HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN PENERIMAAN SOSIAL
TERHADAP SISWA DIFABEL PADA SISWA DI SMK MARSUDIRINI
MARGANINGSIH SURAKARTA
OLEH
ASTRI DIAN CAHYANI CAROLINE
802009015
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DAN PENERIMAAN SOSIAL
TERHADAP SISWA DIFABEL PADA SISWA DI SMK MARSUDIRINI
MARGANINGSIH SURAKARTA
Astri Dian Cahyani Caroline
Ratriana Y.E Kusumiati
Jusuf Tjahjo Purnomo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kematangan emosi dengan
penerimaan sosial kepada siswa difabel di Smk Marsudirini Marganingsih Surakarta.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan positif antara
kematangan emosi dengan penerimaan sosial kepada siswa difabel di Smk Marsudirini
Marganingsih Surakarta. Penelitian ini menggunakan teknik sampel simple random
sampling dimana penelitian ini dilakukan di Smk Marsudirini Marganingsih Surakarta.
Jumlah keseluruhan subyek penelitian sebanyak 42 orang. Variabel-variabel penelitian
diukur dengan menggunakan kuisioner, yaitu skala kematangan emosi yang terdiri dari
48 item dan skala penerimaan sosial yang terdiri dari 32 item. Hasil analisa korelasi
yang menggunakan rumus Pearson Product Moment dari Pearson, menunjukan bahwa
ada hubungan positif yang signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan
sosial kepada siswa difabel di Smk Marsudirini Marganingsih Surakarta. Dengan r
sebesar 0,383 (p<0,05), hal ini berarti semakin tinggi kematangan emosi maka semakin
tinggi pula pemerimaan sosial kepada siswa difabel, dan sebaliknya. Variansi skor
penerimaan sosial dapat dijelaskan variabel kematangan emosi sebesar 14,7% (r2 =
0,383)
Kata kunci : penerimaan sosial, kematangan emosi, remaja difabel
ii
Abstract
The purpose of this study was to examine the relationship of emotional maturity with
social acceptance to students with disabilities in SMK Marsudirini Marganingsih
Surakarta. The hypothesis of this study is that there is a positive relationship between
emotional maturity with social acceptance to students with disabilities in Smk
Marsudirini Marganingsih Surakarta. This study used a sample of simple random
sampling technique in which the study was conducted in Smk Marsudirini
Marganingsih Surakarta. The total number of study subjects were 42 people. Research
variables were measured using questionnaires, namely emotional maturity scale consists
of 48 items and social acceptance scale consisting of 32 items. Results of correlation
analysis using the formula Pearson Product Moment of Pearson, shows that there is a
significant positive relationship between emotional maturity with social acceptance to
students with disabilities in Smk Marsudirini Marganingsih Surakarta. With 0,383 r (p
<0.05), this means that the higher the emotional maturity, the higher the social
pemerimaan to students with disabilities, and vice versa. Variance social acceptance
scores can be explained variables emotional maturity of 14.7% (r2 = 0.383)
Keywords: social acceptance, emotional maturity, youth with disabilities
1
PENDAHULUAN
Setiap tahap kehidupan memiliki tugas perkembangan masing-masing, mulai
dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Beberapa tugas perkembangan remaja awal
menurut Havighurst (Hurlock, 1995) adalah mencapai hubungan baru yang lebih
matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, menerima keadaan fisiknya
dan menggunakannya secara efektif. Masa remaja awal memiliki tugas
perkembangan yang harus diselesaikan pada masanya. Pada masa remaja awal
kesempatan untuk bersosialisasi bertambah luas, dibanding dengan masa masa
sebelumnya. Sosialisasi merupakan proses yang berkesinambungan terjadi sejak
masa kanak kanak hingga dewasa.
Menurut Hurlock (1995) untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi, remaja
harus membuat penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian
diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam pola
perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru dalam seleksi persahabatan, nilai
baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi
pemimpin. Pada diri remaja hal penolakan oleh kelompok merupakan hal yang
sangat mengecewakan. Untuk menghindari kekecewaan itu remaja awal perlu
memiliki sikap, perasaan, keterampilan-keterampilan perilaku yang dapat
menunjang penerimaan kelompok.
Menurut Grinder (1978: 366) Penerimaan sosial mempunyai arti yang
penting bagi remaja, tanpa penerimaan dari kelompok teman sebaya, lawan jenis
ataupun sama jenis, remaja memperoleh rasa dibutuhkan dan rasa berharga. Tanpa
penerimaan teman sekelompok, maka akan menimbulkan gangguan-gangguan
2
perkembangan psikis dan sosial remaja yang bersangkutan. Sebaliknya kematangan
fisik dan psikis mempengaruhi penerimaan sosial. untuk mencapai kebahagiaan
seseorang memerlukan afeksi, keberhasilan dan penerimaan sosial. Penerimaan
sosial di artikan sebagai perhatian positif dari orang lain.
Remaja yang diterima dengan baik akan memiliki peluang lebih besar untuk
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok sosial dan membuat individu menjadi
popular dibanding dengan anak yang tidak diterima dengan baik. Ketika diterima
dengan baik, seseorang akan merasa berharga dan berarti serta dibutuhkan oleh
kelompoknya sehingga menimbulkan rasa senang, puas, dan bahagia (Bukowski &
Adams, 2005). Terbukti dalam penelitian Gazelle dan Ladd (2003), remaja populer
yang gagal membangun hubungan positif dengan teman sebaya cenderung
menghadapi banyak tantangan psikososial, seperti meningkatkan gejala depresi
karena tidak adanya penerimaan sosial dari teman-teman sebayanya.
Hal yang menjadi tantangan besar bagi remaja untuk mendapatkan
penerimaan sosial antara lain adalah perasaan malu, dimana mereka kurang bisa
berinteraksi sosial sehingga mereka lebih memilih menarik diri dan menghindari
kontak sosial dengan teman sebayanya Asendorpf (dalam Miller & Brody 2009).
Hasil penelitian dari Potochinick & Perreira (2012) juga menunjukan bahwa
penerimaan sosial juga mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Ketika
seseorang tidak diterima dengan baik oleh lingkungannya, maka ia akan memiliki
tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi sehingga menimbulkan gangguan mental
ringan sampai berat.
Safilios-Rothschild (1997) menyatakan bahwa orang dengan keadaan tubuh
yang normal, yang masih bisa melakukan banyak hal sesuai tuntutan lingkungan
3
saja terkadang masih belum bisa diterima secara utuh dalam lingkungannya, terlebih
bagi individu yang berkebutuhan khusus secara jasmani. Ketika orang-orang dengan
cacat fisik masuk dalam masyarakat, sering kurang mendapat penerimaan sosial
oleh orang-orang normal. Ketika penerimaan sosial terbatas, maka partisipasi aktif
dalam kehidupan masyarakat terhambat
Penerimaan sosial merupakan faktor penting dalam sosialisasi siswa
berkebutuhan khusus dan aktivitas apapun oleh siswa menunjukkan perkembangan
normal terhadap-kebutuhan khusus siswa yang sebagai anggota atau kelompok
(Hurlock, 1999; Civelek, 1990). Di sisi lain, penolakan sosial kepada siswa
berkebutuhan khusus menyebabkan penurunan kepercayaan diri, meningkatkan
perasaan cemas dan malu (Akta ş & Küçüker, 2002) dan juga harga diri rendah diri
(Akçamete dan Ceber , 1999). Penolakan terhadap seorang siswa di dalam suatu
kelas juga mampu menimbulkan kecemasan yang berlebihan yang lebih lanjut akan
berdampak kepada menurunnya prestasi akademiknya (Puklek Levpušček, 2011 ).
Di sekolah, keberhasilan akademis merupakan faktor penting yang
mempengaruhi penerimaan sosial. Masalah yang timbul dari ketidakmampuan
individu (yaitu, kurangnya penglihatan, kurangnya pendengaran) menyebabkan
kekurangan dan kelambatan dalam keterampilan akademik. Kelambatan dalam
kemampuan akademik dapat mempengaruhi penerimaan sosial anak dan bisa
mendapatka perlakuan yang berbeda dari teman-temannya (Sucuo Glu dan Kargin,
2006). Harter (1999) menemukan bahwa penerimaan sosial merupakan komponen
penting dari harga diri remaja , ketika ada gangguan dalam penerimaan sosial maka
memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi perkembangan psikologis
seseorang..
4
Dalam bidang klinis, Devine & Wilhite (1999) menjelaskan bahwa program
karyawisata dapat membantu untuk mengatasi hubungan antara penerimaan sosial
dan kepuasan sosial penyandang cacat. Ketika seseorang dengan satu kecacatan
maka ia akan susah diterima di lingkungannya, tetapi ketika seseorang itu mau
berinteraksi dan melakukan karyawisata sehingga bertemu dengan banyak orang,
dapat dipastikan bahwa seseorang tersebut akan semakin bisa berada dalam
lingkungan umum dan mendapatkan kepuasan sosial tersendiri. Juga melalui
karyawisata/rekreasi seseorang dapat memperoleh informasi tentang isu-isu yang
berkaitan dengan individu penyandang cacat adalah salah satu strategi yang
membantu dalam meningkatkan penerimaan sosial di lingkungan (Devine & Dattilo,
2001).
Banyak hal yang mempengaruhi penerimaan sosial di masyarakat atau
lingkungan seseorang, antara lain kesan pertama saat bertemu, reputasi atau nama
baik seseorang, penampilan diri, perilaku sosial, sifat pribadi, status sosial ekonomi,
tempat tinggal dan kematangan sosial dan emosi (Hurlock, 1995). Salah satu kondisi
yang menyebabkan remaja tidak mendapatkan penerimaan sosial adalah kurangnya
kematangan terutama dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayan diri
dan kebijaksanaan Hurlock (2007).
Kematangan emosi merupakan faktor yang cukup signifikan memengaruhi
penerimaan sosial. Sebab, emosi yang sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh
rangsang atau stimulus baik dari dalam maupun dari luar. Emosi yang sudah matang
akan membuat seseorang belajar menerima kritik, maupun menangguhkan respon-
responnya memiliki saluran sosial bagi energy emosinya, seperti bermain,
melaksanakan hobi dan sebagainya (Young dalam Purwanti, 2007).
5
Hasil penelitian dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh Sharma
(2012) menunjukkan bahwa mahasiswa tahun pertama kurang emosional matang,
dan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara emosional dan sosial
untuk tuntutan perubahan lingkungan dan menghadapi kesulitan lebih akademis
dibandingkan dengan mahasiswa tingkat akhir. Ketika seseorang memiliki
kematangan emosional yang baik, seseorang akan mampu berinteraksi dengan baik
pula, karena individu tersebut sudah mampu mengelola kemungkinan-
kemnungkinan yang terjadi sehingga bisa memberikan respon yang baik dalam
berinteraksi.
Berdasarkan uraian diatas, banyak sekali permasalahan yang timbul
ketika tidak ada penerimaan sosial dari teman sebayanya, maka peneliti tertarik
untuk melihat apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan
sosial kepada siswa difabel di SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta.
TINJAUAN PUSTAKA
Kematangan Emosi
Kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat menggunakan
emosinya dengan baik serta dapat menyalurkan emosinya pada hal-hal yang bermanfaat
dan bukan menghilangkan emosi yang ada dalam dirinya (Davidoff ,1991). Sedangkan
Sartre (2002) mengatakan bahwa kematangan emosi adalah keadaan seseorang yang
tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari
luar dirinya, selain itu dengan kematangan emosi maka individu dapat bertindak dengan
tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi.
6
Meichati (1983) mengatakan bahwa kematangan emosional adalah keadaan seseorang
yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun
dari luar dirinya, selain itu dengan matangnya emosi maka individu dapat bertindak
tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi. Kematangan emosi merujuk pada
tahap individu di mana individu mampu menghadapi kenyataa, mampu memberikan dan
menerima cinta, mampu belajar dari pengalaman dan mampu menerima frustrasi dan
permusuhan dengan cara yang konstruktif. Kematangan emosi berarti sejauh mana
orang telah menyadari potensi dalam dirinya dan dapat mengembangkan
kemampuannya untuk menikmati banyak hal, yaitu untuk mencintai dan tertawa,
kapasitasnya untuk merasakan kesedihan muncul, kapasitasnya untuk marah ketika
menghadapi situasi saat ia tidak mampu bekerja. (Singh & Bhargava, 2005)
Singh & Bhargava (2005) menyatakan aspek-aspek kematangan emosi meliputi :
1. Kestabilan Emosi (Emotional Stability)
Kestabilan emosi mengacu kepada karakteristik seseorang yang tidak
memungkinkan untuk bereaksi berlebihan atau perubahan mood secara
mendadak yang disebabkan situasi yang emosional. Orang dengan emosi
yang stabil dapat melakukan apa yang dituntut darinya dalam situasi
tertentu.Tetapi ketidakstabilan emosi adalah kecenderungan untuk berubah
dengan cepat, tidak bisa diandalkan, cepat marah, keras kepala, kurangnya
kapasitas untuk meyelesaikan tugas serta mencari bantuan untuk
meyelesaikan suatu tugas/masalah.
2. Perkembangan Emosi (Emotional Progression)
Perkembangan emosi adalah karakteristik orang yang mengacu kepada
perasaan yang memadai dan memiliki vitalitas emosi untuk berfikiran positif
7
terhadap lingkungan. Regresi emosi meliputi perasaan rendah diri, gelisah,
bermusuhan, bertindak agresif dn egois.
3. Penyesuaian Sosial (Social Adjustment)
Penyesuaian sosial mengacu kepada proses interaksi antara kebutuhan
seseorang dan tuntutan lingkungan sosial dalam situasi tertentu, sehingga
mereka dapat mempertahankan dan menyesuaikan hubungan yang
diinginkan dengan lingkungan. Oleh karena itu, dapat digambarkan sebagai
hubungan yang harmonis seseorang dengan dunia sosialnya. Sedangkan,
orang yang tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya
menunjukan kurangnya adaptasi sosial, menunjukan kebencian,
menyombongkan diri, pembohong dan sering lalai.
4. Integrasi Kepribadian (Personality Integration)
Integrasi kepribadian adalah proses tegas menyatukan unsur-unsur yang
beragam dari individu dan kecenderungan yang dinamis untuk menciptakan
hubungan yang harmonis dan berkurangnya konflik batin. Kepribadian yang
tidak berintegrasi menimbulkan pembentukan phobia, rasionalisasi,
pesimisme, dan amoralitas.
5. Kebebasan (Independence)
Kebebasan adalah kapasitas kecenderungan sikap seseorang untuk menjadi
mandiri atau membuat perlawanan terhadap control oleh orang laindimana ia
dapat mengambil keputusan dengan penilaiannya sendiri berdasarkan fakta
dengan memanfaatkan intelektualnya dan potensi kreatif yang dimiliki.
Orang yang tidak memiliki kebebasan menunjukan ketergantungan dalam
8
membuat keputusan atau sedang berada dalam keadaan yang sulit, serta tidak
dapat diandalkan.
Penerimaan Sosial Remaja Difabel
Menurut Hurlock (1995) penerimaan sosial adalah suatu keadaan dimana
keberadaan seseorang ditanggapi secara positif oleh orang lain dalam suatu hubungan
yang dekat dan hangat dalam suatu kelompok. Penerimaan sosial juga berarti dipilih
sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi
anggota. Ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan seseorang untuk berperan
dalam kelompok sosial dan menunjukan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain
untuk bekerja sama atau bermain dengannya. Sedangkan Arslan & Shahbaz (2012)
mengungkapkan bahwa ada penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang
ingin meyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial.
Lebih dalam, pada sekolah inklusi, penerimaan sosial pada kelompok siswa
berkebutuhan khusus adalah hal yang krusial, dimana siswa normal bisa mengikut
sertakan siswa-siswa berkebutuhan khusus dalam suatu kegiatan.
Arslan & Shahbaz (2012) menyatakan bahwa ada 3 aspek yang mempengaruhi
penerimaan sosial, yaitu :
1. Keterampilan Sosial (Social Skill)
Keterampilam sosial adalah suatu kebutuhan dari individu untuk dapat
membangun komunikasi timbal balik dan sehat dengan orang lain (Şahin,
2008). Remaja yang memiliki keterampilan sosial yang memadai dapat
membangun komunikasi yang lebih positif. Selain itu, keterampilan sosial
merupakan bagian dari keterampilan sebagai syarat untuk keberhasilan
9
akademis. Keterbatasan dalam keterampilan sosial dapat mengurangi
penerimaan sosial anak dengan menggabungkan dengan keberhasilan
akademis yang lebih rendah dan masalah perilaku.
2. Perilaku Siswa (Behavior of the student)
Perilaku siswa mengacu langsung kepada siswa yang berkebutuhan khusus
yang biasanya memiliki perilaku berbeda dengan siswa normal, yakni akan
lebih sulit melakukan banyak hal dibanding teman-teman mereka yang
normal, bahkan bisa mengganggu dan membahayakan teman mereka bahkan
diri mereka sendiri. Perilaku ini memengaruhi komunikasi siswa
berkebutuhan khusus dengan teman sebaya dan guru menjadi negatif. Dan
hal ini memengaruhi penerimaan sosial anak tersebut.
3. Sikap Teman Sebaya (Peer Attitude)
Sikap teman sebaya yang dimaksud disini ialah bagaimana seseorang
mampu menunjukan respon berupa sikap kepada temannya. Bisa melalui
sikap positif maupun sikap negatif. Dari sikap inilah dapat terbentuk
pendekatan,terlebih ketika yang muncul adalah sikap yang positif, maka
pendekatan positif pun akan terjalin antara siswa normal dengan siswa
berkebutuhan khusus. Sedangkan sikap negatif mengakibatkan penolakan
sosial dari siswa normal. Sikap negatif mempengaruhi keberhasilan anak
berkebutuhan khusus, adaptasi sosial dan emosional, perilaku intraclass dan
sikap terhadap sekolah dan diri mereka sendiri (Salend, 1998).
10
METODE
Desain Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul hubungan antara kematangan emosi dengan
penerimaan sosial kepada siswa difabel di SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta,
menggunakan penelitian kuantitatif korelasi yang menunjukkan adanya hubungan
berupa angka pada hasil penelitian. Data kuantitatif dianalisis menggunakan analisis
deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh gambaran perihal fakta yang sudah
berlangsung atau terjadi pada subjek.
Untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan sosial,
pada penelitian ini digunakan analisis korelasi Product Moment dari Pearson . Namun
sebelum uji data dilakukan, terlebih dahulu melakukan seleksi item dilanjutkan dengan
uji linear dan uji normalitas.
Partisipan
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMK Marsudirini
Marganingsih Surakarta. Sampel dipilih dengan cara teknik purposif.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 42 orang. Subjek yang dipilih memiliki
rentang usia antara 15-16 tahun (remaja awal) yang terdiri dari 17 siswa laki-laki dan 25
siswa perempuan. Sampel yang dipilih adalah 42 siswa normal yang memiliki teman
sekelas yang berkebutuhan khusus/difabel di SMKK Marsudirini Marganingsih
Surakarta. 42 siswa tersebut terbagi dalam dua kelas, yakni 22 siswa dari kelas X-Tata
Boga dan 20 dari kelas XI-Desain Komunikasi Visual. Di kelasX-Tata Boga terdapat 1
orang siswa tuna netra, dan di kelas XI-Desain Komunikasi Visual terdapat 3 siswa tuna
rungu.
11
Alat Ukur yang Digunakan
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuisioner yang yang
disusun dari dua skala. Skala pertama adalah skala kematangan emosi yang disusun oleh
Yashvir Singh dan Mahesh Bhragava (2005) sebanyak 48 item dengan bentuk favorable
berjumlah 23 item dan unfavorable berjumlah 25 item, yang meliputi : kestabilan emosi
(Saya bukan orang yang keras kepala), perkembangan emosi ( saya tidak merasa rendah
diri ketika gagal mencapai tujuan), penyesuaian sosial ( Saya memiliki hubungan yang
dekat dengan teman), integrasi kepribadian (saya memiliki tekad/kemauan yang kuat),
dan kebebasan (saya tidak ingin menjadi pengikut orang lain dalam membuat
keputusan).
Dan skala kedua adalah skala penerimaan sosial yang disusun oleh Arslan &
Shahbaz (2012) sebanyak 32 item dengan bentuk favorable berjumlah 24 item dan
unfavorable berjumlah 8 item yang meliputi : Keterampilan Sosial (saya menikmati
berbagi barang dengan teman saya yang cacat), Perilaku Siswa ( Saya berterimakasih
kepada teman saya yang cacat, ketika ia membantu saya), Sikap Teman Sebaya ( Saya
mengatakan sisi buruk teman saya yang cacat kepada semua orang).
Bentuk favorable dan unfavorable dari angket kematangan emosi maupun
penerimaan sosial memberikan 4 kemungkinan jawaban bagi subjek, yaitu : Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skor
tertinggi untuk pernyataan favorable adalah 4 untuk pilihan Sangat Setuju, 3 untuk
pilihan Setuju, 2 untuk pilihan Tidak Setuju, dan 1 untuk pilihan Sangat Tidak Setuju.
Skor tertinggi untuk pernyataan unfavorable adalah 4 untuk pilihan Sangat Tidak
Setuju, 3 untuk pilihan Tidak Setuju, 2 untuk pilihan Setuju, 1 untuk pilihan Sangat
Setuju.
12
Prosedur Proses Pengambilan Data
Prosedur pelaksaan penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah
pendataan siswa yang sesuai karakteristik penelitian yaitu sekolah yang memiliki siswa
difabel. Dari pendataan di SMKK Marsudirini Marganingsih Surakarta terdapat 2 kelas
yang didalamnya terdapat siswa difabel, yakni kelas X-Tata Boga dengan 22 siswa
normal dan 1 siswa tuna netra, di kelas XI-Desain Komunikasi Visual yang memiliki 20
siswa normal dan 3 siswa tuna rungu. Kuisioner dibagikan kepada 42 siswa normal pada
tanggal 28 November 2014 mulai pukul 09.00 WIB dan selesai diisi lalu dikumpulkan
kembali pukul 11.00 WIB. Dalam pelaksanaan, tidak terdapat lembar skala yang rusak
atau tidak terpakai, sehingga semua kuisioner yang dibagikan kembali dengan jumlah
yang sama. Untuk selanjutnya, skala yang telah terkumpul dianalisa dengan
menggunakan program SPSS 16.0
HASIL
Data Demografi
Karakteristik demografi responden pada penelitian ini dibedakan menurut jenis
kelamin, usia, urutan kelahiran, dan memiliki saudara cacat dalam keluarga.
Berdasarkan jenis kelamin dari 42 orang responden maka didapat data sebagai
berikut :
Tabel 1
Demografi responden Jenis
Kelamin
Jumlah Presentase Usia Jumlah Presentase Saudara
Cacat
Jumlah Presentas
e
Laki-laki 17 40,5% 15
tahun
39 92,8% Memiliki 4 9,5 %
Perempuan 25 59,5% 16
tahun
3 7,2% Tidak
memiliki
38 90,5%
Total 42 100% Total 42 100% Total 42 100%
13
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa lebih banyak
responden perempuan sebanyak 59,5% sedangkan laki-laki sebanyak 40,5%,
lebih banyak responden berusia 15 tahun sebanyak 92,8% sedangkan 16 tahun
sebanyak 7,2%, lebih banyak responden yang tidak memiliki saudara cacat
sebanyak 90,5% dan yang memiliki saudara cacat sebanyak 9,5%
Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengukuran validitas dan reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0 for
Windows. Untuk uji validitas menggunakan teknik korelasi Product Moment,
sedangkan uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach. Batas minimal item
yang dinyatakan valid adalah bila r > 0.30 (Azwar, 1997). Maka dengan batasan
tersebut setelah dilakukan perhitungan uji validitas pertama pada skala kematangan
emosi, 8 item yang dinyatakan gugur. Kemudian dilakukan perhitungan uji validitas
yang kedua dengan membuang item yang gugur. Hasilnya masih ada 2 item yang gugur.
Dipengujian yang ketiga tidak ada lagi item yang gugur, sehingga jumlah item yang
valid pada angket ini adalah 38 item, dan mempunyai koefesien validitas yang bergerak
dari kisaran 0.303 sampai 0.649 dan koefesien reliabilitas sebesar α = 0.918.
Sedangkan pengujian validitas pertama dalam skala penerimaan sosial diperoleh 1
item yang gugur. Kemudian dilakukan perhitungan uji validitas yang kedua dengan
membuang item yang gugur. Hasilnya masih ada 3 item yang gugur. Dipengujian yang
ketiga tidak ada lagi item yang gugur, sehingga jumlah item valid pada angket ini
adalah 28 item, dan mempunyai koefesien validitas yang bergerak dari kisaran 0.351
sampai 0.811 dan koefesien reliabilitas sebesar α = 0.945.
14
Uji Asumsi
1. Uji normalitas
Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh nilai kolmogorov smirnov-Z untuk
variable kematangan emosi sebesar 0.845 dengan nilai sign = 0.472 ( p > 0.05 ).
Hal ini menunjukan bahwa data berditribusi normal. Sedangkan nilai
kolmogorov smirnov-Z untuk variable penerimaan sosial sebesar 1.091 dengan
nilai sign = 0.185 ( p > 0.05 ). Hal ini menunjukan bahwa data berdistribusi
normal.
2. Uji linieritas
Berdasarkan hasil uji linearitas diperoleh nilai deviation from linierity F sebesar
0.911 dengan signifikansi sebesar 0.588 ( p > 0.05). Hal ini menunjukan bahwa
Kematangan Emosi memiliki korelasi linier dengan penerimaan sosial
Analisis Deskriptif
1. Variabel Kematangan Emosi
Tabel 2
Kriteria Skor Kematangan Emosi
No Interval Kategori F (%) Mean Standar
deviasi
1. 123.5 ≤ x < 152 Sangat tinggi 7 16,7 %
111.6
11,46 2. 95 ≤ x < 123.5 Tinggi 33 78,6%
3. 66.5 ≤ x < 95 Rendah 2 4,7%
4. 38 ≤ x < 66.5 Sangat rendah 0 0%
15
Data di atas menunjukkan tingkat kematangan emosi dari 42 subjek yang
berbeda-beda, mulai dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada
kategori sangat rendah didapati prosentase sebesar 0%, kategori rendah sebesar
4,7%, kategori tinggi sebesar 78,6% dan kategori sangat tinggi sebesar 16,7%
Mean atau rata-rata yang diperoleh adalah 111,6 dengan standar deviasi sebesar
11,46. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kematangan emosi
siswa SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta berada pada tingkat yang
tinggi.
2. Variabel Penerimaan Sosial
Tabel 3
Kriteria Skor Penerimaan Sosial No Interval Kategori F (%) Mean Standar
deviasi
1. 91 ≤ x < 112 Sangat tinggi 8 19 %
81,42
11,53 2. 70 ≤ x < 91 Tinggi 31 73,8%
3. 49 ≤ x < 70 Rendah 3 7,2%
4. 28 ≤ x < 49 Sangat rendah 0 0%
Data di atas menunjukkan tingkat penerimaan sosial dari 42 subjek yang
berbeda-beda, mulai dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada
kategori sangat rendah didapati prosentase sebesar 0%, kategori rendah sebesar
7,2%, kategori tinggi sebesar 73,8% dan kategori sangat tinggi sebesar 19%.
Mean atau rata-rata yang diperoleh adalah 81,42 dengan standar deviasi sebesar
11,53. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat penerimaan sosial
16
siswa SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta berada pada tingkat yang
tinggi.
Uji Korelasi
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi product moment-Pearson dengan
bantuan SPSS 16.0 didapatkan hubungan sebesar 0,383 dengan sig. = 0,006 (p <
0,05). Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan korelasi positif yang
signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan sosial siswa SMK
Marsudirini Marganingsih Surakarta. Hasil perhitungan uji korelasi ini selain
dapat menunjukkan seberapa besar korelasi dan signifikansi yang ada antara
kedua variabel, juga dapat untuk mengetahui seberapa besar sumbangan variabel
predictor (x) terhadap variabel kriterium (y). Berdasarkan hasil tersebut,
ditunjukkan oleh koefisien determinan (r2) sebesar (0,383)
2 yaitu 14,7 %,
artinya sumbangan efektif kematangan emosi terhadap penerimaan sosial 14,7
% dan berarti masih terdapat 85,3% variabel-variabel lain yang mempengaruhi
penerimaan sosial selain kematangan emosi.
Tabel 4
Tabel Uji Korelasi
Correlations
kematangan_emosi penerimaan_sosial
kematangan_emosi Pearson Correlation 1 .383**
Sig. (1-tailed) .006
N 42 42
penerimaan_sosial Pearson Correlation .383** 1
Sig. (1-tailed) .006
N 42 42
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
17
Pembahasan
Hasil analisa data menunjukan bahwa hipotesis pertama yang diajukan dalam
penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan positif signifikan antara
kematangan emosi dengan penerimaan sosial kepada siswa difabel dengan diperolehnya
nilai r = 0,383 dan p < 0,05. Semakin tinggi kematangan emosi, maka semakin tinggi
pula penerimaan sosial kepada siswa difabel, begitu juga sebaliknya semakin rendah
kematangan emosi maka semakin rendah penerimaan sosialnya kepada siswa difabel.
Dengan kata lain, kematangan emosi berperan dalam penerimaan sosial.
Kematangan emosi seseorang membuat seseorang bisa menentukan bagaimana
ia bersikap dan menanggapi sesuatu dengan wajar atau sesuai situasi yang ada, tidak
menanggapi secara berlebihan yang akhirnya akan berdampak baik, jika seseorang
belum memiliki kematangan emosi yang baik, maka dampaknya akan buruk bagi
seseorang itu sendiri, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Sharma (2012)
menunjukkan bahwa mahasiswa tahun pertama kurang emosional matang, dan
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara emosional dan sosial untuk
tuntutan perubahan lingkungan dan menghadapi kesulitan lebih akademis dibandingkan
dengan mahasiswa tingkat akhir.
Ketika remaja memiliki kematangan emosi yang lebih baik, mampu mengontrol
emosinya secara baik, mampu menyetabilkan perasaannya, ketika itu juga ia mampu
membangun hubungan yang lebih matang dengan teman sebayanya. Karena dengan
bekal emosi yang matang, remaja mampu menerima segala bentuk respon yang
mungkin diberikan, tidak berprasangka buruk pada teman sebaya, bahkan juga mampu
menerima kekurangan dan kelebihan dari teman sebaya yang memiliki kekurangan. Hal
ini sejalan dengan ciri-ciri remaja menurut Mappiare (dalam Panggalo, 2010) yang
18
mengatakan bahwa remaja memiliki ketidakstabilan perasaan dan emosi, banyak
masalah yang dihadapi dengan teman sebayanya.
Penghargaan positif yang diberikan memunculkan perasaan diterima dan
dihargai sepenuhnya oleh seseorang. Kepedulian yang ditunjukan kepada seseorang
yang difabel akan juga memunculkan rasa diterima yang begitu besar. Melibatkan
dalam berbagai kegiatan juga salah satu bentuk penerimaan yang akan semakin
membentuk relasi yang lebih baik lagi dengan seseorang yang difabel. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan Carl Roger (dalam Feist, 2010) mengenai penerimaan positif
tak bersyarat yang berarti mampu menerima dan menghargai tanpa batasan tertentu
yang akan bedampak posiif bagi si penerima.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini diperoleh data
kematangan emosi SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta tergolong tinggi karena
sebagian besar siswa di SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta berada pada kategori
tinggi dengan prosentase 78,6%. Dari hasil analisis data tersebut menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan sosial. Selain itu, dari
perhitungan uji korelasi juga ditemukan bahwa kematangan emosi memiliki sumbangan
sebesar 14,7% terhadap munculnya penerimaan sosial kepada siswa difabel, maka
sisanya yaitu 85,3% penyebab munculnya penerimaan sosial dapat disebabkan oleh
faktor-faktor lain seperti kesan pertama yang menyenangkan, penampilan diri yang
sesuai dengan kelompok, perilaku sosial yang ditandai dengan sikap kerjasama,
tanggung jawab, bijaksana dan sopan, matang secara emosi, penyesuaian sosial yang
baik (jujur, tidak mementingkan diri sendiri), status sosial ekonomi yang sama atau
sedikit diatas anggota kelompok dan tempat tinggal yang dekat (Hurlock , 1995).
19
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dan
penerimaan sosial kepada siswa difabel di SMK Marsudirini Marganingsih
Surakarta. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kematangan emosi maka
semakin tinggi pula penerimaan sosial kepada siswa difabel.
2. Dalam penelitian ini, kematangan emosi berkorelasi dengan penerimaan
sosial, kematangan emosi memberikan sumbangan efektif terhadap
penerimaan sosial sebesar 14,7% yang berarti masih terdapat 85,3% variabel
lain yang mempengaruhi penerimaan sosial.
SARAN
Beberapa saran yang dapat diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian ini yang
dapat dijadikan perttimbangan dalam penentuan kebijakan lebih lanjut adalah :
1. Bagi pihak sekolah
Berdasarkan hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya hubungan
positif yang signifikan antara kematangan emosi dengan penerimaan sosial.
Dengan demikian kiranya menjadi perhatian bagi pihak sekolah SMK
Mrsudirini Marganingsih Surakarta untuk dapat memberikan pengertian dan
semakin membentuk kematangan emosi siswa yang normal agar semakin
dapat memberikan penerimaan sosial kepada siswa yang difabel dengan cara
mengadakan kegiatan yang melibatkan kedua siswa tersebut, seperti
20
pramuka, retret, perlombaan dan berbagai acara lain yang bisa dilakukan
oleh siswa normal maupun siswa difabel.
2. Bagi siswa SMK Marsudirini Marganingsih Surakarta
Bagi siswa secara individu, dapat memahami bahwa kematangan emosi
yang mencakup beberapa aspek sangat penting untuk dimiliki oleh siswa
normal agar dapat memberikan penerimaan sosial kepada siswa yang
difabel/ berkebutuhan khusus. Bagi siswa yang memiliki kematangan emosi
yang rendah diharapkan bisa mengelola emosinya menjadi lebih baik lagi,
serta mengikuti kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan siswa
difabel.
3. Untuk penelitian selanjutnya
Bagi peneliti lain yang tertarik dan berminat untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang kematangan emosi dengan penerimaan sosial, maka
disarankan untuk menyertakan variabel-variabel lain yang belum disertakan
dalam penelitian ini serta memperluas ruang lingkup penelitian ini. Hal ini
mengingat bahwa sumbangan variabel kematangan emosi terhadap
penerimaan sosial sebesar 14,7% sehingga masih terdapat 85,3% lagi untuk
variabel-variabel lain selain kematangan emosi seperti faktor kesan pertama
saat bertemu, reputasi atau nama baik seseorang, penampilan diri, perilaku
sosial, sifat pribadi, status sosial ekonomi, tempat tinggal dan kematangan
sosial.
21
Daftar Pustaka
Akcamete, G & Ceber, H. (1999). The Comparative Analysis Of Sociometric Status Of
Hearing-Impaired and Hearing Student in Inclusion Classes. Special Education,
2 : 64-74.
Aktas, C &Kucuker, S. (2002). A Cognitive And Affective Educational Program’s
Effect On The Social Acceptance Of Primary School Student Toward Their
Physically Disabled Peers. University Of Ankara, Faculty Of Educational
Sciences. Journal Special Education, 3 : 15-25.
Azwar, S. (1997).Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Liberty
Bukwski, W. M., Adams, R (2005). Peer Relationship And Psychopatology : Makers,
Moderates, Mediators, Mechanism, And Meaning. Journal Of Clinical Child
And Adolescent Psychology, 34, 3-10.
Davidoff, L. L. (1991). Psikologi suatu pengantar. Alih Bahasa: Mari Juniati. Jakarta:
Erlangga
Devine, M & Dettilo, J. (2001). Social Acceptance and Leisure Lifestyle of People with
Disabilities. Therapeutic Recreation Journal. 34 , 4 : 306-322.
Feist, J & Feist, G. (2010). Teori Kepribadian. Alih Bahasa : Smita Prathita Sjahputri.
Jakarta : Salemba Humanika
Gazelle, H & Ladd, G.W. (2003). Anxious Solitude And Peer Exclusion : A Diathesis-
Stress Model Of Internalizing Trajectories In Childhood. Child Development 74
(257-258). http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1467-
8624.00534/abstract;jsessionid=6B743880D9D872728BDA47ED95BCC7F1.f0
4t04 (diunduh tanggal 22/1/2014)
Gerungan, W.A.(2002). Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama
Harter, S. (1999). The construction of the self: A developmental perspective. New York:
Guilford
Hurlock, E. 1995. Adolescent Development. New York : Mc Graw Hill Book company.
______. (1999). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
______. (2007). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi 5. Bandung : Erlangga.
Meichati, S. (1983). Kesehatan mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
22
Panggalo, IS. (2010). Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua–Remaja Tentang
Seksualitas dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja Tengah.Skripsi. UKSW:
S1 Psikologi.
Potochnick, S & Perreira, K. (2012). Fitting in : The Roles of Social Acceptane and
Discrimination in Shaping the Daily Psychological well-being of latino youth*.
Social Sciene Quarterly 93, 1. http://paa2009.princeton.edu/papers/92062
(diunduh tanggal 22/1/2014)
Safilos-Rothschild, C. (1997). Disabled Person Self definitions and Their Implication
for Rehabilitation. In G.L Albrecht (Ed). The sociology of physical disability
rehabilitation (pp. 39-56). Pittsburgh : University Of Pittsburgh.
Sartre, J. P. (2002). Pengantar Teori Emosi. Alih Bahasa: Luthfi Ashari. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sharma, B. (2012). Adjustment and Emotional Maturity Among first Year Collage
Student. Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology. 10, 2 : 32-37.
http://www.gcu.edu.pk/fulltextjour/pjscs/2012july/5.pdf (diunduh tanggal
22/1/2014)
Soleh. (2005). Ilmu Statistika, (Pendekatan Teoritis dan Aplikatif disertai contoh
penggunaan SPSS). Bandung : Rekayasa Sains.
Sucuoglu, B & Kargin, T. (2006). Inclusion Practice . Morpa Publishing.
Puklek Levpušček, M. (2011). Social Anxiety, Social Acceptance And Academic Self-
Perceptions.In High-School Students. Academic Journal , 116.
http://connection.ebscohost.com/c/articles/79929662/social-anxiety-social-
acceptance-academic-self-perceptions-high-school-students (diunduh tanggal
13/10/2013)