KARAKTERISTIK FENOTIP
KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)
DI KABUPATEN MALANG
SKRIPSI
Oleh :
Surya Ariyanda
NIM. 135050101111111
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
KARAKTERISTIK FENOTIP
KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)
DI KABUPATEN MALANG
SKRIPSI
Oleh :
Surya Ariyanda
NIM. 135050101111111
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Ngawi pada tanggal 27
juni 1995 sebagai putra pertama dari bapak Nyatno dan ibu Sri
Indasah. Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh yaitu
penulis lulus SDN Tahunan 1 tahun 2007, penulis lulus SMPN
3 Tegalombo pada tahun 2010, tahun 2013 penulis lulus dari
SMAN Tegalombo Kabupaten Pacitan dan pada tahun yang
sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya melalui jalur SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai
anggota Unit Kegiatan Mahasiswa MT-FUNA tahun 2014-
2017. Penulis melaksanakan praktek kerja lapang (PKL)
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
PT. Peternakan Ayam Nusantara dengan judul “Manajemen
Pemeliharaan Ayam Pedaging di PT. Peternakan Ayam
Nusantara Kabupaten Sukoharjo”.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia yang diberikan, serta sholawat dan salam pada
Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Karakteristik Fenotip Kambing
Peranakan Etawa (PE) Di Kabupaten Malang”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Peternakan di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Bersama ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada
Yth;
1. Kedua orang tua Bapak Nyatno dan Ibu Sri
Indasah, adikku Fuad Alviyanda atas doa,
perhatian, kasih sayang dan dukungannya.
2. Dr. Ir. Moch. Nasich, MS., selaku Pembimbing
Utama dan Dr. Ir. Agus Budiarto, MS., selaku
Pembimbing Pendamping atas saran dan
bimbingannya.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Dr.
Agus Susilo, S.Pt, MP., selaku Ketua Program
Studi Peternakan, dan Ir. Nur Cholis, M.Si.,
selaku Koordinator Minat Produksi Ternak yang
telah membina dan membantu dalam kelancaran
proses studi dan memberikan ijin penelitian.
4. Dr. Ir. Hary Nugroho, MS., Prof. Dr. Ir. Hartutik,
MP., dan Dr. Agus Susilo, S.Pt, MP. Selaku
penguji yang telah memberikan kritik dan saran
serta bimbingan demi lebih baiknya laporan
skripsi ini.
iii
5. Anggota tim penelitian kambing Peranakan Etawa
di Kabupaten Malang yang telah bekerjasama
selama penelitian.
Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
kesempurnaan penulisan skripsi ini dan semoga hasil
penelitian dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Malang, April 2017
Penulis,
iv
THE PHENOTYPE CHARACTERISTICS OF
GOAT CROSSBREED ETAWA
IN MALANG REGENCY
Surya Ariyanda1)
, Moch. Nasich2)
, A. Budiarto
2)
1) Students at Faculty of Animal Husbandry Brawijaya
University 2)
Lecturer at the Animal Production Departement, Faculty of
Animal Husbandry Brawijaya University
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research was to evaluate the
phenotypic characteristics (quantitative and qualitative nature)
of goats Crossbreed Etawa in Malang. Research conducted in
the Malang Regency in November to December 2016. The
material in this research used 286 goats Crossbreed Etawa.
The number of samples was determined using the Taro
Yamane formula and taken from areas with high, medium and
low populations. Age determination of goat was estimated
based on the position of the Permanent Incicivi (PI) based on
SNI. Data were analyzed using unpaired comparison t-test and
analyzed the degree of similarity using dendogram
reconstruction program NTSYS-PC Exeter Software version
2.02. Conclusion showed that Crossbreed Etawa goat in
Malang Regency has black white color pattern 49,3%, convex
face profile100%, long folded ear shape 52,1%, horned 100%
and have similarity level toward SNI standard seed criteria of
100% in terms of quantitative and qualitative nature.
Keywords: Phenotype, Characteristic, Similarity, Dendogram
reconstruction
v
KARAKTERISTIK FENOTIP
KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)
DI KABUPATEN MALANG
Surya Ariyanda1)
, Moch. Nasich2)
, A. Budiarto2)
1)Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 2)
Dosen Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
karakteristik fenotip kambing Peranakan Etawa di Kabupaten
Malang berdasarkan sifat kuantitatif (bobot badan, lingkar
dada, panjang badan, tinggi badan, panjang telinga dan
panjang rewos) dan sifat kualitatif (pola warna, bentuk telinga,
tanduk dan profil muka). Penelitian dilaksanakan pada bulan
15 November - 29 Desember 2016. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi suatu kajian ilmiah serta referensi
bagi akademisi serta sebagai sumber informasi dalam
pengembangan, pelestarian dan pemurnian kambing
Peranakan Etawa di Kabupaten Malang sebagai sumber daya
genetik.
Materi yang digunakan adalah kambing Peranakan
Etawa (PE) sebanyak 286 ekor yang terdiri dari kelompok PI0
83 ekor, PI1 62 ekor dan lebih dari PI2 sebanyak 141 ekor.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey.
Penentuan umur ternak ditaksir berdasarkan perkembangan
gigi seri permanen atau Permanent Incicivi (PI) berdasarkan
standar SNI. Data dianalisis menggunakan uji t tidak
vi
berpasangan dan tingkat kemiripan dianalisis menggunakan
menggunakan rekonstruksi dendogram dengan program
NTSYS-pc Exeter Software versi 2.02.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lingkar
dada kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang jenis
kelamin jantan PI0 sebesar 64,1 ± 5,4 cm, PI1 71,9 ± 5,6 cm,
lebih dari PI2 80,4 ± 8,8 cm, rata-rata lingkar dada kambing
betina PI0 sebesar 63,3 ± 6,7 cm, PI1 71,9 ± 6,1 cm, lebih dari
PI2 78,5 ± 6,9 cm. Rata-rata bobot badan kambing jantan PI0
sebesar 28,8 ± 7,6 kg, PI1 35,9 ± 6,5 kg, lebih dari PI2 48 ±
13,8 kg, rata-rata bobot badan kambing betina PI0 sebesar 26,3
± 6,8 kg, PI1 36,1 ± 8,1 kg, lebih dari PI2 43 ± 8,7 kg. Rata-
rata panjang badan kambing jantan PI0 sebesar 63,5 ± 6,3 cm,
PI1 70,0 ± 7,2 cm, lebih dari PI2 77,9 ± 12,1 cm, rata-rata
panjang badan kambing betina PI0 sebesar 62,5 ± 6,0 cm, PI1
68,3 ± 6,3 cm, lebih dari PI2 74,6 ± 6,8 cm. Rata-rata tinggi
badan kambing jantan PI0 sebesar 64 ± 5,8 cm, PI1 69,8 ± 5,9
cm, lebih dari PI2 78,6 ± 9,8 cm, rata-rata tinggi badan
kambing betina PI0 sebesar 62,2 ± 5,3 cm, PI1 67,9 ± 3,8 cm,
lebih dari PI2 71,9 ± 5,6 cm. Rata-rata panjang telinga
kambing jantan PI0 sebesar 22,2 ± 3,6 cm, PI1 25,0 ± 3,7 cm,
lebih dari PI2 27,4 ± 7,0 cm, rata-rata panjang telinga kambing
betina PI0 sebesar 22,6 ± 3,3 cm, PI1 24 ± 4,1 cm, lebih dari
PI2 25,1 ± 4,4 cm. Rata-rata panjang rewos kambing jantan PI0
sebesar 14,4 ± 5,4 cm, PI1 17,2 ± 7,6 cm, lebih dari PI2 21,3 ±
7,5 cm, rata-rata panjang telinga kambing betina PI0 sebesar
13,8 ± 4,7 cm, PI1 17,2 ± 6,5 cm, dan lebih dari PI2 16,4 ± 6,2
cm. Presentase pola warna putih hitam sebesar 49,3 %, putih
coklat 20% dan warna lain sebesar 30,7 % dengan persentase
profil muka cembung sebesar 100%. Bentuk telinga panjang
melipat 52,1%, melebar 47,9% dengan persentase bertanduk
vii
sebesar 100%. Tingkat kemiripan berdasarkan karakterisasi
fenotip kambing di Kecamatan Wonosari sebesar 100%,
Kecamatan Singosari 90,01% dan Kecamatan Tumpang 57%.
Secara umum kambing Peranakan Etawa di Kabupaten
Malang sebesar 100%.
Kesimpulan penelitian ini adalah Kambing Peranakan
Etawa di Kabupaten Malang memiliki pola warna putih hitam,
profil muka cembung, bentuk telinga panjang melipat dan
bertanduk serta memiliki tingkat kemiripan terhadap kriteria
standar bibit SNI sebesar 100 % ditinjau dari sifat kuantitatif
dan kualitatif. Saran penelitian ini adalah dalam upaya
peningkatan produktivitas perlu dilakukan recording dan
seleksi terhadap kambing Peranakan Etawa serta perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai
kekerabatannya dengan analisis melalui pengamatan genetik
dan DNA.
viii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP ................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................. ii
ABSTRACT .............................................................. iv
RINGKASAN .......................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ......................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................. 4
1.5 Kerangka Pikir ........................................ 4
1.6 Hipotesis .................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................. 9
2.1 Kambing di Indonesia ............................. 9
2.2 Kambing Peranakan Etawa ...................... 11
2.3 Persilangan .............................................. 13
2.4 Fenotip...................................................... 14
2.4.1 Sifat Kualitatif ................................ 15
2.4.2 Sifat Kuantitatif .............................. 16
2.5 Dendogram ............................................... 18
2.6 Penentuan Umur ...................................... 19
ix
BAB III MATERI DAN METODE ....................... 20
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................... 20
3.2 Materi Penelitian ..................................... 20
3.3 Metode Penelitian ..................................... 20
3.3.1 Tahapan Penelitian ......................... 21
3.4 Variabel Penelitian .................................. 22
3.5 Analisis Data ........................................... 24
3.6 Batasan Istilah ......................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................. 27
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian............. 27
4.2 Karakteristik Kuantitatif
Kambing Peranakan Etawa ....................... 28
4.3 Karakeristik Kualitatif
Kambing Peranakan Etawa ....................... 38
4.4 Tingkat Kemiripan Terhadap SNI Bibit
Kambing Peranakan Etawa ....................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................. 44
5.1 Kesimpulan .............................................. 44
5.2 Saran ........................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA .............................................. 45
LAMPIRAN ............................................................. 54
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Persyaratan kuantitatif kambing PE jantan ..... 17
2. Persyaratan kuantitatif kambing PE betina ..... 18
3. Penentuan umur berdasarkan gigi seri ............. 19
4. Data lingkar dada dan bobot badan ................. 29
5. Data panjang badan dan tinggi badan .............. 32
6. Data panjang telinga dan panjang rewos .......... 35
7. Data karakteristik kualitatif .............................. 38
8. Koefisien matrik............................................... 40
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir ................................................ 7
2. Diagram Dendogram ........................................ 41
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data sekunder populasi kambing
dan domba .................................................... 54
2. Data kuantitatif Kecamatan Singosari .......... 55
3. Data kuantitatif Kecamatan Tumpang .......... 58
4. Data kuantitatif Kecamatan Wonosari ......... 61
5. Data kualitatif Kecamatan Singosari ............ 65
6. Data kualitatif Kecamatan Tumpang ............ 67
7. Data kualitatif Kecamatan Wonosari ........... 70
8. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap panjang badan ......... 73
9. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap lingkar dada ........... 76
10. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap tinggi badan ........... 79
11. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap bobot badan ........... 82
12. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap panjang telinga ........ 85
13. Analisa statistik perbandingan
setiap wilayah terhadap panjang rewos ........ 88
14. Data jenis pakan pada setiap lokasi
penelitian ...................................................... 91
15. Data koefisien matrik karakterisasi
Kecamatan Singosari ..................................... 92
16. Data koefisien matrik karakterisasi
Kecamatan Tumpang ................................... 94
17. Data koefisien matrik karakterisasi
Kecamatan Wonosari .................................... 97
18. Dokumentasi penelitian ................................ 101
xiii
DAFTAR SINGKATAN
BSN = Badan Standard Nasional
cm = Centimeter
DNA = Deoxyribonucleic Acid
et al = et alili
kg = Kilogram
PE = Peranakan Etawa
PI = Permanent Incicivi
SNI = Standard Nasional Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ternak kambing merupakan salah satu jenis komoditi
ternak yang cukup digemari masyarakat. Pada tahun 2015
jumlah populasi kambing di Indonesia sebesar 18.880.000
ekor, meningkat 0,858% dari tahun 2014 (Direktorat Jendral
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015). Di Jawa, rata - rata
kepemilikan kambing dan domba masing - masing 6,3 dan 6,0
pada tiap usaha peternakan (Parasmawati, Suyadi dan
Wahyuningsih, 2012). Salah satu jenis yang menjadi unggulan
masyarakat peternak kambing adalah kambing Peranakan
Etawa atau yang biasa disebut kambing PE. Kambing
Peranakan Etawa merupakan hasil persilangan antara
Kambing Etawa dan Kambing Kacang. Kambing Peranakan
Etawa memiliki ukuran yang lebih besar dari Kambing
Kacang dan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik
terhadap lingkungan setempat dibanding Kambing Etawa asli
di kondisi lingkungan Indonesia.
Sistem perkawinan kambing di peternakan rakyat
sebagian besar masih dilakukan secara kawin alam, sehingga
tetua dari setiap individu ternak sulit dirunut. Pada umumnya
perkawinan yang dilakukan oleh peternak bersifat acak yang
berarti bahwa pejantan yang digunakan seadanya dan tidak
memiliki recording yang jelas serta tidak melewati proses
seleksi yang bagus. Keadaan tersebut menyebabkan keturunan
dari hasil persilangan acak pada peternakan rakyat memilik
ekspresi fenotip yang sangat bervariatif.
Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan fenotip
diantaranya adalah variasi indukan, gen-gen yang membawa
2
dan interaksi antara genetik dan lingkungan. Perpaduan
potensi genetik dari dua indukan akan diturunkan kepada
keturunannya. Potensi genetik yang merupakan sifat kualitatif
akan diatur oleh satu atau beberapa pasang gen dimana sifat
ini tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, dan sifat
kuantitatif dipengaruhi oleh banyak pasangan gen yang sangat
peka terhadap pengaruh lingkungan. Sifat kuantitatif inilah
yang berpotensi menimbulkan tingginya variasi fenotip yang
dihasilkan pada masing-masing individu pada kondisi
lingkungan yang berbeda. Pengaruh lingkungan dapat berupa
perbedaan kondisi geografis, perbedaan jumlah nutrisi yang
diberikan dan perbedaan perlakuan manajemen yang
dilaksanakan, kondisi lingkungan akan memicu timbulnya
respon adaptasi.
Adaptasi yang panjang mempengaruhi ekspresi gen
menjadi kuat dan memperlihatkan karakter lokal yang spesifik.
Hal tersebutlah yang akhirnya dapat menjadi pembeda secara
keragaan antar populasi, sehingga variasi genetikpun menjadi
tinggi (Kusrini, Emmawati dan Hadie, 2010). Keragaman
genetik yang terjadi dapat diketahui dengan mempelajari
perbedaan fenotip yang timbul pada setiap individu dalam
sebuah populasi. Penanda fenotipik merupakan sifat yang
ditentukan atas dasar ciri-ciri yang dapat diamati atau dilihat
secara langsung, seperti; ukuran-ukuran permukaan tubuh,
bobot hidup, warna dan pola warna bulu tubuh, bentuk dan
perkembangan tanduk dan sebagainya. Pengamatan perbedaan
penanda fenotipik yang merupakan cerminan dari genetik
sangat berguna untuk menentukan asal-usul dan hubungan
filogenetik antar spesies, bangsa dan tipe ternak yang berbeda
(Hartati, Sumadi, Subandriyo dan Hartatik, 2010).
3
Kabupaten Malang merupakan daerah yang memiliki
potensi besar dalam pengembangan ternak kambing.
Berdasarkan data Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
populasi kambing di Kabupaten Malang pada tahun 2015
sebesar 3.178.910 ekor. Peternak di Kabupaten Malang
sebagian besar memelihara kambing Peranakan Etawa.
Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing lokal yang
mayoritas dipelihara oleh masyarakat karena memiliki
keunggulan antara lain bersifat dwiguna yaitu dapat
dimanfaatkan sebagai ternak potong dan ternak perah, mampu
beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis, dan memiliki
fertilitas yang tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut maka diperlukan penelitian
mengenai karakteristik fenotip kambing Peranakan Etawa di
Kabupaten Malang. Hasil informasi ini sangat penting dalam
rangka pengembangan kambing Peranakan Etawa di
Kabupaten Malang untuk mendukung memenuhi kebutuhan
daging secara nasional, dengan harapan kambing Peranakan
Etawa di Kabupaten Malang dapat dijaga kemurniannya dan
kelestariannya sebagai sumber daya genetik.
1.2 Rumusan Masalah
Pengetahuan mengenai variasi karakteristik fenotip
ternak kambing Peranakan Etawa masih sangat rendah pada
sebagian besar peternakan rakyat. Berdasarkan keadaan
tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimanakah
variasi karakteristik fenotip kambing Peranakan Etawa di
Kabupaten Malang.
4
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
karakteristik fenotip kambing Peranakan Etawa di Kabupaten
Malang berdasarkan sifat kuantitatif dan sifat kualitatif.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu
kajian ilmiah serta referensi bagi akademisi serta sebagai
sumber informasi dalam pengembangan, pelestarian dan
pemurnian kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang
sebagai sumber daya genetik.
1.5 Kerangka Pikir
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
produktivitas ternak salah satunya adalah dengan melakukan
persilangan. Dengan persilangan ini diharapkan sifat unggul
dari tetua ternak dapat dikumpulkan dalam anakan yang
dihasilkan. Persilangan menimbulkan efek heterosis yang
menyebabkan keturunan dari persilangan tersebut memiliki
kualitas yang lebih baik daripada kualitas penampilan induk
(Barth, et al 2003 dalam Wijaya, Susantidiana, Lakitan dan
Surahman, 2009).
Kambing Kacang merupakan kambing lokal yang
memiliki adaptasi yang sangat bagus terhadap kondisi
lingkungan setempat. Namun demikian ukuran tubuh yang
kecil menyebabkan Kambing Kacang kurang efisien sebagai
ternak potong penghasil daging. Oleh karena itu dilakukan
persilangan antara Kambing Kacang dengan Kambing Etawa
yang memiliki tampilan performans tubuh lebih besar. Hasil
dari persilangan tersebut dikenal dengan kambing Peranakan
Etawa atau kambing PE. Kambing Peranakan Etawa memiliki
5
daya adaptasi lingkungan yang lebih bagus dibanding dengan
Kambing Etawa dan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibanding Kambing Kacang. Keuntungan lain dari kambing
Peranakan Etawa adalah bersifat dwiguna.
Pada umumnya perkawinan yang dilakukan di
peternakan rakyat bersifat acak yang berarti bahwa pejantan
yang digunakan hanya kambing jantan yang tersedia dan tidak
memiliki recording yang jelas serta tidak melewati proses
seleksi yang bagus. Keadaan tersebut menyebabkan keturunan
dari hasil persilangan acak pada peternakan rakyat memiliki
fenotip yang sangat bervariatif. Disamping itu, lingkungan
merupakan faktor penting yang mempengaruhi performans
reproduksi ternak. Kondisi lingkungan yang terlalu panas
dapat berdampak menurunkan produktivitas dibandingkan
dengan terrnak yang dipelihara di lingkungan yang dingin
(Pribadi, Maylinda, Nasich dan Suyadi, 2015). Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan
yang berbeda menampilkan respons adaptasi yang berbeda
pada setiap individu ternak. Adaptasi yang lama terhadap
suatu kondisi lingkungan menimbulkan perbedaan penampilan
karakteristik fenotip. Hal ini mencerminkan terjadinya variasi
keragaman genetik, karena tampilan fenotip merupakan
cerminan dari kandungan genetik (Kusrini, dkk, 2010).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pada
setiap lokasi yang berbeda menimbulkan tampilan performans
ternak yang berbeda pula.
Pemanfaatan variasi genetik dapat digunakan untuk
mengetahui jarak kedekatan suatu jenis terhadap jenis atau
individu lain. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan
penelitian mengenai variasi karakteristik fenotip dan tingkat
kedekatan kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang
6
terhadap SNI bibit kambing Peranakan Etawa menurut BSN.
Tampilan karateristik fenotip dan kedekatan kambing
Peranakan Etawa di Kabupaten Malang terhadap SNI bibit
kambing Peranakan Etawa tersebut dapat digunakan sebagai
sumber informasi dalam pengembangan, pelestarian, dan
pemurnian sumberdaya genetik. Skema kerangka pikir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Kerangka pikir.
PRODUKTIVITAS TERNAK
BIBIT LINGKUNGAN PAKAN
TERNAK LOKAL TERNAK IMPORT
PERBAIKAN MUTU DENGAN PERSILANGAN
PERANAKAN DENGAN KARAKTERISTIK
FENOTIP YANG BERBEDA
ADAPTASI TERHADAP LINGKUNGAN DAN
PELAKSANAAN PERKAWINAN YANG TIDAK
TERATUR
PROGRAM
PEMULIAAN
TERNAK SELEKSI
TINGKAT VARIASI
KARAKTERISTIK
FENOTIP
TINGKAT KEDEKATAN
BERDASARKAN KEMIRIPAN
FENOTIP TERHADAP SNI
8
1.6 Hipotesis
Kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang
memiliki tingkat variasi karakteristik fenotip yang tinggi dan
memiliki hubungan kedekatan berdasarkan tingkat kemiripan
karakteristik fenotip terhadap SNI bibit kambing Peranakan
Etawa.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kambing di Indonesia
Kambing (Capra aegagrus hicrus) merupakan
subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia
Barat Daya dan Eropa. Kambing liar tersebar dari Spanyol,
India dan kearah timur sampai dengan Mongolia dan Siberia.
Di habitat aslinya kambing hidup dengan berkelompok 5-20
ekor (Ihsan, 2011).
Pada mulanya penjinakan kambing terjadi di daerah
pegunungan Asia Barat sekitar 8000-7000 SM. Kambing yang
dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal dari 3 kelompok
kambing liar yang telah dijinakkan, yaitu Bezoar Goat atau
kambing liar eropa (Capra aegagrus), kambing liar India
(Capra aegagrus blithy), dan Makhor Goat atau Kambing
Makhor di pegunungan Himalaya (Capra falconeri). Sebagian
besar kambing yang diternakkan di Asia berasal dari
keturunan Bezoar (Pamungkas, Batubara, Doloksaribu, dan
Sihite, 2009).
Domestikasi ternak kambing diperkirakan terjadi di
daerah pegunungan Asia-Barat pada 9000 sampai 11.000
tahun yang lalu. Kambing mungkin termasuk binatang yang
dijinakkan paling awal. Paling tidak ada enam cara yang telah
disepakati untuk menggolongkan ternak kambing yaitu
berdasarkan asal, kegunaan, ukuran tubuh, bentuk telinga dan
panjang telinga. Ternak kambing sangat beragam dan
hidupnya terpusat terutama dibagian timur laut dan barat laut
sungai Gangga dan sepanjang pegunungan Himalaya, sampai
ke daerah Sindu dan Punjab dilembah pegunungan Baluchistan
dan sekitar Khasmir (Parasmawati, dkk, 2012).
10
Ternak kambing sebagai salah satu kekayaan
sumberdaya genetik di Indonesia belum banyak diketahui.
Menurut ada dua rumpun kambing yang dominan di Indonesia
yakni Kambing Kacang dan Kambing Etawa. Kambing
Kacang berukuran kecil sudah ada di Indonesia sejak tahun
1900-an dan Kambing Etawa tubuhnya lebih besar, masuk ke
Indonesia di masa peradaban Hindu dan Islam. Beberapa jenis
kambing didatangkan ke Indonesia pada jaman pemerintahan
Hindia Belanda, Portugis dan sesudah Indonesia merdeka
(Subandryo, 2004).
Di Indonesia paling tidak dilaporkan terdapat 13 jenis
kambing baik asli maupun hasil persilangan yang menyebar
hampir di seluruh kepulauan, dengan sentra populasi utama
adalah Jawa (57%), Sumatera (25%), Sulawesi (7,4%) dan
kepulauan Nusa Tenggara (NTT dan NTB) (6,1%) (Makka,
2004). Dari total populasi kambing sekitar 14 juta ekor
(DITJENNAK, 2007), Kambing Kacang merupakan jenis
kambing dengan populasi terbanyak (83%). Jenis kambing ini
memiliki bobot hidup dan kapasitas tumbuh yang rendah, dan
lebih merupakan jenis kambing dengan tipe prolifik (Astuti,
Bell, Sitorus and Bradford, 1984).
Ihsan (2011) menyatakan bahwa jenis ternak kambing
di Indonesia ada 12 yang telah terkarakterisasi yaitu, Kambing
Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE), Kambing
Jawarandu, Kambing Saanen, Kambing Marica, Kambing
Samosir, Kambing Muara, Kambing Kosta, Kambing
Gembrong, Kambing Boer, Kambing Boerawa, dan Kambing
Boerka.
Karakteristik kambing lokal yang ada di berbagai
daerah di Indonesia sudah menunjukkan keragaman genetik
yang cukup signifikan. Bertambahnya bangsa kambing maka
11
lama-kelamaan terjadi proses adaptasi terhadap agroekosistem
yang sesuai dengan lingkungan dan manajemen pemeliharaan
yang bervariasi membuat kemungkinan muncul jenis ras atau
genotip kambing lokal baru (Batubara, Noor, Farajallah,
Tiesnamurti dan Doloksaribu, 2011).
2.2 Kambing Peranakan Etawa
Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing hasil
persilangan antara kambing lokal Indonesia dengan kambing
lokal dari India, yaitu antara Kambing Kacang dan Kambing
Etawa, sehingga memiliki sifat diantara kedua tetua kambing
tersebut (Atabany, 2001 dalam Sadi, 2014). Ciri khusus dari
kambing Peranakan Etawa antara lain telinga yang panjang,
menggantung dan terkulai, serta bulu rewos yang panjang pada
ke dua kaki belakang dan memenuhi persyaratan mutu untuk
dibudidayakan sebagai bibit, memiliki daya produksi dan
reproduksi yang tinggi (BSN, 2008).
Peranakan Etawa (PE) merupakan bangsa kambing yang
diharapkan dapat ditingkatkan produksinya kawin tatar
(grading-up) antara kambing asli Indonesia (Kambing
Kacang) dengan Kambing Etawa yang didatangkan dari India.
Hasil perkawinan dari dua bangsa kambing ini menghasilkan
peranakan Kambing Etawa yang ciri-ciri dan kemampuan
produksinya mendekati sifat-sifat karakteristik Kambing
Etawa (Budi, 2005).
Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing dengan
populasi terbesar di Indonesia bagian barat khususnya di pulau
Jawa. Besarnya persebaran populasi ini disebabkan kambing
Peranakan Etawa yang bersifat dwiguna yaitu dapat
dimanfaatkan sebagai penghasil daging dan sebagai ternak
perah. Kambing Peranakan Etawa merupakan kambing hasil
12
persilangan antara Kambing Kacang dengan Kambing Etawa
dan diduga terbentuk dari persilangan secara grading up,
dengan tujuan memperbaiki kualitas kambing lokal. Hasilnya
kambing Peranakan Etawa memiliki performans lebih baik
daripada Kambing Kacang dan memiliki daya adaptasi yang
baik (Apriliast, 2007).
Kambing jantan ataupun betina tipe Peranakan Etawa
sangat mudah dibedakan jenis kelaminnya. Standarisasi untuk
menilai kualitas kambing baik pejantan betina maupun
pejantan sangatlah berbeda sesuai umur, sedangkan untuk
menentukan umur kambing Peranakan Etawa dapat dilihat dari
gigi seri kambing tersebut (Seftiarini, 2011).
Pengetahuan mengenai penampilan ternak kambing
Peranakan Etawa bibit unggul menjadi suatu hal yang mutlak
dalam rangka meningkatkan daya produksi ternak selanjutnya.
Taksiran kemampuan seekor ternak dalam berproduksi dapat
diketahui melalui pemanfaatan kriteria ukuran-ukuran tubuh.
Peningkatan ukuran tubuh akan terjadi seiring dengan
bertambahnya umur pada ternak (Rasminati, 2013).
Kambing Peranakan Etawa memiliki karakteristik yaitu
telinga panjang menggantung dengan warna bulu hitam atau
merah dengan putih, bentuk tubuh tinggi, bagian hidung keatas
melengkung, warna bulu bervariasi antara hitam dan coklat,
kambing jantan mempunyai bulu tebal agak panjang kebawah
terdapat di bagian leher dan bobot badan sekitar 40 sampai 45
kg, sedangkan bulu kambing betina agak panjang terdapat di
bagian bawah ekor ke arah garis kaki, bobot badan sekitar
35kg (Wibowo, Astuti, dan Soediarto, 2013).
13
2.3 Persilangan
Persilangan merupakan salah satu cara atau upaya untuk
meningkatkan produktivitas ternak lokal dengan cara
menganwinkannya dengan ternak lain yang dianggap memiliki
keunggulan tertentu. Diharapkan dengan dilakukannya
persilangan dapat mengambil keuntungan dari kualitas-
kualitas baik tetuanya (Parasmawati, dkk. 2012).
Pada dasarnya persilangan adalah menggabungkan
genetis yang dikehendaki untuk diharapkan sifat unggul dari
tetua dapat diwariskan kepada turunannya. Beberapa sifat
yang muncul dari hasil persilangan diatur oleh satu pasang
alele tunggal dari gen-gen atau faktor keturunan. Cara
pewarisan yang lebih rumit terjadi apabila dua faktor
dipertimbangkan bersama-sama. Mereka dapat mempengaruhi
fenotipik yang diharapkan (Warwick, Astuti, dan
Hardjosubroto, 1990)
Dengan metode persilangan produktivitas ternak secara
relatif dapat dengan cepat ditingkatkan. Nilai tambah dari hasil
persilangan tersebut adalah munculnya pengaruh heterosis
(Mahmila dan Doloksaribu, 2010). Hasil persilangan
menunjukkan bahwa generasi pertama pembentukan domba
komposit menunjukkan bobot sapih domba komposit lebih
tinggi 51,6% dibandingkan domba ekor tipis lokal Sumatera
(Subandriyo, Setiadi, Handiwirawan, dan Suparyanto, 2000).
Persilangan sangat penting diatur dan dikendalikan.
Seleksi yang dilakukan terhadap tetua harus dipilih genetiknya
yang saling melengkapi. Dengan persilangan yang tepat
diharapkan nilai heterosis yang dihasilkan nilainya positif.
Nilai heterosis yang diharapkan timbul dari persilangan
biasanya adalah yang berkaitan dengan nilai ekonomis ternak
14
seperti perbaikan mutu karkas, produktivitas dan kecepatan
pertumbuhan diatas tetua (Warwick dkk., 1990).
2.4 Fenotip
Fenotip merupakan kenampakan luar atau sifat-sifat lain
yang dapat diamati atau dapat diukur dan hasil dari cerminan
potensi genetik ternak atau susunan genetis suatu individu
(Warwick dkk, 1990). Pada ternak sifat produksi dikontrol
oleh sepasang gen dalam jumlah yang besar dan ekspresi dari
sifat tersebut dibatasi oleh lingkungan (Supartini dan
Darmawan, 2014).
Namun demikian fenotip yang merupakan sifat
penampilan luar tersebut belum tentu bisa diturunkan kepada
keturunannya (BSN, 2008). Crowder (1997) dalam
Cahayaningrum (2014) bahwa penampakan suatu fenotip
tergantung dari sifat antara genotip dan lingkungan. Potensi
genotip akan tampil secara optimal apabila unsur lingkungan
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tercukupi. Ilham (2012)
menambahkan bahwa perbedaan penampilan diduga karena
perkembangan zaman dan dalam kurun waktu yang lama serta
pengaruh dari kondisi lingkungan dan iklim yang berbeda
secara perlahan menimbulkan perbedaan akibat penyesuaian
terhadap lingkungan setempat.
Adaptasi sangat menentukan hasil dari tampilan fenotip.
Mutasi substitusi ditemukan pada kambing Kacang, Marica
dan Samosir diduga merupakan tanda adanya proses adaptasi
dari kambing Kacang (sebagai kambing asli) dengan kondisi
lokasi baru yang berbeda dengan kondisi di Sumatera, Jawa
dan Bali. Dimana perubahan susunan basa nukleotida terjadi
dalam bentuk substitusi sebagai akibat proses adaptasi
terhadap kondisi lingkungan yang sumber pakannya terbatas
15
dan diduga akibat adanya seleksi yang berhubungan dengan
tujuan produksi yang diinginkan oleh peternak (Batubara, dkk,
2011).
2.4.1 Sifat Kualitatif
Sifat kualitatif merupakan sifat penampilan luar yang
tampak dan diatur oleh satu atau beberapa pasang gen.
Kebanyakan dari sifat kualitatif dikontrol oleh gen dan tidak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun demikian sifat
kualitatif juga dapat dipengaruhi oleh faktor cacat genetik
yang muncul pada bagian tubuh ternak (Warwick dkk., 1990).
Sifat kualitatif berfungsi untuk mengidentifikasi
karakteristik genetik secara ekternal melalui pengamatan sifat
kualitatif. Sifat dan karakteristik fenotip baik sifat kualitatif
maupun kuantitatif akan menunjukkan seberapa besar tingkat
keragaman genetik ternak pada suatu populasi. Hasil dari
pengamatan kualitas fenotip ternak dapat digunakan dalam
tahap pemuliaan ternak untuk melakukan seleksi indukan
(Subekti dan Arlina, 2011).
Kambing Peranakan Etawa memiliki warna bulu terdiri
dari kombinasi putih, hitam, dan cokelat, profil muka
cembung, telinga panjang terkulai, tanduk melengkung ke
belakang, jantan memiliki bulu jenggot, punggung lurus, bulu
panjang pada leher dan pinggul serta memiliki ekor pendek
(Menteri Pertanian, 2013). Warna dominan kambing
Peranakan Etawa adalah putih dengan warna lain hitam dan
cokelat. Dari 290 ekor terdapat 88,57% dengan dua warna,
5,71% terdiri dari satu warna dan 5% terdiri dari tiga warna
(Adiati dan Priyanto, 2011).
16
Sifat kualitatif kambing Peranakan Etawa yang memenuhi
standar mutu secara fenotip menurut BSN (2008) sebagai
berikut :
- Telinga panjang
- Ada kombinasi warna (putih-hitam atau putih-
coklat)
- Bulu rewos/gembyeng/surai menggantung terkulai
- Profil muka cembung
- Tanduk pejantan dan betina kecil melengkung ke
belakang
- Ekor pendek
2.4.2 Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur, sifat
kuantitatif dipengaruhi oleh banyak pasangan gen dan sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Subekti dan Arlina,
2011). Sifat kuantitatif merupakan ukuran dan bentuk tubuh
ternak yang digunakan untuk menentukan standar
pertumbuhan dan menilai ternak. Pengukuran sifat kuantitatif
ini di dalamnya terdiri dari lingkar dada, bobot badan, tinggi
pundak, lebar dada dan panjang badan yang mempunyai
peranan paling penting dalam menentukan tipe dari suatu
ternak. Produksi daging pada ternak dapat ditaksir dari
pengukuran bagian bagian tubuh atau morfologi seekor ternak
(Pasaribu, Sauland, dan Dudi, 2015).
Sifat kuantitatif sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Ekpresi penampilan genetik akan muncul dengan
jelas saat kondisi lingkungan sesuai dengan kriteria yang
dibutuhkan. Kebanyakan sifat kuantitatif diukur karena
memiliki nilai ekonomis tersendiri (Warwick dkk., 1990).
17
Hasil penelitian diperoleh rata rata bobot lahir 2,33 ±
0,45 kg, bobot sapih 9,72 ± 1,94 kg , bobot umur 6 bulan
13,24 ± 3,28 kg, pertambahan bobot badan prasapih 81,76 ±
20,69 g dan pertambahan bobot badan 6 bulan 47,07 ± 24,92 g
(Sulaksana, 2008). Asmara, Sulastri dan Harris (2012)
menyebutkan bahwa rata-rata jumlah anak per kelahiran
sebesar 1,83±0,26 dengan rata-rata umur induk melahirkan
pada umur 18,15±0,75 bulan.
Persyaratan kuantitatif kambing Peranakan Etawa jantan
dan betina menurut (BSN, 2008) dapat dilihat pada Tabel 1
dan 2.
Tabel 1. Persyaratan kuantitatif kambing Peranakan Etawa
jantan
No Parameter Satuan Umur (tahun)
0,5 – 1 >1 - 2 >2 - 4
1 Bobot badan kg 29±5 40±9 54±11
2 Tinggi pundak cm 67±5 75±8 87±5
3 Panjang badan cm 53±8 61±7 63±5
4 Lingkar dada cm 71±6 80±8 89±8
5 Panjang telinga cm 23±3 26±4 30±4
6 Panjang bulu
rewos/gembyeng/surai
cm 11±4 14±5 23±5
18
Tabel 2. Persyaratan kuantitatif kambing Peranakan Etawa
betina
No Parameter Satuan Umur (tahun)
0,5 – 1 >1 – 2 >2 – 4
1 Bobot badan kg 22±5 34±6 41±7
2 Tinggi pundak cm 60±5 71±5 75±5
3 Panjang badan cm 50±5 57±5 60±5
4 Lingkar dada cm 63±6 76±7 81±7
5 Panjang telinga cm 24±3 26±3 27±3
6 Panjang bulu
rewos/gembyeng/surai
cm 11±4 14±6 14±5
2.5 Dendogram
Dendogram merupakan ilustrasi diagramatik, dua data
atau lebih digabungkan berdasarkan kesamaan. Penggabungan
terus berlanjut terhadap data lainnya yang memiliki kemiripan
yang mendekati sama. Penggabungan ini membentuk tampilan
seperti pohon dan mengelompokkannya dalam kelas-kelas
yang berbeda (Wiharto, 2013). Nasution, Wardiyati and
Nawawi (2014) menyatakan bahwa dendogram adalah suatu
format sederhana untuk menggambarkan suatu jarak genetik
yang ditampilkan dalam bentuk diagram pohon, selanjutnya
diinterpretasikan dalam bentuk kelompok (cluster) yang
menggambarkan kemiripan masing-masing objek.
Fungsi dari penggunaan diagram dendogram ialah untuk
menggambarkan hubungan kekerabatan antar sampel yang
diamati (Santika, Darma, Dewi, dan Widjaja, 2010).
Kemiripan dapat ditinjau berdasarkan aspek genetik atau
penampilan fenotip dari sampel yang diamati (Karima,
Kalakili, Salem, El-Aziem and El-Hanafi, 2013).
19
Tingkat kemiripan kambing Peranakan Etawa terhadap
SNI bibit menurut BSN dianalisis menggunakan program
NTSYS-pc Exeter Software versi 2.02. NTSYS-pc merupakan
program yang dapat digunakan untuk menganalisis klaster
dengan cara menyusun matrik persamaan karakteristik untuk
mengetahui jarak atau persamaan genetik sampel yang diamati
dalam bentuk diagram dendogram (Bustamam dan Mahrup,
2003).
2.6 Penentuan Umur
Estimasi umur ternak dilapang hanya dapat diperoleh
dengan cara wawancara kepada pemiliknya atau dengan
melihat gigi seri yang telah tanggal (Hartati dkk., 2009).
Penentuan umur kambing dilakukan berdasarkan catatan
(recording) atau atas dasar perkembangan gigi seri atau
Permanent Incicivi (PI). Cara penentuan umur berdasarkan
gigi seri menurut (BSN, 2008) terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penentuan umur berdasarkan gigi seri.
No Gigi seri Umur (tahun)
1 Temporer/gigi susu < 1
2 1 pasang permanen 1 - 1,5
3 2 pasang permanen > 1,5 – 2,5
4 3 pasang permanen > 2,5 – 3
5 4 pasang permanen > 3
20
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Malang yang
diwakili oleh 3 kecamatan yaitu Kecamatan Wonosari,
Kecamatan Tumpang dan Kecamatan Singosari pada 15
November - 29 Desember 2016.
3.2 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kambing Peranakan Etawa sebanyak 286 ekor yang terdiri dari
kelompok umur 0,5-1 tahun (PI0) sebanyak 83 ekor, 1-2 tahun
(PI1) sebanyak 62 ekor dan lebih dari 2 tahun (>PI2) sebanyak
141 ekor. Penentuan umur ternak ditaksir berdasarkan posisi
gigi seri permanen atau Permanent Incicivi (PI) berdasarkan
standar SNI.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Survey, penentuan lokasi ditentukan secara Purposive
Sampling dengan pertimbangan wilayah yang dipilih terdapat
ternak kambing Peranakan Etawa dengan tingkat variasi
fenotip yang beragam dan populasi yang konstan serta
merupakan daerah yang potensial untuk pemgembangan
kambing Peranakan Etawa. Berdasarkan hasil stratifikasi
jumlah populasi dipilih wilayah yang terdapat ternak kambing
dengan populasi tinggi, sedang dan rendah. Wilayah yang
terdapat ternak kambing dengan populasi rendah yaitu
Kecamatan Singosari, populasi sedang yaitu Kecamatan
Tumpang dan populasi tinggi yaitu Kecamatan Wonosari.
21
Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus
Yamane (1967) dengan formula sebagai berikut :
Keterangan : n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
d2
= level signifikansi yang
diinginkan (umumnya 0,05
untuk bidang non-eksak dan
0,01 untuk bidang eksakta).
3.3.1 Tahapan Penelitian
Tahap – tahap penelitian adalah sebagai berikut :
1. Penentuan lokasi didasarkan pada wilayah
dengan kriteria jumlah populasi rendah, sedang
dan tinggi. Wilayah dengan populasi rendah
yaitu Kecamatan Singosari, populasi sedang
yaitu Kecamatan Tumpang dan populasi tinggi
yaitu Kecamatan Wonosari. Pada setiap
kecamatan diambil sampel pada desa yang
memiliki kriteria populasi tinggi, sedang dan
rendah. Penentuan jumlah sampel dihitung
berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari
Dinas Peternakan Kabupaten Malang.
2. Survey lokasi dilakukan setelah penetapan
lokasi dengan tujuan mengetahui gambaran
lokasi yang akan menjadi lokasi penelitian dan
untuk mendapatkan izin resmi dari pemerintah
setempat.
22
3. Penyusunan kuisioner disusun sesuai kebutuhan
dengan berdasar literatur yang sudah ada.
4. Pengujian peralatan dan latihan pengukuran
statistik vital kambing dilakukan di
laboratorium lapang Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya yang bertujuan untuk
memastikan alat yang digunakan dalam keadaan
baik dan lengkap, serta meningkatkan
keterampilan peneliti untuk melakukan
pengukuran dengan benar.
5. Uji coba penelitian dilakukan sebagai latihan
pelaksanaan penelitian yang akan dilaksanakan
dan untuk menguji kelengkapan kuisioner yang
telah disusun.
6. Pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data
di lapangan dilakukan sesuai dengan hasil
evaluasi uji coba penelitian yang telah
dilaksanakan.
7. Data yang diperoleh diedit, ditabulasi, dihitung
dan kemudian dianalisis sesuai dengan
ketentuan penelitian.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
Sifat kualitatif :
1. Pola warna
Pola warna dan rambut diamati warna dominan pada
tubuh ternak.
2. Bentuk telinga
Bentuk telinga dikategorikan atas melipat dan
melebar.
23
3. Tanduk
Tanduk diidentifikasi atas bertanduk dan tidak
bertanduk.
4. Profil muka
Profil muka dikelompokkan atas cembung dan datar.
Sifat kuantitatif :
1. Bobot badan.
Ditimbang menggunakan timbangan dalam satuan Kg.
2. Panjang badan
Diukur dengan cara menarik garis horisontal dari tepi
depan sendi bahu (tuber humeri) sampai tepi bungkul
tulang duduk (tuber ischii) mengunakan tongkat ukur
dalam satuan cm.
3. Lingkar dada
Diukur dengan melingkarkan pita ukur sepanjang
rongga dada atau dari tulang dada di belakang tulang
bahu (os. tubersitas humeri) dan tulang belikat (os.
scapula) mengunakan pita ukur dalam satuan cm.
4. Tinggi badan
Diukur dari permukaan tanah tegak lurus sampai
bagian tertinggi pundak diukur dibelakang kaki depan
dengan tongkat ukur dalam satuan cm.
5. Panjang telinga
Jarak antara pangkal sampai ke ujung telinga
menggunakan pita ukur dalam satuan cm.
6. Panjang rewos/gembyeng/surai
Diukur dari pangkal bulu sampai ke ujung bulu bagian
paha dengan pita ukur dalam satuan cm. Tidak
dibedakan paha kanan atau kiri dan diukur bulu yang
paling panjang.
24
3.5 Analisis Data
Sifat kuantitatif (bobot badan, lingkar dada, panjang
badan, tinggi badan, panjang telinga dan panjang rewos) dan
kualitatif (pola warna, bentuk telinga, tanduk dan profil muka)
dianalisis menggunakan frekuensi relatif berdasarkan pedoman
SNI bibit kambing Peranakan Etawa dengan formula menurut
Dajan (1986) sebagai berikut :
Keterangan : A = Jumlah sampel yang diamati
n = Total sampel kambing Peranakan
Etawa yang diamati
Data karakteristik yang didapat berupa data kuantitatif
dan kualitatif ditabulasi kemudian dianalisis tingkat
kemiripannya menggunakan program NTSYS-pc Exeter
Software versi 2.02. Langkah untuk menyederhanakan data
sesuai dengan ketentuan dari program NTSYS-pc:
1. Data karakteristik yang didapat berupa data kuantitatif
dan kualitatif ditabulasi kebentuk yang lebih
sederhana
2. Dilakukan karakterisasi berdasarkan SNI bibit
kambing Peranakan Etawa. Berdasarkan karakter
fenotip maka masing-masing sifat diberikan skor “1”
apabila sesuai dengan ketentuan SNI dan skor “0”
apabila diluar ketentuan SNI.
3. Karakterisasi pada setiap variabel pengamatan
dijumlah dan dipersentase karakter yang sesuai SNI
dan yang tidak sesuai. Persentase yang menunjukkan
jumlah karakter individu sesuai dengan SNI diatas 60
25
% diberi skor “1” apabila dibawah 60 % diberi skor
“0”.
4. Data yang diperoleh dari tiga lokasi penelitian
ditabulasi menjadi satu dan kemudian dianalisis
kemiripannya menggunakan rekonstruksi dendogram
dengan program NTSYS-pc Exeter Software versi
2.02.
Langkah – langkah rekonstruksi dendogram menurut
Bustamam dan Mahrup (2003) adalah:
1. Penentuan karakter.
Dalam penentuan ini karakter yang sesuai dengan
ketentuan SNI dinilai dengan angka “1” dan apabila
tidak sesuai dinilai “0”. Penentuan ini dalam format
Excel 97-2003 workbook.
2. Memasukkan data biner dari Ms.Excel ke
NTEDITOR.
3. Membuka program NTSYS-pc Exerter software versi
2.02.
4. Pada “Similarity” dipilih “SimQual” kemudian
dimasukkan data dari NTEDITOR.
5. Pada “Clustering” dipilih “SAHN”.
6. Garis cabang dendogram langsung terbentuk dan
matriks nilai kedekatan langsung terlihat. Jarak
kemiripan dikategorikan berdasarkan hasil yang
ditampilkan dendogram. Nurmiyati, Sugiyarto dan
Sajidan (2010), menyebutkan bahwa jarak kemiripan
dapat dikatakan jauh apabila kurang dari 0.60 atau 60
%. Sehingga kelompok-kelompok yang terpisah pada
jarak 0.65 atau 65 % sebenarnya masih memiliki
kemiripan yang dekat.
26
Pengaruh lokasi terhadap beberapa sifat kuantitatif
berupa data statistik vital yang terdiri dari panjang badan,
lingkar dada, tinggi badan, bobot badan, panjang telinga, dan
panjang rewos pada jenis kelamin betina tingkat umur PI2,
PI3, dan PI4 dianalisis menggunakan uji t tidak berpasangan
(Unpaired Comparation) dengan formula menurut
Yitnosumarto (1990) sebagai berikut :
√
Keterangan :
3.6 Batasan Istilah
Fenotip : Suatu karakteristik yang
dapat diamati dari suatu
organisme yang diatur oleh
genotip dan lingkungan serta
interaksi dari keduanya.
Rewos/gembyeng/surai : Rambut panjang yang
terdapat pada paha bagian
belakang di kaki belakang
kambing.
Profil muka : Bentuk atau garis muka
ternak.
Dendogram : Ilustrasi diagramatik yang
menunjukkan tingkat
kemiripan
t = t hitung
= rata - rata sampel
S2
= varians sampel
n = jumlah sampel
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di
Indonesia yang terletak di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten
Malang merupakan kabupaten yang terluas kedua wilayahnya
setelah Kabupaten Banyuwangi dari 38 kabupaten dan kota
yang ada di Jawa Timur, dengan luas wilayahnya adalah
3.534,86 km2. Kabupaten Malang terletak pada 112
0 17’ 10,
90” sampai 1120 57’ 00” Bujur Timur, 7
0 44’ 55, 11” sampai 8
0
26’ 35, 45” Lintang Selatan, dengan batas utara Kabupaten
Pasuruan dan Mojokerto, batas timur Kabupaten Probolinggo
dan Kabupaten Lumajang, batas barat Kabupaten Blitar dan
Kediri serta batas selatan adalah Samudra Hindia. Kondisi
lahan di Kabupaten Malang bagian utara relatif subur,
sementara di sebelah selatan relatif kurang subur. Masyarakat
Kabupaten Malang umumnya bertani terutama yang tinggal di
wilayah pedesaan, sebagian lainnya telah berkembang sebagai
masyarakat industri (Pemerintah Kabupaten Malang, 2016).
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Singosari,
Kecamatan Tumpang, dan Kecamatan Wonosari. Dinas
Peternakan Kabupaten Malang (2015) menunjukkan bahwa
jumlah populasi kambing pada tahun 2015 di Kecamatan
Singosari sebesar 2.564 ekor dengan luas wilayah 14.876 Ha,
Kecamatan tumpang sebesar 2.360 ekor dengan luas wilayah
6.915,420 Ha dan Kecamatan Wonosari sebesar 12.651 ekor
dengan luas wilayah 4.853km2 . Berdasarkan kondisi geografis
terdapat perbedaan dari ketiga lokasi tersebut. Kecamatan
Singosari berada pada ketinggian ± 487 mdpl dengan suhu
rata-rata 22°C - 32°C serta curah hujan rata-rata 349
28
mm/tahun, Kecamatan Tumpang memiliki ketinggian ± 700
mdpl adapun curah hujan rata-rata antara 1297 - 1925
mm/tahun dengan suhu rata-rata 18 - 26 °C, sedangkan
Kecamatan Wonosari berada pada ketinggian ± 800 mdpl
dengan curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun dengan suhu
rata-rata harian 24°C.
Kondisi geografis dan curah hujan yang berbeda
menyebabkan perbedaan kondisi tanah sehingga
mengakibatkan perbedaan ketersediaan jumlah tanaman pakan
ternak yang tumbuh dan perbedaan konsumsi jenis nutrisi
yang diberikan sesuai dengan jenis dan jumlah tanaman pakan
yang tersedia pada lokasi tersebut. Perbedaan asupan nutrisi
pada setiap lokasi penelitian menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan perbedaan performans serta mengakibatkan
tingginya variasi fenotip ternak kambing yang ada pada suatu
wilayah. Sebagian besar hijauan pakan yang tersedia di
Kecamatan Singosari dan Wonosari adalah leguminosa,
sedangkan pada Kecamatan Tumpang adalah rumput lapang.
Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (2005) iklim dan tanah
sangat berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman. Diantara
faktor yang mempengaruhi pertubuhan tanaman adalah
temperatur tanah, kelembaban tanah, tersedianya unsur hara
dalam tanah, kegiatan hidup jasad renik dan sifat-sifat
tanah lainya.
4.2 Karakteristik Kuantitatif Kambing Peranakan Etawa
Hasil pengamatan lingkar dada dan bobot badan
kambing Peranakan Etawa jantan dan betina pada kelompok
umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.
29
Tabel 4. Data lingkar dada dan bobot badan
Umur
Lokasi
Penelitian
Lingkar Dada (Cm) Bobot Badan (kg)
Jantan SNI Betina SNI Jantan SNI Betina SNI
PI0 Singosari 63,7 ± 6,9 71 ± 6 63,0 ± 6,1 63 ± 6 26,0 ± 6,8 29 ± 5 22,7 ± 4,0 22 ± 5
Tumpang 62,0 ± 4,4 62,2 ± 6,4 24,0 ± 3,5 26,0 ± 5,8
Wonosari 65,9 ± 4,8 64,4 ± 7,5 32,9 ± 7,1 28,6 ± 8,3
rata-rata 64,1 ± 5,4 63,3 ± 6,7 28,8 ± 7,6 26,3 ± 6,8
PI1 Singosari 68,4 ± 6,5 80 ± 8 73,5 ± 4,2 76 ± 7 33,1 ± 6,3 40 ± 9 36,3 ± 2,1 34 ± 6
Tumpang 70,0 ± 4,1 67,6 ± 4,4 32,3 ± 5,0 25,8 ± 4,5
Wonosari 75,4 ± 4,1 73,2 ± 6,3 40,2 ± 5,3 39,9 ± 6,3
rata-rata 71,9 ± 5,6 71,9 ± 6,1 35,9 ± 6,5 36,1 ± 8,1
>PI2 Singosari 75,3 ± 6,0 89 ± 8 78,4 ± 7,4 81 ± 7 40,1 ± 9,2 54 ± 11 42,1 ± 8,5 41 ± 7
Tumpang 82,O ±2,8 74,9 ± 6,6 46,5 ± 3,5 36,9 ± 6,9
Wonosari 90,0 ± 7,4 81,1 ± 5,7 64,5 ± 9,5 47,9 ± 6,8
rata-rata 80,4 ± 8,8 78,5 ± 6,9 48 ± 13,8 43 ± 8,7
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa lingkar
dada kambing jantan dan betina di Kabupaten Malang
menunjukkan hasil yang cenderung lebih rendah dibandingkan
dengan kriteria SNI, namun pada kambing betina kelompok
umur PI0 menunjukkan hasil yang sesuai. Ukuran lingkar dada
kambing jantan menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kambing betina dan menunjukkan tren
meningkat pada setiap kelompok umur yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena kambing mengalami pertumbuhan dan
kambing jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat
dibanding kambing betina. Kambing jantan di Kecamatan
Wonosari umur lebih dari PI2 dan kambing betina umur PI0
dan lebih dari PI2 dengan hasil masing-masing 90,0 ± 7,4 cm,
30
64,4 ± 7,5 cm dan 81,1 ± 5,7 cm menunjukkan hasil yang
sesuai dengan kriteria SNI, sedangkan kambing di Kecamatan
Singosari dan Tumpang menunjukkan hasil yang cenderung
lebih rendah. Adanya perbedaan ukuran lingkar dada pada
setiap lokasi penelitian diduga karena perbedaan manajemen
dan pemberian pakan pada setiap lokasi penelitian tersebut,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam gambaran umum
lokasi penelitian bahwa terdapat perbedaan kondisi geografis
sehingga mengakibatkan perbedaan ketersediaan jumlah
tanaman pakan ternak. Hal ini menyebabkan perbedaan
konsumsi jenis nutrisi yang diberikan sesuai dengan jenis dan
jumlah tanaman pakan yang tersedia. Hal tersebut kemudian
menyebabkan perbedaan tampilan performans kambing pada
setiap lokasi penelitian yang mempengaruhi hasil analisis
pengaruh lokasi terhadap ukuran tubuh. Hasil analisis statistik
lingkar dada kambing Peranakan Etawa jantan dan betina
menunjukkan hasil perbedaan yang nyata (P<0,05) antara
lokasi Kecamatan Singosari - Tumpang dan Singosari -
Wonosari serta berbeda sangat nyata (P<0,01) antara
Kecamatan Tumpang - Wonosari. Berdasarkan hasil
pengamatan pada Lampiran 13 dapat diketahui bahwa pada
Kecamatan Singosari dan Kecamatan Wonosari sebagian besar
jenis pakan yang tersedia adalah tanaman pakan kelompok
leguminosa, sementara pada Kecamatan Tumpang jenis pakan
yang tersedia adalah rumput lapang. Trisnadewi, Cakra,
Mudita, Wirawan, Puspani dan Budiasa (2013) menyebutkan
bahwa kandungan protein pada kelompok leguminosa lebih
tinggi dibanding dengan rumput lapang, protein pada kaliandra
sebesar 22 % dan pada gamal sebesar 23 %, selain itu pada
kelompok leguminosa mengandung mineral esensial dan
vitamin yang penting bagi pertumbuhan ternak. Yulistiani,
31
Setiadi dan Subandriyo (1997) menambahkan bahwa
kandungan protein kasar pada rumput lapang sebesar 14,7 %
dan rumput sawah sebesar 7,8 %.
Bobot badan kambing di Kabupaten Malang
menunjukkan hasil yang cenderung sesuai dengan kriteria
SNI, namun pada kelompok kambing jantan umur PI0 dan PI1
menunjukkan hasil yang cenderung lebih rendah. Ukuran
bobot badan kambing jantan menunjukkan hasil yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kambing betina dan menunjukkan
tren meningkat pada setiap kelompok umur yang berbeda.
Secara umum Kecamatan Wonosari baik pada kambing jantan
dan betina menunjukkan hasil yang sesuai dengan kriteria SNI
dibanding dengan Kecamatan Singosari dan Tumpang. Hal ini
diduga terjadi karena adanya perbedaan manajemen pada
setiap lokasi penelitian. Ternak yang mendapatkan asupan
jumlah dan kualitas pakan yang bagus akan berpengaruh
terhadap pertambahan bobot badan hariannya. Hasil analisis
statistik bobot badan menunjukkan perbedaan sangat nyata
(P<0,01) pada seluruh perbandingan lokasi. Martawidjaja,
Setiadi, Yulistiani, Priyanto dan Kuswandi (2002)
menyebutkan bahwa pertambahan bobot badan kambing
persilangan Boer X Kacang keturunan pertama dan Kambing
Kacang perlakuan ransum dengan kandungan protein kasar 15
% dan ransum dengan kandungan protein kasar 20 %
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dimana
pertambahan bobot badan harian pemberian ransum dengan
kandungan protein kasar 20 % lebih tinggi (35,8%) dari
ransum dengan kandungan protein kasar 15 %.
Hasil pengukuran panjang badan dan tinggi badan
kambing Peranakan Etawa jenis kelamin jantan dan betina
pada tiga lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
32
Tabel 5. Data panjang badan dan tinggi badan
Umur
Lokasi
Penelitian
Panjang Badan (Cm) Tinggi Badan (Cm)
Jantan SNI Betina SNI Jantan SNI Betina SNI
PI0 Singosari 61,7 ± 5,8 53 ± 8 60,4 ± 5,6 50 ± 5 65,7 ± 6,4 67 ± 5 62,3 ± 4,7 60 ± 5
Tumpang 61,9 ± 6,3 61,9 ± 5,9 61,2 ± 4,0 60,3 ± 4,9
Wonosari 65,8 ± 5,8 64,2 ± 6,1 66,1 ± 6,0 63,8 ± 5,8
rata-rata 63,5 ± 6,3 62,5 ± 6,0 64 ± 5,8 62,2 ± 5,3
PI1 Singosari 65,7 ± 6,2 61 ± 7 68,8 ± 2,9 57 ± 5 67,7 ± 5,8 75 ± 8 70,3 ± 2,6 71 ± 5
Tumpang 68,2 ± 6,7 64,8 ± 4,2 68,0 ± 5,2 66,8 ± 4,2
Wonosari 73,9 ± 6,6 69,5 ± 7,0 72,4 ± 5,8 67,9 ± 3,7
rata-rata 70,0 ± 7,2 68,3 ± 6,3 69,8 ± 5,9 67,9 ± 3,8
>PI2 Singosari 70,8 ± 6,5 63 ± 5 73,9 ± 6,6 60 ± 5 73,5 ± 5,5 87 ± 5 72,3 ± 6,2 75 ± 5
Tumpang 80,0 ±17,0 71,1 ± 6,4 81,5 ± 12,0 68,3 ± 5,4
Wonosari 91,3 ± 8,1 77,6 ± 5,9 87,3 ± 11,1 72,4 ± 3,9
rata-rata 77,9 ±12,1 74,6 ± 6,8 78,6 ± 9,8 71,9 ± 5,6
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa ukuran
panjang badan kambing jantan dan betina pada seluruh
kelompok umur di tiga lokasi penelitian menunjukkan hasil
yang sesuai terhadap kriteria standar bibit menurut SNI. Hal
ini dapat diartikan bahwa panjang badan yang dimiliki
kambing pada Kabupaten Malang sudah memenuhi kriteria
standar SNI ditinjau dari nilai rata-rata ukuran panjang badan.
Ni’am, Purnomoadi dan Dartosukarno (2012) menyebutkan
bahwa pengetahuan mengenai ukuran-ukuran tubuh ternak
termasuk panjang badan penting diketahui untuk menilai
performans suatu ternak. Berdasarkan hasil pengukuran dapat
diketahui bahwa ukuran panjang badan kambing jantan lebih
tinggi daripada kambing betina, hal ini disebabkan kambing
jantan memiliki hormon androgen yang memicu laju
33
pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kambing betina.
Soeroso (2004) menambahkan bahwa ternak jantan lebih cepat
tumbuh dibandingkan betina pada umur yang sama. Jantan
memiliki hormon testosteron yang merupakan hormon
pengatur pertumbuhan yang dihasilkan oleh testis, sehingga
pertumbuhan ternak jantan lebih cepat dibandingkan ternak
betina terutama setelah sifat-sifat kelamin sekunder muncul.
Hasil analisis statistik panjang badan menunjukkan bahwa
perbandingan lokasi berbeda nyata (P<0,05) terhadap panjang
badan pada perbandingan lokasi Kecamatan Singosari -
Tumpang dan Singosari - Wonosari, sedangkan perbandingan
Kecamatan Tumpang - Wonosari menunjukkan perbedaan
sangat nyata (P<0,01). Hal ini diduga terjadi karena adanya
perbedaan manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh
peternak pada lokasi penelitian. Peternak pada Kecamatan
Singosari dan Wonosari memiliki keterampilan beternak dan
kepedulian yang lebih baik terhadap kualitas ternak yang
dimilikinya dibandingkan dengan peternak di Kecamatan
Tumpang. Hal ini dapat dilihat pada Kecamatan Singosari dan
Wonosari yang terdapat kelompok ternak kambing, serta
tujuan dari beberapa peternak yang menjadikan pemeliharaan
ternak sebagai penghasilan utama. Berbeda dengan peternak
yang berada di Kecamatan Tumpang yang menjadikan ternak
yang dimilikinya sebagai tabungan dan usaha sampingan serta
belum adanya kelompok peternakan kambing. Muhsis (2007)
menyebutkan bahwa pentingnya kelompok peternak adalah
berperan sebagai pionir dalam upaya peningkatan produktifitas
dan populasi ternak, diversifikasi produk, pengembangan
kelembagaan dan peningkatan kinerja.
Tinggi badan kambing Peranakan Etawa kelompok
jantan dan betina di Kabupaten Malang menunjukkan hasil
34
yang cenderung lebih rendah terhadap kriteria bibit menurut
SNI. Ukuran Tinggi badan kambing jantan menunjukkan hasil
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing betina dan
menunjukkan tren meningkat pada setiap kelompok umur yang
berbeda. Hal ini disebabkan karena kambing mengalami
pertumbuhan dan kambing jantan memiliki laju pertumbuhan
yang lebih cepat dibanding kambing betina. Kambing jantan
kelompok umur lebih dari PI2 pada kecamatan Wonosari dan
kambing betina kelompok umur PI0 pada ketiga lokasi
penelitian menunjukkan hasil yang sesuai dengan kriteria SNI.
Terjadinya perbedaan ukuran tinggi badan terhadap kriteria
standar bibit SNI diduga karena bangsa kambing Peranakan
Etawa pada ketiga lokasi penelitian sudah tercampur dengan
bangsa-bangsa kambing yang lain dengan proporsi persentase
darah yang tidak jelas serta diduga terjadinya inbreeding yang
menyebabkan turunnya performans ternak. Hasil analisis
statistik tinggi badan menunjukkan bahwa perbandingan lokasi
berbeda nyata (P<0,05) terhadap tinggi badan pada Kecamatan
Singosari - Wonosari dan menunjukkan hasil yang sangat
berbeda nyata (P<0,01) pada perbandingan lokasi lainnya. Hal
ini disebabkan proses perkawinan acak yang dilakukan
peternak sehingga anakan yang dihasilkan sangat bervariasi.
Perkawinan acak yang biasa terjadi pada peternakan rakyat
banyak disebabkan karena tidak dimilikinya pejantan khusus
(pemacek). Induk yang akan dijadikan bibit dikawinkan oleh
peternak dengan keturunannya atau anakannya yang jantan.
Hasil penelitian Pamungkas (1996) menunjukkan bahwa
ditingkat peternak di pedesaan yaitu terdapat rasio yang tidak
seimbang antara pejantan dengan betina yakni 1 : 24 sampai 1
: 27. Hal tersebut tidak memungkinkan satu ternak jantan
untuk mengawini betina yang ada jika masa estrus bersamaan.
35
Sampai saat ini permasalahan tersebut masih terus berjalan
dan belum ada tindakan untuk mengatasinya. Kelangkaan
pejantan dalam sistem perkawinan alami mengakibatkan
tingginya tingkat inbreeding (Praharani, Juarini dan
Budiarsana, 2010). Pola perkawinan inbreeding juga dapat
mengakibatkan keturunannya menjadi kerdil (Triwulaningsih,
Subandriyo, Situmorang, Sugiarti, Suanturi, Kusumaningrum,
Putu, Sitepu, Panggabean, Mahyudin, Zulbardi, Siregar,
Kusnadi, Thalib dan Siregar, 2005).
Ciri-ciri khusus dari kambing Peranakan Etawa adalah
memiliki telinga yang panjang terkulai dan memiliki rambut
yang lebat pada bagian belakang paha kaki belakang (rewos).
Hasil pengukuran panjang telinga dan panjang rewos dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data panjang telinga dan panjang rewos
Umur
Lokasi
Penelitian
Panjang Telinga (Cm) Panjang Rewos (Cm)
Jantan SNI Betina SNI Jantan SNI Betina SNI
PI0 Singosari 19,0 ± 4,4 23 ± 3 22,0 ± 1,8 24 ± 3 14,7 ± 4,1 11 ± 4 12,6 ± 3,7 11 ± 4
Tumpang 21,9 ± 3,8 23,3 ± 3,6 9,8 ± 2,9 13,1 ± 4,2
Wonosari 22,7 ± 2,2 22,3 ± 3,8 16,8 ± 5,4 15,0 ± 5,6
rata-rata 22,2 ± 3,6 22,6 ± 3,3 14,4 ± 5,4 13,8 ± 4,7
PI1 Singosari 24,7 ± 3,5 26 ± 4 26,0 ± 3,4 26 ± 3 16,9 ± 4,6 14 ± 5 23,3 ± 11,2 14 ± 6
Tumpang 23,0 ± 3,5 21,0 ± 4,1 12,9 ± 2,9 13,4 ± 5,4
Wonosari 26,75 ±3,3 24,7 ± 3,9 20,6 ± 8,8 17,5 ± 5,1
rata-rata 25,0 ± 3,7 24 ± 4,1 17,2 ± 7,6 17,2 ± 6,5
>PI2 Singosari 25,8 ± 4,0 30 ± 4 25,9 ± 4,0 27 ± 3 20,4 ± 5,9 23 ± 5 16,1 ± 5,7 14 ± 5
Tumpang 22,0 ± 1,4 22,5 ± 4,1 16,0 ± 14,1 12,9 ± 4,6
Wonosari 33,5 ± 9,9 26,5 ± 4,2 25,8 ± 6,8 18.9 ± 6,5
rata-rata 27,4 ± 7,0 25,1 ± 4,4 21,3 ± 7,5 16,4 ± 6,2
36
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa panjang
telinga kambing jantan dan betina di Kabupaten Malang
menunjukkan hasil yang cenderung lebih rendah terhadap
kriteria SNI. Ukuran panjang telinga kambing jantan
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kambing betina dan menunjukkan tren meningkat pada setiap
kelompok umur yang berbeda. Kambing jantan di Kecamatan
Wonosari kelompok umur PI1 dan lebih dari PI2 serta kambing
betina pada Kecamatan Singosari kelompok umur PI1
menunjukkan hasil yang sesuai terhadap kriteria SNI. Hal ini
diduga terjadi karena perkawinan acak yang dilakukan
peternak pada lokasi peneliian menimbulkan komposisi darah
anakan yang dihasilkan tidak jelas. Hasil analisis statistik
panjang telinga menunjukkan bahwa perbandingan lokasi
tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap panjang telinga pada
Kecamatan Singosari - Wonosari dan menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01) pada perbandingan lokasi lainnya.
Panjang telinga erat kaitannya dengan pengaruh genetik,
dimana tetua dari kambing Peranakan Etawa adalah kambing
Etawa yang memiliki karakter dengan bentuk telinga yang
panjang. Chacón, Macedo, Velázquez, Paiva, Pineda and
Manus (2011) menyebutkan bahwa perbedaan bentuk dan
karakter telinga dipengaruhi oleh faktor genetik yang
merupakan penciri utama pada sebagian spesies. Hasil anakan
yang memiliki komposisi darah yang berbeda dapat
menyebabkan perbedaan bentuk dan ukuran telinga yang
berbeda pula.
37
Panjang rewos kambing Peranakan Etawa jantan dan
betina pada Kecamatan Singosari dan Wonosari menunjukkan
hasil yang cenderung sesuai dengan kriteria bibit menurut SNI.
Ukuran Panjang rewos kambing jantan menunjukkan hasil
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing betina dan
menunjukkan tren meningkat pada setiap kelompok umur yang
berbeda. Kambing di Kecamatan Singosari kelompok umur
lebih dari PI2 dan pada Kecamatan Tumpang seluruh
kelompok umur menunjukkan hasil yang cenderung lebih
rendah dibandingkan kriteria bibit menurut SNI. Pada kaming
betina, ukuran panjang rewos menunjukkan hasil yang
cenderung sesuai dengan kriteria bibit SNI, namun pada
Kecamatan Tumpang kelompok umur PI1 dan lebih dari PI2
menunjukkan hasil yang cenderung lebih rendah. Secara
umum rata-rata panjang rewos di Kabupaten Malang sesuai
dengan kriteria SNI, terkecuali pada ternak jantan kelompok
umur lebih dari PI2. Perbedaan ukuran panjang rewos pada
kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang terjadi
karena adanya perbedaan kualitas genetik indukan. Hasil
analisis statistik panjang rewos menunjukkan bahwa
perbandingan lokasi berbeda nyata (P<0,05) pada Kecamatan
Singosari - Wonosari dan menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01) pada perbandingan lokasi lainnya. Panjang
rewos sama halnya dengan panjang telinga, dimana
karakteristiknya dipengaruhi oleh genetik indukan. Khan,
Abbas, Ayaz, Naeem, Akhter and Soomro (2012)
menyebutkan bahwa genetik dan lingkungan merupakan faktor
utama yang mempengaruhi tampilan rambut pada ternak baik
warna ataupun ukurannya. Taherpour, Salehi and Mirzaei
(2012) menambahkan bahwa pada ternak jantan menunjukkan
ukuran rambut lebih panjang dibandingkan ternak betina, hal
38
ini berbanding lurus dengan ukuran tubuh ternak jantan yang
lebih besar dibandingkan ternak betina.
4.3 Karakteristik Kualitatif Kambing Peranakan Etawa
Hasil pengamatan karakteristik kualitatif kambing
Peranakan Etawa yang terdiri dari pola warna, profil muka,
bentuk telinga dan tanduk dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Data karakteristik kualitatif POLA WARNA
%
PROFIL MUKA
%
BENTUK
TELINGA
%
TANDUK
%
PH PC LAIN CEM
BUNG
DATAR MELI
PAT
MELE
BAR
ADA TIDAK
Kab.
MALANG
49,3 20 30,8 100 0 52,1 47,9 100 0
SINGOSARI 62 19,7 18,3 100 0 56,3 43,7 100 0
TUMPANG 25 21,4 53,6 100 0 14,3 85,7 100 0
WONOSARI 58 19,1 22,9 100 0 74,1 25,9 100 0
Keterangan: PH: putih hitam, PC: putih cokelat
Pola warna putih hitam lebih dominan pada ketiga
lokasi penelitian dengan persentase Kecamatan Singosari
sebesar 61,9 %, Kecamatan Tumpang sebesar 25%, dan pada
Kecamatan Wonosari sebesar 58 %. Secara umum pola warna
yang dominan di Kabupaten Malang adalah putih hitam
dengan persentase 49,3 %. Berdasarkan ketentuan pola warna
menurut SNI pada masing-masing lokasi penelitian terdapat
pola warna yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pada
Kecamatan Singosari terdapat 18,3 % yang tidak sesuai
dengan ketentuan SNI, sedangkan pada Kecamatan Tumpang
sebesar 53,6 % dan pada Kecamatan Wonosari sebesar 22,9
%. Ketentuan standar pola warna menurut SNI yang dapat
39
digunakan sebagai bibit adalah kombinasi warna putih hitam
dan putih coklat.
Perbedaan pola warna pada tiga lokasi penelitian diduga
terjadi karena perbedaan bibit yang dimiliki peternak. Hasil
wawancara dengan peternak menyebutkan bahwa mayoritas
peternak pada tiga lokasi penelitian lebih menyukai pola
warna putih dengan kombinasi kepala berwarna hitam. Hal ini
sesuai dengan Budiarsana dan I-ketut (2007) bahwa mayoritas
kambing Peranakan Etawa memiliki kombinasi warna putih
hitam atau putih coklat, namun demikian kambing warna
dominan putih dengan kepala hitam banyak disukai dan
mempunyai harga yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa di
Kabupaten Malang bentuk telinga melipat sebesar 52,1 % dan
bentuk telinga melebar sebesar 47,9 %. Bentuk telinga pada
masing-masing lokasi penelitian adalah Kecamatan Singosari
dan Kecamatan Wonosari mayoritas melipat dengan
persentase Kecamatan Singosari sebesar 56,3 % dan pada
Kecamatan Wonosari sebesar 74,1 %. Sedangkan pada
Kecamatan Tumpang bentuk telinga didominasi oleh bentuk
melebar dengan persentase sebesar 85,7 %. Hal ini sesuai
dengan SK Menteri Pertanian (2013), bahwa bentuk telinga
kambing Peranakan Etawa adalah panjang dan terkulai. Hasil
pengamatan juga menunjukkan kesesuaian dengan standar
persyaratan bibit menurut SNI bahwa kambing Peranakan
Etawa harus memiliki bentuk telinga yang panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa kambing pada tiga lokasi penelitian
sesuai dengan standar bibit ditinjau dari bentuk telinga.
Profil muka kambing di Kabupaten Malang
menunjukkan keseragaman bentuk profil muka. Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui bahwa bentuk profil muka
40
cembung seragam dengan persentase 100 %. Hasil
pengamatan tersebut sesuai dengan Adiati dan Priyanto
(2011), bahwa 100 % profil muka kambing Peranakan Etawa
yang diamati sebanyak 290 ekor memiliki profil muka
cembung. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa
kambing Peranakan Etawa pada tiga lokasi penelitian 100 %
memiliki tanduk. Hal ini sesuai dengan pendapat Katsumata,
Amano, Suzuki, Nozawa, Harimurti, Abdulgani, and Nadjib
(1981) bahwa frekuensi kambing yang bertanduk pada lokasi
lain di Indonesia (Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, Bali, dan Madura) berkisar antara 80% - 100%. Profil
muka cembung dan bertanduk merupakan ciri utama pada
kambing Peranakan Etawa. Hal ini disebabkan karena
kambing Peranakan Etawa merupakan hasil persilangan
Kambing Kacang dengan Kambing Etawa dimana ciri-ciri
utama kambing Peranakan Etawa lebih mirip dengan Kambing
Etawa.
4.4 Tingkat Kemiripan Terhadap SNI Bibit Kambing
Peranakan Etawa
Data koefisien matrik hasil karakterisasi kambing
Peranakan Etawa di Kabupaten Malang disajikan pada Tabel
8.
Tabel 8. Koefisien matrik
PB LD TB BB PT PR PWR PM BT T
SNI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Malang 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Singosari 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1
Tumpang 1 0 1 0 0 1 0 1 1 1
Wonosari 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
41
Berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada
tiga lokasi penelitian karakteristik fenotip kambing Peranakan
Etawa yang sudah dikarakterisasi dianalisis menggunakan
program NTSYS-pc sehingga didapatkan hasil diagram
dendogram yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Dendogram
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa tingkat
kemiripan kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang
sebesar 100 % terhadap standar bibit menurut SNI. Kambing
pada Kecamatan Wonosari menunjukkan kemiripan yang
paling besar dengan nilai kemiripan sebesar 100 %
dibandingkan dengan dua kecamatan yang lainnya. Kecamatan
Singosari memiliki nilai kemiripan sebesar 90,01 %,
sedangkan Kecamatan Tumpang memiliki tingkat kemiripan
yang paling jauh sebesar 57 %. Adanya perbedaan nilai
kemiripan fenotip kambing Peranakan Etawa yang signifikan
diduga disebabkan perbedaan bibit dan pola pemeliharaan
Coefficient
0.57 0.68 0.79 0.89 1.00
SNI
Malang
Wonosari
Singosari
Tumpang
42
yang berbeda pada setiap kecamatan. Trifena, Gede dan
Hartatik (2011) menyebutkan bahwa sifat fenotip sangat
dipengaruhi oleh lingkungan diantaranya dari segi manajemen
pemeliharaan dan pemberian pakan yang bebeda.
Berdasarkan hasil analisis kemiripan menggunakan
program NTSYS-pc Exeter Software versi 2.02 dapat
diketahui bahwa kambing yang ada di Kecamatan Singosari
dan Kecamatan Wonosari masih memenuhi standar bibit
kambing Peranakan Etawa berdasarkan ketentuan SNI yang
meliputi sifat kualitatif dan kuantitatif, namun kambing pada
Kecamatan Tumpang belum memenuhi standar bibit sesuai
ketentuan SNI. Nurmiyati, Sugiyarto dan Sajidan (2010),
menyebutkan bahwa jarak kemiripan dapat dikatakan jauh
apabila kurang dari 0.60 atau 60 %. Sehingga kelompok-
kelompok yang terpisah pada jarak 0.65 atau 65 % sebenarnya
masih memiliki kemiripan yang dekat.
Pola perkawinan yang dilakukan peternak adalah
dengan pejantan yang dimiliki sendiri atau mengawinkan
dengan pejantan milik peternak lain. Berdasarkan pengamatan
pada saat penelitian diketahui bahwa sebagian besar peternak
hanya memiliki 1-2 ekor ternak jantan yang digunakan sebagai
pejantan. Ternak yang digunakan sebagai pejantan dihasilkan
dari anakan induk yang dinilai memiliki potensi performa
yang bagus. Pejantan tersebut digunakan untuk mengawini
betina-betina yang dimiliki oleh peternak sehingga hampir
dapat dipastikan terjadi perkawinan inbreeding. Lawrance and
Fowler (2002) menyebutkan bahwa inbreeding memberikan
dampak negatif seperti tingginya angka mortalitas post partus
dan pertumbuhan tidak normal yang merupakan dampak
pengaturan genetik yang tidak normal didalam uterus. Fatah,
Gunardi, dan Mudikdjo (2012) menambahkan bahwa
43
rendahnya rata-rata pertambahan bobot badan harian
disebabkan oleh penurunan kualitas genetik akibat perkawinan
yang tidak terkontrol di masyarakat peternak.
Perbedaan kemiripan muncul sebagai akibat dari
diferensiasi pada sisi ukuran statistik vital. Diferensiasi ini
diduga terjadi karena adanya perbedaan performans genetik
indukan pada setiap lokasi penelitian. Peternak pada
Kecamatan Tumpang mendapatkan indukan dan pejantan dari
anakan yang dihasilkan dari ternak yang dipelihara sendiri
atau membeli dari pasar hewan terdekat. Berbeda dengan
peternak Kecamatan Singoari dan Kecamatan Wonosari yang
berupaya memperbaiki kualitas genetik kambing yang
dimilikinya dengan mendatangkan bibit dari daerah lain.
Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan ukuran
staistik vital pada tiga lokasi penelitian yaitu dari tujuan
pemeliharaan. Kambing di Kecamatan Tumpang hanya
difungsikan sebagai usaha sampingan, sehingga kualitas bibit
yang digunakan kurang diperhatikan dengan baik. Berbeda
dengan Kecamatan Singosari dan Kecamatan Wonosari
dimana peternak sangat memperhatikan kualitas bibit.
Meskipun sebagian besar peternak belum memfungsikan
ternak kambing sebagai usaha utama, namun demikian
peternak di kedua lokasi penelitian tersebut sangat peduli
terhadap kualitas bibit kambing yang dimilikinya. Hal ini
sesuai dengan Munier dan Sarashutha (2004) yang
menyebutkan bahwa pemeliharaan ternak kambing sebagian
besar pada peternakan rakyat sebagai tabungan dan setiap saat
dapat dijual apabila membutuhkan uang serta untuk keperluan
hajatan dan untuk keperluan lainnya.
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa kambing Peranakan Etawa di Kabupaten Malang
memiliki pola warna putih hitam, profil muka cembung,
bentuk telinga panjang melipat dan bertanduk serta memiliki
tingkat kemiripan terhadap kriteria standar bibit SNI sebesar
100 % ditinjau dari sifat kuantitatif dan kualitatif.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan perbaikan
recording dan seleksi terhadap kambing Peranakan Etawa
dalam upaya peningkatan performans serta perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai kedekatannya
dengan analisis melalui pengamatan genetik dan DNA.
45
DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U. dan D. Priyanto. 2011. Karakteristik Morfologi
Kambing PE di Dua Lokasi Sumber Bibit. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 472 –
478.
Apriliast, M. 2007. Penampilan Reproduksi Kambing
Peranakan Ettawa (PE) Ras Kaligesing. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Asmara, Y., Sulastri, Dan A. Harris. 2012. Seleksi Induk
Kambing Peranakan Etawa Berdasarkan Nilai Indeks
Produktivitas Induk Di Kecamatan Metro Selatan Kota
Metro. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung. 5-9.
Astuti, M., M. Bell, P. Sitorus and G. E. Bradford. 1984. The
Impact Of Altitude On Sheep and Goat Production.
Working Paper No. 30. SR-CRSP/Balitnak, Bogor.
Badan Standard Nasional. 2008. Bibit Kambing Peranakaan
Ettawa. SNI 7325:2008. Badan Standard Nasional.
Batubara, A., R. R. Noor, A. Farajallah, B. Tiesnamurti dan
M. Dolosaribu. 2011. Karakterisasi Molekuler Enam
Subpopulasi Kambing Lokal Indonesia berdasarkan
Analisis Sekuen Daerah D-loop DNA Mitokondria.
Jitv 16(1): 49-60.
Budi, S. 2005. Pengaruh Interval Pemerahan terhadap
Aktivitas Seksual Setelah Beranak Pada Kambing
Peranakan Ettawa. Departemen Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Jurnal
Agribisnis Peternakan. 1(2).
46
Budiarsana dan I-Ketut, S. 2007. Karakteristik Produktivitas
Kambing Peranakan Ettawa. Balai Penelitian Ternak
Bogor.
Bustamam, M., dan Mahrup. 2003. Panduan Pengoperasian
Program Numerical Taxonomy System (NTSYS-Pc)
Versi 1,8 dan Winboot Untuk Analisis Klaster. Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. ISBN 979-956-27-7-5
Cahayaningrum, D.G., I. Yulianah, dan Kuswanto. 2014.
Interaksi Genotipe Lingkungan Galur-Galur Harapan
Kacang Panjang(Vigna sesquipedalis L. Fruwirth)
Berpolong Ungu di Dua. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Jurnal Produksi Tanaman. 2(5)
: 304-411.
Chacón, E., F. Macedo, F. Velázquez, S. Rezende Paiva, E.
Pineda and C. McManus. 2011. Morphological
measurements and body indices for Cuban Creole
Goats and Their Crossbreds. R. Bras. Zootec., v.40,
n.8, p.1671-1679.
Dajan, A. 1986. Pengantar metode statistik jilid II. LP3ES :
Jakarta
Dinas Peternakan Kabupaten Malang. 2015. Data populasi
ternak 2015. Dinas Peternakan Kabupaten Malang.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. 2016. Data Statistik
Populasi Ternak Kab/Kota Di Jawa Timur.
Disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/datastistik.
Diakses pada 20 Oktober 2016 pukul 09:14.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
47
Ditjennak. 2007. Kebijakan Pengembangan Ternak Kambing
dalam Upaya Pemenuhan Kuota Ekspor Ke Timur
Tengah. Semiloka Pengembangan Kambing Boerawa.
Direktorat Perbibitan, Ditjen Peternakan, Departemen
Pertanian.
Fatah, M.W., E. Gunardi dan K. Mudikdjo. 2012. Produktifitas
Sapi Peranakan Ongole pada Peternakan Rakyat di
Kabupaten Sumedang. J. Ilmu Ternak. 12(2) : 22-25.
Hartati, Sumadi, Subandriyo dan T. Hartatik. 2010.
Keragaman Morfologi dan Diferensiasi Genetik Sapi
Peranakan Ongole di Peternakan Rakyat. JITV 15(1) :
72-80.
Ihsan, M. N. 2011. Inseminasi Buatan Pada Kambing. CV.
Diaspora Publisher : Malang.
Ilham, F. 2012. Keragaman Fenotipe Kambing Lokal Di
Kabupaten Bone Bolango. Laporan Penelitian Dasar
Keilmuan Dana PNBP Tahun Anggaran 2012.
Karima, F. M., S. Y. M. Kalakili, L. M. Salem, S. H. Abd. El-
Aziem, and A. El-Hanafi. 2013. Genetic diversity in
Egyptian and saudi goar breed using microsatelite
markers. Journal of biosciences. 72:5838-5945.
Katsumata, M., S. Amano, Suzuki, K. Nozawa, M. Harimurti,
I. K. Abdulgani, and Nadjib. 1981. Morphological
Characters and Blood Protein Gene Constitution of
Indonesian Goats. The Res Group of Oversease Sci.
Survey, Japan.
Khan, M. J., A. Abbas, M. Ayaz, M. Naeem, M. S. Akhter
and M. H. Soomro. 2012. Factors Affecting Wool
Quality and Quantity In Sheep. African Journal of
Biotechnology. 11(73) : 13761-13766.
48
Kusrini, E., L. Emmawati dan W. Hadie. 2010. Variasi
Fenotip Udang Galah (Macrobrachium Rosenbergii)
dari Perairan Pelabuhan Ratu, Karawang, dan Bone.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010.
547-551.
Lawrance, T.L.J. and V. R. Fowler. 2002. Growth Of Farm
Animal. Second Edition. Cromwell Press. United
Kingdom.
Mahmila, F. dan M. Doloksaribu. 2010. Keunggulan Relatif
Anak Hasil Persilangan Antara Kambing Boer dengan
Kacang pada Periode Prasapih. Loka Penelitian
Kambing Potong Sungei Putih Galang. JITV 15(2) :
124-130.
Makka, D. 2004. Tantangan dan Peluang Pengembangan
Agribisnis Kambing Ditinjau dari Aspek Pewilayahan
Sentra Produksi. Pros. Lokakarya Nasional Kambing
Potong. Puslitbang Peternakan dan Loka Penelitian
Kambing Potong. 3 – 14.
Martawidjaja, M., B. Setiadi, D.Yulistiani, D. Priyanto dan
Kuswandi. 2002. Pengaruh Pemberian Konsentrat
Protein Tinggi dan Rendah Terhadap Penampilan
Kambing Jantan Kacang dan Persilangan Boer.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. 194-197.
Menteri Pertanian. 2013. Penetapan Rumpun Kambing
Peraanakan Etawah. Nomor 695/kpts/PD.410/2/2013.
Muhsis A. 2007. Peran Kelompok Peternak dan Prospek
Usaha Penggemukan Sapi Potong. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 17-20.
49
Munier, F.F., Dan I.G.P. Sarasutha. 2004. Sistem
Pemeliharaan Ternak Kambing di Lembah Palu
Sulawesi Tengah. Lokakarya Nasional Kambing
Potong. 171-177.
Nasution, I., T. Wardiyati, and M. Nawawi. 2014. Manggo
Flower Characterization (Mangivera Indica) As The
Result Of Crossing Between Arumain-1 43 And
Podang Urang. Jurnal Produksi Tanaman. 2(2):180-
189.
Ni’am, H.U.M., A. Purnomoadi dan S. Dartosukarno. 2012.
Hubungan Antara Ukuran-Ukuran Tubuh dengan
Bobot Badan Sapi Bali Betina pada Berbagai
Kelompok Umur. Animal Agriculture Journal. 1(1) :
541 – 556.
Nurmiyati, Sugiyarto, dan Sajidan. 2010. Karakteristik Kimpul
(Xanthosoma Spp) Berdasarkan Karakteristik
Morfologi dan Analisis Isozim. Seminar Nasional
Pendidikan Biologi FKIP UNS.
Pamungkas, D. 1996. Karakteristik Usaha Pemeliharaan
Domba Ekor Gemuk di Daerah Sentra Bibit Pedesaan
di Jawa Timur. Puslitbangnak. Badan Penelitian
Pengembangan Pertanian.
Pamungkas, F. A., A. Batubara, M. Doloksaribu, dan E. Sihite.
2009. Petunjuk Teknis Potensi Plasma Nutfah
Kambing Lokal di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Bogor.
Parasmawati F., Suyadi, dan S. Wahyuningsih. 2012.
Performan Reproduksi pada Persilangan Kambing
Boer dan Peranakan Ettawa (PE). Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 23(1) : 11–17.
50
Pasaribu, E. S., Sauland, dan Dudi. 2015. Identifikasi Sifat
Kualitatif dan Kuantitatif Babi Lokal Dewasa di
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumetera Utara.
Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran.
Pemerintah Kabupaten Malang. 2016. Selayang Pandang.
http://www.malangkab.go.id/site/read/detail/79/selaya
ng-pandang.html. Diakses pada 13 Januari 2017 pukul
21:55.
Praharani, L., E. Juarini, dan I. G. M. Budiarsana. 2009.
Parameter Indikator Inbreeding Rate pada Populasi
Ternak Kerbau di Kabupaten Lebak. Seminar dan
Lokakarya Nasional Kerbau. 93-99.
Pribadi, L. W., S. Maylinda, M. Nasich and Suyadi. 2015.
Reproduction Efficiency Of Bali Cattle It’s Crosses
By Simmental Breed In The Lowland and Highland
Areas Of West Nusa Tenggara Province, Indonesia.
Livestock Research For Rural Development. 27(2):1-
11.
Rasminati, S. 2013. Grade Kambing Peranakan Ettawa pada
Kondisi Wilayah yang Berbeda. Program Studi
Petenakan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu
Buana Yogyakarta. Sains Peternakan. 11(1) : 43-48.
Sadi, R. 2014. Performans Kambing Maarica dan Kambing
Peranakan Ettawa (PE) Betina yang Dipelihara Secara
Intensif. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanudin.
Santika, M. A. W., M. A. W. Dharma, S. T. Dewi, Dan I. N.
K. Widjaja. 2010. Analisis Karakteristik Kromatogram
Senyawa Aktif Tablet Ektasi dengan Metode HPTLC-
Spektrofotodensitometri. IPTEKMA. 2(1) : 01-04.
51
Seftiarini, N. 2011. Studi Komparasi Pengelolaan Peternakan
Kambing Peranakan Ettawa (PE) di Dusun
Nganggring dan Dusun Kebonan di Kabupaten
Sleman. Skripsi. Program Studi Pendidikan Geografi
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Soeroso. 2004. Performans Kambing Berdasarkan Sifat
Kuantitatif dan Kualitatif. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip Dan Prosedur
Statitika. Edisi Kedua. Alih Bahasa Oleh B. Sumantri.
Gramedia Pustaka Umum : Jakarta.
Subandriyo, B. Setiadi, E. Handiwirawan, dan A. Suparyanto.
2000. Performa Domba Komposit Hasil Persilangan
Antara Domba Lokal Sumatera Dengan Domba
Rambut pada Kondisi Dikandangkan. Balai Penelitian
Ternak. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 5 No. 2
Th. 2000.
Subandryo. 2004. Strategi Pemanfaatan Plasma Nuftah
Kambing Lokal dan Peningkatan Mutu Genetik
Kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional
Kambing Potong. Puslitbang Peternakan. Bogor 39-
50.
Subekti, K. dan F. Arlina. 2011. Karakteristik Genetik
Eksternal Ayam Kampung di Kecamatan Sungai Pagu
Kabupaten Solok Selatan. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan November. XIV(2).
Sulaksana, I. 2008. Pertumbuhan Anak Kambing Peranakan
Etawah (PE) Sampai Umur 6 Bulan Di Pedesaan.
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. XI(3). 112-117.
52
Supartini, N. dan H. Darmawan. 2014. Profil Genetik dan
Peternak Sapi Peranakan Ongole Sebagai Strategi
Dasar Pengembangan Desa Pusat Bibit Ternak.
Fakultas Pertanian Universitas Tribuwana
Tunggadewi. Buana Sains. 14(1): 71-84.
Sutedjo, M.M. dan Kartasapoetra, A.G. 2005. Pengantar Ilmu
Tanah TerbentuknyaTanah dan Tanah Pertanian.
Jakarta:Rineka Cipta.
Taherpour, N., M. Salehi and F. Mirzaei. 2012. Evaluation
certain environment factors on wool characteristics of
Arabi sheep breeds. Open Journal of Animal Sciences.
Vol.2, No.1, 11-14.
Trifena, I. S. B. G. Dan T. Hartutik. 2011. Perubahan Fenotip
Sapi Peranakan Ongole, Simpo dan Limpo pada
Keturunan Pertama dan Keturunan Kedua
(Backcross). Prosiding Buletin Peternakan. 35 (1) : 11-
16.
Trisnadewi, A. A. A. S, I. G. L. O. Cakra, I. M. Mudita, I. W.
Wirawan, E. Puspani, dan I. K. M. Budiasa. 2013.
Aplikasi Formulasi Ransum dengan Menggunakan
Hijauan Leguminosa Sebagai Pakan Dasar
Penyusunan Ransum Sapi di Desa Jungutan
Kabupaten Karangasem. Udayana Mengabdi. 12(1):
35 – 37.
Triwulaningsih, E., Subandriyo, P. Situmorang, T. Sugiarti, R.
G. Sianturi, D. A. Kusumaningrum, I. G. Putu, P.
Sitepu, T. Panggabean, P. Mahyudin, Zulbardi, S. B.
Siregar, U.Kusnadi, C. Thalib, A. R. Siregar. 2005.
Data Base Kerbau di Indonesia. Laporan Penelitian.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.
53
Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W. Hardjonosubroto. 1990.
Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Wibowo, P.A., T. Y. Astuti, Dan P. Soediarto. 2013. Kajian
Total Solid (TS) Dan Solid Non Fat (SNF) Susu
Kambing Peranakan Ettawa (PE) Pada Satu Periode
Laktasi. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):214-221.
Wiharto, M. 2013. Analisis Kluster Menggunakan Bahasa
Pemrograman R Untuk Kajian Ekologi. 2 (14) : 73 –
79.
Wijaya, A., Susantidiana, B. Lakitan , M. Surahman. 2009.
Identifikasi beberapa aksesi jarak pagar (Jatropha
curcas L.) melalui analisis RAPD dan marka
morfologi. J Agron Indonesia. 37(2):167-173.
Yamane, Taro. 1967. Statistics: An Introductory Analysis, 2nd
Ed., New York: Harper and Row.
Yitnosumarto, S.1990. Dasar-dasar Statistika. Rajawali :
Jakarta.
Yulistiani D., B. Setiadi, dan Subandriyo. 1997. Jenis dan
Komposisi Kimia Hijauan Pakan Ternak Domba di
Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Semarang.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 615 –
619.