Download - TB paru PH
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis
menular yang menjadi masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB paru di dunia antara lain
karena kemiskinan, maningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang
tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV
terutama di Afrika dan Asia. Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat
dari beban TB paru global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. Jumlah
penderita TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah penderita TB
dunia (Depkes, 2010)
Bakteri Mycobacterium tuberculosis menyerang sebagian besar perempuan
usia produktif (15-50). Penyebab kematian perempuan akibat TB paru lebih
banyak dari pada akibat kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2007).
Laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan Indonesia
sebagai penyumbang terbesar nomor tiga di dunia setelah India dan Cina dengan
jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dengan jumlah 101.000 jiwa per tahun.
Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke lima di dunia
setelah India, Cina, South Afrika dan Nigeria dengan jumlah prevalensi
285/100.000 penduduk (Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat di sekitar
Puskesmas, pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta
dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2010).
Di Sumatera Utara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 14.158 orang
penderita TB Paru dan 264 orang diantaranya meninggal dunia. Sebagian besar
penderita TB Paru tersebut berusia 17 – 54 tahun (kelompok usia produktif)
2
dengan persentase jumlah mencapai 70%. Seorang penderita dengan BTA positif
dapat menularkan kepada 10 – 15 orang setiap tahunnya. Kondisi ini
menyebabkan tingginya angka penderita TB Paru di Sumatera Utara. Sedangkan
prevalensi TB di kota medan pada tahun 2008 sebanyak 30.74%. (Depkes, 2010)
Untuk menanggulangi kasus TB Paru di Indonesia pada tanggal 24 Maret
1999 mencanangkan dimulainya Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB
(Gerdunas TB) sebagai wahana untuk pemberantasan TB Paru. Penanggulangan
TB Paru dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse
(DOTS) atau pengawasan langsung menelan obat, yang dilaksanakan di
puskesmas juga melibatkan rumah sakit. DOTS adalah strategi program
pemberantasan tuberkulosis paru yang direkomendasikan oleh WHO tahun 1995.
(Depkes, 2007).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala
atau tanda TB. Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari dua
minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas, nyeri dada, hemoptisis) ada
atau tidak gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat
malam dam mudah lelah. Kasus TB pasti adalah pasien TB dengan ditemukan
Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasikan dari spesimen klinik
dan kultur.(Isbaniyah, 2011)
2..1.2 Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.Daya penularan seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
4
terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB
dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Depkes,
2007).
2.1.3. Diagnosis
A. Gejala Klinis
1. Gejala respiratori:
a) Batuk ≥ 2 minggu
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check-up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
(Isbaniyah, 2011)
2. Gejala sistemik:
a) Demam
b) Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun.
c) Gejala TB ekstraparu
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat , misalnya
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan
terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan. (Isbaniyah, 2011)
B. Pemeriksaan Fisis
5
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak
(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta
daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara
lain suara napas bronchial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. (Isbaniyah, 2011)
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
(Isbaniyah, 2011)
Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher, kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi cold abscess. (Isbaniyah, 2011)
C. Pemeriksaan Bakteriologi
1. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (broncoalveolar
lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). (Isbaniyah, 2011)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Bahan pemeriksaan hasil Biopsy Jarum Hasil (BJH), dapat dibuat sediaan
apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan
dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium
mikrobiologi dan patologi anatomi. (Isbaniyah, 2011)
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
6
Pemeriksaan bakteriologi dari specimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL, urin, feses, dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara: mikroskopis dan
biakan. (Isbaniyah, 2011)
Pemeriksaan mikroskopis:
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Microssopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca
dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD).
1. Skala IUATLD:
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut ++
(2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
D. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan dan nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura. (Isbaniyah, 2011)
2.1.4. Penatalaksanaan
7
Dahulu TBC sukar sekali disembuhkan karena belum dikenal obat yang
dapat memusnahkan Mycobacterium. Basil ini lambat sekali pertumbuhannya dan
sangat ulet, karena dinding selnya mengandung kompleks lipida-glikolipida serta
lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mycobacterium tidak mengeluarkan
enzim ekstra seluler maupun toksin. Penyakit bisa berkembang karena kuman
mampu untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit dan tahan terhadap
enzim-enzim pencernaan. (Rahardja, 2008)
Terapi kuno hanya terbatas pada penanggulangan gejala penyakit.
Pengobatan dibantu pula dengan istirahat lengkap dan diet sehat. Dianjurkan
mengkonsumsi banyak lemak dan vitamin A untuk membentuk jaringan lemak
baru yang dapat menyelubungi kuman dan meningkatkan daya tahan tubuh.
(Rahardja, 2008)
Terapi modern dilakukan dengan tuberkulostatikan dan pasien pada
umumnya dapat dirawat jalan. Sebagian penderita malahan dapat bekerja
sebagaimana biasanya. Lazimnya setelah 4-6 minggu tidak ada bahaya infeksi
lagi, walaupun sering di dalam sputumnya masih terdapat basil TBC. (Rahardja,
2008; Istiantoro, 2008)
Pengobatan TBC paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase terapi intensif dan fase
pemeliharaan. Fase intensif merupakan terapi dengan isoniazid yang
dikombinasikan dengan rifampisin dan pirazinamida selama 2 bulan. Untuk
prevensi resistensi ditambahkan lagi etambutol.(Katzung, 2004)
Fase pemeliharaan menggunakan isoniazid bersama rifampisin selama 4
bulan lagi, sehingga seluruh masa pengobatan mencakup 6 bulan. Obat yang
dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
a. Rifampisin
b. INH
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
8
e. Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
a. Kanamisin
b. Amikasin
c. Kuinolon
d. Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:
1) Kapreomisin
2) Sikloserino PAS (dulu tersedia)
3) Derivat rifampisin dan INH
4) Thioamides (ethionamidedanprothionamide)
2.1.5. Panduan Pengobatan
Rejimen pengobatan TB di program pengendalian TB nasional telah
menggunakan paket Fixed Dose Combination (FDC), meskipun demikian, bentuk
paket CombiPak masih tetap disediakan bagi pasien dengan efek samping obat.
Ketersediaan semua jenis obat TB lini pertama merupakan bagian dari lima
strategi utama DOTS, dan seharusnya dijamin oleh pemerintah dalam jumlah
9
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia dengan persediaan untuk
buffer stock. (Kemenkes RI. 2011)
Efek samping Penyebab Tatalaksana
Tidak nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin
Obat diminum malam
sebelum tidur
MINOR OAT DITERUSKAN
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/ allopurinol
Kesemuran s/d rasa
terbakar di kakiINH
Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air
seniRifampisin
Beri penjelasan, tidak
perlu diberi apa-apa
MAYOR HENTIKAN OBAT
Gatal dan kemerahan pada
kulitSemua jenis
Beri antihistamin dan
dievaluasi
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan
(vertigo & nistagmus)Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / hepatitis imbas
obat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT
Hentikan semua OAT
sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OATHentikan semua OAT dan
lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik,
termasuk syok dan purpuraRifampisin Hentikan rifampisin
2.1.6. Kategori Resistensi
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
10
1. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampicin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap
salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu
dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
(Soepandi, 2010)
2.1.7. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan: sembuh,
pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out
dan gagal. Sembuh yaitu penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan
Lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Meninggal adalah
penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah
adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (Putus berobat) adalah penderita
yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai. Gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
2.1.8. Komplikasi
Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
11
3. Gagal napas
4. Gagal jantung
Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. (Isbaniyah,
2011)
2.1.9. Pencegahaan
Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru dilakukan dengan
pendekatan DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcource Chemotherapy)
atau pengobatan TB Paru dengan pengwasan langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan
pemeriksaan dahak disarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan
paket pengobatan.
Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB
tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan
dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan
tepat waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara
keseluruhan.
12
Tujuan DOTS:
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat jika timbul
4. Mencegah resistensi
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan
keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal, dipercaya
dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus
disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan
penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau
mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang
dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota
keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO
bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan. (Depkes, 2010)
Secara umum, hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularanTB ialah:
Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar
dengan orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk tbc
aktif.
Ventilasi ruangan. Kuman TBC menyebar lebih mudah dalam ruang
tertutup kecil di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih
13
kurang, membuka jendela dan menggunakan kipas untuk meniup udara
dalam ruangan luar.
Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup
mulut kapan saja ketika di diagnosis tb merupakan langkah pencegahan
TBC secara efektif. Jangan lupa untuk membuangnya secara tepat
Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan
(air sabun)
Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan
Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke
dalam tempat tidur
Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari
Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain
Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein
14
DAFTAR PUSTAKA
Depkes. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Depkes. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.
Depkes. (2010). Pengendalian TB di Indonesia mendekati target Millenium
Development Goals (MDGs).
Isbaniyah F et al, eds. Tuberkulosis: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.
Istiantoro, Y. H. 2008. Tuberkulostatik dan Leprostatik. In: Gunawan, S. G., ed.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI, 613-637
Katzung, BG. 2004. Obat Antituberkulosis. Dalam: Farmakologi Dasar dan
Klinik Buku 3. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Avaiable from ;
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
Rahardja, K. 2008. Tuberkulostatika. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 154-163.
Soepandi, P. Z. 2010. Diagnosis dan Faktor yang MempengaruhiTerjadinya TB-
MDR. Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS
Persahabatan, Jakarta.