Download - Referat Jiwa Edit
LAPORAN KASUS PSIKIATRI
GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI
(F41.9)
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. J
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl Lahir : Enrekang, 23 Juli 1966
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku Bangsa : Bugis
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Alamat : BTN KNPI Berua no.4
Berobat di Poli Jiwa RSU. Daya pada tanggal 3 Oktober 2011
II. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Keluhan Utama
Susah Tidur
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Keluhan dan gejala :
Dialami sejak ± 1 tahun yang lalu, dimana pasien
sulit memulai tidur dan bila tertidur sering terbangun pada
malam hari. Saat bangun pagi ia merasa lemas. Pasien juga
mengeluh sering merasa pusing, leher terasa tegang,
punggung dan lengan sering kesemutan serta mudah lelah.
Selain itu pasien menjadi mudah emosi walaupun untuk
hak-hal kecil yang tidak disukai, jantung berdebar-debar
dan keringat dingin saat sholat atau saat mendengar sirene
ambulans, pasien membayangkan bagaimana dirinya bila
meninggal. Kadang-kadang ia merasa ketakutan ketika bila
ditinggal sendiri yang penyebabnya tidak diketahui. Setiap
gejala ini muncul, ia selalu berteriak memanggil orang-
orang di rumahnya tau memanggil suaminya dan setelah
suaminya datang, pasien merasa tenang kembali.
. Awalnya pada tahun 2008, anak pertamanya
meninggal saat melahirkan. Setahun kemudian ibunya juga
meninggal karena sakit. Pada tahun yang sama usaha took
sembako yang dirintis oleh ia dan suaminya mengalami
1
kebangkrutan. Sejak saat itu pasien merasa tidak
bersemangat, dimana ia merasa mudah lelah, nafsu makan
berkurang, serta merasa malas untuk melakukan kegiatan
diluar rumah.
Akhirnya, untuk mengurangi keluhan tersebut pasien
menyibukkan diri dengan membantu suaminya membuka
usaha baru. Pada tahun 2010 usaha bengkel mulai ia rintis
bersama suaminya. Keluhan yang dulunya dirasakan mulai
berkurang, tetapi pasien merasa terganggu dengan keluhan
yang dialaminya sekarang.
Hendaya/disfungsi :
- Hendaya sosial (+)
- Hendaya pekerjaan (+)
- Hendaya penggunaan waktu senggang (-)
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
- Trauma (-)
- Infeksi (-)
- Kejang (-)
- Penyalahgunaan NAPZA (-)
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
Riwayat prenatal dan perinatal :
Pasien lahir di Enrekang, 23 Juli 1966.
Lahir normal, cukup bulan, ditolong oleh dukun.
Sewaktu hamil, ibu pasien dalam keadaan sehat.
Riwayat ibu menggunakan obat-obatan, rokok dan
meminum alcohol tidak ada. Pasien mendapatkan
ASI sampai berumur 1 tahun
Riwayat masa kanak awal (3-4 tahun) :
Pertumbuhan dan perkembangan baik sama seperti
anak sebayanya. Tidak ada riwayat kejang dan
trauma.
Riwayat masa kanak pertengahan (4-11 tahun) :
2
Pada usia 6 tahun pasien bersekolah di SD
Negeri yang berada di kab.Enrekang, prestasi
cukup baik.
Riwayat masa kanak akhir dan remaja (12-18
tahun) :
Setelah tamat SD, pasien tidak melanjutkan
sekolah karena masalah biaya. Pasien terkenal
ramah dan memiliki pergaulan yang baik.
Pasien membantu orangtua menjaga adik-
adiknya.
Riwayat masa dewasa ;
Riwayat pernikahan :
Pasien sudah, memiliki satu suami dan empat
orang anak (♀,♀,♀,♀). Anak pertama telah
menikah dan memiliki 2 anak dan pada tahun
2008 meninggal dunia saat melahirkan anak ke-
2 nya. Anak kedua telah menikah dan memilki
2 anak dan tinggal di Kendari bersama
kelurganya.
Riwayat pekerjaan :
Pasien pernah memiliki usaha took sembako
tetapi bangkrut pada tahun 2009. Saat ini ia
bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kadang-
kadang membantu usaha suaminya di bengkel
yang mulai dirintis pada tahun 2010.
E. Riwayat Kehidupan Keluarga
- Pasien merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara (♀,♂,♂)
- Hubungan dengan keluarganya baik
F. Situasi Sekarang
Saat ini pasien tinggal bersama suami, dua orang
anaknya serta 1 orang cucu di rumah milik sendiri.
G. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
3
Pasien ingin kembali seperti dahulu. Tidak mudah
takut, cemas dan tidak mudah berdebar-debar. Pasien
menyadari dirinya sakit dan butuh pengobatan.
AUTOANAMNESIS (3 Oktober 2011)
DM : Assalamualaikum, Bu. Perkenalkan, nama saya
Dian, dokter muda yang bertugas disini.
P : Waalaikumsalam, iye dok.
DM : Bisa saya bertanya sebentar Bu?
P : Iye dok.
DM : Boleh tahu namanya siapa Bu?
P : Jumana dok
DM : Maaf sebelumnya, umur Ibu sekarang berapa?
P : ehmm..saya lahir tahun 1966, Dok. Tanggal 23 Juli.
Berarti 45 tahun, dok.
DM : Ibu, datang ke sini sendirian?
P : Tidak dok, sama suami saya. Ada menunggu diluar
dok.
DM : Alamatnya dimana Bu?
P : di BTN KNPI Berua no.4
DM : Kalau boleh tahu, Ibu pekerjaannya apa?
P : Tidak ada dok. Di rumah saja.
DM : Ibu Rumah Tangga, Bu?
P : Iye dok. Tapi kadang-kadang saya bantu suami urus
bengkelnya
DM : Oh, bapak punya bengkel. Kalau boleh tahu apa
keluhannya Ibu datang kesini?
P : Susahka’ tidur, Dok.
DM : Sejak kapan Ibu susah tidur?
P : Lama mi, Dok. Ada mi mungkin 1 tahunan, Dok.
DM : Sudah lama ya, Bu. Bisa Ibu jelaskan bagaimana
yang kita maksud susah tidur?
P : Lama baru bisa tidur, dok. Bolak balik dulu, biasa
juga saya nonton dulu. Baru kalau tidurka dok,
seringka lagi bangun tengah malam. Kalau bangun
pagika biasa sakit semua saya rasa badanku, Dok.
Rasa Lemaska. Cepatka juga capek kalau ada saya
kerja, Dok. Na bilang Suamiku gara-gara tidak
4
bagus tidurku kalau malam padahal kalau siang
tidur ja, Dok.
DM : Keluhan apa lagi yang Ibu rasakan?
P : Selalu juga saya rasa pusing. Tegang juga leherku,
Dok. Beru cepat sekali naik emosiku. Na bilang
anakku ini mama biar hal sepele namaraiki juga.
Mungkin karena naik tensiku, Dok.
DM : Hal sepele seperti apa yang membuat Ibu lebih
mudah emosi?
P : Biasa kalau pulang anakku dari kampus baru
natumpuk saja pakaian kotornya, atau biasa kalau
menonton ji saja na kerja anakku dari pada pergi
mandi. Langsungka emosi, Dok.
DM : Oh, jadi begitu ya, Bu. Apalagi yang sering ibu
rasakan?
P : Saya juga sering rasa jantungku berdebar-debar
dok. Apalagi kalau sedang sholat. Tiba-tiba saja
berdebar-debar jantungku sampai saya tidak bisa mi
khusyuk dok.
DM : Kira-kira kenapa begitu Bu?
P : Tidak tau juga, dok. Biasa juga langsung berdebar-
debar saya rasa jantungku waktu saya dengar bunyi
mobil mayat dok.
DM : Bunyi sirene ambulans kita maksud Bu?
P : Iye dok. Tiba-tiba langsung berdebar-debar
jantungku. Langsung keringat dingin tangan sama
kakiku, Dok. Kayak mau mati saya rasa.
DM : Apa kita pikir waktu itu Bu?
P : Ya…bagaimana dok di..kayaknya langsungka takut
bagaimana kalau saya yang meninggal di bawa
pakai mobil ambulans. Langsung tidak enak saya
rasa dok. Takutka juga ditinggal sendiri dok. Kalau
tidak ada orang didekatku sukaka juga gelisah dok.
Mulai berdebar-debar jantungku sampai keringat
dinginka, Dok.
DM : Apa yang kita takutkan, Bu?
P : Tidak taumi juga dok. Kalau saya mulai gelisah
biasanya teriakka panggil-panggil orang-orang
5
dirumahku atau saya panggil suamiku. Kalau
datangmi suamiku tenang mi saya rasa, Dok. Saya
nda takut ji sama setan atau hantu dok. Tapi tidak
tau kenapa kayaknya kalau saya sendirian tidak
tenangka dok.
DM : Bisa ibu ceritakan bagaimana awalnya kita rasa
seperti itu?
P : Begini dok..saya terbuka mi ini sama kita supaya
bisaka sembuh. Pernah meninggal anakku dok
waktu tahun 2008. Anak pertamaku waktu dia
melahirkan anak keduanya. Sudahnya itu saya rasa
kurang bersemangat mi dok. Tidak lama sekitar
tahun 2009 Ibuku lagi yang meninggal karena sakit
dok. Tapi saya berusaha ji tidak terlalu pikirkan
dok. Saya berusaha sibukkan diri, buka usaha kecil-
kecilan di rumah. Tapi nda terlalu lancar dok jadi
berhenti. Disitu saya bertambah kurang semangat
dok. Tapi akhirnya saya mulai bangkit Dok. Saya
sarankan suamiku buka bengkel.
DM : Tadi Ibu bilang mulai kurang bersemangat. Yang
seperti Apa Ibu maksud kurang bersemangat?
P : Tidak semangatka kerja dok. Jarang makan karena
nafsu makan kurang. Cepat capek saya rasa, Dok.
Kalau ada saya mau kerja selaluka tunda-tunda,
baru yang saya kerja tidur-tiduran ji. Baru saya itu
Dok malas sekali keluar rumah. Istilahnya selaluka
jaga kandang. Lama itu mulai ka juga sering
berdebar-debar, gelisah, sampai mulai susah
tidurku, Dok.
DM : Bagaimana aktivitasnya sehari-hari Bu?
P : Seperti biasa ji, Dok. Beres-beres rumah, memasak.
Saya juga urus cucu, Dok. Anak keduanya anak
saya yang meninggal. Kadang saya bantu juga
suamiku dibengkelnya.
DM : Mungkin ibu punya beban berat yang ibu pikul
sendiri?
P : Tidak ji juga dok. Mungkin karena suami saya itu
dok tidak bisa memulai sesuatu. Waktu kemarin
6
saja nanti saya dorong untuk buka bengkel baru
suami saya mau bergerak, Dok.
DM : Maaf Bu, bagaimana usahanya suamita sekarang?
P : Lumayan ji, Dok. Setidaknya masih ada diuntung.
DM : Bagaimana hubungannya ibu dengan suami ?
P : Alhamdulillah baik, Dok.
DM : Kalau dengan anak-anak?
P : Baik ji juga, Dok.
DM : Kalau dengan tetangga, Bu?
P : Baik-baik ji juga, Dok.
DM : Ibu ada keluhan yang lain?
P : ehmm..itu semuami tadi, Dok.
DM : Bu, saya tanya lagi ya. Kalau ibu ketemu dompet di
pinggir jalan, apa yang Ibu lakukan?
P : saya tanya dulu orang dekat situ siapa tau ada yang
kehilangan dompet. Kalau tidak ada saya bawa ke
Mesjid, suruh umumkan.
DM : Ibu tahu apa artinya air susu dibalas air tuba?
P : Kebaikan dibalas kejahatan
DM : Kalau panjang tangan apa artinya, Bu?
P : Pencuri, Dok
DM : Ibu, misalnya ibu punya 2 motor. Semua ban
motornya ibu kempis. Jadi berapa ibu bayar untuk
harga pompa bannya
P : Kan 1 motor 2 bannya, artinya kalau 2 motor 4
bannya. Jadi saya bayar 4 ribu, Dok. karena biaya
pompa seribu 1 ban, Dok.
DM : Oh iya, Bu. Kalau begitu terimakasih atas
kerjasamanya Bu, semoga lekas sembuh
P : Iya, sama-sama dok, terima kasih.
III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (8 Agustus
2011)
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : tampak seorang perempuan, perawakan
sedang, wajah sesuai umur, kulit putih agak pucat,
mengenakan blus berwarna merah marun, celana kain
7
warna hitam, memakai jilbab berwarna merah marun-
krem, memakai perhiasan berupa cincin, gelang dan
jam tangan. Pasien memakai sandal berhak 3 cm, tas
sampingan kulit warna hitam, penampilan rapi,
perawatan diri baik.
2. Kesadaran : baik
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor : saat wawancara
pasien tenang
4. Pembicaraann : spontan, lancer, intonasi sedang
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : kooperatif
B. Keadaan Afektif
1. Mood : cemas
2. Afek : cemas
3. Empati : dapat dirabarasakan
4. Keserasian: serasi
C. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf Pendidikan, pengetahuan umum, dan
kecerdasan : sesuai taraf pendidikan
2. Daya Konsentrasi : baik
3. Orientasi (waktu, tempat,orang) : baik
4. Daya Ingat : baik
5. Pikiran Abstrak : baik
6. Bakat Kreatif : ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : baik
D. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : tidak ada
2. Ilusi : tidak ada
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada
E. Proses Berpikir
1. Arus Pikiran :
a. Produktivitas : cukup
b. Kontinuitas : relevan, koheren
c. Hendaya berbahasa : tidak ada
2. Isi Pikiran :
a. Preokupasi : tidak ada
b. Gangguan isi pikiran : tidak ada
F. Pengendalian Impuls: Baik
8
G. Daya Nilai
1. Norma Sosial : baik
2. Uji Daya Nilai : baik
3. Penilaian Realitas : baik
H. Tilikan (Insight)
Tilikan derajat 6 (sadar bahwa dirinya sakit dan butuh
pengobatan)
I. Taraf Dapat Dipercaya
Dapat dipercaya
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
Pemeriksaan Fisis
1. Status Internus
SP : SS/GC/CM, BB : 53 kg
T : 130/80, mmHg, N : 91 x/menit, P : 22 x/menit, S :
36,50C
2. Pemeriksaan fisis dan pemeriksaan neurologis tidak
ditemukan adanya kelainan
V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
Seorang wanita, umur 45 tahun dating ke Poli Jiwa
dengan keluhan Dialami sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien
sulit memulai tidur dan bila tertidur sering terbangun pada
malam hari. Saat bangun pagi pasien merasa lemas. Ia juga
mengeluh sering merasa pusing, leher terasa tegang,
punggung dan lengan sering kesemutan serta mudah lelah
Selain itu pasien menjadi mudah emosi walaupun untuk
hak-hal kecil yang tidak disukai, jantung berdebar-debar
dan keringat dingin saat sholat atau saat mendengar sirene
ambulans, pasien membayangkan bagaimana dirinya bila
meninggal. Ia merasa ketakutan ketika bila ditinggal
sendiri yang penyebabnya tidak diketahu. Setiap merasa
gelisah, ia selalu berteriak memanggil orang-orang di
rumahnya atau suaminya dan setelah suaminya datang,
pasien merasa tenang kembali. Pada awal tahun 2008, anak
pertamanya meninggal saat melahirkan. Setahun kemudian
ibunya juga meninggal karena sakit. Pada tahun yang sama
usaha took sembako mengalami kebangkrutan. Sejak saat
9
itu pasien merasa tidak bersemangat. Pasien merasa mudah
lelah, nafsu makan berkurang, serta merasa malas untuk
melakukan kegiatan diluar rumah.
Dari pemeriksaan status mental, tampak seorang
perempuan, perawakan sedang, wajah sesuai umur, kulit
putih agak pucat, penampilan kesan rapi, perawatan diri
baik. Kesadaran baik. Aktivitas psikomotor tenang.
Verbalisasi spontan, lancar, intonasi sedang. Sikap
terhadap pemeriksa kooperatif. Mood cemas, afek cemas,
empati dapat dirabarasakan, keserasian : serasi. Fungsi
intelektual baik. Gangguan persepsi tidak ada. Arus pikiran
relevan dan koheren. Gangguan isi pikir tidak ada.
Pengendalian impuls baik. Tilikan (insight) derajat 6 dan
dapat dipercaya.
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL
A. Aksis I
Dari autoanamnesis serta pemeriksaan status mental
ditemukan gejala klinis yang bermakna berupa keluhan
susah tidur, sering merasa cemas, jantung berdebar-debar
dan sering merasa takut bila ditinggal sendirian. Hal ini
menimbulkan distress bagi pasien dan lingkungannya,
serta menimbulkan hendaya di bidang sosial dan pekerjaan,
sehingga dapat dikategorikan mengalami gangguan jiwa.
Dari pemeriksaan fisis neurologis, tidak ditemukan
adanya kelainan yang bermakna, sehingga gangguan
mental organik dapat disingkirkan.
Dari pemeriksaan status mental, tidak ditemukan
adanya hendaya berat dalam menilai realita, sehingga
digolongkan sebagai gangguan jiwa non psikotik.
Dari autoanamnesa dan pemeriksaan status mental,
didapatkan gejala-gejala anxietas seperti susah tidur, leher
tegang, pusing, jantung berdebar-debar, keringat dingin,
mood cemas, afek cemas. Keluhan dirasakan sejak ±1
tahun yang lalu, namun tidak dirasakan sepanjang hari
(terus-menerus). Selain itu didapatkan adanya gejala
depresi berupa perasaan tidak bersemangat, nafsu makan
menurun, cepat lelah. Dengan adanya gejala anxietas dan
10
depresi tersebut dimana gejala-gejala tersebut tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk
menegakkan diagnosis tersendiri, maka berdasarkan
PPDGJ-III, kasus ini dapat digolongkan sebagai
Gangguan campuran anxietas dan depresi (F42.1)
B. Aksis II
Ciri kepribadian tidak khas
C. Aksis III
Tidak ada diagnosis
D. Aksis IV
Faktor stressor : Pasien kehilangan 2 orang yang
disayanginya dalam waktu yang berdekatan dan
kebangkrutan usahanya.
E. Aksis V
GAF scale 70-61 (beberapa gejala ringan dan menetap,
disabiliats ringan dalam fungsi, secara umum masih
baik).
VII. DAFTAR MASALAH
A. Organobiologik : diduga adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter seperti pada GABA dan serotonin
pada pasien ini sehingga dibutuhkan adanya
farmakoterapi.
B. Psikologik : ditemukan adanya gangguan campuran
cemas dan depresi sehingga pasien ini memerlukan
psikoterapi
C. Sosiologik : ditemukan adanya hendaya sosial dan
pekerjaan, sehingga pasien memerlukan sosioterapi.
VIII. PROGNOSIS
a) Faktor penghambat :
Usia pasien yang tergolong tua
Onset perjalanan gangguan jiwa yang berlangsung
kronil
Tingkat pendidikan yang rendah
b) Faktor pendukung :
Ada keinginan dari dalam diri pasien untuk sembuh
11
Tidak ada riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama
Stressor psikososial jelas
Faktor dukungan dari keluarga baik,
Prognosis : Dubia
IX. PEMBAHASAN / TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan PPDGJ-III, untuk mendiagnosis
Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F41.2) :
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi,
dimana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian
gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik
harus ditemukan walaupun tidak terus-menerus,
disamping rasa cemas atau kekhawatiran yang
berlebihan.
Apabila ditemukan anxietas berat disertai depresi
yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan
kategori anxietas lainnya atau gangguan anxietas
fobik.
Apabila ditemukan sindrom depresi dan anxietas
yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing
diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran
tidak dapat digunakan. Jika karena suatu hal hanya
dapat dikemukakan satu diagnosis, maka gangguan
depresi harus diutamakan.
Apabila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan
stress kehidupan yang jelas, maka harus digunakan
kategori F43.2 gangguan Penyesuaian.
Pada pasien ini diberikan terapi berupa
Alprazolam 0,5 mg 3x ½ . Dosis anjuran Alprazolam
ialah 3x0,25-0,5 mg per hari, maka dosis harian yang
diberikan sesuai dengan dosis anjuran. Adapun dengan
pemberian Alprazolam, disertai dengan psikoterapi dan
sosioterapi, diharapkan dapat memperbaiki
keseimbangan neurotransmitter GABA (Gamma Amino
12
Butyric Acid) dan meredakan gejala anxietas pasien
sehingga pasien dapat beraktivitas kembali sesuai dengan
fungsi dan peranannya dalam masyarakat. Sedangkan
untuk anti-depresan yang digunakan adalah golongan
Selective Seroronin Reuptake Inhibitor (SSRI) karena
efek sedasi, otonomik dan hipotensi sangat minimal.
Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi
hari setelah sarapan pagi. Dosis yang diberikan pada
pasien ini adalah 20 mg 1-0-0.
X. RENCANA TERAPI
A. Farmakoterapi
Alprazolam 0,5 mg 3x ½
Fluoxetin 20 mg 1-0-0
B. Psikoterapi
Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien
untuk menceritakan keluhan dan isi hati serta
perasaannya sehingga pasien merasa lega
Konseling : memberikan penjelasan dan pengertian
kepada pasien tentang penyakitnya, cara
mengatasinya, sehingga membantu pasien dalam
menghadapi penyakitnya
C. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan
orang-orang sekitarnya sehingga dapat menerima
dan menciptakan lingkungan yang baik untuk
membantu proses penyembuhan pasien.
XI. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan penyakitnya serta
efektivitas obat serta kemungkinan timbulnya efek
samping dari obat yang diberikan.
13
EFEK SAMPING ANTI PSIKOTIK TIPIKAL
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini konsep kedokteran mengenai pengobatan
gangguan psikotik masih berputar pada penggunaan
antipsikotik. Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan
psikotropik. Obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek
utama terhadap aktivitas mental dan perilaku (mind and
behavior altering drugs), digunakan untuk terapi gangguan
psikiatrik (psychotherapeutic medication).(obat) Menurut WHO
(1966) obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi
psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikotropik hanya mengubah
keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat
menerima psikoterapi dengan lebih baik.1
Berdasarkan penggunaan klinik, psikoterapi dibagi
menjadi 4 golongan yaitu: (1) antipsikotik; (2) antianxietas; (3)
antidepresi; dan (4) psikotogenik. Antipsikotik atau dikenal juga
dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer) bermanfaat pada
terapi psikosis akut maupun kronik. Antipsikotik bekerja
dengan menduduki reseptor dopamin , serotonin dan beberapa
reseptor neurotransmiter lainnya . Antipsikotik dibedakan atas
antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama) antara lain
klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol; serta
antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti
klozapin, olanzapin, risperidon dan lain sebagainya.2
Obat antipsikotik tipikal tentunya memiliki efek
samping yang perlu diketahui agar pengobatan klinis dapat
efisien dan sesuai dengan proporsi dan tentunya agar mencapai
target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat antipsikotik
ini terlebih dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga
mempunyai kerugian yang menyertainya. Beberapa proses
fisiologis dipengaruhi oleh antipsikotik. Secara khusus,
antipsikotik mempengaruhi SSP seperti terjadinya gangguan
dalam bergerak, efek sedasi, kejang dan beberapa efek
samping lainnya yang dapat mengganggu pasien seperti
pengaruh dalam
seksual dan fungsi reproduksi.3
14
II. DEFINISI
Sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine
tipe 2 (D2) sering dinamakan sebagai antipsikotik tipikal.
Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia
dan gannguan psoikotik lainnya. Obat antipsikotik juga
dinamakan sebagai neuroleptik dan trankuiliser mayor.4
Istilah “neuroleptik” menekankan efek neurologis dan
motorik dari sebagian besar obat. Istilah “trankuiliser mayor”
secara tidak akurat menekankan efek primer dari obat adalah
untuk mensedasi pasien dan dikacukan dengan obat yang
dinamakan trankuiliser minor seperti benzodiazepine.4
Antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, suatu
derivate phenotiazine yang merupakan antagonis reseptor
dopamine, adalah yang pertama dinamakan antipsikotik klasik
atau tipikal yang disintesis awal tahun 1950-an.
Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan revolusi terapi
pasien skizofrenia dan pasien psikotik serius lainnya.
Pemakaian antipsikotik tipikal menghasilkan perbaikan klinis
yang bermakna pada kira-kira 50-75% pasien psikotik dan
hamper 90% pasien psikotik mendapatkan manfaat klinis dari
obat tersebut. 4
III. KLASIFIKASI ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Adapun penggolongan dari anti[sikotik tipikal dapat
dilihat sebagai berikut:1,5
A. Derivat Fenotiazin
1. Rantai Aliphatic
Chlorpromazine (Largactil ®)
Sediaan : 25-100 mg
Dosis anjuran : 150-600 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+++),
efek sedatif (+++), efek hipotensi(++)
2. Rantai Piperazine
Perphenazine (Trilafon ®)
Sediaan : 2mg, 4 mg, 8 mg
Dosis anjuran : 12-24 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek
sedatif (+)
Trifluoperazine (Stelazine ®)15
Sediaan : 1 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek
sedatif (+)
Fluphezine (Anantensol ®)
Sediaan : 2,5 mg, 5 mg
Dosis anjuran : 10-15 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+++), efek otonomik (+), efek
sedatif (++)
3. Rantai Piperidine
Thioridazine (Melleril ®)
Sediaan : 50 mg, 100 mg
Dosis anjuran : 150-300 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (+), efek otonomik (+++), efek
sedatif (+++)
B. Derivat Butyrophenone
Haloperidol (Haldol,Serenace ®)
Sediaan : 0,5 mg; 1,5 mg; 5 mg
Dosis anjuran : 5-15 mg/hr
Efek ekstrapirimidal (++++), efek otonomik (+),
efek sedatif (+)
C. Derivat Diphenyl butyl piperidine
Pimozide (orap forte)
Sediaan : 4 mg
Dosis anjuran : 2-4 mg/hari
Efek ekstrapirimidal (++), efek otonomik (+), efek
sedatif (+)
IV. MEKANISME KERJA ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja obat Antipsikotik tipikal adalah
memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di
otak khusunya di sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal
(dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk
gejala positif. 1
Dopamin merupakan neurotransmitter yang
disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia
nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir
pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
16
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi
dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok
neuron proyeksi dopamine. Neuron-neuron ini menghasilkan
system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-
serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan
anterior dari system limbic, khususnya ke dalam hipokampus,
amigdala, nucleus kaudatus anterior dan sebagian lobus
prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur
tingkah laku yang sangat berpengaruh.6
Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap
mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan.
Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2.
Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine
yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah
dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.4,6
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan
memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis
reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine
dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif
menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di
mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.7
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2
dijalur mesokortikal, dapat memperberat gejala negatif dan
gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur
tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah
tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini
secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif
dan kognitif.7
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat
menyebabkan timbulnya gangguan dalam mobilitas seperti
pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat
menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive
dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
17
sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau
pergerakan.7
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh
antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar prolaktin
sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat
badan. Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular
menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan
laktasi.7
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade
reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan
terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga
timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering,
pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor
histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping
mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu
antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa
hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah
menurun.7
V. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan
reseptor dopamine ternyata memberi efek merugikan pada
neurologis dan endokrinologi. Selain itu, berbagai antipsikotik
juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan
histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek
merugikan yang ditemukan pada obat-obat tersebut.4
Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat
mengakibatkan efek samping baik endokrinologis seperti
hiperprolaktinemia, yang dapat memanifestasikan dirinya
sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek
samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan.
Kombinasi dari semua efek samping tersebut akan sangat
mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup pasien dan
keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .8
18
A. Efek Samping Nonneurologis
1. Efek pada jantung
Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat
kardiotoksik dibandingkan dengan antipsikotik potensi
tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan
interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan
depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek
yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia
malignan, seperti torsade de pointes yang sangat
mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan
karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi
ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya
pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan
pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.4,9
2. Kematian Mendadak
Efek antipsikosis pada jantung telah dihipotesiskan
berhubungan dengan kematian mendadak pada pasien yang
diobati. Tetapi beberapa literatur menyatakan terlalu dini
untuk menghubungkan kematian mendadak sebagai akibat
dari pemberian antipsikotik. Mendukung pandangan
tersebut adalah pengamatan yang melihat bahwa
diperkenalkannya antipsikotik ternyata tidak member efek
terhadap insidensi kematian mendadak pada padien
skizofrenia. Selain itu, perlu diingat bahwa beberapa
pasien memiliki masalah medis yang lain yang tentunya
diterapi dengan beberapa jenis obat lain.4
3. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat
penghambatan adrenergic yang paling sering disebabkan
oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya
chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi
selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi
yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari
hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien
terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.3,4,9,10
19
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah
intramuscular (IM), tekanan darah pasien harus diperiksa
sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam
beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi
tentang efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan
sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih
berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien yang
mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani
dengan membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi
dibandingkan kepala. Ekspansi volume dengan cairan
sangat membantu. Pemberian epinefrin
dikontraindikasikan karena dabat memperburuk hipotensi.
Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor
adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih. Untik
antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan
obat yang tidak menghambat adrenergic.4,9
4. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang
dapat terjadi akibat pemakaian antipsikotik tipikal seperti
chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua
antipsikotik adalah agranulositosis. 4 Agranulositosis
adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan
penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar,
neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di
tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit.
Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh
sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang
mempengaruhi sumsum tulang dan menekan
granulopoiesis.11
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga
bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000
pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien
melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam,
hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk
memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika
indeks darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan.
Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura
trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia
20
kadang-kadang dapat terjadi pada pasien yang diobati
dengan antipsikotik. 4,9
5. Efek Antikolinergik Perifer
Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan,
terdiri dari mulut dan hidung kering, hidung tersumbat,
pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis.
Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine,
dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten. 4,5
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu
beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan
terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya
dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau
permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat
menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan
insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan
perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat
laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang
menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan
penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang
kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada
beberapa pasien dengan retensi urin. 4,9
6. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran
tuberinfundibular menyebabkan peningkatan sekresi
prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara,
galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta
penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek
samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat
antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi
sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk
gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat
diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine
(Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione,
dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme
yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal
tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic α1.
21
Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin
yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik
tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi
resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. 3,4,9,10
7. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi
pada sejumlah kecil pasien, paling sering terjadi pada
mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi
rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit
seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi
edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal
terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang
dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai
proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi
pada beberapa pasien yang menggunakan chlorpromazine.
Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar
tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60
menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan
chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi
biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan
sinar matahari. 4,9,10
8. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel
pada retina bila diberikan dalam dosis lebih besar dari 800
mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang
berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan
kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat
berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine
dihentikan karena tidak bersifat reversible. 4,9
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi
mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit granular
coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea
posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg
chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat
berkembang menjadi granula putih opak dan coklat
kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi
penglihatan pasien. 4,9
22
9. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek
samping yang relative jarang terjadi dalam penggunaan
antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan
pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian
atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam,
bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali
fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka
terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan
sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 4,5,9,10
10. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala
ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex tendon dalam,
takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah
adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang.
Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian
arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage
lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan
diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga
merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal. 4
B. Efek Samping Neurologis
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping
neurologis yang mengganggu dan beberapa efek neurologis
yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut
dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya
mengetahui efek samping neurologis akibat terapi
dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping
tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan
akibat medikasi. 1,4,5
1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada
kira-kira 25 % pasien yang diobati dengan antipsikotik
tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-90 hari setelah awal
terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot
atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi
23
gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur
membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil
(pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi,
tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan
tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan
sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV.
Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan
glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk
dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila
orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan
ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng,
bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia
(kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala
parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai
gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia. 4,9
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena
parkinsonisme akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat
terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia
lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat
menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat
potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah.
Kemungkinan chlorpromazine dan thioridazine
kemungkinan tidak terlibat. Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab
dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 4
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati
dengan pemberian obat antikolinergik, amantadine atau
diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah
4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan
parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi.
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan,
gejala parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu
dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pemberian antikolinergik setelah menghentikan
antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih
sepenuhnya. 4,9
24
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang
diberikan terapi antipsikotik tipikal mengalami distonia
sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa
jam atau hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan
oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-
menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter.
Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis
spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan
dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir),
dan keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata
dapat menyebabkan krisis okulorigik, ditandai oleh
gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe
distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara
lambat dalam terapi. Distonia lain berupa blefarospasme
dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia,
dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis. 4
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada
kedua jenis kelamin tetapi paling sering terjadi pada laki-
laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua
antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik
potensi tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan
merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia
basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP
mulai menurun diantara pemberian dosis. 4,9,10
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang
berhubungan biasanya mencegah berkembangnya distonia,
walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya.
Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV
atau IM (50 mg) hamper selalu menghilangkan gejala.
Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine
sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 4,9
3. Akathasia Akut akibat Neuroleptik
Akathasia adalah perasaan subjektif dimana
adanya rasa yang tidak nyaman pada otot yang
menyebabkan pasien menjadi teragitasi, bergerak dengan
gelisah, berganti-ganti duduk dan berdiri secara cepat, dan
merasa disforik menyeluruh. Gejala utama adalah
25
gangguan motorik yang tidak dapat dikendalikan oleh
kemauan pasien. Mekanisme kerja yang mendasari
akathasia belum dimengerti sepenuhnya. Gangguan
mungkin diakibatkan ketidakseimbangan system
noradrenergic dan dopaminergik yang disebabkan oleh
antipsikotik. 4,9
Jika terjadi akathasia, dosis antipsikotik harus
diturunkan hingga dosis efektif minimal. Obat yang lebih
efektif untuk akathasia adalah propranolol (Inderal, 30-120
mg sehari), benzodiazepine dan clonidine (Catapres). 4
4. Tardive Dyskinesia akibat Neuroleptik
Tardive dyskenia adalah efek lambat yang terjadi
akibat penggunaan antipsikotik. Keadaan ini terjadi setelah
enam bulan terapi. Gangguan terdiri dari gerakan
koreoatetoid yang abnormal, involunter, ireguler pada otot-
otot kepala, anggota gerak, dan batang tubuh. Gerakan
perioral adalah yang paling sering ditemukan dan berupa
gerakan tiba-tiba, memuntir, dan menjulurkan lidah;
gerakan mengunyah dan gerakan rahang lateral;
mengerutkan dan menyeringai wajah. Tardive dyskinesia
dapat disebabkan oleh supersensitivitas reseptor
dopaminergik di ganglia basalis yang disebabkan oleh
penghambatan kronis reseptor dopamine oleh antipsikotik. 4
Bila terjadi Tardive dyskinesia, maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:12
a. Perlu dipastikan efektivitas antipsikotik yang
diberikan
b. Untuk pemakaian jangka panjang gunakan dosis
minimal yang efektif.
c. Hati-hati pemakaian untuk pasien anak-anak, orang
tua, dan pasien-pasien dengan gangguan mood.
d. Lakukan evaluasi rutin terhadap adanya gejala-
gejala tardif diskinesia
e. Bila ditemukan gejala, turunkan dosis antipsikotik
f. Bila gejala tidak bisa diatasi dengan penurunan
dosis obat antipsikotik atau bahkan memburuk,
26
hentikan obat dang anti dengan golongan atipikal
terutama clozapin.
Berbagai penelitian kecil telah malaporkan bahwa obat
agonis dan antagonis kolinergik, agonis dopaminergik, dan
GABA-ergik mungkin berguna, walaupun masih bersifat
eksperimental dan perlu peninjauan literature yang
terbaru.4
5. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi
yang membahayakan yang dapat terjadi setiap waktu
selama pemberian terapi antipsikotik. Gejala motorik dan
perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia,
mutisme, obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah
hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan kecepatan
denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium
adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin
fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan
mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 4
6. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan
perlambatan dan peningkatan sinkronisasi EEG. Efek
tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik
menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan
antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 4,9,10
7. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari
penghambatan reseptor dopamine tipe-1. Chlorpromazine
adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi.
Memberikan dosis antipsikotik harian sebelum tidur
biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi
untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 4
8. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi
parah; disorientasi terhadap waktu, orang dan tempat;
halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan
koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah
27
pertama menghentikan obat penyebab dan pemberian
physostigmine (antilirium, Eserine) 2 mg malalui infuse IV
lambat, diulangi dalam satu jam seperlunya. Terlalu
banyak physostigmine juga membahayakan. Gejala
toksisitas physostigmine adalah hipersalivasi dan
berkeringat. Atropin sulfat (0,5 mg) dapat membalikkan
physostigmine. 4
9. Kahamilan dan laktasi
Jika mungkin, antipsikotik harus dihindari selama
kehamilan, terutama dalam trimester pertama kecuali bila
manfaatnya melebihi risiko yang mungkin terjadi. Tetapi
pada kenyataannya, sangat sedikit data yang menyatakan
suatu hubungan antara adanya malformasi congenital pada
bayi dengan pemakaian antipsikotik selama kehamilan,
kecuali pada pemakaian chlorpromazine beberapa data
menyatakan bahwa pemakaian antipsikotik selama
kehamilan dapat menyebabkan penurunan reseptor
dopamine pada neonates, peningkatan kolesterol, dan
kemungkinan gangguan perilaku. Namun demikian,
pemakaian antipsikotik pada trimester kedua dan ketiga
relatif aman. Haloperidol disekresikan dalam air susu.
Sehingga pada wanita yang menggunakan antipsikotik
tidak diperbolehkan menyusui bayinya. 4
VI. INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
Karena banyaknya efek reseptor dan karena
metabolisme sebagian besar obat antipsikotik adalah di hati,
banyak interaksi obat yang dapat terjadi. Interaksi obat
antipsikotik dengan antasida dan cimetidine ternyata dapat
menurunkan absorbsi antipsikotik tersebut, yang diberikan
dalam dua jam pemberian antipsikotik. Antikolinergik juga
dapat menurunkan absorbsi antipsikotik. 4,5
Phenotiazine, khususnya thioridazine, dapat
menurunkan metabolism diphenylhidantoin, suatu
antikonvulsan, yang menyebabkan kadar toksik
diphenylhidantoin. Barbiturate dapat meningkatkan
metabolism antipsikotik, dan antipsikotik dapat menurunkan
ambang kejang pasien. Interaksi antipsikotik terhadap
28
antidepresan seperti obat trisiklik dapat menurunkan
metabolisme satu sama lain, yang menyebabkan peninggian
konsentrasi kedua obat dalam plasma. Efek antikolinergik,
sedative, dan hipotensi dari obat-obat tersebut dapat aditif. 4
Pemberian antipsikotik bersama propranolol berefek
meningkatkan konsentrasi kedua obat dalam darah.
Antipsikotik mempotensiasi efek depresan system saraf pusat
dari sedative, antihistamin, opiate, opioid, dan alcohol,
khususnya pada pasien dengan gangguan status respirasi. Jika
obat tersebut digunakan bersama alkohol, risiko terjadinya
“heat stroke” dapat meningkat. 4
Interaksi antipsikotik dengan zat lain seperti rokok,
dapat menurunkan kadar plasma antipsikotik. Epinefrin
memiliki efek hipotensif paradoksikal pada pasien yang
menggunakan antipsikotik. Obat antipsikotik ternyata dapat
menurunkan konsentrasi warfarin dalam darah, yang
menyebabkan penurunan waktu perdarahan. 4
VII. KESIMPULAN
Obat antipsikotik tipikal yang juga disebut obat
neuroleptik atau mayor transkuilizer merupakan golongan obat
psikotropik yang bekerja menghambat reseptor dopamine tipe
2 (D2). Obat antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik
generasi pertama yang terdiri dari tiga golongan yaitu
golongan fenotiazin (chlorpromazine, trifluoperazine,
fluphenazine, perphenazine), golongan butyrophenone
(haloperidol) dan golongan diphenyl-butyl-piperidine
(pimozide).
Obat-obat antipsikotik tipikal bekerja sebagai antagonis
reseptor dopamine di otak, dengan target untuk menurunkan
gejala-gejala psikotik seperti halusinasi, waham dan lain-lain.
System dopamine yang terlibat yaitu system nigrostriatal,
sistem mesolimbokortikal, dan sistem tuberoinfundibuler.
Karena kerja yang spesifik ini maka dapat diperkirakan efek
samping yang mungkin timbul bila sistem-sistem tersebut
mengalami hambatan yang berlebih. Bila hambatan pada
system nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan
terutama pada aktivitas motorik, sedangkan system
29
mesolimbokortikal mempengaruhi fungsi kognitif, dan fungsi
endokrin terganggu bila system tuberoinfundibuler terhambat
berlebihan.
Efek samping antipsikotik dapat dikelompokkan
menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis. Efek
samping neurologis berupa sindrom parkinson, akatisia,
distonia, sindrom neuroleptik maligna, tardive dyskinesia.
Sedangkan efek samping nonneurologis berupa efek pada
kardiovaskuler, hipotensi ortostatik, kematian mendadak, efek
endokrinologi, efek dermatologi, efek antikolinergik perifer
dan sebagainya.
Selain efek samping, perlu juga diperhatikan interaksi
obat antipsikotik dengan obat-obatan yang sering digunakan
seperti obat antikonvulsan, obat hipertensi, depresan system
saraf pusat, antasida dan obat jenis lainnya agar dapat
mengetahui efektifitas pemberian obat-obat tersebut serta efek
yang dapat ditimbulkan agar medikasi pasien dapat berjalan
baik.
30