dapus
DESCRIPTION
tonsilitisTRANSCRIPT
IV. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang pada umumnya
sering didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misal sinusitis,
rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya.
Tonsilis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila
tonsil ditekan keluar detritus.
2. Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari
Commission on Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon
General of the Army, dimana dari 169 kasus didapatkan :
25 % disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada masa
penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam
serum penderita.
25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan
titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita.
Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.
Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :
1. Streptokokus β hemolitikus Grup A
2. Hemofilus influensa
3. Streptokokus pneumonia
4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5. Tuberkulosis (pada immunocompromise)
3. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :10
1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
4. Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak,
proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.
5. Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan, terasa kering dan
pernafasan berbau, rasa sakit terus menerus pada kerongkongan dan sakit waktu
menelan.
Pada pemeriksaan, terdapat 2 macam gambaran tonsil yang mungkin tampak :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte
yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua
tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
• T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
• T1 : <25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
• T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
• T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
• T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring
Gambar 1. Gradasi pembesaran tonsila palatina
6. Diagnosis
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 %
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat banyak terlihat pada
kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,
biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan”
dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis
terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat
keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus
viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.
7. Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah:
1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran
yang menutupi tonsil (tonsilitis membranosa)
a. Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi
menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi
dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan
faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula
membesar.
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu
yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat
pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran
darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk
beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit kronik faring granulomatus
a. Faringitis tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang
sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring
kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas
dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar
jaringan granulasi yang lunak.
8. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen/limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber
infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
d. Abses retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil
berwarna putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi ke organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis
9. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis
atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan
medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari
dan usaha untuk membersihkan kripta tonsillaris dengan alat irigasi gigi/oral.
Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi
kronis/berulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan
oleh Celsus dalam De Medicina (10 Masehi), tindakan ini juga merupakan
tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan oleh Lague dari
Rheims (1757).
Indikasi tonsilektomi:
a. Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi.
b. Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Kontraindikasi :
a. Gangguan perdarahan
leukemia
purpura
anemia aplastik
hemofilia
blood dyskrasia
b. Penyakit sistemik yg belum terkontrol
Penyakit jantung
DM
c. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
d. Infeksi akut yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L. 1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto, E.
dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Anonim. 2003. The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds)
Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical
Publishing Division, USA.
Brodsky, L & Poje, C . 2001. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
Dalam : Bailey, BJ. Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1, third ed.
Lippincott Milliams & Wilkins.
Pracy, R. et al. 1974.Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Rusmarjono & Soepardi, E.A. 2001. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil,
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
FKUI, Jakarta.
Rusmarjono & Kartosoediro, S. 2001. Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.
Snell, R.S. 1991. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.