bahwa bahan pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan

kemampuan siswa. Sesuai dengan kemampuan siswa karya sastra yang akan disajikan hendaknya

juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya. Tanpa

adanya kesesuaian antara siswa dengan bahan yang akan diajarkan maka pembelajaran sastra

akan gagal (1988:26).

Para guru sastra yang telah berpengalaman tentu mempunyai catatan pengalaman yang

menarik berkaitan dengan pemilihan bahan pengajaran sastra. Sebagai contoh novel yang

menarik perhatian anak-anak yang berumur 15 – 16 tahun ternyata sangat menjemukan (tidak

menarik perhatian) para siswa yang umurnya 12 – 13 tahun. Manusia ternyata mempunyai

keterbatasan dan jarang ada siswa yang dapat dijejali pengalaman sastra di luar jangkauan

pengetahuannya betapapun terkenal dan hebatnya pengarang karya sastra tersebut.

Kemampuan untuk memilih bahan pengajaraan sastra dipengaruhi oleh banyak faktor

antara lain : berapa banyaknya karya sastra yang tersedia di perpustaakaan sekolah, kurikulum

Page 8: CERITA RAKYT 3

yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus disampaikan agar dapat men ngikuti tes akhir

tahun,perlu dan lain-lain.

Rahmanto (1988:26-33; Moody, 1971) menyarankan 3 kriteria dalam pemilihan bahan

pembelajaran sastra yaitu (1) bahasa, (2) kematangan jiwa/psikologi, dan (3) latar belakang

kebudayaan siswa.

(1) Bahasa

Seorang guru hendaknya selalu berusaha memahami tingkat kebahasaan siswa-siswinya

sehingga berdasarkan pemahaman tersebut guru dapat memilih materi yang cocok untuk

disajikan. Dalam meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru hendaknya tidak hanya

memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu juga mempertimbangkan situasi dan isi

wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu perlu juga diperhatikan cara

penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga dapat

memahami kata-kata kiasan yang digunakan.

(2) Psikologi

Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis anak

hendaknya diperhatikan karena tahap perkembangan psikologis anak sangat perpengaruh

terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis

juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan

bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.

Menurut Rahmanto (1988, Moody, 1971) pentahapan psikologis anak dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tahap pengkhayal ( 8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan

berbagai fantasi kekanakan.

b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski

pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tetapi pada tahap ini anak telah

menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

c. Tahap realitas (13 sampai 16 tahun)

Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat

berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan

Page 9: CERITA RAKYT 3

siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan

yang nyata.

d. Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan selanjutnya)

Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga

berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.

Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab

utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan

keputusan-keputusan moral.

Karya sastra yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada

umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan

psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya

secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu.

(3) Latar belakang budaya

Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang erat

hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka terutama bila karya sastra itu

menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan

mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.

Dengan demikian secara umum guru sastra hendaknya memilih bahan pengajaran dengan

menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya yang latar ceritanya dikenal oleh para

siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat

menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan

kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya.

Secara umum Rusyana (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sastra hendaknya

memperhatikan (1) landasan-landasan pendidikan sastra dan (2) konteks keindonesiaan.

Landasan-landasan pendidikan sastra meliputi (a) kebudayaan, (b) edukasional seperti filsafat

pendidikan, psikologi pendidikan, dan kurikulum, dan (c) kesastraan yang meliputi karya sastra

dan ilmu sastra. Sedangkan konteks keindonesiaan meliputi aspek ideologi, politik, dan

kanonisasi.

5. Model yang Ditawarkan

a. Model Penuturan Dongeng (Mopendo)

Page 10: CERITA RAKYT 3

Sukatman (2009:183-187) mengemukakan bahwa Mopendo dapat dikembangkan

menjadi model pembelajaran sastra di sekolah dengan modifikasi dan pemodernan seperlunya.

Mopendo mempunyai tahapan (1) persiapan, (2) penuturan cerita, (3) tanggapan lisan, (4)

konsulidasi, (5) reproduksi, dan (6) evaluasi.

Pada tahap persiapan, seorang guru perlu menyiapkan materi misalnya materi berupa

cerita rakyat. Guru juga perlu menyiapkan media penuturannya apakah akan disampaikan secara

langsung atau lewat rekaman. Guru juga perlu menyiapkan setting penuturan apakah akan

dilaksanakan di dalam kelas atau di alam terbuka. Penyiapan alat bantu penyimakan cerita juga

perlu disiapkan. Mungkin diperlukan ringkasan cerita atau naskah cerita dan alat tulis.

Pada tahap penuturan cerita, menurut Sukatman (2009:184) meliputi penciptaan suasana

yang kondusif, suasana yang aman, akrab, menyenangkan, dan siap dengar. Sesudah terwujud

suasana yang kondusif barulah dilaksanakan penuturan cerita yang dalam pelaksanaannya bisa

langsung dilakukan oleh tukang cerita atau guru atau siswa atau hanya berupa pemutaran

kaset/film. Bila memungkinkan, siswa yang mendengar cerita bisa meminta agar si pencerita

mengulangi ceritanya pada bagian yang tidak jelas.

Pada tahap tanggapan lisan, siswa diminta untuk menceritakan hasil menyimak cerita

secara singkat. Guru juga bisa meminta tanggapan siswa mengenai hal yang disenangi dan tidak

disenangi tentu disertai alasan mengapa senang dan tidaak senang. Untuk siswa tingkat SMA

komentar bisa dikaitkan dengan unsur intrinsik yang membangun cerita.

Pada tahap konsulidasi, guru perlu meluruskan hasil penyimakan siswa yang kurang

tepat. Guru juga perlu menyampaikan pelurusan terhadap pemahaman cerita yang salah. Pada

tahap ini, pemantapan pemahaman cerita dan penangkapan konsep oleh guru dan siswa perlu

dilakukan secara bersama-sama.

Pada tahap reproduksi, siswa diminta untuk menuliskan kembali cerita dengan gaya dan

bahasa siswa. Siswa juga dapat diminta untuk menulis kritik sederhana. Siswa juga dapat diminta

mengubah cerita menjadi bentuk karya sastra yang lain seperti puisi dan drama.

Pada tahap evaluasi, ada lima aspek yang dapat dievaluasi yakni tahap persiapan

penuturan, tahap proses penuturan cerita, tanggapan lisan, konsolidasi, dan reeproduksi.

Menurut hemat penulis, model Mopendo ini dapat digunakan oleh guru bila ingin

menanamkan nilai-nilai kearifan lokal kepada para siswa. Model ini menurut hemat penulis akan

lebih cocok bila diterapkan di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Page 11: CERITA RAKYT 3

b. Analisis Struktur dan Fungsi Model Maranda

Teori struktur naratif dipelopori oleh Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda, dan

Vladimir Propp. Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda menulis buku Structural Models in

Folklore and Transformasional Essays (1971) yang berisikan model-model penganalisisan

struktur sastra lisan yang menggunakaan satuan unsur yang bernama terem (term) dan fungsi

(function) (Sudikan, 2001:25).

Konsep utama struktur naratif ala Maranda dapat dideskripsikan sebagai berikut. Terem

(term) adalah simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan. Selain

itu terem dapat berupa dramatis personae, pelaku magis, dan gejala alam. Semua itu merupakan

segala subjek yang dapat berbuat atau melakukan peran tertentu dalam cerita. Terem-terem

tersebut satu sama lain saling bertentangan. Semua terem dapat dikategorikan sebagai peran

tunggal dan peran ganda.

Terem pertama (TP) terdapat dalam unsur peran tunggal pada awal cerita (rakyat/cerita

lisan) sebelum pemecahan suatu krisis. Terem kedua (TK) yang disebut juga sebagai mediator

dapat dijumpai pada unsur peran ganda dalam situasi sebelum suatu krisis terselesaikan. Alur

cerita rakyat ala Maranda dapat diskemakan sebagai berikut.

Page 12: CERITA RAKYT 3

Fungsi (function) adalah peranan yang dipegang oleh terem. Dengan demikian fungsi

mempengaruhi terem, bersifat dinamis. Walaupun demikian, fungsi wujudnya dibatasi oleh

terem maksudnya wujud itu hanya seperti apa yang diekspresikan dalam terem yang memberinya

wujud yang nyata. Simpulannya, terem berubah-ubah sedangkan fungsi tetap. Hal tersebut dapat

diskemakan sebagai berikut:

KEBURUKAN 

KEBAIKAN FUNGSI

Terem : A A

B B

Catatan: Kedudukan A dapat digantikan oleh B.

Dalam analisis digunakan tanda : dan :: untuk menunjukkan hubungan sebab akibat.

Untuk terem dipergunakan tanda a, b, c, d, e, f, dan seterusnya. Sedangkan untuk fungsi

dipergunakan tanda x, y, dan z. Sedangkan rumus yang dipergunakan adalah: (a) x : (b)y :: (b)x :

(y)a-1

Terem (a) adalah terem pertama yang menyatakan unsur dinamik. Tanda (b) adalah terem

kedua. Tanda x adalah fungsi yang memberi kekhasan pada terem (a). Tanda y adalah fungsi

yang bertentangan dengan tanda x yang memberi kekhasan kepada terem (b) dalam

pemunculannya yang pertama. Tanda (a-1 ) merupakan tanda perubahan terem menjadi tanda

fungsi. Hal ini terjadi karena rumus tersebut tidak linear.

Tahapan analisis (1) membaca naskah cerita rakyat secara berulang-ulang, (2) Membuat

susunan peristiwa, (3) Menyusun alur cerita, (4) Menentukan terem, (5) Menentukan fungsi, (6)

Merumuskan alur, (7) Menjelaskan rumus alur, (8) Merumuskan fungsi, dan (9) Menjelaskan

rumus fungsi.

Berikut ini disampaikan contoh analisis struktur dan fungsi cerita Kale Ngelampe yang

berasal dari cerita rakyat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.

(a) Susunan Peristiwa Cerita Kale Ngelampe I.Musim Buah Kelampe

Page 13: CERITA RAKYT 3

1.Musim kelampe berbuah. Banyak babi hutan yang berdatangan. 2. Tias pergi berburu sampai suatu tempat yang ditumbuhi oleh banyak sekali pohon kelampe. .3. Tias mendengar ada orang yang sedang bernyanyi. Di dengar dari bawah pohon suaranya terdengar di atas dan bila di dengar dari atas pohon maka suaranya sepertinya ada di bawah. 4. Tias ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 5. Orang kampung mengadakan musyararah untuk membahas asal suara tersebut. 6. Tongkor Labant mendapatkan giliran untuk menyelidiki asal suara tersebut. 7. Sesampainya di tempat yang dituju, Tongkor Labatn mendengar nyanyian:Ribut...ribut...angin ribut...menggoyang buah kelampai. Jatuh sebiji makanan saya, jatuh setandan makanan kami”. 8. Tongkor Labatn ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 9. Tongkor Mayam mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 10. Sampai di tempat, ia mendengar nyanyian yang sama. 11. Tongkor Mayam ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 12. Gadunggu Kase mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 13. Sampai di tempat ia mendengar suara yang sama. 14. Gadunggu Kase ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 15. Ganteleng Lonos mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 16. Ganteleng Lonos ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 17. Ujant mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 18. Sampai tempat yang dituju, Ujatn mendengar suara yang sama. 19. Ujatn tidak takut. Ia dapat mengetahui bahwa suara perempuan itu berasal dari seekor ikan kale (ikan lele). Ujatn pantang kawin (pamali kawin) maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya ketaakutan dan tidak membawa hasil. 20. Maniamas mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 21. Sampai di tempat yang dituju, ia mendengar suara perempuan. 22. Maniamas tidak takut. Ia pemberani. Suara perempuan itu dari seekor ikan kale (ikan lele). Maniamas menangkap ikan tersebut yang kemudian berubah menjadi putri Kale Ngelampe.23. Putri Kale Ngelampe akan dijadikan istri Maniamas. 24. Putri Kale Ngelampe bersedia asalkan Maniamas tidak memberitahukan kepada siapapun tentang asal-usulnya. 25. Maniamas menyetujui syarat tersebut.26. Putri Kale Ngelampe dibawa pulang oleh Maniamas kemudian dinikahinya. II. Pesta Kawin 27. Beras yang ditumbuk hanya satu cawan tetapi tepungnya menjadi bernyiru-nyiru. 28. Beras pulut yang ditumbuk hanya satu canting tetapi tepungnya bertingkalang- tingkalang (keranjang).29. Babi yang ditangkap hanya sebesar tikus tetapi tak seorangpun berhasil menangkapnya kecuali Maniamas. Sisa daging babi disimpan dalam bamboo (wadah/baskom yang sangat besar) sampai penuh. 30. Makannya nasi bungkus sebesar orang sembahyang ternyata sisanya berlebih. 31. Mia mulai mengerti bahwa Kale Ngelampe, istri Maniamas adalah manusia setengah dewa. Dia orang yang sangat sakti.

Page 14: CERITA RAKYT 3

III. Sesudah Pesta Kawin32. Anak pasangan Kale Ngelampe dan Maniamas mulai besar dan mengerti soal makanan. 33. Ibunya pulang dari ladang membawa tebu. 34. Anak itu membawa tebu kepada bapaknya agar dirautnya. Ayah sibuk meraut rotan. Ayahnya menyuruh anak itu agar minta tolong kepada ibunya. 35. Anak itu mendatangi ibunya dan minta tolong agar mengupaskan tebu. Ibu tidak mau dengan alasan lelah. Ibu menyuruh anak itu agar meminta tolong pada ayahnya. 36. Anak itu untuk yang kesekian kalinya mendatangi ayahnya agar mengupaskan tebu. Ayah menjadi marah. Ia katakan bahwa mau mengupas tebu kalau ibunya bersedia menyanyi ”Kale Ngelampe”. 37. Ibunya pergi ke sungai sambil bernyanyi ”Kale Ngelampe” (Angin...angin...dst). Lama kelamaan Putri Kale Ngelampe berubah menjadi ikan kale dan menghilang.38. Anaknya menangis memberitahukan kepada bapaknya tetapi bapaknya tidak peduli.39. Ketika segalanya telah terjadi, Maniamas baru tersadar. Ia mencari istrinya di sungai tetapi tidak ketemu. Ia terus menyelam dan akhirnya menangkap ikan baung yang sangat besar. Dipeluknya ikan baung itu karena dikira istrinya. Ikan itu dipeluknya erat-erat hingga dadanya terkena patil. Maniamas meninggal dunia. 40. Anak itu hidup sebatang kara. (b) Alur CeritaMusim Buah Kelampe(1) Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, Ganteleng Lonos, dan Ujatn tidak berhasil menyelidiki asal muasal suara perempuan (nyanyian Kale Ngelampe) karena sombong dan ketakutan. (2) Maniamas berhasil mendapatkan Putri Kale Ngelampe karena tidak sombong, mendapatkan restu dari ibunya, dan pemberani. Putri Kale Ngelampe bersedia diperistri oleh Maniamas dengan perjanjian tidak tidak boleh memberitahukan asal-usul putri. Pesta Kawin(3) Orang kampung mengadakan pesta perkawinan Maniamas dengan putri Kale Ngelampe. Terjadi keajaiban. Beras putih dan beras pulut yang hanya satu cawan setelah ditumbuk hasilnya berupa tepung bernyiru-nyiru. Demikian juga babi yang hanya sebesar tikus setelah dimasak hasilnya sisa satu bamboo besar. Kesombongan Mia mengakibatkan ia dipermalukan. Sesudah Pesta Kawin(4) Anak pasangan antara Maniamas dan Kale Ngelampe minta dikupaskan tebu tetapi Kedua orangtuanya tidak mau karena sibuk dan lelah. (5) Maniamas melanggar perjanjian akibatnya Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Anak pasangan Maniamas dan Kale Ngelampe hidup sebatang kara.

Terema: Tujuh orang pemuda

Page 15: CERITA RAKYT 3

a1 : Tias a2 : Tongkor Labant a3 : Tongkor Mayam a4 : Gadunggu Kase a5 : Ganteleng Lonosa6 : Ujatn a7 : Maniamas b : Ikan Kale (Lele)/Putri Kale Ngelampe c : Mia d : Anak (dari pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe)Fungsix1 : penakut x2 : gagaly1 : pemberani y2 : berhasily3 : menderita, mati z1 : saktiz3 : dipermalukan N = (a1+a2+a3+a4+a5)x1 : (a6+a7)y1 :: (a1+a2+a3+a4)(x1+x2) : (a6+a7)(y1+y2)// bz1 : cz2 :: bz1 : c(z2+z3)//bz1 : a7y1 :: bz1 : a7(y1+y3)::bz1:dy3

Ketakutan lima pemuda (Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, dan Ganteleng Lonos) mengakibatkan kelima pemuda tersebut gagal mendapatkan asal suara perempuan yang diselidikinya sedangkan karena keberaniannya maka Ujatn dan Maniamas bisa berhasil.

Kesaktian Putri Kale Ngelampe mengakibatkan dia mampu mengubah secawan dan ketan secawan menjadi tepung bernyiru-nyiru untuk dibuat kue cucur dan lain-lain sedangkan kesombongan Mia mengakibatkan dirinya dipermalukan.

Karena kesaktian Putri Kale Ngelampe dan karena Maniamas tidak menepati janji mengakibatkan Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Maniamas meninggal dunia dan anaknya hidup sebatang kara. Fungsi(y1+y2+z1) > (x1 + y2) Fungsi pemberani lebih besar dari fungsi penakut karena sesuai yang diinginkan pencerita bahwa dalam mencapai sesuatu diperlukan suatu keberanian. Pelaku1.Tias, laki-laki, penakut. 2. Tongkor Labant, laki-laki, sombong, penakut. 3. Tongkor Mayam, laki-laki, sombong, penakut. 4. Gadunggu Kase, laki-laki, sombong, penakut. 5. Ganteleng Lonos, laki-laki, sombong, penakut. 6. Ujatn, laki-laki, rendah hati, pemberani, selibat (berjanji tidak menikah). 7. Maniamas, laki-laki, pemberani, ingkar janji. 8. Mia, perempuan, sombong, keras kepala. 9. Anak (pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe), tidak disebutkan jenis kelamin.

Page 16: CERITA RAKYT 3

Menurut hemat penulis, model analisis ini dapat diterapkan pada pembelajaran sastra di

Perguruan Tinggi. Dengan ditawarkannya berbagai model pembelajaran sastra diharapkan dapat

menjadi alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di Indonesia. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Manusia – Tanah – Kearifan Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB.

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2009. Kearifan Setempat (Local Wisdom) dan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Makalah Seminar). Singkawang, Kalbar: Hotel Mahkota (30 Juni 2009).

Baedhowi. 2008. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2008. (Makalah Kongres IX Bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra :Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Haba, Jhon. 2006. Analisis SWOT: Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik (Makalah Seminar). Bogor: Hotel Taman Aer (5 Juni 2006).

Haba, Jhon. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resplusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commion.

Hutomo, Suripan sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.

Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature in Developing Countries. London: Longman.

Nugraha, Setya Tri. 2009. Penggalian Nilai-nilai Budaya Melalui Karya Sastra

Page 17: CERITA RAKYT 3

dalam Pembelajaran BIPA. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Priyadi, A. Totok. Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanayatn (Naskah Disertasi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rahmanto, B. 2008. Mengoptimalkan Peran Organisasi Profesi dalam Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetition. (Makalah Konggres IXBahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa.

Rusyana, Yus. 1975. Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan dalam Pengembangan Sastra Indonesia (Makalah Seminar). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rusyana, Yus. 2000. Prosa Tradisional Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa.

Rusyana, Yus. 2008. Pembelajaran Sastra di Sekolah dan Landasan-landasannya serta Tautannya dengan Keindonesiaan. Malang: Konferensi International Kesusastraan XIX HISKI.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Tola, Burhanuddin. 2008. Pengujian Hasil Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia (Makalah Kongres IX). Jakarta: Pusat Bahasa.

Diposkan oleh Totok Priyadi di 21.46 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Pembelajaran Cerita Rakyat

Page 18: CERITA RAKYT 3

PENANAMAN NILAI-NILAI KERARIFAN LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN CERITA RAKYAT

Oleh A. Totok Priyadi

1. Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik

masyarakat, diwariskan secara lisan dan turun-temurun yaitu dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Cerita rakyat merupakan buah pikiran warisan leluhur bangsa mengandung

bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai

gagasan dan penuh nilai (makna) yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. (Hutama, 1991;

Danandjaya,1984; Rusyana, 1975;1978;2000).

Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan daerah sangat beragam jenis dan isinya.

Isinya menunjukkan kekayaan rohani dalam bentuk nilai-nilai moral, gagasan, cita-cita, dan

pedoman hidup masyarakat pada masa lampau baik tentang manusia sebagai pribadi maupun

manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Jadi bagaimana para

leluhur zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya dapat terproyeksikan dalam cerita

rakyat. Dengan kata lain bahwa dalam cerita rakyat terkandung kearifan lokal masyarakat

pemiliknya.

Sebagai warisan atau peninggalan leluhur atau nenek moyang, kearifan lokal adalah

kekayaan budaya dan tradisi besar yang tidak saja harus dipertahankan atau dilestarikan tetapi

sudah sepantasnya dihargai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (Alqadrie, 2009:3).

Lebih lanjut Alqadrie (2009:3) mengatakan bahwa kearifan lokal perlu dihargai dan

dilaksanakan bukan saja oleh masyarakat setempat pemilik budaya tetapi juga oleh masyarakat

pendatang dan pemerintah daerah di mana kearifan lokal berada. Kearifan lokal menurut Haba

(2006) mengacu kepada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuhkembang dalam masyarakat,

dikenal, dan dipercayai serta diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal

kohesi sosial di antara warga masyarakat. Dengan melaksanakannya secara konsisten berarti

bahwa anggota masyarakat dan pemerintah menghargai dan melestarikan kearifan lokal yang

menjadi tradisi dan warisan serta kekayaan budaya masyarakat.

Priyadi (2010) menambahkan bahwa dalam kearifan lokal termuat juga Sistem

Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL) atau sistem pengetahuan asli atau sistem

Page 19: CERITA RAKYT 3

pengetaahuan adat atau sistem pengetahuan tradisional. SPTL dapat dipahami sebagai

seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau teritori

tertentu dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sasaran yang diciptakan untuk digunakan

untuk menopang kehidupan sehari-hari (Adimihardja, 2008:2).

Menurut Abdullah (2008:7) kearifan lokal atau local wisdom haruslah dipahami sebagai

basis sosial yang memiliki kekuatan penggerak dalam berbagai hal termasuk dinamika konflik

yang tidak usai-usai, mengoptimalkan potensi kearifan lokal sebagai alternatif solusi merupakan

bagian dari pendekatan budaya dalam mengatasi konflik. Dalam pandangan Haba (2007:334-

335) kearifan lokal mempunyai enam fungsi. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah

komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan.

Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down) tetapi sebuah unsur

kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu daya ikatnya lebih mengena dan

bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.

Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan

kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam,

kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus

sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir

bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran

bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.

Dalam cerita rakyat terdapat kearifan lokal masyarakat. Beberapa contoh cerita yang

memuat kearifan lokal masyarakat misalnya cerita “Rumput Kalanjana” dari Jawa Timur.

Dikisahkan Raja Brawijaya mencari putrinya yang menghilang ke desa Maja. Ia tak berhasil

menemukan putrinya tersebut. Oleh karena itu, Raja Brawijaya meninggalkan tempat tersebut.

Apa yang terjadi? Setelah Raja Brawijaya meninggalkan tempat itu terlihat ada sesuatu yang

terbakar (kobong/bahasa Jawa). Maka tempat itu dinamakan Gunung Kobong . Di tempat itu

tumbuh rumput kalanjana yang mempunyai khasiat memberikan kekuatan dan dapat

menyembuhkan berbagai penyakit. Karena itu sampai sekarang ada kepercayaan bahwa rumput

kalanjana dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat

ditemukan cerita berjudul Abakng Balungkur. Cerita ini mengisahkan sepasang suami istri yang

iri kepada tetangganya karena hasil ladangnya selalu jelek. Karena itu Abakng Balungkur

Page 20: CERITA RAKYT 3

mengasah parang dan hendak membunuh Jubata (Tuhan). Ia berjalan naik gunung turun gunung,

masuk hutan ke luar hutan, mencari rumah Jubata dan bila telah bertemu ingin dibunuhnya. Ia

terus berjalan tetapi tidak pernah bisa menemukan Jubata hingga ia kesasar ke suatu rumah orang

yang telah tua. (yang sebenarnya rumah itu rumah Jubata) Oleh orang tua tadi Abakng

Balungkur disuruh pulang ke rumahnya karena sampai kapanpun ia tidak akan bisa menemukan

Jubata. Abakng Balungkur tidak mau dan nekat ingin mencari Jubata.

Oleh orang tua tadi, Abakng Balungkur diajak ke ladang untuk mengadakan upacara

membuka ladang. Seekor ayam dipotong dan orang tua tadi berdoa kepada Jubata agar ladangnya

subur dan mengasilkan padi berlimpah. Orang tua tadi juga mengusir setan yang mengganggu.

Orang tua tadi juga mengajak Abakng Balungkur mendengarkan suara burung Tingkakok untuk

menentukan ladang yang bagus.

Selesai mengadakan upacara membuka ladang, Abakng Balungkur diajak pulang ke

rumah orang tua tadi. Istri orang tua itu disuruh masak dan membuat oleh-oleh untuk keluarga

Abakng Balungkur. Maka pulanglah Abakng Balungkur. . Sesampainya di rumah ia dan istrinya

membuka oleh-oleh yang diberikan orang tua tadi, ternyata ada daging ayam sebelah, beras padi,

dan beras ketan. Ia dan istrinya langsung memakan oleh-oleh tersebut. Setelah selesai makan

tiba-tiba teringatlah Balungkur tentang acara selamatan yang ia lakukan bersama orang tua tadi.

Segera ia pergi ke ladangnya dan di sana ia melihat masih ada api yang menyala dan ayam bakar

yang masih membara. Maka tersadarlah dia, ternyata acara yang mereka lakukan tadi adalah di

ladangnya sendiri. Dari cerita ini diperoleh kearifan lokal berupa Sistem Pengetahuan dan

Teknologi Lokal (SPTL) yakni bagaimana orang Dayak Kanayatn membuka ladang.

2.Tujuan Pembelajaran Sastra

Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan. Sastra lisan adalah bagian dari Sastra

Indonesia. Pendidikan sastra memupuk kecerdasan siswa hampir dalam semua aspek. Peran guru

berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Guru sebagai yang digugu dan ditiru harus

dapat mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan mempersiapkan

diri menatap masa depan. Guru adalah panutan bagi anak didiknya. Guru harus tahu bagaimana

menempatkan dirinya di tengah-tengah anak didik dan masyarakat. Contoh yang salah akan

membawa pengaruh yang buruk terhadap perkembangan anak didik (Baedhowi. 2008:8).

Page 21: CERITA RAKYT 3

Lebih lanjut Baedhowi (2008:8) mengatakan bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan

untuk penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat mengembangkan anak

didik dengan penanaman nilai-nilai. Melalui apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan,

penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ) anak dapat dilatih. Latihan yang dapat

dilakukan misalnya dengan mencari unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (termasuk cerita

rakyat ) seperti tema, amanat, penokohan, latar, alur, dan pusat pengisahan.

Baedhowi (2008:9) juga mengatakan bahwa di samping melatih IQ anak, kegiatan

apresiasi sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan emosional

adalah bagaimana siswa tangguh dan berinisiatif serta optimis dalam menghadapi persoalan

hidup. Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat (Damono, 1984, 2000; Teeuw, 1984;

Luxemburg, 1984), maka siswa dapat mempelajari kehidupan yang ditampilkan dalam karya

sastra, termasuk dari cerita rakyat. Secara kreatif siswa akan mengenal watak-watak tokoh dalam

karya sastra. Watak tokoh dalam cerita itu secara kreatif dipelajari anak didik. Mereka akan

meniru watak tokoh yang mereka senangi dan akan menolak tokoh-tokoh yang tidak

disenanginya. Bertambah banyak mereka diperkenalkan dengan karya sastra termasuk cerita-

cerita rakyat, mereka akan mengenal bermacam-macam kehidupan beserta latar dan watak

tokohnya.

Rahmanto (1988:Moody: 1971) mengatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki

beberapa tujuan yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan

budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak.

Mengingat apresiasi sastra dapat membantu keterampilan berbahasa dan meningkatkan

pengetahuan budaya maka Littlewood (1987:178-183; Nugraha, 2009) dalam artikelnya yang

berjudul “Literature in the School Foreign Language Course” mengajukan lima perspektif

berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:

1. Pada perpektif paling awal karya sastra menyediakan struktur kebahasaan. Hal ini

sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa khususnya membaca

pemahaman yang disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.

2. Pada perpektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang berbeda dari

bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan sebagai sarana

pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh karya

sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan, dialog, dan ragam

Page 22: CERITA RAKYT 3

naratif dalam teksnya.

3. Perpektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji dari segi

babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan pengarang dalam

karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini pembelajar dihadapkan pada “dunia”

kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia kreasi itu, pembelajar akan

diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas konteks kebahasaan, sekaligus

dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia nyata, termasuk di dalamnya

pemakaian bahasanya.

4. Perpektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar apabila

dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga perpektif

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perpeektif ini pembelajar dituntun

ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai ekspresi kebahasaan

yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula diskusi dalam bahasa

target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan logika bernalar yang

dimiliki oleh pembelajar.

5. Perpektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang sekiranya

dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang historis

dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan pembelajaraan.

Pada perpektif ini siswa/mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan

pemahaman budaya yang menjadi latar sosial atau tema karya sastra yang

dibahas.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembelajaran sastra termasuk pembelajaran

cerita rakyat mempunyai beberapa tujuan.

a. Mengubah keadaan siswa menjadi lebih baik dalam belajar, berakhlak, dan

mempersiapkan diri menatap masa depan.

b. Penguasaan bahasa dan sastra secara utuh dan juga sekaligus dapat

mengembangkan anak didik dengan penanaman nilai-nilai termasuk nilai-nilai

kearifan lokal.

c. Mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, dan kecerdasan intelektual (IQ)

anak.

d. Mengembangkan kecerdasan emosional (EQ).

Page 23: CERITA RAKYT 3

e. Membantu keterampilan berbahasa.

f. Meningkatkan pengetahuan budaya.

g. Mengembangkan cipta dan rasa.

h. Menunjang pembentukan watak.

3. Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di Indonesia

Dalam pelaksanaan pembelajaran sastra di Indonesia, pembelajaran sastra disatukan

dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini seringkali dianggap sebagai suatu permasalahan

(Rusyana, 2008:1). Mengingat pembelajaran sastra disatukan dengan pembelajaran bahasa

Indonesia, bisa jadi hal ini menjadikan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia tidak

memuaskan. Hal ini tercermin dari nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dari tahun ke tahun

sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel Rata-rata nilai bahasa Indonesia sekolah negeri dan swasta tingkat nasional

NO. TAHUN SMP SMAIPA

SMAIPS

SMA BHS

1. 1994/1995 6,07 6,84 6,07 6,182. 1995/1996 6,64 7,01 6,19 6,193. 1996/1997 6,73 6,74 6,30 6,154. 1997/1998 5,62 6,17 5,59 5,775. 1998/1999 5,96 5,56 5,00 4,756. 1999/2000 5,38 5,74 5,05 5,297. 2000/2001 5,40 5,34 4,67 5,068. 2001/2002 5,30 5,84 5,13 4,489. 2002/2003 5,79 5,60 4,93 4,6610. 2003/2004 5,84 5,96 5,36 5,6111. 2004/2005 6,64 6,96 6,32 6,8412. 2005/2006 7,46 7,90 7,26 7,4013. 2006/2007 7,39 7,56 6,95 7,0814. 2007/2008 7,00 7,60 6,95 6,56

Sumber: Puspendik, Balitbang Diknas (dalam Tola, 2008: 2)

Menurut Rahmanto (2008) pembelajaran sastra di Indonesia haruslah direvitalisasi agar

mampu menyumbangkan perannya untuk pembangunan moral bangsa Indonesia yang sudah

Page 24: CERITA RAKYT 3

centang merentang dan amburadul. Humaniora selayaknya digiatkan dan dihidupkan lagi karena

humaniora memberikan wawasan luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan

untuk implikasi sosial dan kultural, serta kemampuan untuk melihat keseluruhan gambar

kehidupan. Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat

berbagai kearifan lokal dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra yang pada gilirannya

dapat diharapkan berkontribusi dalam membangun moral bangsa.

Pembelajaran Sastra menurut Rahmanto harus dipisahkan dengan bahasa. Pembelajaran

sastra adalah membaca teks sastra dan mengapresiasi sastra. "Kecakapan yang perlu

dikembangkan justru indrawi, nalar, afektif, sosial, dan religius. Hal ini sejalan dengan

mengasah, mengasuh, mengasihi nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra, yaitu personal,

sosial, dan religius"(http://www.usd.ac.id).

4. Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran

Menurut Rahmanto (1988) prinsip penting dalam pengajaran sastra (termasuk cerita

rakyat) adalah bahwa bahan pengajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan

kemampuan siswa. Sesuai dengan kemampuan siswa karya sastra yang akan disajikan hendaknya

juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya. Tanpa

adanya kesesuaian antara siswa dengan bahan yang akan diajarkan maka pembelajaran sastra

akan gagal (1988:26).

Para guru sastra yang telah berpengalaman tentu mempunyai catatan pengalaman yang

menarik berkaitan dengan pemilihan bahan pengajaran sastra. Sebagai contoh novel yang

menarik perhatian anak-anak yang berumur 15 – 16 tahun ternyata sangat menjemukan (tidak

menarik perhatian) para siswa yang umurnya 12 – 13 tahun. Manusia ternyata mempunyai

keterbatasan dan jarang ada siswa yang dapat dijejali pengalaman sastra di luar jangkauan

pengetahuannya betapapun terkenal dan hebatnya pengarang karya sastra tersebut.

Kemampuan untuk memilih bahan pengajaraan sastra dipengaruhi oleh banyak faktor

antara lain : berapa banyaknya karya sastra yang tersedia di perpustaakaan sekolah, kurikulum

yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus disampaikan agar dapat men ngikuti tes akhir

tahun,perlu dan lain-lain.

Page 25: CERITA RAKYT 3

Rahmanto (1988:26-33; Moody, 1971) menyarankan 3 kriteria dalam pemilihan bahan

pembelajaran sastra yaitu (1) bahasa, (2) kematangan jiwa/psikologi, dan (3) latar belakang

kebudayaan siswa.

(1) Bahasa

Seorang guru hendaknya selalu berusaha memahami tingkat kebahasaan siswa-siswinya

sehingga berdasarkan pemahaman tersebut guru dapat memilih materi yang cocok untuk

disajikan. Dalam meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru hendaknya tidak hanya

memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu juga mempertimbangkan situasi dan isi

wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu perlu juga diperhatikan cara

penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga dapat

memahami kata-kata kiasan yang digunakan.

(2) Psikologi

Dalam memilih bahan pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis anak

hendaknya diperhatikan karena tahap perkembangan psikologis anak sangat perpengaruh

terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis

juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan

bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.

Menurut Rahmanto (1988, Moody, 1971) pentahapan psikologis anak dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Tahap pengkhayal ( 8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan

berbagai fantasi kekanakan.

b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski

pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tetapi pada tahap ini anak telah

menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

c. Tahap realitas (13 sampai 16 tahun)

Sampai tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat

berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan

siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan

yang nyata.

Page 26: CERITA RAKYT 3

d. Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan selanjutnya)

Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga

berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.

Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab

utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan

keputusan-keputusan moral.

Karya sastra yang dipilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada

umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan

psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya

secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu.

(3) Latar belakang budaya

Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang erat

hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka terutama bila karya sastra itu

menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan

mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka.

Dengan demikian secara umum guru sastra hendaknya memilih bahan pengajaran dengan

menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya yang latar ceritanya dikenal oleh para

siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat

menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan

kemampuan pembayangan yang dimiliki oleh para siswanya.

Secara umum Rusyana (2008) menyatakan bahwa pembelajaran sastra hendaknya

memperhatikan (1) landasan-landasan pendidikan sastra dan (2) konteks keindonesiaan.

Landasan-landasan pendidikan sastra meliputi (a) kebudayaan, (b) edukasional seperti filsafat

pendidikan, psikologi pendidikan, dan kurikulum, dan (c) kesastraan yang meliputi karya sastra

dan ilmu sastra. Sedangkan konteks keindonesiaan meliputi aspek ideologi, politik, dan

kanonisasi.

5. Model yang Ditawarkan

a. Model Penuturan Dongeng (Mopendo)

Sukatman (2009:183-187) mengemukakan bahwa Mopendo dapat dikembangkan

menjadi model pembelajaran sastra di sekolah dengan modifikasi dan pemodernan seperlunya.

Page 27: CERITA RAKYT 3

Mopendo mempunyai tahapan (1) persiapan, (2) penuturan cerita, (3) tanggapan lisan, (4)

konsulidasi, (5) reproduksi, dan (6) evaluasi.

Pada tahap persiapan, seorang guru perlu menyiapkan materi misalnya materi berupa

cerita rakyat. Guru juga perlu menyiapkan media penuturannya apakah akan disampaikan secara

langsung atau lewat rekaman. Guru juga perlu menyiapkan setting penuturan apakah akan

dilaksanakan di dalam kelas atau di alam terbuka. Penyiapan alat bantu penyimakan cerita juga

perlu disiapkan. Mungkin diperlukan ringkasan cerita atau naskah cerita dan alat tulis.

Pada tahap penuturan cerita, menurut Sukatman (2009:184) meliputi penciptaan suasana

yang kondusif, suasana yang aman, akrab, menyenangkan, dan siap dengar. Sesudah terwujud

suasana yang kondusif barulah dilaksanakan penuturan cerita yang dalam pelaksanaannya bisa

langsung dilakukan oleh tukang cerita atau guru atau siswa atau hanya berupa pemutaran

kaset/film. Bila memungkinkan, siswa yang mendengar cerita bisa meminta agar si pencerita

mengulangi ceritanya pada bagian yang tidak jelas.

Pada tahap tanggapan lisan, siswa diminta untuk menceritakan hasil menyimak cerita

secara singkat. Guru juga bisa meminta tanggapan siswa mengenai hal yang disenangi dan tidak

disenangi tentu disertai alasan mengapa senang dan tidaak senang. Untuk siswa tingkat SMA

komentar bisa dikaitkan dengan unsur intrinsik yang membangun cerita.

Pada tahap konsulidasi, guru perlu meluruskan hasil penyimakan siswa yang kurang

tepat. Guru juga perlu menyampaikan pelurusan terhadap pemahaman cerita yang salah. Pada

tahap ini, pemantapan pemahaman cerita dan penangkapan konsep oleh guru dan siswa perlu

dilakukan secara bersama-sama.

Pada tahap reproduksi, siswa diminta untuk menuliskan kembali cerita dengan gaya dan

bahasa siswa. Siswa juga dapat diminta untuk menulis kritik sederhana. Siswa juga dapat diminta

mengubah cerita menjadi bentuk karya sastra yang lain seperti puisi dan drama.

Pada tahap evaluasi, ada lima aspek yang dapat dievaluasi yakni tahap persiapan

penuturan, tahap proses penuturan cerita, tanggapan lisan, konsolidasi, dan reeproduksi.

Menurut hemat penulis, model Mopendo ini dapat digunakan oleh guru bila ingin

menanamkan nilai-nilai kearifan lokal kepada para siswa. Model ini menurut hemat penulis akan

lebih cocok bila diterapkan di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

b. Analisis Struktur dan Fungsi Model Maranda

Page 28: CERITA RAKYT 3

Teori struktur naratif dipelopori oleh Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda, dan

Vladimir Propp. Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda menulis buku Structural Models in

Folklore and Transformasional Essays (1971) yang berisikan model-model penganalisisan

struktur sastra lisan yang menggunakaan satuan unsur yang bernama terem (term) dan fungsi

(function) (Sudikan, 2001:25).

Konsep utama struktur naratif ala Maranda dapat dideskripsikan sebagai berikut. Terem

(term) adalah simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan. Selain

itu terem dapat berupa dramatis personae, pelaku magis, dan gejala alam. Semua itu merupakan

segala subjek yang dapat berbuat atau melakukan peran tertentu dalam cerita. Terem-terem

tersebut satu sama lain saling bertentangan. Semua terem dapat dikategorikan sebagai peran

tunggal dan peran ganda.

Terem pertama (TP) terdapat dalam unsur peran tunggal pada awal cerita (rakyat/cerita

lisan) sebelum pemecahan suatu krisis. Terem kedua (TK) yang disebut juga sebagai mediator

dapat dijumpai pada unsur peran ganda dalam situasi sebelum suatu krisis terselesaikan. Alur

cerita rakyat ala Maranda dapat diskemakan sebagai berikut.

Page 29: CERITA RAKYT 3

Fungsi (function) adalah peranan yang dipegang oleh terem. Dengan demikian fungsi

mempengaruhi terem, bersifat dinamis. Walaupun demikian, fungsi wujudnya dibatasi oleh

terem maksudnya wujud itu hanya seperti apa yang diekspresikan dalam terem yang memberinya

wujud yang nyata. Simpulannya, terem berubah-ubah sedangkan fungsi tetap. Hal tersebut dapat

diskemakan sebagai berikut:

KEBURUKAN 

KEBAIKAN FUNGSI

Terem : A A

B B

Catatan: Kedudukan A dapat digantikan oleh B.

Dalam analisis digunakan tanda : dan :: untuk menunjukkan hubungan sebab akibat.

Untuk terem dipergunakan tanda a, b, c, d, e, f, dan seterusnya. Sedangkan untuk fungsi

dipergunakan tanda x, y, dan z. Sedangkan rumus yang dipergunakan adalah: (a) x : (b)y :: (b)x :

(y)a-1

Terem (a) adalah terem pertama yang menyatakan unsur dinamik. Tanda (b) adalah terem

kedua. Tanda x adalah fungsi yang memberi kekhasan pada terem (a). Tanda y adalah fungsi

yang bertentangan dengan tanda x yang memberi kekhasan kepada terem (b) dalam

pemunculannya yang pertama. Tanda (a-1 ) merupakan tanda perubahan terem menjadi tanda

fungsi. Hal ini terjadi karena rumus tersebut tidak linear.

Tahapan analisis (1) membaca naskah cerita rakyat secara berulang-ulang, (2) Membuat

susunan peristiwa, (3) Menyusun alur cerita, (4) Menentukan terem, (5) Menentukan fungsi, (6)

Merumuskan alur, (7) Menjelaskan rumus alur, (8) Merumuskan fungsi, dan (9) Menjelaskan

rumus fungsi.

Berikut ini disampaikan contoh analisis struktur dan fungsi cerita Kale Ngelampe yang

berasal dari cerita rakyat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.

(a) Susunan Peristiwa Cerita Kale Ngelampe I.Musim Buah Kelampe

Page 30: CERITA RAKYT 3

1.Musim kelampe berbuah. Banyak babi hutan yang berdatangan. 2. Tias pergi berburu sampai suatu tempat yang ditumbuhi oleh banyak sekali pohon kelampe. .3. Tias mendengar ada orang yang sedang bernyanyi. Di dengar dari bawah pohon suaranya terdengar di atas dan bila di dengar dari atas pohon maka suaranya sepertinya ada di bawah. 4. Tias ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 5. Orang kampung mengadakan musyararah untuk membahas asal suara tersebut. 6. Tongkor Labant mendapatkan giliran untuk menyelidiki asal suara tersebut. 7. Sesampainya di tempat yang dituju, Tongkor Labatn mendengar nyanyian:Ribut...ribut...angin ribut...menggoyang buah kelampai. Jatuh sebiji makanan saya, jatuh setandan makanan kami”. 8. Tongkor Labatn ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 9. Tongkor Mayam mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 10. Sampai di tempat, ia mendengar nyanyian yang sama. 11. Tongkor Mayam ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 12. Gadunggu Kase mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 13. Sampai di tempat ia mendengar suara yang sama. 14. Gadunggu Kase ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 15. Ganteleng Lonos mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 16. Ganteleng Lonos ketakutan, pulang ke rumah, tidak membawa hasil. 17. Ujant mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 18. Sampai tempat yang dituju, Ujatn mendengar suara yang sama. 19. Ujatn tidak takut. Ia dapat mengetahui bahwa suara perempuan itu berasal dari seekor ikan kale (ikan lele). Ujatn pantang kawin (pamali kawin) maka ia terpaksa berbohong bahwa dirinya ketaakutan dan tidak membawa hasil. 20. Maniamas mendapatkan giliran menyelidiki tempat tersebut. 21. Sampai di tempat yang dituju, ia mendengar suara perempuan. 22. Maniamas tidak takut. Ia pemberani. Suara perempuan itu dari seekor ikan kale (ikan lele). Maniamas menangkap ikan tersebut yang kemudian berubah menjadi putri Kale Ngelampe.23. Putri Kale Ngelampe akan dijadikan istri Maniamas. 24. Putri Kale Ngelampe bersedia asalkan Maniamas tidak memberitahukan kepada siapapun tentang asal-usulnya. 25. Maniamas menyetujui syarat tersebut.26. Putri Kale Ngelampe dibawa pulang oleh Maniamas kemudian dinikahinya. II. Pesta Kawin 27. Beras yang ditumbuk hanya satu cawan tetapi tepungnya menjadi bernyiru-nyiru. 28. Beras pulut yang ditumbuk hanya satu canting tetapi tepungnya bertingkalang- tingkalang (keranjang).29. Babi yang ditangkap hanya sebesar tikus tetapi tak seorangpun berhasil menangkapnya kecuali Maniamas. Sisa daging babi disimpan dalam bamboo (wadah/baskom yang sangat besar) sampai penuh. 30. Makannya nasi bungkus sebesar orang sembahyang ternyata sisanya berlebih. 31. Mia mulai mengerti bahwa Kale Ngelampe, istri Maniamas adalah manusia setengah dewa. Dia orang yang sangat sakti.

Page 31: CERITA RAKYT 3

III. Sesudah Pesta Kawin32. Anak pasangan Kale Ngelampe dan Maniamas mulai besar dan mengerti soal makanan. 33. Ibunya pulang dari ladang membawa tebu. 34. Anak itu membawa tebu kepada bapaknya agar dirautnya. Ayah sibuk meraut rotan. Ayahnya menyuruh anak itu agar minta tolong kepada ibunya. 35. Anak itu mendatangi ibunya dan minta tolong agar mengupaskan tebu. Ibu tidak mau dengan alasan lelah. Ibu menyuruh anak itu agar meminta tolong pada ayahnya. 36. Anak itu untuk yang kesekian kalinya mendatangi ayahnya agar mengupaskan tebu. Ayah menjadi marah. Ia katakan bahwa mau mengupas tebu kalau ibunya bersedia menyanyi ”Kale Ngelampe”. 37. Ibunya pergi ke sungai sambil bernyanyi ”Kale Ngelampe” (Angin...angin...dst). Lama kelamaan Putri Kale Ngelampe berubah menjadi ikan kale dan menghilang.38. Anaknya menangis memberitahukan kepada bapaknya tetapi bapaknya tidak peduli.39. Ketika segalanya telah terjadi, Maniamas baru tersadar. Ia mencari istrinya di sungai tetapi tidak ketemu. Ia terus menyelam dan akhirnya menangkap ikan baung yang sangat besar. Dipeluknya ikan baung itu karena dikira istrinya. Ikan itu dipeluknya erat-erat hingga dadanya terkena patil. Maniamas meninggal dunia. 40. Anak itu hidup sebatang kara. (b) Alur CeritaMusim Buah Kelampe(1) Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, Ganteleng Lonos, dan Ujatn tidak berhasil menyelidiki asal muasal suara perempuan (nyanyian Kale Ngelampe) karena sombong dan ketakutan. (2) Maniamas berhasil mendapatkan Putri Kale Ngelampe karena tidak sombong, mendapatkan restu dari ibunya, dan pemberani. Putri Kale Ngelampe bersedia diperistri oleh Maniamas dengan perjanjian tidak tidak boleh memberitahukan asal-usul putri. Pesta Kawin(3) Orang kampung mengadakan pesta perkawinan Maniamas dengan putri Kale Ngelampe. Terjadi keajaiban. Beras putih dan beras pulut yang hanya satu cawan setelah ditumbuk hasilnya berupa tepung bernyiru-nyiru. Demikian juga babi yang hanya sebesar tikus setelah dimasak hasilnya sisa satu bamboo besar. Kesombongan Mia mengakibatkan ia dipermalukan. Sesudah Pesta Kawin(4) Anak pasangan antara Maniamas dan Kale Ngelampe minta dikupaskan tebu tetapi Kedua orangtuanya tidak mau karena sibuk dan lelah. (5) Maniamas melanggar perjanjian akibatnya Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Anak pasangan Maniamas dan Kale Ngelampe hidup sebatang kara.

Terema: Tujuh orang pemuda

Page 32: CERITA RAKYT 3

a1 : Tias a2 : Tongkor Labant a3 : Tongkor Mayam a4 : Gadunggu Kase a5 : Ganteleng Lonosa6 : Ujatn a7 : Maniamas b : Ikan Kale (Lele)/Putri Kale Ngelampe c : Mia d : Anak (dari pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe)Fungsix1 : penakut x2 : gagaly1 : pemberani y2 : berhasily3 : menderita, mati z1 : saktiz3 : dipermalukan N = (a1+a2+a3+a4+a5)x1 : (a6+a7)y1 :: (a1+a2+a3+a4)(x1+x2) : (a6+a7)(y1+y2)// bz1 : cz2 :: bz1 : c(z2+z3)//bz1 : a7y1 :: bz1 : a7(y1+y3)::bz1:dy3

Ketakutan lima pemuda (Tias, Tongkor Labant, Tongkor Mayam, Gadunggu Kase, dan Ganteleng Lonos) mengakibatkan kelima pemuda tersebut gagal mendapatkan asal suara perempuan yang diselidikinya sedangkan karena keberaniannya maka Ujatn dan Maniamas bisa berhasil.

Kesaktian Putri Kale Ngelampe mengakibatkan dia mampu mengubah secawan dan ketan secawan menjadi tepung bernyiru-nyiru untuk dibuat kue cucur dan lain-lain sedangkan kesombongan Mia mengakibatkan dirinya dipermalukan.

Karena kesaktian Putri Kale Ngelampe dan karena Maniamas tidak menepati janji mengakibatkan Putri Kale Ngelampe kembali menjadi ikan. Maniamas meninggal dunia dan anaknya hidup sebatang kara. Fungsi(y1+y2+z1) > (x1 + y2) Fungsi pemberani lebih besar dari fungsi penakut karena sesuai yang diinginkan pencerita bahwa dalam mencapai sesuatu diperlukan suatu keberanian. Pelaku1.Tias, laki-laki, penakut. 2. Tongkor Labant, laki-laki, sombong, penakut. 3. Tongkor Mayam, laki-laki, sombong, penakut. 4. Gadunggu Kase, laki-laki, sombong, penakut. 5. Ganteleng Lonos, laki-laki, sombong, penakut. 6. Ujatn, laki-laki, rendah hati, pemberani, selibat (berjanji tidak menikah). 7. Maniamas, laki-laki, pemberani, ingkar janji. 8. Mia, perempuan, sombong, keras kepala. 9. Anak (pasangan Maniamas dan Putri Kale Ngelampe), tidak disebutkan jenis kelamin.

Page 33: CERITA RAKYT 3

Menurut hemat penulis, model analisis ini dapat diterapkan pada pembelajaran sastra di

Perguruan Tinggi. Dengan ditawarkannya berbagai model pembelajaran sastra diharapkan dapat

menjadi alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di Indonesia. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan (ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Manusia – Tanah – Kearifan Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB.

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2009. Kearifan Setempat (Local Wisdom) dan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama (Makalah Seminar). Singkawang, Kalbar: Hotel Mahkota (30 Juni 2009).

Baedhowi. 2008. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2008. (Makalah Kongres IX Bahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra :Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Haba, Jhon. 2006. Analisis SWOT: Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik (Makalah Seminar). Bogor: Hotel Taman Aer (5 Juni 2006).

Haba, Jhon. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resplusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commion.

Hutomo, Suripan sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI.

Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature in Developing Countries. London: Longman.

Nugraha, Setya Tri. 2009. Penggalian Nilai-nilai Budaya Melalui Karya Sastra

Page 34: CERITA RAKYT 3

dalam Pembelajaran BIPA. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Priyadi, A. Totok. Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanayatn (Naskah Disertasi). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rahmanto, B. 2008. Mengoptimalkan Peran Organisasi Profesi dalam Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetition. (Makalah Konggres IXBahasa Indonesia). Jakarta: Pusat Bahasa.

Rusyana, Yus. 1975. Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan dalam Pengembangan Sastra Indonesia (Makalah Seminar). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Rusyana, Yus. 2000. Prosa Tradisional Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa.

Rusyana, Yus. 2008. Pembelajaran Sastra di Sekolah dan Landasan-landasannya serta Tautannya dengan Keindonesiaan. Malang: Konferensi International Kesusastraan XIX HISKI.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Tola, Burhanuddin. 2008. Pengujian Hasil Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia (Makalah Kongres IX). Jakarta: Pusat Bahasa.

Diposkan oleh Totok Priyadi di 21.46 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar