dhf grade ii
DESCRIPTION
DHFTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Demam Berdarah Dengue Grade II
Disusun Oleh :
Rayi Vialita Poetri
030.09.196
Pembimbing :
dr. Kirana Kamima Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 29 JUNI– 5 SEPTEMBER 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2015
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Rayi Vialita Poetri Pembimbing : dr. Kirana Kamima Sp.A
NIM : 030.09.196 Tanda tangan:
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 4 tahun 11 bulan Suku Bangsa : Jawa
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 27 Agustus 2010 Agama : Islam
Alamat :Jl. Bangka IX C Rt 9 / Rw 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan
Pendidikan : Belum sekolah
Orang tua / Wali
Ayah : Ibu :
Nama : Tn. D Nama : Ny. E
Umur : 31 tahun Umur : 28 tahun
Alamat : Jl. Bangka IX Alamat : Jl. Bangka IX
Pekerjaan : Pedagang Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Jawa Tengah Suku bangsa : Jawa Tengah
Agama : Islam Agama : Islam
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung
I. RIWAYAT PENYAKIT
A. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. E (ibu kandung pasien)
Lokasi : Bangsal lantai VI Timur, kamar 610
Tanggal / waktu : 2 Juli 2015
Tanggal masuk : 30 Juni 2015
Keluhan utama : Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
Keluhan tambahan :Nyeri kepala, keringat dingin, nyeri sendi, mimisan dan keluar
bercak kemerahan pada seluruh badan.
1
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
5 hari sebelum masuk rumah sakit (25 juni 2015) pasien mengalami demam.
Demam dirasakan mendadak, tinggi dan terus menerus terutama pada malam hari, tetapi
pada pagi hari dan siang hari demam menurun. Demam dirasakan dengan perabaan
tangan saja, suhu tidak diukur dengan termometer oleh ibu pasien. Demam disertai
dengan keringat dingin tetapi tidak menggigil. Pada hari kedua pasien demam, pasien
mengeluarkan darah dari hidung ( mimisan ) hingga hari ke tiga pasien demam. Selain itu
malam hari nya ibu pasien mengatakan timbul bintik-bintik merah pada seluruh tubuh.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala dan nyeri sendi bersamaan dengan munculnya
demam. BAB baru dua kali sejak pasien demam (5 hari SMRS), warna kotoran kuning,
terdapat ampas, tidak berlendir maupun berdarah. ketika BAB tak terasa sakit. pasien
juga mengalami penurunan nafsu makan selama pasien demam. Keluhan batuk dan pilek
juga disangkal pasien. Pasien juga menyangkal sehabis berpergian dari daerah endemis
malaria.
4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat ke Puskesmas dan diberikan
antibiotik dan obat penurun panas, namun demam masih tetap tinggi. Nama dan dosis
obat tidak diingat oleh keluarga pasien. Dan saat di puskesmas ibu pasien melakukan
pemeriksaan lab. Hasil lab pasien menunjukan penurunan trombosit (112.000), sehingga
puskesmas merujuk pasien ke RS Budhi Asih.
Pada tanggal 30 juni 2015 ibu pasien akhirnya membawa pasien ke IGD RSUD
Budhi Asih selain karena rujukan dari puskesmas mampang ibu pasien merasa belum ada
perbaikan dalam kondisi kesehatan pasien dan pasien mengeluh demam masih tinggi, dan
juga disertai nyeri pada sendi-sendi terutama kaki.
Saat berada di IGD RSUD Budhi Asih, pasien Nyeri persendian dirasakan memberat.
Ibu pasien merasa bintik merah di tubuh pasien sudah mulai menghilang, tetapi sudah
tidak mimisan. Nyeri saat menelan disangkal. BAK normal warna kuning jernih. Jumlah
BAK tidak berkurang. demam dirasakan mulai menurun saat diberikan obat penurun
panas dan pasien lemas. Pasien melakukan cek darah dan dilanjutkan dengan
mendapatkan perawatan di bangsal lantai 6 RSUD Budhi Asih.
2
B. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : pasien belum pernah
menderita keluhan seperti sekarang.
C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
KEHAMILA
N
Morbiditas
kehamilan
Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke Bidan 1 bulan sekali dan
sejak berusia 7 bulan control menjadi 2
kali sebulan, sudah mendapat imunisasi
vaksin TT 2 kali
KELAHIRAN
Tempat persalinan Rumah Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinanSpontan
Penyulit : -
Masa gestasi 38 minggu
Keadaan bayi
Berat lahir : 2500 gr
Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Baik (Neonatus Cukup Bulan -
Sesuai Masa Kehamilan)
3
D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : Umur 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 13 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 15 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas
Rambut pubis : belum
Payudara : belum
Menarche : belum
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Baik (sesuai usia)
E. RIWAYAT MAKANAN
Umur
(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI + PASI - - -
2 – 4 PASI - - -
4 – 6 PASI - - -
6 – 8 PASI + (Biskuit) + +
8 – 10 PASI + + +
10 -12 PASI + + +
Kesulitan makan : menurut ibu pasien, pasien tidak memilih-milih makanan dan makan
dengan baik, kecuali saat sakit nafsu makan pasien berkurang.
Kesimpulan riwayat makanan : Sejak lahir pasien tidak mendapat ASI eksklusif.
Pemberian ASI digantikan dengan susu formula.
4
F. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )BCG 1 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6bulan
Polio 0bulan 2bulan 4bulan
Campak 9 bulan - -
Hepatitis B 0 bulan 1bulan 6bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar sesuai jadwal dan lengkap.
G. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
NoTanggal lahir
(umur)Jenis
kelaminHidup
Lahir mati
AbortusMati
(sebab)Keterangan kesehatan
1.27 Agustus
2010Laki-Laki + - - - Pasien
b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. D Ny. E
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 28 tahun 25 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMK
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Tengah Jawa Tengah
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami hal serupa dengan pasien. Ibu dan ayah tidak
menderita penyakit hipertensi, pembengkakan jantung dan kencing manis.
5
H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, di sebuah rumah tinggal di rumah susun
beratap genteng, berlantai keramik, berdinding tembok. Keadaan rumah susun padat,
ventilasi dan pencahayaan kurang. Sumber air bersih dari air PAM. Air limbah rumah
tangga disalurkan dengan baik dan pembuangan sampah setiap harinya diangkut oleh
petugas kebersihan. Di daerah tersebut tidak pernah dilakukan fogging, kerja bakti biasa
dilakukan 2 minggu sekali.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Kurang baik
I. RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI
Ayah pasien bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan Rp.2.000.000,-/bulan.
Sedangkan ibu pasien merupakan seorang buruh dan berpenghasil tidak tetap. Menurut
ibu pasien penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Cukup baik
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan di Bangsal (2 Juni 2015)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kesan Gizi : baik
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 14 kg Lingkar Kepala :50 cm
Berat Badan sebelum sakit : 14 kg
Tinggi Badan : 100 cm
Status Gizi
- BB / U = 14 / 16 x 100 % = 87,5 % (Gizi normal)
- TB / U = 100 / 103 x 100 % = 97% (Tinggi normal)
- BB / TB = 14 / 16 x 100 % = 87,5 % (Gizi normal)
6
- LK = 50 cm (Normocephali)
Tanda Vital
Nadi : 100 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nafas : 30x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 3
Suhu : 37,0O C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)
KEPALA : Normocephali
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH :Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, ptekiae(-), luka atau jaringan
parut
MATA :
Visus : tidak dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjunctiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : - / -
Sekret : -/- Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : Oral higiene baik, gigi caries (-), trismus (-), mukosa gusi dan pipi : merah
muda, hiperemis (-), ulkus (-), halitosis (-), lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-)
massa (-)
7
TENGGOROKAN : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-),
faring tidak hiperemis, ulkus (-) massa (-)
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba
di tengah
THORAKS :
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernafasan yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, pada sela iga
tidak terlihat adanya retraksi, pembesaran KGB aksila -/- , tidak
ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Batas paru – lambung : ICS VII linea axilarris anterior
Batas paru – hepar : ICS VI linea midklavikularis dextra
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronchi -/-, wheezing -/-
ABDOMEN :
Inspeksi : Perut kembung, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut
maupun benjolan, kulit keriput (-) gerakan peristaltik (-)
Palpasi : Datar, supel, NT (+) di region epigastrium, hepar: 1/3 cm di bawah arcus
costae kanan/ 1 cm di bawah proc. Xiphoideus, lien: Schuffner 0.
Perkusi : Hepar: 3 cm di bawah arcus costae kanan/ 1 cm di bawah
Proc. Xiphoideus, timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 4 x / menit
8
ANOGENITALIA : jenis kelamin Laki-laki, tanda radang (-), ulkus (-), sekret (-),
fissura ani (-)
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain ptekiae (+) ptekiae (+)
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain ptekiae (-) ptekiae (-)
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
baik, lembab, pengisian kapiler < 3 detik, petechie (+)
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
9
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
Laseq (-) (-)
Kerniq (-) (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan KeteranganDarah Lengkap
Eritrosit 3,5 jt/uL 3,8 jt – 5, 7 jt Hemoglobin 8,9 g/dL 10,8 – 15,5 g/dL Leukosit 4,4 ribu/uL 4.500- 13.500 Trombosit 118.000/uL 184.000-488.000 Hematokrit 26% 35 – 47% MCV 75.0 fL 69 – 93 fL NormalMCH 25,4 pg 26-34 pg NormalMCHC 34,1 g/dL 32-36 g/dL NormalRDW 13,7 % <14 % Normal
V. RESUME
Pasien seorang Laki-laki berusia 4 tahun datang ke IGD RSBA dengan keluhan
demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul secara mendadak, suhu
tinggi, terjadi secara terus menerus saat siang menurun dan pada malam meningkat.
Pasien pada hari kedua demam mimisan, dan timbul bintik-bintik merah pada seluruh
tubuh. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, nyeri sendi dan penurunan nafsu makan.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 90/60mmHg, nadi 100x/menit, laju
pernapasan 30x/menit, suhu 37,0oC, NT (+) di region hipochondriaca dextra,
epigastrium, pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepar 1/3 cm di bawah arcus costae
kanan/ 1 cm di bawah proc. Xiphoideus dan terdapat nyeri tekan epigastrium, Pada
pemeriksaan Laboratorium didapatkan hasil eritrosit menurun, anemia, leukopenia,
trombositopenia, dan hematokrit menurun.
10
VI. DIAGNOSIS BANDING
Demam Berdarah Dengue Derajat II
Demam Dengue
Demam Berdarah Chikungunya
Malaria
Anemia defisiensi besi
V. DIAGNOSIS KERJA
Demam Berdarah Dengue derajat II
Anemia Mikrositik e.c Susp anemia defisiensi besi
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Hematologi rutin ulang
- IgM & IgG Dengue blot
- Urinalisis
- Faal Hati : SGOT/ SGPT
VII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
pasien
2. Tirah baring
3. Observasi tanda vital
4. Tampung urin/24 jam
5. Periksa berat badan setiap hari
6. Minum cukup 1,5-2L/hari
7. Memberikan memberikan nutrisi dengan gizi yang seimbang sesuai usia.
Anjurkan agar ibu membuatkan makanan yang tinggi akan kadar zat besi seperti,
hati, daging merah dan bayam.
Medikamentosa
1. IVFD Asering 3cc/kgBB/ jam
2. Paracetamol 130mg jika suhu > 38oC
11
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : ad bonam
FOLLOW UP
12
Tgl S O A P
1/7/15
Perawatan
hari 1
Demam hari-
6
BB = 13kg
M: 500cc
U: 100cc ku
ning pekat,
1x tidak
ditampung
Demam (-)
Nyeri sendi
(+)
Nyeri
kepala (-)
Nyeri ulu
hati (+)
Nafsu
makan
menurun
(+)
Kembung
(+)
BAB (+)
KU : Tampak sakit
sedang
KS : Compos mentis
TV :
TD=100/60 mmHg,
N=124x/m,
R=30x/m,
S = 36,60C
Kepala : normosefali
Mata : CA +/+, SI -/-
THT : dbn, sekret (-)
Leher : KGB ttm
Tho : SN vesikuler,
rh -/-, wh -/-, BJ I-II
reguler, m (-), g (-)
Abd : supel, BU (+)
4x/menit, NT(+),
H:3cm BAC/
1cmBPX,
Ext : akral hangat +
+/++
Ptekiae : +/+
CRT <3s
DBD Derajat II IVFD Asering
3cc/kgBB/jam
PCT 130 mg k/p
Diet lunak, tinggi kalori
Cek H2TL/24 jam
Tampung urin/24 jam
2/7/15
Perawatan
hari 2
Demam hari-
7
BB = 13kg
M: 2300cc
U:1800cc
Demam (-)
Nyeri perut
(+)
kembung
(+)
Nyeri sendi
(+)
Nyeri
kepala (-)
KU : Tampak sakit
sedang
KS : Compos mentis
TV :
TD=100/60mmHg,
N=100x/m,
R = 20x/m,
S = 370C
Kepala: normosefali
DBD Derajat II IVFD Asering 3cc/
kgBB/jam
PCT 130 mg k/p
Diet lunak, tinggi kalori
Cek H2TL/24jam
Tampung urin/24 jam
13
BAB (+) Mata : CA +/+, SI -/-
THT : dbn, sekret (-)
Leher : KGB ttm
Tho : SN vesikuler,
rh -/-, wh -/-, BJ I-II
reguler, m (-), g (-)
Abd :supel, BU (+)
4x/menit, NT(+),
H:3cm BAC/
1cmBPX,
Ext : akral hangat +
+/++
Ptekiae : --/--
CRT<3s
3/7/15
Perawatan
hari 3
Demam hari-
9
BB=14kg
M: 1750cc
U:2000cc
Demam (-)
Nyeri perut
(-)
Nyeri sendi
(-)
Nyeri
kepala (-)
BAB (+)
KU : Tampak sakit
sedang
KS : Compos mentis
TV :
TD= 90/60 mmHg,
N =100x/m,
R = 30x/m,
S = 36,00C
Kepala : normosefali
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : dbn, sekret (-)
Leher : KGB ttm
Tho : SN vesikuler,
rh -/-, wh -/-, BJ I-II
reguler, m (-), g (-)
Abd : BU (+)
4x/menit,
NT(-), H:2cm BAC/
1/2cmBPX,
Ext : akral hangat +
DBD Derajat II IVFD asering 3cc/kgbb
PCT 130 mg k/p
Inj Colsan 4x25mg
Inj Ampicilin 4x325mg
Ferris syrp 3x1cth
Cek H2TL/24jam
Tampung urin/24 jam
14
+/++
Ptekiae : --/--
CRT <3s
4/7/15
Perawatan
hari ke4
Demam hari
ke-10
BB = 13kg
M:2200cc
U:1700cc
Demam (-)
Nyeri perut
(-)
Nyeri sendi
(-)
Nyeri
kepala (-)
BAB (+) N
KU : Tampak sakit
sedang
KS : Compos mentis
TV : TD= 90/60
mmHg, N =100x/m,
R = 29x/m, S = 360C
Kepala : normosefali
Mata : CA -/-, SI -/-
THT : dbn, sekret (-)
Leher : KGB ttm
Tho : SN vesikuler,
rh -/-, wh -/-, BJ I-II
reguler, m (-), g (-)
Abd : BU (+)
4x/menit, NT(+),
Ext : akral hangat +
+/++
Ptekiae : --/--
CRT <3s
DBD Derajat II Venflon
PCT 130 mg k/p
Inj Colsan 4x25mg
Inj Ampicilin 4x325mg
Ferris syrp 3x1cth
Cek H2TL/24jam
Tampung urin/24 jam
Diet lunak, tinggi kalori
Cek H2TL/24 jam
Tampung urin/24 jam
FOLLOW-UP LABORATORIUM
15
Hasil
1/7/2015 2/7/2015 3/7/2015
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
LED
MCV
MCH
MCHC
RDW
Hitung jenis:
-Basofil
-Eosinofil
-Netrofil segmen
-Netrofil batang
-Limfosit
-Monosit
- Besi (Fe/iron)
- TIBC ( besi daya
ikat total)
IMUNOSEROLOGI
S Typhi O
S Typhi AO
S Typhi BO
S.Typhi CO
S.Typhi H
S Typhi AH
S Typhi BH
S.Typhi CH
5.0 ribu/ μL
4,4 juta/ μL
11,1 g dL
31%
98 ribu/ μL
7mm/jam
1%
1%
40%
3%
46%
9%
13%
268
1/160
Negatif
Negatif
Negatif
1/160
Negatif
Negatif
Negatif
4,2 ribu/ μL
3,8 juta/ μL
9,6 g/dL
27%
99 ribu/ μL
72,2 fl
25,3 pg
35,1g/dl
12.0%
4,5 ribu/ μL
3.6 juta/ μL
8,6 g/dL
27%
116 ribu/ μL
76.0 fl
24.0 pg
31,6 g/dl
12,5%
16
DEMAM BERDARAH DENGUE
A. Definisi
Demam berdarah dengue adalah infeksi virus dengue yang ditandai dengan
demam tinggi yang timbul mendadak tanpa sebab jelas, berlangsung secara terus-
menerus selama 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, dan adanya kebocoran
plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler.1
B. Etiologi
Virus dengue termasuk group arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang
dikenal sebagai genus flavivirus, famili flaviviridae, yang mempunyai empat jenis
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. 1 dikenal 3 macam lagi
arboviruses yaitu cikungunya dan O’nyong-nyong dari genus Togavirus, dan West
Nile Fever dari genus Flavivirus, yang mengakibatkan gejala demam dan ruam yang
mirip dengan dengue fever dan dengue hemorrhagic fever. 2
Virus dengue dapat menyebabkan demam dengue, demam berdarah, dan
sindrom syok dengue yang endemik dan epidemik di daerah tropis Asia dan Afrika.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3 atau
bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis tipe serotipe dengue dapat
ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.1
C. Vektor dan penularan
o Vektor penular
Sampai saat ini diketahui beberapa nyamuk sebagai vektor dengue, namun Ae.
aegypti diperkirakan sebagai vektor utama infeksi virus dengue ini. 3 Di Indonesia,
walaupun vector DHF belum diselidiki secara pasti Ae. aegypti diperkirakan sebagai
vector terpenting di daerah perkotaan, sedangkan Ae. Albopictus didaerah pedesaan. 3
Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal
pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut. 8 Tapi dari beberapa laporan
dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter bahkan
di India dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia
pada ketinggian 2.200 meter. 8
18
Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa berukuran lebih
kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya. 8
Kedua nyamuk tersebut termasuk dalam genus Aedes dari famili Culicidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat diebdakan dari strip putih
yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. Aegypti berwarna hitam dengan
dua strip putih sejajar dibagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung
berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya
berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. 8
Gambar 1. Perbedaan Ae. Aegypti dan Ae. albopictus
Nyamuk Ae. Aegypti ini mempunyai dua subspesies yaitu Ae. Aegypti
queenslandensis dan Ae. Aegypti formosus. Subspesies pertama hidup di Afrika,
sedangkan subspesies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan
DBD. Subspesies kedua lebih ebrbahaya dibandingkan subspesies pertama. 8
a. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :
- Nyamuk dewasa
Gambar 2. Morfologi Aedes aegypti. 4
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk yang lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik
19
putih pada bagian badan dan kaki. 5 Jarak terbang nyamuk dewasa adalah
sekitar 400 meter. 4
- Pupa (kempompong)
Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar
namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik)nya. Pupa nyamuk Aedes
aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa
nyamuk lain.
- Larva (jentik)
Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva:
i. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
ii. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.
iii. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
iv. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air
buatan seperti pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah
daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang atap,
tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas,
serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan
langsung dengan tanah. Larva sering berada di dasar container, posisi
istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan
posisi kepala berada di bawah.
- Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval
yang mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau
menempel pada dinding penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur
diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-
tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung,
dan biasanya berada di dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan
satu persatu atau berderet pada dinding tempat air, di atas permukaan air,
pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air.
b. Lingkungan hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorphosis
sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan
kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi
20
jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Telur dapat
bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam air, dan
apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan
terendam kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya
berlangsung 6-8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4
hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa 9-10 hari. Umur nyamuk betina
dapat mencapai 2-3 bulan. 4
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke
tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk
betina biasanya 400 meter. Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa
kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh. 4
Gambar 3. Daur hidup Aedes aegypti. 6
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada
musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak
21
tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan
sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu
pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat.
Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue.
o Mekanisme penularan
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia.
Virus dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui
nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne
diseases. 7
Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang
dalam tubuh manusia dan nyamuk. Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada
penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. 7
Gambar 4. Mekanisme penularan virus dengue (arthropod borne diseases). 6
Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius. 7
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2
hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk
penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung
22
nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah
menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap
virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya
(probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus
dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina
yang dapat menularkan virus dengue.
Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah
binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan
sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah
berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal
ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah
utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa
menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah
yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi. 7
D. Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit viral dengan hospes nyamuk yang paling cepat
menyebar di dunia. Pada 50 tahun terakhir telah terjadi peningkatan insiden sebesar
30% dan penambahan ekspansi secara geografik ke negara lain. Kurang lebih 50 juta
infeksi dengue terjadi setiap tahunnya dan 2,5 miliar orang tinggal di negara
endemik dengue. Di Indonesia dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di
daerah kota, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 yang merupakan kasus
tercatat tertinggi dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa
Barat. Mortalitas kasus dengue di Indonesia adalah sebesar sebesar 1%.9
23
Gambar 5. Epidemiologi DBD di Indonesia. 10
Berdasarkan gambar di atas, terjadi insidensi infeksi dengue yang terus meningkat
dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian
24
DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian
terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas. 10
Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah
kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD
cenderung pada kelompok umur >=15 tahun. 10
Jika dilihat dari distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008,
persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita
berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah
8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk
laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. 10
Angka Kematian (AK)/Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal kasus
DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai
menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada
tahun 2009. 10
E. Patofisiologi
a. Volume plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara dengue gever dengan dengue hemorrhagic fever adalah adanya
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemorgik. Penyelidikan volume
plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 iodine labeled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa perembesan plasma selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. 1
Terjadinya perembesan plasma ini terjadi karena adanya peranan dari sitokin dan
juga system komplemen. Perembesan plasma yang keluar dari pembuluh darah akan
terakumulasi di ruang interstisial dan juga rongga serosa. Bukti yang mendukung
adanya dugaan perembesan plasma adalah adanya peningkatan berat badan,
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa (erikardium, peritoneum,
dan pleura). 1
b. Trombositopenia
Trombositopenia pada DD dan DBD melibatkan dua mekanisme utama, yaitu
penurunan produksi dan peningkatan destruksi perifer atau peningkatan
penggunaan. Penurunan produksi dikarenakan supresi sumsum tulang. Pada DBD
25
yang lebih penting adalah mekanisme yang menyebabkan peningkatan destruksi dan
peningkatan penggunaan. 11
Supresi sumsum tulang pada DBD mungkin mengenai tiga faktor utama, yaitu:
- Cedera langsung pada sel progenitor hematopoetik.
- Infeksi sel stromal
- Perubahan regulator dalam sumsum tulang.
Supresi yang lebih berat telah diamati pada DSS, diikuti DBD dan DB. Nakoa
dkk menunjukkan bahwa virus dengue tipe 4 dapat bereplikasi dalam sel
mononuklear sumsum tulang. Replikasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi
proliferasi dari BFU-E (Burst-forming unit erythroid) dan CFU-GM (Colony forming
unit granulosit-makrofag). Murgur dkk 1997 menunjukkan secara invitro bahwa virus
DEN-3 dapat menginfeksi cord blood mononuclear cell dan hal ini dapat mensupresi
pertumbuhan sel progenitor pada kultur. 10
Infeksi virus dengue juga bisa mengenai sel stromal sumsum tulang sehingga
dapat menghambat pertumbuhan sel progenitor homopoietik awal pada kultur.
Selama infeksi dilepaskan sitokin diantaranya macrophage inflammatory protein-
1α (MIP- 1a), IL6 dan IL-8. Berbagai sitokin tersebut dapat menghambat
pertumbuhan sel progenitor hemopotetik awal. Juga terjadi penurunan Stem Cell
Factor (SCF) yang menyebabkan penurunan sel progenitor hemopoetik pada kultur.
Infeksi virus dengue akan menginduksi MIP-1α dan MIP-1β. Proses ini terjadi
pada myelomono cell line, pada peripheral blood mononuclear cells dan supresi
sumsum tulang.
Sitokin yang mensupresi haemopoesis dilepaskan ke dalam aliran darah pada fase
awal demam dengue, yaitu tumor necroting factor (TNF-α), interleukins (IL-2, IL-6,
IL-8) dan interferon (INF-α danINF-γ). Parahnya kondisi klinis penderitai nfeksi
virus dengue dan periode terjadinya supresi sumsum tulang tergantung dari kadar
sitokin tersebut.
Penurunan produksi di sumsum tulang atau perusakan di sistem monosit-
makrofag yang berlebihan akan berakhir dengan jumlah trombosit yang rendah.
Konsekuensinya adalah terjadi pesmbesaran hati dan limpa.
c. System koagulasi dan fibrinolisis
26
Kelainan system koagluasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, mas apembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan emnurun, termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X, dan fibrinogen. 1
d. System komplemen
Ikatan virus dengue dengan antibody heterolog akan mengaktifasi komplemen
jalur klasik yang berakhir dengan dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang
disebut anafilatoksin. Anafilatoksin akan melepaskan histamin, serotonin dan
Platelet Activating Factor (PAF).
Histamin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan agregasi trombosit. Sel mast juga mensintesa asam arakidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, leukotrien dan tromboksan yang berperan dalam
patogenesis DBD yang lebih parah.
Pada infeksi virus dengue, endotel sebagai sel pelapis bagian dalam pembuluh
darah dapat langsung terinfeksi oleh virus dengue. Respon yang terjadi adalah
dengan disekresikannya sitokin antara lain IL-8 dan TNFά. Pemaparan endotel
dengan TNFά dapat menyebabkan apoptosis.
Inflammatory cytokines, mediator inflamasi, anafilatoksin dan kemokin
menyebabkan endothel berkontraksi dan menyebabkan timbulnya celah pada
pembuluh darah yang berakibat plasma keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitial. Dengan adanya apoptosis endotel dan vasodilatasi maka plasma leakage
semakin menghebat.
Sitokin adalah protein terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel hematopoetik dan non
hematopoetik dalam keadaan inflamasi ataupun infeksi. Sitokin berfungsi dalam
proses imun, misalnya IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, TNFα dan IFNγ.IL-1, IL-6 dan TNFα
adalah pirogen endogen yang akan merangsang demam di hipotalamus dan juga
berfungsi sebagai vasoaktif sitokin yang meningkatkan permeabilitas endotel
pembuluh darah. 1
Endotel juga akan menekspresikan ICAM 1, VCAM 1 dan P-Selectin, molekul
adhesive yang menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi. Pemaparan endotel dengan
TNFα dapat menyebabkan apoptosis. TNFα dan IL-1 menstimulasi radang dengan
mengaktivasi berbagai sel radang.
27
TNFα, IL-1 dan IL-6 dapat menstimulus hepatosit menghasilkan acute phase
protein. IL-1 mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah kapiler dan menginduksi
endothel untuk memproduksi dan mensekresi IL-6 dan TNFα. 1
Patofisiologi secara umum:
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Viremia timbul
pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi
dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa
gejala ( asimtomatik ) demam ringan yang tidak spesifik (undif erentiated febrile illness),
Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue.
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia berkisar antara 3-14 hari sebelum gejala
muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai ketujuh, sedangkan
masa inkubasi dalam tubuh nyamuk berkisar sekitar 8-10 hari. Setelah masuk ke dalam
tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang
selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul
respon imun baik humoral maupun selular, antar lain anti netralisasi, anti-hemaglutiin,
dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada
infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi
yang telah ada menjadi meningkat.15
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-lima, meningkat pada minggu pertama sampai ketiga, dan menghilang setelah 60-90
hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat saat demam hari ke-14 sedang pada
infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini
infeksi primer hanya dapat dtegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit
kelima, diagnosis infeksi seknder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibodi IgG dan IgM yang cepat.16
Patofisiologi DBD dan DSS sampai saat ini belum jelas, oleh karena itu muncul
banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki
aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1,
Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi
28
virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktivasi komplemen. Akhirnya banyak
virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila terjadi antiodi
non-netralisasi virus, keadaan penderita menjadi parah apabila epitop vitus yang masuk
tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh
virus dengue dengan serotipe berbeda, virus dengue berperan sebagai super antigen
setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan APC yang
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC.15
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat bergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masuh merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara
tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan
serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain dan akan menginfeksi, kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi, dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3A dan C5A akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
29
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak dapat ditanggulangi
secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal. Oleh
karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif, ditandai dengan
peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok.17,18
F. Patogenesis
Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial, yang pada
saat ini mulai diupayakan memahami keterlibatan faktor genetik pada penyakit infeksi
virus, yaitu: kerentanan yang dapat diwariskan. 12
Konsep ini merupakan salah satu teori kejadian infeksi berdasarkan adanya
perbedaan kerentanan genetik ( genetic susceptibility ) antar individu terhadap infeksi
yang engakibatkan perbedaan interaksi antara faktor genetik dengan organisme penyebab
serta lingkungannya. 12
30
Gambar 6. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue. 12
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini
dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak
serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan
demam berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang
diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu
nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu
agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue
ditularkan ke orang lain. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer
hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data
dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel- sel monosit dan makrofag mempunyai
peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh
sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-
komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah
31
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan
biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan
diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara
ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada “cross protektif” terhadap
serotip virus yang lain. 13,14
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:
netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity
(ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan
E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M.
Glikoprotein E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi
spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam
proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis
antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.
Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan
sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross
reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN.
Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal
yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi
virus DEN.
Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang
berbeda :
a. Antibodi netralisasi atau “neutralizing antibodies” memiliki serotip spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus.
b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD
yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis
antibody dependent enhancement ( ADE ).
Teori infeksi sekunder
32
Tori ini menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan
satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus
tersebut untuk jangka waktu yang lama (Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer
virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama
(homologous)).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus
yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan uraian berikut:
Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda;
namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
Gambar 7. Patogenesis DBD (Teori infeksi sekunder)
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain
atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan
molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks
tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan
peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel
makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi
sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi
IL- 1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating Faktor” (PAF).
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi
bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam
33
betuk gambar berikut: TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag
teraktivasi antigen antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas,
dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok.
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen,
yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah
terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh
anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang
persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan
memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-
1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE)
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection,
T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang
berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan SSD.
Gambar 8. Patogenesis DBD
(Hypothesis antibody dependent enhancement ( ADE)
34
Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat
antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan
neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) kelompok
monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisi tetapi memacu replikasi
virus, dan (2) antibodi yang dapat menetralisi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant specificity.
Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi
virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh
serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama
hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement
hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:1
a) Sel fagosit monoklear yaitu monosit, fagosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat
(sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fagosit monoklear. Mekanisme pertama ini disebut
sebagai mekanisme aferen.
c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi.
d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjaran ialah jumlah sel
yang terkena infeksi.
e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi pemeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Aktivasi Limfosit T
35
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh
virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4
berproliferasi dan menghasilkan IFN-α. IFN-α selanjutnya merangsang sel yang
terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh
limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue monosit akan mengalami lisis dan
mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.1
G. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue menyebabkan infeksi simptomatik atau serokonversi
asimptomatik. Infeksi dengue simptomatik adalah penyakit sistemik dan dinamik,
yang secara umum dibagi menjadi berat dan tidak berat. 18 Setelah periode inkubasi,
gejala mulai muncul dan dibagi menjadi tiga fase yaitu fase febris, fase kritis, dan
fase pemulihan.
Gambar 9. Perjalanan Infeksi Dengue. 19
1. Fase Febris
36
Pasien mengalami demam tinggi mendadak. Fase ini biasanya terjadi
antara 2-7 hari dan sering diikuti dengan kemerahan muka, kemerahan pada
kulit, nyeri pada seluruh tubuh, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital, fotopobia,
dan nyeri kepala. Beberapa pasien juga dapat mengeluhkan nyeri tenggorok,
faring hiperemis, dan injeksi konjungtiva, anoreksia, mual, dan muntah.19
Pada fase ini infeksi dengue akan sulit dibedakan dengan demam yang
disebabkan non-dengue. Uji torniquet positif meningkatkan kemungkinan infeksi
dengue19 Manifestasi perdarahan ringan seperti ptekiae dan perdarahan membran
mukosa bisa terjadi.1,20,21 Perdarahan masif vagina dan saluran pencernaan dapat
terjadi pada fase ini namun sangat jarang terjadi.(5) Hepar akan membesar dan
nyeri beberapa hari setelah demam muncul. Abnormalitas pemeriksaan
laboratorium adalah penurunan jumlah total leukosit, yang merupakan tanda
yang meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.21
2. Fase Kritis
Selama masa transisi dari fase febris ke fase tidak febris, pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melewati fase kritis.
Sedangkan pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menunjukkan
tanda bahaya yang kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.
Awal dari fase kritis adalah turunnya suhu tubuh menjadi 37,5 – 38.00C
atau lebih rendah, biasanya terjadi 3-8 hari setelah hari pertama demam.
Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan drastis trombosit menyebabkan
kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit diatas normal merupakan tanda awal
adanya kebooran plasma. Periode klinis kebocoran plasma biasanya terjadi
selama 24-48 jam.19-21 Derajat kebocoran plasma sangat bervariasi. Peningkatan
hematokrit menyebabkan perubahan tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsenterasi diatas hematokrit dasar menggambarkan
beratnya kebocoran plasma. Pemeriksaan hematokrit sangat penting untuk
menentukan kebutuhan dari terapi airan intravena. Efusi pleura dan asites
biasanya terdeteksi setelah terapi cairan intravena, kecuali kebocoran plasma
sangat signifikan. Radiografi foto dada lateral decubitu, usg dada dan abdomen,
atau kantung empedu merupakan cara deteksi awal. Selain tanda dari kebocoran
plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar dan perdarahan saar
dilakukan vena punksi sering terjadi.
37
Syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang melalui kebocoran, hal ini
ditandai dengan munculnya tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi rendah saat syok
terjadi. Pada syok berat dan atau berkepanjangan dapat terjadi hipoperfusi yang
menyebabkan asidosis metabolik, kerusakan organ progresif, dan koagulasi
intravaskular diseminata. Hal ini menyebabkan perdarahan berat yang
menyebaban penurunan hematokrit pada syok yang berat. Selain leukopenia
yang sering terlihat pada fase ini, peningkatan leukosit juga dapat terjadi akibat
respon stres pada pasien dengan perdarahan masif. Selain itu, gangguan organ
dapat muncul seperti hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan
masif tanpa kebocoran plasma hebat atau syok. 19
Tanda Bahaya Dengue
Tanda bahaya dengue biasanya muncul pada hari ke 3-7 dari demam hari
pertama. Muntah persisten dan nyeri perut hebat merupakan indikasi awal
kebocoran plasma dan semakin memburuk pada keadaan syok. Akumulsi cairan
pada rongga abdomen ataupun pleura, perdarahan mukosa, letargi, pembesaran
hepar >2cm, serta peningkatan hematokrit disertai dengan penurunan drastis
trombosit.19
3. Fase Pemulihan
Pasien akan mengalami fase ini setelah 24-48 jam melalui fase kritis,
reabsorpsi secara bertahap dari cairan ekstraseluler terjadi 48-72 jam setelahnya.
Manifestasi klinis mulai membaik, tanda vital stabil, dan diuresis sesuai normal.
Pada beberapa pasien muncul confluent erythematous atau petechial rash.
Hematokrit mulai menurun menjadi normal disertai dengan peningkatan leukosit,
namun peningkatan trombosit biasanya terjadi setelahnya19
4. Dengue Berat
Kasus dengue berat dinyatakan pada pasien yang dicurigai terinfeksi
dengue yang memiliki tanda salah satu dari:
1. Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dan atau
terakumulasinya cairan dengan gangguan pernapasan
2. Perdarahan hebat
3. Kerusakan organ berat19
H. Klasifikasi
38
Derajat penyakit demam berdarah dengue menurut WHO 1997 adalah: (13)
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bending
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun atau hipotensi, sianosis di sekitar mulu, kulit
dingin dan lembap dan anak tampak gelisah
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur
Perubahan dalam epidemiologi dengue terutama peningkatan jumlah kasus
dewasa dan ekspansi dengue ke negara lain di dunia menimbulkan masalah dalam
penggunaan klasifikasi WHO sebelumnya. Dimana terdapat kesulitan dalam
mengaplikasikan derajat penyakit demam berdarah dengue dan peningkatan kasus
dengue berat yang tidak seluruhnya memenuhi klasifikasi dengue derajat IV
membuat re-klasifikasi demam berdarah menjadi penting. Klasifikasi kasus dengue
menurut derajat penyakitnya WHO tahun 2009 terbagi atas 3, yaitu dengue tanpa
tanda bahaya, dengue dengan tanda bahaya, dan dengue berat. 19
Gambar 10. Klasifikasi Derajat Dengue menurut WHO 2007. 19
39
I. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis laboratorium dengue ditegakkan dengan mendeteksi virus dan atau
kompenen dari virus tersebut dengan memeriksa respon serologis setelah infeksi. Di
Indonesia pemeriksaan yang digunakan secara umum adalah pemeriksaan darah
lengkap, IgM dan IgG, dan NS1. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan
leukopenia, hemokonsenterasi, trombositopenia, dan pada hitung jenis akan terlihat
peningkatan dari limfosit atau monosit. 19
Gambar 11. Diagnosis dengue dan karakteristik
Pemeriksaan Serologis
Setelah satu minggu tibuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti
oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu relatif singkat
dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima infeksi
terbentuk antibodi yang bersifat menetralisir virus (neutralizing antibody = NT).
Titer antibodi NT akan naik cepat dan menurun secara lambat untuk waktu yang
lama. Setelah NT, timbul antibodi yang mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi
sel darah merah (hemaglutination inhibiting antibody=HI). Antibodi yang terakhir
yaitu antibodi yang mengikat komplemen (complement fixing antibody=CF). Teknik
pemeriksaan serologi yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Pada uji
serologi HI, kemungkinan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi ditandai oleh
titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:1280 pada masa akut.
Pemeriksaan NS-1 adalah pemeriksaan terhadap antigen non struktural-1
dengue (NS1) dapat mendeteksi infeksi virus dengue dengan lebih awal dari
40
pemeriksaan antibodi dengue, dan bahkan dapat terdeteksi pada hari pertama mulai
demam. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada penderita demam yang disertai
dengan gejala klinis infeksi virus dengue pada hari 1-3 mulai demam. Bila hasilnya
negatif tetapi gejala infeksi virus dengue menetap, dianjurkan untuk periksa Anti-
Dengue IgG & IgM, serta hematologi rutin.
Gambar 12. Hasil Pemeriksaan Serologis Dengue
J. Diagnosis
Diagnosis DBD menurut WHO 1997, jika terdapat dua kriteria klinis pertama
ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit cukup
untuk menegakkan diagnosis.22
Klinis
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan atau melena
3. Pembesaran hati
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun, tekanan darah menurun disertai kulit teraba dingin dan lembab
41
terutama ujung hidung, jari, dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium
1. Trombositopenia
2. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
- Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
- Efusi pleura/ perikardial, asites, hipoprotenemia 22
Diagnosis Infeksi Dengue menurut WHO 2009, kasus dengue diklasifikasikan
berdasarkan derajat beratnya 19
Dengue Dengue dengan Tanda
Bahaya
Dengue Berat
Tinggal di daerah endemis.
Demam dan 2 dari:
- Mual, muntah
- Ptekiae
- Nyeri
- Tes Torniquet (+)
- Leukopenia
- Hasil laboratorium
menunjukkan
infeksi dengue
- Nyeri perut
- Muntah persisten
- Perdarahan mukosa
- Letargi, gelisah
- Pembesaran hepar
>2cm
- Peningkatan HT diikuti
dengan penurunan
trombosit
- Kebocoran plasma berat
- DSS
- Akumulasi cairan
dengan gangguan
napas
- Perdarahan hebat
- Gangguan organ berat
- Hepar: SGOT/PT
>=1000
- Gangguan kesadaran
- Jantung
K. Diagnosis Banding
Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri,
virus, atau infeksi parasit seperti; demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam
chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain. Demam
pada DBD bersifat mendadak, kontinus, tidak semakin tinggi, dan berkisar antara 3-
7 hari. Pada demam tifoid demam dirasakan semakin hari semakin tinggi dan
42
berlangsung lebih dari 7 hari. Demam pada campak berlangsung 2-4 hari dan setelah
itu timbul ruam pada muka lalu diikuti bagian leher,ekstremitas.
DBD harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC biasanya
seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet
positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien
tampak sakit berat, demam naik turun dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear
(pergeseran kekiri pada hitung jenis). Pemeriksaan Laju Endap Dara (LED) dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada
hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat menghilang, (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai
leukopenia, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal dari pada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia.
Pada anemia aplastik, anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder.
Pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan
trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks
dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma
L. Tatalaksana
43
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DBD dirawat di ruangan biasa, tetapi pada DBD dengan
komplikasi diperlukan perawatan intensif.1
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini
fase kritis, yaitu saat suhu turun ( the time od defervescence) yang merupakan fase
awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Fase kritis pda umumnya
terjadi pada hari sakit ketiga. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/ul atau
<1-2 trombosit /LPB ( rata-rata hitung pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelim terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit ≥20%
mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan.
Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan
garam isotonic atau ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat
ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat diberikan selama
12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus
menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/ul.Pemberian oksigen dengan 2
liter per menit pada semua pasien syok.1
Menurut WHO 1997 22
Demam Berdarah Derajat I dan II
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari , disertai uji tourniquet positif (DBD
dejarat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD
derajat II) dapat dikelola seperti yang tertera. Apabila pasien masih mau minum,
berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis
minuman adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat
antipiretik diberikan bila suhu > 38.5˚C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat
diberikan obat antikonvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus
menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0.9%: Dekstrose 5% (1:3) dipasang
dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping itu harus dilakukan
pemeruksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam. Pada tindak lanjut, perhatikan
tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pembesaran oleh karena
pembesaran hari yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran
cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan
klinik dan laboratorium, anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung
44
naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan
tetesan disesuaikan.1
Pasien dengan DBD derajat II, diberikan cairan kristaloid ringer laktat/ NaCl
0.9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ NaCl 0.9% 6-7 ml/KgBB/jam. Monitor
tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit setiap 6 jam, selanjutnya evaluasi
12-24 jam.1
Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampat tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dieresis cukup, dan kadar Ht cenderung
turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi
menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap
stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan
pada 24-48 jam.1
Apabila keadaan klinis tidak ada perbaikan , anak tampak gelisah, nafas
cepat, frekuensi nadi meningkat, dieresis kurang, tekanan nadi < 20mmHg
memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikan menjadi 10 ml/KgBB/jam.
Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikan lagi menjadi
15 ml/KgBB/jam. Kemudia evaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan
menjadi lebih berat dan Ht naik maka berikan cairan koloid 10-20 ml/KgBB/jam,
dengan jumlah maksimal 30ml/KgBB. Namun apabila Ht menurun, berikan trasfusi
darah segar 10 ml/KgBB/jam.1
45
Demam Berdarah Derajat III dan IV
Pada DBD derajat III dan IV, segera beri infuse kristaloid ( ringer laktat atau
NaCl 0.9 %) 20 ml/KgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan
oksigen 2 liter/menit. Untuk derajat IV, diberikan ringer laktat 20 ml/KgBB bersama
koloid. Observasi tensi dan nadi setiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum
teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambahkan plasma
(fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20ml/KgBB, maksimal
30 ml/KgBB (koloid diberikan pada jalur infuse yang sama dengan kristaloid,
diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap
15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula
darah. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/ hematokrit,
46
tekanan nado > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10
ul/KgBB/jam. Volume 10 ml/KgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau
sampai klinik stabil dan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan
menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinik dan hematokrit stabil, kemudian secara
bertahap cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3 ml/KgBB/jam. Observasi klinis
tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin
≥1ml/KgBB/jam, BD urin <1.020), dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap
4-6 jam sampai keadaan umum baik. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kada
hematokrit menurun tetapi masih > 40 vol%, berikan darah dalam volume kecil 10
ml/KgBB.1
47
Pencegahan Primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi
3 tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.
50
M. Komplikasi
Pada fase febris komplikasi yang bisa terjadi adalah dehidrasi, gangguan
neurologis, dan kejang demam pada anak-anak. Pada fase kritis syok dapat terjadi
akibat dari kebocoran plasma, selain itu dapat pula terjadi perdarahan dan disfungsi
organ. Pada fase pemulihan koplikasi yang dapat terjadi adalah hipervolemia dan
edema paru akut.
ANEMIA DEFISIENSI BESI
A. Definisi
Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari batas normal
sesuai usia (bayi dan anak). Sebagai patokan, menurut WHO adalah apabila Hb
<11 g/dL pada anak umur 6 bulan -6 tahun, dan Hb < 12 gr/dL pada anak > 6
tahun.
B. Epidemiologi
Di Negara berkembang prevalensi anemia defisensi besi masih tinggi.
Pada anak sekolah dasar umur 7-13 tahun di Jakarta (1999) didapatkan 50% dari
seluruh anak penderita anemi adalah ADB. ADB memiliki dampak negative
terhadap tumbuh kembang anak. ADB dapat mengakibatkan komplikasi ringan
seperti kelainan kuku (koilonikia), atrofi papil lidah dan stomatitis sedangkan
komplikasi yang lebih berat dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh
terhadap infeksi, gangguan prestasi belajar yang dapat berlangsung lama dan
menetap.23
C. Manifestasi klinis
Anamnesis
- Pucat yang berlangsung lama (kronik)
- Gejala komplikasi, antara lain lemas, sariawan, gangguan prestasi belajar,
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan gangguan prilaku.
- Faktor predisposisi dan faktor penyebab.23
51
Pemeriksaan Fisik
- Pucat tanpa tanda-tanda perdarahan, seperti petekie, ekimosis atau hematoma dan
tidak disertai hepatomegali.
- Limpa kadang sedikit membesar, tetapi pada umumnya tidak teraba.
- Dapat ditemukan adanya koilinikia, stomatitis angularis.
Pemeriksaan Penunjang
- Darah tepi lengkap, mCV, MCH, MCHC. Kadar Hb rendah dengan penurunan nilai
MCV dan MCHC. Jumlah eritrosit umumnya normal tetapi terkadang menurun.
Jumlah leukosiit dan hitung jenis biasanya normal kecuali disertai infeksi.
- Sediaan Apus Darah Tepi: Gambaran eritrosit mikrositik hipokrom
- Kadar besi/ ferritin rendah dan peningkatan TIBC (total iron binding capacity) serum
menunjukkan adanya anemia defisiensi besi.
- Pewarnaan besi pada jaringan sum-sum tulang.
- Pemeriksaan lain untuk mengetahui factor predisposisi dan factor penyebab
dilakukan sesuai dengan prioritas, antara lain: pemeriksaan darah samar feses untuk
melihat perdaraan gastrointestinal dan pemeriksaan parasitology untuk infestasi
parasite.23
52
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi/ ferritin serum
yang rendah dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang. Tetapi apabila sarana dan
biaya terbatas, maka diagnosis kemungkinan ADB ditegakkan hanya be faktor
rdasarkan adanya riwayat faktor predisposisi dan faktor penyebab, pada pemeriksaan
fisik terdapat pucat tanpa perdarahan dan responsive terhadap pemberian zat besi.23
Tatalaksana
- Pengobatan sudah harus dimulai pada stadium dini ( pada stadium deplesi besi) .
- Tata laksana etiologis.
- Tatalaksana dengan menggunakan preparat besi, dan pada kondisi tertentu terkadang
memerlukan transfuse darah.
Pemberian zat besi
- Besi dapat diberikan secara oral atau parenteral berupa besi elemental dengan dosis
3-5 mg/kg, dibagi dalam 2 dosis, segera dan sesudah makan. Pemberian oral
ferosulfas merupakan cara yang paling mudah.
- Evaluasi hasil pengobatan dengan pemeriksaan Hb dan retikulosit.
Transfusi Darah
- Transfusi darah dilakukan bila kadar Hb ≤6 gr/dL atau kadar Hb ≥ 6 gr/dL disertai
lemah, gagal jantung, infeksi berat. Diberikan dalam bentuk PRC.
Pencegahan
i. Pendidikan gizi
- Menjelaskan mengenai makanan yang kaya akan kandungan zat besi seperti ikan, hati
dan daging.
- Menjelaskan bahwa ASI dan susu sapi mengandung sedikit kandungan zat besi
sehingga anak-anak rentan terkena anemia defisiensi besi. Sehingga perlu diberikan
makanan tambahan sesuai dengan usia.23
53
ii. Pemberian suplemen
- Pencegahan primer: Pemberian ASI saja setelah usia 6 bulan dapat menyebabkan
defisiensi besi sehingga dibutuhkan suplementasi.
- Pencegahan sekunder: Bayi yang memiliki1 atau lebih faktor resiko seperti yang
tercantum pada table harus menjalani skrinin ADB. Skrining meliputi pemeriksaan
darah tepi lengkap, feritin dalam serum dan saturasi transferrin.23
54
PEMBAHASAN
Seorang pasien anak Laki-laki berusia 4 tahun datang ke RSUD Budhi Asih
dengan keluhan utama demam tinggi sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Gejala lain
adalah adanya nyeri kepala, nyeri sendi, tanpa adanya tanda infeksi lokal. Dengan begitu
diagnosis banding yang mungkin pada pasien ini adalah penyakit demam tanpa disertai
tanda lokal seperti infeksi virus dengue (demam dengue, demam berdarah dengue) lalu
malaria. Penyakit campak tidak merupakan diagnosis banding pada pasien ini karena
seteleh 2-4 hari demam, tidak terdapat tanda patognomonik yaitu timbulnya enantema
mukosa di pipi dan tidak timbul ruam makulopapular.
Diagnosis malaria disingkirkan dikarenakan pada penyakit ini meskipun
mempunyai gejala demam tinggi namun bersifat intermitten, sedangkan pada pasien
demam yang dirasakan terus menerus tinggi dan tidak pernah mencapai suhu normal, dan
pasien tidak mempunyai riwayat bepergian atau menetap di daerah endemis malaria.
Dugaan diagnosis mengarah kepada infeksi virus dengue dikarenakan sesuai
dengan tipe demamnya yaitu demam yang mendadak tinggi selama 2- 7 hari. Pada pasien
demam dirasakan mendadak tinggi selama 5 hari , lalu disertai gejala penyerta yaitu
adanya nyeri kepala, nyeri pada sendi, mimisan, terdapat bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan pembesaran hepar (> 2cm) pada
pemeriksaan abdomen, serta didapatkan nyeri tekan pada epigastrium, selain itu juga saat
didapatkan perdarahan spontan, dimana pasien mengeluarkan darah dari hidung
(epistaksis) dua kali, dan terdapat bintik-bintik merah pada seluruh tubuh pasien saat
demam hari kedua hingga demma hari kelima. Jika disesuaikan dengan klasifikasi WHO
1997, pasien masuk dalam kategori demam berdarah dengue grade 2 karena terdapat
Demam disertai gejala perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. Jika disesuaikan
dengan kriteria terbaru WHO 2009, pasien masuk dalam kategori demam berdarah
dengue dengan tanda bahaya.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Juni 2015 menunjukan adanya kesan
anemia mikrositer. Anemia ini dapat disebabkan oleh karena defisiensi besi dan
thallasemia. Di Indonesia angka kejadian anemia defisiensi besi cukup sering. Anemia
55
jenis ini terjadi karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi,
malabsorbsi dan kebutuhan meningkat karena infeksi menahun/berulang., leukopenia,
trombositopenia, dan mengarah ke arah hemokonsenterasi. Sehingga terapi cairan
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya hemokonsenterasi lebih lanjut dan mencegah
kearah terjadinya syok.
Peningkatan hematokrit pada pasien juga menggambarkan bahwa pada kasus
DBD, hemokonsentrasi dijumpai dan merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma. Peningkatan nilai leukosit dan penurunan hematokrit menandai
pasien memasuki fase pemulihan. Menurut beberapa sumber dinyatakan, bahwa
peningkatan trombosit terjadi lebih lambat,
Tatalaksana pada pasien ini adalah terapi cairan. Terapi pada DBD pada dasarnya
bersifat suportif, yaitu penggantian volume plasma. parasetamol untuk meredakan gejala
demam pasien.
Indikasi pulang pasien demam berdarah menurut guideline WHO 2007 adalah
pasien bebas demam dalam 48 jam, perbaikan klinis (sadar, nafsu makan baik, tanda vital
stabil, diuresis normal, dan tidak ada gangguan pernapasan), peningkatan bertahap
trombosit, dan hematokrit stabil tanpa menggunakan terapi cairan. Sesuai dengan
kepustakaan, pasien telah bebas demam 48 jam, perbaikan klinis sangat terlihat,
trombosit telah meningkat bertahap dalam 3 hari, dan saat iv line dihentikan, hematokrit
pasien berangsur turun.
Prognosis quo ad vitam pasien ini adalah dubia ad bonam karena derajat penyakit
pada pasien ini mengancam nyawa jika kondisi pasien turun dalam keadaan syok jika
penanganan tidak dilakukan dengan tepat.
56
Prognosis quo ad sanactionam pada pasien ini adalah dubia ad bonam sebab ada
kemungkinan suatu saat pasien dapat mengalami penyakit ini lagi jika status imun pasien
sedang turun dan keadaan lingkungan rumah pasien yang kurang baik mempunyai
kecenderungan menjadi daerah endemis penyakit Demam Berdarah Dengue.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SR, Satari HI, editor. Buku Ajar Infeksi dan Pediatric Tropis. Edisi
kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.p 55-180
2. Widagdo. Infeksi sistemik. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan
Demam. Jakarta: Sagung Seto: 2012. p.121-6
3. Infeksi. Latif A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. In: Hasan R,
Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Percetakan Infomedika
Jakarta: 2007.p607-21
4. WHO’s staff Dengue control. Available at:
http://www.who.int/denguecontrol/mosquito/en/. Accessed: July 5, 2015
5. Centers for Disease Control and Prevention’s staff. Dengue and the Aedes aegypti
mosquito. Available at:
http://www.cdc.gov/dengue/resources/30jan2012/aegyptifactsheet.pdf. Accessed:
July 5, 2015
6. Centers for Disease Control and Prevention’s staff. Mosquito Life-Cycle. Available
at: http://www.cdc.gov/dengue/entomologyecology/m_lifecycle.html. Accessed: July
5, 2015
7. Dengue fever. Available at:
http://www.eliminatedengue.com/en/our-research/dengue-fever. Accessed: July 5,
2015
8. Aryu Candra. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119
9. WHO/SEARO. Concrete measure key in controlling dengue in South East Asia.
Press Release SEA/PR/1479. New Delhi, World Health Organization Regional Ofice
(http://www.searo.who.int/EN/Section316/Section503/for South-East Asia, 2008.
Section2463_14619.htm).
57
10. Demam berdarah di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Agustus
2010.
11. Chuansumrit A, Tangnararatchakit C. Pathophysiology and management of dengue
hemorrhagic fever. Journal Compilation. 26 January 2005
12. Emery AEH, ( 1988). Immunogenetics. In : Elements of Medical Genetics.Edited by
Emery AEH, Muller R. 7th ed. Churchill-Livingstone. Edinburgh.: 88-106.
13. Khana M, Chaturvedi UC, Sharma MC, Pandey VC, Mathur A, (1990). Increased
Capillary permeability Mediated by A Dengue Virus Induced Limphokine.
Immunology Mart, 69;33 : 449-53
14. Howarth MC, Miyajima A, Coffman R, (1994). Cytokines Paul Fundamental
Imunology. Third Edition: 763-790.
15. Soegijanto S. PAtogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. 2002.
Available from: www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc
16. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue dan
Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002; Vol 134:46-9
17. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Ed
18. Philadelphia: Saunders, 2003.
18. Konkle BA. Tropic Infection. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. Ed 17. New
York: McGraw-Hill, 2008.
19. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition
2009. World Health Organization
20. Cao XT et al., Evaluation of the World Health Organization standard tourniquet test
in the diagnosis of dengue infection in Vietnam. Tropical Medicine and International
Health, 2002, 7:125–132.
21. Srikiatkhachorn A et al., Natural history of plasma leakage in dengue hemorrhagic
fever: a serial ultrasonic study. The Pediatric Infectious Disease Journal, 2007,
26(4):283-290.
22. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/ DHF in Small Hospital. 1997. World
Health Organization.
23. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Sastroasmoro S (editor). Panduan Pelayanan Medis
Departemen Ilmu Penyakit Anak RSCM. Jakarta; RSCM: 2007.p. 127-30
58