Download - Tuberculosis PDF
-
1
MAKALAH FARMAKOTERAPI
TUBERCULOSIS
Disusun oleh:
1. Sona Karisnata I . (128114167)
2. Lusia Christin S. (128114168)
3. Lucia Ida Ayu K. (128114169)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2015
-
2
Epidemiologi
Pada 2013, diperkirakan ada 9,0 juta insiden kasus TB (kisaran 8.600.000 - 9.400.000)
secara global (Tabel 1). Jumlah insiden kasus menurun perlahan-lahan (Gambar 1), pada tingkat
rata-rata 15% per tahun 2000 - 2013 dan 0,6% antara tahun 2012 dan 2013.
Tabel 1 Perkiraan beban epidemiologi TB, 2013. Perkiraan terbaik diikuti oleh batas bawah dan atas dari
interval ketidakpastian 95% (angka dalam ribuan)
-
3
Sebagian besar perkiraan jumlah kasus pada tahun 2013 terjadi di Asia (56%) dan daerah
Afrika (29%); proporsi yang lebih kecil dari kasus yang terjadi di Mediterania Timur (8%),
wilayah Eropa (4%) dan wilayah Amerika (3%). 22 HBCs yang telah diberikan prioritas tertinggi
di tingkat global sejak tahun 2000 (tercantum dalam Tabel 1) menyumbang 82% dari semua kasus
kejadian diperkirakan di seluruh dunia. Keenam negara yang menonjol sebagai pemilik jumlah
terbesar kasus insiden pada tahun 2013 adalah India (2,0 juta - 2,3 juta), China (0.900.000 -
1.100.000), Nigeria (340.000 880.000), Pakistan (370.000 650.000), Indonesia (410.000
520.000) dan Afrika Selatan (410.000 520.000); negara negara tersebut dan lima negara lain
Gambar 1 Perkiraan angka mutlak kasus TB dan kematian (dalam jutaan per tahun), 1990-2013
Gambar 2 Perkiraan Insiden TB: 10 besar negara tertinggi pada tahun 2013
-
4
yang menjadi sepuluh dalam hal jumlah kasus yang disorot di Gambar 2. India dan China sendiri,
masing - masing menyumbang 24% dan 11% dari seluruh kasus global. Dari 9,0 juta kasus
kejadian, diperkirakan 550.000 anak-anak dan 3,3 juta (kisaran, 3,2 3.500.000) terjadi di
kalangan perempuan.
Jumlah kasus insiden TB relatif terhadap ukuran populasi (tingkat kejadian) bervariasi
antar negara (Gambar 3). Tingkat terendah ditemukan terutama di negara-negara berpenghasilan
tinggi termasuk sebagian besar negara di Eropa Barat, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Australia
dan Selandia Baru. Di negara-negara ini, tingkat kejadian kurang dari 10 kasus per 100.000
penduduk per tahun. Sebagian besar negara di wilayah Amerika memiliki angka di bawah 50 per
100.000 penduduk per tahun dan ini adalah w ilayah dengan beban terendah TB rata-rata. Sebagian
besar HBCs memiliki angka sekitar 150 - 300 kasus per 100.000 penduduk per tahun ; HBCs
dengan tingkat yang lebih rendah pada tahun 2013 adalah Brazil, China dan Federasi Rusia,
sementara nilai yang di atas 500 per penduduk 100.000 di Mozambik, Afrika Selatan dan
Zimbabwe. Negara-negara lain yang masuk dalam sepuluh besar dunia dalam hal tingkat insiden
pada tahun 2013 sebagian besar ada di Afrika (Gambar 3). Di Lesotho, Afrika Selatan dan
Gambar 3 Perkiraan angka kejadian TB, 2013
-
5
Swaziland, perkiraan terbaik menunjukkan bahwa sekitar 1 orang di setiap 100 (1000 per 100.000
penduduk) mengembangkan TB aktif setiap tahun.
Secara global, tingkat kejadian relatif stabil dari tahun 1990 sampai sekitar tahun 2000, dan
kemudian mulai turun, ditargetkan mencapai MDG menjelang batas waktu 2015. Antara tahun
2000 dan 2013, rata-rata tingkat penurunan per tahun adalah 1,5%. Tren penurunan ini perlu
dipertahankan untuk memastikan bahwa target MDG terpenuhi pada tahun 2015. Tingkat kejadian
juga menurun di enam wilayah WHO (Gambar 4), tercepat di wilayah Eropa (4,5% per tahun) dan
paling lambat di Mediterania Timur dan Asia Tenggara (masing masing kurang dari 1% per
tahun dan 1,5% per tahun). Tingkat kejadian telah jauh menurun pada tahun 2000 di kawasan Asia
Tenggara; memuncak sekitar tahun 1999 di wilayah Eropa dan sekitar 2003 di wilayah Afrika, dan
telah jatuh sejak tahun 1990 di Mediterania Timur, wilayah Amerika dan Pasifik Barat. Penilaian
terbaru untuk 22 HBCs menunjukkan bahwa tingkat kejadian yang jauh menurun di sebagian besar
negara (Gambar 5).
Gambar 4 Perkiraan tingkat kejadian TB menurut WHO, 1990-2013. Kecenderungan regional estimasi tingkat
kejadian TB (hijau) dan diperkirakan tingkat kejadian TB HIV-positif (merah). Daerah yang diarsir merupakan
angka ketidakpastian
-
6
Indonesia berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi
prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 66..000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahunnya. Angka multidrug resistence TB (MDR-TB) diperkirakan sebesar 2% dari seluruh
kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB
dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara
High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target
global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009,
tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010)
dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate
untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka
Gambar 5 Perkiraan tingkat kejadian TB, 22 negara-beban tinggi, 1990 - 2013. Perkiraan tingkat
kecenderungan kejadian TB (hijau) dan perkiraan tingkat kejadian TB HIV-positif (merah). Daerah yang
diarsir merupakan angka ketidakpastian.
-
7
keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada tahun 2008
mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama.
Gambar 6 Pencapaian program pengendalian TB nasional 1995 2009 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
-
8
Etiologi
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang
ditularkan melalui udara dan disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis) (Gambar 7). M. tuberculosis lebih
sering ditemukan menyerang paru-paru, namun
sebenarnya bakteri ini dapat juga menyerang
bagian tubuh yang lainnya seperti kelenjar limfa,
laring, ginjal, otak, tulang belakang, dan tulang.
Jika tidak ditangani dengan benar, penyakit TB dapat berakibat fatal.
M. Tuberculosis merupakan bakteri berbentuk bentuk batang, tidak menghasilkan spora,
bersifat aerob. Pada umumnya berukuran 0,5 m hingga 3 m dan diklasifikasikan sebagai acid-
fast bacilli, dan memiliki struktur dinding sel yang penting untuk kelangsungan hidupnya.
Mycobacterium tuberculosis yang berkembang dengan baik mengandung sejumlah fatty acid,
Gambar 7 Mycobacterium tuberculosis
Gambar 8 Dinding sel Mycobacterium tuberculosis
-
9
mycolic acid, yang terhubung secara kovalen dengan ikatan antara polysaccharide arabinogalactan
dan peptidoglycan, sehingga memberikan struktur lipid yang tidak biasa (Gambar 8). Barier inilah
yang menyebabkan bakteri TB memiliki banyak karakter fisiologi yang menyulitkan bidang
kesehatan, termasuk resistensi pada antibiotic dan mekanisme perthanan tubuh. Komposisi dan
kuantitas dari komponen dinding sel mempengaruhi tingkat keganasan dan pertumbuhan bakteri.
Polimer peptidoglikan memberikan sifat rigid pada dinding sel dan hanya terdapat diluar
membrane sel, berkontribusi pada permeabilas dari barrier M. tuberculosis. Komponen penting
lain dari dinding sel bakteri TB adalah lipoarabinomannan (Gambar 8), antigen dengan struktur
karbohidrat di bagian luar organisme yang bersifat immunogenic dan memfasilitasi ketahanan
hidup M. tuberculosis didalam makrofag. Dinding sel merupakan kunci kemapuan M. tuberculosis
untuk bertahan hidup, serta pemahaman lebih lengkap mengenai biosynthetic pathway dan gene
function, serta pengembangan antibiotic untuk mencegah pembentukan dinding sel masih
merupakan area yang sangat menarik untuk penelitian.
M. tuberculosis dibawa oleh suatu
partikel di udara yang disebut droplet
nuclei dengan diameter 1-5 m. Droplet
nuclei terinfeksi terbentuk ketika
seseorang dengan penyakit TB
pulmonary atau TB laryngeal batuk,
bersin, berbicara, atau bernyanyi.
Partikel kecil ini dapat berada di udara
hingga beberapa jam, tergantung dengan
keadaan lingkungan. M. tuberculosis
ditransmisikan melalui udara dan bukan melalui kontak sentuhan. Transmisi terjadi ketika
seseorang menghirup droplet nuclei yang mengandung M. tuberculosis, serta droplet nuclei
tersebut masuk melewati rongga mulut/hidung, saluran pernafasan atas, dan bronkus hingga
mencapai alveolus (Gambar 9). Terdapat empat factor yang menentukan kemungkinan terjadinya
transmisi M. tuberculosis (Tabel 2).
Gambar 9 Transmisi TB :Titik merah di udara menggambarkan
droplet nuclei yang membawa M. tuberculosis
-
10
Tabel 2 Faktor yang menentukan kemungkinan terjadinya penyebaran M. tuberculosis
Faktor Deskripi
Susceptibility
(kerentanan)
Kerentanan (status imun) dari individu yang terekspos
Infectiousness
(penularan)
Penularan oleh orang dengan penyakit TB berhubungan secara
langsung dengan jumlah M. tuberculosis yang dia hembuskan ke
udara. Seseorang yang menghembuskan banyak bakteri TB ke udara,
lebih menular dibandingkan dengan pasien yang menghembuskan
sedikit bakteri TB ke udara (Table 3)
Environment
(lingkungan)
Faktor lingkungan yang berdampak pada konsentrasi bakteri M.
tuberculosis (Table 4)
Exposure (paparan) Kedekatan (jarak), frekuensi, dan durasi dari paparan (Table 5)
Tabel 3 Karakteristik dari pasien dengan penyakit TB yang berhubungan dengan penularan
Faktor Deskripi
Clinical (klinis) Adanya batuk, terutama lebih dari 3 minggu
Infeksi terjadi pada saluran pernafasan, terutama bila laring
juga terinfeksi
Tidak menutupi mulut dan hidung saat batuk
Pengobatan yang tidak tepat
Procedure (prosedur) Sedang dalam prosedur cough- inducing atau aerosol-
generating untuk diagnose (misalnya bronchoscopy, sputum
induction, administration of aerosolized medications)
Radiograpic and laboratory
(radiografi dan
laboratorium)
Kavitasi pada radiografi dada
Kultur positif untuk M. tuberculosis
Hasil positif pada AFB sputum smear
-
11
Tabel 4 Faktor lingkungan yang meningkatkan kemungkinan terjdinya penyebaran M. tuberculosis
Faktor Deskripi
Konsentrasi dari droplet
nuclei terinfeksi
Semakin banyak droplet nuclei terinfeksi diudara, maka semakin
gampang M. tuberculosis untuk menyebar.
Ruang Paparan di ruang yang kecil dan tertutup
Ventilasi Ventilasi yang tidak adekuat atau ventilasi biasa yang tidak
mampu mendilusi atau menghilankan droplet nuclei terinfeksi
Sirkulasi udara Mensirkulasikan kemabali udara yang membawa droplet nuclei
terinfeksi
Penanganan sampel
(specimen)
Prosedur penanganan specimen yang tidak layak dan
menyebabkan terbentuknya droplet nuclei terinfeksi
Tekanan udara Tekanan udara positif pada ruang pasien terinfeksi sehingga
menyebabkan bakteri M. tuberculosis terbawa ke area lain.
Tabel 5 Faktor kedekatan (jarak) dan lamanya paparan yang dapat mempengaruhi penyebaran M. tuberculosis
Faktor Deskripi
Durasi paparan dengan
orang yang terinfeksi TB
Semakin lama durasi paparan, semakin tinggi resiko untuk tertular
Frekuensi paparan dengan
orang yang terinfeksi TB
Semakin tinggi frekuensi paparan, semakin tinggi resiko untuk
tertular
Kedekatan jarak dengan
orang yang terinfeksi TB
Semakin dekat jarak dengan orang terinfeksi TB, semakin tinggi
resiko untuk tertular
Infeksi atau penularan penyakit TB pulmonary dan laryngeal dari anak-anak lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak-anak pada umumnya tidak
memproduksi sputum ketika batuk. Walaupun begitu, penyebaran dari anak-anak tetap dapat
terjadi, sehingga anak-anak dan remaja yang terinfeksi penyakit TB harus dievaluasi dengan
kriteria yang sama dengan orang dewasa. Kriteria ini meliputi adanya batuk lebih dari 3 minggu;
-
12
kavitasi pada radiografi dada; atau infeksi pada saluran pernafasan yang meliputi paru-paru,
saluran pernafasan, atau laring.
-
13
Patogenesis
Infeksi dimulai ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang mengandung M.
tuberculosis, melalui saluran pernafasan. Mayoritas dari bakteri akan terperangkap di saluran nafas
atas dimana terdapat sel goblet yang memproduksi mucus. Produksi mucus memungkinkan
tertangkapnya substansi asing, kemudian cilia dipermukaan sel goblet secara konstan mendorong
mucus dan partikel yang terjebak didalamnya keatas untuk dikeluarkan. Sistem ini disebut sistem
mucociliary dan merupakan pertahanan lini pertama dan bersifat fisik yang dimiliki tubuh untuk
mencegah infeksi tuberculosis.
Infeksi primer atau primary tuberculosis dimulai ketika bakteri yang dapat melewati sistem
mucociliary dan mencapai alveolus. Bakteri tersebut dengan segera dikelilingi dan ditelan oleh
macrofag alveolar yang merupakan sel efektor imun paling melimpah di rongga alveolus.
Macrofag yang merupakan lini pertahanan berikutnya ini, merupakan bagian dari sistem imun
bawaan yang memungkinkan tubuh untuk merusak bakteri yang masuk dan mencegah terjadinya
Gambar 10 Patogenesis Tuberculosis
-
14
infeksi. Macrofag merupakan sel fagositosis yang langsung dapat merespon pathogen tanpa
membutuhkan adanya paparan oleh patogen tersebut sebelumnya.
Beberapa mekanisme dan reseptor macrofag terlibat dalam penangkapan M. tuberculosis.
Mycobacterial lipoarabinomannan merupakan ligan inti untuk reseptor macrofag. Sistem
complemen juga memiliki peranan dalam fagositosis bakteri. Protein complemen C3 berikatan
dengan dinding sel dan meningkatkan kemampuan macrofag untuk mengenali M. Tuberculosis.
Fagositosis oleh macrofag memulai terjadinya rangkaian reaksi dan respon yang dapat berujung
pada berhasilnya pengontrolan infeksi dan diikuti dengan latent tuberculosis (LTBI) atau
perkembangan TB menjadi penyakit aktif, yang disebut primary progressive tuberculosis. Pada
dasarnya hasil akhir tersebut ditentukan oleh kualitas pertahanan tubuh dan keseimbangan yang
terjadi antara pertahanan tubuh dan bakteri penginvasi.
Bakteri TB yang sudah ditelan oleh makrofag dapat meloloskan diri dari fagolisosom dan
akan bermultiplikasi di sitoplasma secara perlahan, dengan perkiraan setiap pembelahan sel
membutuhkan waktu antara 25 sampai dengan 32 jam. Walaupun mokrofag yang sudah menelan
M. tuberculosis tidak dapat membunuh bakteri tersebut, makrofag ini memulai respon cell-
mediated immune untuk menahan infeksi. Selama bakteri TB bermultiplikasi, makrofag yang
terinfeksi, mendegradasi M. tuberculosis dan melepaskan sitokin untuk menarik limfosit T ke
lokasi dan menghadirkan antigen bakteri di permukaannya untuk limfosit T helper (CD4+). Sel T
helper yang telah dirangsang akan menstimulasi makrofag untuk meningkatakn konsentrasi enzim
litik dan kemampuan membunuh M.tuberculosis. Enzim litik, ketika dilepaskan juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru-paru sedangkan pelepasan sitokin menyebabkan
terjadinya demam dan penurunan berat badan.
Perkembangan dari populasi sel T cytotoxic (CD8+)
teraktivasi dan macrofag mampu untuk menelan dan
merusak bakteri TB yang merupakan respon cell-
mediated immune. Proses imun awal ini
membutuhkan waktu 2 sampai dengan 12 minggu
dan hasilnya dapat dideteksi dengan skin test.
Untuk orang dengan cell-mediated immunity
yang tidak terganggu, tahap pertahanan berikutnya Gambar 11 Ghon focus
-
15
adalah dengan membentuk granuloma yang menyelubungi M. tuberculosis, disebut Ghon focus
(Gambar 11). Lesi tipe nodular ini terbentuk dari makrofag termodifikasi dan sel imun lainnya
yang membentuk lingkungan mikro untuk membatasi replikasi dan penyebaran M. tuberculosis.
Lingkungan ini merusak macrofag dan menghasilkan solid necrosis dini dibagian tengah lesi,
namun bakteri TB akan tetap dapat beradaptasi dan bertahan hidup. M. tuberculosisdapat merubah
ekspresi fenotip, seperti regulasi protein, untuk meningkatkan ketahanan hidup. Dua samapi tiga
minggu kemudian, lingkungan nekrosis berubah menjadi seperti keju lunak atau yang sering
disebut caseous necrosis dengan karakteristik level oksigen rendah, pH rendah, dan nutrisi terbatas.
Kondisi ini akan membatasi pertumbuhan dan menyebabkan terjadinya kondisi laten. Lesi pada
seseorang dengan sistem imun yang adekuat pada umumnya mengalami fibrosis dan kalsifikasi,
serta dengan sukses mengontrol infeksi sehingga bakteri menjadi dorman didalam lesi yang
tersembuhkan. Kondisi dimana bakteri TB berada dalam keadaan dorman inilah yang dimaksud
dengan latent tuberculosis (LTBI). Walau begitu sejumlah kecil bakteri masih dapat bertahan dan
sewaktu-waktu apabila terjadi kegagalan sistem imun, LTBI dapat berpotensi untuk berkembang
menjadi secondary tuberculosis.
Pada orang dengan sistem imun yang lemah, proses
pembetukan granuloma juga terjadi, namun tidak berhasil
untuk tetap menyelubungi bakteri TB. Jaringan nekrosis
mengalami liquefaction dan dinding fibrous kehilangan
integritas struktur. Material nekrotik semiliquid kemudian
mengalir ke bronkus atau pembuluh darah terdekat,
meninggalkan rongga yang berisi udara di tempat semula.
Bakteri TB yang masuk ke bronkus dapat disebarkan keudara
melalui batuk, sedangkan bakteri yang masuk kedalam
pembuluh darah berpotensi untuk menyebabkan terjadinya
extrapulmonary tuberculosis. Bakteri TB dapat juga masuk
kedalam sistem limfatik dan berkumpul di kelenjar limfa
tracheobronchial dari paru-paru yang terinvasi, dimana
bakteri TB dapat membentuk caseous granuloma baru.
Kombinas antara lesi paru-paru primer dengan granuloma di
kelenjar limfa disebut Ghon complex (Gambar 12). Kondisi
Gambar 12 Ghon complex
-
16
dimana infeksi yang terjadi tidak mampu dikontrol oleh sistem pertahanan tubuh dan
menyebabkan masalah pada tubuh disebut dengan primary progression tuberculosis.
Primary Tuberculosis
Primary tuberculosis adalah bentuk
penyakit yang berkembang pada seseorang yang
belum pernah terpapar bakteri TB sebelumnya,
sehingga belum memiliki reaksi sensitive terhadap
bakteri TB (Gambar 13). Pada umumnya terjadi
karena menghirup droplet nuclei yang
mengandung bakteri TB. Kebanyakan orang
dengan primary tuberculosis tidak memiliki gejala
dan akan berkembang menjadi latent tuberculosis
infection (LTBI) dimana limfosit T dan macrofag
menyelubungi bakteri TB dan membentuk
granuloma yang membatasi penyebaran bakteri
tersebut. Seseorang dengan LTBI tidak memiliki
penyakit aktif dan tidak dapat menularkan bakteri
TB ke orang lain.
Diperkirakan sekitar 5% infeksi baru pada
seseorang akan berkembang menjadi progressive
primary tuberculosis yang berlanjut pada kerusakan jaringan pulmonary dan bermultiplikasi
kebeberapa tempat di paru-paru sebagai akibat sistem imun yang tidak adekuat. Ini biasanya terjadi
pada anak kecil atau orang dewasa dengan infeksi HIV atau penyakit immunodeficiency lainnya.
Pada mereka yang mengalami progressive tuberculosis memiliki gejala yang biasanya berbahaya
yang tidak spesisif, disertai demam, penurunan berat badan, pegal-pegal, dan keringat malam.
Terkadang timbulnya gejala terjadi dengan tiba-tiba, dengan demam tinggi, pleuritis,
lymphadenitis. Dengan menyebarnya M. tuberculosis di tubuh, bakteri ini memiliki akses ke
sputum dan memungkinkan terjadinya penularan pada orang lain.
Pada kasus yang langka, tuberculosis dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya hematogenic dissemination. Miliary tuberculosis merupakan hasil dari dissemination
Gambar 13 Patogenesis Tuberculosis
-
17
tipe in, yang dapat mempengaruhi hampir semua organ, terutama otak, meninges, liver, ginjal, dan
sumsum tulang.
Secondary Tuberculosis
Secondary tuberculosis terjadi dapat karena reinfection dari droplet nuclei yang terhirup
atau karena reactivation dari healed primary lesion sebelumnya (Gambar 14). Hal ini sering terjadi
pada situasi mekanisme pertahanan tubuh yang tidak baik. Imunitas parsial dari primary
tuberculosis dapat memberikan proteksi terhadap reinfection dan sampai batas tertentu, membatu
untuk menahan penyakit yang akan mengalami aktivasi kembali. Dalam secondary tuberculosis,
cell-mediated hypersensitivity reaction
dapat menjadi factor yang mengganggu,
seperti yang dibuktikan dengan frekuensi
kavitasi dan bronchial dissemination.
Kavitasi dapat terbentuk hingga ukuran
diameter 10 sampai dengan 15 cm. Efusi
pleura (Pleural effusion) dan epiema
tuberculosis (tuberculous empyema) sudah
biasa terjadi sebagai perkembangan
penyakit.
Seseorang dengan secondary tuberculosis biasa terjadi dengan demam yang tidak begitu
tinggi, keringat malam, mudah lelah, anoreksia dan penurunan berat badan. Batuk pada awalnya
kering, namun kemudian akan menjadi bernanah dan terkadang sputum dengan noda darah.
Dyspnea dan orthopnea berkembang sebagai kelanjutan penyakit.
Gambar 14 Kavitasi tuberculosis di bagian atas upper lobe
dari paru-paru
-
18
Testing untuk Tuberculosis Infection and Disease
Pendahuluan
Pengujian yang ditargetkan adalah strategi pengendalian TB yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengobati orang-orang yang beresiko tinggi terinfeksi TB
laten (LTBI) atau berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit TB setelah terinfeksi M.
tuberculosis. Mengidentifikasi penderita LTBI penting untuk tujuan pengendalian TB dan
pembersihan karena pengobatan LTBI dapat mencegah orang yang terinfeksi dari perkembangan
penyakit TB dan menghentikan penyebaran lebih lanjut dari TB. Semua kegiatan pengujian harus
disertai dengan rencana untuk evaluasi tindak lanjut tindak lanjut medis yang tepat dan
pengobatan. Sumber daya yang diperlukan evaluasi medis dan pengobatan perlu diidentifikasi
sebelum kegiatan pengujian dimulai.
Mengidentifikasi Grup Berisiko Tinggi untuk Pengujian M. Tuberculosis
Sebagai bagian dari evaluasi rutin, penyedia layanan kesehatan harus mengidentifikasi dan
menguji orang-orang yang berisiko tinggi untuk tertular TB atau berisiko tinggi berkembang
menjadi penyakit TBC jika terinfeksi. Fleksibilitas diperlukan dalam mendefinisikan kelompok
berisiko tinggi untuk pengujian.
Evaluasi Orang Dengan Hasil Uji Positif
Pemeliharaan kesehatan atau fasilitas lainnya (misalnya, pemasyarakatan) harus
berkonsultasi dengan departemen kesehatan setempat sebelum memulai program pengujian, untuk
memastikan sumber daya yang tersedia untuk evaluasi dan pengobatan orang yang hasil tes positif
untuk LTBI atau penyakit TB.
Tindak lanjut TSTs) atau tes
IGRAs) dan seri radiografi dada tidak diperlukan untuk orang-orang yang memiliki hasil tes
positif infeksi TB dan yang memiliki penyakit TB yang telah dikesampingkan atau orang-orang
yang menolak atau tidak dapat menerima pengobatan untuk LTBI. Orang-orang ini harus dididik
tentang tanda-tanda dan gejala penyakit TB (Gambar 15).
-
19
Testing Methods for TB Infection
Pemilihan tes yang paling cocok untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis harus didasarkan
pada alasan dan konteks untuk pengujian, ketersediaan tes, dan efektivitas biaya keseluruhan
pengujian. Saat ini, ada dua metode yang tersedia untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis di
Amerika Serikat, yaitu:
Tes kulit tuberkulin Mantoux (TST)
Release assay interferon-gamma (IGRA)
Quantiferon-TB Emas tes dalam tabung (QFT-GIT)
Uji T-SPOT.TB
Gambar 15 TST & IGRA
-
20
Tes ini membantu dokter membedakan yang terinfeksi dari orang-orang yang tidak
terinfeksi. Namun, reaksi negatif terhadap salah satu tes tidak mengecualikan diagnosis LTBI atau
penyakit TB. Keputusan tidak boleh didasarkan pada hasil TST atau IGRA saja. Tes tambahan
diperlukan untuk mendiagnosis penyakit TB.
Mantoux Tuberculin Skin Test (TST)
Dalam tes ini, suatu zat yang disebut purified protein derivative (PPD), yang berasal dari
tuberkulin, disuntikkan di bawah kulit. Biasanya PPD menghasilkan T-sel yang dimediasi
tertunda-jenis reaksi hipersensitivitas jika seseorang telah terinfeksi M. tuberculosis. Pada
kebanyakan orang yang terinfeksi TB, sistem kekebalan tubuh akan mengenali PPD karena
Tabel 6 TST vs IGRA
-
21
diekstrak dari basil tuberkulum yang menyebabkan infeksi. Dibutuhkan 2 sampai 8 minggu setelah
infeksi awal dengan M. tuberculosis untuk sistem kekebalan tubuh untuk dapat bereaksi terhadap
PPD dan infeksi yang akan terdeteksi oleh TST.
Pada beberapa orang yang terinfeksi M. tuberculosis, kemampuan untuk bereaksi terhadap
PPD mungkin berkurang selama bertahun-tahun. Ketika orang-orang ini menerima TST bertahun-
tahun setelah infeksi, mereka mungkin memiliki reaksi negatif awal. PPD selanjutnya dapat
menghasilkan reaksi positif.
Mengatur TST
TST dilakukan dengan suntikan intradermal 0,1 ml PPD yang mengandung 5 unit
tuberkulin ke permukaan volar lengan bawah. Injeksi harus dilakukan dengan sekali pakai 27-
gauge tuberkulin jarum suntik, intradermal (tepat di bawah permukaan kulit), dengan bevel jarum
menghadap ke atas. Ini harus menghasilkan diskrit, ketinggian pucat kulit (bintul a) 6 mm sampai
10 mm (Gambar 16). Pedoman kelembagaan tentang kewaspadaan universal untuk pengendalian
infeksi (misalnya, penggunaan sarung tangan) harus diikuti.
Membaca TST
Reaksi menuju TST harus dinilai 48 sampai 72 jam setelah injeksi oleh pekerja perawatan
kesehatan yang terlatih untuk membaca hasil TST. Reaksi terhadap PPD biasanya mulai 5 sampai
6 jam setelah injeksi, mencapai maksimum pada 48 sampai 72 jam, dan mereda selama beberapa
hari. Namun, reaksi positif sering bertahan sampai 1 minggu atau lebih. Petugas kesehatan
seharusnya tidak meminta pasien untuk membaca tes kulit mereka sendiri.
TST dibaca dengan meraba tempat suntikan untuk menemukan area indurasi
(pembengkakan). Diameter daerah indurasi harus diukur di lengan bawah (Gambar 17). Eritema
(kemerahan) tidak boleh diukur
Gambar 16 Pemberian Montoux TST Gambar 17 Membaca TST dengan benar
Gambar 18 Membaca TST tidak dengan benar
-
22
(Gambar 18). Indurasi harus dicatat dalam milimeter, bahkan diklasifikasikan negatif. Jika tidak
ada indurasi ditemukan, "0 mm" harus dicatat.
Interpretasi Reaksi TST
Interpretasi reaksi TST tergantung pada pengukuran (dalam milimeter) indurasi dan risiko
seseorang tertular infeksi TB atau risiko pengembangan penyakit TB jika terinfeksi (Tabel 7).
Indurasi 5 atau lebih milimeter ditafsirkan sebagai hasil positif dalam kelompok berikut:
Orang terinfeksi HIV;
Kontak terbaru dengan orang-orang dengan penyakit TBC menular;
Orang dengan perubahan fibrotik pada rontgen dada konsisten dengan TB sebelumnya; dan
Pasien dengan transplantasi organ dan pasien imunosupresi lainnya (termasuk pasien yang
menerima setara dengan 15 mg / hari prednisone selama 1 bulan).
-
23
Indurasi 10 milimeter atau lebih dianggap sebagai hasil positif pada orang yang tidak
memenuhi kriteria sebelumnya, tetapi yang memiliki faktor risiko lain untuk TB. Ini adalah
sebagai berikut:
Tabel 7 Interpretasi reaksi reaksi TST
-
24
Pendatang baru ke Amerika Serikat (
-
25
Beberapa orang memiliki reaksi negatif terhadap TST meskipun mereka telah terinfeksi M.
tuberculosis. Reaksi negatif palsu dapat disebabkan oleh banyak hal (Tabel 9).
Penyebab umum dari reaksi negatif palsu adalah anergi. Anergi adalah ketidakmampuan
untuk bereaksi terhadap PPD karena sistem kekebalan tubuh yang lemah. Tidak adanya reaksi
terhadap PPD tidak mengecualikan diagnosis penyakit TB atau infeksi M. tuberculosis. Anergi
dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk infeksi HIV lanjut, infeksi akut atau kronis bakteri,
virus atau jamur lainnya, sarcoidosis, gizi buruk, obat-obatan tertentu (misalnya, TNF-alpha
blockers atau steroid oral), vaksinasi virus hidup, penyakit TBC itu sendiri, dan faktor lainnya.
Orang terinfeksi HIV mungkin memiliki kemampuan yang dikompromikan untuk bereaksi
terhadap TST karena anergi kulit yang berhubungan dengan imunosupresi HIV progresif; Namun,
kegunaan pengujian anergi pada orang tuberkulin negatif terinfeksi HIV yang mungkin manfaat
dari pengobatan LTBI belum terbukti.
-
26
Faktor penyebab reaksi negatif palsu mungkin termasuk, namun tidak terbatas pada, sebagai
berikut:
Tabel 9 Reaksi False-Positive dan False Negative TST
-
27
Infeksi virus Concurrent (misalnya, campak, gondok, cacar air, HIV);
Infeksi bakteri bersamaan (misalnya, demam tifoid, brucellosis, tifus, kusta, pertusis);
Infeksi jamur bersamaan;
Gagal ginjal kronis;
Negara rendah protein (misalnya, penurunan protein yang parah, afibrinogenemia);
Penyakit yang mempengaruhi organ limfoid (misalnya, penyakit Hodgkin, limfoma,
leukemia kronis, sarkoidosis);
Obat imunosupresif (misalnya, steroid medis);
Anak-anak berusia 6 bulan atau kurang atau pasien usia lanjut (yaitu, dewasa atau kekebalan
berkurang);
Stres (misalnya, pembedahan, luka bakar, penyakit mental, graft-versus-host reaksi);
Penyimpanan atau penanganan antigen atau hasil yang tidak diukur atau ditafsirkan dengan
benar;
Vaksinasi dengan menggunakan virus hidup; atau
Infeksi TB baru-baru ini.
Vaksinasi
Vaksinasi dengan virus hidup dapat mengganggu reaktivitas TST dan menyebabkan reaksi
negatif palsu; ini termasuk campak, gondok, rubella, polio oral, varicella, demam kuning, BCG,
dan tifus oral. Untuk orang yang dijadwalkan untuk menerima TST dan vaksin virus hidup,
pengujian harus dilakukan baik pada hari yang sama dengan vaksinasi atau setidaknya 1 bulan
setelah vaksinasi untuk memperkecil potensi reaksi TST negatif palsu.
Reaksi TST negatif palsu dapat terjadi jika infeksi TB terjadi dalam 8 minggu pengujian
kulit. Untuk alasan ini, dianjurkan bahwa kontak seseorang dengan penyakit TBC menular yang
memiliki reaksi negatif terhadap TST awal diuji ulang minimal 8 minggu setelah terakhir kali
mereka berhubungan dengan orang yang memiliki penyakit TBC menular.
-
28
Pertimbangan khusus Saat Menggunakan TST
Reaksi Dorongan
Fenomena pendorong terjadi terutama pada infeksi sebelumnya, orang dewasa yang
memiliki kemampuan untuk bereaksi terhadap tuberkulin telah berkurang dari waktu ke waktu
(Gambar 19). Ketika kulit orang-orang ini diuji bertahun-tahun setelah mereka terinfeksi M.
tuberculosis, mereka mungkin memiliki reaksi negatif awal. Namun, jika mereka diuji lagi dalam
waktu satu tahun dari tes pertama, mereka mungkin memiliki reaksi positif. Hal ini karena pertama
TST "memicu memori" dari sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kemampuannya untuk
bereaksi terhadap TST kedua. Ini mungkin tampak bahwa orang-orang tersebut terinfeksi antara
pertama dan kedua tes (infeksi TB baru). Yang kedua, positif reaksi tes sebenarnya adalah reaksi
didorong karena infeksi TB yang terjadi sejak lama. Orang-orang ini mungkin masih
dipertimbangkan untuk pengobatan LTBI jika mereka masuk ke dalam kategori berisiko tinggi
untuk berkembang menjadi penyakit TBC.
-
29
Two-step TST Testing
Dua-langkah pengujian adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kemungkinan
bahwa reaksi mendorong akan disalahartikan sebagai infeksi baru (Gambar 20). Dua-langkah
pengujian harus digunakan untuk pengujian kulit awal orang yang akan diuji ulang secara berkala,
seperti pekerja perawatan.
Jika reaksi terhadap tes pertama diklasifikasikan sebagai negatif, tes kedua harus diulang
1-3 minggu kemudian. Reaksi positif terhadap tes kedua mungkin merupakan reaksi dikuatkan.
Berdasarkan hasil tes kedua ini, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai terinfeksi
sebelumnya. Hal ini tidak akan dianggap sebagai konversi uji kulit atau infeksi TB baru; Namun,
pasien mungkin masih menjadi calon untuk pengobatan LTBI. Jika hasil tes kedua juga negatif,
orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai memiliki hasil PPD dasar negatif.
Gambar 19 Fenomena TST Booster
-
30
Wanita hamil
TST aman dan dapat diandalkan sepanjang perjalanan kehamilan. Wanita hamil harus
menerima TST jika mereka memiliki faktor risiko tertentu untuk memperoleh LTBI atau
perkembangan LTBI penyakit TB. Tidak ada episode didokumentasikan bahaya janin TST terkait
telah dilaporkan sejak tes dikembangkan, dan tidak ada bukti bahwa TST memiliki efek buruk
pada ibu hamil.
Eksposur Pekerjaan
Gambar 20 Two-Step Testing
-
31
Pedoman untuk menafsirkan reaksi TST juga harus diterapkan pada orang-orang yang
mungkin memiliki pajanan TB (misalnya, pekerja kesehatan, staf rumah jompo, pusat-pusat
pengobatan, atau lembaga pemasyarakatan). Dengan demikian, cut-off yang tepat untuk
mendefinisikan reaksi positif tergantung pada faktor-faktor risiko individu karyawan untuk TB,
termasuk paparan TB baru dan prevalensi TB di fasilitas (berdasarkan penilaian risiko fasilitas).
Pada fasilitas mana risiko eksposur sangat rendah, 15 mm atau indurasi lebih mungkin menjadi
cut-off yang sesuai bagi karyawan tanpa faktor risiko lain yang dikenal.
Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs)
IGRA mendeteksi adanya infeksi M. tuberculosis dengan mengukur respon imun terhadap protein
TB di seluruh darah. IGRA tidak bisa membedakan antara LTBI dan penyakit TB aktif. Seperti
dengan TST, tes tambahan diperlukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan penyakit TBC.
IGRA dapat digunakan untuk keperluan surveilans atau untuk mengidentifikasi orang-orang yang
mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan, termasuk orang-orang yang atau akan berada pada
peningkatan risiko perkembangan penyakit TB jika terinfeksi M. tuberculosis.
Dua tes IGRA tersedia secara komersial dan disetujui oleh US Food and Drug Administration
(FDA) sebagai alat bantu dalam mendiagnosis infeksi M. tuberculosis:
Tes QuantiFERON-TB Emas di-Tube (QFT-GIT); dan
Uji T-Spot.TB.
General Recommendations for the Use of IGRAs
Sebuah IGRA dapat digunakan di tempat (tapi tidak di samping) PPD dalam segala situasi di mana
CDC merekomendasikan PPD sebagai bantuan dalam mendiagnosis infeksi M. tuberculosis,
dengan preferensi dan pertimbangan khusus tercantum di bawah (Tabel 10).
Disukai untuk menguji orang-orang dari kelompok-kelompok yang secara historis memiliki tarif
miskin pengembalian untuk membaca TST
Disukai untuk orang pengujian yang telah menerima BCG (sebagai vaksin atau terapi kanker)
Umumnya tidak boleh digunakan untuk anak-anak muda dari pengujian 5 tahun kecuali
digunakan dalam hubungannya dengan TST.
-
32
Bisa digunakan di tempat TST untuk menguji kontak baru-baru ini orang-orang dengan penyakit
TBC menular dengan pertimbangan khusus untuk pengujian tindak lanjut:
IGRA menawarkan kemungkinan mendeteksi infeksi M. tuberculosis dengan spesifisitas
lebih besar daripada dengan TST;
Data pada kemampuan tes IGRA untuk memprediksi TB selanjutnya terbatas;
Jika tes IGRA yang akan digunakan dalam investigasi kontak, hasil negatif yang didapat
sebelum 8 minggu biasanya harus dikonfirmasi dengan mengulang tes 8 sampai 10 minggu
setelah akhir paparan;
Penggunaan tes yang sama untuk pengujian berulang akan meminimalkan kesalahan
kesalahan klasifikasi yang terjadi akibat menguji kejanggalan.
Bisa digunakan di tempat PPD untuk skrining periodik yang membahas paparan penyakit TB
(misalnya, program surveilans untuk petugas kesehatan).
IGRA tidak meningkatkan hasil tes berikutnya dan dapat diselesaikan setelah kunjungan pasien
tunggal.
Pengujian rutin dengan baik PPD dan IGRA tidak dianjurkan; Namun, hasil dari kedua
tes mungkin berguna dalam situasi berikut ketika tes awal adalah negatif:
Ketika risiko infeksi, risiko perkembangan dari infeksi penyakit, dan risiko hasil yang
buruk yang tinggi (misalnya, infeksi HIV, anak di bawah usia 5 tahun yang terkena orang
dengan TB menular); atau
Ketika ada kecurigaan klinis untuk penyakit TB (misalnya, tanda-tanda, gejala, dan / atau bukti
radiografi sugestif penyakit TB) dan konfirmasi infeksi M. tuberculosis yang diinginkan.
Pengujian rutin dengan baik PPD dan IGRA tidak dianjurkan; Namun, hasil dari kedua
tes mungkin berguna dalam situasi berikut ketika tes awal adalah positif:
Bukti tambahan infeksi diperlukan untuk mendorong kepatuhan (misalnya, pekerja
kesehatan asing kelahiran yang percaya TST positif mereka adalah karena BCG); dan
Pada orang sehat yang memiliki risiko rendah dari kedua infeksi dan perkembangan dari infeksi
penyakit TBC.
-
33
Mengulangi IGRA atau melakukan TST mungkin berguna saat hasil IGRA awal tak tentu, batas,
atau tidak valid, dan alasan untuk pengujian berlanjut.
Setiap program pengendalian TB dan lembaga harus mengevaluasi ketersediaan,
efektivitas biaya secara keseluruhan, dan manfaat dari penggunaan tes IGRA. Seperti dengan TST,
tes IGRA umumnya tidak boleh digunakan untuk orang-orang pengujian yang memiliki risiko
rendah untuk kedua infeksi dan penyakit yang timbul M. tuberculosis (dengan pengecualian
mereka yang mungkin pada peningkatan risiko di masa depan) karena skrining orang tersebut
mengalihkan sumber daya dari kegiatan pengendalian TB prioritas yang lebih tinggi dan
meningkatkan jumlah hasil positif palsu.
-
34
Tabel 10 Rekomendasi untuk menggunakan IGRA
-
35
BCG Vaccination
The Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup, dilemahkan (lemah) vaksin yang
berasal dari strain Mycobacterium bovis yang dikembangkan selama beberapa tahun oleh Calmette
dan Guerin di Pasteur Institute di Lille, Prancis. Versi awal dari BCG pertama kali diberikan
kepada manusia pada tahun 1921. Sejak saat itu, banyak strain yang berbeda telah diturunkan dan
digunakan di seluruh dunia. Vaksinasi BCG umumnya tidak dianjurkan di Amerika Serikat karena
risiko rendah infeksi M. tuberculosis, efektivitas variabel vaksin BCG terhadap TB paru, risiko
rendah penyakit TB disebarluaskan parah pada anak-anak di Amerika Serikat, dan gangguan
vaksin dengan kemampuan untuk menentukan TST reaktivitas. Banyak negara yang sangat-TB
umum vaksinasi bayi dengan BCG sebagai bagian dari upaya pengendalian TB untuk mencegah
anak-anak dari tertular TB atau TB meningitis disebarluaskan parah.
Rekomendasi untuk Penggunaan BCG Vaksinasi di Amerika Serikat
Vaksin BCG dapat dianggap dalam keadaan terbatas bagi orang-orang terpilih yang
memenuhi kriteria tertentu. Penggunaan vaksin BCG harus dilakukan hanya setelah berkonsultasi
dengan departemen kesehatan setempat dan para ahli dalam pengelolaan TB.
Vaksinasi BCG baru-baru ini dapat menyebabkan reaksi positif palsu selanjutnya ke TST. Dengan
demikian, hal itu dapat mempersulit keputusan untuk meresepkan pengobatan untuk LTBI untuk
orang BCG-divaksinasi yang memiliki hasil PPD positif. Dalam kasus tersebut, IGRA akan
menjadi ujian pilihan untuk LTBI diagnosis.
Bayi dan Anak-anak
Di Amerika Serikat, vaksinasi BCG hanya harus dipertimbangkan untuk anak-anak yang
memiliki TST negatif atau hasil IGRA dan yang terus-menerus terkena, dan tidak dapat dipisahkan
dari, orang dewasa yang:
Apakah tidak diobati atau tidak efektif diobati untuk penyakit TB (jika anak tidak dapat
diberikan pengobatan jangka panjang untuk infeksi); atau
Memiliki penyakit TB yang disebabkan oleh strain yang resisten terhadap isoniazid dan
rifampisin.
-
36
BCG vaksinasi merupakan kontraindikasi pada anak yang terinfeksi HIV.
Kesehatan Pekerja
BCG vaksinasi pekerja kesehatan harus dipertimbangkan secara individual dalam
pengaturan di mana:
Persentase yang tinggi dari pasien TB terinfeksi M. tuberculosis strain yang resisten terhadap
baik isoniazid dan rifampisin;
Transmisi yang resistan terhadap obat seperti M. tuberculosis strain untuk pekerja perawatan
kesehatan dan infeksi berikutnya kemungkinan; dan
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB yang komprehensif telah dilaksanakan dan tidak
berhasil.
Vaksinasi BCG tidak diperlukan untuk pekerjaan atau untuk penugasan petugas kesehatan
di wilayah kerja tertentu. Petugas kesehatan dipertimbangkan untuk vaksinasi BCG harus diberi
konseling mengenai risiko dan manfaat yang terkait dengan kedua BCG vaksinasi dan pengobatan
LTBI. Vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi pada petugas kesehatan yang terinfeksi HIV.
Kontraindikasi BCG Vaksinasi
BCG merupakan kontraindikasi pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh
terganggu dari berikut ini:
Infeksi HIV;
Immunodeficiency bawaan;
Leukemia;
Limfoma;
Keganasan Generalized;
Dosis tinggi terapi steroid;
Agen alkilasi;
Antimetabolit; atau
-
37
Terapi radiasi.
Hal ini juga bijaksana untuk menghindari pemberian vaksinasi BCG untuk wanita hamil,
meskipun tidak ada efek berbahaya dari BCG pada janin telah diamati.
Interpretasi Hasil Pengujian TB Pada Orang yang Divaksinasi BCG
TST atau IGRA tidak kontraindikasi untuk orang-orang yang telah divaksinasi dengan
BCG. TST atau IGRA hasilnya digunakan untuk mendukung keputusan tentang diagnosis infeksi
M. tuberculosis. TST pada orang divaksinasi dengan BCG harus ditafsirkan dengan menggunakan
kriteria yang sama bagi mereka yang tidak mendapat imunisasi BCG. Fenomena penguat dapat
terjadi di antara orang-orang yang telah vaksinasi BCG sebelumnya.
-
38
DIAGNOSIS
Tidak semua orang dengan TB disease memiliki gejala; Namun, kebanyakan orang dengan
TB disease memiliki satu atau lebih gejala yang mengharuskan mereka untuk mencari perawatan
medis. Semua orang dengan gejala TB disease, baik tes kulit tuberkulin positif (TST) atau uji
pelepasan interferon-gamma (IGRA) menunjukkan infeksi M. tuberculosis, harus dievaluasi
secara medis untuk menyingkirkan TB disease.
1. Riwayat Medis
Untuk mengetahui riwayat kesehatan, dokter harus menanyakan apakah ada simptom TB
disease; jika iya, sudah berapa lama, dan apakah diketahui terjadi penularan dari seseorang dengan
TB disease. Informasi apakah ada atau tidak seseorang telah didiagnosis pada masa lalu dengan
infeksi laten TB (LTBI) atau TB disease juga penting. Dokter juga dapat menghubungi dinas
kesehatan setempat untuk mengumpulkan informasi apakah pasien memiliki riwayat infeksi TB
atau penyakit.
Jika rejimen pengobatan TB disease sebelumnya tidak memadai atau jika pasien tidak
mematuhi terapi, TB disease dapat kambuh dan mungkin menjadi resistan terhadap obat. Hal ini
penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor demografi (misalnya, negara asal, usia, etnis,
pekerjaan, atau kelompok ras) yang dapat meningkatkan risiko pasien untuk terkena infeksi TB.
Dokter harus menentukan apakah pasien memiliki kondisi medis yang mendasari, terutama human
Tabel 61 Symptom dari Pulmonary TB Disease dan Extrapulmonary TB Disease
-
39
immunodeficiency virus (HIV) atau diabetes, yang meningkatkan risiko untuk perkembangan TB
disease pada orang yang terinfeksi secara laten dengan M. tuberculosis.
Penyakit TB paru dapat menyebabkan gejala yang berhubungan dengan bagian tubuh yang
terinfeksi (Tabel 11). Sebagai contoh, TB tulang belakang dapat menyebabkan nyeri punggung;
TB ginjal dapat menyebabkan darah dalam urin; Meningitis TB dapat menyebabkan sakit kepala
atau kebingungan. Penyakit TB paru harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari orang
sakit yang memiliki gejala sistemik dan yang berisiko tinggi terhadap TB disease.
Gejala penyakit TB paru dan luar paru dapat disebabkan oleh penyakit lain; Namun,
pertimbangan dokter mengenai TB disease yang dialami harus tetap diperhatikan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah bagian penting dari evaluasi setiap pasien. Hal ini tidak dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan TB disease, tetapi dapat memberikan
informasi penting tentang kondisi keseluruhan pasien, menginformasikan metode diagnosis,
dan mengungkapkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pengobatan TB disease, jika
didiagnosis.
3. Uji Infeksi M. Tuberculosis
Pemilihan tes yang paling cocok untuk mendeteksi infeksi M. tuberculosis harus
didasarkan pada alasan dan konteks pengujian, ketersediaan tes, dan efektivitas biaya
keseluruhan pengujian. Saat ini, ada dua metode yang tersedia untuk mendeteksi infeksi M.
tuberculosis di Amerika Serikat, yaitu:
Mantoux tuberculin skin test (TST) (gambar 21); dan
Interferon-gamma release assays (IGRAs)*
QuantiFERON-TB Gold In-Tube test (QFT-GIT) (gambar 22);
T-SPOT.TB test (gambar 23).
-
40
TST dan tes QFT membantu dokter membedakan orang yang terinfeksi M. tuberculosis dari
orang-orang yang tidak terinfeksi. Namun, reaksi negatif terhadap salah satu tes TIDAK
mengecualikan diagnosis TB disease atau LTBI.
4. Chest Radiograph
Dengan TB paru menjadi bentuk yang paling umum dari penyakit, Chest Radiograph
berguna untuk diagnosis TB disease. Kelainan dada dapat menunjukkan penyakit TB paru
(Gambar 24). Sebuah rontgen posterior-anterior dada adalah tampilan standar yang digunakan
untuk mendeteksi kelainan dada terkait TB. Dalam beberapa kasus, terutama pada anak-anak,
pandangan lateral yang dapat membantu.
Dalam beberapa kasus, computerized
tomography (CT) scan dapat memberikan
informasi tambahan. CT scan memberikan
gambar yang lebih rinci bagian-bagian
tubuh yang tidak dapat dengan mudah
dilihat pada rontgen dada standar; Namun,
CT scan lebih mahal.
Pada penyakit TB paru, kelainan
radiografi sering terlihat di segmen apikal
dan posterior lobus atas atau segmen
superior lobus bawah. Namun, lesi dapat
muncul di mana saja di paru-paru dan
mungkin berbeda dalam ukuran, bentuk, kepadatan, dan kavitasi, terutama di terinfeksi HIV
Gambar 21 Mantoux Tuberculin Skin Test
Gambar 23 T-SPOT. TB Test Gambar 22 QuantiFERON-TB Gold In-Tube Test (QFT-GIT)
Gambar 24 Chest Radiograph dengan Lower Lobe Cavity
-
41
dan lainnya orang imunosupresi. Kelainan radiografi pada anak-anak cenderung minim dengan
kemungkinan lebih besar limfadenopati, lebih mudah didiagnosis pada selaput lateral.
Gabungan dari nodular dan lesi fibrosis mungkin berisi basil tuberkulosis dan yang sudah
menggandakan diri yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi TB disease. Orang yang
memiliki lesi dan dengan ditemukannya TB disease yang lama pada chest radiograph dan
memiliki reaksi TST positif atau hasil IGRA positif harus diprioritaskan tinggi untuk
pengobatan LTBI, tetapi setelah TB disease yang lama dikesampingan dengan memperoleh tiga
spesimen untuk AFB smear dan kultur karena TB "tua" tidak bisa dibedakan dari penyakit TB
aktif berdasarkan penampilan radiografi saja. Sebaliknya, sepenuhnya kaku, diskrit, lesi nodular
tanpa fibrosis kemungkinan mewakili granuloma dan menimbulkan risiko lebih rendah untuk
perkembangan TB disease.
Pada orang yang terinfeksi HIV, penyakit TB paru dapat hadir dengan temuan atipikal atau
terlihat tanpa lesi pada chest radiograph. Tampilan radiografi penyakit TB paru pada orang
yang terinfeksi HIV mungkin khas; namun, cavitary disease kurang umum di antara pasien
tersebut. Umumnya Chest radiograph digunakan untuk menemukan orang yang terinfeksi HIV
termasuk infiltrat pada lung zone, mediastinal atau hilar adenopathy, atau, kadang-kadang,
rontgen dada normal. Lesi Cavitary yang khas biasanya diamati pada pasien dengan jumlah
CD4 yang lebih tinggi, dan pola yang lebih atipikal yang diamati pada pasien dengan jumlah
CD4 yang lebih rendah karena kavitasi diduga terjadi sebagai akibat dari respon imun terhadap
organisme TB. Pada orang yang terinfeksi HIV, hampir semua kelainan pada chest radiograph
mungkin mengindikasikan TB disease. Pada pasien dengan tanda dan gejala TB disease, hasil
chest radiograph negatif tetap dikatakan TB disease.
Kelainan pada chest rdiograph masih bisa dianggap, namun tidak pernah didiagnosis TB
disease. Chest radiograph negatif pada orang yang HIV-negatif dan meiliki reaksi TST atau
IGRA positif dan yang tidak memiliki tanda atau gejala TB disease tidak dapat dikatakan
memiliki TB disease.
-
42
5. Bacteriologic Examination of Clinical Specimens
Pemeriksaan sampel klinis (misalnya, sputum, urin, atau cairan serebrospinal) adalah
diagnosis yang penting. Sampel harus diperiksa dan dibiakkan dalam laboratorium yang khusus
untuk menguji M. tuberculosis. Pemeriksaan bakteriologis memiliki lima bagian:
Pengumpulan sampel, pengolahan, dan review
Klasifikasi dan hasil AFB smear
Deteksi langsung M. tuberculosis dalam sampel klinis menggunakan amplifikasi asam
nukleat (NAA)
Kultur sampel dan identifikasi
Pengujian kerentanan-obat
Pengumpulan sampel, Pengolahan, dan Review
Untuk tujuan diagnosis, semua orang yang
dicurigai TB disease harus memiliki sampel sputum
yang dikumpulkan untuk kultur dan AFB smear,
bahkan tanpa adanya gejala. Diperlukan tiga sampel
sputum berturut-turut, masing-masing dikumpulkan
dalam interval 8 sampai 24 jam, dengan satu sampel
pagi. Jika memungkinkan, sampel diambil dalam
ruangan isolasi infeksi udara atau terisolasi, harus
diperoleh dalam ruangan isolasi infeksi udara (AII)
atau terisolasi, berventilasi baik (misalnya, di luar
ruangan) (Gambar 25).
Selama pengambilan sampel, pasien menghasilkan
aerosol yang mungkin berbahaya bagi petugas
kesehatan atau pasien lain yang ada didekatnya. Untuk alasan ini, tindakan pencegahan untuk
pengendalian infeksi harus diikuti selama pengeluaran sputum, bronkoskopi, dan prosedur
diagnosis umum lainnya.
Gambar 25 TB Patient Coughing Up Sputum
-
43
Metode Pengumpulan Sampel Penyakit TB Paru
Ada empat metode pengambilan sampel untuk penyakit TB paru (Tabel 12):
Cough
Sputum induction
Bronchoscopy
Gastric aspiration
Cough - Batuk adalah cara untuk mengeluarkan
dahak. Batuk harus diawasi untuk memastikan
bahwa dahak dikumpulkan dengan benar. Seorang
pekerja kesehatan memakai alat pelindung diri yang direkomendasikan harus melatih dan
langsung mengawasi pasien ketika dahak dikumpulkan (Gambar 26). Pasien harus
diinformasikan bahwa sputum adalah material yang dibawa dari paru-paru, dan lendir dari
hidung atau tenggorokan dan air liur merupakan sampel yang dapat menyebarkan TB disease.
Pasien tanpa pengawasan cenderung untuk memberikan sampel yang memadai, terutama yang
pertama kalinya.
Sputum Induction- Untuk pasien yang tidak dapat batuk dan mengeluarkan sputum, dapat
diinduksi dengan menghirup aerosol hangat, steril, saline hipertonik (3% - 5%). Karena induksi
sputum sangat berair dan menyerupai air liur, itu harus diberi label "diinduksi" agar staf
laboratorium tidak membuangnya.
Bronchoscopy- Bronkoskopi adalah prosedur medis yang memungkinkan visualisasi bagian
dalam saluran pernapasan seseorang. Saluran udara disebut saluran bronkial atau bronchi.
Bronkoskopi mungkin diperlukan untuk pengambilan sampel, terutama jika hasil sebelumnya
belum terdiagnosa dan ada keraguan diagnosis. Di lain waktu, bronkoskopi dilakukan karena
ada pertimbangan diagnosis lain di mana TB adalah salah satu di antaranya. Jika
memungkinkan, sebelum bronkoskopi dilakukan pemeriksaan tiga sputum spontan atau sputum
yang diinduksi untuk mendiagnosa TB disease. Jika mungkin, hindari bronkoskopi pada pasien
yang dicurigai atau yang telah didignosis TB disease atau menunda prosedur ini sampai pasien
sudah tidak menularkan TB disease, dengan konfirmasi dari tiga hasil AFB sputum dan BTA
negatif (Gambar 27). Pencucian bronkial, brushings, dan spesimen biopsi dapat diperoleh,
Gambar 26 Patient Coughing Up Sputum
-
44
tergantung pada gambar yang ditemukan saat bronkoskopi. Sputum yang dikumpulkan setelah
bronkoskopi juga mungkin berguna untuk diagnosis. Bronkoskopi tidak boleh diganti dengan
pengambilan sputum, melainkan digunakan sebagai prosedur diagnosis tambahan.
Setiap pemeriksaan, bronkoskopi harus dilakukan di sebuah ruangan yang memenuhi
persyaratan ventilasi untuk isolasi infeksi udara (AII) kamar. Petugas kesehatan harus
mengenakan respirator N95 sementara menjelaskan prosedur bronkoskopi pada pasien yang
dicurigai atau didiagnosis TB disease.
Gastric Aspiration- Gastric Aspiration adalah prosedur yang digunakan bila sampel untuk
kultur tidak didapatkan karena pasien tidak dapat batuk. Sebuah tabung dimasukkan kedalam
perut melalui mulut atau hidung untuk mengmbalikan sputum yang sudah sampai ke
tenggorokan dan kemudian ditelan. Prosedur ini sangat berguna untuk diagnosis pada anak-
anak, yang sering tidak dapat batuk dahak (Gambar 28). Gastric aspiration sering membutuhkan
rawat inap dan harus dilakukan pada pagi hari sebelum pasien turun dari tempat tidur atau
Gambar 27 Bronchoscopy
Gambar 28 Gastric Aspiration
-
45
makan, karena itu adalah waktu yang optimal untuk mengumpulkan menelan sekresi
pernapasan yang ditelan dari perut. Sampel yang diperoleh gastric aspiration harus dibawa ke
laboratorium segera untuk netralisasi atau dinetralkan segera di lokasi pengumpulan.
Tabel 12 Metode memperoleh sputum specimen
Metode Pengumpulan Sampel untuk TB ekstrapulmonar
-
46
Penyakit TBC dapat terjadi pada hampir semua bagian anatomi; dengan demikian, berbagai
sampel klinis selain sputum (misalnya, urin, cairan serebrospinal, cairan pleura, nanah, atau
spesimen biopsi) dapat diajukan untuk pemeriksaan ketika penyakit TB paru dicurigai (Gambar
29 dan 30). Prosedur untuk penanganan cepat dan direkomendasikan bahwa sampel harus
berada di laboratorium sebelum spesialis melakukan prosedur invasif untuk mendapatkan
sampel. Hal penting yang utama adalah transportasi yang cepat ke laboratorium sesuai dengan
instruksi laboratorium. Penting untuk dicatat bahwa sebagian dari sampel ditempatkan dalam
formalin untuk pemeriksaan histologis tidak dapat digunakan untuk kultur apabila
transportasinya lama.
Klasifikasi dan Hasil AFB Smear
Deteksi BTA dalam apusan bernoda
dan asam-dicuci diperiksa secara
mikroskopis dapat memberikan bukti
bakteriologis awal kehadiran mikobakteri
dalam spesimen klinis (Gambar 31).
Mikroskop smear adalah prosedur
tercepat dan termudah yang dapat
dilakukan.
Ada dua prosedur yang biasa digunakan
untuk pewarnaan acid-fast:
Gambar 29 Clinical Specimen digunakan untuk pemeriksaan ketika diduga terjadi TB Disease
Gambar 30 Collection Bottleyang digunakan untuk mengoleksi Specimen ketika diduga terjadi
Extrapulmonary TB Disease
Gambar 31 Acid-Fast Bacilli Stained in Smear
-
47
Metode Carbolfuchsin yang meliputi Ziehl Neelsen dan Kinyoun-metode (mikroskop
langsung)
Prosedur fluorochrome menggunakan auramine-O atau pewarna auramine-rhodamine
(mikroskop fluorescent).
Penelitian telah menunjukkan bahwa harus ada 5.000 hingga 10.000 basil per mililiter sampel
untuk memungkinkan deteksi bakteri dalam smear. Sebaliknya, 10 sampai 100 basil diperlukan
untuk kultur yang positif. Prosedur pemeriksaan smear harus cepat; Hasil harus ada dalam waktu
24 jam dari pengumpulan sampel ketika sampel dikirim ke laboratorium segera. Namun, izin
pemeriksaan smear hanya diagnosis dugaan penyakit TB karena basil tahan asam dalam smear
yang mungkin organisme acid-fast selain M. tuberculosis. Selain itu, banyak pasien TB disease
memiliki AFB smear negatif dengan kultur positif berikutnya. Smear negatif masih dikatakan TB
disease (Tabel 13).
AFB dihitung ketika terlihat di smear. Ada sistem untuk melaporkan jumlah AFB yang terlihat
pada pembesaran tertentu. Menurut jumlah acid-fast bacilli yang terlihat, smear diklasifikasikan
sebagai 4 +, 3 +, 2+, atau 1+. Semakin besar jumlah, pasien semakin tertular (Tabel 13).
Tabel 17 Klasifikasi Hasil Smear
-
48
Deteksi langsung dari M. tuberculosis di Klinik Spesimen Menggunakan Nucleic Acid
Amplifikasi (NAA)
Tes NAA digunakan untuk memperkuat segmen DNA dan RNA dengan cepat
mengidentifikasi mikroorganisme dalam sampel. Pengujian NAA dipercaya bisa mendeteksi
bakteri M. tuberculosis dalam sampel dalam jam dibandingkan dengan 1 minggu atau lebih untuk
kultur (Gambar 32). Manfaat menggunakan tes NAA adalah:
Konfirmasi yang diperoleh dari laboratorium mengenai TB disease lebih cepat.
Pengobatan awal lebih cepat.
Peningkatan outcome pasien.
Penyebaran infeksi diatasi dengan diagnosis dini, isolasi pernapasan dan pengobatan yang tepat
lebih efisien pada penggunaan isolasi pernapasan terlebih dahulu.
Inisiasi awal terhadap penyelidikan kontak; dan
Intervensi kesehatan masyarakat yang lebih efektif.
CDC merekomendasikan bahwa pengujian NAA dilakukan pada setidaknya satu sampel
pernafasan dari setiap pasien dengan tanda dan gejala TB paru untuk siapa diagnosis TB sedang
dipertimbangkan namun belum ditetapkan diagnosisnya, dan untuk siapa hasil tes akan
mengubah manajemen kasus atau kegiatan pengendalian aktivitas TB, seperti investigasi
kontak.
Dokter harus menafsirkan semua hasil laboratorium dalam konteks situasi klinis. Hasil tes
NAA tunggal negatif tidak boleh digunakan sebagai hasil definitif untuk menentukan bukan TB
disease, terutama ketika dugaan klinis TB
disease sedang sampai tinggi. Sebaliknya,
hasil tes NAA negatif harus digunakan
sebagai informasi tambahan dalam membuat
keputusan klinis, untuk mempercepat
pengujian untuk diagnosis alternatif, atau
untuk mencegah pengobatan penyakit TBC
yang tidak perlu.
Gambar 32 Tes Nucleic Acid Amplification (NAA)
-
49
Kultur tetap menjadi standar emas untuk konfirmasi laboratorium tentang TB disease, dan
pertumbuhan bakteri digunakan untuk melakukan tes kerentanan obat dan genotipe. Sesuai
dengan rekomendasi saat ini, jumlah yang cukup dan bagian dari sampel harus selalu disediakan
untuk kultur. Meskipun demikian, pengujian NAA harus menjadi praktek standar untuk pasien
yang diduga menderita TB, dan semua dokter dan program kesehatan masyarakat TB harus
memiliki akses ke pengujian NAA TB disease untuk mempersingkat waktu diagnosis.
Kultur Sampel dan Identifikasi
Kultur positif untuk M. tuberculosis mengkonfirmasi diagnosis penyakit TB, namun, dengan
tidak adanya kultur yang positif, penyakit TBC juga dapat didiagnosis berdasarkan gejala dan
tanda klinis saja. Pemeriksaan kultur harus dilakukan pada semua sampel diagnosis, terlepas
dari smear AFB atau hasil NAA. Sistem broth cultur yang tersedia secara komersial (misalnya,
BACTEC, MGIT, VersaTREK, MBBACT) memungkinkan deteksi pertumbuhan mikobakteri
terbanyak dalam 4 sampai 14 hari dibandingkan dengan 3 sampai 6 minggu untuk media padat
(Gambar 33). Laboratorium melakukan kultur TB harus secara rutin menggunakan broth based
system (Tabel 14).
Gambar 33 Kultur pertumbuhan koloni M. tuberculosis
-
50
Tindak lanjut pemeriksaan bakteriologis
Tindak lanjut pemeriksaan bakteriologis penting untuk mengukur tingkat penularan pasien dan
respon terhadap terapi. Sampel harus diperoleh pada interval bulanan sampai dua sampel
berturut-turut dikirim untuk dilaporkan sebagai kultur negatif. Konversi kultur adalah ukuran
yang obyektif yang paling penting dari respon terhadap pengobatan. Konversi
didokumentasikan kultur negatif pertama dalam serangkaian kultur positif sebelumnya. Selain
itu, semua hasil kultur berikutnya harus tetap negatif.
Pelaporan Hasil
Laboratorium harus melaporkan smear awal yang positif, kultur M. tuberculosis positif, dan
hasil NAA positif dalam waktu 24 jam melalui telepon atau fax ke penyedia layanan kesehatan
Tabel 14 Perbedaan antara Kultur dan Sputum Smear
-
51
primer dan dinas kesehatan. Out-of-state laboratorium yang menerima spesimen rujukan harus
menghubungi penyedia layanan kesehatan dan dinas kesehatan di negara bagian pasien berasal.
Hasil yang ditindaklanjuti dapat dilaporkan melalui surat. Ini adalah tanggung jawab penyedia
layanan kesehatan primer untuk melaporkan semua yang diduga atau didiagnosis kasus TB
disease segera ke dinas kesehatan negara bagian atau daerah kecuali undang-undang negara
menyatakan sebaliknya. Pelaporan yang cepat kepada otoritas kesehatan memastikan bahwa
orang dengan penyakit TBC dapat diobati secara memadai, menghambat potensi untuk
penyebaran berkelanjutan. Ini juga menjamin bahwa penyelidikan kontak dapat dimulai dengan
cepat untuk menemukan kontak dari pasien yang mungkin memiliki LTBI atau TB disease.
Pengujian Kerentanan-Obat
Untuk semua pasien, isolat M. tuberculosis awal harus diuji untuk ketahanan terhadap lini
pertama obat anti-TB: isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid (Gambar 34). Hasil tes
kerentanan obat harus mengarahkan dokter untuk memilih obat yang tepat untuk mengobati
setiap pasien. Pasien dengan TB disease yang diobati dengan obat-obatan memiliki strain
terhadap TB maka akan terjadi resistan dan mungkin tidak berhasil disembuhkan. Bahkan,
strain mereka terhadap TB dapat menjadi resisten terhadap obat tambahan.
Cepat, broth-based system harus
digunakan untuk mengidentifikasi resistensi
obat sedini mungkin untuk memastikan
pengobatan yang tepat. Hasil Kerentanan
dari laboratorium harus segera diteruskan ke
dokter dan dinas kesehatan. Tes kerentanan
obat harus diulang untuk pasien yang tidak
menanggapi seperti yang diharapkan atau
yang memiliki hasil kultur positif meskipun
3 bulan pengobatan yang memadai.
Lini kedua tes kerentanan terhadap obat harus dilakukan hanya dalam referensi
laboratorium dan umumnya terbatas pada sampel dari pasien yang memiliki karakteristik
sebagai berikut:
Gambar 34 Tes Kerentanan Obat
-
52
Pengobatan TB disease sebelumnya;
Kontak dengan pasien yang diketahui resistensi dengan obat anti-TB;
Ditunjukkan resistensi terhadap obat anti-TB lini pertama; atau
Kultur positif setelah lebih dari 3 bulan pengobatan.
Seorang pasien didiagnosis dengan multi drug resistant (TB MDR); penyakit jika
organisme yang tahan terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, merupakan dua lini
pertama obat anti-TB yang paling ampuh. Seorang pasien didiagnosis dengan TB resistan
terhadap obat (TB-XDR), jika isolat TB tahan terhadap isoniazid dan rifampisin,
fluorokuinolon apapun, dan setidaknya salah satu dari tiga suntikan obat lini kedua (yaitu,
amikasin, kanamisin, atau kapreomisin).
Deteksi Molekular Resistensi Obat
Resistensi obat dari isolat klinis ditentukan oleh metode konvensional (misalnya, broth based
dan proporsi agar) karena adanya mutasi pada gen spesifik M. tuberculosis. Mutasi ini sering
terjadi perubahan pasangan basa tunggal dalam urutan DNA bakteri. Ada berbagai tes
komersial dan tes laboratorium dikembangkan yang dapat mendeteksi mutasi yang terkait
dengan resistensi obat. Alat tes dilakukan pada sampel pasien atau isolat dari sampel pasien.
Tes line-probe menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk memperkuat wilayah
gen yang diketahui terkait dengan perlawanan. Produk yang diperkuat diberi label dan
secara khusus digabung untuk probe pada strip nitroselulosa. Mutasi dapat terdeteksi dari
kurangnya ikatan probe dengan urutan normal atau dengan mengikat probe khusus untuk
sering terjadi mutasi.
PCR amplifikasi gen yang diketahui terkait dengan resistensi obat dapat diikuti oleh
sekuensing DNA yang dapat mendeteksi mutasi.
Real-time PCR dengan probe fluorescing yang secara khusus bergabung dengan target
dapat dilakukan dalam satu langkah, kadang-kadang teknik disebut "beacon molekul."
Semua tes ini memungkinkan deteksi cepat resistensi obat melalui identifikasi mutasi genetik
yang terkait dengan resistensi dan memberikan bimbingan awal terapi yang efektif. Deteksi
molekuler resistensi obat harus dipertimbangkan untuk pasien dengan karakteristik sebagai
berikut:
-
53
Resiko tinggi resistensi rifampisin, termasuk TB MDR (misalnya, TB diobati sebelumnya,
kontak dengan seseorang dengan TB MDR, atau berasal dari luar negri, dari negara berisiko
tinggi);
Hasil kerentanan line pertama terhadap obat yang tersedia dan menunjukkan resistensi
terhadap rifampisin;
Menular menimbulkan risiko ke kontak yang rentan (misalnya, pekerja penitipan anak,
perawat, dan bayi); dan
Kontraindikasi penting obat lini pertama (misalnya, alergi rifampisin).
Keterbatasan pengujian molekuler untuk resistensi obat adalah bahwa relevansi klinis beberapa
mutasi masih belum diketahui. Selanjutnya, tidak semua mekanisme biologis resistensi
diketahui. Akibatnya, jika tidak ada mutasi yang terdeteksi oleh alat tes molekuler, resistensi
tidak dapat dikesampingkan. Oleh karena itu, penting bahwa tes kerentanan obat berbasis
pertumbuhan konvensional dilakukan dan digunakan dalam hubungannya dengan keterbatasan
hasil.
-
54
Terapi pada Tuberculosis Disease
Pendahuluan
Tujuan terapi utama pada treatment TB disease adalah:
Menyembuhkan pasien
Meminimalisir resiko kematian dan kecacatan
Mengurangi transmisi/penyebaran Mycobacterium tuberculosis kepada orang lain.
Untuk memastikan tujuan ini tercapai, TB disease harus diterapi sekurang-kurangnya 6 bulan
dan dapat lebih lama pada kasus tertentu. Kebanyakan dari bakteri TB terbunuh pada 8 minggu
pertama terapi, walau begitu, terdapat bakteri yang masih bertahan dan membutuhkan terapi yang
lebih lama. Jika terapi tidak berlanjut dengan durasi yang cukup, bakteri yang mampu bertahan
hidup dapat menyebabkan pasien menjadi sakit dan terinfeksi lagi, serta berpotensi terjadinya
drug-resistant disease.
Terdapat beberpa pilihan terapi yang sifatnya harian dan terputus-putus dalam periode
singkat, tetapi tujuan terapi dari TB disease harus memberikan terapi yang paling aman dan efektif
dalam periode tersingkat. Dengan memberikan terapi yang adekuat, hampir setiap pasien dapat
sembuh.
Rejimen untuk terapi TB disease harus mengandung beberapa obat yang mana bakteri TB
rentan. Standar dari perawatan untuk memulai terapi TB disease adalah terapi empat obat (four-
drug therapy). Terapi dengan obat tunggal (single drug)dapat menyebabkan pertumbuhan populasi
bakteri yang resisten terhadap obat tersebut. Demikian pula dengan penambahan obat tunggal pada
rejimen anti-TB yang gagal dapat menyebabkan resistensi tambahan. Ketika dua atau lebih obat
yang secara in vitro telah didemonstrasikan diberikan secara bersamaan, setiap obat mampu
membantu mencegah muncegah resistensi bakteri TB terhadap obat yang lainnya.
Strategi Terkait Ketaatan Pasien
Untuk menterapi TB disease dan mencegah terjadinya drug resistance, pelayan kesehatan
harus memastikan pasien dengan TB disease mengikuti terapi yang dianjurkan. Walaupun begitu,
untuk memastikan pasien dapat mentaati terapi dapat menjadi sulit karena pasien seringkali tidak
dapat atau tidak memiliki keinginan untuk menggunakan pengobatan yang banyak untuk beberapa
-
55
bulan. Ketidaktaatan pada terapi TB merupakan masalah utama pada control TB. Treatment yang
tidak adekuat dapat menyebabkan
Kegagalan terapi;
Relapse (Penurunan kondisi kesehatan kembali);
Transmisi/Penyebaran yang berlanjut; dan
Pengembangan resistensi obat
Kesuksesan terapi merupakan tanggung jawab penyedia layanan kesehatan, bukan pasien.
Penyedia layanan kesehatan harus berkonsultasi dengan program pengontrolan TB milik
departemen kesehatan mereka, untuk memastikan pasien TB mereka dapat mentaati rejimen terapi
yang diresepkan. Program pengontrolan TB tersebut harus mampu membantu penyedia layanan
kesehatan dalam mengevaluasi kendala pasien untuk mentaati terapi yang dijalankan serta
merekomendasikan directly observed therapy (DOT) dan menggunakan fasilitas dan hadiah yang
mungkin dapat membantu dan mendorong pasien menyelesaikan terapi yang dianjurkan.
Jika usaha ini tidak berhasil, program pengontrolan TB, program pengpntrolan TB harus
memiliki tindakan yang lebih ketat. Program TB dapat mempertimbangkan jalur hukum untuk
melakukan DOT atau jika semua langkah lain gagal, tanpa mempertimbangkan kerelaan pasien
dapat dilakukan isolasi pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau melaksanakan terapi hingga
selesai. Hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat umum dari pasien yang menular,
berpotensi menular, atau memiliki resiko dalam pertumbuhan drug-resistant TB disease. Seorang
pasien dapat saja diisolasi tanpa kerelaan namun mereka tidak dapat dipaksa untuk meminum obat
anti-TB. Isolasi tanpa kerelaan hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir apabila langkah
lain telah gagal.
Edukasi Pasien
Mengedukasi pasien mengenai TB disease membantu untuk memastikan kesuksesan suatu
terapi. Penyedia pelayanan kesehatan harus menyediakan waktu untuk memberikan penjelasan
yang sejelas-jelasnya kepada pasien mengenai obat apa yang harus diminum, seberapa
banyak,seberapa sering, dan kapan. Pasien harus diberikan informasi yang jelas mengenai efek
samping dari obat yang mereka minum dan kapan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Bekali
pasien dengan pengetahuan supaya pasien dapat memandang konsekuensi dari tidak meminum
-
56
obat dengan benar sebagai suatu hal yang penting. Untuk tambahan, pasien harus diedukasi
mengenai langkah pengendalian infeksi dan potensi dilakukannya isolasi (Tabel 15). Tes dan
konseling HIV sangat dianjurkan bagi pasien dengan TB disease di seluruh fasilitas layanan
kesehatan. Pasien tersebut harus terlebih dahulu diberitahukan bahwa akan dilakukan test HIV.
Pasien tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk menolak testing dan knseling HIV.
Manajemen Kasus
Manajemen kasus (Case Management) adalah strategi yang digunakan untuk memastikan
bahwa pasien mendapatkan terapi TB disease yang lengkap. Terdapat tiga elemen dalam
manajemen kasus:
1. Menetapkan tanggung jawab (Assigning responsibility);
2. Melakukan riview sistematik umum (Conducting a regular systematic review); and
3. Mengembangkan rencana untuk mengatasi hambatan pada ketaatan (Developing a plan to
address barriers to adherence).
Manajer kasus (case manager) adalah seorang karyawan departemen kesehatan, biasanya nurse
atau public health professional, yang memiliki tugas utama untuk bertanggung jawab pada
manajemen pasien tertentu. Manajer kasus diberikan tanggung jawab untuk memastikan setiap
pasien teredukasi mengenai TB dan terapinya, memastikan bahwa terapi terus berjalan dan
terselesaikan, serta memastikan bahwa setiap kontak sesuai dengan CDC/National Tuberculosis
Controller Association guideline. Beberapa tanggungjawab dapat ditugaskan pada orang lain
seperti clinic supervisor, outreach worker, health educator, social worker, dan human service
Tabel 15 Patient education
-
57
worker. Manajemen kasus merupakan patient-centered strategy. Apabila dimungkinkan, seorang
pekerja yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang sama dengan pasien sebaiknya
ditugaskan sebagai manajer kasusnya, supaya dapat membantu mengembangkan rencana terapi
yang dapat ditaati bersama pasien.
Directly Observed Therapy (DOT)
DOT merupakan komponen dari manajemen kasus yang membantu pasien untuk mentaati
terapi. Ini merupakan metode dimana seorang pelayan kehetan yang sudah terlatih melihat pasien
setiap kali meminum obat anti-TB dan mendokumentasikannya. DOT merupakan core
management strategi yang lebih dianjurkan oleh CDC untuk terapi TB disease dan apabila sumber
daya tersedia untuk terapi LTBI juga. DOT dapat mereduksi terjadinya resistensi obat, kegagalan
terapi, atau kambuhnya penyakit diakhir terapi. Manajemen kasus yang baik, dimana termasuk
memelihara hubungan baik dengan pasien dan mengatasi hambatan dalam ketaatan, mendukung
suksesnya DOT.
Hampir semua rejimen terapi dari obart TB disease dapat diberikan secara berkala jika
dilakukan observasi secara langsung. Dengan menggunakan rejimen berkala dapat mengurangi
jumlah total dosis yang harus diterima pasien, dan juga jumlah total penyedia layanan kesehatan,
sehingga membuat rejimen ini menjadi lebih cost-effective. Drug-resistant TB disease harus selalu
diterapi dengan rejimen harian dan dalam observasi langsung. Rejimen berkala tidak tersedia untuk
terapi multidrug-resistant (MDR) TB. Jika obat anti-TB untuk terapi MDR TB harus diberikan
sebanyak dua kali sehari, maka DOT harus dilakukan dua kali sehari juga.
Dalam melaksanakan DOT, sangat penting untuk melakukannya pada waktu dan tempat
yang senyaman mungkin bagi pasien (Gambar 35 dan Gambar 36). Terapi dapat dilaksanakan
dengan observasi langsung di setting klinik, tapi juga dapat diobservasi oleh pekerja lapangan di
luar setting klinik (misalnya, dirumah pasien, tempat kerja, sekolah, atau tempat lain yang telah
disepakati). Dalam situasi tertentu, staff of correctional facilities or drug treatment programs, home
health-care workers, maternal and child health staff, atau designated community members dapat
menjalankan tugas DOT. Pada umumnya , anggota keluarga tidak diperkenankan untuk
menjalankan tugas DOT.
-
58
DOT should be used for all children and adolescents with TB disease. Even when drugs are
given by DOT, adherence to and tolerability of the regimen must be monitored closely. Parents should
not be relied on to supervise DOT
DOT harus digunakan pada anak-anak dan bayi dengan TB disease. Walaupun obat sudah
diberikan dengan DOT, ketaatan dan toleransi dari rejimen harus tetap dimonitoring dengan teliti.
Orangtua tidak dianjurkan untuk diandalkan untuk menjalankan DOT pada anaknya.
Incentive dan Enabler
Incentive dan Enabler (Hadiah dan Fasilitas) dapat digunakan
untuk membantu ketaatan pasien dalam terapi (Gambar 37). Incentive
merupakan penghargaan kecil kepada pasien untuk memotivasi
mereka untuk taat dalam mereka dan untuk melakukan pertemuan
klinik atau DOT. Enabler merupakan sesuatu yang dapat membantu
pasien untuk menerima terapi, seperti bus antar-jemput untuk ke
klinik. Incentive dan enabler harus dipilih berdasarkan dengan kebutuhan pasien dan biasanya
diberikan bersamaan dengan DOT.
Fixed-Dose Combination Drugs
Walaupun belum ada cukup bukti yang menunjukan pengobatan fixed-dose combination
lebih superior dibandingkan dengan obat tunggal, pendapat pakar menyarankan untuk
menggunakan formulasi ini ketika DOT diberikan secara harian ataupun ketika DOT tidak
memungkinkan. Penggunaan kapsul dan tablet fixed-dose combination memfasilitasi administrasi
DOT dengan meminimalisir kemungkinan adanya error bila dengan menggunakan beberapa tablet
Gambar 35 melaksanakan DOT di setting klinik Gambar 36 melaksanaksanankan DOT di tempat yang nyaman untuk pasien
Gambar 37 Incentive dan Enabler
-
59
dan dapat mereduksi resikoterjadinya resistensi. Di Amerika Serikat, FDA telah menyetujui fixed-
dose combination dari isoniazid dan rifampin (Rifamate) serta isoniazid, rifampin, dan
pyrazinamide (Rifater). Pelayan kesehatan harus lebih familiar dengan manaje,em TB disease
menggunakan obat fixed-dose combination.
Self-Administration Therapy
Pasien yang menjalankan pengobatan sendiri harus ditanyakan secara rutin mengenai
ketaatan dalam setiap kunjungannya. Perhitungan jumlah obat harus dilakukan secara konsisten
dan tes urin atau darah dapat dilakukan tiap periode tertentu untuk mengecek adanya metabolit
obat di urin atau level serum darah dari obat tersebut sesuai. Sebagai tambahan, respon dari terapi
sebaiknya dimonitor dengan teliti untuk semua pasien. Jika hasil kultur tidak menjadi negative
setekah 2 bulan terapi, pasien tersebut harus dievaluasi kembali dan DOT sebaiknya menjadi
pertimbangan untuk pengingat terapi.
Rejimen Terapi TB Disease
Obat Anti-TB Saat Ini
Saat ini terdapat 10 obat yang telah
disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk terapi
TB disease (Tabel 16). Sebagai tambahan,
golongan fluoroquinolon (levofloxacin,
moxifloxacin, dan gatifoxacin), walaupun belum
disetujui oleh FDA untuk TB disease, sudah biasa
digunakan untuk terapi TB disease yang
disebabkan oleh organisme yang drug-resistan
atau untuk pasien yang intolerant untuk beberapa
first-line drug. Rifabutin (yang disetujui untuk pencegahan pasien complex disease karena
Mycobacterium avium dengan infeksi HIV namun tidak disetujui untuk TB disease oleh FDA)
bermanfaat untuk terapi TB pasa pasien yang sedang merima obat yang memiliki interaksi dengan
obat rifampin (misalnya obat antiretroviral tertentu). Amikacin dan kanamycin untuk menterapi
TB-disease yang disebabkan oleh organisme yang drug-resistant, tidak disetujui oleh FDA untuk
terapi TB.
Gambar 38 Obat First-line Anti-TB
-
60
Isoniazid (INH), rifampin (RIF), ethambuthol (EMB), dan pyrazinamide (PZA)
dipertimbangkan sebagai first-line anti-TB drug dan menjadi rejimen terapi standar yang inti
(Gambar 38)(Tabel 16). Rifabutin (RBT) dan rifapentine (RPT) juga dapat dipertimbangkan first-
line drug dalam situasi tertentu. RBT digunakan sebagai pengganti RIF dalam terapi TB yang
disebabkan oleh bakteri yang diduga rentan pada obat ini. RBT pada umumnya digunakan untup
Tabel 16 Obat anti-TB yang saat ini digunakan
-
61
pasien yang menggunakan obat lain yang memiliki interaksi dengan rifampin. Streptomycin (SM)
pernah dipertimbangkan sebagai first-line drug dan pada beberapa kondisi, masih digunakan
sebagai rejimen terapi awal. Walau begitu, peningkatan prevalensi dari resistensi SM dibanyak
belahan dunia membuat penurunan manfaat obat secara umum. Obat-obat lain digunalan untuk
situasi-situasi tertentu seperti drug intolerance atau resistance.
Rating System for TB Disease Treatment Recommendations
Rekomendasi regimen terapi, didasarkan pada bukti dari clinical trial dan dinilai
didasarkan dengan system yang dikembangkan oleh U.S. Public Health Service (USPHS) dan
Infectious Diseases Society of America (IDSA) (Tabel 17)
TB Disease Treatment Regimens
Terdapat empat dasar rejimen terapi yang direkomendasikan untuk terapi adult dengan TB
disease yang disebabkan oleh bakteri yang diketahui atau diduga rentan terhadap INH,RIF, PZA,
dan EMB.Tiap rejimen terapi terdiri dari fase terapi awal selama 2 bulan, diikuti dengan fase
lanjutan antara 4 atau 7 bulan (Tabel 19). fase kanjutan selama 4 bulan digunakan pada mayoritas
pasien. Walaupun rejimen ini dapat diterapkan secara luas, terdapat modifikasi yang harus dibuat
dalam situasi tertentu (Tabel 17 & 18)
Tahap awal dari terapi sangat krusial untuk mecegah terjadinya drug-resistance dan
menentukan hasil akhir dari rejimen. Empat obat, INH, RIF, PZA, dan EMB harus dimasukkan
dalam terapi awal hingga terdapat hasil tes drug-susceptibility. Tiap obat ini memiliki peranan
peting sebagai rejimen awal. INH dan RIF memungkinkan rejimen jangka pendek dengan tungkat
kesembuhan yang tinggi. PZA memiliki aktivitas mensterilisasi yang poten, yang memungkinkan
pemendekan rejimen dari 9 bulan menjadi 6 bulan. EMB membantu mencegah terjadinya resistensi
RIF ketika terdapat resistensi INH. Apabila test drug-susceptibility sudah diperoleh dan bakteri
ternyata sepenuhnya rentan terhadap obat-obat tersebut, EMB biasanya tidak diberikan. Untuk
anak-anak apabila kejelasan dari pengamatan tidak dapat dipantau, EMB biasanya tidak
direkomendasikan kecuali jika resiko resistensi obat sangat tinggi atau untuk anak-anak TB disease
tipe-adult (cavity formation dari upper lobe infiltration).
-
62
Terapi fase lanjutan diberikan selama 4 atau 7 bulan. Fase lanjutan selama 4 bulan
sebaiknya digunakan pada pasien tanpa komplikasi, noncavitary, drug-susceptible TB, jika
terdapat perubahan sputum dalam 2 bulan. Fase lanjutan selama 7 bulan hanya dianjurkan untuk:
Pasien dengan cavitary pulmonary atau extensive pulmonary TB disease yang
disebabkan oleh bakteri drug-susceptible dan memiliki hasil positif kultur sputum
setelah 2 bulan terapi.
Pasien yang pada fase inisial tidak menggunakan PZA
Pasien yang diterapi dengan INH dan RPT satu kali seminggu dan hasil kultur
setelah terapi fase awal positif
Treatment Completion
Treatment completion didefinisikan sebagai ingesti dari jumlah total dosis yang diresepkan
dalam suatu waktu tertentu. Durasi terapi bergantung pada penggunann obat, hasil tes drug-
susceptibitity dari isolate, dan respon pasien terhadap terapi. Kebanyakan pasien yang belum
pernah mendapat terapi pulmonary TB disease yang sebelumnya tidak diterapi, dapat diterapi
dengan rejimen 6 bulan atau 9 bulan, walaupun rejimen 6 bulan digunakan untuk kebanyakan
pasien. Semua rejimen 6 bula harus mengandung INH, RIF, dan untuk permulaan juga PZA.
Tujuannya adalah untuk menyelesaikan semua dosis dalam 1 tahun.
Pengecekan rutin setelah terapi tidak dibutuhkan untuk yang memiliki respon memuaskan
dengan rejimen 6 atau 9 bulan dengan rejimen INH dan RIF. Pasien dengan bakteri yang
susceptible terhadap obat yang digunakan sebaiknya diberikan instruksi untuk melaporkan
perkembangan dari tiap gejala, terutama batuk berkepanjangan, demam, atau penurunan berat
badan. Pasien yang resisten dengan kedua INH dan RIF harus dimonitoring selama 2 tahun setelah
terapi. Untuk pasien dengan bakteri yang resisten terhadap salah satu INH atau RIF, evaluasi
kelanjutan harus dilakukan secara individu.
-
63
Tabel 17 Rejimen Obat untuk Pulmonary TB untuk adult dengan bakteri drug-susceptible*
-
64
Tabel 18 Rekomendasi Dosis untuk terapi TB pada Adult dan anak-anak
-
65
Tabel 19 fase terapi TB
-
66
Treatment Interruptions
Interupsi dalam terapi TB disease biasa terjadi. Penyedia layanan kesehatan
bertanggungjawab untuk menentukan untuk melakukan pengulangan terapi secara lengkap
ataukah melanjutkan sesuai dengan yang direncanakan. Keputusan ini harus didasarkan kapan
interupsi terjadi dan durasi interupsi tersebut.
Apabila interupsi terjadi selama fase awal, guidline berikut ini berlaku (Gambar 39) (Tabel
20):
Kesalahan terjadi 14 hari terapi diulangi dari awal
Kesalahan terjadi < 14 hari terapi dilanjutkan untuk menyelesaikan jumlah dosis sesuai
yang direncanakan (selama semua dosis terselesaikan dalam 3 bulan)
Tabel 20 Pengecekan lanjutan setelah terapi
-
67
Apabila interupsi terjadi saat fase lanjutan, guideline berikut ini berlaku (Gambar 39) (Tabel
21). Jika pasien telah menerima:
80% dosis, dan acid-fast bacilli (AFB) smear sputum negatif pada awal test melanjutkan
terapi tidak diperlukan
80% dosis, dan AFB smear sputum positif pada awal test lanjutkan terapi
-
68
Gambar 40 Algoritma manajemen interupsi terapi pada tahap lanjutan
Tabel 21 Interupsi terapi
-
6