PERBEDAAN TINGKAT PERKEMBANGAN ANAK USIA 2 – 3 TAHUN YANG TIDAK
MENGIKUTI AKTIVITAS BERMAIN DAN YANG MENGIKUTI AKTIVITAS BERMAIN
PLAYGROUP DI KELURAHAN SIDOHARJO KECAMATAN LAMONGAN
Ni Luh Putu Eka*, Onggung Napitupulu**, Dwi Meilya Indrawati ***
ABSTRAK
Aktivitas bermain dalam tahap perkembangan anak usia 2-3 tahun merupakan suatu kebutuhan sebagaimana kebutuhan laiinya. Aktivitas bermain dapat dilakukan di rumah ataupun di sekolah (seperti playgroup). Namun banyak ditemukan aank yang kurang mendapatkan pemenuhan kebutuhan bermain, sehingga masa tumbuh kembangnya mengalami keterlambatan. Usia 2-3 tahun merupakan periode keemasan dalam perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat perkembangan anak usia 2-3 tahun yang tidak mengikuti dan yang mengikuti aktivitas bermain playgroup di Kelurahan Sidoharjo Kecamatan Lamongan. Metode penelitian yang digunakan analitik observasional melalui pendekatan cross sectional dengan menggunakan desain comparative studies. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah anak usia 2-3 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 15 anak yang mengikuti aktivitas bermain playgroup didapatkan 10 anak (67%) dengan tingkat perkembangan normal dan 5 anak (33%) dengan tingkat perkembangan abnormal. Sedangkan dari 15 anak yang tidak mengikuti aktivitas bermain playgroup didapatkan 8 anak (53%) dengan tingkat perkembangan normal dan 7 anak (47%) dengan tingkat perkembangan abnormal. Berdasarkan uji hipotesa dengan menggunakan Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% antara aktivitas bermain (tidak di playgroup dan di playgroup) dengan tingkat perkembangan didapatkan nilai p value adalah 0.456. sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat perkembangan anak usia 2-3 tahun yang tidak mengikuti dan yang mengikuti aktivitas bermain playgroup di Kelurahan Sidoharjo Kecamatan Lamongan. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar dipertimbangkan cara mengendalikan faktor perancu nisalnya tingkat pendidikan orang tua. Kata Kunci : Aktivitas Bermain, Playgroup, Tingkat Perkembangan, Anak Usia 2-3
Tahun
ABSTRACT
Play activities of child age 2-3 years development phase represent the same requirement as the other requirement. Play activities can do at home or at school (like playgroup). But many foun research that child who less get accomplishment of play requirement, so at their period of growing was late. Child age 2-3 years is a golden period of child development. The objective of this research is to determine there is or there is no difference of development level child age 2-3 years which not follow and following play activities at playgroup in sub-district of Sidoharjo district of Lamongan. An observational analytic method was used in this research with cross sectional approach with comparative studies design. Children taken as the sample in this research are those who in age 2-3 years. The result of this research was show that among 15 child which follow activities at playgroup, 10 children (67%) have normal development level anf 5 children (33%) have abnormal developmnet level. In the other hand, among 15 child which not follow play activities at playgroup, 8 children (53%) have normal development level and 7 children (47%) have abnormal development level. According to the hypothesis test using Chi Square test in level of convidence 95% between play activities (not in playgroup and in playgroup) with development level resulted in p value is 0.456. so it can be conclude that there is no difference of development level child age 2-3 years which not follow and following play activities at playgroup in sub-district of Sidoharjo district of Lamongan. Based on the result of this research, there is suggested to consider the way to manage counfounding factor like knowledge of child’s parents.
Key Word : Play Activities, Playgroup, Development Level, Child Age 2-3 Years
PENDAHULUAN Perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan kemamuan
(skill) fungsi tubuh yang lebih kompleks
dapal pola yang teratur dan dapat
diramalkan sebagai hasil dari prose
pematangan. Menyangkut adanya
proses deferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan system
organ yang berkembang sedemikian
rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya. Termasuk
perkembangan emosi, intelektual dan
tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya (Soetjiningsih,
1995).
Menurut Kasubbag Neurologi
Anak Fakultas Kedokteran UI-RSCM Dr
Hardiono Pusponegeoro SpA (K)
Jakarta, setiap dua dari 1.000 bayi
mengalami gangguan perkembangan
motorik dan 3-6 bayi dari 1.000 bayi
juga mengalami gangguan pendengaran
serta satu dari 100 anak mempunyai
kecerdasan kurang dan kelambatan
bicara. Diharapkan para ibu
memberikan ASI dan nutrisi yang cukup
baik pada anak usia 0-2 tahun agar
dapat mencegah gangguan syaraf dan
otak serta memberikan stimulus pada
anak agar perkembangan keceerdasan
dan psikomotorik normal (Depkes,
2006).
Salah satu cara untuk mencegah
terjadinya gangguan perkembangan
anak adalah dengan memberikan
stimulus pada anak sejak usia dini.
Stimulus terhadap perkembangan paling
efekif diberikan pada usia sebelum 3
tahun. Karena stimulus yang diberikan
secara berulang-ulang pada usia
sebelum 3 tahun akan membentuk
koneksi (sambungan antarsel) menjadi
permanen.
Tahap perkembangan anak usia
2-3 tahun yang meliputi perkembangan
motorik kasar, halus, bahasa dan sosial
mengalami perkembangan yang pesat,
sehingga masa ini berada dalam
periode yang disebut sebagai “The
Golden Years” (Colson, 2005). Tingkat
perkembangan dapat diukur dengan
menggunakan skala ukur DDST II dan
hasilnya dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu normal, abnormal dan
meragukan.
Salah satu cara memberikan
stimulus bagi perkembangan anak
adalah melalui aktivitas bermain. Hal ini
sesuai dengan tahap perkembangan
anak usia 2-3 tahun dimana bermain
merupakan suatu kebutuhan
sebagaimana kebutuhan lainnya seperti
halnya makan dan istirahat (Hidayat,
2004). Aktivitas bermain dapat
dilakukan di rumah ataupun sekolah. Di
rumah, aktivitas bermain bagi anak usia
2-3 tahun sering kali kurang
mendapatkan perhatian dari orang tua.
Alasan yang sering muncul adalah
keterbatasan waktu orang tua,
kurangnya pengetahuan orang tua
tentang betapa pentingnya stimulus
perkembangan melalui permainan
ataupun tentang permainan yang sesuai
dengan tahap perkembangan anak.
Untuk itu banyak orang tua yang lebih
memilih memasukkan anak mereka ke
dalam kelompok-kelompok bermain
(playgroup), dengan tujuan agar
kebutuhan anak bisa terpenuhi dan
untuk merangsang perkembangan anak
(Rosidah, 2003).
Playgroup merupakan salah satu
bentuk satuan PAUD (Pendidikan Anak
Usia Dini) yaitu suatu upaya pembinaan
bagi anak sejak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut. Di
dalam playgroup, anak diberi
kebebasan untuk memilih aktivitas dan
materi yang sesuai dengan fisik alamiah
dan pekembangan fisiologisnya di
bawah pengawasan dan pembimbingan
guru. Aktivitas yang dilakukan di dalam
playgroup dibuat sesuai dengan tahap
perkembangan anak seusianya
(Supriadi, 2005).
Di Carolina Utara terdapat suatu
penelitian tentang anak usia 3 tahun
yang diletakkan di pusat rawat siang
pendidikan. Dari penelitian tersebut
didapatkan bahwa IQ anak yang
diletakkan di pusat rawat siang
pendidikan lebih tinggi daripada yang
diasuh di rumah (Santrock, 1995).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dengan adanya stimulasi
perkembangan yang dilakukan sejak
dini secara intensif dapat memberikan
dampak pada perkembangan anak.
Berdasarkan studi pendahuluan
di Kelurahan Sidoharjo Kecamatan
Lamongan didapatkan data yang
menunjukkan adanya 54 anak usia 2-3
tahun dan 16 anak usia 2-3 tahun yang
mengikuti aktivitas bermain playgroup.
Dalam playgroup anak melakukan
aktivitas bermain yang sudah diatur dan
diawasi oleh guru mereka. Sedangkan
pada anak yang tidak mengikuti aktivitas
bermain di playgroup, mereka
melakukan permainan sesuka mereka
tanpa adanya perhatian khusus dari
orang tua.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk meneliti tentang
perbedaan tingkat perkembangan anak
usia 2-3 tahun yang tidak mengikuti dan
yang mengikuti aktivitas bermain
playgroup di Kelurahan Sidoharjo
Kecamatan Lamongan.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan
bersifat deskriptif analitik observasional
melalui pendekatan cross sectional
dengan menggunakan desain
comparative studies. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu
lembar kuesioner yang digunakan untuk
mendata variabel independen (anak
yang tidak mengikuti dan yang
mengikuti aktivitas bermain playgroup)
dan lembar DDST II yang digunakan
untuk mengeksplorasi variabel
dependen (tingkat perkembangan
anak). Penelitian ini dilakukan di
Kelurahan Sidoharjo Kecamatan
Lamongan
HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1.1.1 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Usia
No Usia anak Frekuensi Prosentase
1 24-30 bulan 14 47%
2 31-36 bulan 16 53%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.1.2 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Karakteristik Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase
1 Laki-laki 18 60%
2 Perempuan 12 40%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.1.3 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Posisi Anak Dalam Keluarga
No Posisi anak Frekuensi Prosentase
1 Anak pertama yang
belum punya adik
12 40%
2 Anak pertama
punya adik
7 23%
3 Anak terakhir 11 37%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.1.4 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
(Khususnya Ibu)
No Pendidikan orang tua
Frekuensi Prosentase
1 SD 1 3%
2 SLTP 1 3%
3 SMA 13 43%
4 D1 1 3%
5 D3 5 17%
6 S1 9 30%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.1.5 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua (Khususnya
Ibu)
No Pekerjaan orang tua
Frekuensi Prosentase
1 Pedagang/penjual
makanan
12 40%
2 PNS/Swasta
(kantoran)
8 26%
3 Ibu RT 6 20%
4 Guru 3 10%
5 Penjahit 1 3%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.1.6 Distribusi Frekuensi Anak Berdasarkan Pengasuh Anak di Rumah
No Pengasuh anak di rumah
Frekuensi Prosentase
1 Ibu 14 47%
2 Selain ibu 16 53%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.2.1
No Aktivitas bermain Frekuensi Prosentase
1 Di rumah 15 50%
2 Di playgroup 15 50%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
Tabel 5.1.2.2 Tingkat Perkembangan Anak
No Tingkat Perkembangan Anak Frekuensi Prosentase
1 Normal 18 60%
2 Abnormal 12 40%
Jumlah 30 100%
Sumber : hasil observasi, indrawati, dm, 2007
.
Tabel 5.2.1 Tabel Silang Aktivitas bermain dengan Tingkat Perkembangan Anak Usia
Tingkat Perkembangan Anak Aktivitas bermain
Normal Abnormal Jumlah
Di playgroup 10 5 15
Di rumah 8 7 15
Jumlah 18 12 30
Berdasarkan uji hipotesa dengan
menggunakan uji Chi-Square pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
didapatkan nilai p value adalah 0.456.
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaaan tingkat
perkembangan antara anak usia 2-3
tahun yang tidak mengikuti aktivitas
bermain dan yang mengikuti aktivitas
bermain playgroup di Kelurahan
Sidoharjo Kecamatan Lamongan.
PEMBAHASAN
Tahap perkembangan anak usia
2-3 tahun yang meliputi perkembangan
motorik kasar, halus, bahasa dan sosial
mengalami perkembangan yang pesat,
sehingga masa ini berada dalam
periode yang disebut sebagai “The
Golden Years” (Colson, 2005). Tingkat
perkembangan dapat diukur dengan
menggunakan skala ukur DDST II dan
hasilnya dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu normal, abnormal dan
meragukan.
Hasil penelitian ini adalah dari 15
anak yang tidak mengikuti aktivitas
bermain playgroup terdapat 12 anak
yang berjenis kelamin laki-laki dan 3
anak berjenis kelamin perempuan. Dari
12 anak laki-laki, 5 diantaranya
mempunyai tingkat perkembangan
abnormal dan dari 3 anak perempuan, 2
anak diantaranya mempunyai tingkat
perkembangan abnormal.
Hasil penelitian ini adalah dari 15
anak yang tidak mengikuti aktivitas
bermain playgroup terdapat 9 anak yang
berjenis kelamin laki-laki dan 6 anak
berjenis kelamin perempuan. Dari 9
anak laki-laki, 2 diantaranya mempunyai
tingkat perkembangannya abnormal dan
dari 6 anak perempuan, 3 anak
diantaranya mempunyai tingkat
perkembangannya abnormal.
Menurut Hurlock, 1997 jenis
kelamin akan mempengaruhi aktivitas
bermain anak. Dan aktivitas bermain
akan mempengaruhi perkembangan
anak. Anak perempuan akan lebih
sedikit melakukan permainan yang
menghabiskan energi jika dibandingkan
dengan anak laki-laki, misalnya
melempar bola, berlari-lari, melompat
jauh atau kegiatan fisik yang lain.
Perbedaan ini bukan berarti bahwa anak
perempuan kurang sehat dibandingkan
dengan anak laki-laki, melainkan
pandangan masyarakat bahwa anak
perempuan sebaiknya menjadi anak
yang lembut dan bertingkah laku yang
halus.
Hasil penelitian ini juga
didapatkan bahwa dai 15 anak yang
tidak mengikuti aktivitas bermain
playgroup terdapat 6 anak yang diasuh
oleh ibunya sendiri dan 9 anak yang
diasuh oleh selian ibu. Dari 6 anak yang
diasuh oleh ibunya sendiri, 2 anak
diantaranya mempunyai tingkat
perkembangan abnormal dan dari 9
anak yang diasuh oleh selain ibu, 5
diantaranya mempunyai tingkat
perkembangan abnormal. Pengasuh
anak merupakan salah satu faktor
postnatal (faktor psikososial) yang
mempengaruhi tingkat perkembangan
anak.
Hasil penelitian ini juga
didapatkan bahwa dai 15 anak yang
tidak mengikuti aktivitas bermain
playgroup terdapat 8 anak yang diasuh
oleh ibunya sendiri dan 7 anak yang
diasuh oleh selian ibu. Dari 8 anak yang
diasuh oleh ibunya sendiri, 1 anak
diantaranya mempunyai tingkat
perkembangan abnormal dan dari 7
anak yang diasuh oleh selain ibu, 4
diantaranya mempunyai tingkat
perkembangan abnormal.
Menurut Kartawijaya, 2007 anak
usia 2-3 tahun merupakan masa
pemberontakan. Sehingga yang
diperlukan untuk mengontrol
pemberontakan anak hanyalah ibu.
Tempat pengasuhan terbaik bagi anak
tetaplah ibu. Namun bagi ibu yang
memilih untuk bekerja, kesempatan
untuk memberikan pengasuhan terbaik
berkurang. Ibu yang bekerja tetap
menghadapi masalah yang sama yaitu
mereka harus meninggalkan anak-
anaknya dalam pengasuhan orang lain.
Pengasuh anak yang dipilih biasanya
adalah kakek-nenek, pembantu atau
baby sister. Tentu saja memilih
pengasuh anak bukan perkara mudah.
Akhirnya banyak ibu bekerja yang asal
saja memilih pengasuh dan tidak dapat
menjadikannya partner yang baik dalam
proses pengasuhan anaknya. Belum
lagio tenaga dan pikiran ibu bekerja
yang sudah terkuras di tempat kerja.
Waktu luang ibu bekerja akhirnya
digunakan untuk beristirahat, dan ibu
tidak lagi menghiraukan anak-anaknya.
Selain itu ibu bekerja kerap memiliki
perasaan bersalah berlebihan lantaran
menitipkan anaknya pada orang lain.
Akhirnya perasaan bersalah tersebut
malah mengakibatkan cara pengasuhan
yang salah contohnya terlalu
memanjakan anak. Selain itu
meninggalkan anak dalam pengasuhan
orang lain juga menimbulkan
kekhawatiran tentang tumbuh kembang
anak di kemudian hari.
Menurut hasil penelitian National
Institute of Child and Human
Development (NICHD) di Amerika,
semakin besarnya pengasuhan anak
bukan oleh orang tuanya juga
mendorong rendahnya keharmonisan
interaksi ibu-anak, munculnya perilaku
bermasalah ketika anak menginjak usia
di atas 2 tahun dan rendahnya
kedekatan hubungan di antara mereka.
Ibu hanya dapat belajar peka terhadap
kebutuhan dan keinginan anak setelah
meluangkan waktu yang cukup bersama
anak setiap hari. Ibu dan anak tidak
dapat membangun ikatan satu sama
lain jika mereka saling terpisah. Hasil
penelitian juga menunjukkan adanya
dampak negatif bagi anak yang
pengasuhannya dialihkan pada orang
lain. Hal ini sering menimbulkan
perasaan bersalah yang dapat
berpengaruh buruk pada anak misalnya
terhadap perkembangan anak.
Hasil penelitian ini juga
didapatkan bahwa dari 15 anak yang
tidak mengikuti aktivitas bermain
playgroup terdapat 1 anak yang
pendidikan orang tua (khususnya ibu)
adalah lulusan SD, 1 lulusan SLTP, 8
lulusan SMA, 1 lulusan D3 dan 4
lulusan S1. Dari jumlah tersebut
terdapat 1 anak yang tingkat pendidikan
orang tua (khsususnya ibu) adalah
lulusan SD, 1 SLTP, 3 SMA, dan 1 S1,
yang tingkat perkembangannya
abnormal. Tingkat pendidikan orang tua
merupan salah satu faktor postnatal
(faktor keluarga) yang mempengaruhi
tingkat perkembangan anak (Hurlock,
1997).
Hasil penelitian ini juga
didapatkan bahwa dari 15 anak yang
tidak mengikuti aktivitas bermain
playgroup terdapat 6 anak yang
pendidikan orang tua (khususnya ibu)
adalah lulusan SMA, 4 lulusan D3 dan
4 lulusan S1. Dari jumlah tersebut
terdapat 1 anak yang tingkat pendidikan
orang tua (khsususnya ibu) adalah
lulusan SMA, 2 D3 dan 2 S1, yang
tingkat perkembangannya abnormal.
Menurut Ma’ruf, 2007 seorang
ibu mempunyai peran yang sangat vital
dalam proses pendidikan anak sejak
dini. Ibulah sosok yang pertama kali
berinteraksi dengan anaknya, sosok
pertama pula yang memberikan rasa
aman dan nyaman sosok yang
dipercaya anak. Karena itu, ibu menjadi
sekolah pertama bagi anaknya. Salah
satu aspek penting keberhasilan dalam
pendidikan anak adalah adanya
kedekatan fisik emosional antara ibu
dengan anaknya. Kasih sayang seorang
ibu merupakan jaminan awal untuk
tumbuh kembang anak dengan baik dan
aman. Karena itu, ibu mempunyai peran
yang penting dan mulia dalam mendidik
anak sejak usia dini. Mengingat begitu
besar dan pentingnya peran ibu dalam
proses pertumbuhan dan
perkembangan anak, perlu diupayakan
peningkatan kualitas ibu. Karena tinggi
rendahnya para ibu sangat
mempengaruhi kualitas anak. Menjadi
ibu yang berkualitas dapat dicapai
apabila ada kesadaran dari para ibu
akan arti penting peran dan fungsinya.
Salah satu modal dasar untuk menjadi
ibu yang berkualitas adalah adanya
wawasan dan keilmuan tentang konsep
pendidikan anak. Sehingga seorang ibu
harus senantiasa memperkaya dirinya
untuk memahami perkembangan
kondisi anaknya (baik aspek fisik
maupun emosi). Ibu juga harus
mengetahui konsep pendidikan anak
sesuai dengan tahapan
perkembangannya dan program-
program yang perlu dilakukan untuk
memenuhi seluruh hak-hak anaknya.
Ada beberapa konsep
pendidikan yang perlu dipahami oleh ibu
dalam mendidik anaknya sesuai dengan
tahap perkembangannya antara lain
adalah:
Pertama, bahwa setiap anak memiliki
karakteristik yang berbeda sehingga
perlakuan atau metode pendekatan
yang dipakai untuk masing-masing anak
dalam proses pembelajarannya bisa jadi
berbeda
Kedua, anak akan mengalami
perubahan dengan pendidikan yang
diberikan. Perubahan yang terjadi pada
masing-masing anak tidak sama dan
instan, tetapi bertahap. Maka di sinilah
diperlukan kesabaran dan tidak boleh
mebanding-bandingkan kemampuan
anak.
Ketiga, anak usia dini merupakan masa
emas yang akan dengan cepat
menyerap informasi. Di sinilah
diperlukan memberikan pengajaran
yang benar sejak dini tanpa anak
merasa terbebani. Kemudian
memberikan rangsangan-rangsangan
yang membuat anak berupaya
mengkaitkan antara informasi yang satu
dengan yang lain, sehingga dapat
merangsang kemampuan proses
berfikirnya.
Yang tidak kalah penting untuk
mendukung terwujudnya para ibu yang
berkualitas adalah lingkungan yang
kondusif yaitu lingkungan yang di
dalamnya terdapat pembinaan yang
terstruktur dan berkelanjutan untuk para
ibu. Sebaiknya para ibu dan para calon
ibu dibekali berbagai pengetahuan dan
ketrampilan tentang pengasuhan dan
pendidikan anak.
Berdasarkan uji hipotesa dengan
menggunakan uji Chi-Square pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
didapatkan nilai p value adalah
0.456,maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan tingkat
perkembangan antara anak yang tidak
mengikuti aktivitas bermain dan yang
mengikuti aktivitas bermain playgroup.
Tidak adanya perbedaan karena
kualitas dan kuantitas aktivitas bermain
yang dilakukan anak di playgroup lebih
sedikit jika dibandingkan dengan
aktivitas bermain yang dilakukan di
rumah. Menurut Devi, 2006 makin
pendek waktu sekolah anak dan/atau
makin jarang mereka mengikuti program
dalam seminggu, makin stres anak
mengikuti program sekolah tersebut. Ini
terjadi karena secara psikologis anak
mengalami proses adaptasi dengan
lingkungan sekolahnya setelah hampir
seharian penuh di rumah bersama
orang tua atau pengasuh. Proses
adaptasi ini memerlukan waktu yang
tidak cepat sesuai dengan pribadi
masing-masing anak. Hanya sedikit
anak yang dapat cepat beradaptasi
dengan lingkungannya. Faktor yang
menghambat proses adaptasi anak
dalam aktivitas playgroup adalah rasa
kedekatan yang berlebihan dengan
orang tua atau pengasuhnya. Anak
umumnya minta ditunggui pada saat
mengikuti playgroup. Tidak jarang orang
tua atau pengasuhnya harus ikut masuk
kelas menunggu si anak. Proses
berpisah antara anak dengan orang tua
atau pengasuh pada saat mengikuti
playgroup inilah yang sangat
menghambat keberanian dan
kemandirian anak. Jika program
pendidikan playgroup hanya
dilaksanakan dalam waktu 2 jam sehari,
maka pada saat naluri keberanian anak
mulai muncul ternyata anak sudah
harus pulang karena bel tanda pulang
sudah berbunyi. Demikian juga halnya
dengan program playgroup yang hanya
tiga kali seminggu menyebabkan anak
harus mengulangi proses adaptasinya
tiap kali datang ke sekolah karena
kemarinnya seharian anak bersama
arang tua atau pengasuhnya. Kedua hal
di atas yang akan menghambat
keberanian anak sehingga kelihatannya
tidak ada kemajuan yang
menyanangkan terhadap keberanian
dan kemandirian anak.
Selain itu tidak terdapatnya
perbedaan juga disebabkan oleh faktor
lain yang mempengaruhi tingkat
perkembangan anak seperti pola asuh
orang tua di rumah, fasilitas pendidikan
di rumah dan tingkat pendidikan orang
tua.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat
perkembangan antara anak yang tidak
mengikuti aktivitas bermain dan yang
mengikuti aktivitas bermain di
playgroup.
Berdasarkan hasil penelitian ini,
didapatkan bahwa faktor-faktor yang
sangat mempengaruhi perkembangan
anak antara lain pengasuh anak di
rumah, tingkat pendidikan ibu dan
lingkungan yang kondusif di sekitar
anak. Untuk itu peneliti mempunyai
saran yang terkait dengan
perkembangan anak usia 2-3 tahun
yaitu sebaiknya anak seusia ini disuh
oleh ibunya sendiri di rumah dengan
bekal pendidikan yang cukup bagi ibu
tentang pengasuhan, perkembangan
dan cara menstimulus perkembangan
anak. Sedangkan keikutsertaan anak
dalam kelompok bermain atau
playgroup hanya sebagai tambahan
pendidikan bagi anak dan sebagai
tempat sosialisasi anak dengan
lingkungan di luar rumah.
KESIMPULAN
Tidak terdapat perbedaan tingkat
perkembangan anak usia 2-3 tahun
yang tidak mengikuti aktivitas bermain
dan yang mengikuti aktivitas bermain
playgroup di Kelurahan Sidoharjo
Kecamatan Lamongan dengan nilai p
value adalah 0.456.
DAFTAR PUSTAKA Alimul, Aziz A Hidayat. 2004. Pengantar
Ilmu Keperawatan Anak I, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi., Jakarta
Arikunto S. 1998. Prosedur Peneliti Suatu Pendekatan Praktek. , PT. Rineka Cipta., Jakarta
Santrock JW. 1995. Perkembangan Masa Hidup, Edisi Kelima Jilid 1, Erlangga, Jakarta
Budiarto, Eko. 1983. Dasar-Dasar Metode Statistika Kedokteran, Penerbit Alumni 1984, Bandung
Soekresno E., 2000. Gambaran Umum masa-Masa Penting Pertumbuhan Anak dan Kiat-Kiatnya. www.infoanakindonesia.tripod.com
Colson, Eve R. 2005. Toddler Development. www. pedsinreview.aapublications.org
Depkes. 2006. 16 Persen Balita Terganggu Syarafnya. www.pdpersi.com
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak., EGC., Jakarta
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi, Alfa Beta, Bandung Gunarsa SD. 1983. Psikologi untuk
Keluarga, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Supriadi D., 2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Sisdiknas. www.pikiran-rakyat.comKartikaningsih, Dewi.2003. Hubungan
Antara Aktivitas Bermain Dengan Perkembangan Anak Usia Prasekolah di BA Restu Malang. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
Surana T., 2005. Perkembangan Anak. www.balitacerdas.com
Walizer MH, Paul LW, 1978. Research Methods And Analysis, Michael H. Walizer (Ed), 1978. Metode dan Analsis Penelitian, Arief Sadiman (penterjemah), 1978, Erlangga, Jakarta
Ma’ruf., 2007. Kemuliaan Ibu dan Peningkatan Kualitasnya. www.baitijannati.wordpress.com Welch, Erika. 2004. Perbedaan Belajar
di Sekolah dan di Rumah. www.playgroupnsw.com
Hurlock EB, 1997. Child Development, dr. Med Meitasari Tjandrasa (penterjemah), 1997, Erlangga, Jakarta, Indonesia
Wes & Sheryl Haystead., 2002. Aktivitas yang Cocok untuk Anak balita (umur 2-3 Tahun). www.sabda.org/pepak/e-binaanak/print edisi=19
Hurlock EB, 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Proses Pendekatan Sepanjang Masa, Erlangga, Jakarta Wong.1996. Wong and Whaley’s
Clinical manual of Pediatric Nursing, 4 , Donna L. Wong, 1996. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Monika Ester (penterjemah), 2004, EGC, Jakarta
thMonks. 2001. Psikologi Perkembangan:
Pengantar dalam berbagai bagiannya, GMUP, Yogyakarta
Pilliteri A. 1999. Maternal-Child Health Nursing, 3 , JB. Lippincott Company, Philadelphia
rd
Yusuf S LN. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, EGC, Jakarta
Rosidah, Umi. 2003. Mengganti Waktu Bermain yang Berkurang. Iwww.indomedia.com/sripo/2003/12/11/1112gay3.htm
.