Download - studi kasus pada illegal occupation
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Letak wilayah Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa
menyebabkan Indonesia banyak memiliki hutan khususnya hutan hujan
tropis. Areal hutan tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 144 juta ha.1
Hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yakni
dalam fungsi klimatologis, hidrolis, dan dalam memberikan kemanfaatan
ekonomi. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan
dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti
untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
serta religi dan budaya, sehingga hutan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Untuk menjaga dan melestarikan fungsi hutan, dalam peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan ditetapkan suatu prinsip
perlindungan hutan. Prinsip perlindungan hutan ini merupakan prinsip yang
tidak terpisahkan dan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan
atau yang kini diistilahkan dengan good forestry governance. Penerapan
1 Salim H.S, 2006, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
1
2
good forestry governance merupakan salah satu kunci untuk menekan
terjadinya kerusakan hutan.
Dalam tataran filosofi Hindu, prinsip perlindungan hutan dapat dilihat
pada sejumlah pustaka suci. Prinsip ini terangkum dalam Sad Kertih yang
tertuang dalam Kitab Purana terutamanya mengenai Wana Kertih yaitu
upaya untuk melestarikan hutan. Sad Kertih merupakan enam konsep dalam
melestarikan lingkungan yang terdiri dari Atma Kertih yaitu upaya untuk
menyucikan Atma, Samudra Kertih yaitu upaya untuk melestarikan
samudra, Wana Kertih yaitu upaya untuk melestarikan hutan, Danu Kertih
yaitu upaya untuk menjaga kelestarian sumber air tawar di daratan, Jagat
Kertih yaitu upaya untuk melestarikan keharmonisan hubungan sosial yang
dinamis dan produktif berdasarkan kebenaran dan Jana Kertih yakni upaya
untuk menjaga kualitas individu.2
Hutan dalam lontar Bhuwana Kosa VIII, 2-3 dikatakan sebagai
sumber penyucian alam dimana patra (tumbuh-tumbuhan) dan pertiwi
(tanah) merupakan pelebur dari segala hal yang kotor di dunia ini. Pustaka
suci Rgveda III.51.5 misalnya menyebutkan: “Indraa ya dyaava osadhir uta
aapah. Rayim raksanti jiyaro vanani” yang artinya tanpa terlindungi
sumber-sumber alam tersebut manusia tidak akan pernah mendapatkan
kehidupan yang aman damai dan sejahtera. Selanjutnya dalam kitab
Pancawati sebagaimana yang dikutip oleh I Ketut Wiana dijabarkan
2 I Ketut Wiana, “Mulianya Pahala Menjaga Kelestarian Hutan”, disampaikan pada Dharma
Wacana tentang upaya pelestarian hutan menurut agama Hindu yang diselenggarakan oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Bali di Desa Ban Kabupaten Karangasem pada 24 Juni 2010.
3
mengenai tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri)
yakni:
a. Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber dan pelindung
berbagai sumber hayati di dalamnya. Maha wana juga sebagai waduk
alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.
b. Tapa wana artinya tempat orang-orang suci mendirikan pertapaan atau
pasraman. Di pasraman inilah doa-doa suci terus dipanjatkan dan juga
ajaran-ajaran suci ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat yang
datang mohon tuntunan pada orang-orang suci tersebut.
c. Sri wana artinya hutan sebagai sumber membangun kemakmuran
ekonomi.3
Umat Hindu di Bali sangat menghormati keberadaan pohon dan
kelestarian lingkungan. Penghormatan umat Hindu terhadap pohon ini
merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi
Wasundari. Dalam mitologi Linggod Bhawa disebutkan bahwa Dewa
Wisnu sebagai Dewa Air menjelma menjadi babi hitam yang mencari ujung
bawah dari lingga yoni. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dan
kawin dengan Dewi Wasundari (ibu pertiwi). Dari perkawinan ini lahirlah
bhoma (bahasa Sanskerta dari pohon). Hal ini melukiskan peristiwa alam
dimana air yang bertemu dengan bumi (pertiwi) melahirkan pohon.
3 Ibid.
4
Wujud nyata dari penghormatan ini dapat dilihat dari adanya upacara
tumpek uduh yang dilaksanakan setiap wuku wariga. Tumpek uduh dimaknai
sebagai hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan
hidup segala tumbuh-tumbuhan (pohon-pohonan) agar tumbuh subur,
terhindar dari hama penyakit dan memberikan hasil yang lebih baik dan
berlimpah. Di jalan pun seringkali ditemukan pohon-pohon yang dilingkari
dengan kain poleng (putih hitam). Ciri ini memiliki makna filosofis yang
tinggi dimana para leluhur mengajarkan untuk “memanusiakan lingkungan”,
sehingga pohon-pohonan tersebut akan diperlakukan layaknya
memperlakukan manusia. Manusia diharapkan menghindari penebangan
pohon namun apabila hal tersebut terpaksa dilakukan maka diharapkan
setiap penebangan pohon selalu diikuti dengan penanaman pohon lain di
sebelah pohon yang ditebang itu. Tradisi ini pun hingga kini tetap
dipertahankan.
Prinsip perlindungan hutan yang terkandung dalam berbagai
instrumen hukum nasional khususnya pada Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan sesungguhnya berakar pula dari hukum adat. Sejak
masa kerajaan di Bali telah dikenal profesi Mantri Juru Kayu atau kini
dikenal dengan sebutan Menteri Kehutanan. Dalam Lontar Manawa Swarga
dinyatakan bahwa barang siapa yang menebang pohon tanpa izin Raja akan
didenda sebesar lima ribu kepeng. Sanksi tersebut diikuti dengan sanksi
5
spiritual berupa pengenaan kutukan agar kepalanya botak bagi orang yang
menebang pohon sembarangan.4
Sanksi terhadap pengerusakan hutan juga terkandung dalam awig-
awig desa pakraman, antara lain desa pakaraman Buahan, Kintamani, Bangli
yang mengadaptasikan pesan leluhur mereka dalam menjaga kawasan hutan.
Pesan leluhur tersebut dimuat dalam 23 lembar prasasti yang disebut
“Prasasti Bhatara Ratu Pingit” dan disimpan di sebuah batu berlubang di
Hutan Alas Kekeran yang disakralkan sebagai tempat roh para leluhur.5
Pengaturan mengenai larangan pengerusakan hutan juga dapat dilihat
dari awig-awig Desa Tenganan Pegringsingan yang mengatur mengenai
sistem pengelolaan tata hutan. Adapun isi awig-awig tersebut antara lain,
larangan memetik buah- buahan seperti buah durian, buah kemiri, buah
pangi serta larangan menebang pohon di dalam hutan. Aturan ini sangat
ketat dan konsisten dengan penerapan sanksi baik yang bersifat material
maupun sanksi yang bersifat imaterial. Pengaturan sanksi dalam sejumlah
awig-awig ini sejalan dengan pemikiran dari aliran Mazhab Sejarah oleh
Von Savigny mengenai volkgeist (jiwa rakyat) dimana isi hukum ditentukan
oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.6
4 Ibid.
5 Wayan Pukel, --- “Pengabdi Penyelamat Lingkungan: Desa Adat Pakraman Buahan” ,
Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:http://www.google.com.
6 Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, hal. 40
6
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum
perlu dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya
memiliki struktur politik pula.7 Secara yuridis, pentingnya perlindungan
hutan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan ditindaklanjuti dengan langkah Presiden untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia dalam
situs resminya mengemukakan mengenai perlindungan hutan yakni sebagai
berikut:
Forest protecting consist of forest secure including flora and fauna,
forest rangers and investigation. The aim of forest protection are to
secure forest, forest land, and its environment in order to get sustainable
and optimal functions of the forest e.g. protection, conservation, and
production.8
(Perlindungan hutan terdiri dari pengamanan hutan atas flora dan fauna,
penjagaan hutan dan investigasi. Hutan melindungi terdiri dari hutan
yang aman termasuk flora dan fauna, penjaga hutan dan investigasi.
Tujuan perlindungan hutan untuk mengamankan hutan, lahan hutan, dan
lingkungan dalam rangka untuk mendapatkan fungsi yang berkelanjutan
dan optimal, misalnya hutan perlindungan, konservasi, dan produksi).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan
satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan serta
penyidikan. Perlindungan hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk
7 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal. 8, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).
8 Departemen Kehutanan, “Forest Protection And Nature Conservation”, Serial Online (Cited
2011 Jan. 2), available from : URL:
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/PHKA/PHKA.htm.
7
menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,
fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan
lestari.
Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang
Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan
meliputi :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama, serta penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Berdasarkan rumusan norma tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip
perlindungan hutan memiliki dua fungsi yakni di satu sisi berfungsi dalam
melindungi kawasan hutan baik karena perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan di sisi lain berfungsi
dalam mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan.
Pelaksanaan dari prinsip perlindungan hutan ini sesungguhnya
merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan
hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan (Pasal 47 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
8
Kehutanan). Hak-hak negara tersebut meliputi hak untuk menguasai hutan
dengan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai
kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan serta
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
Masyarakat dan perorangan berhak untuk memanfaatkan dan
mendapatkan izin usaha atas hutan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Oleh sebab itu ada 3 (tiga) prinsip minimal yang harus diperhatikan
dalam tata kelola kehutanan yang baik, yaitu partisipasi masyarakat,
transparansi dan akuntabilitas. Prinsip tersebut harus saling bersinergi untuk
mewujudkan usaha-usaha perlindungan terhadap hutan.
Untuk mewujudkan perlindungan hutan secara optimal maka
ditentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana yang ditegaskan
dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dimana setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk
atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2
9
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga
puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan;
i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan
fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pengaturan yang komprehensif mengenai perlindungan hutan, ternyata
tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Seiring dengan kebijakan-
kebijakan perlindungan hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah,
organisasi lingkungan hidup dan masyarakat, ada saja persoalan yang
terjadi. Persoalan ini terlihat dari semakin meningkatnya angka deforestasi
10
(perubahan tutupan suatu wilayah dari kawasan hutan menjadi tidak
berhutan) dan degradasi hutan (penurunan kualitas hutan). Supriadi dalam
bukunya yang berjudul “Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di
Indonesia” memprediksikan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di
Indonesia diperkirakan 70 sampai dengan 80 persen merupakan akibat
perbuatan manusia. Selanjutnya ia menambahkan bahwa permasalahan ini
bagi Indonesia merupakan sesuatu yang sangat sulit, kerusakan hutan di
Indonesia disebabkan karena ulah manusia, baik sebagai masyarakat
maupun sebagai pengusaha. Namun pada sisi lain negara maju mendesak
kepada negara berkembang, terutama negara yang memiliki hutan tropis
menghentikan pemanfaatan hutan untuk keperluan pembangunannya.9
Kerusakan hutan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh illegal
occupation terhadap kawasan hutan. Kasus illegal occupation sesungguhnya
telah ada sejak masa prasejarah, namun seiring dengan perkembangan
zaman, tujuan dan motif illegal occupation juga mengalami pergeseran.
Sejak masa bercocok tanam/ zaman neolithik (kurang lebih 2000 SM),
masyarakat seringkali membuka kawasan hutan dengan cara membakar
hutan. Setelah hutan dibakar, masyarakat mengokupasi kawasan hutan
tersebut dengan tinggal dan berladang di kawasan yang telah dibakar tadi.
Jika kesuburan tanah dianggap telah menurun, maka warga meninggalkan
lahan tersebut dan mencari lahan baru kembali. Peladang tradisional
9 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 387-388.
11
biasanya membuka ladang sesuai dengan kebutuhan pangan dan kondisi
calon pangan.10
Kegiatan membakar hutan dengan cara berhuma ini masih
ada hingga kini, walaupun jumlahnya sudah menurun.
Seiring dengan modernisasi yang terjadi di berbagai bidang
kehidupan maka tujuan dan motif dari illegal occupation terhadap kawasan
hutan juga mengalami perubahan. Kasus illegal occupation yang
termodernisasi ini secara nyata dapat dilihat pada hutan-hutan di Bali, yakni
illegal occupation dengan pensertifikatan kawasan hutan. Kasus illegal
occupation memang tidak hanya terjadi di Bali melainkan di hampir setiap
daerah yang memiliki kawasan hutan, salah satunya adalah di Desa
Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang. Dalam kasus
tersebut terdapat sengketa penguasaan tanah hutan antara PT Perhutani
dengan masyarakat sekitar hutan sebagaimana yang dituliskan oleh
Bambang Eko Supriyadi, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum PPSUB
bersama Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang. Dalam penelitian tersebut ditelusuri
mengenai latar belakang masyarakat Desa Sumbergondo melakukan
reklaiming dan mengokupasi tanah hutan Perhutani. Dari akar permasalahan
penyebab konflik tersebut maka dilacak mengenai upaya-upaya yang telah
dan sedang dilakukan oleh para pihak dan pemerintah daerah dalam
mengatasi masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, kendala-kendala
10 Samsudi, Agus Wiyanto, 2002, Modul Pelatihan Training of Trainers Pencegahan
Kebakaran Hutan, Departemen Kehutanan dan ITTO, Bogor, hal. 49.
12
dan peluang para pihak dalam mengatasi masalah tersebut serta alternatif
penyelesaian masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, namun dalam
penelitian tersebut okupasi terhadap kawasan hutan oleh masyarakat di areal
kekuasaan pengelolaan PT. Perhutani (Persero) tidak sampai pada tahap
pensertifikatan.11
Tesis tentang kehutanan pernah ditulis oleh Anang Tri Hananta
dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang.” Dalam tesis tersebut dibahas
mengenai pelaksanaan Pasal 50 dan 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan di Kecamatan Ngantang dan dampak dan
penanggulangan penebangan liar di Ngantang sehingga dapat dicari solusi
yang benar-benar efektif guna memberantas pembalakan liar. Tesis ini
menelaah mengenai Pasal 50 yang juga mengatur mengenai larangan illegal
occupation namun dalam tesis ini pembahasan atas pasal tersebut dikaitkan
dengan penanggulangan terhadap pembalakan liar.12
11 Bambang Eko Supriyadi, Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya, “Sengketa Penguasaan
Tanah Hutan Antara PT. Perhutani (Persero) Dengan Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi di
Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang) The Conflict of Forest Land Control
between PT. Perhutani (Persero) and Village Society Surrounding Forest Area (A Study at Sumbergondo Village, District of Bumiaji, Batu, Malang),” Universitas Brawijaya, Malang, Serial
Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:
http://ppsub.ub.ac.id/perpustakaan/abstraksi/tesis/BAMBANG-EKO-SUPRIYADI---SENGKETA-
PENGUASAAN-TANAH-HUTAN-ANTARA-PT-PERHUTANI-%28PERSERO%29-DENGAN-
MASYARAKAT-DESA-.pdf
12 Anang Tri Hananta “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum Kecamatan Ngantang Kabupaten
Malang”, tesis, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah
Malang, 2009
13
Penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan melalui instrumen
hukum pidana pernah ditulis oleh S., Andrijani (2007) dengan judul
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia. Dalam
tesis tersebut dikaji mengenai tindak pidana kehutanan dari aspek hukum
positifnya, aspek sejarah hukum dan masalah penegakan hukumnya. Dalam
penelitian tersebut diketahui bahwa penegakan hukum terhadap tindak
pidana kehutanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
terkait, yakni instrumen hukum yang memadai, kebijakan dan peraturan
yang mendukung, aparat penegak hukum serta kapasistas kelembagaan yang
kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi hukum yang dikenakan
terhadap pelaku tindak pidana.13
Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam
mencegah abrasi yang mengancam Bali karena letaknya yang dikelilingi
oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang intangable yakni
dalam memberikan produk tambahan berupa jasa pariwisata. Manfaat dan
fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan dan makhluk hidup di
dunia memberikan konsekuensi logis bahwa keberadaan hutan harus dijaga
kelestariannya. Okupasi terhadap hutan khususnya terhadap Tahura Ngurah
Rai tentunya akan menyebabkan pulau Bali semakin rentan dengan abrasi.
Permasalahan illegal occupation terhadap hutan merupakan
permasalahan yang sangat kompleks mengingat pengaturan mengenai
13 S., Andrijani, “Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia” tesis,
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2007.
14
kepemilikan tanah diatur secara sporadis dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Untuk itu para pihak yang terlibat dalam
pensertifikatan tanah harus dapat mengintepretasikan peraturan tersebut
secara tepat. Di sisi lain, okupasi ini menghadapkan beberapa kepentingan
dari stake holder yang memiliki ego sektoral yang sangat tinggi.
Kasus illegal occupation menjadi pemicu dari deforestasi dan
degradasi dan konversi hutan secara ilegal. Hal ini tentu akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan meniadakan hak negara untuk
menguasai hutan demi kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu sangat menarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN
HUTAN DALAM PENANGGULANGAN ILLEGAL OCCUPATION DI
KAWASAN HUTAN (STUDI KASUS PADA ILLEGAL OCCUPATION
DI TAHURA NGURAH RAI).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
a. Bagaimanakah bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?
b. Bagaimanakah implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya
penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?
15
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Penelitian mengenai implementasi prinsip perlindungan hutan dalam
penanggulangan illegal occupation dilakukan di hutan mangrove Tahura
Ngurah Rai. Hutan ini merupakan hutan konservasi yang memiliki fungsi
pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
Dalam permasalahan pertama penelitian ini dibahas tentang bentuk
dan faktor-faktor yang menyebabkan illegal occupation di kawasan Tahura
Ngurah Rai, yang dibagi menjadi beberapa sub-sub pembahasan yakni
illegal occupation dalam bentuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah
dengan merambah kawasan hutan. Faktor-faktor penyebab meliputi faktor
struktur hukum dan faktor budaya hukum.
Permasalahan kedua membahas mengenai prinsip perlindungan
hutan dan implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi
illegal occupation sehingga pada akhir pembahasan dapat dirumuskan
mengenai upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di kawasan
hutan.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua tujuan penelitian yakni tujuan umum
dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah:
1.4.1 Tujuan umum.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah
kehutanan dari perspektif ilmu hukum.
16
1.4.1 Tujuan khusus.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:
a. Menganalisis bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
b. Menganalisis implementasi prinsip perlindungan hutan dalam
upaya penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan penelitian ini
adalah untuk menambah wawasan serta pengembangan khasanah
ilmu dalam hukum kehutanan.
1.5.2 Manfaat praktis.
Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi legal drafter, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk
merevisi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Adapun substansi dari peraturan perundang-undangan tersebut
wajib memuat ketentuan-ketentuan baik yang bersifat preventif
maupun represif terhadap segala bentuk illegal occupation di
kawasan hutan.
b. Bagi Badan Pertanahan Nasional agar berhati-hati dalam
memverifikasi syarat-syarat pendaftaran tanah yang nantinya
17
akan menjadi dasar untuk mengeluarkan sertifikat kepemilikan
tanah.
c. Bagi Polisi Hutan, untuk melakukan upaya preventif terhadap
upaya-upaya illegal occupation dan represif terhadap pelaku
illegal occupation sesuai dengan kewenangannya.
d. Bagi Notaris agar memverifikasi status tanah dari setiap
permohonan sertifikat kepemilikan yang diajukan oleh klien
yang ditanganinya.
e. Bagi Masyarakat agar lebih berhat-hati dalam membeli tanah
agar jangan sampai terlanjur membeli tanah hutan.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.6.1 Landasan Teoritis
Landasan teoritis dalam penelitian ini meliputi teori, konsep dan
pendapat para sarjana.
1.6.1.1 Teori
Teori-teori yang dipergunakan untuk menganalis
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1) Teori sistem hukum.
2) Teori hukum dan lingkungan fisik.
3) Teori kebutuhan.
Teori tersebut dapat dijabarkan sebagaimana yang
terurai di bawah ini:
18
1) Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence
Friedman. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:
sistem hukum terdiri dari tiga komponen sistem, yaitu 1)
substansi hukum (legal subtance), 2) struktur hukum
(legal structure) dan 3) budaya hukum (legal culture).
Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen
sistem hukum tersebut yakni: 14
a) Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum
beserta aparatnya, jadi termasuk di dalamnya
kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan
jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan
seterusnya.
b) Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum
(termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang
tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.
c) Kultur hukum, mengenai pengertian kultur hukum
ini Friedman menyatakan:
Besides structure and subtance, then, there is a
third and vital element of the legal system. It is
14 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal.225.
19
the element of demand. What creates a demand?
One factor, for what of a better term, we call ‘the
legal culture’. By this we mean ideas, attitudes,
beliefs, expectations and opinions about law.
Teori ini akan digunakan untuk menganalisis
permasalahan permasalahan mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya illegal occupation di kawasan
Tahura Ngurah Rai.
2) Teori hukum dan lingkungan fisik
Teori hukum dan lingkungan fisik merupakan teori
yang dikemukan oleh Montesquieu dengan menjabarkan
lebih lanjut mengenai hubungan antara hukum dengan
lingkungan. Bagi pemikir pada era Aufklarung ini, ada
faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat,
yakni faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang
utamanya adalah iklim yang menghasilkan akibat-akibat
fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan
daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan
suatu masyarakat juga turut berpengaruh. Dalam faktor
moral terhimpun antara lain agama, adat-istiadat,
kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta
suasana yang tercipta di pengadilan.15
15 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 81-82.
20
Teori ini akan digunakan untuk menganalisis
implementasi prinsip perlindungan hutan dalam
menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura
Ngurah Rai.
3) Teori kebutuhan
Teori kebutuhan merupakan salah satu bagian dari
teori motivasi yang diperkenalkan oleh Abraham
Maslow. Maslow mengatakan bahwa dalam diri manusia
bersemayam lima jenjang kebutuhan yakni:
a) Psikologis: antara lain rasa lapar, perlindungan
(pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan
jasmani lain.
b) Keamanan: antara lain keselamatan dan
perlindungan terhadap kerugian fisik dan
emosional.
c) Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki,
diterima baik dan persahabatan.
d) Penghargaan: mencakup faktor penghormatan diri
seperti harga diri, otonomi dan prestasi serta
faktor penghormatan dari luar seperti misalnya
pengakuan dan perhatian.
e) Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi
seseorang/ sesuatu sesuai ambisinya yang
mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi dan
pemenuhan kebutuhan diri.16
16 Stephen P. Robbins, 2003, Perilaku Organisasi edisi kesepuluh, Indeks, Jakarta, hlm. 214.
21
Maslow mendikotomikan kelima kebutuhan ini
yang tersusun secara hierarki, sehingga dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Hierarki kebutuhan
Jika kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang
dikemukakan Maslow tidak terpenuhi maka ia akan
termotivasi untuk melakukan hal-hal dalam mencapai
tujuan tersebut. Dengan demikian teori ini akan
digunakan untuk menganalisis mengenai bentuk illegal
occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dan
implementasi prinsip perlindungan hutan dalam
menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
1.6.1.2 Konsep
Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: 1) implementasi dan penanggulangan 2) prinsip
22
perlindungan hutan, 3) asas penyelenggaraan kehutanan, 4)
illegal occupation, 5) kawasan hutan dan 6) Tahura. Konsep
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Implementasi dan penanggulangan
Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris
yakni “implement”. Dalam Oxford Dictionary,
implement berarti carry out (a plan, idea, etc.).17
Dengan
demikian implementasi berarti pelaksanaan atau
penerapan suatu perencanaan, ide, prinsip, aturan dan
sebagainya. Adapun kata implementasikan dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Gambar 2
Visualisasi konsep implementasi18
17 Martin H. Compiler, 1995, Oxford Learner’s Pocket Dictiobary New Edition, Oxford University Press, Oxford, hal. 206.
18 Arti Kata.com, 2011, “Definisi 'implementasi' “Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available
from : URL: http://www.artikata.com/arti-330542-implementasi.html
23
Kajian mengenai implementasi prinsip
perlindungan hutan sangat penting untuk mengukur
keberhasilan dalam penanggulangan illegal occupation.
Konsep penanggulangan mengandung upaya-upaya
preventif dan represif. Upaya preventif merupakan upaya
pencegahan terhadap illegal occupation sedangkan upaya
represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap
pelaku illegal occupation.
2) Prinsip Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan menurut Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan adalah:
Usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan
hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Dalam memberikan perlindungan terhadap hutan
maka hutan tersebut harus dikelola dengan baik.
Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan
pengelolaan hutan lestari berdasar tata hutan, rencana
pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan,
24
perlindungan hutan dan konservasi.19
Dengan adanya
upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di
kawasan hutan maka prinsip perlindungan hutan dan
konsep good forestry governance akan terlaksana dengan
baik.
3) Asas penyelenggaraan kehutanan
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan
hutan maka dibutuhkan upaya-upaya yang didasarkan
pada asas penyelenggaraan kehutanan. Penyelenggaraan
kehutanan didasarkan pada asas-asas sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan. Adapun yang dimaksud dengan
asas-asas penyelenggaraan kehutanan meliputi:
a. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan
lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan
penyelenggaraan kehutanan memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan,
sosial dan budaya, serta ekonomi.
b. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan
dan keadilan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan
peluang dan kesempatan yang sama kepada semua
19 Anonim, 2006, “ Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bentuk Pengelolaan Hutan Masa
Mendatang?” Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://www.google.com,
(selanjutnya disebut anonim I).
25
warga negara sesuai dengan kemampuannya,
sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh
rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian
wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan
harus dicegah terjadinya praktek monopoli,
monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
c. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan
kebersamaan, dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha
bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan
saling ketergantungan secara sinergis antara
masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD,
dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan
usaha kecil, menengah, dan koperasi.
d. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan
dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan
kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan
memperhatikan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan
keterpaduan, dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara
terpadu dengan memperhatikan kepentingan
nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat
26
4) Illegal occupation
Istilah okupasi berasal dari bahasa Inggris yakni
occupation. Dalam kamus Oxford disebutkan bahwa
occupation adalah action of taking possession of a
country20
atau secara bebas diterjemahkan sebagai
tindakan untuk mengambil kepemilikan di suatu negara.
Illegal occupation dalam konteks ini adalah kegiatan
membuka lahan atau pendudukan di kawasan hutan baik
yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa illegal occupation
merupakan pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat
tanpa izin Menteri Kehutanan.
5) Kawasan Hutan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang
dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1
20 Martin H. Compiler, op.cit., hal. 284.
27
angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan).
Ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur
bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan
untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan
hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau
dengan sebaran yang proporsional. Untuk itu pemerintah
menetapkan wilayah Tahura.
6) Tahura
Tahura (taman hutan raya) adalah kawasan hutan
yang termasuk dalam hutan konservasi yang berfungsi
untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Hutan jenis ini tergolong pada hutan
negara yang artinya dikuasai penggunaannya oleh
negara. Tahura ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.
28
1.6.1.3 Pandangan para sarjana
Pandangan para sarjana yang digunakan dalam tesis ini
adalah pandangan dari 1) Otje Salman dan Anton F. Susanto,
2) H.L.A Hart, 3) Soerjono Soekanto, 4) Simon dan beberapa
pandangan para ahli lain yang hampir serupa. Otje Salman
dan Anton F. Susanto menuliskan bahwa pandangan “hukum
sebagai sistem” adalah pandangan yang cukup tua, mesti arti
“sistem” dalam berbagai berbagai teori yang berpandangan
demikian itu meski tidak selalu jelas dan tidak juga seragam.
Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita
secara langsung bahwa jenis sistem hukum tersebut telah
ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem
jenis manapun juga.21
Pandangan mengenai substansi hukum selalui dikaitkan
dengan keberlakuan hukum. Dalam teori ilmu hukum, dapat
dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum
sebagai kaidah, yakni sebagai berikut:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila
penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang
telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila
kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat
dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori
21 Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung , hal. 86.
29
kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai
dengan cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi.22
Struktur hukum dalam sistem hukum adalah penegak
hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat
luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah
dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan
hukum, petugas seyoggianya harus memiliki suatu pedoman
salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang
lingkup tugasnya.23
Kultur hukum berkaitan dengan penilaian manusia
dalam melihat hukum. Manusia sebagai makhluk budaya
selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang
dialaminya. Menilai berarti memberi pertimbangan untuk
menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk,
indah atau jelek berguna atau tidak.24
Hasil penilaian itu
disebut dengan nilai. Nilai-nilai yang hidup di masyarakat
membentuk sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman,
acuan perilaku. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran
22 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
23 Ibid., hal. 9.
24 Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8
30
masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.25
Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya
hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.26
Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang
perikelakuan atau blueprint for behavior yang menetapkan
peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya
dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya27
Teori sistem hukum juga dikemukakan oleh H.L.A Hart
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum
modern. Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang
dijelaskannya sebagai primary rules dan secondary rules.
Hart memandang bahwa penyatuan antara primary rules dan
secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum dan
keduanya harus ada dalam sistem hukum.28
Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban
manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Mengenai
primary rules Charles Sampford menyimpulkan terdapat dua
model. Yang pertama adalah primary rules yang di dalamnya
25 Ibid.
26 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hal. 232.
27 Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hal. 204, (selanjutnya Soerjono Soekanto I).
28 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal. 96.
31
berisi apa yang disebut aturan sosial (social rule), yang eksis
apabila syarat-syarat yakni adanya keteraturan perilaku di
dalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan
banyak dijumpai dalam masyarakat. Model kedua bahwa
aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu
(sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang
relevan.29
Secondary rules merupakan rules about rules yang
apabila dirinci meliputi aturan yang menetapkan persisnya
aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition).
Kedua, bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of
change) dan ketiga, bagaimana dan oleh siapa dapat
dikuatkan/ dipaksa, ditegakkan (rules of adjudication).
Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih
efisien sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku, dan
rules of recognition bersifat reduksionis.30
Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial
di negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara
memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang
dilegalisasi dengan substansi hukum. La Bruyerre, pakar
29Ibid.
30 Ibid., hal. 91.
32
hukum Prancis abad ke-17 menegaskan “dihukumnya
seseorang yang tidak bersalah, merupakan urusan semua
orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang
bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons
escape. than that one innocent man suffer” (di dalam hukum,
adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah,
ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah).31
Soerjono Sekanto mengemukakan mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum yakni:
1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini
akan dibatasi pada undang-undang saja.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta,
dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.32
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan
lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,
31 Achmad Ali, op.cit., hal. 501.
32 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8, (selanjutnya Soerjono Soekanto II).
33
dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang
sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya
sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang aktual. 33
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).34
Mengenai nilai-nilai dalam masyarakat ini, Soerjono
Soekanto mengungkapkan bahwa derajat efektivitas hukum
dipengaruhi oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap
hukum. Dengan demikian, dikenal suatu asumsi bahwa taraf
kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator
berfungsinya suatu sistem hukum.35
33 Ibid.
34 Ibid.
35 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal. 62, (selanjutnya
Soerjono Soekanto III).
34
Pemikiran mengenai perlindungan terhadap hutan
juga dikemukakan oleh Koesnadi Hardjosoemantri yang
menyatakan bahwa seharusnya diberikan hak perlindungan
kepada hutan, samudra, sungai dan sumber daya alam lainnya
yang ada dalam lingkungan, malahan sekaligus kepada
lingkungan hidup itu sendiri.36
Dengan demikian harus
dikelola dengan baik demi pelaksanaan prinsip perlindungan
hutan.
Menurut Simon, perkembangan teori pengelolaan
hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
kategori kehutanan konvensional dan kategori kehutanan
modern (kehutanan sosial). Kehutanan konvensional adalah
teori pengelolaan hutan yang termasuk ke dalam kehutanan
konvensional adalah penambangan kayu atau timber
extraction (TE) dan perkebunan kayu atau timber
management (TM). Kehutanan sosial adalah pengelolaan
hutan sebagai sumber daya atau forest resource management
(FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest
ecosystem management (FEM). Keduanya disebut juga
dengan istilah lain Sustainable Forestry Management (SFM).
Teori-teori pengelolaan hutan tersebut, secara evolutif
36 Koesnadi Hardjosoemantri, 1983, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 211.
35
berkembang, sejak dari mulai penambangan kayu (TE)
hingga sampai pada pengelolaan ekosistem hutan (FEM).37
Pemanfaatan hutan bagi masyarakat sedapat mungkin
memberikan kemanfaatan. Konsep ini sejalan dengan teori
tujuan hukum yakni kemanfaatan tidak dapat dilepaskan dari
doktrin yang sangat populer dari Jeremy Bentham yang
mengedepankan the greatest happines principle (prinsip
kebahagian yang semaksimal mungkin). Masyarakat yang
ideal menurut Bentham adalah masyarakat yang mencoba
memperbesar kebahagiaan dan memperkecil
ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi
kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada
umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit
mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.38
1.6.2 Kerangka berpikir.
Dalam penulisan penelitian ini, disusunkan kerangka konseptual
yang menjelaskan secara singkat mengenai masalah yang akan diteliti,
menggambarkan variabel-variabel dengan dilandasi oleh landasan
teoritis sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun
kerangka berpikir dapat diterjemahkan dalam bagan di bawah ini
yakni:
37 Wikipedia, “Kehutanan”, Serial Online 13:58, 29 Oktober 2010, (Cited 2011 Jan. 2),
available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Kehutanan, 38 Achmad Ali, op.cit., hal. 274-275.
36
Gambar 3
Kerangka berpikir
Substansi Hukum Struktur Hukum Budaya Hukum
Keterangan:
= Mempengaruhi
= Teori Utama
Tindakan illegal occupation akan selalu ditinjau dengan menggunakan
teori sistem hukum sebagai teori utama dalam penelitian ini. Analisis prinsip
perlindungan hukum ditelaah dari segi substansi hukum yang menjadi payung
hukum dari perlindungan hutan dan penegakan prinsip perlindungan hutan
Hierarki
kebutuhan
1. Psikologis
2. Keamanan
3. Sosial
4. Penghargaan
5. Aktualisasi
diri
Illegal
occupation
Implementasi prinsip
perlindungan hutan dalam
penanggulangan illegal
occupation di Tahura
Ngurah Rai
Perspektif
hukum dan
lingkungan fisik
1. Faktor fisik
2. Faktor moral
37
dalam menanggulangi illegal occupation, struktur hukum dalam menjaga
kawasan hutan dari illegal occupation dan budaya hukum terhadap upaya-
upaya perlindungan hutan.
Analisis melalui elemen sistem hukum tersebut akan memberikan
pemahaman mengenai bentuk illegal occupation di kawasan hutan serta
faktor-faktor penyebab terjadinya illegal occupation. Dengan pemahaman
tersebut maka dapat dirumuskan mengenai upaya-upaya penanggulangan
terhadap illegal occupation baik yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi
lingkungan hidup dan masyarakat.
Berdasarkan teori kebutuhan dan teori lingkungan fisik maka dapat
diketahui bentuk illegal occupation dan implementasi prinsip perlindungan
hutan dalam menanggulangi illegal occupation. Terjadinya illegal occupation
merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hutan khususnya
perlindungan hutan dari perbuatan manusia.
1.7 Hipotesis
Berdasarkan teori sistem hukum, teori lingkungan fisik dan teori
kebutuhan maka dapat dirumuskan hipotesis seperti ini:
a. Bentuk illegal occupation di Tahura Ngurah Rai terjadi karena adanya
kebutuhan manusia untuk menduduki kawasan hutan. Faktor-faktor
penyebab dari illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai disebabkan
karena faktor struktur hukum dan faktor budaya hukum.
38
b. Implementasi prinsip perlindungan hutan ini sangat bergantung pada
selarasnya hukum dan lingkungan fisik serta kebutuhan negara,
penegak hukum, badan usaha dan masyarakat dalam melaksanakan
prinsip perlindungan hutan. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan
psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis penelitian hukum empiris yang mengkaji bekerjanya hukum di
masyarakat, yakni dengan mengkaji mengenai illegal occupation di
Tahura Ngurah Rai. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang
melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum dalam
penelitian ini tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala normatif yang
otonom, akan tetapi suatu institusi sosial yang secara riil berkaitan
dengan variabel-variabel sosial lainnya.39
1.8.2 Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sikap, gejala dan keadaan dari illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai dalam konteks perlindungan hutan.
Perlindungan hutan merupakan suatu prinsip dalam ilmu hukum yang
kemudian dirumuskan secara normatif dalam peraturan perundang-
unangan. Oleh sebab itu penelitian ini termasuk dalam theoretical
39 Soetandyo Wignjosoebroto, 1974, “Penelitian Hukum: Sebuah Tipologi,” Majalah
Masyarakat Indonesia, tahun ke-1 No. 2., hal. 96.
39
research. Terry Hutchinson menjelaskan bahwa theoretical research
adalah “Research which fosters a more complete understanding of the
conceptual bases of legal principles and of the combined effect of a
range of rules and procedures that touch on particular area of
activity.”40
Dengan demikian penelitian ini mengelaborasikan
pemahaman yang lebih lengkap dari suatu konsep yang didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum dan menggabungkan akibat dari
perubahan aturan-aturan serta prosedur yang berkaitan dengan
tindakan hukum tertentu.
Deskripsi mengenai illegal occupation ini disertai dengan
analisis kritis terhadap struktur hukum dan budaya hukum yang
menyebabkan terjadinya illegal occupation. Dari gambaran tersebut
ditemukan prinsip perlindungan hutan yang disimpangi dari adanya
illegal occupation dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan
terhadap illegal occupation tersebut.
1.8.3 Lokasi penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Tahura Ngurah Rai yang berlokasi
di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena Tahura Ngurah Rai
merupakan satu-satunya Tahura yang dimiliki oleh Provinsi Bali
sebagai kawasan Konservasi yang berfungsi sebagai pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Teknik
penentuan informan kunci dimulai dari petugas pengukuran tanah
40 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney,
Australia, hal. 9.
40
yang terdiri atas tim rekonstruksi/ pengukuran tanah hutan pada Dinas
Kehutanan Provinsi Bali dan Polisi Hutan saat melakukan patroli
keamanan hutan. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat perubahan
posisi pada beberapa titik pal batas, adanya kegiatan di luar kegiatan
kehutanan berupa bangunan, pondasi dan penebangan mangrove.
Penggalian informasi dilanjutkan terhadap pelaku illegal
occupation. Dari pelaku illegal occupation diperoleh informasi
adanya kepemilikan hak yang sudah mereka pegang sebagai dasar
bagi mereka menduduki kawasan hutan tersebut. Informan selanjutnya
adalah BPN, Notaris, Tokoh Adat dan Masyarakat untuk menelaah
mengenai faktor penyebab dan kronologis dari illegal occupation.
Begitu seterusnya pencarian informasi mengenai illegal occupation,
dan berhenti pada titik jenuh atau sudah terpenuhinya data yang
dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini.
1.8.4 Jenis data dan sumber data.
1.8.4.1 Jenis data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
penelitian lapangan langsung dari sumber pertama baik dari
informan maupun dari responden. Data sekunder diperoleh
dari penelitian kepustakaan berupa literatur dan kamus.
41
1.8.4.2 Sumber data
a) Sumber data primer
Data primer dalam penelitian ini bersumber dari
wawancara yang dilakukan terhadap polisi hutan,
notaris, BPN, Tokoh Adat/masyarakat dan pelaku
illegal occupation serta melalui observasi terhadap
kawasan hutan yang diokupasi secara ilegal serta
sidang pengadilan mengenai illegal occupation.
b) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder berasal dari bahan hukum
dan bahan non hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini
adalah:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
2. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
42
4. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan.
5. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998
tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian, awig-
awig, karya tulis hukum yang termuat dalam media
massa, buku-buku hukum dan jurnal-jurnal hukum
baik yang dimuat dalam media cetak maupun media
online.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah kamus.
Bahan non hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah prasasti dan literatur tentang
lingkungan hidup, ilmu manajemen dan kehutanan.
1.8.5 Teknik pengumpulan data.
1.8.5.1 Teknik pengumpulan data primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan
teknik:
43
a. Wawancara, wawancara dilakukan untuk
menggali faktor-faktor penyebab dari illegal
occupation dan upaya yang telah dilakukan
untuk menanggulanginya. Wawancara
dilakukan pada Polisi Kehutanan Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, Notaris, BPN, Tokoh
Adat/masyarakat dan pelaku illegal occupation.
b. Observasi/ pengamatan, teknik ini dilakukan
pada illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
dan pada proses sidang pengadilan mengenai
illegal occupation. Teknik ini dilakukan dengan
cara mengamati dan mencatat segala hal untuk
menjelaskan mengenai bentuk illegal
occupation dan faktor-faktor penyebab
terjadinya illegal occupation di kawasan hutan.
1.8.5.2 Teknik pengumpulan data sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder yang
digunakan adalah studi kepustakaan yakni dalam
mengumpulkan bahan hukum dan bahan non hukum
yang relevan dengan penelitian ini.
44
1.8.6 Pengolahan dan analisis data.
1.8.6.1 Pengolahan data
Data lapangan yang telah dilakukan proses
editing yakni merapikan kembali data yang telah
diperoleh dengan memperhatikan kelengkapan,
kejelasan dan sinkronisasi dari data yang telah
dikumpulkan sebelumnya, Kemudian dilanjutkan
dengan coding yakni mengklasifikasikan jawaban
informan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan,
kemudian diolah sehingga data tersebut dapat
berfungsi secara relevan didalam menjawab semua
permasalahan yang dirumuskan didalam penelitian
ini.
1.8.6.2 Analisis data
Analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif oleh karena
penelitian ini bersifat deskriptif. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini bukanlah berupa
angka-angka melainkan berupa fakta-fakta, kasus-
kasus dan hubungan antara variable mengenai
illegal occupation melalui pensertifikan tanah hutan
menjadi tanah milik. Proses analisis dilakukan
45
dengan cermat hingga mendapatkan hasil penelitian
yang valid dan reliabel.
1.8.7 Teknik penyajian data
Setelah dianalisis maka hasil analisis data tersebut
disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hasil
analisis dijabarkan dalam bentuk uraian-uraian mengenai
fenomena yang diangkat, kemudian dihubungkan dengan
teori, konsep dan pendapat sarjana sehingga diperoleh
gambaran yang komprehensif mengenai substansi
permasalahan. Gambaran ini disusun secara sistematis sesuai
dengan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya
guna memperoleh simpulan dan saran yang rasional.
46
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN
ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hutan
Prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk menjaga dan
melestarikan Tahura dari illegal occupation, sehingga secara umum hutan
dan perlindungan hutan merupakan dua terminologi yang tidak dapat
dipisahkan. Hutan menunjuk pada objek hukum sedangkan perlindungan
hutan menunjuk pada perbuatan subjek hukum terhadap objek hukum. Kata
hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris).
Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat
dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan seperti pariwisata. Di
dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah daerah tertentu yang
tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-
burung hutan. Di samping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan,
tempat peristirahatan dan tempat bersenang-senang bagi raja dan pegawai-
pegawainya.41
Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan, adalah:
Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,
sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi
menentukan lingkungannya akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-
tumbuhan/ pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas
dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).42
41 Black dalam Salim H.S., op.cit., hal. 40.
42 Ibid., hal 40.
47
Selanjutnya Dengler mengemukakan bahwa “yang menjadi ciri hutan
adalah adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak
termasuk savana dan kebun), dan pepohonan tumbuh secara
berkelompok.”43
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan memberikan pengertian bahwa hutan adalah “suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Dari uraian mengenai pengertian
hutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut dapat diketahui empat
unsur yang terkandung dari definisi tersebut yakni:
a. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut
tanah hutan.
b. Unsur pohon (kayu, bambu, palm), flora dan fauna.
c. Unsur lingkungan.
d. Unsur penetapan pemerintah.44
Dalam konteks kehutanan dan kelangsungan hidup manusia, hutan
sangat penting bagi kehidupan jutaan orang Indonesia. Sekitar 48,8 juta
orang hidup di hutan negara dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya
43 Ibid.
44Ibid, hal. 40.
48
merupakan orang miskin. Secara keseluruhan, sekitar 20 juta orang
Indonesia tinggal di daerah pedesaan dekat hutan, dan sekitar 6 juta orang
memperoleh penghasilan dari sumber daya hutan . Di samping menyediakan
pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, hutan juga penting untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat termiskin di kawasan hutan,
seperti untuk kayu bakar, obat-obatan, makanan, bahan bangunan, dan
barang lainnya.45
Kuantitas areal hutan yang begitu besar memberikan kesempatan
kerja yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Tercatat sektor kehutanan
mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 1,5 juta orang dan
penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebesar 2,5 juta orang. Apabila
setiap pekerja memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-4 orang, maka
jumlah orang yang hidupnya tergantung kepada sektor kehutanan mencapai
12-16 juta orang. Tidak hanya itu, sektor kehutanan juga berhasil menjadi
pendorong bagi berkembangnya sektor-sektor lain, diantaranya sektor
industri pendukung mesin dan peralatan, industri kimia, industri perbankan
dan asuransi, industri metal, industri jasa berupa pendidikan, pelatihan dan
pengembangan serta jasa-jasa pengujian. Pada periode tersebut, total
investasi di sektor kehutanan yang ditanamkan oleh pihak swasta mencapai
US$27,7 miliar dimana US$10,7 miliar merupakan industri pulp dan
45 H. MS. Kaban, “Perlindungan dan Pemberdayaan Hutan; Wujud Bela Negara dalam
Perspektif Kebangkitan Nasional”, Selasa, 19 Juni 2007,
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=527&Itemid=11, diakses
pada 2 November 2010.
49
kertas.46
Dari sisi finansial, keberadaan hutan dan hasil-hasil hutan mampu
menopang roda perekonomian negara, badan usaha dan masyarakat.
Dari sisi pelestarian lingkungan hidup, hutan mampu
mengkonversikan CO2 menjadi O2 dalam proses fotosistensis sehingga efek
rumah kaca dan gangguan iklim dapat teratasi. Dalam hal ini hutan memiliki
fungsi klimatologis yakni sebagai pengatur iklim dan sebagai paru-paru
dunia yang menghasilkan oksigen. Fungsi hutan sebagai pengahasil O2
tentunya sangat bermanfaat bagi hidup manusia. O2 merupakan bahan baku
bagi manusia untuk bernafas, oleh sebab itu manusia sangat membutuhkan
hutan dalam kehidupannya. Selain itu, hutan juga memiliki fungsi hidrolis
yakni dapat menampung air hujan di dalam tanah, mencegah intrusi air laut
yang asin dan menjadi pengatur tata air tanah.
Menilik pada fungsi hutan yang begitu besar dalam kehidupan
manusia, maka hutan tersebut harus dilindungi. Kenyataan inilah yang
melahirkan konsep perlindungan hutan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hutan adalah usaha untuk
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya
alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak
negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
46 Agung Nugraha, 2004, Menyongsong Perubahan Menuju Evitalitasi Sektor Kehutanan,
Wirna Aksara, Jakarta, hal. 58-59.
50
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Sehingga dari rumusan normatif tersebut dapat dijelaskan mengenai ruang
lingkup dari perlindungan hutan yakni:
a. Suatu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan
hutan dan hasil hutan.
b. Dari perbuatan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.
c. Dalam rangka mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Ruang lingkup perlindungan hutan ini juga ditegaskan kembali dalam
Penjelasan Umum Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Hutan yang menyebutkan:
Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan
dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi
kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam
pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
Dalam Pasal 46 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dinyatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari. Pemerintah mengatur perlindungan
51
hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan ini
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja melainkan
diselenggarakan melalui sinergi antara pemerintah, pemegang hak atau izin
pengelolaan hutan dan masyarakat yang dilakukan berdasarkan status hutan,
apakah termasuk hutan negara atau hutan hak. Perlindungan hutan pada
hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.
Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang
menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan
dalam areal kerjanya. Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas
terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Perlindungan hutan pada hutan
hak dilakukan oleh pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan
perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam
upaya perlindungan hutan. Dengan demikian secara spesifik ada beberapa
pihak yang berkewajiban melaksanakan perlindungan hutan yakni
pemerintah, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang
menerima wewenang pengelolaan hutan, pemegang hak dan masyarakat.
Untuk menjamin perlindungan hutan melalui good forestry
governance maka dilakukan penegakan prinsip perlindungan hutan.
Penegakan prinsip perlindungan hutan merupakan salah satu bentuk dari
penegakan hukum di bidang kehutanan. Ada empat faktor yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum secara konsisten di bidang kehutanan,
yaitu:
52
a. Ada ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum yang
ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang
kehutanan. Ketentuan hukum yang ada dalam bindang kehutanan telah
cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara
penyidikan, penuntutan serta memuat tentang sanksi yaitu sanksi
administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana;
b. Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang
kehutanan, seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Polri,
Kejaksaan dan Hakim.
c. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti,
alat tulis dan alat transportasi.
d. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di
bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat, penegak hukum
sulit memprosesnya.47
Terkait dengan fungsi penegak hukum dalam menjamin
terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan
tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian
khusus. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
47 Salim H.S., op.cit., hal. 3-4.
53
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan
hutan. Kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam
bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit
atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Adapun kegiatan perlindungan hutan
ini merupakan kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
Kegiatan perlindungan hutan di wilayah dan untuk kegiatan tertentu, dapat
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang bergerak di bidang kehutanan.
Dalam rangka kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan
pelatihan kehutanan, religi dan budaya, Menteri menetapkan perlindungan
54
hutan dengan tujuan khusus. Perlindungan hutan pada kawasan hutan
dengan tujuan khusus untuk kegiatan :
a. penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang
melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan;
b. pendidikan dan pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang
melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan;
c. religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan
kegiatan keagamaan dan kebudayaan.
Prinsip perlindungan hutan merupakan aktualisasi dari nilai-nilai civil
society yang artinya berasal dari kearifan lokal dan dipertahankan melalui
penguatan budaya hukum mereka. Terkait dengan budaya hukum
masyarakat maka perlindungan hutan ini menjadi isu etika bagi mereka.
Perlindungan hutan akan terlaksana dengan baik jika mereka memiliki etika
yang baik dalam menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan. Prinsip ini
juga merupakan penjabaran dari nilai-nilai religius agama yang mereka
anut, sehingga sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku pengrusakan hutan selalu
dikaitkan dengan upacara agama dan adat-istiadat masyarakat setempat.
Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan yang sesuai dengan good
forestry governance pada dasarnya adalah upaya perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia atas perolehan lingkungan hidup yang baik
dan sehat sebagaimana yang dikumandangkan dalam sejumlah instrumen
hak asasi manusia. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
merupakan kewajiban semua pihak, negara dan warga negaranya. Hak asasi
55
manusia tidak hanya berbicara mengenai hak, tetapi juga berbicara
mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan
menghargai hak asasi manusia orang lain. Dengan demikian segala kegiatan
pengrusakan hutan merupakan tindakan melanggar hak asasi orang lain.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Illegal occupation
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah perbuatan hukum
yang bertentangan dengan prinsip penguasaan hutan oleh negara. Dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dinyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Rumusan norma tersebut mengamanatkan bahwa penguasaan atas
bumi, air dan kekayaan alam dilakukan oleh negara, sehingga hutan sebagai
salah satu kekayaan alam yang juga merupakan sumber air dikuasi oleh
negara.
Penguasaan terhadap hutan mutlak dipegang oleh negara, namun
pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan oleh badan usaha atau
masyarakat. Hutan pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh badan usaha atau
masyarakat, sebab konsep kepemilikan oleh badan usaha atau masyarakat
sangat bertentangan dengan konsep penguasaan oleh negara. Pemilikan
adalah hak untuk menguasai terhadap suatu barang baik dalam bentuk
memanfaatkan maupun dalam bentuk mengalihkan hak penguasaan dan
56
pemilikannya.48
Kepemilikan atas hutan berarti mengghilangkan hak
penguasaan hutan oleh negara, yang mana hal ini bertentangan dengan
konstitusi.
Dengan kompleksitas masalah yang ada di dalam masyarakat, dewasa
ini badan usaha atau masyarakat sering kali memanfaatkan, menduduki,
memiliki bahkan mengubah fungsi hutan menjadi daerah pemukiman,
pertanian, pertambangan dan lain-lain. Dalam pemanfaatan terhadap hutan,
badan usaha dan masyarakat dapat menduduki kawasan hutan sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan di bidang kehutanan. Bahkan
perubahan peruntukan kawasan hutan memang diatur dalam Pasal 19
Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menyebutkan:
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah
dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Penelitian terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan untuk menjamin
objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian
diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan
memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain
yang terkait. Adapun yang dimaksud dengan “berdampak penting dan cakupan
48 Zainuddin Ali, op.cit., hal. 31.
57
yang luas serta bernilai strategis” menurut penjelasan Pasal 19 Undang-undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah perubahan yang berpengaruh
terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata
air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang
dan generasi yang akan datang. Kriteria fungsi hutan, cakupan luas hutan, pihak-
pihak yang melaksanakan penelitian, dan tata cara perubahan peruntukan hutan
ini diatur dalam peraturan pemerintah.
Okupasi atau pendudukan terhadap kawasan hutan memang diatur dan
diperbolehkan oleh peraturan di bidang kehutanan berdasarkan kriteria
tertentu dan terkait dengan perlindungan hutan dengan tujuan khusus.
Secara empiris, praktik okupasi kawasan hutan ini, dapat dilihat pada
pembuatan pal batas di kawasan hutan untuk tempat pembangunan
pelinggih, pembangunan jalan raya dan fasilitas umum lainnya. Meskipun
hutan didayagunakan untuk kemakmuran rakyat namun hutan tidak dapat
serta-merta diduduki oleh individu, masyarakat atau badan usaha.
Pendudukan yang melanggar peraturan di bidang kehutanan inilah yang
menimbulkan tindakan illegal occupation.
Illegal occupation adalah terminologi baru dalam penegakan prinsip
perlindungan hutan walaupun telah dilakukan sejak zaman pra sejarah.
Frasa ini terdiri atas dua kata yakni illegal dan occupation. Black’s Law
Dictionary mengartikan illegal sebagai forbidden by law; unlawful.49
49 Bryan A.Garner (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary Deluxe Seventh EditionWest Group,
St. Paul United States of America, hal. 750.
58
Occupation sendiri diartikan dalam berbagai konteks yakni: (1) An activity
or persuit in which a person is engaged; esp., a person’s usual or principal
work or bussiness, (2) The possesion, control, or use of real property (3)
The seizure and control of a territory by military force; the condition of
territory that has been placed under the authority of a hostile army. (4) The
period during which territory seized by military force is held.50
Illegal
merujuk pada perbuatan yang tidak sah menurut hukum sedangkan kata
occupation di dalam konteks ini diterjemahkan dengan okupasi atau
pendudukan atas suatu wilayah meskipun tidak dilakukan oleh militer.
Dengan demikian, secara sederhana illegal occupation berarti pendudukan
hutan secara dengan melawan hukum atau pendudukan hutan secara tidak
sah.
Pendudukan kawasan hutan secara tidak sah sangat terkait dengan
masalah kependudukan. Penduduk memang merupakan objek dari
pembangunan yang menjadi kekuatan bagi negara untuk membangun.
Namun penyebaran penduduk yang tidak merata dengan ledakan penduduk
hanya di beberapa titik saja dan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi
masalah kependudukan, dapat menimbulkan permasalahan baru. Salah satu
permasalahan yang kerap muncul adalah keterbatasan lahan pemukiman.
Akibatnya penduduk yang belum mendapatkan tempat tinggal, merambah
hutan dan mendudukinya. Apalagi jika hutan tersebut berada di kawasan-
kawasan strategis.
50 Ibid., hal. 1106.
59
Menilik dengan seksama mengenai manfaat sumber daya hutan
selama lebih kurang 25 tahun terakhir, dimana eksploitasi sumber daya alam
dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap hutan. Secara
keseluruhan, Bappenas telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan
Indonesia yaitu pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang tidak merata,
konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan,
pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional
(adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam,
program transmigrasi, pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan
basah, degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak,
pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan introdusir spesies eksotik.51
Penegakan hukum melalui penegakan prinsip perlindungan hutan
dalam menanggulangi illegal occupation sangat memerlukan peran serta
dari masyarakat. Relasi ini juga disepakati oleh Satjipto Rahardjo dalam
bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.”
Dalam bukunya tersebut beliau menuliskan:
Membahas penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang
menjalankan penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya.
Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-
keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum,
maka hanya akan memperoleh gambaran stereotips yang kosong.
Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila dikaitkan pada
pelaksanaan yang konkret oleh manusia.52
51 Supriadi., op.cit., hal 16.
52 Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, hal. 26, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II).
60
Upaya pencegahan terhadap illegal occupation dilakukan dengan
meletakkan kewajiban hukum bagi masyarakat sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dalam Pasal 69 ayat (1) tersebut dinyatakan “Masyarakat
berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari
gangguan dan perusakan.” Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1)
dikatakan “Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah
mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan,
gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.”
2.3 Status Hukum Tahura Ngurah Rai
Penetapan status hukum kawasan hutan merupakan kegiatan penting
dalam menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum
adalah illegal occupation atau legal occupation. Kedudukan atau status
hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan status dan fungsi agar tidak
menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan tersebut. Penetapan
status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari klaim atau
tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan atas
hutan hak mereka.53
Penetapan status dan fungsi hutan ini memberikan
jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas hutan.
Penegasan terhadap status hukum dari kawasan hutan dilakukan
melalui pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-
53 Supriadi, op.cit. hal. 18.
61
undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya dalam Pasal 14
dan 15 yang menyebutkan:
Pasal 14 (1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan
hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Secara normatif, hutan berdasarkan statusnya menurut Pasal 5
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terdiri dari:
a. Hutan negara
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang
ditetapkan berdasarkan kenyataannya sepanjang masyarakat hukum
adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila
dikemudian hari masyarakat adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Hutan
negara yang berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan
pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).
62
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai
oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan
yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hukum negara,
tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan
kegiatan pengelolaan hutan. Hutan yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada
tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. 54
b. Hutan hak.
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah. Pasal 48 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:
(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang
haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-
baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan
hutan.
Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
mengatur mengenai fungsi hutan yakni fungsi konservasi, fungsi lindung,
54 Supriadi, op.cit, hal. 19.
63
dan fungsi produksi. Pada dasarnya setiap hutan memiliki ketiga fungsi ini,
namun dari ketiga fungsi ini tentu ada salah satu fungsi yang lebih
menonjol. Berdasarkan fungsi pokok tersebut, Pemerintah menetapkan jenis
hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan
produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan
konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
Dilihat dari status hukum, maka tahura merupakan suatu kawasan
hutan yang termasuk dalam hutan konservasi yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap. Kewajiban pemerintah dalam mempertahankan keberadaan
hutan konservasi menjadikan hutan ini sebagai satu-satunya jenis hutan
yang tidak dapat dialihfungsikan. Keberadaan tahura ini memang benar-
benar dijaga sebab hutan ini memang bukan hutan alami melainkan memang
sengaja ditata untuk tujuan dan fungsi tertentu. Secara singkat status hukum
tahura dapat dilihat pada skema berikut ini:
64
Gambar 4
Skema Tahura dalam Jenis Hutan
Kawasan tahura menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam adalah “kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan jenis asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.” Secara
Hutan
Hutan
Kawasan
Pelestarian
Alam
Hutan
Hak
Hutan
Negara
Hutan
Konservasi
Hutan
Wisata
Hutan
Lindung
Hutan
Produksi
Hutan
Suaka
Alam
Taman
Buru
Cagar
Alam
Suaka
Marga
Satwa
Taman
Hutan
Raya
(Tahur
a)
Taman
Wisata
Alam
Taman
Nasional
65
spesifik tahura merupakan hutan konservasi yang termasuk dalam hutan
pelestarian alam karena dibuat oleh manusia. Dengan demikian tahura
merupakan hutan tetap yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan
Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik
pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;
2. memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
3. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan
koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli.
Upaya pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan,
penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, pembinaan
dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa dan pembinaan dan
pengembangan tumbuhan dan satwa untuk tujuan koleksi. Upaya
pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dengan ketentuan dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungssi kawasan.
Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
fungsi kawasan tahura adalah:
66
a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;
b. merusak keindahan alam dan gejala alam;
c. mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;
d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat
persetujuan dari pejabat yang berwenang.
e. suatu kegiatan, dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan
kegiatan apabila melakukan perbuatan memotong, memindahkan,
merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan.
f. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap
berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber
daya alam ke dan dari dalam kawasan.
Kawasan tahura dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang
budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, pelestarian budaya. Kegiatan
penelitian dan pengembangan meliputi penelitian dasar, penelitian untuk
menunjang pengelolaan dan budidaya.
Tata kelola kehutanan yang baik merupakan kunci dari perlindungan
hutan. Prinsip-prinsip inilah yang semestinya diterapkan pada perlindungan
hutan-hutan di Bali. Hutan di Provinsi Bali terdiri dari 22 kelompok hutan
dan 29 Register Tanah Kehutanan (RTK). Dari seluruh luas kawasan hutan
di Bali 93 % memiliki fungsi konservasi terhadap tanah atau sebagai fungsi
hidroorologis.Tipe hutan yang tumbuh di Provinsi Bali sebagian besar tipe
67
hutan hujan tropik. Selain ditumbuhi flora yang beraneka ragam di Provinsi
Bali terdapat fauna khas endemik. Menurut fungsinya kawasan hutan di
Provinsi Bali terbagi menjadi Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan
Produksi Terbatas, Hutan Cagar Alam, Taman Wisata, Taman Nasional dan
Taman Hutan Raya.55
Salah satu taman hutan raya yang ada adalah Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai. Tahura Ngurah Rai merupakan suatu kawasan hutan
bertipe hutan payau yang selalu tergenang air payau dan dipengaruhi oleh
pasang surut. Vegetasi utama di Tahura ini adalah tanaman mangrove.
Dilacak dari sejarah pengukuhan kawasan Tahura Ngurah Rai, kawasan
hutan ini dulunya disebut dengan Hutan Prapat benoa yang dikukuhkan
melalui Staatsblad 1923 No. 509 tertanggal 29 Mei 1927 selanjutnya oleh
SK Menteri Pertanian No. 821/KPTS/UM/II/1982, tanggal 10 november
1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I
Bali sebagai kawasan hutan dengan luas 125.513.8 Ha. Pada tahun 1992,
kawasan ini diubah menjadi taman wisata alam melalui SK Menteri
Kehutanan No. 885/Kpts-II/1992. Pengukuhan kawasan Prapat Benoa
sebagai Tahura mulai berlaku sejak tahun 1993 yakni sejak dikeluarkannya
SK Menteri Kehutanan No. 544/KPTS-II/1993 tentang perubahan fungsi
kawasan hutan Prapat Benoa menjadi Tahura dengan luas sekitar 1.373.50
ha.
55 Departemen Kehutanan, “Hutan Propinsi Bali”, Serial Online (Cited 2011 May. 2),
available from : URL: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/BALI/hutan_bali.html,
diakses
68
Secara umum di Tahura Ngurah Rai terdapat 18 jenis mangrove yaitu
Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera
gymnorrhyiza, Rhizophora stylosa, Avicennia marina, Xylocarpus
granatum, Excoecaria agalocha, Avicennia lanata, Ceriops tagal, Aegiceras
corniculatum, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrical, Sonneratia
caseolaris, Lumnitzera racemosa, Ceriops decandra dan Phemphis acidula).
Semua jenis mangrove ini adalah jenis mangrove sejati (true mangrove).
Jenis tanaman yang mendominasi di Tahura Ngurah Rai adalah
Rhizophora apiculata dan Rhizophora Mucronata, Soneratia alba,
Bruguiera gymnorrhyiza, Avecinia marina dan Ceriops tagal. Tahura
Ngurah Rai berada di dua Kabupan/Kota yaitu di Kabupaten Badung dan
Kota Denpasar. Tahura Ngurah Rai Merupakan muara dari sungai Tukad
badung dan Tukad mati yang merupakan sungai utama di Kota Denpasar
dan Kabupaten Badung. 56
Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam
mencegah abrasi dan tsunami yang mengancam Bali karena letaknya yang
dikelilingi oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang
intangable yakni dalam memberikan produk tambahan berupa jasa
pariwisata. Manfaat dan fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan
56 Anonim, “Perubahan Luasan Tanaman Mangrove di Tahura Ngurah Rai – Bali”, Serial
Online 12 Februari 2009, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:
http://mbojo.wordpress.com/2009/02/12/perubahan-luasan-tanaman-mangrove-di-tahura-ngurah-
rai-bali/, (selanjutnya disebut anonim II).
69
dan makhluk hidup di dunia memberikan konsekuensi logis bahwa
keberadaan hutan harus dijaga kelestariannya.
70
BAB III
BENTUK DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ILLEGAL OCCUPATION
DI TAHURA NGURAH RAI
3.1 Bentuk Illegal Occupation
Penyimpangan terhadap prinsip perlindungan hutan menimbulkan
illegal occupation yang semakin meluas dan sistemik. Bentuk illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai sangat ditentukan oleh kebutuhan-
kebutuhan manusia akan penguasaan tanah. Tanah-tanah hutan dikuasai
untuk dijadikan kawasan perumahan, sekolah ataupun tempat usaha.
Berdasarkan data yang dihimpun dari hasil penelitian lapangan, terdapat 17
kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai. Adapun ke-17
kasus tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:57
1. Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi
di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I
Made Mudra dengan sertifikat No. 3283 tanggal 30/4/1990 Ps. No.
86, PP No. 908. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan
rumah tinggal.
2. Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di
Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I
Made Tinggal dengan sertifikat No. 3073 tanggal 4/11/1989 Ps. No.
89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan
diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
3. Illegal occupation oleh Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang
berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut
dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3363 tanggal
57 Observasi langsung kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero
Kuta, Br. Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur Kauh, Br. Mumbul,
Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di Kelurahan Sesetan pada 5 Januari 2011.
71
4/08/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls I Ds./Kuta. Saat ini tanah
hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
4. Illegal occupation oleh I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang
berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut
dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 30733 tanggal
4/11/1989 Ps. No. 89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini
tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
5. Illegal occupation oleh I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi
di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I
Made Mudra dengan sertifikat No. 3539 tanggal 22/4/1991 Ps. No.
89, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan
diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
6. Illegal occupation oleh I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang
berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut
dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3468 tanggal
12/12/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat
ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
7. Illegal occupation oleh I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang
berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut
dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 3657 tanggal
30/9/1991 Ps. No. 517 c, PP No. 89 c Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat
ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.
8. Illegal occupation oleh I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi
di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut
merupakan tanah warisan dengan sertifikat No. 89 c, PP No. 517 Kls
II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan
mendirikan rumah tinggal.
9. Illegal occupation oleh I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di
Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah bersertifikat No. 89 c,
PP No. 53 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki
dengan mendirikan rumah tinggal.
10. Illegal occupation oleh I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati,
Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang
berlokasi di Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No.
1047 tanggal 31/8/1990. Saat ini sebagian tanah telah dirambah dan
dikapling-kapling sedangkan sebagian lagi telah dibangun 3 unit
rumah.
72
11. Illegal occupation oleh I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang
berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat
No.1442 tanggal 30/5/1996. Saat ini tanah hutan diduduki dengan
mendirikan rumah tinggal.
12. Illegal occupation oleh IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang
berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363
tanggal 19/11/1991. Saat ini tanah hutan diduduki dengan
mendirikan rumah tinggal.
13. Illegal occupation oleh I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang
berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat
No.3091 tanggal 3/9/1996. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah.
14. Illegal occupation oleh I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman
Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br.
Perarudan, Jimbaran, Badung. Tanah tersebut bersertifikat No. 257
1978, Kls IV. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah, dikapling
untuk bangunan, diduduki dengan mendirikan 4 unit rumah di
sebelah selatan sungai yang dijual kepada dr. Ana dkk. dan di
sebelah utara sungai sudah ada 2 bangunan, di dalamnya termasuk
kaplingan milik A.A. Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4
are. Kasus illegal occupation ini sedang digelar dipersidangan
Pengadilan Negeri Denpasar.
15. Illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are
yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah tersebut
bersertifikat No. 8115 tanggal 8/7/2001. Saat ini di atas tanah hutan
tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang dibangun pada
awal 2006.
16. Illegal occupation oleh I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang
berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar. Tanah tersebut
bersertifikat No. 9362 tanggal 6/4/2010. Di atas tanah telah dipagari
dengan seng dan sudah diurug serta siap didirikan bangunan.
17. Illegal occupation oleh Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim
SPPT PBB NOP. 51.71.010.008.037.0139.0. Tanaman mangrove di
atas tanah hutan tersebut ditebang oleh anak buah yang bersangkutan
namun aktivitas ini dihentikan oleh Polisi Kehutanan Tahura Ngurah
Rai. Kasus ini tengah diproses di Polsek Denpasar Selatan (Sanur).
73
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, diketahui ada dua bentuk
illegal occupation yaitu 1) Menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan
2) Merambah kawasan hutan.
3.1.1 Menduduki Kawasan Hutan Secara Tidak Sah
Perbuatan illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah
Rai pada dasarnya adalah kegiatan menduduki hutan secara tidak
sah yakni tanpa seizin Menteri Kehutanan. Artinya jika menduduki
tanah hutan atas seizin Menteri Kehutanan tidak dapat dikategorikan
sebagai illegal occupation. Dalam kasus-kasus yang terjadi di
Tahura Ngurah Rai, dapat diketahui bahwa perbuatan illegal
occupation dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak
sah. Karena pendudukan ini dilakukan untuk membuat sejumlah
bangunan, maka tanah-tanah hutan tersebut dirambah terlebih
dahulu.
Salah satu illegal occupation yang kini masih dalam proses
hukum adalah kasus Bali Siki. Bali Siki adalah sebuah perusahaan
yang bergerak di bidang properti yang membeli tanah dari I Ketut
Lolong. Kasus illegal occupation ini diketahui sejak pembuatan
pondasi pada tahun 2002. Saat itu KRPH melalui surat bernomor
300/164/RPH.THR tertanggal 20 April 2002 diikuti dengan surat
dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali bernomor 300/ 75/Dishut-4
tertanggal 29 Mei 2002 telah memberikan surat peringatan pada Bali
74
Siki untuk menghentikan pembangunan karena melanggar Pasal 5
ayat (3) huruf o Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Menindaklanjuti kasus ini, maka instansi
terkait yakni Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan
Kabupaten dan Kejaksaan telah melakukan gelar perkara pada tahun
2003. Namun hasilnya hanya sebatas inventarisasi permasalahan dan
tidak ada upaya ke arah penyidikan.58
Kasus ini kembali mencuat, ketika A.A Santosa dan I Ketut
Juana berkeinginan untuk melakukan pengukuran ulang terhadap
tanah yang mereka beli dari Bali Siki dengan tujuan untuk
menjualnya kembali. Dinas Kehutanan Provinsi Bali kali ini
mengajukan keberatan dan tidak mau menandatangi daftar hadir
yang disodorkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Badung karena
sebagian dari tanah tersebut adalah termasuk dalam kawasan tahura
Ngurah Rai. Hal ini tentu sangat menyulitkan A.A Santosa dan I
Ketut Juana yang telah membeli tanah bersertifikat dari Bali Siki.
Illegal occupation yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai
diduga dilakukan oleh Bali Siki, dimana pihak Bali Siki awalnya
membeli tanah dari I Ketut Lolong seluas 1,250 Ha yang berbatasan
dengan Tahura Ngurah Rai. Setelah kepemilikian tanah tersebut
beralih pada Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat
58 Observasi di persidangan pada Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
75
berubah dan bertambah seluas 81,44 are ke kawasan Tahura Ngurah
Rai. Ini berarti ada indikasi bahwa Bali Siki telah melakukan illegal
occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 81,44 are.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sesungguhnya Dirut Bali
Siki, I Nyoman Suartha, telah menyadari dan memahami bahwa
dirinya terindikasi melakukan illegal occupation di Tahura Ngurah
Rai. Perbuatan melawan hukum ini telah disadari sebelum adanya
bangunan di atas tanah hutan tersebut. Namun pengkavlingan tanah
terus dilakukan. Untuk menutupi jejaknya, menghindari kerugian
bahkan menambah keuntungan, I Nyoman Suarta melalui
perusahaan properti miliknya menjualnya kembali tanah-tanah
tersebut kepada perseorangan dengan sertifikat yang telah diperoleh
dengan pemalsuan data penyanding. Ia menggunakan kedok
sertifikat Nomor 257 an. Lolong seluas 1,250 Ha. Bahwasanya
sertifikat tersebut adalah sah, namun setelah kepemilikan tanah
beralih pada PT Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat
berubah dan melebar. Dari hasil pengukuran parsial terindikasi
bahwa kelebihan luas tanah mencapai 81,44 are. Artinya seluas
81,44 are tanah hutan Tahura Ngurah Rai telah diokupasi secara
ilegal.59
59 Wawancara dengan I Nyoman Suartha, 40 tahun, laki-laki, Dirut Bali Siki (pelaku) pada 4
Mei 2011.
76
Kasus illegal occupation yang dilakukan dengan menduduki
kawasan Tahura Ngurah Rai secara tidak sah juga dilakukan oleh I
Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I Ketut Urip, I
Wayan Lunas, I Wayan Suadi, I Ketut Konde, I Wayan Buda, I
Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta, Nyoman
Wartika, I Wayan Wija/ Tjegeg dan IB Surakusuma/ IB Lolek.
Pelaku menduduki kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai
dengan mendirikan rumah tinggal.
Pendudukan secara tidak sah ini juga dilakukan oleh Desa
Adat Kedonganan dengan memberikan tanah yang ada di wilayah
hukumnya untuk dibangun sekolah yakni SMA Negeri 2 Kuta.
Pendirian sekolah di atas tanah hutan itu belum mendapat
persetujuan dari Menteri Kehutanan, dengan demikian tanah tersebut
diduduki secara tidak sah. Berdasarkan kasus-kasus illegal
occupation yang dihimpun sebelumnya maka telah terdapat 15 kasus
menduduki kawasan hutan secara tidak sah dari 17 kasus illegal
occupation yang ada.
Perbuatan illegal occupation yang terjadi di Tahura
menyebabkan degradasi hutan mangrove sebagai penyangga
kehidupan di bumi. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam
yang menjadi penyangga kehidupan di bumi. Vegetasi ini menjadi
begitu penting karena mampu menjadi sumber kehidupan bagi
manusia dan mencegah bencana alam. Salah satu jenis hutan yang
77
memiliki fungsi tersebut adalah hutan mangrove. Hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Dilihat dari
segi fungsi hutan mangrove dideteksi sebagai hutan yang memiliki
elemen terbesar dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan
menetralisir bahan-bahan pencemar.60
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari
total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas
mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah
memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Hutan Mangrove
memiliki karakteristik habitat yang khas yakni umumnya tumbuh
pada daerah pasang surut yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, atau berpasir, tergenang air laut secara berkala,
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari
gelombang besar dan arus pasut yang kuat dan air bersalinitas payau
(2 – 22 permil) hingga asin (38 permil).61
60 Anonim, 2007, “Peranan dan Fungsi Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem Pesisir”,
Serial Online Desember 30, 2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: available from
URL: http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/peranan-dan-fungsi-hutan-bakau-mangrove-
dalam-ekosistem-pesisir/.
61 Faiq, 2007, “Hutan Mangrove sebagai Tujuan Wisata”, Serial Online Sabtu, 29 Desember
2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:, http://f4iqun.wordpress.com/2007/12/29/hutan-
mangrove-sebagai-tujuan-wisata/
78
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai sangat berhubungan
dengan letak kawasan hutan tersebut. Hutan mangrove pada
dasarnya adalah jenis hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Mangrove tumbuh di pantai-pantai yang terlindung atau pantai-
pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung
dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang
terlindung. Letaknya disekitar pantai tentu menjadi incaran investor
untuk menduduki kawasan hutan ini guna menunjang sarana rekreasi
pantai dan pembangunan rumah di sekitar pantai. Orientasi ini
menjadi faktor pendorong dilakukannya illegal occupation di Tahura
Ngurah Rai.
Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya
di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di
Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan
kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju
penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi
masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya,
yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun.62
Hal ini juga terjadi di Bali,
dimana illegal occupation telah mengghilangkan kawasan hutan
62 Chairil Anwar dan Hendra Gunawan “Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis Hutan
Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir”, (Cited 2011 May. 2), available
from : URL: http http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf.
79
seluas 133,9598 are. Hilangnya hutan mangrove di Tahura Ngurah
Rai tentu menimbulkan laju kerusakan hutan yang signifikan, apalagi
Tahura Ngurah Rai difungsikan sebagai benteng bagi Bali untuk
mencegah tsunami.
Pendudukan kawasan hutan secara ilegal membutuhkan suatu
gerakan perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan prinsip
yang memasuki seluruh dimensi dalam menciptakan good forestry
governance. Prinsip ini membutuhkan langkah-langkah preemtif,
preventif dan respresif dalam penjagaan kawasan hutan dari
kerusakan hutan. Supriadi dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia” menegaskan bahwa
kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia hampir dapat dipastikan
70 sampai 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia.63
Hal ini
menjadi landasan pemikiran yang tepat manakala legislator secara
khusus mengatur mengenai perlindungan hutan dari perbuatan
manusia dalam ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan.
Pengaturan mengenai perlindungan hutan tersebar dalam
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Payung
hukum dari perlindungan hutan adalah Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan sedangkan secara umum
perlindungan hutan diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
63 Supriadi, op.cit., hal. 387.
80
Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dengan adanya
sejumlah peraturan tersebut maka penegakan prinsip perlindungan
hutan sudah dilakukan.
Dalam ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan dirumuskan sejumlah perbuatan manusia
yang dilarang dalam penegakan prinsip perlindungan hutan. Adapun
perbuatan yang dilarang tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b. setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.
c. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah;
d. merambah kawasan hutan;
e. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan
radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari
tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata
air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter
dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri
kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari
81
tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang
tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
f. membakar hutan;
g. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang;
h. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah;
i. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri;
j. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan;
k. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak
ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang
berwenang;
l. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim
atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan
di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
82
m. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang;
n. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran
dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau
kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
o. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan
dan satwa liar yang dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka bentuk illegal ocupation yang
terjadi terhadap kawasan hutan meliputi mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
merambah kawasan hutan dan menggembalakan ternak di dalam
kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan i Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Semua tindakan tersebut merupakan
bentuk pelanggaran dari prinsip perlindungan hutan yang dilakukan
oleh manusia.
Manusia baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat maupun
badan usaha dianggap paling bertendensi dalam melindungi atau
83
merusak hutan termasuk melakukan illegal occupation. Kedua
perilaku yang kontradiktif tersebut ditentukan dari motivasi yang
dimiliki masing-masing pihak. Motivasi merupakan kegiatan yang
mengakibatkan, menyalurkan dan memelihara perilaku manusia, dan
merupakan suatu proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang
agar melakukan sesuatu yang diinginkan. Motivasi dapat
mengarahkan perilaku hukum masyarakat. Mengenai perilaku
hukum ini, Lawrence M. Friedman mengatakan:
Perilaku hukum mencakup perilaku taat hukum, tetapi semua
perilaku yang merupakan reacting to something, going on in the
legal system (reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam
sistem hukum). Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan
terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat
ketidaktaatan kepada hukum. Selain itu juga mengkaji mengenai
motivasi mengapa use (menggunakan) atau non use (tidak
menggunakan aturan hukum).64
Berdasarkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow,
dapat diindetifikasi beberapa motivasi yang melahirkan ketaatan
hukum yakni melaksanakan prinsip perlindungan hutan dan beberapa
motivasi yang melahirkan ketidaktaatan dengan melakukan
pendudukan secara tidak sah di Tahura Ngurah Rai. Perilaku yang
menunjukkan ketaatan hukum dalam perlindungan hutan antara lain
disebabkan karena:
64 Achmad Ali, op.cit., hal. 144.
84
a. Kebutuhan psikologis yakni kebutuhan akan hidup di
lingkungan yang nyaman dan kebutuhan akan rekreasi (hutan
merupakan salah satu tempat rekreasi).
b. Kebutuhan keamanan dimana hutan berfungsi dalam
menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia untuk
bernafas, menjadi sumber mata air serta mampu mencegah
bencana alam seperti tsunami dan abrasi.
Perilaku ketidaktaatan hukum dari manusia menimbulkan
kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia yaitu
illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Adapun beberapa motivasi
yang menyebabkan illegal occupation antara lain:
a. Kebutuhan psikologi, dimana setiap manusia memiliki
keinginan untuk berlindung. Perlindungan ini salah satunya
didapat ketika manusia memiliki rumah. Hal ini membuat
mereka menduduki kawasan hutan membuka lahan hutan untuk
perumahan bahkan memiliki hutan untuk kepentingan tersebut.
b. Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan ini sangat berkaitan
dengan kebutuhan akan aktualisasi diri dimana seseorang
memiliki ambisi untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Salah
satunya adalah kebutuhan untuk dihormati oleh orang lain.
Kehormatan ini didapat jika yang bersangkutan memiliki
kekayaan. Bentuk dan cara yang digunakan untuk mendapatkan
kekayaan tentunya bermacam-macam, salah satunya adalah
85
didasarkan pada kepemilikan tanah. Atas dasar inilah mereka
berlomba-lomba untuk menduduki kawasan hutan secara tidak
sah.
Dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa bahwa perbuatan
yang dilarang meliputi tiga jenis perbuatan yakni mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa ketiga perbuatan
hukum yakni mengerjakan, menggunakan dan menduduki kawasan
hukum secara tidak sah dapat dilakukan secara komulatif atau secara
alternatif (masing-masing perbuatan hukum berdiri sendiri) untuk
mewujudkan delik illegal occupation.
Mengerjakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3)
a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah
mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat
yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau
untuk usaha lainnya. Mengerjakan kawasan hutan untuk peternakan
atau pengembalaan ternak seringkali menjadi ancaman bagi
keberadaan hutan. Hewan ternak yang untuk sementara diliarkan di
kawasan hutan dapat merusak vegetasi hutan, apalagi jika lahan
hutan sengaja dirambah untuk dijadikan kawasan peternakan. Oleh
sebab itu perlindungan hutan dari ternak memang perlu untuk
dilakukan. Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan diatur mengenai perlindungan hutan dari
86
gangguan ternak. Adapun substansi dari Pasal 15 Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah:
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 6 huruf a dari gangguan ternak, dalam
kawasan hutan produksi dapat ditetapkan lokasi
penggembalaan ternak.
(2) Penetapan lokasi penggembalaan ternak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Unit
Pengelolaan Hutan.
(3) Untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi hutan, tanah
dan air, Kepala Unit Pengelolaan Hutan dapat menutup lokasi
penggembalaan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang, penetapan lokasi
penggembalaan ternak dalam kawasan hutan produksi
sebagaimana dimaksud, pada ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Dalam kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah
Rai, pelaku memang tidak mengerjakan kawasan hutan untuk
kepentingan pertanian atau perladangan mengingat kawasan Tahura
yang bertanah rawa yang tidak cocok untuk pertanian maupun
perladangan.
Menggunakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat
(3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah
memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang
berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang
diberikan. Penggunaan kawasan hutan Tahura Ngurah Rai bukanlah
penggunaan kawasan hutan yang melanggar hukum. Kegiatan wisata
yang ada di Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu fungsi dari hutan
konservasi yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Bahkan
87
untuk mendukung kegiatan wisata ini, pihak Indonesia telah
bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Mangrove Information
Centre.
Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai
adalah menduduki kawasan hutan. Menduduki kawasan hutan menurut
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat
pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Pelaku menggunakan
kawasan hutan untuk kepentingan properti yakni pembangunan
perumahan (seperti dalam kasus Bali Siki “1”) dan tempat usaha.
Dengan demikian illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai
adalah perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Perbuatan
ini dikukuhkan dengan pensertifikatan tanah hutan.
Fungsi dan peranan hutan mangrove yang begitu besar bagi
kehidupan ternyata tidak diikuti dengan penjagaan dan pelestarian
hutan mangrove. Hal itulah yang setidaknya terjadi di hutan
manggrove Tahura Ngurah Rai. Pendudukan hutan mangrove secara
ilegal (illegal occupation) kini menjadi permasalahan pelik yang
dihadapi negara (khususnya Dinas Kehutanan) dalam
mempertahankan penguasaan atas kawasan hutan. Dari kawasan
Tahura Ngurah Rai yang diduduki, setidaknya ada 17 wilayah yang
berhasil dihakmilikkan oleh individu melalui penunjukan bukti
sertifikat.
88
Adanya illegal occupation merupakan salah satu bentuk
perilaku menyimpang. Mengenai perilaku menyimpang ini Frank E.
Hagan menuliskan deviant behavior may refer to a broad range of
activities which the majority in society mayview as eccentric,
dangerous, annoying, bizarre, oulandish, gross, abhorent and the
like.65
Menilik dari kasus illegal occupation di kawasan Tahura
Ngurah Rai maka dapat disimpulkan bahwa prinsip perlindungan
hutan yang disimpangi adalah prinsip perlindungan hutan dari
perbuatan manusia, yakni perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dimana setiap orang dilarang mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
3.1.2 Merambah Kawasan Hutan
Kegiatan merambah hutan dalam illegal occupation di Tahura
Ngurah Rai terungkap saat beberapa orang diketahui dan tertangkap
tangan sedang menebang hutan. Dalam kasus Ahmad Sofyan ini,
tanaman mangrove ditebang oleh anak buah yang bersangkutan.
Pelaku saat itu langsung ditangkap oleh Polisi Kehutanan sebagai
penyidik PNS dan diserahkan kepada penyidik polisi di Polsek
Denpasar Selatan (Sanur).66
65 Frank E. Hagan, 1989, Introduction Criminology Theories, Method and Criminal
Behavior, Nelson-Hall Inc., Chicago., hal. 6.
66 Observasi langsung pada kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari
2011.
89
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai didahului dengan
perbuatan merambah hutan. Hutan mangrove yang ada di areal
tersebut dirambah, kemudian diduduki untuk mendirikan bangunan
tempat tinggal. Diantara tanah-tanah tersebut, memang masih ada
lahan yang kosong, seperti tanah seluas 6,3 are yang disertifikatkan
atas nama Drs. I Wayan Suwirta. Namun tanah tersebut sudah
dipagari dengan seng, diurug dan siap dibangun.
Berdasarkan observasi langsung pada seluruh kasus illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero Kuta, Br.
Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur
Kauh, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di
Kelurahan Sesetan, seluruh kegiatan menduduki kawasan Tahura
Ngurah Rai secara tidak sah didahului dengan merambah hutan,
yaitu sebanyak 15 kasus dari 17 kasus yang ada. Sebanyak 2 kasus
illegal occupation hanya sampai dilakukan pada kegiatan merambah
hutan saja yakni illegal occupation yang dilakukan oleh I Wayan
Suwitra dan Ahmad Sofyan.67
Merambah hutan merupakan perbuatan hukum yang tidak
dapat dipisahkan dengan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai,
bahkan perbuatan ini menjadi perbuatan yang harus dilakukan untuk
dapat menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Berdasarkan
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
67 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
90
Tentang Kehutanan yang dimaksud dengan merambah adalah
melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari
pejabat yang berwenang. Merambah kawasan hutan tidak hanya
berdampak pada pengurangan kawasan hutan tetapi juga
pengurangan fungsi lingkungan hidup sebagai penghasil oksigen.
Fakta empiris menunjukkan bahwa Indonesia menempati
peringkat ketiga negara pengemisi karbon terbesar di dunia yang
mayoritas berasal dari deforestasi, dan keduanya bertanggung jawab
atas 50% emisi global yang dihasilkan dari deforestasi. Secara
global, penggundulan hutan menyumbang sekitar 20% dari emisi gas
rumah kaca, melebihi emisi yang dihasilkan dari kereta api, pesawat
dan mobil di dunia bila dijadikan satu. Oleh karena itu, kesepakatan
iklim yang baik hanya akan efektif jika berhasil menangani emisi
dari kedua sumber yaitu bahan bakar fosil dan deforestasi.68
Hal ini
menunjukkan bahwa perlindungan hutan dari perbuatan manusia
hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki komitmen dalam
melindungi hutan baik dari degradasi maupun deforestasi.
Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di
sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya
interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Pada awalnya
interaksi-interaksi tersebut terjadi dengan tetap memperhatikan
68 Green Peace, 2009, “Industri ternak menolak kehancuran Hutan Amazon, Sebuah Petunjuk
Untuk Perlindungan Hutan Indonesia”, Serial Online 7 Oktober, 2009, (Cited 2011 May. 2),
available from : URL: http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/industri-ternak-tolak-
kehancuran-amazon/
91
aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya
peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara
masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser. Bahkan bukan
hanya masyarakat yang dekat dengan hutan lagi yang melakukan
interaksi dengan hutan. Interaksi dalam arti negatif saat ini banyak
terjadi hutan di seluruh Indonesia, yaitu perambahan.69
Berdasarkan observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai,
dalam kasus illegal occupation, pelaku yang tertangkap tangan
diketahui sedang melakukan perambahan hutan untuk kemudian
diduduki secara tidak sah. Adapun beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perambahan hutan dalam illegal occupation
ini adalah:
a. Perambahan hutan dilakukan dengan maksud menghilangkan
unsur hutan yakni pepohonan yang tumbuh di areal tersebut.
Hilangnya unsur pepohonan membuat pelaku dapat leluasa
untuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pelaku tidak
mungkin menjual, membangun atau mensertifikatkan tanah
hutan apabila bentuknya masih berupa hutan. Pembangunan
gedung di kawasan Tahura Ngurah Rai tentu didahului dengan
perambahan hutan.
b. Perambahan hutan juga dipicu oleh pemekaran wilayah yang
kurang menghitung daya dukung kawasan membuat tekanan
69 Detik.com, 2010, “Motif Perambahan Hutan”, Serial Online 3 Juni 2011, (Cited 2011
May. 2), available from : URL:http://forum.detik.com/motif-perambahan-hutan-t188997.html
92
terhadap hutan semakin berat. Suatu daerah yang terkena
pemekaran tentu akan berusaha mendapatkan penghasilan yang
maksimal untuk daerahnya. Hutan secara kasat mata tidak
memberikan penghasilan dibandingkan jika hutan tersebut
dialihfungsikan untuk kawasan pemukiman dan tempat usaha
sehingga ada kecendrungan untuk merambah hutan menjadi
kawasan pemukiman dan tempat usaha tersebut.
c. Kurangnya pengawasan dan belum optimalnya penegakan
hukum terhadap perambahan hutan. Meskipun kebijakan
moratorium telah dikeluarkan, kegiatan perambahan masih
belum dapat dihentikan. Hal tersebut karena pelaku tidak
ditindak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Tindakan
penegak hukum justru dianggap sebagai tindak pidana
pengancaman dan pemerasan oleh pelaku.
Perambahan kawasan hutan menjadi perbuatan hukum
pertama yang dilakukan dalam mengokupasi lahan hutan.
Perambahan ini bertujuan untuk mempersiapkan lahan hutan
sebagai kawasan yang akan dibangun. Berdasarkan penelitian
lapangan yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai maka dapat
digambarkan bentuk illegal occupation sebagai berikut:
93
Tabel 1
Bentuk illegal occupation
No. Kasus Menduduki
Kawasan
Hutan
Merambah
Kawasan
Hutan
1 I Wayan Suka seluas 0,8
are yang berlokasi di Br.
Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
x x
2 I Wayan Suka seluas 1 are
yang berlokasi di Br. Jaba
Jero Kuta Kabupaten
Badung.
x x
3 Ni Wayan Sudarti seluas
0,46 are yang berlokasi di
Br. Pengabetan Kuta
Kabupaten Badung.
x x
4 I Wayan Rembyok seluas
0,2 are yang berlokasi di
Br. Temacun Kuta
Kabupaten Badung.
x x
5 I Ketut Urip seluas 0,178
are yang berlokasi di Br.
Anyar Kuta Kabupaten
Badung.
x x
6 I Wayan Lunas seluas
0,18 are yang berlokasi di
Br. Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
x x
7 I Wayan Suadi seluas
0,675 are yang berlokasi
di Br. Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
x x
8 I Ketut Konde seluas 0,9
are yang berlokasi di Br.
Pengabetan Kuta
Kabupaten Badung.
x x
9 I Wayan Buda seluas 1 are
yang berlokasi di Br.
Temacun Kuta Kabupaten
x x
94
Badung.
10 I Made Dogor, Luh
Sendri, Ni Putu Wati,
Made warta dan Nyoman
Wartika seluas3,3 dan
1,65 are yang berlokasi di
Pemogan, Denpasar
x x
11 I Wayan Wija/ Tjegeg
seluas 0,14 are yang
berlokasi di Sanur Kauh,
Denpasar.
x x
12 IB Surakusuma/ IB Lolek
seluas 2 are yang
berlokasi di Mumbul,
Kuta Tanah tersebut
bersertifikat No.1363
tanggal 19/11/1991.
x x
13 I Nyoman Sudri/ Artono
seluas 1 are yang
berlokasi di Br. Pemogan,
Denpasar.
x x
14 I Ketut Lolong, Nyoman
Kardiana, Nyoman Suarta
(PT Bali Siki Utama)
seluas 84 are yang
berlokasi di Br. Perarudan,
Jimbaran, Badung.
x x
15 Desa Adat Kedonganan
seluas 0,1768 are yang
berlokasi di Kelurahan
Kedonganan.
x x
16 I Wayan Suwirta seluas
6,30 are yang berlokasi di
Kelurahan Sesetan,
Denpasar.
- x
17 Ahmad Sofyan seluas 30
are dengan klaim SPPT
PBB NOP.
51.71.010.008.037.0139.0.
- x
Total 15 17
95
Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai
dilakukan dengan merambah hutan, kemudian membangun di
kawasan hutan menjadi tempat pemukiman atau kegiatan usaha,
menduduki secara tidak sah bahkan dikukuhkan melalui
pensertifikatan. Dengan demikian ada dua perbuatan hukum dalam
illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni menduduki kawasan
Tahura Ngurah Rai secara tidak sah dan merambah Tahura Ngurah
Rai.
3.2 Faktor-faktor Penyebab Illegal Occupation
Indikasi terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
sebenarnya telah terlihat sejak 20 April 2002, yang sejak KRPH menyurati
pihak pengembang Bali Siki untuk menghentikan pembangunannya.
Kemudian pada tahun 2003, gelar perkara atas kasus ini dilakukan dengan
melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kejati Bali, namun hasilnya
hanya terbatas pada inventarisasi kasus tanpa disertai tindakan nyata untuk
memulai penyidikan. Kasus illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai
kemudian dibiarkan bergulir sampai pada tahun 2009, sejumlah pembeli
properti PT Bali Siki ingin mengadakan pengukuran ulang karena akan
menjual tanah itu kembali.
Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai merupakan penyimpangan
prinsip perlindungan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Kasus
96
hukum ini terjadi karena beberapa faktor-faktor yang dapat dianalisis
melalui teori sistem hukum. Analisis ini tidak lepas dari pandangan para
ahli hukum seperti H. Baharuddin Lopa yang berpendapat bahwa “jika
membicarakan hukum tentu tidak terlepas dari suatu sistem, yaitu sistem
hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula
keterkaitan dan keterpaduannya dengan sistem lain sebagai bagian dari
sistem nasional secara keseluruhan.”70
Lawrence M. Friedman mengemukakan “a legal system in actual is a
complex in which structure, substance and culture interact”71
dimana ada
tiga elemen dari sistem hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum. Dalam kajian ini, struktur hukum dan budaya hukum
menjadi kajian dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan illegal
occupations sedangkan substansi hukum yang mengatur mengenai hukum
kehutanan telah terumus dengan jelas. Secara normatif, tidak ada
kekosongan, kekaburan dan konflik norma yang mengatur mengenai
larangan illegal oocupation di Tahura Ngurah Rai. Larangan tersebut
dirumuskan dengan jelas pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
70 H. Baharuddin Lopa, 1996, Alquran dan Hak-hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima
Yasam Yogyakarta, hal. 124.
71 Lawrence. M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Sentence Perspective, Russel
Sage Foundation, New York, hal. 16.
97
3.2.1 Faktor Struktur Hukum
Struktur hukum dalam sistem hukum menunjuk pada penegak
hukum di bidang kehutanan. Dalam pembahasan ini adalah polisi
kehutanan yang memiliki tugas dalam menjaga dan melindungi
Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation. Hukum merupakan suatu
sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang memiliki fungsi
otonom, namun jika elemen-elemen tersebut dielaborasikan maka ia
akan mencapai tujuan. Sehingga polisi kehutanan merupakan elemen
otonom untuk disinergikan dengan elemen lain dalam mencapai
perlindungan hutan dari illegal occupation.
Di dalam hukum kehutanan, kedudukan Polisi Kehutanan
sangat kuat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Sedangkan, tugas-tugas
Polisi Kehutanan itu sendiri tercantum dibanyak peraturan baik
Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Intruksi Presiden.
Secara garis besar, tugas Polisi Kehutanan adalah mengamankan
segala peraturan yang ada tentang kehutanan.
Hutan merupakan aset negara yang menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat. Sehingga diperlukan upaya yang
sistematis dan terpadu untuk mencegah dampak sistemik dari illegal
occupation. Salah satunya dengan mengoptimalisasi peranan polisi
kehutanan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Dalam
98
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang
Perlindungan Hutan disebutkan:
Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi
kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya,
menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan
hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang
kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam pengamanan kawasan hutan mangrove di Tahura
Ngurah Rai, ditempatkan sejumlah polisi hutan yang memiliki
kewenangan untuk melaporkan, melakukan pendataan terhadap
pihak yang melanggar, memberi peringatan dan pembinaan,
mengambil tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku seperti
menangkap dalam hal tertangkap tangan, melakukan penyelidikan
dan penyidikan khusus bagi PPNS jika di lapangan ia menemukan
pihak-pihak yang melakukan illegal occupation.
Sejauh ini ada beberapa upaya yang telah dilakukan dan akan
dilakukan oleh polisi kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali
untuk mencegah dan mengembalikan kawasan hutan yang telah
diokupasi secara melawan hukum. Adapun upaya tersebut meliputi
kegiatan menghentikan dan mengambil tindakan sesuai kondisi di
TKP, memproses temuan tersebut melakukan gugatan baik pidana
maupun perdata. Untuk mengembalikan fungsinya sebagai kawasan
99
hutan maka tanah-tanah hutan tersebut ditanami kembali dengan
tanaman mangrove.72
Untuk mencegah illegal occupation maka Dinas Kehutanan
Provinsi Bali telah melakukan pengukuran luas kawasan Tahura
Ngurah Rai secara berkala yakni sekurang-kurangnya satu kali
dalam lima tahun, bahkan jika ada hal-hal yang bersifat mendesak
maka pengukuran dapat dilakukan kapan pun. Misalnya dalam
perbatasan wilayah antara kawasan hutan dengan tanah milik dimana
sebagai penyanding tidak ditemukan pal batas kawasan hutan.
Pengukuran juga dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam hal ada
permasalahan yang memerlukan pengukuran titik-titik koordinat
maka dilakukan pengukuhan secara parsial, insidental dan
kasuistis.73
Secara represif, lemahnya perlindungan hutan dari illegal
occupation disebabkan karena lemahnya penegakan hukum atas
kasus tersebut. Dalam konsep negara hukum, maka prinsip
perlindungan hutan harus ditegakkan guna menanggulangi illegal
occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penanggulangan illegal
occupation dalam kerangka negara hukum dapat dilakukan dengan
72 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
73 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
100
penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan konkritisasi dari
negara hukum. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.74
Sehingga penegakan hukum terhadap
illegal occupation berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan
dalam masyarakat.
Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di
negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki
hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi para
pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan
substansi hukum. Dengan demikian penegakan hukum terhadap
pelaku illegal occupation harus ditindak sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Pembiaran terhadap pelaku illegal occupation
berarti sama dengan penodaan terhadap negara hukum.
Perlindungan hutan dari illegal occupation selama ini
dilakukan dengan upaya preventif dan upaya represif namun hingga
kini penegakan hukum kehutanan terhadap kasus ini masih belum
optimal. Adapun beberapa hal yang melemahkan penegakan hukum
74 Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 5.
101
terhadap illegal occupation di Tahura Ngurah Rai oleh polisi hutan
adalah:
a. Kurangnya dukungan pimpinan terhadap polisi hutan yang
melaksanakan tugas pengamanan hutan. Hal ini dapat dilihat
dari penjejalan beban kerja bagi polisi hutan. Berdasarkan
observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai, maka diketahui
bahwa polisi kehuatanan yang bertugas di daerah tersebut masih
harus mengerjakan tugas-tugas administratif yang
sesungguhnya dapat dikerjakan oleh staf biasa.75
b. Kurangnya komitmen dari pimpinan dalam menyelesaikan kasus
illegal occupation. Kurangnya komitmen ini dapat terekam
dalam kasus Bali Siki dimana kasus illegal occupatiion ini telah
diketahui sejak tahun 2002 dan gelar perkara telah dilakukan di
tahun 2003, namun hingga kini belum ada penyelesaian secara
tuntas terhadap kasus ini. Kegiatan pengurugan tanah hutan,
pembuangan limbah dan penyerobotan tanah hutan mengandung
indikasi sebagai tindakan permulaan dari illegal occupation di
kawasan hutan.76
Namun dalam praktik, tindakan permulaan
tersebut seringkali tidak diwaspadai karena kurangnya
koordinasi diantara instansi terkait dalam penanganan kasus.
75 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
76 Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
102
Akibatnya, tindakan-tindakan permulaan tersebut tidak ditindak
oleh petugas atau penyelesaian kasus dalam setiap permasalahan
yang telah dilaporkan atau ditangani terkatung-katung.77
Jika dilihat dari tahun pensertifikatan semua kasus illegal
occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai sebagaimana yang
telah dideskripsikan dalam Bab III diketahui bahwa, kasus ini
1978 melalui kepemilikan tanah dari I Ketut Lolong, dilanjutkan
pada tahun 1989 dengan pensertifikatan tanah atas nama I
Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta,
Kabupaten Badung. Di Tahun yang sama juga terjadi
pensertifikatan atas nama I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang
berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.78
c. Sarana dan prasarana pengamanan hutan yang belum memadai.
Dalam proses hukum illegal occupation yang kini tengah
ditangani di Pengadilan Negeri Denpasar, polisi hutan tidak
difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dalam mencari barang bukti
baik dalam bentuk kendaraan dinas maupun biaya operasional.79
d. Kemampuan polisi hutan yang masih kurang. Berdasarkan data
yang dihimpun dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali, saat ini
77 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
78 Data diperoleh dari RPH. Tahura Ngurah Rai.
79 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di
Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
103
belum ada polisi hutan ahli yang memiliki kemampuan dibidang
penindakan illegal occupation, sebab kasus ini memerlukan
kemampuan komunikasi antar instansi, koordinasi dengan para
pihak termasuk kejaksaan, pengadilan, hakim, notaris dan
sebagainya. Hal ini juga didukung dengan keterbatasan tenaga
PPNS di Dinas Kehutanan, bahkan di Provinsi tidak ada yang
memiliki izin PPNS sehingga setiap kasus dialihkan ke pihak
kepolisian. Penyidikan hanya oleh penyidik polisi dalam kasus
di bidang kehutanan tentu bertendesi memunculkan bias dalam
penyelesaian kasus. Akibat kasus menjadi mengambang atau
justru melebar.
e. Ketidaktuntasan kasus illegal occupation ini disebabkan karena
kinerja dan koordinasi dari pemangku kebijakan. Pemangku
kebijakan selama ini kurang tegas dan berniat dalam memproses
setiap laporan tentang terjadinya gangguan keamanan hutan
yang dilaporkan oleh polisi hutan dan aparat yang bertugas di
tingkat RPH dan UPT KPH. Dalam penyelesaian kasus
seringkali terjadi konflik kepentingan antara stake holder yang
berkecimpung di dalam penyelesaian kasus tersebut baik antara
Notaris, tokoh adat, BPN, Dinas Kehutanan, pelaku dan
masyarakat. Beberapa diantaranya bahkan membela
104
kepentingannya tanpa memperhatikan kepentingan dan hak
negara atas penguasaan hutan.80
Dalam proses penyelesaian illegal occupation, aparatur
pemerintah tidak hanya terfokus pada bagaimana cara menghadapi
pelaku tetapi juga saling menyalahkan satu sama lain. Masing-
masing memiliki ego sektoral untuk tidak ingin disalahkan dan
bertanggung jawab terhadap kasus illegal occupation yang terjadi,
sehingga mereka sibuk untuk menyusun alibi dan mengalihkan kasus
tersebut. Akibatnya kasus ini semakin mengambang tanpa adanya
penyelesaian yang jelas dan saling mendalihkan.
Untuk menanggulangi illegal occupation, dibutuhkan sebuah
strategi baru yang berorientasi kepada optimalisasi peranan polisi
hutan yang berafiliasi dengan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat. Karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis yang
bersifat khusus (applied)) dan berpijak kepada pengembangan
potensi lokal (locallity development), yakni membangun konsensus
dari komitmen yang kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah,
masyarakat dan para pengusaha dibidang kehutanan bahwa hutan
harus diselamatkan.
Mewujudkan kelembagaan berarti diperlukan SDM polisi
kehutanan yang baik dan berkompeten dan profesional, oleh karena
80 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
105
itu paradigma polisi kehutanan hanya pelaksana perlu dirubah ke
arah polisi hutan sebagai perancang kebijakan dan perancang
program keamanan yang baik dengan melibatkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan kehutanan dan pengamanan hutan.
Meningkatkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam
pengelolaan hutan dan bertanggungjawab berarti polisi hutan
berperan dalam pengelolaan konflik. Konflik dikelola menjadi suatu
yang dapat membangun dan mendukung program kehutanan.
Disinilah ruang gerak polisi hutan tingkat ahli. Selain itu, polisi
hutan ahli harus mampu menciptakan program-program
pemberdayaan masyarakat yang tepat sasaran dan tepat
guna/applicable.
Hukum merupakan sistem yang terdiri atas satu kesatuan yang
utuh. Dalam sistem hukum tersebut terdapat unsur-unsur yang yang
saling berinteraksi satu sama lain dan berkerjasama untuk mencapai
satu tujuan dalam kesatuan tadi. Kesatuan tersebut diterapkan
terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum,
teori hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dalam sistem
terdapat sub sistem yang saling mendukung dan tidak bercerai-berai
antara satu sub sistem dan sub sistem lainnya. Sistem hukum
merupakan satu mata rantai yang memiliki perannya masing-masing.
Dengan demikian hukum menjadi pedoman bagi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.
106
Hukum, menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main
bersama (rule of the game). Dalam konsteks ini, aturan tersebut
diistilahkan dengan substansi hukum. Fungsi utama sub sistem ini
mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai
dengan aturan main. Parson kemudian menempatkan hukum sebagai
unsur utama dalam integrasi sistem. Hal ini juga didukung oleh
Steeman yang membenarkan bahwa apa yang secara formal
membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap
aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti
dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah struktur yang
terintegrasi. Dalam kerangka Bredemeier ini, hukum difungsikan
untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul di masyarakat.81
Pembentukan hukum merupakan bagian yang sangat penting
dalam pembangunan hukum pada konsep negara hukum. Dalam
konteks pembangunan hukum menuju kondisi yang lebih baik itu,
dapat dirumuskan paling tidak dua hal. Pertama bagaimana faktor
domestik, baik pemerintah maupun masyarakat memainkan
peranannya dalam pembangunan tata aturan. Hal ini tentu sangat
dipengaruhi oleh ideologi politik hukum atau untuk mudahnya
politik pembangunan hukum. Kedua bagaimana kondisi hukum ke
depan dapat menjawab perkembangan global dan regional yang
81 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal 152-153.
107
berpengaruh pada paradigma negara dalam menjalankan
pembangunan dan pembaruan hukum.82
Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia,
Darji Darmodiharjo dan Shidarta berkata, “setidaknya kita sadar
bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan
(gerechtigheit) disamping sebagai kepastian hukum
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigheit).”83
Beranjak
dari pemikiran tersebut maka pembentukan hukum di Indonesia
harus berorientasi pada pencapaian tujuan hukum. Pembentukan
hukum kehutanan di Indonesia sedapat mungkin memberikan
keadilan bagi negara sebagai pemegang hak atas penguasaan hutan,
masyarakat, masyarakat hukum adat dan badan usaha untuk
mendapatkan manfaat atas hutan. Selain itu, izin usaha pemanfaatan,
pengukuhan kawasan hutan dan sebagainya diharapkan dapat
menjami kepastian hukum. Dengan demikian, apa yang diatur dalam
hukum kehutanan diharapkan dapat memberikan manfaat lingkungan
dan manfaat ekonomi.
Sejumlah produk normatif yang diterbitkan tentu tidak akan
lepas dari dinamika internal maupun eksternal, yakni relasi antar
negara, negara dan korporasi internasional. Relasi-relasi inilah yang
82 Adnan Buyung Nasution, Visi Pembangunan Hukum Tahun 2025 Akses Terhadap
Keadilan dalam Negara Demokrasi Konstitusional, Jurnal Buah Pena Vol. V/No.4/Agustus 2008.
83 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI, hal. 154
108
bekerja dalam membentuk hukum di Indonesia. Subtansi hukum,
struktur hukum dan aparat penegak hukum tidak akan pernah dapat
bekerja sendiri di luar model negara yang hendak dibangun oleh
aktor-aktor pemegang keputusan di sebuah negara. Dirumuskannya
ketentuan di bidang kehutanan tentu tidak lepas dari adanya
kepentingan-kepentingan terhadap hutan. Dewasa ini, negara maju
cenderung mendorong negara berkembang untuk menyelamatkan
hutan guna mengekspor oksigen kepada negara maju. Sehingga
ketentuan di bidang kehutanan bukan hanya menyangkut
permasalahan sektoral di suatu negara namun menjadi payung
hukum bagi penyelesaiaan masalah global.
Dalam pembentukan substansi hukum selain memperhatikan
relasi antar negara, negara dan korporasi internasional,
pembentukan substansi hukum di bidang kehutanan juga menyerap
berbagai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, disinilah
filosofi-filosofi dalam hukum adat di Indonesia digali dan diangkat
menjadi hukum positif. Dibandingkan hukum nasional yang state
law itu, hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai
struktur-strukturnya yang politik, namun kekuatan dan
kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang
politik itu melainkan dari imperativa-imperativanya yang moral dan
kultural. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan politik kenegaraan
yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional,
109
tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam
konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional.84
Interkoneksi relasi antar negara, negara, korporasi
internasional dan kearifan lokal telah melahirkan Undang-undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memperhatikan relasi-
relasi tadi. Dalam Undang-undang tersebut diatur mengenai hak
penguasaan hutan oleh negara, tanggung jawab bersama dalam
pengelolaan hutan yang memungkinkan keberlangsungan hutan
untuk dinikmati oleh seluruh umat manusia dan kesempatan bagi
BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi untuk memiliki usaha izin
pemanfaatan hutan. Relasi kearifan lokal dalam Undang-undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditunjukkan dengan hak dari
masyarakat hukum adat atas hutan, penetapan status hutan adat dan
kehadiran polisi kehutanan (rimbawan) dalam penegakan hukum
kehutanan.
Pentingnya interkoneksi relasi antar negara, negara, korporasi
internasional dan kearifan lokal digambarkan oleh Geoffrey Sawer
dengan menyatakan bahwa “The adaptability of law to social
demand varies greaty which the techniques of interpreatation
adopted in particular systems, or in parts of particular systems and
there is no uniform correlation between type of interpretation and
84 Soetandyo Wignjosoebroto, 2010, “Masalah Budaya Dalam Pembentukan
Hukum Nasional”, Serial Onlie, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:
http://soetandyo.wordpress.com/2010/07/13/masalah-budaya-dalam-pembentukan-hukum-
nasional/
110
social consequence.”85
Hal ini menjelaskan bahwa perlunya
adapatasi hukum terhadap tuntutan sosial sehingga dalam
pembentukan hukum relasi antar negara, negara, korporasi
internasional dan kearifan lokal memang menjadi energi dalam
substansi hukum yang dihasilkan.
Hukum yang baik akan dihasilkan dari proses pembentukan
hukum yang baik. Dalam proses pembentukan hukum itu sendiri
melewati tahapan sebagai berikut:
a. Tahapan Sosiologis :
Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat
timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial.
Untuk menentukan agar problem tersebut dapat masuk dalam
agenda pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain
aspek peristiwanya, siapakah yang terkena peristiwa itu, apakah
mereka yang terkena peristiwa itu terwakili oleh mereka yang
mempunyai posisi sebagai pembuat keputusan, dan apakah jenis
hubungan antara pembuat kebijaksanaan dan orang-orang yang
terkena pengaruh kebijakan tersebut. Dalam tahap ini
diperhatikan berbagai kepentingan masing-masing pihak dalam
pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Dengan adanya perhatian
85 Geoffrey Sawer, 1973, Law in Society, Oxford University Press, London, hal. 182.
111
terhadap berbagai kepentingan ini maka diharapkan illegal
occupation dapat dihindari.
b. Tahapan Politis :
Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan dalam
agenda pemerintah atau sebagai policy problems, maka langkah
selanjutnya adalah pada tahapan politis. Tahapan politis ini
berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskan
lebih lanjut. Tahapan politis inilah yang sangat menentukan,
apakah ide atau gagasan itu perlu dilanjutkan atau diubah untuk
selanjutnya memasuki tahapan yuridis. Konteks pemahaman
politis ini sangat menentukan bagi lahirnya suatu peraturan,
karena harus disadari bahwa peraturan hukum ini merupakan
salah satu alat yang penting untuk menyalurkan dan
mewujudkan tujuan-tujuan kebijaksanaan pemerintah. Dengan
demikian, apa yang ingin diatur dalam ketentuan di bidang
kehutanan akan diformulasikan dalam bentuk hukum.
c. Tahapan Yuridis :
Pada tahapan ini lebih memfokuskan diri pada masalah
penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah yang diatur
kedalam rumusan-rumusan hukum. Keadaan hukum tidak dapat
dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis.
Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan
112
yang demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi
hukum yang responsif sehingga dapat menjawab berbagai
tuntutan di masyarakat.86
Produk hukum yang dilahirkan di bidang kehutanan juga
dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut pada saat pembentukan
hukum. Menurut Mahfud M.D, suatu proses dan konfigurasi politik
rezim tertentu akan signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk
hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang
konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter
responsif dan populistik sedangkan di negara yang konfigurasi
politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau
konservatif atau elitis.87
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan lahir pada era reformasi. Salah satu ciri reformasi yang
tampak dalam Undang-undang ini adalah adanya pengakuan hak
masyarakat hukum adat dan adanya kesempatan bagi siapa saja yang
dilanggar haknya untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pengakuan atas hak-hak rakyat inilah yang sangat terbatas pada masa
orde baru.
Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan
atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena
86 Warassih,E., 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama,
Semarang.
87 Mahfud MD dalam Iman Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.
113
hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus
senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang
dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat
pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di
Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering
dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan
kekuasaan.88
Manipulasi inilah yang menimbulkan illegal
occupation di kawasan hutan.
Hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk
mengubah perkelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang
dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang
dinamakan Gunnar Myrdal sebagai sofdevelopment, dimana hukum-
hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak
efektif.89
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dapat dikatakan berhasil dalam mengubah perilaku masyarakat
terhadap hutan. Hal ini terbukti dengan belum dicabutnya aturan
yang telah berjalan selama 12 tahun (1999-2011).
Efektifnya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan tidak lepas dari keberadaan asas-asas hukum yang
88 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 61-62.
89 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 135.
114
dianutnya. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Kebutuhan akan pendayagunaan asas-asas hukum
tersebut menurut Satjipto Rahardjo, disebabkan karena kita
membutuhkan orientasi yang jelas ke arah mana masyarakat ini ingin
dibawa oleh hukumnya. Selain itu, disebabkan pula karena sistem
hukum itu tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris,
melainkan juga punya semangat. Asas hukum memberikan nutrisi
kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya
merupakan bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan
yang sarat dengan nilai dan punya filsafat serta semangatnya sendiri.
Sebagai konskuensi apabila kita meninggalkan asas-asas hukum
adalah adanya kekacauan dalam sistem hukum90
Keberadaan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan telah mengantisipasi illegal occupation di kawasan hutan
melalui pengaturan dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “Setiap orang
dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah” Terhadap pelanggaran atas
ketentuan ini, akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara
90 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 141,
(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo IV).
115
dan denda. Ketentuan ini menjadi dasar dari penegakan hukum
terhadap illegal occupation di kawasan hutan.
Struktur hukum (penegak hukum) merupakan bagian dari
sistem hukum yang sangat mempengaruhi bekerjanya hukum
kehutanan dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan hutan di
dalam masyarakat. Kehadiran penegak hukum menelusuri efektivitas
hukum dalam masyarakat dijelaskan Achmad Ali sebagai berikut:
Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung
pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
untuk menegakkkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai
dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan
hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum
(penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan
penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektitif atau
tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standar hidup
sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.91
Adanya subtansi hukum yang baik ternyata tidak menjadi satu-
satunya jaminan dalam melindungi hutan dari illegal occupation. Hal
ini disebabkan karena kelemahan dalam struktur hukum dan budaya
hukum.
3.2.2 Faktor Budaya Hukum
Budaya hukum masyarakat mempengaruhi terjadinya illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai. Budaya hukum merupakan
working machine dari sistem hukum. Oleh karena itu, baik tidaknya
suatu hukum dalam konteks ini disandarkan pada kesadaran hukum
dan kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang
91 Achmad Ali, op.cit., hal. 378.
116
secara politik, ekonomi dan sosial kurang memberikan penghargaan
tinggi terhadap hukum bahkan berangsur-angsur melecehkan hukum,
tidak akan pernah memberikan energi pendorong bagi terciptanya
suatu penegakan hukum. Merujuk apa yang pernah diungkapkan
Paul Scholten bahwa kesadaran hukum itu merupakan suatu
kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh
dan taat kepada hukum.92
Maraknya kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
disebabkan karena budaya hukum masyarakat. Adapun berdasarkan
penelitian lapangan yang telah dilakukan, dapat diketahui penyebab
dari tindakan tersebut yaitu:
a. Kawasan Tahura Ngurah Rai merupakan kawasan yang memiliki
nilai ekonomi tinggi. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh pada
implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi
illegal occupation. Pertumbuhan globalisasi yang begitu pesat
membuka jaringan bisnis yang semakin terbuka lebar.
Perkembangan aspek bisnis ini tentu mampu memberikan
kontribusi dalam pembangunan nasional, maka tidak
mengherankan jika pemerintah semakin menggalakkan
penanaman modal asing dalam bentuk investasi. Investasi
92 IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer, Udayana
University Press, Denpasar, 18-19.
117
memberikan sumber dana yang begitu besar dalam pemerataan
pembangunan.
b. Adanya pembangunan di bidang industri pariwisata.
Pengembangan kawasan wisata saat ini telah merambah areal
hutan mangrove terutama di daerah wisata seperti Sanur, Kuta,
dan Nusa Dua. Pengalihfungsian lahan ini bisa terjadi karena
tidak semua hutan mangrove dikelola pemerintah Provinsi Bali.
Sebagian tanaman mangrove berdiri di atas lahan pribadi. Selain
itu, para pengembang juga sudah mengantongi izin pembangunan
dari pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat
membendung penyempitan lahan hutan mangrove. Lokasi-lokasi
ini memang strategis dijadikan kawasan wisata. Sehingga banyak
pengembang yang merubah hutan mangrove menjadi bangunan
penunjang pariwisata. Keberadaan restoran Aka Mie di Denpasar
Selatan yang hingga kini belum mengantongi izin analisis
mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari Dinas LH Denpasar.
Padahal, pembangunan restoran ini telah mengorbankan sejumlah
lahan hutan mangrove.93
c. Adanya sindikat yang bergerak untuk membeli atau menguasai
tanah dorongan ekonomi, dimana kawasan Tahura Ngurah Rai
merupakan salah satu kawasan strategis di Bali untuk
93 Muhammad Saifullah, 2008, “Hutan Mangrove Bali Terancam Punah”, Serial Online
Sabtu, 8 Maret 2008 17:26 wib, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:
http://news.okezone.com/read/2008/03/08/1/90001/hutan-mangrove-bali-terancam-punah.
118
pengembangan usaha terutama pengembangan jasa sarana
pariwisata. Perbuatan melawan hukum ini akan lebih mudah
dilakukan dengan lemahnya mekanisme kontrol terhadap kawasan
hutan.
d. Kurang jelinya aparat desa/ tokoh masyarakat dalam
menandatangani SPOP yang diajukan oleh masyarakat.
Kebocoran pertama kalinya berada di tingkat SPPT pajak,
kemudian berlanjut ke Notaris dan BPN. Notaris tidak melakukan
verifikasi ke lapangan mengenai kebenaran data yang diajukan
(teks clearens). Kebenaran yang diverifikasi hanya sebatas
kebenaran data yang diajukan bukan kebenaran data yuridis dan
data fisik atau data lapangan. BPN sendiri terlalu terburu-buru
memutuskan atau menyatakan bahwa apabila berbatasan dengan
jalan, sungai dan tanah negara langsung dicantumkan dalam kartu
hijau tanpa memperhatikan apakah jalan, sungai dan tanah negara
itu berada dalam kawasan hutan atau tidak. Bahkan dalam
pelaksanaannya, pihak BPN tidak mau mengundang pihak dari
Dinas Kehutanan apabila ada permohonan hak atas tanah yang
berbatasan dengan hutan melainkan langsung menuliskan batas-
batasnya dengan “berbatasan dengan fasilitas umum.”
e. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai sertifikat milik.
Sertifikat selama ini dipandang sebagai alat bukti yang paling
kuat. Padahal didalam sistem pendaftaran hak di Indonesia,
119
apabila dikemuadian hari ada data yang keliru maka keabsahan
sertifikat milik dapat dikaji ulang. Nyoman Suarta yang kini
menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai mengaku sama sekali
tidak mengetahui bahwa tanah tersebut termasuk dalam kawasan
hutan. Ia yakin untuk membeli tanah seluas 160 m2 karena
sertifikat tanah bernomor 08877 tersebut jelas yakni atas nama I
Ketut Lolong melalui Made Kardiana. Ia pun hanya melihat patok
BPN dan tidak ada pal hutan disana. Tanah tersebut baru
diketahui berstatus tanah hutan negara sejak petugas Polisi
Kehutanan menghentikan pembangunan pondasi di atas tanah
tersebut.94
Hal yang serupa juga diungkap oleh I Ketut Juana yang kini
tengah mengokupasi kawasan Tahura Ngurah Rai. Ia juga
membeli tanah dari Made Kardiana dengan sertifikat atas nama I
Ketut Lolong dan pada tahun 2002, sertifikat tersebut sudah atas
nama I Ketut Juana. Seperti Nyoman Suarta, Juana juga yakin
bahwa tanah tersebut tidak ada masalah karena sudah bersertifikat
sehingga bagaimana mungkin tanah hutan bisa dikonversi
menjadi tanah milik. Di depan tanah tersebut pun adalah jalan
aspal dan dibelakangnya adalah sungai besar sehingga ia tidak
menyangka jika tanah tersebut adalah kawasan Tahura Ngurah
94 Wawancara dengan Nyoman Suarta, 40 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di
Tahura Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011.
120
Rai. Akibat kasus ini, Juana merasa dirugikan dan menuntut
pengembalian uang pembelian atas tanah tersebut.95
Pensertifikatan tanah hutan dalam kasus illegal occupation
dilakukan karena adanya penyelundupan hukum oleh oknum-oknum
tertentu. Pelaku sengaja membayar pajak atas tanah hutan selama
kurun waktu tertentu dan bukti dari SPPT tersebut dijadikan syarat
untuk mensertifikatkan tanah. Pada dasarnya SPPT ini dapat
dijadikan syarat dalam permohonan sertifikat. Untuk melengkapi
permohonan tersebut, pemohon hanya perlu mengajukan saksi-saksi
dan bukti atas penguasaan fisik atas bidang tanah dalam jangka
waktu yang lama.96
Dalam fakta persidangan pada kasus illegal occupation yang
dilakukan oleh PT Bali Siki terungkap bahwa pelaku mendapatkan
sertifikat dengan mengajukan persyaratan berupa SPPT dan
dokumen dengan tanda tangan penyanding yang dipalsukan.
Pemalsuan ini memang sangat mudah dilakukan apalagi pihak
Notaris tidak melakukan pemeriksaan data yang diajukan oleh
pemohon.97
Kalaupun melakukan verifikasi data yang disampaikan
pemohon, sifatnya hanya sebatas kebenaran formil artinya semua
95 Wawancara dengan I Ketut Juana, 39 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di Tahura
Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011.
96 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45
tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011.
97 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di
Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
121
data yang disampaikan oleh pemohon kepada notaris dianggap benar
adanya, kecuali ada pihak lain yang membantah. Apabila
dikemudian hari ditemukan adanya pemalsuan data maka pihak
notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan.98
Hal ini menjadi
kendala dalam perlindungan hutan dari illegal occupation, apalagi
jika tanda tangan penyanding tersebut dipalsukan. Polisi kehutanan
bisa jadi tidak mengetahui bahwa ada suatu pihak yang telah
memohonkan penerbitan sertifikat atas tanah hutan yang
diamankannya itu, maka tidak mengherankan jika kasus ini baru
terungkap setelah bertahun-tahun sejak penerbitan sertifikat.
Pengembalian tanah hutan yang telah disertifikatkan oleh suatu
pihak tidak serta merta dapat dilakukan. Pengembalian ini melalui
proses panjang. Sertifikat dapat dibatalkan melalui putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dikemudian hari
ditemukan fakta bahwa pemohon menghakmilikkan tanah secara
melawan hukum. Hal ini disebabkan karena sistem hukum
pertanahan di Indonesia tidak berlaku mutlak.99
Kelemahan-kelemahan dalam sistem pendaftaran tanah di
Indonesia ini menjadi peluang bagi meningkatnya jumlah illegal
occupation. Apalagi dengan banyaknya oknum-oknum yang
98 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki, Notaris, pada 19 Mei 2011.
99 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45
tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011.
122
memanfaatkan kesempatan ini, sehingga yang perlu dilakukan
adalah membangun kesadaran hukum masyarakat untuk taat kepada
hukum yang berlaku.100
Hukum mengikat bukan karena negara
menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari
kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya,
yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat itu diutarakan
oleh H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat”.
Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang
dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu
perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.101
Adanya sindikat yang
mengokupasi kawasan hutan menunjukkan lemahnya kesadaran
hukum masyarakat atas perlindungan hutan. Mereka tanpa
mengindahkan hukum, berbuat untuk kepentingannya.
Ajaran kesadaran hukum lahir sebagai kaidah-kaidah hukum
yang tidak tertulis, yang merupakan gejala umum yang terdapat pada
setiap individu dengan derajat yang merata. Kesadaran hukum ada
yang bersifat pribadi dan yang umum. Pada kesadaran pribadi
masing-masing individu memiliki kesadaran hukum spontan
mengenai apa yang dianggap selaras dengan hukum atau berupa sifat
yang melanggar hukum. Kesadaran hukum, antara lain terwujud
100 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di
Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
101 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 84.
123
apabila masyarakat mempunyai sikap tertentu terhadap hukum yang
ada. Sikap tertentu tersebut berupa ketaatan hukum dalam
masyarakat.
Keberadaan hukum nasional yang mengatur kehutanan tampak
perlu dielaborasikan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat
(exiting law) Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran
hukum masyarakat mengenai pentingnya perlindungan hutan.
Elaborasi ini sejalan dengan pemikiran Anthon Freddy Susanto
dalam bukunya yang berjudul “Semiotika Hukum dari Dekonstruksi
Teks Menuju Progresivitas Makna”, dimana dalam buku tersebut ia
menuliskan:
Sistem peraturan perundang-undangan adalah sebuah fungsi dari
suatu kelompok atau masyarakat yang jelas dan otonom, yaitu
organisasi-organisasi/ institusi dan tentu saja termasuk juga
manusia. Untuk mengatakan bahwa masyarakat itu bersifat
otonom, artinya masyarakat itu sendiri bebas dalam pengertian
formal, dan bahwa masyarakat mempunyai peraturan sendiri-
sendiri.102
Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Apabila
memulai berbicara tentang nilai-nilai, maka telah termasuk pula
kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut memberikan arah-
arah tertentu pada jalannya hukum di suatu negara.103
Ketentuan di
bidang kehutanan diharapkan dapat memberikan reorientasi nilai-
nilai bagi masyarakat mengenai pentingnya mempertahankan
102 Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, hal. 85.
103 Satjipto Rahardjo II, op.cit. hal. 137.
124
kawasan hutan. Mindset mengenai konsep kepemilikan hutan perlu
diubah dari “kepemilikan atas tanah hutan” menjadi “kepemilikan
atas hutan”. Dengan konsep kepemilikan atas hutan berarti
masyarakat harus mempertahankan dan menjaga hutan untuk
kelangsungan hidupnya.
Budaya hukum masyarakat dalam kasus illegal occupation ini
menunjukkan kecenderungan akan ketidaktaatan hukum. Dalam hal
ini diperlukan upaya-upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat
yang tidak taat tersebut. Mengubah pola berpikir masyarakat dan
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat memerlukan suatu
proses, salah satunya dengan proses pendidikan. Mengenai
pendidikan ini Purwanto dkk. berpendapat:
Education for sustainability is more than learning about nature
and the environment, but more importantly, it must improve the
skills for constructive and meaningful participation in the
Biosphere Reserve management, The key objective is to develop
the capability to shape the future sustainably. In this regard, it is
evident that the Biosphere Reserve’s role is a laboratory for
learning to achive sustainable development.104
Dengan adanya pemahaman akan pentingnya penjagaan
lingkungan maka diharapkan masyarakat akan patuh terhadap prinsip
perlindungan hutan tersebut. Masalah kepatuhan hukum melibatkan
perasaan hukum dari subjek hukum. Menurut Soerjono Soekanto,
kepatuhan hukum atas dasar nilai-nilai keanggotaan kelompok,
104 Purwanto dkk., 2009, Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve Riau-Sumatra-
Indonesia: Caring for Live, LIPI Press, Jakarta, United hal. 31.
125
medapatkan bermacam tanggapan. Tanggapan-tanggapan tersebut
berintikan pada pendapat bahwa nilai keanggotaan kelompok pada
dasarnya merupakan motivasi pada identifikasi terhadap kelompok
tersebut, bukan merupakan dasar motivasi untuk patuh. Kepatuhan
hukum dari individu pada hakikatnya merupakan hasil proses
internalisasi yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
mempengaruhi kejiwaan seseorang. Sehingga kepatuhan tersebut
sesungguhnya berasal dari faktor eksternal dalam diri manusia.
Seorang kriminolog Belanda Hoefnagels membedakan adanya
derajat kepatuhan hukum yang meliputi:
a. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dan
mereka yang berwenang.
b. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum
dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian
yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang
bersangkutan.
c. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan
kaidah-kaidah tersebut maupun daripada nilai-nilai dan
penguasa.
126
d. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui
hukum tersebut dan nilai-nilai dari pada mereka yang
mempunyai wewenang.
e. Seseorang yang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan
dia pun tidak patuh pada hukum (melakukan protes).105
Hukum tidak mungkin bekerja tanpa adanya dukungan
masyarakat, sehingga illegal occupation tidak mungkin
ditanggulangi tanpa adanya niat dan moral yang baik dari
masyarakat untuk menaati prinsip perlindungan hutan. Prinsip ini
harus menjadi kewajiban hukum bagi masyarakat yang dilakukan
karena kesadarannya. Mengenai kewajiban ini Hari Chand
berpendapat “The obligation in such a society form the historical
fact that the society has adopted such a scheme. Thus, integrity is the
best interpretation of a morally pluralistic society. “106
Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan ini sejalan dengan
komitmen social forestry. Social Forestry dilaksanakan dengan
prinsip: 1) Penciptaan suasana yang memungkinkan berkembangnya
potensi/ daya yang dimiliki masyarakat, 2) memperkuat potensi/daya
yang dimiliki masyarakat, dan 3) melindungi masyarakat dari
dampak persaingan yang tidak sehat, antara lain dengan pemihakan
105 Ibid., hal. 82-83.
106 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur. hal. 167.
127
kepada masyarakat. Sebagai dasar konsepsi, pembangunan social
forestry dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan, dengan
tujuan membangkitkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan dan mempercepat rehabilitasi hutan dengan mempersatukan
masyarakat, investasi, dan institusi usaha pengelolaan hutan.
Hukum kehutanan yang baik adalah sarana untuk mengatur
kehidupan manusia dalam berinteraksi di masyarakat, yakni
kehidupan manusia untuk tidak melakukan illegal occupation.
Melalui teori perjanjian masyarakat, negara diserahi tugas oleh
masyarakat untuk mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal ini
Cotterrell mengatakan negara hanya menyediakan fasilitas melalui
pembuatan hukum dan untuk selebihnya diserahkan kepada rakyat.
Diserahkan kepada rakyat berarti menyerahkan pilihan kepada rakyat
tentang apa yang ingin dilakukannnya, apakah menggunakan hukum
atau tidak. Maka dalam sosiologi hukum dikenal fenomena “hukum
yang tidur/ ditidurkan” (statutory dormancy), yaitu hukum yang
masih berlaku tetapi tidak lagi dipakai oleh rakyat.107
Hubungan antara hukum tekstual dengan rakyat disebabkan
karena adanya pertautan dalam suatu sistem sosial. Parson
menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem
107 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum
yang Baik, Kompas, Jakarta, hal. 21, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo V).
128
sosial yang lebih sosial. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem
lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub
sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.108
Budaya,
politik dan ekonomi inilah yang mempengaruhi cara pandang
manusia terhadap hukum atau yang sering diistilahkan dengan
budaya hukum.
Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu
yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Problema
yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-
nilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum
modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat.
Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai
yang berbeda.109
Oleh sebab itu pembangunan atas budaya hukum
masyarakat untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan hutan
sangat diperlukan dalam menanggulangi illegal occupation di
Tahura Ngurah Rai.
Budaya hukum berimplikasi terhadap jalannya suatu proses
hukum. Saat ini kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
sedang berada pada proses hukum di Pengadilan Negeri Denpasar.
Untuk mengungkap kasus ini, budaya hukum masyarakat pelaku dan
108 Talcott Parsons dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage,
op.cit., hal 152.
109 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 212,
(Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI).
129
saksi sangat penting untuk menggali fakta-fakta di persidangan.
Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan
penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini
penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan
dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan
hukum tersebut. Dukungan ini hanya dapat diperoleh bila apa yang
ditetapkan sebagai suatu peraturan oleh pihak yang berkompeten,
selaras dengan keyakinan hukum masyarakat.110
Sehingga dapat
diketahui bahwa illegal occupation di Tahura Ngurah Rai dilakukan
karena masyarakat tidak mendukung prinsip perlindungan hutan atau
karena ada faktor lainnya.
Berdasarkan penelitian lapangan mengenai 17 kasus illegal
occupation di Tahura Ngurah Rai maka faktor penyebab illegal occupation
tersebut dapat dirinci sesuai tabel berikut ini:
Tabel 2
Faktor penyebab illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
No. Kasus Faktor Struktur
Hukum
Faktor Budaya
Hukum
1 I Wayan Suka seluas 0,8
are yang berlokasi di Br.
Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
110 H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, hal. 155-156.
130
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
mengenai arti
sertifikat.
2 I Wayan Suka seluas 1 are
yang berlokasi di Br. Jaba
Jero Kuta Kabupaten
Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
3 Ni Wayan Sudarti seluas
0,46 are yang berlokasi di
Br. Pengabetan Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
4 I Wayan Rembyok seluas
0,2 are yang berlokasi di
Br. Temacun Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
131
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
5 I Ketut Urip seluas 0,178
are yang berlokasi di Br.
Anyar Kuta Kabupaten
Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
6 I Wayan Lunas seluas
0,18 are yang berlokasi di
Br. Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
7 I Wayan Suadi seluas
0,675 are yang berlokasi
di Br. Jaba Jero Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
132
tindakan
permulaan.
8 I Ketut Konde seluas 0,9
are yang berlokasi di Br.
Pengabetan Kuta
Kabupaten Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
9 I Wayan Buda seluas 1 are
yang berlokasi di Br.
Temacun Kuta Kabupaten
Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
10 I Made Dogor, Luh
Sendri, Ni Putu Wati,
Made warta dan Nyoman
Wartika seluas3,3 dan
1,65 are yang berlokasi di
Pemogan, Denpasar
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
133
permulaan.
11 I Wayan Wija/ Tjegeg
seluas 0,14 are yang
berlokasi di Sanur Kauh,
Denpasar.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
12 IB Surakusuma/ IB Lolek
seluas 2 are yang
berlokasi di Mumbul,
Kuta Tanah tersebut
bersertifikat No.1363
tanggal 19/11/1991.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Kawasan Tahura
merupakan
kawasan
pariwisata.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
13 I Nyoman Sudri/ Artono
seluas 1 are yang
berlokasi di Br. Pemogan,
Denpasar.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
134
14 I Ketut Lolong, Nyoman
Kardiana, Nyoman Suarta
(PT Bali Siki Utama)
seluas 84 are yang
berlokasi di Br. Perarudan,
Jimbaran, Badung.
Kurangnya
komitmen
pimpinan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
15 Desa Adat Kedonganan
seluas 0,1768 are yang
berlokasi di Kelurahan
Kedonganan.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Kurangnya
fasilitas dalam
penyelesaian
kasus.
Tidak ada
tanggapan
terhadap laporan.
Konflik
kepentingan
antara stake
holder.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
Penyelundupan
hukum oleh
oknum tertentu.
16 I Wayan Suwirta seluas
6,30 are yang berlokasi di
Kelurahan Sesetan,
Denpasar.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Rendahnya
135
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Konflik
kepentingan
antara stake
holder.
pemahaman
mengenai arti
sertifikat.
Penyelundupan
hukum oleh
oknum tertentu.
17 Ahmad Sofyan seluas 30
are dengan klaim SPPT
PBB NOP.
51.71.010.008.037.0139.0.
Kurangnya
kualitas dan
kuantitas polisi
kehutanan.
Keterbatasan
PPNS.
Tidak
mewaspadai
tindakan
permulaan.
Konflik
kepentingan
antara stake
holder.
Pandangan bahwa
kawasan Tahura
merupakan
kawasan strategis
yang bernilai
ekonomi tinggi.
Pemalsuan tanda
tangan pada
SPOP.
Penyelundupan
hukum oleh
oknum tertentu.
Jumlah 9 Faktor 5 Faktor
Dari dua faktor yang menyebabkan penyimpangan prinsip
perlindungan hutan berupa tindakan illegal occupation, maka dapat
dikatakan bahwa faktor dominan yang menyebabkan illegal occupation
adalah faktor struktur hukum.
136
BAB IV
IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN HUTAN DALAM
MENANGGULANGI ILLEGAL OCCUPATION
DI TAHURA NGURAH RAI
4.1 Prinsip Perlindungan Hutan
Prinsip perlindungan hutan merupakan prinsip fundamental dalam
hukum kehutanan demi mencegah illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.
Prinsip ini meliputi pengamanan dan kelestarian hutan yang dikonkritisasi
pada perbuatan pengurusan hutan yang meliputi kegiatan penyelenggaraan,
perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan.
Prinsip perlindungan hutan lahir dari dinamika kehidupan masyarakat
telah berpengaruh pada kehidupan hukum masyarakat. Perubahan penting
yang terjadi dewasa ini menunjukkan semakin banyaknya konstitusi (UUD)
di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas
ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya
hak asasi manusia atas ekonomi untuk dilindungi dan dipenuhi oleh negara.
Konstitusi merupakan dokumen hukum yang sangat penting dalam sebuah
negara hukum untuk mengakui dan melindungi hak asasi tersebut. Konsep
inilah yang menimbulkan pembedaan hak dari negara, masyarakat dan
perorangan atas kawasan hutan serta pembatasan atas hak tersebut.
137
Hak merupakan konsep politik yang dapat diperjuangkan oleh siapa
pun sampai pada batas-batas tertentu. Hak akan menjadi hak asasi manusia
jika diakui dalam instrumen hukum. Mengenai konsep hak, Satjipto
Rahardjo mengemukakan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum
adalah sebagai berikut:
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut pemilik atau
subjek dari hak. Ia juga disebut orang yang memiliki titel atas barang
yang menjadi sasaran hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain dalam pengertian menjadi
pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan
korelasi.
c. Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini dapat
disebut isi dari hak.
d. Seseorang yang berkewajiban melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu perbuatan disebut objek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.111
Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan merupakan upaya dalam
pelaksanaan perlindungan hutan. Oleh sebab itu hak-hak negara,
masyarakat, dan perorangan perlu diinventarisir untuk mengetahui
pembatasan dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat di masing-
masing pihak.
111 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 95 (selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo III).
138
Pada dasarnya negara memiliki hak mutlak untuk menguasai hutan.
Konsep penguasaan ini tercermin dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari
rumusan pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa penguasa tunggal atas
hutan dan kawasan hutan adalah negara.
Penguasaan hutan dan kawasan hutan oleh negara kembali dipertegas
dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang
menyatakan bahwa:
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara
orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan
hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.
Dalam tataran kehidupan masyarakat ada kaidah-kaidah yang
membatasi ruang gerak mereka. Kaidah merupakan patokan untuk
bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan. Seseorang dalam kondisi
normal akan memikirkan pendapat orang lain atas hal-hal yang
139
dilakukannya. Dalam kondisi inilah kaidah menjadi kontrol perilaku dalam
kehidupan manusia. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam hukum bukan
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia melainkan juga
mengatur manusia dengan lingkungan alam.
Filosofi keseimbangan antara hubungan manusia dengan lingkungan
alam merupakan bagian dari filosofi Hindu yakni Tri Hita Karana (tiga
penyebab kebahagiaan). Dalam filosofi tersebut dijelaskan bahwa
keseimbangan di dunia ini akan dapat tercapai jika ada keserasian antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Kecintaan terhadap alam dapat diwujudkan dengan penegakan prinsip
perlindungan hutan. Prinsip ini adalah prinsip fundamental dalam menjaga
kawasan hutan dari illegal occupation. Dengan demikian prinsip
perlindungan hutan meliputi pengamanan dan kelestarian hutan.
Dalam mengamankan dan melestarikan hutan, maka prinsip
perlindungan hutan dikonkritisasi pada perbuatan pengurusan hutan yang
meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan
hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan dan pengawasan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 10 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Hal ini tentu
sejalan dengan konsep penguasaan hutan oleh negara.
140
Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan
merupakan implementasi hak menguasai hutan oleh negara yang
berimplikasi pada hak pemerintah dalam menetapkan status hutan. Dalam
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa
pemerintah menetapkan status hutan menjadi hutan negara dan hutan hak.
Adapun hutan negara dapat berupa hutan adat dan hutan adat ini ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam
perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pemerintah juga berhak menetapkan hutan berdasarkan fungsi
pokoknya yakni fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Untuk kepentingan umum, maka pemerintah dapat menetapkan kawasan
hutan tertentu untuk tujuan khusus yakni untuk tujuan penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya. Penguasaan
negara terhadap hutan dan kawasan hutan melahirkan kewajiban hukum
bagi pemerintah dalam pengurusan hutan.
Perencanaan kehutanan sebagai kegiatan awal dari pengurusan hutan
dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Perencanaan kehutanan
dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu,
serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan
meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
141
kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan
rencana kehutanan. Dengan adanya kegiatan perencanaan ini maka akan
diketahui prosedur dan ketersediaan pemanfaatan hutan serta akan
memudahkan polisi hutan nantinya untuk menentukan perbuatan yang
termasuk illegal occupation dengan perbuatan yang termasuk legal
occupation.
Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh
data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta
lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei
mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya
manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Kegiatan ini terdiri dari inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi
hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Hasil inventarisasi hutan antara
lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan
neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem
informasi kehutanan.
Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan
untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan
kawasan hutan dilakukan melalui proses penunjukan kawasan hutan,
penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan
kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
142
Dikukuhkannya Tahura Ngurah Rai sebagai hutan konservasi mengandung
konsekuensi yuridis bahwa hutan tersebut memang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap, sehingga hutan ini tidak dapat dikonversikan atau
dialihfungsikan.
Setelah pengukuhan kawasan hutan, pemerintah menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi
kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat propinsi,
kabupaten/kota, dan. unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan
hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,
sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk
masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan
unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan
karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara
khusus oleh Menteri.
Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan
atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran
sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sehingga
143
pemerintah sedapat mungkin harus melakukan upaya-upaya dalam
mempertahankan luas sebaran hutan yang ada.
Perambahan hutan menjadi kegiatan yang perlu dihindari untuk
mempertahankan jumlah minimal 30% (tiga puluh persen) tersebut,
sehingga legalisasi atas perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
sangat dibatasi. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan hanya
dapat ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian
terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari
persetujuan rakyat. Dengan demikian, dalam hal-hal tertentu yang
didasarkan pada penelitian terpadu, fungsi dan peruntukan hutan dapat
diubah.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan dengan mempertimbangkan
faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah
menyusun rencana kehutanan. Rencana kehutanan perlu mempertimbangkan
aspek-aspek dan estimasi pengaruh dari suatu penyelenggaraan hutan bagi
masyarakat sehingga penyelenggaraan hutan diharapkan tidak sampai
merugikan masyarakat. Rencana kehutanan disusun menurut jangka waktu
perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
Kegiatan perencanaan hutan melalui inventarisasi hutan, pengukuhan
kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah
pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan sudah berlangsung
144
dengan baik dalam mencegah illegal occupation. Untuk mencegah illegal
occupation ini pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menetapkan
hutan mangrove sebagai taman hutan raya yang menjadi hutan konservasi.
Ini berarti pemerintah telah mengamatkan agar hutan ini selalu
dipertahankan dalam kondisi apapun.112
Demi kelangsungan fungsi hutan maka pengelolaan hutan menjadi
prioritas penting. Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada
rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh
karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada
kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu
diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber
daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan
konservasi alam. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan
kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih
optimal dan lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam
blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan
hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan
efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak, disusun rencana
pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
112 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
145
Konsep penguasaan hutan oleh negara sesungguhnya bertujuan agar
hutan-hutan yang ada tidak dieksploitasi untuk kepentingan beberapa
kelompok. Hutan hendaknya dapat memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat, oleh sebab itu konsep penguasaan hutan oleh
negara tidak berarti meniadakan hak masyarakat dan badan usaha untuk
menikmati dan memanfaatkan hasil hutan. Dalam rangka pengembangan
ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan
koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan
hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah
(BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta
koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan wajib bekerja
sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap
memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh,
mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari
sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan
pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana
reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk
pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi
pelestarian hutan.
146
Secara normatif ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mencegah,
membatasi dan mempertahankan serta menjaga hutan dari perbuatan
manusia demi pengamanan dan kelestarian hutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan yaitu:
a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan;
b. melakukan inventarisasi permasalahan;
c. mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;
d. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;
e. meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
hutan;
f. melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin;
g. meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan;
h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;
i. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan
hutan;
j. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan
keamanan hutan; dan atau
k. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum.
Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya
diserahkan kepada BUMN di bidang kehutanan, dilaksanakan dan menjadi
147
tanggung jawab pengelolanya. Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang
telah menjadi areal kerja pemegang izin pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin
pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin yang
bersangkutan. Kegiatan perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan
tujuan khusus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pengelolanya.
Perlindungan hutan oleh BUMN dan pemegang izin meliputi :
b. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan satwa;
c. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak,
kebakaran hutan, hama dan penyakit serta daya-daya alam;
d. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya
gangguan keamanan hutan di areal kerjanya;
e. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal
kerjanya kepada instansi kehutanan yang terdekat;
f. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan
yang sesuai dengan kebutuhan.
Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi
tanggung jawab masyarakat hukum adat dan dilaksanakan berdasarkan
kearifan tradisional yang berlaku dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dengan pendampingan dari Pemerintah, pemerintah provinsi
148
dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota. Pelibatan masyarakat adat dalam
perlindungan hutan dilakukan baik secara sekala maupun niskala.
Perlindungan secara sekala yakni dengan memberikan informasi mengenai
adanya kegiatan baru di Tahura Ngurah Rai yang sangat mungkin menjadi
indikasi awal dari illegal occupation dan melestarikan mangrove dengan
melakukan reboisasi. Secara niskala, masyarakat adat sudah biasa
melakukan persembahyangan sehari-hari atau di saat-saat tertentu seperti
saat tumpek uduh.113
Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi
tanggungjawab pemegang hak. Adapun pelaksanaan perlindungan hutan hak
meliputi kegiatan antara lain:
a. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;
b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran;
c. penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan;
d. mempertahankan dan memelihara sumber air;
e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola
kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin
pemungutan, dan masyarakat.
Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota
melakukan fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dalam kegiatan
perlindungan hutan yang dilakukan oleh BUMN, pemegang izin,
masyarakat dan masyarakat hukum adat serta terhadap hutan hak. Dengan
113 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
149
demikian perlindungan hutan dari manusia memerlukan tanggung jawab
komprehensif dari pemerintah, BUMN, pemegang izin, masyarakat dan
masyarakat hukum adat.
Pengurusan hutan tidak meniadakan hak untuk memanfaatkan hutan.
Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba
pada taman nasional. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan
kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemanfaatan hutan lindung dapat
berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan
atau koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi.
Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
150
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan
hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin
pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan atau
koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada
perorangan atau koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha
milik swasta Indonesia atau badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan
kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia atau
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau
koperasi.
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta
Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja
sama dengan koperasi masyarakat setempat. Untuk menjamin asas keadilan,
pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
151
Pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan
melestarikan hutan tempat usahanya. Usaha pemanfaatan hasil hutan
meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan
pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh
melebihi daya dukung hutan secara lestari. Hal ini bertujuan untuk tetap
menjaga kondisi tanah dari tanah hutan. Selanjutnya, pengaturan,
pembinaan dan pengembangan mengenai pengolahan hasil hutan diatur oleh
Menteri Kehutanan.
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus dapat diberikan
kepada masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian,
lembaga sosial dan keagamaan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan
kinerja. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan juga wajib
menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sedangkan setiap
pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya dikenakan provisi.
Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan hak yang
berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak
mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat
hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan
adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak
mengganggu fungsinya.
152
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi
dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan
tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam
pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung
dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak
menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
153
demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan
dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang
berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang
dihasilkan hutan. Selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup tersebut,
masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengetahui rencana
peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan,
memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan
kehutanan; dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan
kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat di dalam dan
di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kerusakan hutan dan kerugian yang ditimbulkan atas penetapan
kawasan hutan, memberikan hak hukum (legal rights) bagi masyarakat
untuk mendapatkan kompensasi. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum dalam
mengubah masyarakat. Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum dilihat
dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law
154
as a tool of social engineering). Hukum dapat berperan di depan untuk
memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara
memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan
ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum
berada di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modern.114
Sehingga siapa pun yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan proses
hukum atas kerugian yang dialaminya.
Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak
atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau
melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan
kehidupan masyarakat. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan
terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat
pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau
instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,
organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk
114 Abdul Manan, 2009, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Goup,
Jakarta, hal. 20-21.
155
kepentingan pelestarian fungsi hutan. Organisasi bidang kehutanan yang
berhak mengajukan gugatan harus memenuhi persyaratan berbentuk badan
hukum, organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian
fungsi hutan dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
Bagian terakhir dari pengurusan hutan adalah kegiatan pengawasan
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan
menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai
secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan
atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan mencakup
dimensi preventif, preemtif dan represif yang bermuara pada pengamanan
dan kelestarian hutan (sustaibale forest). Dengan demikian, pelaksanaan
prinsip perlindungan hutan akan menjamin keberlangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
4.2 Implementasi Prinsip Perlindungan Hutan Dalam Menanggulangi
Illegal Occupation
Penyimpangan terhadap prinsip perlindungan hutan yang
menyebabkan terhadinya illegal occupation merupakan masalah hukum
kehutanan yang saat ini menjadi kendala dalam menjaga fungsi lingkungan
hidup. Terjadinya kasus ini tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan yang
meliputi diri manusia. Illegal occupation terjadi di sejumlah daerah di
156
Indonesia termasuk juga di Bali. Illegal occupation di Bali paling banyak
terjadi di kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Berdasarkan data
yang diperoleh dari RPH Tahura Ngurah Rai, dari 17 tanah hutan yang
berhasil disertifikatkan, tanah-tanah tersebut telah diubah fungsinya dari
tanah hutan menjadi bangunan rumah tinggal, sekolah dan bangunan lain
yang belum selesai dengan total wilayah seluas 133,9598 Ha. Adapun
tanah-tanah tersebut tersebar di beberapa wilayah yakni Br. Jaba Jero Kuta,
Br. Pengabetan Kuta, Br. Temacun Kuta, Br. Anyar Kuta Badung,
Pemogan, Desa Sanur, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan
dan kelurahan Sesetan.115
Tanah-tanah yang disertifikatkan tersebut diantaranya adalah A.A
Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4 are yang sama-sama
berlokasi pada perumahan Bali Siki, Jimbaran pada tahun 2002. Kasus
tersebut diketahui saat rekonstruksi ulang pal batas RTK-10 kawasan hutan
Prapat Benoa oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Kasus serupa juga
terungkap pada permohonan SPPT PBB seluas 30 are oleh Ahmad Sofyan
di Jalan Pantai Pengembak Sanur Kauh yang diketahui pada saat anak buah
pelaku tertangkap oleh Polisi Hutan ketika menebang mangrove di kawasan
tahura.116
115 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
116 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
157
Klaim kawasan hutan oleh I Wayan Suwirta atas sebidang tanah yang
bersebelahan dengan Supermarket Lotte menjadi catatan penting dalam
upaya perlindungan hutan dari illegal occupation. Illegal occupation ini
dilakukan sejak tahun 2008 yang didahului oleh pihak Suwirta yang
mengajukan penegasan konversi hak atas tanah seluas 6,3 are ke Kantor
Pertanahan Kota Denpasar. Karena 6,3 are dari konversi tanah yang
dimohonkan adalah termasuk wilayah hutan Prapat Benoa, maka
permohonanan hak kepada Kantor Pertanahan Kota Denpasar tersebut
ditolak oleh BPN. Terhadap keputusan tersebut, Suwirta mengajukan
gugatan ke PTUN yang akhirnya mengeluarkan putusan yakni menerima
permohonan penggugat dan meolak penolakan dari BPN Kota Denpasar
serta memerintahkan untuk melanjutkan proses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada putusan tersebut BPN
Kota Denpasar secara serta merta menerbitkan sertifikat hak milik atas
nama I Wayan Suwirta dengan mengabaikan keberatan dari Dinas
Kehutanan Provinsi Bali.117
Illegal occupation menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan.
Deforestasi ini terlihat pada kawasan Tahura Ngurah Rai yang berkurang
yakni 133,9598 are.118
Berkurangnya luas kawasan Tahura Ngurah Rai tentu
menimbulkan degradasi hutan dalam menjamin stabilitas lingkungan hidup.
117 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
118 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
158
Perbuatan illegal occupation merupakan pelanggaran terhadap prinsip
lingkungan hidup yakni prinsip pengamanan hutan dan kelestarian hutan.
Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam
menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Padahal Tahura
Ngurah Rai memiliki fungsi penting dalam mencegah abrasi, tempat
perlindungan biota laut, menahan limbah sampah ke laut, menahan
gelombang air laut ke darat, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan
tempat rekreasi. Oleh karena itu langkah-langkah perlindungan hutan perlu
dilakukan. Secara yuridis, upaya perlindungan hutan mangrove ini
dilakukan dengan penetapan kawasan hutan mangrove menjadi Tahura yang
secara spesifik diurus oleh UPT dari Dinas Kehutanan.119
Konskritisasi prinsip perlindungan hutan meliputi kegiatan a.
perencanaan kehutanan, b. pengelolaan hutan, c. penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d.
pengawasan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan
diketahui bahwa tidak semua kegiatan tersebut efektif dalam melindungi
Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation.
Perencanaan kehutanan pada dasarnya telah dilakukan dengan baik
dengan melakukan inventarisasi sumber daya mangrove, penunjukan
kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan,
dan penetapan kawasan hutan sebagai taman hutan raya yang termasuk
119 Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada 4 Mei
2011.
159
hutan konservasi. Penetapan ini menjadi landasan yuridis bagi Tahura
Ngurah Rai untuk tetap dipertahankan dalam kondisi apapun.
Pengurusan dan pengelolaan hutan menjadi kewajiban dari pemerintah, badan
usaha dan masyarakat. Berbagai kegiatan perlindungan hutan sudah dilakukan
oleh ketiga komponen tadi. Pemerintah telah membuat serangkaian regulasi untuk
memberikan kewajiban hukum bagi semua pihak untuk melindungi hutan baik
dari perbuatan manusia, kebakaran, ternak, hama maupun penyakit. Kebijakan
tersebut juga diikuti dengan langkah-langkah konkrit dengan menerapkan pola
kemitraan dalam pengamanan hutan, menjatuhkan sanksi bagi pelaku
pengrusakan hutan serta memberikan apresiasi berupa penghargaan kalpataru
bagi pihak-pihak yang berjasa dalam menjaga lingkungan hidup. Badan usaha
baik berupa BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi telah berupaya dalam
melindungi hutan baik melalui perbuatan aktif seperti ikut melakukan reboisasi
maupun dengan perbuatan pasif yakni dengan melaksanakan kegiatan usaha yang
ramah lingkungan.
Masyarakat termasuk masyarakat hukum adat juga telah berupaya melindungi
hutan baik dengan melaksanakan ketentuan hukum kehutanan maupun dengan
hukum adat yang mereka miliki. Masyarakat menganggap bahwa hutan
merupakan bagian dari dirinya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, hal
ini tampak pada pelaksanaan upacara tumpek uduh (ritual untuk mendoakan
pohon-pohonan) serta pembangunan tempat suci di kawasan hutan. Warga di
sekitar Tahura Ngurah Rai sesungguhnya paham akan arti penting perlindungan
hutan bagi makhluk hidup. Mereka sering dilibatkan dalam penanaman mangrove
160
dan pemasangan pal batas dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh RPH Dinas
Kehutanan. Warga yang tinggal berbatasan dengan hutan mangrove juga memiliki
kesadaran untuk mengadakan upacara bagi kelestarian hutan.120
Hal ini
menunjukkan adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam
perencanaan dan pengelolaan hutan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha dan masyarakat
ternyata belum mampu menghindari fakta-fakta kerusakan. Fakta kerusakan
hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan
mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa
Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang
dilakukan sebelum tahun 1990-an oleh investor. Investor tersebut bergerak dalam
bidang usaha tambak udang yang telah mengakibatkan berkurangnya luas area
hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya
tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu
meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, tetapi setelah beberapa tahun
beroperasi tambak-tambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga
mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha
pertambakan.121
120 Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di
kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011.
121 I Nengah Subadra, 2009, “Penyelamatan Hutan Mangrove Jawaban ”Global Warming’”
Serial Online 19 February 2009, (Cited 2011 Jan. 2), available from
:http://artikelpariwisata.blogspot.com/2009/02/bali-tourism-watch-penyelamatan-hutan.html
161
Seiring dengan kemajuan pariwisata yang begitu pesat maka illegal occupation
dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan
pembangunan gedung. Hal ini menjadikan kawasan Tahura Ngurah Rai sebagai
wilayah incaran atas ekspansi ekonomi pariwisata. Dengan pengetahuan yang
kurang memadai, masyarakat pelaku sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya pada kasus Bali Siki membeli rumah di kawasan tersebut dengan
alasan tanah telah bersertifikat. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa sertifikat
tersebut didapat secara melawan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan belum berjalan optimal sehingga pengetahuan hukum masyarakat
masih sangat kurang.
Penyebab illegal occupation tidak hanya dari masyarakat sekitar
kawasan hutan, namun lebih karena kelemahan kebijakan pemerintah,
seperti:
a. Kegagalan menurunkan pertumbuhan penduduk, khususnya masyarakat
sekitar kawasan hutan;
b. Kegagalan menjamin kepastian hukum kawasan;
c. Kegagalan reformasi di bidang agraria dan pembaharuan sosial ada
lahan-lahan produktif;
d. Kegagalan menciptakan lapangan kerja alternatif dalam industri dan
agroindustri yang jauh dari kawasan hutan;
e. Lebih membuka daripada membatasi akses ke kawasan hutan; serta
162
f. Pemberian susbsidi dan insentif bagi transmigrasi dan translokasi di
lahan-lahan hutan negara.
g. Kendala kelembagaan pemerintah yang turut bertanggung jawab
terhadap pengelolaan kawasan konservasi, seperti :
1) Prioritas bagi upaya konservasi alam biasanya rendah karena sistem
sosial terbiasa dengan pemanfaaatan sumberdaya alam secara
bebas.
2) Sistem komando dalam struktur organisasi pemerintah kaku, dan
lemahnya dukungan dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi
konflik;
3) Kondisi politik, ekonomi, dan sosial saat ini yang melemahkan
dukungan finansial dan kemampuan birokrasi untuk menangani
tindakan konservasi dan perlindungan.
4) Adanya tantangan politik lokal, tekanan organisasi kemanusiaan
internasional dibidang HAM, dan perkembangan pemberdayaan
otoritas daerah, di mana pihak berwenang tidak mendahulukan
aspek konservasi dalam kasus-kasus yang terkait dengan
eksploitasi sumber daya alam.122
Pendapat di atas sejalan dengan yang terjadi di Tahura Ngurah Rai,
dimana dalam kasus illegal occupation tersebut, pelaku menduduki kawasan
hutan untuk membangun rumah tinggal seperti dalam kasus Illegal
occupation oleh I Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I
122 Iman Santoso dkk. op.cit., hal. 30-31.
163
Ketut Urip, I Wayan Lunas, I Wayan Suandi, I Ketut Konde, I Wayan Buda,
Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta dan Nyoman Wartika,
Wayan Wija/ Tjegeg, IB Surakusuma/ IB Lolek dan Bali Siki. Hal ini
mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan
penduduk. Akibat ledakan penduduk tersebut maka masyarakat
membutuhkan rumah tinggal. Keterbatasan lahan menyebabkan mereka
mengekspansi wilayah hutan untuk dijadikan rumah. Apalagi daerah Tahura
Ngurah Rai termasuk wilayah strategis.123
Belum optimalnya kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan serta penyuluhan kehutanan bukan hanya bagi individu
melainkan juga bagi masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dilihat
dari kasus illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are
yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah bersertifikat No. 8115
tanggal 8/7/2001 tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang telah
dibangun pada awal 2006.124
Pendirian sekolah di wilayah tersebut memang
penting namun akan lebih baik jika membangun di tempat lain di luar
kawasan Tahura Ngurah Rai. Disinilah terlihat kurangnya pendidikan
mengenai arti penting hutan. Dengan demikian belum optimalnya kegiatan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan
kehutanan terjadi pada 15 kasus dari 17 kasus yang ada.
123 Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
124 Observasi di Kelurahan dan Desa Adat Kedonganan mengenai pendirian SMA Negeri 2
Kuta yang seluruh wilayahnya sebenarnya masih termasuk wilayah Tahura Ngurah Rai pada 5
Januari 2011.
164
Pengawasan merupakan instrumen yang sangat penting untuk
mengamankan dan melestarikan hutan. Kelemahan dalam lini ini tentu akan
menyebabkan illegal occupation yang sulit terkendali. Tindakan ini akan
berakibat pada kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan mangrove
menurut Harry Santoso dalam makalahnya yang berjudul “Penyelamatan
Ekosistem Mangrove Dalam Mewujudkan Kelestarian Hutan” juga
diakibatkan karena adanya konflik kepemilikan lahan, konversi lahan hutan
mangrove menjadi lahan pertanian/ pemukimaan/ budidaya/ tambak,
perkembangan teknologi yang membuat lahan mangrove menjadi lahan
industri, pemanfaatan kayu. Dengan kondisi yang seperti itu, maka
dibutuhkan lebih banyak Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia
dimana saat ini hanya ada dua yang bertempat di Bali dan Medan. Selain itu,
harus digalakkannya ketentuan mengenai kawasan hutan mangrove dimana
diadakannya pelarangan kegiatan budidaya di kawasan mangrove kecuali
kegiatan yang tidak merusak/mengganggu kawasan lindung tersebut.
Tsunami Aceh merupakan salah satu fenomena yang mencengangkan
dimana Aceh diporak-porandakan oleh tsunami. Tsunami tersebut terjadi
dikarenakan pada saat itu hutan mangrove sudah jarang sehingga tidak
mampu menahan gelombang besar yang mengakibatkan air laut masuk ke
daratan dan menghempas semua yang dilaluinya.125
125 Harry Santoso, “ “Penyelamatan Ekosistem Mangrove dalam Mewujudkan
Kelestarian Hutan”, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from
:http://fdcipb.wordpress.com/2011/02/28/seminar-nasional-%E2%80%9Cpenyelamatan-
ekosistem-mangrove-dalam-mewujudkan-kelestarian-hutan%E2%80%9D/
165
Kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia tidak dapat
dibiarkan begitu saja sebab kejahatan terhadap hutan sama dengan kejahatan
terhadap berjuta-juta umat manusia. Oleh sebab itu diperlukan suatu
instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjaring pelaku
pengrusakan hutan. Dilihat dari fungsinya hukum lingkungan berisi kaedah-
kaedah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya,
langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum
lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.
Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan
landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaedah kepada
masyarakat.
Sanksi adalah elemen penting bagi tegaknya hukum di dalam
masyarakat. Dalam Pasal 78 dan 80 Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan diatur mengenai sanksi atas pelaku illegal occupation.
Dalam Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf
c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”. Adapun rumusan
Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
adalah “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan
atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”
166
Pengenaan sanksi pidana penjara dan denda yang dirumuskan secara
komulatif juga diikuti dengan kewajiban bagi penanggung jawab perbuatan
itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat
yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan
kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 80 (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menyebutkan:
Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang
ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk
membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang
ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
Adanya pengaturan mengenai larangan menduduki kawasan hutan
secara tidak sah (lllegal occupation) memerlukan manusia sebagai
penggeraknya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Otje Salman dan Anton F.
Susanto, dimana hukum dianggap sebagai sistem yang abstrak yang hadir
dalam bentuk keharusan-keharusan (das sollen). Pada posisi ini manusia
akan bertindak sebagai partisipan faktor yang berperan menjalankan sistem
tersebut), yaitu mereka yang bermain dan memainkan sistem berdasarkan
logic tadi. Tujuan lebih kepada kepentingan praktik dan untuk membuat
keputusan.126
Sehingga untuk menanggulangi illegal occupation diperlukan
penegakan hukum oleh aparat-aparat yang berwenang.
126 Otje Salman dan Anton F. Susanto, op.cit., hal. 51.
167
Penegakan hukum dapat menjadi instrumen represif dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masalah lingkungan tidak
selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk
melaksanakannya. Instrumen hukum yang mengatur mengenai prinsip
perlindungan hutan hanya dapat berjalan efektif jika masyarakat memiliki
komitmen untuk melaksanakannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jimly
Asshiddiqie yang menjelaskan:
Yang penting untuk disadari adalah bahwa institusi negara dibentuk,
tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang secara
alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh
institusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud
untuk makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa
Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju,
mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan.127
Suatu Undang-undang yang mengandung instrumen hukum masih
diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan
bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan
lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah
lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan
disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan
dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma
hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain
seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower), membolehkan (erlauben,
127 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 68.
168
to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate).128
Penegakan
hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah
laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum
tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang
tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut
misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan
perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seseorang
yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.129
Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor penegak hukum.
Dalam konteks ini penegakan hukum terhadap illegal occupation dapat
dilakukan oleh polisi kehutanan. Polisi kehutanan selama ini mengalami
hambatan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku illegal
occupation sebab mereka berhadapan dengan pelaku yang dibentengi oleh
pelaku-pelaku intelektual. Pelaku justru memiliki sertifikat atas tanah hutan
yang diduduki secara tidak sah. Padahal tanah hutan hanya dapat dikonversi
apabila ada izin dari menteri kehutanan itu pun hanya dapat dilakukan pada
hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 38 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang menyebutkan bahwa “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.” Sementara hutan
128 A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42.
129 Satjipto Rahardjo II, op.cit, hal. 7.
169
mangrove Tahura Ngurah Rai adalah hutan konservasi, yang berarti tidak
dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan hutan apalagi sampai
disertifikatkan.
Dikeluarkannya sertifikat milik atas tanah hutan tentu melibatkan
Notaris dan PPAT serta BPN. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pelaku
intelektual atas illegal occupation. Selama ini belum ada permohonan
pensertifikatan tanah hutan oleh pribadi, jika ada permohonan maka
sebelumnya harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan dan harus ada
pelepasan hak dari Menteri Kerhutanan.130
Padahal kasus pensertifikatan
tanah hutan ini memang ada dan kini sedang dalam proses hukum.131
Keberhasilan penegakan hukum terhadap illegal occupation
memerlukan kredibilitas dan transparansi dari polisi kehutanan. Penegak
hukum menurut Abdulkadir Muhammad harus jujur dalam menegakkan
hukum atau melayani pencari keadilan dan menjauhkan diri dari perbuatan
curang. Kejujuran berkaitan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya
itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar
akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan
130 Wawancara dengan Ni Putu Eka Darmayanti, 23 tahun, perempuan, BPN Tabanan dan
Drs. I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April 2011.
131 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di
Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.
170
akal (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut
akal diterima oleh hati nurani.132
Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah
dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan
dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak
hukum.133
Sehingga penegakan hukum akan berlangsung dengan optimal
apabila dimulai dengan prosedur dan komitmen yang kuat sejak perumusan
hingga pelaksanaannya. Substansi hukum yang baik sudah tentu akan
memudahkan penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisi kehutanan
untuk menegakkan hukum terhadap pelaku illegal occupation.
Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak
tergantung pada hukum administratif atau hukum pemerintahan, terutama
menyangkut perizinan. Yang mengeluarkan izin adalah pejabat
132 Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
119.
133 Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 24.
171
administrasi, baik pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.134
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali
penerapan instrumen sanksi pidana adalah aparat penegak hukum dalam hal
ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) dan penyidik POLRI.
Lemahnya instrumen pengawasan terjadi pada semua kasus (17 kasus)
illegal occupation di Tahura Ngurah. Meskipun dalam kasus Ahmad Sofyan
telah dilakukan penangkapan oleh polisi kehutanan dan diproses di Polsek
Denpasar Selatan namun kasusnya hingga kini masih terkatung-katung.
Gelar perkara pada kasus Bali Siki juga pernah dilakukan pada tahun 2002,
namun tindak lanjut dari kasus tersebut sangat minim. Baru pada tahun
2010, kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar (pidana dan
perdata). Kawasan Tahura Ngurah Rai juga telah dipagari dengan seng dan
sudah diurug serta siap didirikan bangunan oleh I Wayan Suwirta dan
didirikan bangunan rumah tinggal dan sekolah oleh pelaku lainnya
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbuatan-perbuatan ini
sampai terjadi karena lemahnya pengawasan hingga penjatuhan sanksi bagi
pelaku illegal occupation.135
Adapun kelemahan-kelemahan dalam kegiatan
perlindungan hutan dapat dilihat secara rinci dalam tabel berikut:
134 Andi Hamzah, op.cit., hal. 74.
135 Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.
172
Tabel 3
Kelemahan dalam kegiatan perlindungan hutan
No Kasus Perencanaan kehutanan
Pengelolaan hutan
Penelitian dan pengembangan
pendidikan
dan latihan, serta
penyuluhan
kehutanan
Pengawasan
1 I Wayan
Suka seluas
0,8 are yang
berlokasi di
Br. Jaba Jero
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
2 I Wayan Suka
seluas 1 are
yang
berlokasi di
Br. Jaba Jero
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
3 Ni Wayan
Sudarti seluas
0,46 are yang
berlokasi di
Br.
Pengabetan
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
4 I Wayan
Rembyok
seluas 0,2 are
yang
berlokasi di
Br. Temacun
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
173
5 I Ketut Urip
seluas 0,178
are yang
berlokasi di
Br. Anyar
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
6 I Wayan
Lunas seluas
0,18 are yang
berlokasi di
Br. Jaba Jero
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
7 I Wayan
Suadi seluas
0,675 are
yang
berlokasi di
Br. Jaba Jero
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
8 I Ketut Konde
seluas 0,9 are
yang
berlokasi di
Br.
Pengabetan
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
9 I Wayan
Buda seluas 1
are yang
berlokasi di
Br. Temacun
Kuta
Kabupaten
Badung.
- - x x
174
10 I Made
Dogor, Luh
Sendri, Ni
Putu Wati,
Made warta
dan Nyoman
Wartika
seluas3,3 dan
1,65 are yang
berlokasi di
Pemogan,
Denpasar
- - x x
11 I Wayan
Wija/ Tjegeg
seluas 0,14
are yang
berlokasi di
Sanur Kauh,
Denpasar.
- - x x
12 IB
Surakusuma/
IB Lolek
seluas 2 are
yang
berlokasi di
Mumbul,
Kuta Tanah
tersebut
bersertifikat
No.1363
tanggal
19/11/1991.
- - x x
13 I Nyoman
Sudri/ Artono
seluas 1 are
yang
berlokasi di
Br. Pemogan,
Denpasar.
- - x x
14 I Ketut
Lolong,
Nyoman
Kardiana,
Nyoman
- - x x
175
Suarta (PT
Bali Siki
Utama) seluas
84 are yang
berlokasi di
Br.
Perarudan,
Jimbaran,
Badung.
15 Desa Adat
Kedonganan
seluas 0,1768
are yang
berlokasi di
Kelurahan
Kedonganan.
- - x x
16 I Wayan
Suwirta
seluas 6,30
are yang
berlokasi di
Kelurahan
Sesetan,
Denpasar.
- - - x
17 Ahmad
Sofyan seluas
30 are dengan
klaim SPPT
PBB NOP.
51.71.010.008
.037.0139.0.
- - - x
Total - - 15 17
Illegal occupation memiliki dampak yang besar bagi keberlangsungan
hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Pembiaran atas tindakan tersebut akan
menimbulkan degradasi dan deforestasi mangrove, padahal mangrove di
176
kawasan Tahura Ngurah Rai sangat bermanfaat untuk melindungi Bali dari
bencana tsunami. Mangrove juga berfungsi menyerap CO2 dan mencegah
terjadinya abrasi, sehingga keberadaan hutan mangrove harus
dipertahankan. Ancaman degradasi dan deforestasi mangrove Tahura
Ngurah Rai karena adanya pendudukan yang tidak sah, perlu diperhatikan
dan dicarikan solusinya. Oleh sebab itu diperlukan antara sinergi
pemerintah, badan usaha dan masyarakat untuk menanggulangi illegal
occupation.
Pemerintah
Penegakan hukum lingkungan dalam upaya penanggulangan illegal
occuption dapat dilakukan secara preventif dan represif sesuai sifat dan
efektifitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa
pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa
kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan
sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Dengan demikian
penegakan hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah daerah
yang berwenang mencegah pencemaran lingkungan. Penegakan hukum
yang bersifat represif, dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar
peratuaran. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli
pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat
pelanggaran tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara
177
berulang-ulang pelaku/ pencemar sendirilah yang harus menghentikan
keadaan itu.
Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya
serta tidak ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan
pembaharuannya bagi warga negara tidak akan bekerja secara efektif.136
Sehingga menjadi tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk
mensosialisasikan serta mengambil langkah-langkah yang tepat dalam
menanggulangi illegal occupation. Adapun upaya yang diatur dalam
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan langkah-
langkah yang telah ditempuh untuk menyelamatkan hutan mangrove Tahura
Ngurah Rai adalah:
a. Penyuluhan kehutanan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 Pasal
57 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penyuluhan
kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau
dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya
sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Penyelenggaraan
penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah juga bekerjasama
dengan dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban
136 Muchsin & Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,
hal 18.
178
hukum untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung
terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.
b. Pengawasan kehutanan, pengawasan kehutanan yang diatur dalam Pasal
59 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan ini,
dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan
pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal
dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau
penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Pemerintah yang melakukan pengawasan hutan meliputi
pemerintah pusat dan Pemerintah. Pemerintah pusat berkewajiban
melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaan
pengawasan hutan oleh pemerintah, masyarakat dan atau perorangan
dapat berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat juga melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan
hutan. Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan
internasional.
179
Terkait dengan adanya pengawasan terhadap kawasan hutan
terhadap illegal occupation, maka Dinas Kehutanan telah meregistrasi
lokasi yang dipinjam pakai maupun yang ditukar guling dan
mengurangi peluang-peluang untuk memanfaatkan kawasan hutan
sebagai tempat usaha.137
c. Memperketat perizinan. Perizinan merupakan salah satu wujud
keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam hukum
administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindaka
masyarakat, sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan
pada hakikatnya adalah tindakan hukum pemerintah bersifat sepihak
berdasarkan kewenangan publik yang memperbolehkan atau
memperkenankan suatu kegiatan. Menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten
Berge sebagaimana dikutip oleh Arya Utama, motif atau tujuan utama
instrumen perizinan adalah sebagai berikut:
1) Keinginan mengarahkan (mengendalikan/ sturen) aktivitas-
aktivitas tertentu.
2) Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan hidup (izin-izin
lingkungan hidup).
3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin
membongkar pada monumen-monumen).
4) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghunian di
daerah padat penduduk).
5) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-
aktivitas.138
137 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
138 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 23.
180
Sebagai bagian dari produk hukum, perizinan merupakan suatu
jaminan kepastian hukum bagi pemegang izin sehingga pihak manapun
yang memegang izin dalam pemanfaatan hutan, tidak dapat diganggu
gugat kembali. Kepastian izin dalam pemanfaatan hutan ini mampu
membedakan apakah pendudukan hutan oleh sekelompok orang
tersebut merupakan illegal occupation atau tidak. Pengeluaran izin atas
tempat usaha di kawasan Baypass Ngurah Rai dan Baypass Sanur juga
perlu diperhatikan apakah berdiri di atas tanah hutan atau tidak.
d. Pembentukan hukum yang responsif dan penegakan hukum di bidang
kehutanan. Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan demi kepastian hukum dan
mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah
lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische
milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai
sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan,
sampai tahap normal kualitas lingkungan.139
Di dalam kaidah-kaidah
atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan yang
harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum.140
Penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation di kawasan
Tahura Ngurah Rai, telah dilakukan dengan mengupayakan penertiban
dan penataan kawasan hutan hingga mengajukan gugatan atas illegal
139 Siti Sundari Rangkuti, 2003, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta,
hal. 2
140 Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 1.
181
occupation yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang.141
Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya
untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam
ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui
pengawasan dan penerapan (ancaman sarana administratif, keperdataan,
dan kepidanaan).142
Upaya penegakan hukum lingkungan yang
konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya
pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,
pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan
supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar
supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang
menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
e. Penataan batas wilayah hutan. Dengan adanya penetapan batas wilayah
hutan maka dapat diketahui perubahan luas dari hutan itu sendiri. Sejak
kawasan hutan mangrove dikukuhkan hingga kini telah terjadi
perubahan luas hutan. Hal ini disebabkan karena pendudukan kawasan
dengan adanya tanah kawasan yang bersertifikat, terjadinya
pembuangan sampah dan limbah secara liar dan untuk kepentingan
umum. Bahkan diantara tanah-tanah yang diokupasi tersebut ada yang
sudah disertifikatkan hak milik baik dalam pinjam pakai maupun tukar
141 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
142 Suparni, Ninik, 1992, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 160.
182
guling seperti untuk pembangunan Bandara Ngurah Rai, BTDC dan
BTID maupun oleh individu.143
Dalam rangka memperoleh kepastian hukum di lapangan maka
setiap areal yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan
penataan batas. Dengan telah dilakukannya penataan batas hutan, maka
tanpa adanya kewenangan yang sah setiap orang dilarang memotong,
memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan
hutan.144
Upaya perlindungan Tahura Ngurah Rai perlu dilakukan secara
komprehensif baik melalui cara preemtif, preventif dan represif. Ada
beberapa upaya yang selalu dilakukan dalam perlindungan hutan yakni
dalam penempatan personil yang terdiri dari polisi kehutanan, staf
administrasi, KRPH dan KPH pemantauan wilayah hutan, pengamanan
daerah yang rawan pelanggaran, patroli rutin dan menindak tegas bagi
pelaku yang melakukan kejahatan atau pelanggaran di kawasan hutan.
Bahkan Dinas Kehutanan tidak segan-segan memperkarakan pelaku baik
secara pidana maupun perdata atau dituntut di pengadilan tata usaha negara
guna mempertahankan kawasan hutan.145
143 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki Polisi Kehutanan pada Dinas
Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
144 Waldemar Hasiholan, 2009, “KONSEP DASAR PERLINDUNGAN HUTAN”, Serial
Online Selasa, 06 Januari 2009 (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:
http://conservationforest.blogspot.com/2009/01/konsep-dasar-perlindungan-hutan.html
145 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
183
Untuk menjaga kawasan hutan mangrove (Tahura Ngurah Rai), Dinas
Kehutanan Provinsi telah menempatkan personil yang sebelumnya
ditempatkan di RPH Tahura Ngurai Rai dan sekarang di UPT KPH Tahura
Ngurah Rai dengan spesifikasi 15 orang polisi hutan, 3 pejabat teknis dan 3
staf dengan komposisi luasan kawasan yang diemban sudah sesuai dengan
jumlah personil yang bertugas untuk mengawasi kawasan hutan
mangrove.146
Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan
mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak
perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga
kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Kawasan Hutan Indonesia
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri
Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi.
Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian
antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK).147
Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Pelaksanaan penyerahan
sebagian kewenangan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan
hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
146 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,
laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.
147 Departemen Kehutanan, “Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009”, hal. 9.
184
Badan Usaha
Badan usaha memiliki peranan penting dalam melindungi hutan dari
tindakan illegal occupation. Dalam Pasal 57 Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan ditentukan bahwa:
(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana
investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan.
(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan
mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
Ketentuan Pasal 57 ayat (1) yang mewajibkan dunia usaha dalam
bidang kehutanan untuk menyediakan dana investasi yang digunakan dalam
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan merupakan implementasi dari konsep corporate sosial
responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial badan usaha. Setiap usaha
yang ada di Indonesia wajib menyediakan dana untuk kepentingan sosial.
Melalui konsep ini, badan usaha yang bergerak dalam bidang kehutanan
tersebut dapat bermitra dengan pemerintah dalam penyuluhan hutan, dengan
sekolah atau perguruan tinggi serta lembaga-lembaga penelitian lainnya.
Badan usaha yang tidak bergerak di bidang kehutanan selama ini telah
memberikan perhatian pada keberlangsungan hutan mangrove Tahura
Ngurah Rai dengan melakukan penanaman bakau. PT Wijaya Karya
(Persero) Tbk. (WIKA), perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang
konstruksi misalnya telah melakukan penanaman 1.000 pohon bakau di
185
daerah Pasanggaran, Bali, sejumlah perusahaan jasa pariwisata, perusahaan
pembiayaan dan yayasan pendidikan di Bali juga melakukan hal yang sama.
Pencegahan terhadap illegal occuption oleh badan usaha dapat
dilakukan dengan pembentukan kesadaran hukum dari badan usaha untuk
tidak membangun usahanya di kawasan hutan. Pembangunan tempat usaha
hendaknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi saja namun
juga pada keberlangsungan lingkungan hidup. Kawasan Tahura Ngurah Rai
memang menjadi lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha, sebab
kawasan ini berada di daerah pariwisata Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Selain itu
juga dekat dengan Bandara (Bandara Ngurah Rai). Harga tanah di daerah ini
pun cukup tinggi yakni hampir mencapai RP 500.000.000,00 per are.
Masyarakat
Dalam Pasal 68 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dikatakan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup
yang dihasilkan hutan. Selain hak tersebut masyarakat dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan
informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan
kehutanan; dan
186
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan
baik langsung maupun tidak langsung.
Hak-hak tersebut dapat menjadi landasan bagi peran serta masyarakat
untuk mencegah illegal occupation. Dalam pengukuran tanah misalnya, ada
beberapa pihak yang dilibatkan yakni pemohon yang akan menunjukkan
batas, penyanding yang bersebelahan langsung, pejabat di lokasi tanah
dimohonkan misalnya Pekaseh jika tanah tersebut tanah sawah atau Kelian
Dinas jika tanah tersebut tanah karang/ tanah rumah dan petugas ukur.
Dengan pelibatan ini, masyarakat dapat memberikan informasi kepada
petugas yang berwenang mengenai status tanah yang ada di daerahnya.
Dalam pengukuran tanah tersebut, jika ada protes dari perorangan,
masyarakat atau pemerintah sehubungan dengan tanah yang dimohonkan,
maka BPN akan menunda proses penyelesaian permohonan kemudian
memanggil pihak-pihak yang berkeberatan dan pemohon selanjutnya
memfasilitasi atau menjadi mediator dalam permasalahan tersebut. Hal ini
menjadi upaya preventif untuk mencegah didudukinya tanah hutan secara
tidak sah.
Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga
kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Dalam melaksanakan
rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan
dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah.
Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan dan
pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai
187
kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam
rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
Dalam upaya penanggulangan illegal occupation di kawasan Tahura
Ngurah Rai, diperlukan pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat
tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa yang dimaksudkan
dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik
atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang
tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai
adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya sedangkan data yuridis
adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban
lain yang membebaninya.
Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan
pejabat lain sebagaimana yang diamanatkan oleh PP Nomor 24 tahun 1997
188
serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Adapun sistem
pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran
hak bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya
buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang
dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda
bukti hak yang didaftar. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah yang
digunakan adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif karena
akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Pada sistem publikasi negatif yang murni tidak
menggunakan sistem pendaftaran hak juga tidak ada pernyataan seperti
dalam pasal-pasal UUPA bahwa sertifikat adalah alat bukti yang kuat.148
Sertifikat dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia pada dasarnya
menjadi bukti otentik yang menyatakan bahwa subjek hukum yang tertulis
namanya dalam sertifkat adalah pemegang hak mutlak. Namun jika
ditemukan adanya kekeliruan dalam data fisik dan data yuridis maka
keabsahan sertifikat tanah dapat dikaji ulang. Dari beberapa kasus illegal
occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai diketahui bahwa masyarakat
yang kini menduduki hutan mangrove untuk perumahan mereka, mau
membeli tanah tersebut karena sudah ada sertifikat atas nama pengembang.
Bagi mereka sertifikat adalah bukti yang kuat untuk menyatakan suatu
148 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hal.
477.
189
kepemilikan atas tanah sehingga mereka tidak melakukan verifikasi atas
kebenaran data dalam sertifikat tersebut.
Untuk mensertifikatkan tanah menjadi hak milik maka ada beberapa
persyaratan yang harus ditempuh seperti fotocopy KTP dan KK baik penjual
maupun pembeli, akta jual beli yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah,
pelunasan pajak untuk permohonan peralihan hak. Prosedur ini harus
dilakukan seluruhnya karena peralihan hak harus melalui proses jual beli,
tukar menukar atau hibah. Hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam
permohonan untuk menjamin kepastian hak yang dimohonkan. Oleh sebab
itu terhadap data tersebut, pihak BPN akan memverifikasi kebenaran data
dengan membentuk sebuah panitia kecil (Panitia A) yang bertugas untuk
menyidangkan apakah data yang diajukan pemohon tersebut sudah benar
dan apakah setiap proses permohonan hak seperti pengukuran dan
penggambaran telah dilalui. Hasil sidang tersebut akan diumumkan kepada
publik.149
Upaya yang dilakukan oleh pihak BPN tersebut ternyata belum
mampu menanggulangi illegal occupation. Kenyataannya tanah-tanah yang
diduduki justru telah bersertifikat.
Penanggulangan terhadap illegal occupation memerlukan kerjasama
dengan masyarakat hukum adat yang ada di kawasan hutan. Menurut Ter
Haar, kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah itu
terbukti dari adanya keselamatan yang tetap di tempat-tempat tertentu yang
dipimpin oleh Kepala Adat pada waktu permulaan mengerjakan tanah,
149 Wawancara dengan Drs I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April
2011.
190
sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara manusia dengan
tanah terlihat dari upacara keagamaan yang hingga kini masih dilaksanakan
oleh masyarakat adat.150
International Tropical Timber Organization (ITTO) sebagai salah satu
organisasi internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan hutan
telah melakukan kerjasama dengan masyarakat hukum adat di China, India,
Mexico, Kamerun dan Philiphina. Mereka memiliki manajemen pengelolaan
tersendiri sebagaimana yang ditulis dalam laporan ITTO yakni “Community
forestry, the management of forests with or by local communities, is an
important mechanism for addressing social equaity while pursuing the
sustainability of the forest resourse.”151
Manajemen pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat berbasis
pada kearifan lokal (local indigenous). Local indigenous atau yang juga
dikenal dengan istilah local genius merupakan sejumlah karakter budaya
yang dirasakan masyarakat sebagai hasil pengalaman hidupnya sehari-hari
atau the sum of the cultural characterstics which the vast majority of people
have in comment as a result of their experiences in early life.152
Karakteristik kultural dari masyarakat hukum adat mengandung pelbagai
nilai. Mengenai sistem nilai tersebut, Abdulkadir Muhammad mengatakan:
150 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 116.
151 International Tropical Timber Organization, 2007, Making SFM Work ITTO’S First
Twenty Years, ITTO’s First 20 Years, hal. 41.
152 Ayatro Haedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta,
hal. 30.
191
Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolok ukur kebenaran
dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan.
Sistem nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata
kehidupan pribadi dan menata hubungan manusia dan manusia serta alam
di sekitarnya. Sistem nilai yang menjadi dasar kesadaran masyarakat
untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.153
Keberadaan kawasan hutan dikeramatkan hampir merata pada berbagai
etnik Nusantara. Kelompok masyarakat mengakui adanya nilai-nilai tak
terukur, nilai-nilai magis di balik fenomena alam hutan. Eksistensi
kelompok masyarakat berkembang mengikuti dua pola dasar. Pertama pola
alamiah, dimana masyarakat berdasarkan pengalamannya berinteraksi
dengan lingkungannya, dan mereka mengakui adanya kekuatan gaib yang
mempengaruhi hidupnya. Kedua masyarakat lokal berinteraksi dengan
kelompok masyarakat pendatang, dan mereka mendapat pengetahuan
tentang kekuatan magis dalam kehidupannya memiliki landasan sistem
norma.154
Desa pakraman sebagai desa adat yang ada di Bali mempunyai tugas
bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, termasuk
pembangunan di bidang kehutanan. Selain itu, desa pakraman mempunyai
tugas membina dan mengembangkan nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
153 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 8.
154 Ibid.
192
umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-
paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka (musyawarah mufakat).155
Desa adat pada dasarnya berfungsi untuk mengatur tata kehidupan
warga desanya dalam rangka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan dari warga desa yang dinamakan Moksa dan Jagadhita, dimana
hal tersebut sejalan dengan tujuan agama Hindu yakni Morksartham
Jagadhita ya ca iti Dharma.156
Tanggung jawab desa pakraman dalam
pembangunan di bidang kehutanan ini merupakan implementasi dari Tri
Hita Karana yang merupakan falsafah keseimbangan (keseimbangan
manusia dengan Tuhan, keseimbangan antara manusia dengan manusia dan
keseimbangan antara manusia dengan lingkungan), terutama palemahan
yakni keseimbangan antara manusia dengan lingkungan.
Masyarakat Adat Tenganan di Bali turun temurun melalui mekanisme
kelembagaannya telah mampu menjaga hutan dan stabilitas ekosistemnya.
Dalam perspektif deep ecology masyarakat tersebut memandang
keberlangsungan kehidupan dan eksistensi alamnya merupakan kombinasi
faktor yang tampak dan tidak tampak. Konsepsi yang sesuai dengan peta
aksi deep ecology yaitu pandangan ekologi yang lebih mendalam.
Pandangan dan aksi ekologis bertumpu tidak hanya pada gejala biofisik,
155 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Hukum Adat di Bali, Udayana
university Press, Denpasar, hal. 14.
156 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post,
Denpasar, hal. 24.
193
tetapi mengutamakan etika moral.157
Masyarakat adat Tenganan ini memang
dapat dijadikan contoh dalam meningkatkan peran serta masyarakat hukum
adat dalam perlindungan hutan.
Masyarakat desa pakraman di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai
selama ini desa pakraman belum pernah dilibatkan dalam pengukuran hutan,
upaya yang dilakukan desa pakraman untuk menanggulangi illegal
occupation pun belum ada karena bagi warga desa illegal occupation ini
merupakan masalah pribadi. Namun sejak tahun 1967, pihak desa sudah
menjalin kerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk mengamankan hutan.
Hansip desa diberikan wewenang untuk memberikan informasi jika ada
penebangan pohon mangrove, selain itu mereka juga dilibatkan dalam
pemasangan pal batas bila dilaksanakan rekonstruksi di kawasan Tahura
Ngurah Rai.158
Illegal occupation yang merugikan masyarakat dapat menimbulkan hak
bagi masyarakat. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya
sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena
157 I.G.P.Suryadarma, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim Satu
Kajian Perspektif Deep Ecology (Kasus Masyarakat Desa Adat Tenganan, Bali), Jurusan Biologi,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from :
URL:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/I%20Gusti%20Putu%20Suryadarma,%20MS.,%
20Dr.%20/18%29%20Peran%20Hutan%20Masyarakat.pdf
158 Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di
kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011.
194
hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan
kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai
mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Selain sebagai
penahan abrasi dan gelombang air laut, mangrove juga memiliki fungsi yang
sangat penting dalam kehidupan, yakni mampu menyerap karbondioksida
yang dikeluarkan dari gas emisi cerobong asap perusahaan dan kendaraan
bermotor. Bahkan menurut Bambang Suprayogi, setiap satu hektare hutan
mangrove mampu menyerap 36 sampai dengan 43 ton karbondioksida.
Karenanya di dunia internasional konservasi dan pelestarian ekosistem
hutan mangrove mendapat perhatian serius. Bahkan beberapa negara telah
menerapkan biaya ganti rugi kepada perusahaan yang mengeluarkan gas
emisi perusak lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus memberikan ganti
rugi terhadap negara yang telah merawat dan melestarikan hutan mangrove,
demi terciptanya iklim udara yang baik. Menurut Bambang Prayogi, untuk
satu ton karbondioksida yang diserap hutan mangrove, dihargai dengan 20-
30 euro. Hasil ganti rugi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelestarian dan
konservasi hutan mangrove.159
159 Redaksi, 2011, “Hutan Mangrove Penopang Ekonomi Masyarakat Pesisir”, Serial Online
Minggu, 24 Apr 2011 10:22 WIB, (Cited 2011 May 2), available from : URL:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/04/24/30527/hutan_mangrove_penopang_ekon
omi_masyarakat_pesisir/
195
Organisasi bidang kehutanan yang ada di tengah-tengah masyarakat
dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, dapat
mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi
hutan. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus
memenuhi persyaratan yakni berbentuk badan hukum dimana organisasi
tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan
didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan serta
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Sinergi antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat merupakan
implementasi dari ciri-ciri negara hukum Pancasila. Adapun ciri-ciri dari
negara hukum Pancasila adalah:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan nasional.
b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan
negara.
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara bermusyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.160
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk mendukung
kehidupan umat manusia dan alam semesta memiliki keterbatasan-
keterbatasan. Perlindungan dan pengelolaan yang memperhatikan
keterbatasan daya dukung lingkungan akan membuat lingkungan
berkembang berkelanjutan, sebaliknya perlindungan dan pengelolaan yang
160 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematikan Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 162.
196
berlebihan hanya akan menyebabkan kerusakan bahkan melahirkan bencana
ekologis. Dalam hal ini negara bertanggung jawab menjamin perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kesejahteraan bagi
rakyatnya secara berkelanjutan. Tanggung jawab Negara tersebut diatur
dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.161
Dalam merehabilitasi mangrove tersebut, yang diperlukan adalah
master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan
sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat
memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi
kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu
dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan
fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan
produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan).162
Pelindungan hutan dari illegal occupation di Tahura Ngurah Rai
merupakan konsekuensi dari negara hukum. Sebagai sebuah negara hukum
yang ditegaskan dalam konstitusi tertulis sebagai dasar negara, maka segala
aspek kehidupan masyarakat selalu didasarkan atas hukum termasuk dalam
161 Anonim, 2009, “Kita Butuh UU Lingkungan Hidup?”, Serial Online Wednesday, 29 July
2009 09:35, (Cited 2011 May 2), available from : URL: available from URL:
http://www.perwaku.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:tanggapan-ruu-
lingkungan-hidup&catid=40:artikel-dan-opini&Itemid=77
162 Anonim, 2009, “Fungsi dan Peranan Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem, Jaga
Kelestarian Ekosistem Hutan Bakau Bangka Belitung”, Serial Online Tanggal 2009-01-27
Jam 16:09:10, (Cited 2011 May 2), available from : URL: http
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Fungsi%20dan%20Peranan%20Hutan%20Bakau
%20%28Mangrove%29%20dalam%20Ekosistem,%20Jaga%20Kelestarian%20Ekosistem%20Hut
an%20Bakau%20Bangka%20Belitung&&nomorurut_artikel=268
197
menjaga dan melindungi kawasan hutan. Dalam pelaksanaannya, hukum
dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan
masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum
menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia
terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.163
Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-
undangannya pun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan
lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan, dimana Undang-
Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh
Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam
konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup.164
Sehingga
menjaga hutan sama dengan menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan
hidup. Salah satu hutan yang harus dijaga adalah hutan mangrove yang
berada di daerah pantai.
Lingkungan hidup adalah bagian dari kehidupan manusia yang
menjadi sumber penghidupan manusia. Permasalahan lingkungan hidup
memang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia. Masalah lingkungan
hidup dewasa ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa
dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian
163 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 76.
164 Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika,
Jakarta.
198
yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun
internasional, karena dapat dikatakan Ia sebagai kekuatan yang mendesak
untuk mengatur kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan
kebutuhan sumber daya alam, dengan tetap menjaga kelanjutan dan
kelestarian itu sendiri. Dua hal yang paling essensial dalam kaitannya
dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, adalah timbulnya
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.165
Hutan merupakan salah satu penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran bagi makhluk hidup. Hutan sebagai modal pembangunan
nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan
bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,
secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola,
dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang
(Penjelasan Umum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan)
sehingga ancaman kerusakan hutan menjadi ancaman bagi kehidupan
makhluk hidup.
165 Nurdu’a M. Arief, Nursyam B. Sudharsono, 1991, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, Satya Wacana, Semarang, hal. 7.
199
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai adalah
perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah yang didahului
dengan perbuatan merambah hutan. Illegal occupation ini diikuti
dengan pensertifikatan tanah hutan. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah faktor
struktur hukum dan budaya hukum. Faktor struktur hukum meliputi
kurangnya dukungan dan komitmen pimpinan terhadap polisi hutan
yang melaksanakan tugas pengamanan hutan, sarana dan prasarana
pengamanan hutan yang belum memadai, kemampuan polisi hutan
yang masih kurang, keterbatasan tenaga PPNS di Dinas Kehutanan,
adanya aktor-aktor intelektual di balik kasus ini, kurangnya koordinasi
antara Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Tokoh
Adat/masyarakat dan Notaris dalam mengamankan kawasan hutan
menyebabkan kasus illegal occupation sulit ditanggulangi. Dari segi
budaya hukum, illegal occupation juga disebabkan karena lemahnya
pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat sehingga mereka
yakin bahwa membeli tanah yang bersertifikat tidak akan
200
menimbulkan masalah di kemudian hari. Selain itu juga karena
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendorong mereka untuk
menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai yang memang menjadi lokasi
strategis, apalagi jika tanah tersebut dijual dengan harga yang murah.
b. Implementasi prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam
menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai.
Belum optimalnya penegakan prinsip perlindungan hutan ini terletak
pada kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan terhadap Tahura Ngurah
Rai. Penegakan prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi
illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dilakukan dengan
pola kemitraan antara pemerintah dalam melakukan penegakan hukum
preventif dan represif, tanggung jawab sosial badan usaha dan
partisipasi masyarakat termasuk organisasi kehutanan yang berada di
tengah-tengah masyarakat dan masyarakat hukum adat (sekala dan
niskala) dalam menjaga kawasan hutan dari pendudukan secara tidak
sah.
5.2 Saran
Adapun hal-hal yang dapat disarankan dalam tesis ini adalah:
a. Diperlukan pengawasan oleh polisi kehutanan terhadap setiap
perambahan yang dilakukan terhadap hutan, sebab kegiatan ini
merupakan kegiatan awal dari illegal occupation dan dapat dilihat
secara nyata. Diperlukan pula suatu pemahaman yang jelas bagi
201
pemerintah, penegak hukum dan masyarakat mengenai hutan mana saja
yang dapat diokupasi dan dibangun, sebab pada dasarnya hutan
konservasi tidak dapat diokupasi. Selain itu juga diperlukan kesatuan
pemikiran mengenai apa saja yang termasuk dalam pendudukan yang
sah dan yang mana menjadi illegal occuption. Setiap adanya izin dari
Menteri Kehutanan untuk membuka lahan hutan hendaknya
dipublikasikan kepada publik. Notaris dan BPN hendaknya lebih
berhati-hati dalam penerbitan sertifikat tanah dengan meneliti terlebih
dahulu keaslian data dari pemohon. Untuk meningkatkan kinerja dari
polisi kehutanan sebagai penegak hukum di bidang kehutanan maka
terhadapnya perlu diberlakukan sistem reward and punishment
sehingga polisi kehutanan yang berhasil menggagalkan atau menindak
pelaku illegal occupation dapat diberikan semacam penghargaan
sedangkan bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya
hendaknya dikenakan sanksi.
b. Penegakan prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk
menanggulangi illegal occupation. Oleh sebab itu, prinsip perlindungan
hutan seharusnya dipahami dan dilaksanakan oleh semua stake holder.
Pemerintah hendaknya memahami bahwa keberadaan hutan harus
dipertahankan untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan
keberlangsungan lingkungan hidup. Penegakan prinsip perlindungan
hutan oleh polisi kehutanan, hendaknya bukan hanya sekadar wacana
melainkan memerlukan sistem komando yang jelas sehingga aparat di
202
bawahnya dapat melakukan penegakan hukum atas illegal occupation
yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penegak hukum juga
memerlukan bantuan dari masyarakat untuk mencegah illegal
occupation dengan memberikan informasi kepada aparat penegak
hukum. Selain itu juga diperlukan penelitian dan penyuluhan kehutanan
kepada masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam melindungi
hutan juga perlu ditingkatkan dengan adanya penyuluhan di bidang
kehutanan. Peranan masyarakat sangat diperlukan untuk melaporkan
tindakan-tindakan permulaan dari segala bentuk pelanggaran terhadap
prinsip illegal occupation. Keterlibatan masyarakat hukum adat dalam
menjaga kawasan hutan juga perlu direvitalisasikan kembali.