file · web viewkonsep "negara bangsa", misalnya, memang mengasumsikan adanya...
TRANSCRIPT
KONSTITUSIONALISME, HAM, DAN KEWARGANEGARAAN
Konstitusionalisme menyediakan kerangka hukum dan politik untuk
merealisasikan dan melindungi persamaan status, HAM, dan kesejahteraan
seluruh warga negara. Standar HAM, sebagaimana yang telah didefinisikan dalam
kesepakatan internasional dan regional serta tercantum dalam hukum adat
internasional, hanya bisa dipraktikkan melalui institusi, sistem hukum, dan
konstitusi nasional. Namun, efektivitas system nasional dan internasional tersebut
bergantung pada partisipasi aktif warga negara dalam melindungi hak-haknya
sendiri. Pada saat yang sama, norma-norma hak asasi dan konstitusi membuat
warga negara bisa bertukar informasi, mengorganisasi, dan melakukan aksi secara
bersama-sama untuk mempromosikan visi mereka tentang kemaslahatan sosial
dan melindungi hak-hak mereka. Dengan kata lain, konstitusionalisme dan HAM
adalah alat yang penting untuk melindungi status dan hak warga negara, tetapi
fungsi tersebut dapat efektif justru karena peran warga negara sendiri.
Negara, Politik, dan "Public Reason”
Karakter Negara Modern
Ciri-ciri negara sebagai kawasan territorial:
Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat, hierarkis, dan
dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda yang memiliki fungsi
masing-masing. Namun, institusi-institusi itu beroperasi sesuai dengan aturan
formal dan struktur akuntabilitas yang hierarkis dan jelas pada otoritas pusat.
Institusi-institusi negara yang rerpisah tapi berhubungan ini, berbeda dengan
organisasi sosial lain seperti partai politik, organisasi sipil, dan asosiasi bisnis.
Domain organisasi negara modern lebih Iuas daripada domain organisasi-
organisasi lain karena saat ini domainnya mencakup hampir seluruh aspek
kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
lain sebagainya.
Untuk menunaikan fungsi dan perannya yang beragam ini, negara harus
memiliki kedaulatan eksternal maupun internal. Lembaga negara harus
menjadi pemilik otoritas rertinggi dalam wilayah kekuasaannya. Negara juga
harus menjadi representasi otoritatif dari warga negara dan aktor-aktor yang
berada dalam kawasan kekuasaannya bagi pihak-pihak yang berada di luar
wilayahnya.
Untuk alasan yang sama yang telah disebut di atas, negara juga harus memiliki
monopoli untuk rnenggunakan kekuatan dan pemaksaan secara sah.
Kemampuan ini sangat esensial bagi negara agar ia bisa memberdayakan
otoritasnya untuk melindungi kedaulatannya, menjaga keutuhan hukum dan
tatanannya, serta mengatur dan menengahi perselisihan, dan lain sebagainya.
Kekuasaan negara terbatas pada wilayahnya. Suaru negara, biasanya tidak
mempunyai otoritas di luar wilayah kekuasaannya.
Rakyat suatu negara sering memiliki ikatan dan identifikasi sentimentil
terhadap negaranya, tetapi itu bukan karakter negara yang penting. Konsep
"negara bangsa", misalnya, memang mengasumsikan adanya kesamaan
identitas semacam etnik atau bahasa antara warga negara. Akan tetapi, asumsi
ini bisa keliru karena kawasan tidak selalu identik dengan etnik, agama, atau
ikaran-ikatan populer lain.
Negara juga cenderung memiliki tipe pemerintahan yang berbeda. Bisa jadi
pemerintahannya adalah partai demokrat liberal, satu partai, monarki, dan lain
sebagainya. Namun, juga harus dicatat bahwa ciri ini juga bukan sebuah
karakter definitif.
Beberapa elemen negara modern mungkin dimiliki oleh organisasi non-
negara, tapi tidak ada satu pun dari organisasi itu memiliki seluruh karakter
negara. Secara khusus, kedaulatan atas wilayah merupakan ciri pembeda
negara dari organisasi non- negara karena kedaulatan ini tidak dimiliki oleh
organisasi non-negara mana pun.
Pembedaan Negara dan Politik
Relasi yang kompleks antara politik dan negara ini dapat dipahami dari
logika dan sikap negara yang harus otonom, tapi tetap mengakar dan terhubung
dengan masyarakat. Sebagai sebuah institusi dan organ yang sangat kompleks,
organisasi negara dapat dibagi secara vertikal berdasarkan fungsi dan secara
horizontal berdasarkan geografi. Pembagian vertikal berhubungan dengan
keberadaan "ruang utama" (major sphere) tempat berbagai aktor sosial bergabung
dengan yang lainnya dan dengan negara: "dalam negara, ruang ini dipahami
sebagai bidang kebijakan (dan konstituen), dan ditandai dengan adanya berbagai
departemen pelayanan publik yang dibentuk untuk melaksanakan bidang
kebijakan tertentu, misalnya kesehatan, transportasi, pendidikan, hukum, tatanan
masyarakat, dan urusan konsumen". Sedangkan, pembagian horizontal berarti
pengorganisasian tata pemerintahan secara spasial. Negara, dengan demikian, bisa
dibagi berdasarkan negara kesatuan ataupun negara federal, atau berdasarkan
pembagian pemerintahan lokal atau regional. Pembagian vertikal berdasarkan
fungsi juga dapat terbagi lagi secara horizontal melalui pembagian wilayah atau
unit administratif.
“Public Reason” untuk Memediasi Koflik Kebijakan
Otonomi negara akan hilang atau berkurang bila negara hanya mengizinkan
suatu kelompok untuk mempengaruhi dan memaksa kepentingan pada salah satu
institusinya atau bahkan negara secara keseluruhan. Dengan kata lain, pelaksanaan
kombinasi legitimasi dan otonomi ini sangat bergantung pada dua persyaratan.
Aktor non-negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara
bebas dan sehat untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan
melalui peran negara.
Ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya
kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi.
Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapar bersaing secara bebas
dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah
kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol
negara atau institusinya.
Dua hal tersebut mengindikasikan “public reason” (nalar public) yang
didalamnya para aktor social dapat mempengaruhi negara dengan tetap tidak
membahayakan otonomi negara. Konsep ini berisi beberapa elemen, misalnya
prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai
isi dan etika debat public, bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang
digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektifitas persyaratan tersebut.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan “public reason”:
1. Ruang bagi “public reason” harus aman sehingga proses argumentasi
terbangun dalam suasana yang mudah untuk dikendalikan oleh
pemerintahan atau rezim tertentu atau dikontrol oleh satu kelompok social
tertentu agar dapat diterima oleh seluruh elemen masyaarakat, ruang bagi
“public reason” harus diidentifikasi sebagai negara, bukan sebagai satu
rezim atau masa pemerintahan tertentu.
2. Ruang bagi “public reason” harus diamankan melalui prinsip-prinsip
konstitusionalisme, sekularisme yang menjamin netralitas negara terhadap
agama, hak asasi manusia, dan kewarnegaraan.
3. Selain menyediakan jaring pengaman, negara tidak boleh memengaruhi
wacana “public reason” dengan membatasi jumlah pihak yang boleh
terlibat dalam ruang “public reason” dengan mendiskriminasi kelompok
agama, komunitas atau kelompok minoritas tertentu.
4. Meskipun negara harus mempersiapkan aturan dan pedoman dasar “public
reason”, domain “public reason” tetap harus berada di wilayah civil
society. Dengan kata lain meskipun negara mengatur “public reason”,
bukan berarti “public reason” adalah institusi negara.
Praktik Lokal dan Prinsip-Prinsip Universal
Secara umum, konsitusionalisme merupakan respon tertentu terhadap
paradoks dasar pengalaman praktis sebuah masyarakat. Di satu sisi, sudah jelas
bahwa seluruh anggota masyarakat tidak mungkin dapat berpartisipasi secara
sejajar dalam pelaksanaan urusan-urusan publiknya. Namun disisi lain orang
cenderung untuk memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda berkaitan
dengan hal-hal seperti kekuasaan politik, alokasi, dan pengembangan sumber daya
ekonomi, serta pelayanan dan kebijakan sosial. Disinilah negara menjadi pihak
yang berperan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan konflik kepentingan
itu. Namun dalam praktiknya, fungsi tersebut juga dijalankan oleh aparatur negara
(manusia), dan bukan oleh badan resmi yang abstrak dan lembaga yang netral.
Konstitusionalisme, dengan demikian berfungsi memberikan ruang bagi pihak-
pihak yang memiliki kontrol langsung terhadap aparatur negara untuk memastikan
bahwa pandangan dan kepentingan mereka dipenuhi oleh aparat yang bertugas
untuk mengatur negara. Realitas inilah yang menjadi dasar bagi semua aspek
konstitusionalisme, baik yang berkaitan dengan struktur dan lembaga negara
maupun aktifitasnya dalam membuat dan menjalakan kebijakan publik dan
administrasi keadilan.
Dengan demikian, tata pemerintahan konstitusional mengharuskan adanya
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak individu dan masyarakat,
karena makna dan implementasi kedua hak ini berkaitan satu sama lain.
Contohnya, menghormati kebebasan individu untuk mengutarakan pendapat,
keyakinan, dan berorganisasi adalah satu-satunya cara untuk melindungi hak
kebebasan kelompok, etnik, dan agama tertentu.
Prinsip konstitusionalisme kadang-kadang diekspresikan dalam istilah hak
untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), yang didalamnya rakyat
berhak untuk menentukan secara bebas status politik mereka dan meraih
kemajuan ekonomi, sosial, dan kultural mereka. Hal ini kadang-kadang disalah
pahami sebagai hak untuk memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Adalah
lebih baik untuk melihat pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai
sebuah proses yang berkelanjutan daripada melihatnya sebagai sesuatu yang harus
dipenuhi sekalingus setelah meraih kemerdekaan politik dari kekuasaan kolonial.
Konstitusionalisme selalu berkaitan dengan kemampuan rakyat untuk
memengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka, baik pada
tingkat personal, keluarga, maupun masyarakat. Konstitusionalisme berkaitan
dengan upaya penataan dan pengamanan ruang publik untuk rakyat agar mereka
dapat mencari, bertukar, berdebat, dan menilai sebuah informasi secara bebas
serta dapat bergabung dengan yang lain agar dapat melakukan sesuatu untuk
mencapai tujuannya.
Prinsip konstitusionalisme berisi beberapa pronsip umum, seperti
pemerintahan yang representatif, transaparansi, akuntabilitas, pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta independensi lembaga
kehakiman. Namun ini bukan berarti bahwa semua prinsip ini harus ada agar
konsitusionalisme dapat diimplementasikan dengan sukses di sebuah negara.
Kenyataannya, prinsip-prinsip dan kondisi itu hanya bisa muncul dan
berkembangan dalam berbagai model melalui proses trial and error yang terus
menerus.
Islam, Syari’ah, dan Konstitusionalisme
Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil
dari pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun nabi di Madinah setelah
hijrah dari Mekah pada 622 H dan kemudian diteruskan oleh generasi pertama
pengikutnya. Pola perilaku individu dan masyarakat, serta model hubungan dan
lembaga sosial politik, umumnya selalu disandarkan dan dikaitkan dengan periode
yang selalu dianggap sebagai model ideal bagi muslim sunni itu. Namun karena
sifatnya yang ideal itu pulalah model tersebut tidak pernah bisa direpliksai secara
utuh setelah nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.
Tidak ada kesepakatan diantara umat Islam mengenai apa yang dimaksud
dengan model Madinah itu, dan bagaimana model itu diaplikasikan dalam konteks
hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa nabi dan Khullafa al-Rasyidun
(sampai terbunuhnya Ali pada 660 M), mempresentasikan model ideal teori
undangan-undangan dasar Islam yang paling otoritatif. Sementara itu, kalangan
Islam syi’ah memiliki model ideal mereka sendiri, yaitu imam-imam maksum
sejak masa pemerintahan Ali. Jumlah imam-imam maksum ini bergantung pada
sekte-sekte tertentu dalam syi’ah (Apakah Ja’fari, Isma’ili, Zaidi, dan lain
sebagainya).
Islam dan Hak Asasi Manusia
Muslim bisa menerima atau menolak ide mengenai hak asasi manusia atau
salah satu norma yang terdapat didalamnya bukan karena pemahaman ortodoks
mereka terhadap agama. Bahkan ragamnya tingkat penerimaan atau kepatuhan
mereka terhadap norma-norma HAM lebih mungkin terkait dengan kondisi
politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Islam saat ini daripada dengan
Islam itu sendiri. Dengan demikian, apapun peran Islam, ia tidak dapat dipahami
secara terpisah dari faktor-faktor lain yang memengaruhi bagaimana muslim
menginterpretasi dan berusaha untuk mematuhi tradisi mereka sendiri. Prinsip
syari’ah pada dasarnya sesuai dengan hampir seluruh norma-norma Hak Asasi
Manusia (HAM), kecuali pada beberapa poin yang berkaitan dengan hak-hak
perempuan dan non-muslim.
Universalitas Hak Asasi Manusia
Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) telah berusaha untuk tidak
menggunakan agama apapun dalam menjustifikasi ide-ide dasarnya agar ia bisa
menemukan dasar yang sama bagi mereka yang beragama maupun tidak. Akan
tetapi, ini tidak berarti bahwa HAM hanya bisa didasarkan pada justifikasi sekular
karena cara seperti itu tidak bisa menjawab persoalan bagaimana melegitimasi dan
mengesahkan HAM berdasarkan perspektif yang sangat beragam di dunia ini.
Logika yang dibangun dalam deklarasi itu justru memberikan kesempatan kepada
para penganut agama atau kepercayaan tertentu untuk membangun komitmen
mereka pada deklarasi itu, dengan menggunakan norma yang terdapat dalam
kepercayaan atau agama yang mereka yakini. Begitu pula dengan mereka yang
membangun komitmennya atas dasar filsafat sekular yang mereka pelajari. Semua
orang berhak mendapatkan pengakuan hak asasi yang sama dari orang lain, tapi
tidak dapat menentukan alasan yang digunakan orang lain untuk memberikan
pengakuan tersebut.
Ide HAM muncul setelah Perang Dunia II sebagai sebuah usaha untuk
mendapatkan perlindungan hak-hak dasar ditengah berbagai kemungkinan dalam
pentas politik nasional. Pandangan tersebut dibangun atas kesadaran bahwa hak-
hak tersebut amat fundamental hingga harus dilindungi dengan konsensus dan
kerjasama internasional agar keberadaanya diakui oleh undang-undang dasar
dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, tujuan membuat kewajiban
hukum internasional untuk menghormati dan melindungi HAM, baik melalui
prinsip-prinsip hukum adat ataupun perjanjian, adalah untuk melengkapi
pemenuhan hak-hak tersebut dalam konteks system domestik dan untuk
mempromosikan implementasi praktisnya.
Deklarasi universal HAM bisa menjadi instrument yang kuat untuk
melindungi kemuliaan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap
orang dimanapun mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik
yang dimilikinya. Bahwa deklarasi universal HAM menyediakan standar yang
sama yang harus dicapai oleh seluruh manusia dan negara seperti yang tercantum
dalam mukaddimah deklarasi tersebut, berarti bahwa setiap kekuasaan hukum dan
undang-undang di sebuah negara harus berusaha keras melindungi hak-hak
tersebut. Prinsip hukum adat dan perjanjian internasional juga mencantumkan
hak-hak dasar, misalnya kebebasan untuk berekspresi dan prosedur
perlindungannya seperti penyelenggaraan peradilan yang adil. Implementasi dan
perlindungan HAM dengan demikian juga mensyaratkan adanya standar
kelembagaan dan struktural bagi aparatur negara.
Namun, pengakuan deklarasi universal HAM sebagai norma hak asasi
manusia universal lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada
sekedar sebuah hasil pemaksaan. Karena setiap masyarakat berpegang pada
system normatif yang membentuk konteks dan pengalamannya, sebuah konsep
universal tidak bisa begitu saja diproklamasikan dan diterapkan sama rata. Dengan
kata lain, manusia baik laki-laki atau perempuan, kaya ataupun miskin, Afrika
ataupun Eropa , beragama maupun tidak, sama-sama mengetahui dan menjalani
kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri.
Islam, Syari’ah, dan Kebebasan Beragama
Pembahasan mengenai konflik antara syari’ah dan konstitusionalisme, dan
kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam secara lebih
luas dapat diterapkan juga dalam kasus HAM. Alasan mengapa pembahasan
mengenai hal ini menjadi penting adalah bahwa konflik antara aturan agama dan
hak kebebasan beragama tidak hanya terjadi pada Islam tapi juga terjadi dalam
tradisi agama dan ideologi lain. Contohnya, pemahaman tradisional terhadap seks
Yahudi dan Kristen mengharuskan hukuman mati dan konsekwensi-konsekwensi
bagi orang-orang yang murtad. Pelaksanaan ketentuan agama dengan
menggunakan tindakan-tindakan seperti ini hampir sama denga konsep
pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan besar dalam system
hukum negara modern saat ini. Larangan murtad dalam tradisi syari’ah Islam
bukan hanya sekedar bagian dari tradisi keagamaan, melainkan juga dalam tradisi
ideology sekular. Ketidaktundukan seseorang pada doktrin Marxisme pada masa
pemerintahan Uni Soviet mungkin dihukum lebih berat daripada fenomena
murtad dan kejahatan dalam syari’ah.
Prinsip-prinsip syari’ah jarang diaplikasikan secara sistematis dan ketat
pada masa lalu, bahkan lebih jarang pada masa sekarang. Meskipun demikian,
keberadaan prinsip-prinsip tersebut menimbulkan konflik yang fundamental
dengan ide dasar HAM universal dan menjadi sumber pelanggaran terhadap
praktik kebebasan beragama.
Penerapan prinsip netralitas negara terhadap agama secara tepat akan
mampu mengeliminasi kemungkinan konsekwensi negatif hukum murtad dan
konsep lainnya. Namun, tidak akan mungkin mampu untuk mengeliminasi
implikasi social negatif dari prinsip-prinsip syari’ah tradisional tersebut. Aspek
tersebut harus diselesaikan melalui langkah-langkah pendidikan secara terus
menerus untuk mempromosikan pluralism yang genuine dan berkelanjutan.
Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah kejahatan
atau dianggap salah menurut aturan hukum syari’ah sehingga orang murtad harus
mendapatkan hukuman atau konsekuensi-konsekuensi hukum lain adalah karena
pendapat ini sebebutulnya bertentangan dengan sikap Al-Qur’an sendiri. Dalam
Q.S. Al-Baqarah (2): 217, Q.S. An-Nisa’ (4): 90, Q.S. Al-Maidah (5): 54, 59, Q.S.
An-Nahl (16): 108, dan Q.S. Muhammad (47): 25, Al-Qur’an memang mengutuk
kemurtadan tapi tidak menyebutkan dengan spesifik konsekuensi-konsekuensi
legal perbuatan ini. Malah, Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan beberapa situasi
yang menyiratkan bahwa orang murtad dapat terus hidup ditengah-tengah
komunitas Muslim, misalnya Q.S. An-Nisa’ (4): 137.
Selain ketidakcocokan dengan prinsip kebebasan beragama yang berulang-
ulang ditekankan dalam Al-Qur’an, ada dua aspek problematis yang terdapat
dalam konsep murtad dalam tradisi hukum Islam tradisional, yaitu ketidakjelasan
dan kelemahan konsepnya dan ketidakjelasan dasar hukum untuk konsekuensi-
konsekuensi hukum yang harus diterima seorang yang murtad karna ia dianggap
melakukan kejahatan besar. Sumber ketidakjelasan dan kelemahan konsep murtad
sebetulnya terkait dengan defenisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya
dengan konsep kufr, sabb, al-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).
Fuqaha’ empat mazhab sunni mengklasifikasikan kemurtadan pada tiga
kategori: keyakinan, perbuatan, dan ucapan. Tiga kategori ini kemudian terbagi
lagi menjadi beberapa bagian. Namun masing-masing kategori tersebut sebetulnya
kontroversial. Contohnya, kategori pertama dapat berbentuk keraguan terhadap
pesan-pesan kenabian Muhammad atau nabi lain, ragu terhadap Al-Qur’an,
keberadaaan syurga dan neraka, atau ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepercayaan yang sudah menjadi konsensus (ijma’) dikalangan muslim, seperti
sifat-sifat tuhan. Dengan demikian konsep murtad tidak berlaku pada persoalan
yang tidak menjadi konsensus umat.
Terdapat masalah yang sama menyangkut status hukum zindiq. Istilah
zindiq digunakan dalam sumber-sumber syariah untuk menyebutkan orang zindiq
yang ajarannya berbahaya bagi komunitas muslim dan menurut aturan syariah
mereka layak dihukum mati. Namun, istilah zindiq dan kata turunannya tidak
pernah muncul dalam Al-Quran sama sekali, bahkan tampaknya merupakan istilah
yang diserap bahasa Arab dari bahasa Persia.
Ketidak jelasan prinsip-prinsip syariah tersebut memicu lahirnya
manipulasi dan pelanggaran terhadapnya demi tujuan politik atau polemik.
Banyak ulama besar yang dihormati dan diakui otoritasnya, pernah didakwa
murtad semasa mereka hidup, misalnya, Abu Hanifah, Ibnu Hanbal, Al-Ghazali,
Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyyah. Resiko semacam ini cendrung meniadakan
kemungkinan terjadinya proses refleksi hukum dan teologi serta proses
pengembangan dalam masyarakat muslim sendiri atau umat secara umum.
Kewarganegaraan
Asal-usul organisasi politik dan social dalam negara tempat muslim
tinggal adalah merupakan proses transformasi konolianisme Eropa. Transformasi
ini begitu mendasar dan sangat mendalam; menyebar pada seluruh aspek aktifitas
ekonomi, proses politik, kehidupan sosial, relasi komunal, pemenuhan
pendidikan, kesehatan, dan pelayanan lainnya sehingga membuat ide untuk
mengembalikan semuanya pada sistem dan ide prakolonial menjadi tidak
mungkin. Perubahan dan adaptasi apapun yang dilakukan kedalam sistem yang
berlaku sekarang hanya bisa dilakukan melalui konsep dan institusi pasca-kolonial
domestik dan global saat ini.
Istilah kewarganegaraan yang digunakan disini berarti sebagai sebuah
bentuk keanggotaan dalam komunitas politik sebuah wilayah negara dalam
konteks global, dan dengan demikian terkait dengan alasan dan tujuan tertentu,
tapi dengan tanpa membatasi kemungkinan bentuk bentuk keanggotaan lain. Ini
bukan berarti bahwa setiap orang akan sadar sepenuhnya dengan bentuk atau tipe
keanggotaan ini atau mereka akan menganggap bentuk keanggotaan ini sebagai
suatu yang inklusif dengan bentuk keanggotaan lain, atau menyadari bahwa
masing-masing bentuk keanggotaan memiliki tujuan dan alasan tertentu.
Sepertinya nasionalisme, konsepsi dan praktik kewarganegaraan menjadi
norma yang sudah diterima dalam hubungan politik domestik dan internasional di
seluruh dunia, termasuk di kalangan masyarakat Islam. Bahkan, konsep-konsep
identitas dan kedaulatan yang memiliki nila “menentukan nasib sendiri” (self-
determination) sekarang dibangun diatas dasar yang sama dengan model Eropa.
Dan bagusnya, konsepsi-konsepsi tersebut terus berkembang dan merefleksikan
pengalaman-pengalaman masyarakat lain terutama melalui proses dekolonialisasi
dan perkembangan norma-norma HAM universal sejak pertengahan abad ke-20.
Umat Islam dimanapun sudah menerima konsep dasar kewarganegaraan
sebagai dasar sistem politik dan undang-undang domestik mereka bahkan juga
menjadi dasar bagi hubungan internasional mereka denga negara-negara lain.
Kewarganegaraan memang sudah menjadi dasar hubungan antar-Muslim.
Meskipun dasar konsep kewarganegaraan sudah diterima, kita perlu melangkah
satu tindak ke depan, yaitu mengembangkan dan mempromosikan prinsip-prinsip
kewarganegaraan di kalangan muslim agar mereka dapat memegang prinsip
tersebut dan berusaha untuk merealisasikan pemahaman positif dan proaktif
terhadap konsep kesetaraan warga negara untuk semua orang tanpa membedakan
agama, jenis kelamin, etnis, bahasa, atau opini politik apapun.
Konsep dzimmi dalam Perspektif Sejarah
Untuk membahas konsep dzimmi salam syari’ah tradisional, perlu kiranya
untuk mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang mendasari
beberapa diskursus keislaman yang keliru menginterpretasikan syari’ah atau
memberlakukan prinsip-prinsipnya secara langsung. Pertama, fokusnya disini
adalah bagaimana para pendiri mazhab syari’ah memahami teks yang relevan
dalam Al-Qur’an dengan cara yang sistematis. Jadi, pertama-tama kita harus
memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip syari’ah tentang dzimmi yang ada,
sebelum menguji kemungkinan untuk mereformasinya. Kedua, reformasi apapun
yang diajukan harus mngikuti metodologi yang jelas dan sistematik daripada
sekedar pemilihan arbitrer berbagai sumber, karena cara seperti itu akan ditolak.
Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama
sebagai bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik
berdasarkan afiliasi keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara seperti
yang terjadi pada saat ini. Dengan cara seperti itu, ide ini bertujuan untuk
menggeser loyalitas politik dari ikatan kesukuan ke Islam sehingga keanggotaan
dalam komunitas politik dapat diakses oleh siapapun yang menerima kepercayaan
ini. Karena generasi awal umat Islam percaya bahwa mereka adalah penerima
wahyu terakhir, mereka berasumsi bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk
menyebarkan Islam melalui jihad yang bisa dilakukan, tapi bukan satu-satuny,
melalui penaklukan militer.
Berdasarkan model relasi non-Muslim yang dikembangkan selama abad
ke-7 dan ke-8 ini, syari’ah mengklasifikasikan manusia pada tiga kategori yaitu
Muslim, ahl al-kitab (mereka yang dianggap umat Islam sebagai umat yang juga
menerima pewahyuan kitab suci seperti Kristen dan Yahudi), dan Kafir. Status ahl
al-kitab kemudian diperluas oleh para ulama hingga mencakup penganut agama
Magi berdasarkan asumsi bahwa mereka juga menerima pewahyuan kitab suci.
Namun, skema dasar yang menyatakan bahwa hanya Muslim-lah yang berhak
menjadi anggota penuh komunitas politik, sedangkan ahl al-kitab sebagai anggota
tidak penuh, tetap tidak bisa diubah atau dimodifikasi menurut pandangan
syari’ah.
Dari konsep dzimmi Menuju Kewarganegaraan Berbasis Hak Asasi Manusia
Realisasi konsep warga negara berbasi HAM di kalangan Muslim hanya
bisa tercapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual dari konsep
dzimmi menuju konsep warga negara dalam era pasca-kolonial. Kedua, bagaimana
menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang kuat
secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM berakar
kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini
menjadi diskursus local yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan
kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam.
Kombinasi elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan
Turki sebagai Kerajaan Islam terakhir menjadi negara modern gaya Eropa pada
awal abad ke-20.
Pemahaman warga negara berkembang dengan cara yang berbeda pada
zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan elastisitas sistem
Millet Dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara sudah merepresentasikan
ketidakbergantungan dinasti ini pada konsep dzimmi sebagai bentuk respons
mereka terhadap relaitas ekonomis, social, dan militer yang mereka hadapi.
Realitas-realitas tersebut mungkin difasilitasi dan terus didukung oleh proses
penetrasi Barat dan keterbukaan Ottoman, yang akhirnya mentransformasi
kerajaan ini dan membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya
negara Turki sekular pada 1920. Selain faktor tersebut, ada faktor yang tak kalah
pentingnya dalam pembentukan negara modern berbasis prinsip kewarganegaraan
modern Turki, yaitu kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di kalangan umat
Muslim, yang berasal dari Arab dan Albania misalny, dan juga kehadiran
minoritas Kristen.
Proses yang terjadi di Indi dan Turki, juga terjadi di negara Muslim lain
selama abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses
dekolonisasi pasca-Perang Dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi tidak lagi
dipraktikkan dan dianjurkan di negara Muslim manapun yang telah
mengintegrasikan diri dengan sistem negara yang berlaku sekarang. Walaupun
transformasi tersebut secara formal dilaksanakan oleh kolonial Eropa, semua
masyarakat Islam telah secara sukarela meneruskan sistem tersebut setelah mereka
merdeka. Umat Islam bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi
sistem tersebut, baik di tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di
negara-negara Muslim justru berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini di
dalam maupun di luar negaranya.
KONSTITUSIONALISME, HAM, DAN KEWARGANEGARAAN
(Book Review)
Tugas Mata Kuliah Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. M. Atha’ Muzhar
Oleh:
MARTUNUS RAHIMNIM. 88310139
MAHASISWA PROGRAM STUDI HUKUM ISLAMPROGRAM DOKTOR (S 3) PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2012