Download - Analisis Konflik Keraton Solo_taufik n Uki
Analisis Konflik Keraton Surakarta (Solo) dengan menggunakan
Actor Conflict Map tool dan Needs Fears Mapping tool
Isu : 1. Pembagian kekuasaan keraton2. Hukum dan tradisi adat3. Modal (hibah pemerintah terkait pemeliharaan warisan budaya)4. Perebutan Aset fisik dan non-fisik (prospek bisnis, sosial dan politik)
Peta Aktor Konflik
Konflik yang terjadi di keraton Surakarta sebenarnya sudah terjadi sejak lama dengan
eskalasi dan deeskalasi konflik yang terus terjadi sejak tahun 2004. Konflik ini dimulai ketika
Pakubuwono XII mangkat. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya kekosongan kekuasaan raja,
karena semasa hidupnya Pakubuwono XII tidak pernah mengangkat seorang Permaisuri. Dalam hal
ini yang berhak menjadi penerus raja adalah putra yang dilahirkan oleh permasuri. Selain itu,
Pakubuwono XII juga tidak secara tegas mewariskan tahtanya kepada siapa, sehingga kemudian
terjadi konflik mengenai Raja yang berhak menggantikan Pakubowono XII.
Pada saat itu, konflik mengerucut pada dua kubu yang sama-sama berkeinginan menjadi raja
yakni kubu Hangabehi, putra tertua dari PB XII yang didukung oleh keluarga selir kedua (KRAy
Predapaningrum), Gusti Moeng atau GKR Koes Moertia, KP Edi Wirabumi, GKR Wandansari, KGPH
Puger, GRM Herbanu, GKR Isbandiyah, GKR Timur Rumbai, KPH Winarnokusumo, dll. Kubu PB XIII
Hangabehi bertahtah di Keraton Kasunanan Surakarta. Kubu kedua adalah Kubu Tedjowulan yang
didukung oleh Keluarga Selir pertama (GRAy Mandayaningrum), Keluarga Selir ketiga (KRAy Rio
Rogasmara), keluarga Selir Keenam (GRAy Retnodiningrum) seperti KGPH Dipo Kusumo, KRH
Bambang Pradotonagoro, GPH Soeryo Wicaksono, dll. Kubu PB XIII Tedjowulan ini menetap di
kawasan Kota Barat Solo.
Pada perkembangannya, di akhir tahun 2011 muncul wacana rekonsiliasi dari kubu
Tedjowulan. Hal ini terus berkembang hingga terjadi kesepakatan rekonsiliasi antara Hangabehi dan
Tedjowulan pada 4 Juni 2012. Rekonsiliasi ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman
atau MoU rekonsiliasi antara Hangabehi dan Tedjowulan1 di gedung DPR dengan mediator Joko
Widodo sebagai Walikota Solo pada masa itu. Rekonsiliasi tersebut menyepakati kekuasaan raja
jatuh pada Hangabehi dan Tedjowulan diangkat menjadi mahapatih. Hal tersebut justru
menimbulkan konflik baru dimana pendukung Hangabehi menolak pengukuhan Tedjowulan sebagai
mahapatih dengan alasan jabatan mahapatih tidak sesuai dengan hukum adat dan Tedjowulan
diaggap sebagai pemberontak. Walaupun demikian Hangabehi sendiri mengakui Tedjowulan sebagai
mahapatihnya. Kubu yang pada awalnya mendukung Hangabehi kemudian membentuk Lembaga
Dewan Adat untuk menolak kedudukan Tedjowula sebagai mahapatih di Keraton Surakarta.
Lembaga Dewan Adat Kesunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan
yang terdaftar di Kantor Kesbangpol Kota Solo dengan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) No.
220/151/II/20112.
Puncak konfliknya terjadi ketika acara pengukuhan Tedjowulan menjadi mahapatih pada
tanggal 26 Agustus 20133. Lembaga Dewan Adat membubarkan paksa acara tersebut dengan
membawa sejumlah pendekar dari perguruan Setia Hati Teratai. Para undangan dan abdi dalem
dipaksa keluar dari keraton. Selain itu, semua pintu akses masuk menuju keraton dikunci. Kondisi
tersebut menimbulkan asumsi pada masyarakat bahwa telah terjadi kudeta yang mengancam
keselamatan Raja yang kemudian terjadi pendobrakan pintu masuk utama dengan menggunakan
kendaraan jenis Hardtop oleh masyarakat. Setelah pintu dapat terbuka masyarakat memaksa masuk
dan pada saat itu terjadi hampir menimbulkan kerusuhan namun segera dapat dicegah oleh TNI dan
polri dengan cara membubarkan masa dan memulangkan para pendekar perguruan Setia Hati
Teratai.
Dalam konflik ini pemerintah daerah mengupayakan perdamaian antara kubu-kubu yang
bertikai sebagai mediasi sesuai dengan surat dari Kementerian Dalam Negeri. Tetapi keberadaan
pemerintah daerah sebagai mediator ditolak oleh kubu Lembaga Dewan Adat. Dan menganggap
1 http://www.solopos.com/2014/02/23/konflik-keraton-solo-ini-sejarah-mediasi-konflik-kasunanan-surakarta-491725, diakses pada 12 April 2014.2 Bambang Ary Wibowo, Dilema Lembaga Dewan Adat, 13 November 2013, http://www.solopos.com/2013/11/13/dilema-lembaga-dewan-adat-524183, diakses pada 12 April 2014.3 http://manado.tribunnews.com/2013/08/27/ini-penyebab-kisruh-panjang-keraton-solo, diakses pada 12 April 2014.
bahwa pemerintah daerah telah memalsukan surat dari mendagri yang menunjuk Pemerintah Kota
Surkarta dalam hal ini Walokota Solo FX Hadi Rudyatmo sebagai Mediator. Pemerintah daerah yang
awalnya menjadi pihak ketiga yang memfasilitasi perdamaian pada akhirnya justru terlibat berkonflik
secara langsung dengan kubu Lembaga Dewan Adat. Pada tanggal 4 November 2013 Pakubuwono
XIII Hangabehi mengeluarkan maklumat yang isinya membubarkan Lembaga Dewan Adat4.
Maklumat ini didukung oleh pemerintah daerah dengan tidak memperpanjang ijin Lembaga Dewan
Adat sebagai Ormas di Kota Solo yang berakhir pada 21 Februari 2014.
Walaupun Lembaga Dewan Adat sudah dibubarkan tapi konflik terus mengalami dinamika.
Hal ini disebabkan karena kubu yang tergabung kedalam Lembaga Dewan Adat tidak menerima
maklumat sultan Pakubuwono XIII yang membubarkan Lembaga Dewan Adat. Melihat dinamika
konflik yang terjadi di keraton Surakarta, Presiden SBY dan pemerintah pusat berjanji akan turun
tangan untuk menyelesaikan konflik yang berkepenjangan tersebut setelah Pemilu 9 April 20145.
Dalam hal ini, konflik yang tadinya hanya diupayakan untuk diselesaikan di ranah keluarga dan
Pemda Solo saat ini diambil alih oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat sebagai pemegang
otoritas tertinggi dapat menggunakan kekuatan paksaannya untuk menyelesaikan konflik
berkepanjangan ini.
Dalam konflik Keraton Surakarta yang melibatkan beberapa aktor dan dinamikanya, dapat
diidentifikasi ada beberapa isu yang mewarnai konflik tersebut. Misalnya isu yang paling mudah
untuk diidentifikasi adalah pembagian kekuasaan keraton. Hal ini terlihat pada awal terjadinya
konflik ini ketika Raja Surakarta yakni Pakubuwono XII meninggal dunia dan tidak mewariskan
tahtanya kepada satupun dari anak-anaknya. Sehingga pada waktu itu terjadi kekosongan kekuasaan
dan terjadi perang wacana tentang siapa yang berhak mewarisi tahta kerajaan sehingga kemudian
muncul raja kembar dimana itu terdapat dua raja yang berkuasa dalam satu kerajaan. Dua raja
kembar tersebut adalah Hangabehi, putra dari selir kedua dan Tedjowulan, putra dari selir keenam
Pakubuwono XII yang mana keduanya kemudian menyatakan diri sebagai Pakubuwono XIII. Selain
itu juga, walaupun dalam sebuah kerajaan berlaku sistem kekuasaan tunggal namun semakin dalam
konflik yang terjadi di Keraton Surakarta terlihat bahwa beberapa pihak yang berkonflik menganggap
bahwa semakin dekat dengan raja maka akan semakin mudah akses mereka terhadap sumber daya
sosial politik maupun ekonomi.
4 http://www.solopos.com/2013/11/4/tak-ada-kirab-sinuhun-pb-xiii-tengah-semedi-457289, diakses pada 12 April 2014.5 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian-konflik-keraton-surakarta, diakses pada 12 April 2014.
Selain tentang perebutan kekuasaan raja dan pembagian kekuasaan kerajaan, isu yang
kemudian berkembang dalam konflik itu juga tentang tradisi dan hukum adat. Misalnya salah satu
pihak menuding pihak lain melanggar adat dan tradisi tertentu yang selama ini berlaku di Keraton
Surakarta. Salah satu adat yang dianggap sudah dilanggar adalah keberadaan jabatan mahapatih.
Kubu Lembaga Dewan Adat menganggap bahwa diangkatnya Tedjowulan sebagai mahapatih adalah
pelanggaran terhadap hukum adat karena dalam tradisi Kerajaan Surakarta tidak pernah ada jabatan
Mahapatih. Hal ini dapat merongrong kekuasaan tunggal dari raja. Sementara itu di pihak
Tedjowulan menganggap sebaliknya bahwa keberadaan Lembaga Dewan Adat di dalam keraton
tidak pernah ada dalam tradisi keraton dan justru Lembaga Dewan Adatlah yang merongrong
kekuasaan raja.
Isu lain yang juga dapat teridentifikasi dari konflik Keraton Surakarta adalah perebutan aset
fisik dan non-fisik (prospek bisnis, sosial dan politik) dimana aktor-aktor yang terlibat dalam konflik
itu menginginkan sumber daya tersebut. Hal ini dikarenakan sebagai salah satu warisan budaya,
Keraton Surakarta mendapatkan dana hibah dari pemerintah yang jumlahnya tidak sedikit. Ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak berkonflik untuk menguasainya. Selain itu, tidak
dapat dipungkiri meskipun status kebangsawanan tidak memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
kehidupan sosial seperti jaman dahulu, namun nama besar dan kekuasaan raja di Keraton Surakarta
masih memiliki tempat yang cukup penting dihati masyarakatnya. Oleh sebab itu, siapapun yang
menjadi atau berada di lingkaran kekuasaan raja keraton, pastilah akan memiliki akses yang lebih
mudah untuk masuk ke dunia politik praktis baik di tingkat daerah maupun nasional. Hal ini
tentunya akan memudahkan mereka untuk mengembangkan prospek bisnis yang ada.
Dalam konflik Keraton Surakarta, dapat dilihat bahwa terdapat keinginan dan ketakutan-
ketakutan dari masing-masing aktor terkait. Selama masing-masing pihak hanya mementingkan
keinginannya sendiri-sendiri konflik tersebut tidak akan kunjung selesai. Oleh sebab itu, needs fears
mapping dapat dijadikan sebagai alat yang membantu memetakan isu-isu yang dibawa dan
ketakutan-ketakutan yang dimiliki oleh masing-masing aktor konflik. Selain itu, dalam needs fears
mapping juga ditawarkan opsi-opsi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Untuk lebih jelasnya needs fears mapping tool dapat dilihat dari tabel 1.
Tabel 1. Needs Fears Mapping tool
AKTOR ISSU/MASALAH KEPENTINGAN KETAKUTAN CARA/UPAYA OPSIPakubuwono XIII
Pengangkatan raja
Kekuasaan Kehilangan kekuasaan Melalukan lobi politik, mengeluarkan maklumat pembubaran Lembaga Dewan Adat, menggalang dukungan dari mayoritas kerabat keraton dan masyarakat
Berdialog dengan Lembaga Dewan Adat, Mengangkat Tedjowulan sebagai Mahapatih
Mahapatih Tedjowulan
Pengangkatan sebagai mahapatih
Kekuasaan Kehilangan kekuasaan Melakukan lobi politik, menggalang dukungan dari mayoritas kerabat keraton dan masyarakat, menyatakan bahwa lembaga dewan adat tidak berhak mencampuri kekuasaan raja.
Berdialog dengan Dewan Adat, bergabung dengan Pakubuwono XIII
Lembaga Dewan Adat
Akses sosial politik dan ekonomi
Eksistensi dan akses
Kehilangan akses sosial politik dan ekonomi
Menolak dwi tunggal, menolak jabatan mahapatih, menggalang dukungan dari kerabat kerajaan dan masyarakat.
Berdialog dengan Dwitunggal
Masyarakat Baluwarta
Keamanan Lingkungan yang aman dan tentram
Terganggunya keamanan dan ketentraman
Meminta bantuan pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan konflik
Mengadukan ke pemerintah tentang konflik yang terjadi
Pendukung Tedjowulan
Mendukung Dwitunggal
Eksistensi dan akses
Kehilangan akses sosial politik dan ekonomi
Mendukung dwi tunggal Berdialog dengan dwitunggal dan lembga Dewan Adat
Pendekar Setia hati Teratai
Mendukung Lembaga Dewan Adat
Eksistesi dan materi
Tidak mendapat keuntungan materi dan eksistensi
Mengeluarkan kemampuan bela diri untuk mendukung Lembaga Dewan Adat
Ikut dalam proses dialog, menarik diri dari konflik internal
Pemerintah Pemeliharaan warisan budaya, Kondisi sosial yang kondusif
Popularitas, melaksanakan tugas dan fungsi, Keamanan wilayah
Rusaknya warisan budaya, terjadinya konflik fisik yang dapat berkembang menjadi kerusuhan
Menjamin kekuasaan dwitunggal, membubarkan Lembaga Dewan Adat sebagai Ormas, mengambil alih pengelolaan aset-aset keraton secara langsung
Mempengaruhi proses dialog agar kesepakatan segera terwujud
Daftar Pustaka
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian-konflik-keraton-surakarta. Diakses pada 12 April 2014.
http://manado.tribunnews.com/2013/08/27/ini-penyebab-kisruh-panjang-keraton-solo. Diakses pada 12 April 2014.
http://www.solopos.com/2013/11/4/tak-ada-kirab-sinuhun-pb-xiii-tengah-semedi-457289. Diakses pada 12 April 2014.
Wibowo, Bambang Ary. Dilema Lembaga Dewan Adat. 13 November 2013. http://www.solopos.com/2013/11/13/dilema-lembaga-dewan-adat-524183. Diakses pada 12 April 2014.
http://www.solopos.com/2014/02/23/konflik-keraton-solo-ini-sejarah-mediasi-konflik-kasunanan-surakarta-491725. Diakses pada 12 April 2014.