Download - Habit (David)
Fr. David Jones Simanungkalit
1323009004
TREATISE OF HABIT
QUESTION 49
Pada bagian ini, Thomas mengemukakan prinsip dari tindakan
manusia. Prinsip tersebut dibagi menjadi 2 bagian, yaitu prinsip
intrinsik dan prinsip ekstrinsik. Prinsip intrinsik adalah power dan
habit. Namun, mengenai power telah dibahas dalam bagian yang lain.
Dan fokus dari pembahasan ini adalah mengenai habit, yang berkaitan
dengan baik-buruk, yang menjadi prinsip dari tindakan manusia.
Question 49 berisi 4 artikel, yang mengandung 4 point
pembahasan. Artikel pertama berbicara tentang: Apakah habit itu
kualitas? Pada artikel kedua lebih berfokus tentang: Apakah habit itu
spesies yang berbeda dari kualitas? Sedangkan pada artikel ketiga
berbicara tentang: Apakah habit berimplikasi pada sebuah tindakan?
Artikel keempat berbicara tentang: Apakah habit itu (di)perlu(kan)?
Pembahasan mengenai habit tersebut bermuara pada
pembahasan mengenai keutamaan yang dikemukakan oleh
Aristoteles. Aristoteles mengungkapkan bahwa keutamaan pertama-
tama bukanlah soal teori melainkan praktek. Dalam membangun
keutamaan, manusia senantiasa dihadapkan pada dimensi-dimensi
praktis kehidupannya. Keutamaan juga bukan merupakan hal yang
inkonsisten (terjadi dalam beberapa kasus saja), melainkan harus
dibangun melalui tindakan yang konsisten, dalam jangka waktu yang
lama. Dengan kata lain, keutamaan harus dibentuk melalui habit.
Pembahasan mengenai hal ini terdapat pada sub tema: Keutamaan:
Dasar Kebahagiaan dan Tujuan Hukum.
Pada bagian terakhir penulis akan membuat sintesis antara
pemikiran Aristoteles mengenai keutamaan dalam konteks sistem
1
pendidikan yang berbasis pada teori multiple intelligence.
Pembahasan mengenai hal ini mengarah pada pembentukan
keutamaan yang ideal dalam sistem pendidikan. Bagaimana sistem
pendidikan harus sesuai dengan potensi kecerdasan khas yang
dimiliki oleh tiap individu. Berikut penulis akan mulai masuk pada
pembahasan pertama tulisan ini, yaitu mengenai habit yang
dikemukakan oleh Thomas Aquinas.
Of Habit in General, As Their Substance
Artikel Pertama: Apakah Habit itu Kualitas?
Keberatan pertama dalam artikel ini berkaitan dengan
permasalahan etimologis kata. Habit (kebiasaan) diperoleh dari kata
kerja to have (memiliki). Kata: memiliki, tidak hanya diterapkan
bahwa segala sesuatu memiliki kualitas saja, namun juga diterapkan
pada kategori-kategori lain. Sebagai contoh: kita memiliki kuantitas,
memiliki uang, dan hal lain yang tidak berkenaan dengan kualitas
saja. Maka dari itulah, habit dikatakan bukan sebuah kualitas.
Dalam menjawab keberatan tersebut, pada bagian sed contra,
Thomas mengutip jawaban seorang filsuf yang mengatakan bahwa
habit adalah kualitas yang sulit untuk berubah. Dikatakan sulit untuk
berubah karena habit merupakan tindakan yang dilakukan secara
berulang dengan intensitas yang tinggi. Contohnya: habit bangun pagi
untuk berdoa. Tindakan bangun pagi dan berdoa telah dilakukan
semenjak seseorang itu masih kecil. Maka ketika dewasa, tindakan
tersebut telah menjadi habit bagi pribadi tersebut. Dari contoh
tersebut dapat kita ketahui habit bangun pagi dan berdoa merupakan
sebuah kualitas. Dan kualitas tersebut (habit) sulit untuk berubah
karena merupakan tindakan yang diulang dengan intensitas yang
tinggi.
2
Thomas sendiri berargumen bahwa kata habitus (habit)
memang diperoleh dari kata habere (to have). Namun bagi Thomas,
penyerapan kata tersebut dibedakan dalam 2 cara. Cara pertama
ialah sebagaimana manusia dan benda-benda lain dikatakan memiliki
sesuatu (to have something). Dimana kepemilikan tersebut lebih
bersifat natural dan matterial. Sedangkan cara kedua lebih berkaitan
dengan hal relasi. Setiap hal memiliki sebuah relasi, baik berkenaan
dengan dirinya sendiri maupun berkenaan dengan sesuatu yang lain.
Penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan dalam paragraf berikut.
Berkaitan dengan cara pertama, cara ini merupakan sebuah
kepemilikan kualitas dengan cara yang umum terhadap setiap benda.
Disebut demikian, karena kepemilikan kualitas tersebut merupakan
cara kepemilikan yang lebih bersifat matterial dan natural. Disebut
matterial karena berasal dari benda materi dan disebut natural
karena kualitas tersebut telah menempel secara natural pada tiap
benda. Sebagai contohnya sebuah batu pasti memiliki kualitas warna
dan berat. Kualitas warna dan berat merupakan kualitas yang bersifat
natural pada batu. Inilah yang dimaksud Thomas sebagai cara
kepemilikan yang pertama, dimana cara kepemilikannya bersifat
natural pada tiap benda material.
Di sisi lain, sehubungan dengan cara kepemilikan yang kedua,
ada suatu medium (hubungan) antara subject dengan sesuatu hal
yang lain yang menjadi habitnya. Namun demikian, hubungan
tersebut hanya merupakan sebuah relasi. Sebagai contoh: antara
manusia dan pakaian; antara manusia dan manusia. Antara manusia
dengan pakaian terdapat suatu kualitas relasi (habit) yang dibangun
yang disebut dengan habit cara berpakaian dengan baik. Lalu antara
manusia dengan manusia, terdapat juga suatu kualitas relasi (habit)
yang dibangun yang biasa disebut dengan kualitas pertemanan yang
baik. Kualitas-kualitas dalam sense yang kedua ini tidak bersifat
3
natural melainkan dibangun/dibentuk sedemikian rupa oleh subject
dengan adanya tindakan yang diulang.
Dari uraian di atas, maka kata to have dikategorikan sebagai
habit dalam arti adanya sebuah relasi, baik yang berkenaan dengan
dirinya sendiri maupun berkenaan dengan sesuatu hal yang lain.
Habit yang berkenaan dengan relasi terhadap dirinya sendiri
merupakan habit yang berhubungan dengan kualitas-kualitas dalam
dirinya subject. Kualitas-kualitas dalam diri subject disebut juga
sebagai keutamaan. Maka dari itu, habit yang berkenaan dengan
relasi dalam dirinya sendiri merupakan sebuah tindakan yang
didasarkan oleh kualitas-kualitas (keutamaan-keutamaan) di dalam
diri subject. Sedangkan habit yang berkenaan dengan sesuatu hal
yang lain merupakan relasi yang dibuat oleh subject dengan sesuatu
dari luar dirinya. Relasi yang dibangun tersebut merupakan sebuah
kualitas yang dinamakan habit. Dengan dua cara inilah habit dapat
dikatakan sebagai sebuah kualitas.
Habit juga berkaitan erat dengan disposisi antara baik-buruk.
Maka dari itu, habit dapat diartikan sebagai disposisi antara baik-
buruk yang berkenaan dengan dirinya sendiri maupun berkenaan
dengan suatu hal lain di luar dirinya. Dalam artikel kedua akan
dijelaskan bagaimana Thomas memberikan ukuran terhadap baik-
buruknya sebuah habit.
Dari uraian di atas, kiranya kita telah dapat menjawab
keberatan pertama. Keberatan pertama tersebut merupakan
kepemilikan kualitas/kuantitas dalam cara yang pertama sebagaimana
telah dijelaskan oleh Thomas. Keberatan tersebut berkaitan dengan
penyerapan kata to have dalam cara kepemilikan yang umum (bersifat
natural dan matterial) terhadap setiap subject/benda. Sedangkan
habit sebagai kualitas yang dimaksud oleh Thomas adalah
kepemilikan kualitas yang bersifat relasional, antara subject dengan
dirinya sendiri ataupun antara subject dengan sesuatu di luar dirinya.
4
Artikel Kedua: Apakah Habit itu Spesies yang
Berbeda dari Kualitas?
Salah satu keberatan dalam artikel kedua ini berbunyi bahwa
habit bukan merupakan species yang berbeda dari kualitas. Argumen
dari keberatan ini adalah bahwa habit, sejauh itu kualitas, selalu
memiliki disposisi tentang baik-buruk sebagaimana dimiliki oleh
kualitas-kualitas yang lain. Dengan bahasa yang lebih lugas dikatakan
bahwa setiap kualitas tentu memiliki disposisi baik-buruk. Sebagai
contoh: suatu gambar/lukisan memiliki kualitas baik-buruk;
pertemanan juga memiliki kualitas baik-buruk, dst. Maka dari itu,
habit bukan merupakan species yang berbeda dari kualitas karena
setiap kualitas tentu memiliki disposisi baik-buruk. Pada bagian sed
contra, Thomas mengutip pendapat dari Aristoteles untuk menjawab
keberatan tersebut. Pendapat Aristoteles adalah satu species dari
kualitas adalah habit dan disposisi.
Pada bagian corpus, Thomas mengutip jawaban dari seorang
tokoh yang bernama Simplicius yang memaparkan tentang perbedaan
mengenai species yang berkaitan dengan habit. Simplicius membagi
species-species yang berkaitan dengan kualitas dalam empat bagian.
Species pertama dari kualitas merupakan kualitas-kualitas yang
bersifat natural, inhern di dalam subject dan tidak dapat hilang.
Species kedua dari kualitas adalah kualitas yang didatangkan dari
luar subject, dan dapat hilang. Sedangkan species ketiga dan keempat
dari kualitas merupakan turunan dari species kedua. Jika kualitas
yang didatangkan dari luar sifatnya mengakar dan sulit hilang maka
kualitas tersebut ditempatkan pada species ketiga dari kualitas.
Kebalikannya, jika kualitas yang didatangkan dari luar tidak tahan
lama atau hanya di permukaan saja, maka kualitas tersebut
ditempatkan dalam species keempat dari kualitas.
Dari pembagian Simplicius tersebut, Thomas merasa ada
ketidakcocokan dengan pola pembagian tersebut. Bagi Thomas,
5
Urutan (hierarki) species dari Simplicius kurang tepat untuk
menerangkan perbedaan dari berbagai kualitas. Pembagian
Simplicius agaknya cenderung membedakan secara tegas antara
kualitas yang natural dengan kualitas yang merupakan bentukan dari
luar. Padahal ada kualitas yang sifatnya natural tetapi sekaligus
didatangkan dari luar. Dan sebaliknya, ada kualitas yang didatangkan
dari luar tetapi sekaligus merupakan kualitas yang sifatnya natural.
Bagi Thomas, yang lebih natural selalu menjadi yang pertama.
Sebelum sampai pada pembagian species-species dari kualitas,
Thomas terlebih dahulu berbicara tentang kualitas yang menjadi
ukuran pasti dari sebuah substansi. Pemikiran ini mengacu para
kerangka pemikiran Agustinus. Hal ini dijabarkan lebih dalam oleh
Thomas dalam kerangka pemikiran mengenai teori matter dan form.
Form (act) merupakan sebuah kualitas yang membatasi matter
(potency). Sebagai contoh: sesuatu yang memiliki mata, hidung, kaki,
mulut, dan akal budi merupakan kumpulan matter yang dinamakan
manusia. Term manusia merupakan form dari kumpulan matter
tersebut. Dengan demikian, form berfungsi untuk membatasi sebuah
matter dan sekaligus menjadi sebuah ciri khas membedakan matter
tersebut dengan matter lain.
Di dalam form terdapat pula substansial form. Substansial form
merupakan esensi utama dari sebuah form. Sebagai contoh:
substansial form manusia adalah rasionalitas yang membedakannya
dengan binatang. Bagi Thomas, substansial form tersebut merupakan
tujuan dan sekaligus dasar, mengapa sesuatu itu dibentuk. (“and
since the form it self and the nature of a thing is the end and the
cause why a thing is made”1). Melalui prinsip substansial form inilah
Thomas hendak mengarahkan pemikirannya mengenai habit. Habit
yang dibentuk oleh manusia melalui tindakan yang diulang hendaknya
harus sejalan dengan apa yang menjadi kodratnya, yaitu akal budi
1 Aquinas, Thomas, Summa Theologiae I-II, Q. 49, Art. 2, hal. 795.
6
yang menjadi substansial form-nya. Dengan bahasa yang lebih lugas,
habit yang merupakan tindakan manusia harus berdasarkan
keutamaan yang terbentuk oleh daya rasionya.
Dan di dalam diri subject juga memiliki kualitas-kualitas lain
yang disebut sebagai accidental form (kualitas aksidental). Accidental
form merupakan kualitas yang berada dalam suatu substansi yang
bukan merupakan kualitas utama (substansial formnya). Accidental
form (kualitas aksidental) menghiasi adanya substansial form (kualitas
utama). Accidental form sekaligus juga menjadi ciri yang
membedakan suatu substansi dengan substansi lain melalui cara
beradanya. Sebagai contoh: accidental form manusia adalah warna
kulit, warna mata, berat tubuh, memiliki satu jantung, dst. Melalui
penjabaran mengenai kualitas-kualitas tersebut, Thomas merumuskan
empat pembagian jenis species dari kualitas yang mengerucut pada
habit. Habit sebagai kualitas yang idealnya mengarah pada
substansial form yang menjadi kodratnya.
Thomas memulai dari species yang keempat dari kualitas, yaitu
species yang berkenaan dengan kuantitas. Species keempat ini
berkaitan dengan pembahasan artikel pertama mengenai kepemilikan
kualitas yang bersifat natural dari suatu benda material. Jenis
kepemilikan ini adalah umum terhadap setiap benda material. Sebagai
contoh: manusia punya dua mata, satu jantung, dua tangan, dst.
Species kualitas yang berkenaan dengan kuantitas tersebut memiliki
sifat tidak bergerak dan tidak memiliki implikasi terhadap baik-buruk.
Sedangkan species kedua dan ketiga dari kualitas berkenaan
dengan mode determinasi subject terhadap action and passion. Bagi
Thomas, action and passion tidak memiliki aspek baik-buruk yang
berkaitan dengan akhir (finalitas) karena action and passion tidak
berhubungan langsung dengan sifat alami (kodratnya). Sedangkan
baik-buruk memiliki kaitan dengan suatu finalitas (an end) karena
7
berhubungan langsung dengan substansial form dan sifat alami
(kodratnya).
Berdasarkan ukuran yang digunakan oleh Thomas, maka dapat
dipahami bahwa setiap action and passion belum tentu memiliki aspek
baik-buruk. Sebagai contoh: aktivitas mandi, mencuci pakaian, dan
mensetrika pakaian. Aktivitas tersebut tidak berkaitan langsung
dengan tindakan yang mencerminkan kodratnya. Dengan kata lain,
aktivitas mandi, mencuci pakaian, dan mensetrika pakaian tidak
memiliki aspek baik-buruk. Sedangkan tindakan manusia yang
mencerminkan kodratnya adalah memiliki aspek finalitas (baik-buruk),
karena didasari oleh sesuai atau tidaknya tindakan manusia dengan
apa yang menjadi kodratnya. Berikut merupakan pemaparan argumen
utamanya yang sekaligus menjadi species pertama dari kualitas.
Species pertama dari kualitas adalah mode determinasi subject
yang berkenaan dengan sifat alami suatu benda (nature of thing),
yang mana adalah habit dan disposisi. Disebut demikian karena sifat
alami suatu benda (nature of thing) menjadi tujuan akhir dan
penyebab mengapa sesuatu hal diciptakan. Di dalam sifat alami suatu
benda (nature of thing) terdapat ide/gagasan mengenai baik-buruk.
Ukuran baik-buruk menurut Thomas adalah sesuai/tidaknya sebuah
tindakan (yang salah satu aspeknya adalah habit) dengan apa yang
menjadi kodratnya. Jika cara beradanya sesuai dengan kodratnya
maka dikatakan memiliki aspek yang baik. Dan sebaliknya, jika cara
beradanya tidak sesuai dengan kodratnya maka dikatakan memiliki
aspek yang buruk. Sebagaimana diungkapkannya: “For when the
mode is suitable to the thing’s nature, it has the aspect of good; and
when it is unsuitable, it has the aspect of evil.”2 Dengan demikian,
substansial form (kodrat yang pasti) merupakan tujuan dari
pergerakan habit itu sendiri.
2 Ibid.
8
Pada paragraph di atas, penulis menangkap sebuah arah
pemikiran yang hendak dimaksudkan oleh Thomas. Melalui
penjelasan di atas, sepertinya Thomas ingin menjelaskan bahwa
nature of thing (kodrat) manusia adalah sebagai makhluk rasional
(berakal budi). Maka dari itu, manusia harus bertindak sesuai dengan
kodratnya tersebut, yaitu bertindak dengan rasional. Bagi Thomas,
Akal budi manusia yang dituntun oleh hukum kodrat yang berisi
keutamaan-keutamaan moral menjadi pedoman manusia dalam
bertindak. Keutamaan-keutamaan itu dapat terbentuk melalui habit
yang baik (habit yang sesuai kodratnya). Dengan demikian, tindakan
manusia yang dituntun oleh kodratnya mengarahkan manusia pada
kebahagiaan yang menjadi tujuan akhir (finalitasnya).
Menjawab keberatan yang diajukan di awal, bahwa habit bukan
species yang berbeda dari kualitas. Thomas menegaskan kembali
argumennya pada artikel pertama bahwa habit dibedakan dari
kualitas-kualitas yang lain karena adanya relasi terhadap sesuatu
yang lain. Dan dari pembahasan artikel kedua, ditambahkan gagasan
mengenai baik-buruk, maka esensi habit adalah sebuah hubungan
relasional dari subject terhadap nature-nya yang menjadi prinsip dan
tujuan dari tindakan subject itu sendiri.
Artikel Ketiga: Apakah Habit Berimplikasi pada
Sebuah Tindakan?
Dalam memberi jawaban terhadap pertanyaan ini, Thomas
nampaknya mengacu (baca: konsisten) pada definisi dari habit itu
sendiri. Definisi habit sebagaimana telah disinggung di atas adalah
disposisi mengenai baik-buruk dalam dua cara yang berbeda. Pertama
adalah disposisi yang berkenaan dengan sifat alamiahnya (it’s nature)
yang masih berwujud potensi. Kedua adalah disposisi yang berkenaan
dengan sesuatu yang lain dalam kaitannya dengan tujuan akhirnya,
yang mana potensi dalam nature-nya telah menjadi aktual.
9
Berkaitan dengan cara pertama, dimana habit memiliki relasi
dengan sifat alaminya (it’s nature), hal ini adalah esensial bagi habit.
Mengapa disebut esensial? Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
karena sifat alami suatu benda (nature of thing) menjadi tujuan akhir
dan penyebab mengapa sesuatu hal diciptakan. Dengan demikian sifat
alamiah suatu benda (nature of thing), menjadi prinsip dasar dari
tindakan (principle of act) dari subject itu sendiri.
Prinsip pertama di atas secara otomatis berimplikasi pada
prinsip yang kedua, karena sifat alamiah suatu benda (things of
nature) yang masih berwujud potensi harus bergerak menjadi sebuah
actus (teori matter-form). Actus merupakan sebuah operasi (tindakan)
dari subject, yang modus operasinya didasarkan pada sifat
alamiahnya (it’s nature) menuju pada sebuah finalitas dalam wujud
tindakan konkrit. Dengan demikian, habit berimplikasi pada tindakan
sehubungan dengan modus operasinya yang mengarah pada suatu
finalitas yang didasarkan pada sifat alamiahnya (it’s nature). Dalam
konteks manusia, akal budi yang dituntun oleh hukum kodrat menjadi
pedoman/prinsip dasar manusia dalam bertindak menuju tujuan
akhirnya yaitu kebahagiaan.
Artikel keempat: Apakah habit itu diperlukan?
Pada bagian ini Thomas mengemukakan tiga kondisi
kemungkinan yang menyebabkan habit tersebut diperlukan. Kondisi
pertama adalah berkaitan dengan harus adanya komposisi pada setiap
mobile being (subject yang bergerak). Bagi Thomas, komposisi
tersebut berupa potency (matter) and act (form). Dengan adanya
komposisi tersebut, maka memungkinkan adanya ruang untuk habit.
Jika mobile being tidak memiliki komposisi, maka tidak akan ada
ruang untuk habit. Jika demikian, maka akan sama halnya dengan
kasus tentang Tuhan yang tidak memiliki komposisi. Habit bukan
merupakan sesuatu yang tidak berubah (tetap), tetapi sesuatu yang
10
dapat berubah (bergerak). Habit yang baik merupakan tindakan
manusia yang didasarkan pada kodrat rasionalnya, sedangkan habit
yang buruk merupakan tindakan manusia yang tidak sesuai dengan
kodrat rasionalnya. Dengan demikian, habit selalu merupakan
perpaduan antara potensi dan actus.
Kondisi kedua adalah kondisi bilamana yang ada hanyalah
potensi-potensi dan tidak ada act. Jika demikian, maka tidak ada
ruang untuk habit menjadi act. Kondisi ketiga berkaitan dengan
kualitas-kualitas yang berada dalam diri subject. Thomas tampaknya
membedakan kualitas-kualitas yang ada di dalam subject menjadi 2
bagian. Pertama yaitu kualitas-kualitas yang sederhana, dimana
kualitas-kualitas tersebut memiliki suatu jalan yang sudah pasti untuk
menjadi actus. Thomas menganggap kualitas-kualitas tersebut bukan
sebuah habit dan disposisi karena actus-nya sudah merupakan suatu
kejelasan. Kesehatan, keindahan merupakan sebuah habit dan
disposisi dikarenakan jalannya untuk menjadi actus memiliki dinamika
yang relatif. Dari ketiga kondisi tersebut, maka habit diperlukan.
Demikianlah ulasan panjang lebar mengenai habit. Pada bagian
selanjutnya penulis akan memaparkan konsep eudaemonia
(kebahagiaan) dan arête (keutamaan) yang menjadi pemikiran
Aristoteles. Pemaparan mengenai eudaemonia dan arête merupakan
pintu masuk untuk pembahasan “Keutamaan: Dasar Kebahagiaan dan
Tujuan Hukum”.
Kebahagiaan (Eudaemonia)3
Eudaemonia adalah sebuah konsep pemikiran yang dilahirkan
oleh seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles. Bagi Aristoteles,
eudaemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus
penentu/ukuran baik buruknya tindakan. Kebahagiaan menjadi tujuan
akhir karena semua tujuan yang lain bermuara pada kebahagiaan. Hal 3 Lih, http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html,
diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.
11
ini masuk akal karena apabila dalam hidupnya orang sudah bahagia,
maka orang tersebut cenderung tidak menginginkan apa-apa lagi.
Dalam konteks inilah kebahagiaan dikategorikan sebagai tujuan akhir,
yaitu tujuan yang mengatasi segala tujuan yang lain. Sedangkan
kebahagiaan sebagai penentu/ukuran baik buruknya sebuah tindakan
didasarkan pada sesuai/tidaknya sebuah tindakan dengan apa yang
menjadi kodratnya. Jika sebuah tindakan sesuai dengan kodratnya
maka dikatakan memiliki aspek yang baik.4 Dan sebaliknya, jika
sebuah tindakan tidak sesuai dengan kodratnya maka dikatakan
memiliki aspek yang buruk.5 Dengan demikian, etika Aristoteles
termasuk etika teleologis (telos: tujuan). Disebut teleologis karena ia
menitikberatkan aspek tujuan, yaitu: kebahagiaan sebagai ukuran
baik buruknya sebuah tindakan.Tindakan dinilai baik sejauh
mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan.
Bagi Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada tindakan
yang mengarah pada kodrat kesempurnaannya. Menurut Aristoteles,
potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk
lain adalah akal budinya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain
manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, tindakan manusia
yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk
tindakan yang melibatkan kemampuan akal budi manusia.
Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa
dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang
menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas
“keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat
membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti
dilakukan secara stabil dan dalam jangka waktu yang panjang, bukan
hanya sesekali saja. Berikut penulis akan memaparkan sedikit wacana
perihal konsep keutamaan yang dimaksudkan oleh Aristoteles.
4 Ibid.5 Ibid.
12
Keutamaan (Arête)6
Keutamaan merupakan sebuah potensi yang bersumber dari
kemampuan khas akal budi manusia. Sebagai sebuah potensi, maka
hal tersebut harus diaktualisasikan untuk menjadi actus (teori potensi
to act). Dengan kata lain, keutamaan sebagai sebuah potensi harus
direalisasikan dalam tindakan konkrit. Bagi Aristoteles, manusia
bahagia bila dapat merealisasikan atau mengembangkan potensi-
potensi dirinya menuju sebuah tindakan konkrit (action). Dalam
merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut
harus dilakukan menurut aturan keutamaan. Hanya aktivitas yang
disertai keutamaan (aretê) yang membuat manusia menjadi bahagia.
Dalam bukunya yang berjudul Nikomachean ethics, Aristoteles
melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang
memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub
ekstrem yang berlawanan. Dalam menetapkan pertengahan
(keutamaan) tersebut, manusia selalu dihadapkan dalam dimensi
praktis kehidupannya. Sebagai contoh, ketika berbelanja. Ketika
berbelanja, manusia dihadapkan pada kecenderungan untuk memilih
antara dua kutub ekstrim yang berlawanan. Dua kutub tersebut
adalah memilih antara berbelanja terlalu banyak sehingga
pengeluaran menjadi besar (orang boros), atau berbelanja terlalu
hemat sehingga pengeluaran sangat minimalis (orang kikir). Diantara
dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros
juga tidak kikir. Orang yang berada di jalan tengah ini disebut orang
yang murah hati. Dengan demikian, persoalan keutamaan bukan
pertama-tama sebagai teori belaka melainkan berkaitan langsung
dengan dimensi praktis kehidupan manusia (keutamaan etis).
Bagi Aristoteles, keutamaan etis tersebut tidak bisa diajarkan
tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.
6 Lih, http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html, diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.
13
Keutamaan etis tumbuh dan berkembang dari pengalaman dan
kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis,
semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut
pengertian yang tepat. Keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan
yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap
tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan terjadi dalam
beberapa kasus saja. Dengan demikian, sikap yang berkeutamaan
harus dibentuk melalui adanya tindakan yang tetap dan dalam jangka
waktu yang lama. Dengan kata lain, keutamaan harus dibentuk
melalui habit. Setelah memaparkan konsep eudaemonia dan arête,
pada bagian selanjutnya penulis akan mulai masuk pada pembahasan
“Keutamaan: Dasar Kebahagiaan dan Tujuan Hukum”.
Keutamaan sebagai Dasar Kebahagiaan dan
Tujuan Hukum
Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi hidup manusia adalah
mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan manusia terdapat
pada tindakan yang mengarah pada kesempurnaanya. Menurut
Aristoteles, tindakan yang mengarah pada kesempurnaan tersebut
harus didasarkan pada sifat alamiah (kodrat) yang menjadi ciri
khasnya. Sifat alamiah (kodrat) tersebut menjadi dasar dan tujuan
mengapa segala sesuatu diciptakan. Pada manusia, akal budi
merupakan ciri khas (substansial form) yang membedakan manusia
dengan makhluk/benda lain. Dengan akal budinya, manusia dapat
memahami apa dan siapa (hakekat) dirinya dan membuat pilihan-
pilihan rasional atas hidupnya. Maka dari itu, akal budi harus menjadi
dasar dan tujuan dari segala tindakan manusia.
Tindakan manusia yang didasarkan oleh akal budinya disebut
juga sebagai tindakan yang berkeutamaan. Sebagaimana telah
14
disinggung dalam paragraph-paragraf sebelumnya, bahwa keutamaan
pertama-tama bukanlah soal teori melainkan praktek. Dengan kata
lain, tindakan yang berkeutamaan selalu melibatkan dimensi praktis
kehidupan manusia. Dimana manusia selalu mengadakan pilihan-
pilihan hidupnya secara rasional (berdasarkan keutamaan-keutamaan
dirinya). Aristoteles menambahkan bahwa keutamaan juga tidak boleh
terjadi secara inkonsisten (beberapa kasus saja), melainkan harus
dilatih sedemikian rupa dalam jangka waktu yang lama (konsisten).
Maka dari itu, hidup yang berkeutamaan harus dibentuk melalui
habit.
Pembentukan keutamaan melalui habit dapat dilakukan dalam
dua cara. Cara pertama lebih bersifat subjektif dan cara kedua lebih
bersifat objektif. Sehubungan dengan cara pertama, keutamaan dapat
dibentuk melalui pengaktualisasian potensi-potensi dari dalam diri
manusia untuk menjadi sebuah actus. Hal ini lebih bersifat subjektif
karena setiap orang tentu memiliki potensi-potensi yang berbeda satu
sama lain. (Pembahasan lebih mendalam pada topik selanjutnya:
Multiple intelligences).
Sedangkan dalam cara yang kedua, keutamaan dibentuk dengan
cara yang sama bagi setiap orang. Proses pembentukan keutamaan
dalam cara yang kedua tersebut dapat dilakukan melalui adanya
hukum positif. Proses pembentukan keutamaan ini sejalan dengan
yang diungkapkan oleh Simplicius sebagaimana dibahas dalam artikel
kedua dalam Summa Theologiae. Dimana Simplicius mengungkapkan
bahwa ada habit yang merupakan bentukan dari luar diri subject dan
sifatnya tidak permanen. (“….but some are adventitious, being caused
from without, and these can be lost”). Berdasarkan pendapat
Simplicius tersebut, maka keutamaan juga dapat dibentuk melalui
adanya hukum positif yang bertujuan untuk mengatur kehidupan
bersama. Maka dengan mentaati hukum, manusia juga diarahkan
pada pembentukan keutamaan bagi dirinya.
15
Hukum pertama-tama merupakan kristalisasi nilai-nilai kolektif
(universal) yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkristalisasi
dalam hukum bersifat positif dan mengikat setiap manusia demi
terselenggaranya tata kehidupan yang tertib dan teratur. Sifat hukum
yang mengikat pada akhirnya juga turut mengatur dan membentuk
tindakan manusia. Tindakan manusia yang dibentuk oleh hukum dan
dilakukan dengan konsisten juga turut membentuk keutamaan bagi
individu yang terikat oleh adanya hukum tersebut. Dengan demikian,
hukum positif juga membantu manusia untuk memiliki hidup yang
berkeutamaan.
Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan
pembentukan keutamaan dengan cara yang subjektif. Dimana
manusia harus mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Dalam
perkembangan dunia modern, diketemukan bahwa potensi yang
dimiliki oleh tiap individu berbeda antara satu dengan yang lain.
Pembahasan tersebut masuk dalam topik multiple intelligences yang
dikontekstualisasikan dalam sistem pendidikan. Dalam pembahasan
tersebut, penulis mensintesiskan teori multiple intelligences yang
dicetuskan oleh Howard Gardner dengan pemikiran Aristoteles
mengenai keutamaan dan kebahagiaan.
Analisis Terhadap Sistem Pendidikan Berbasis
Teori Multiple intelligence (Membangun Sistem
Pendidikan yang Manusiawi Melalui Potensi Khas
Tiap Individu)
(Selayang Pandang Munculnya Multiple intelligences)
“Di tahun 1900, di kota Paris -La Belle Epoque- ketika para pemimpin kota
Paris berbicara dengan seorang ahli psokologi bernama Alfred Binet dengan
permintaan yang tidak biasa: Apakah dia dapat merancang semacam ukuran
16
yang dapat memperkirakan anak muda yang akan sukses dan mana yang
akan gagal dari sekolah dasar Paris? Seperti yang kita semua ketahui, Binet
berhasil. Dalam waktu singkat, penemuannya menjadi terkenal dengan
sebutan ”test kecerdasan”; ukurannya, ”IQ”. IQ menjadi populer dan segera
masuk ke Amerika Serikat, menikmati sukses yang cukup sampai Perang
Dunia I. Pada waktu itu, IQ dipakai untuk menguji lebih dari satu juta orang
Amerika yang mendaftar menjadi tentara, dan benar-benar mencapai
kesuksesan. Sejak saat itu, tes IQ tampak seperti sukses psikologi terbesar –
alat ilmiah yang benar-benar bermanfaat-.”7
Howard Gardner, seorang tokoh yang berasal dari Scranton,
Pennsylvania (1943-...), tidak setuju dengan penerapan teori IQ. Ia
berargumen bahwa IQ telah digunakan sebagai alat ukur yang utama
untuk mengukur standart kemampuan seseorang.8 Bukunya Multiple
intelligences, merupakan sebuah kritik atas implementasi teori IQ
yang “memandang manusia secara seragam” dan pengajuan sebuah
visi alternatif untuk menandinginya yaitu teori Multiple intelligences.
Dalam teorinya, Howard Gardner mengajukan sebuah
pandangan yang lebih pluralistik mengenai pikiran, dimana lebih
banyak mengakui segi pemahaman yang berbeda dan berdiri sendiri,
menerima kenyataan bahwa orang mempunyai kekuatan memahami
yang berbeda dan gaya pemahaman yang kontras. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap individu berbeda dalam profil kecerdasannya,
dan dengan demikian tidak bisa disejajarkan atau bahkan dinilai
dalam satu jenis kecerdasan saja (IQ).
Teori Multiple intelligences
Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, teori ini
merupakan kritik atas teori IQ yang memandang manusia secara
seragam. Implikasi teori IQ dalam dunia pendidikan (persekolahan),
7 Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, Batam Center, Batam, 2003, hlm. 19.8 Ibid, hlm. 20.
17
menurut Howard Gardner, adalah kecerdasan siswa hanya diukur
berdasarkan satu aspek kecerdasan saja, yaitu IQ dan cenderung
mengabaikan aspek lain dari kecerdasan yang dimiliki manusia
(siswa).
Secara kontras, Howard Gardner meyakini bahwa setiap
individu mungkin berbeda dalam profil kecerdasan tertentu yang
telah dimiliki sejak lahir, dan bahwa mereka pasti berbeda dalam
profil yang akhirnya mereka miliki.9 Argumen tersebut adalah asumsi
dasar yang melatarbelakangi munculnya teori multiple intelligences,
dimana setiap individu diyakini memiliki kekhasan dalam
kecerdasannya. Tiap-tiap tipe kecerdasan memiliki kompetensinya
masing-masing dan tingkatannya setara, tidak ada satu tipe
kecerdasan yang lebih superior dan menjadi prioritas daripada tipe
kecerdasan yang lain. Berikut akan disebutkan daftar tujuh
kecerdasan menurut Howard Gardner disertai satu atau dua contoh
dari setiap kecerdasan.
1. Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan ini adalah kecerdasan dalam olah bahasa, yang
terwujud dalam berbicara maupun menulis. Orang dalam
kecerdasan ini berpotensi dalam berpuisi, berretorika, dan
menjadi seorang penulis.
2. Kecerdasan Logika-Matematika
Seperti yang tersirat dalam nama, adalah kemampuan dalam
logika dan matematika, di samping kemampuan ilmu
pengetahuan. Orang yang memiliki kecerdasan ini mampu
mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip
sebab-akibat, serta pandai dalam pemecahan masalah yang
menuntut pemikiran logis.
9 Ibid, hlm. 25.
18
3. Kecerdasan Ruang
Kecerdasan ini adalah kemampuan membentuk model mental
dari dunia ruang dan mampu melakukan berbagai tindakan
dan operasi menggunakan model itu. Pelaut, insinyur, dokter
bedah, pemahat, dan pelukis adalah contoh orang-orang yang
mengembangkan kecerdasan ruang yang tinggi.
4. Kecerdasan Musik
Kecerdasan musik adalah kemampuan dalam ritmik musik
dan mendengar. Orang-orang demikian memiliki sensitivitas
tinggi dalam bermusik. Mozart dan Leonard Bernstein
mempunyai kecerdasan itu.
5. Kecerdasan Gerak-Badan
Kecerdasan gerakan badan adalah kemampuan
menyelesaikan masalah atau produk mode dengan
menggunakan seluruh badan atau sebagian badannya.
Penari, atlet, dokter bedah, dan perajin semuanya
menunjukkan kecerdasan gerak badan.
6. Kecerdasan Antar Pribadi
Kecerdasan antar pribadi adalah kemampuan untuk
memahami orang lain: apa yang memotivasi mereka,
bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja sama dengan
mereka. Wiraniaga yang sukses, politisi, guru, petugas klinik,
dan pemimpin agama semuanya mungkin adalah orang-orang
yang memiliki kecerdasan antar pribadi yang tinggi.
7. Kecerdasan Intra Pribadi
Kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang berkaitan
dengan kecerdasan antar pribadi tetapi lebih mengarah ke
19
dalam. Itu adalah kemampuan membentuk model yang
akurat, dapat dipercaya dari diri sendiri dan mampu
menggunakan model itu untuk beroperasi secara efektif
dalam hidup.
Menurut pandangan Howard Gardner, proses pembelajaran di
sekolah bukannya sebuah “pandangan seragam”, yang cenderung
menggunakan IQ sebagai tolok ukur kecerdasan tiap-tiap siswa.
Namun, hendaknya lebih mengembangkan keunikan kecerdasan tiap-
tiap siswa dan membantu siswa untuk mencapai sasaran profesi dan
hobi yang cocok untuk spektrum kecerdasan mereka masing-masing.10
Dengan kata lain, Howard Gardner lebih menekankan metode
pendidikan yang berpusat pada individu yang bertujuan untuk
mengoptimalkan pemahaman dan pengembangan profil kognitif setiap
siswa. Visi ini merupakan sebuah habitus tandingan dari Howard
Gardner terhadap metode pendidikan sekolah seragam jaman ini yang
menitikberatkan IQ sebagai tolok ukur yang utama.
Penulis melihat adanya korelasi antara pemikiran Howard
Gardner dengan pemikiran Aristoteles perihal keutamaan dan
kebahagiaan. Bagi Aristoteles, manusia bahagia bila dapat
merealisasikan atau mengembangkan keutamaan (potensi-potensi)
dirinya menuju sebuah tindakan konkrit (action). Dalam teorinya,
Howard Gardner lebih spesifik dalam memandang potensi-potensi
khas yang dimiliki tiap individu. Howard Gardner mengungkapkan
bahwa tiap individu memiliki potensi-potensi yang khas dalam
kecerdasannya. Dimana potensi kecerdasan tiap individu berbeda
dengan individu lain. Maka sistem pendidikan yang ideal adalah
sistem pendidikan yang mengembangkan keunikan kecerdasan tiap-
10 Ibid, hlm. 25.
20
tiap siswa dan membantu siswa untuk mencapai sasaran profesi dan
hobi yang cocok untuk spektrum kecerdasan mereka masing-masing.11
Penulis juga melihat bahwa pemikiran Howard Gardner tersebut
juga sejalan dengan pemikiran Aristoteles mengenai kebahagiaan.
Aristoteles mengungkapkan bahwa manusia dapat bahagia bila
mewujudkan potensi-potensi (keutamaan) dalam dirinya menjadi
sebuah actus. Dan Howard Gardner secara lebih spesifik
mengungkapkan bahwa tiap-tiap individu memiliki potensi kecerdasan
yang unik yang dibawanya sejak lahir. Dengan demikian, tiap individu
dapat bahagia bila dapat mewujudkan potensi-potensi (keutamaan)
yang khas dalam dirinya menjadi sebuah actus. Sebaliknya, tiap
individu akan merasa tidak bahagia bila dipaksa untuk melakukan
berbagai hal yang tidak sejalan dengan potensi kecerdasan yang
dimilikinya. Sebagaimana banyak pelajar yang merasa tertekan
dengan sistem pendidikan yang hanya menitikberatkan sektor IQ
dalam menilai kecerdasan tiap siswa.
Sistem pendidikan yang ideal seharusnya dapat membuat siswa
untuk semakin menjadi dirinya sendiri dengan menemukan jenis
kecerdasan yang dimilikinya. Bukan malah dikaburkan dengan sistem
pendidikan yang menitikberatkan penilaian pada satu sektor
kecerdasan saja. Sistem pendidikan yang berbasis teori multiple
intelligences pada akhirnya juga turut membentuk mental yang
respek terhadap keanekaragaman. Tidak ada satu tipe kecerdasan
yang lebih superior dan menjadi prioritas daripada tipe kecerdasan
yang lain. Tiap-tiap tipe kecerdasan memiliki kompetensinya masing-
masing dan tingkatannya setara.
Uraian panjang lebar di atas mengarah pada sebuah ide dasar
yaitu membentuk hidup yang berkeutamaan. Hidup yang
berkeutamaan adalah hidup yang didasarkan pada akal budi. Akal
11 Ibid.
21
budi merupakan kodrat manusia yang menjadi dasar ada dan cara
beradanya. Dengan akal budinya, manusia mampu mengadakan
pilihan-pilihan yang baik bagi hidupnya sebagaimana tidak dapat
dilakukan oleh mahkluk/benda lain. Dan di dalam memilih apa yang
terbaik bagi hidupnya, manusia harus mendasarkan dirinya pada azas-
azas keutamaan dalam dirinya, yaitu lakukanlah yang baik dan
hindarilah yang buruk (jahat). Maka...hiduplah dalam keutamaan.
Acuan Sumber:
1. Aquinas, Thomas, Summa Theologiae I-II
2. Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, Batam Center,
Batam, 2003.
3. http://masimamgun.blogspot.com/2009/04/filsafat-moral-aristoteles.html ,
diakses pada 22 Mei 2011, pada pukul 21.00.
22