Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
Warta Buruh Migran| Edisi V | Januari 2011
Klik www.buruhmigran.or.id
Tim Redaksi
Setiap bulan Indonesia mengirim sekitar 60.000 tenaga kerja
baru ke pelbagai negara tujuan. Dari jumlah itu, 90 persen
bekerja di sektor informal, sebagai Penata Laksana Rumah
Tangga (PLRT). Tingkat pendidikan yang rendah, ditambah
dengan keterampilan yang minim menjadikan BMI sangat
rentan mengalami pelbagai persoalan di tempat kerja. Pada
tahun 2010, ada sekitar 70 ribu Buruh Migran Indonesia (BMI)
yang mengalami permasalahan di negara penempatan. Jika
dipersentasekan, itu berarti setiap bulan ada sekitar 6 ribu BMI
yang mengalami masalah. Tidak semua BMI yang mengalami
masalah berani dan melaporkan kejadian yang dialaminya
kepada pihak berwenang, sehingga jumlah 6 ribu tersebut
sangat mungkin bertambah.
Perlindungan BMI dapat dimulai dari Balai Latihan Kerja Luar
Negeri yang dikelola dengan baik. Ketentuan pelatihan 200 jam
atau 21 hari yang digagas oleh Kemnakertrans dan beberapa
PPTKIS serta asosiasi BLK merupakan salah satu terobosan
program yang bagus dan harus diapresiasi oleh semua pihak.
Namun, pertanyaannya, apakah ketentuan tersebut sudah
dibarengi dengan perubahan paradigma pengelola BLK,
peningkatan kualitas BLK, dan peningkatan kompetensi
instruktur. Jika belum ada perubahan pada tiga hal tersebut, kita
sangat psimis pada janji pemerintah yang ingin meningkatkan
kualitas BMI.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.
Salam Redaksi Cilacap
Komunitas Buruh Migran Gelar
Pelatihan Kerajinan TanganOleh: Ridlo Balasie
Penang g ung Ja wa b
Y ossy Suparyo
Muhammad Irsyadul Ibad
Pim pina n R eda ksi
Muhammad Ali Usman
Tim R eda ksi
Fika Murdiana
Hilyatul Auliya
Fathulloh
K ont ributor
14 PTK Mahnettik
A lam at R edaksi
Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A
Pandean Umbulharjo Y ogyakarta,
Telp/Fax:0274-372378
E-mail:[email protected]
Portal: http://buruhmigran.or.id
Penerbita n bulet in ini a ta s dukung a n:
Difasilitasi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam) NU Cilacap, Komunitas Buruh Migran Kesugihan Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah menggelar pelatihan keterampilan kerajinan tangan.
Selain itu, komunitas ini juga melakukan diskusi pemetaan potensi lokal yang
ada di desanya, Senin (31/1/11). Ketua Komunitas Buruh Migran Kesugihan,
Muslimah mengatakan rata-rata mantan buruh migran tidak memiliki
keahlian mengembangkan modal yang dimilikinya saat bekerja di luar negeri.
Karena itu, diperlukan upaya pelbagai pihak untuk mengembangkan keahlian
buruh migran agar modal yang didapat tidak habis dikonsumsi.
“Kebanyakan memang habis sebab mereka tidak tahu akan dikembangkan
dalam bentuk apa,”ujarnya. Memang tidak semunya habis dikonsumsi. Ada
buruh migran yang membuat rumah, membeli sawah, sapi, dan kambing.
Namun, buruh migran yang bisa mewujudkan dalam bentuk investasi ini
jumlahnya sangat sedikit. Pemetaan potensi desa dilakukan agar buruh
migran memahami bahwa di desanya banyak potensi bahan baku yang bisa
dikembangkan. Ini akan membuka kesempatan bagi buruh migran untuk
mengembangkannya.“Kebanyakan berpikir untuk kembali bekerja.
Sebaliknya, kami ingin agar buruh migran bisa mengembangkan usaha yang
bisa dimulai dengan usaha rumah tangga,”jelasnya.
Melihat potensi pasar kerudung yang begitu besar, Muslimah dan anggota
komunitas sepakat untuk berlatih memasang fanel untuk menambah daya
tarik kerudung dan meningkatkan nilai jual. Kerudung yang pada awalnya
berharga sekitar Rp. 12 ribu, setelah dipasangi fanel harganya akan
meningkat menjadi sekitar Rp. 20 ribu.
“Modalnya sedikit, tapi setelah dipasang dengan berbagai aksesoris harga
kerudung akan meningkat dengan sendirinya,”jelasnya. Muslimah berharap
agar tambahan ketrampilan yang dimiliki buruh migran bisa meningkatkan
pendapatan rumah tangga kendati dilakukan dari rumah.
Pegiat Komunitas Mantan Buruh Migran Cilacap saat mengikuti pelatihan membuat kerajinan tangan.
Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
02 | Sekilas Peristiwa
Kulon Progo
Setelah sempat mengalami kesulitan terhubung dengan akses
internet, kini Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK
Mahnettik) Kulon Progo yang dikelola oleh IWORK telah menggunakan
gedung baru yang terhubung dengan akses internet. Lokasi baru
tersebut sangat strategis, berada tepat di depan Pasar Jangkaran,
Kecamatan Temon Kulon Progo.
Melalui akses internet yang diperoleh lewat penyedia layanan internet
(internet sevice provider/ISP) dengan menggunakan antena yang
dipancangkan setinggi 10 meter, PTK Mahnettik Kulon Progo siap
melayani kebutuhan informasi dan pengetahuan teknologi bagi
masyarakat.
Fajar Purdiana, salah satu pengelola PTK Mahnettik, menyampaikan
dalam waktu dekat direncanakan Basecampnet (nama PTK Mahnettik)
memiliki 12 unit komputer dan 1 komputer server. "Saat ini ada enam
unit komputer yang siap digunakan," tuturnya di sela-sela pelatihan
kelola informasi buruh migran.
Kegiatan hari kedua pelatihan kelola informasi buruh migran di Kulon
Progo (29-31/01/2011) dilakukan di gedung baru PTK Mahnettik Kulon
Progo. Suasana saat pelatihan menunjukkan antusiasme yang tinggi
dari pegiat buruh migran di Kulon Progo untuk memanfaatkan
keberadaan PTK Mahnettik.
“Komputer dan internet hanyalah alat. Sama halnya sebuah cangkul
bagi petani. Apabila tidak dimanfaatkan, maka alat tersebut perlahan
akan rusak dengan sendirinya,”tutur Fathulloh dalam pelatihan.
Antusiasme juga ditunjukkan warga di luar Desa Jangkaran.
Keberadaan PTK Mahnettik selain melayani buruh migran dan
keluarga, kedepan juga menyediakan layanan internet untuk
masyarakat dengan biaya yang sangat terjangkau. (LMK)
Persoalan buruh migran sangatlah rumit untuk diurai. Persoalan tidak
hanya terjadi saat penempatan maupun setelah penempatan, akan
tetapi persoalan juga sering terjadi saat calon buruh migran tersebut
direkrut oleh Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS). Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi yang diterima
oleh calon buruh migran.
Oleh karena itu Pusat Tehnologi Komunitas (PTK Mahnettik) Lombok
Tengah memberikan Pelatihan Penggunaan Internet bagi buruh migran
di Desa Perentek Lombok Tengah (31/01/2011) yang diikuti oleh 20
orang peserta dari kalangan buruh migran dan calon buruh migran.
Pelatihan ini diharapkan mampu membangun kesadaran buruh migran
tentang pentingnya pemanfaatan media internet dalam upaya
perlindungan buruh migran. Menurut Burhan (25), pengelola PTK
Mahnettik Lombok Tengah, pelatihan ini merupakan ajang
memperkenalkan internet kepada buruh migran agar mereka mampu
mengakses informasi yang tepat sehingga tidak mudah tertipu oleh
janji-janji calo PPTKIS. Selain itu, setelah mereka sampai di negara
tujuan, mereka diharapkan mampu berkomunikasi dengan keluarga
melalui internet.
“Selama ini calon tenaga kerja sering kali tertipu oleh calo PPTKIS yang
disebabkan mereka tidak mempunyai sumber informasi yang benar
mengenai tata cara serta prosedur pemberangkatan TKI,”ungkap
Burhan.
Dalam kegiatan ini peserta diajarkan bagaimana mengirim email,
chatting, searching dan lain sebagainya, bahkan pengelola juga
menjelaskan bagaimana prosedur pemberangkatan yang benar. (Zarki)
Lokasi Baru PTK Mahnettik Kulon
Progo
Fajar Purdiana dan salah satu teknisi PTK Mahnettik Kulon Progo sedang mempersiapkan jaringan lokal antar komputer (LAN)
Lombok
PTK Mahnettik Lombok Tengah
Gelar Pelatihan Penggunaan
Internet Bagi Buruh Migran
Suasana pelatihan yang digelar PTK Mahnettik Lombok Tengah.
Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
03 | Jejak Kasus
PPK Mataram Perjuangkan
Pengembalian 3 Tahun Gaji Sakmah di MalaysiaOleh: Hilyatul Auliya
Baiq Halwati (berdiri), Direktur Perkumpulan Panca Karsa (PPK Mataram) dalam sebuah sesi pelatihan. Selain pelbagai pelatihan untuk mantan buruh migran dan keluarga, PPK Mataran juga mendampingi pelbagai kasus yang menimpa buruh migran di Lombok. (dok.infest)
Pada 2007 Sakmah bekerja di Malaysia sebagai Penata Laksana
Rumah Tangga (PLRT). Ia menyepakati kontrak kerja selama 3
tahun 3 bulan dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) yang memberangkatkannya. Akan
tetapi, dengan alasan sakit, pada tahun 2010 Sakmah
dipulangkan ke Indonesia tanpa digaji sepeser pun oleh
majikannya.
Selama bekerja di Malaysia, Sakmah hanya memiliki dokumen
berupa paspor dan surat keterangan dari dokter. Paspornya yang
bernomor AB 766421 dikeluarkan oleh Dinas Imigrasi Mataram,
dan berlaku dari 17 November 2006 sampai 17 November 2009.
Sedangkan Surat Keterangan Dokter/Rumah sakit dikeluarkan
oleh sebuah rumah sakit di Malaysia.
Diduga pelaku kejahatan yang menimpa Sakmah ada 3 orang,
yaitu Sahre yang berprofesi sebagai tekong/calo yang beralamat
di Dusun Tuntang, Desa Lepak, Kecamatan Sakra Timur; Kelvin,
salah satu agen di Malaysia yang beralamat di Taman Antek Efnu
Teluk Intan Perak, atau sekitar wilayah Menara Condong; dan
Ayap/Aleng sang majikan yang beralamat di Taman Antek Efnu
Teluk Intan. Di Malaysia Sakmah bekerja di rumah keluarga
Ayap. Ayap memiliki sebuah kedai makan sehingga Sakmah
harus bekerja di dua tempat, yaitu rumah Ayap dan di kedai
makan.
Di rumah, jam kerja Sakmah mulai pukul 08.30-18.00,
sedangkan di kedai makan jam kerjanya dimulai pukul 18.00-
02.00.
Memasuki kerja awal tahun keempat, Sakmah kemudian
dipulangkan dengan alasan sakit. Ayap mengantarkan Sakmah
ke agen yang mempekerjakan Sakmah. Sebelum mengantar
pulang, agen sempat memeriksakan kondisi Sakmah yang
sedang sakit. Entah dokter menyimpulkan sakit apa, yang pasti
Sakmah keluar tempat praktik dokter tanpa diberi obat secuil
pun. Setelah memastikan kondisi Sakmah, lantas agennya
mengantar pulang sampai ke Kota Dumai, Riau. Perjalanan dari
Malaysia ke Dumai ditempuah dengan menggunakan Pompong,
sebuah perahu kecil. Di dalam perahu hanya ada beberapa
orang, di antaranya Sakmah dan satu orang Melayu yang
berperan sebagai tekongnya.
Sesampai di Dumai Sakmah tidak tahu harus menemui siapa
dan tinggal di mana. Tidak sedikit pun uang ia miliki. Ia tidak
mengenal seorang pun di kota baru itu. Akhirnya, ia
memberanikan diri untuk mencari tumpangan tempat tinggal
dari satu rumah warga ke rumah warga lain. Beruntung, suatu
hari Sakmah bertemu Munah.
Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
04 | Jejak Kasus
Seorang perempuan yang dikenalnya secara tidak sengaja di
Dumai. Sakmah sempat beberapa hari tinggal di rumah Munah,
sebelum akhirnya Munah menelepon keluarganya di Masbagik
agar membantu menghubungi keluarga Sakmah dan
mengirimkan uang untuk biaya kepulangan Sakmah dari Dumai
ke Lombok Timur. Setelah mendapatkan kiriman uang dari
keluarga, Sakmah pulang ke Lombok Timur diantarkan oleh
Munah.
***
Kasus yang menimpa Sakmah ini memunculkan beberapa
pelanggaran hukum, yaitu UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 4; UU
RI No. 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Bab III tentang Hak dan
Kewajiban TKI pada pasal 8, yaitu setiap calon TKI mempunyai
hak dan kesempatan yang sama; Konvensi Internasional
Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya. Bagian III: Hak Azasi bagi semua buruh migran dan
anggota keluarganya.
Pertama, di dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 4
disebutkan: “Setiap orang yang membawa warga negara
Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik
Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Kedua, UU RI No. 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Bab III Hak
dan Kewajiban TKI pasal 8, “Setiap calon TKI mempunyai hak
dan kesempatan yang sama untuk:
(1) Bekerja di luar negeri; (2) Memperoleh informasi yang benar
mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI
di luar negeri; (3) Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang
sama dalam penempatan di luar negeri; (4) Memperoleh
kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta
kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan keyakinan yang dianutnya; (5) Memperoleh upah sesuai
dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan; (6)
Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama
dengan yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di negara tujuan; (7)
Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat
merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas
hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan selama penempatan di luar negeri;
(8) Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan
keamanan kepulangan TKI ke tempat asal; (9) Memperoleh
naskah perjanjian kerja yang asli.
Ketiga, Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua
Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Di dalam Bagian III
disebutkan: Hak Azasi bagi semua buruh migran dan anggota
keluarganya. Pasal 9, Hak atas hidup dari buruh migran dan
anggota keluarganya harus dilindungi oleh hukum. Pasal 11, ayat
2: Tidak seorang pun buruh migran dan anggota keluarganya
dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib.
Pasal 25 ayat 1: Buruh migran dan anggota keluarganya harus
mendapatkan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan
daripada yang diterapkan pada warganegara dari Negara tempat
bekerja dalam hal penggajian dan: a. Kondisi-kondisi kerja
lainnya, yakni uang lembur, jam kerja, istirahat mingguan, liburan
dengan gaji, keselamatan, kesehatan, pemutusan hubungan
kerja, dan kondisi-kondisi apa pun yang menurut hukum dan
praktek nasional dicakup dalam istilah ini.
“Selain 3 tahun gajinya tidak dibayarkan,
sukmah diterlantarkan di Dumai Riau,
perjalanan dari Malaysia ke Dumai
ditempuh dengan menggunakan
Pompong (perahu kecil)....”
Saat ini, kasus yang menimpa Sakmah sedang ditangani oleh
Perkumpulan Panca Karsa (PPK) Mataram. Sebuah lembaga
yang memiliki banyak program pada pemberdayaan kaum
perempuan, khususnya para buruh migran di Nusa Tenggara
Barat. Salah satunya adalah advokasi buruh migran yang sedang
mengalami berbagai permasalahan, baik pada masa
prapenempatan, masa penemtapan, maupun
pascapenempatan.
Hilya Auliya , Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat
Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
05 |Kajian
Memberdayakan BMI Melalui Peningkatan
Kualitas BLK-LN
Oleh: Muhammad Ali Usman
Banyak negara tujuan kerja Buruh Migran Indonesia (BMI) masih
mempertanyakan kualitas kemampuan tenaga kerja Indonesia.
Keraguan pada kualitas BMI ini sangat beralasan karena
keterampilan BMI masih kalah dari para pekerja asal Filipina dan
China. Pertanyaan dari negara pengguna jasa tersebut sangat
penting untuk direspons oleh pemerintah sebagai bagian dari
tanggung jawab pada peningkatan kualitas BMI. Respons
tersebut tidak hanya berupa respons pernyataan, namun harus
lebih konkrit, yaitu dengan melakukan evaluasi dan perbaikan
sistem pelatihan di Balai Latihan Kerja-Luar Negeri (BLK-LN).
Kelemahan paling mendasar BMI adalah pada sisi penyiapan
Sumber Daya Manusia (SDM). Pemerintah tampaknya sudah
cukup puas dengan BMI informal yang notabene banyak di sektor
Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Sektor yang selama ini
banyak menjadikan para BMI menjadi korban kekerasan. Di
sektor informal ini, jumlah BMI sekitar 90 persen dari sekitar 6
juta orang BMI. Mayoritas mereka bekerja di Malaysia, Arab
Saudi, Hongkong, dan Singapura. Sedangkan Filipina telah
menyiapkan tenaga kerjanya di sektor-sektor formal dan
strategis sehingga memperoleh gaji jauh lebih tinggi dibanding
gaji BMI.
Dalam bidang pekerjaan, tenaga kerja Filipina banyak bekerja di
kapal pesiar, tempat-tempat hiburan, dan hotel. Mereka sudah
disiapkan oleh pemerintah untuk memiliki keterampilan khusus
dan matang ketika datang ke negara penempatan.Mayoritas
mereka bekerja di bagian front office dan catering, sedangkan
BMI kebanyakan bekerja di bagian cleaning service dan
pekerjaan kasar lainnya.
Kelemahan lain BMI adalah mereka tidak memiliki sertifikasi
standar internasional, misalnya dalam keahlian pekerjaan dan
bahasa (Inggris) sehingga ketika dilakukan seleksi dan uji
kompetensi dengan tenaga kerja Filipina para BMI kalah siap.
Jika dibandingkan dengan Filipina, jumlah BMI lebih banyak dua
kali lipat. Menurut data BNP2TKI, jumlah tenaga kerja Indonesia
sekitar 6 juta orang, dengan besaran remitensi sekitar US$ 70
miliar pertahun. Bandingkan dengan tenaga kerja Filipina yang
berjumlah 8 juta orang dengan remitensi US$ 144 miliar.
Pada tahun 2009 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
mengeluarkan Permenakertrans No. 23/IX/2009 Tentang
Pendidikan dan Pelatihan Bagi Calon TKI yang menyebutkan
ketentuan pelatihan selama 200 jam atau 21 hari di BLK-LN.
Program pelatihan 200 jam tersebut merupakan hasil
kesepakatan antara tiga asosiasi PPTKIS dan asosiasi BLK pada
awal November 2009 lalu.
Keterlibatan tiga asosiasi BMI ini sangat penting karena mereka
juga berkepentingan atas pelaksanaan ketentuan wajib calon
BMI untuk mengikuti pelatihan 200 jam di BLK-LN.
Ditargetkan dari pelatihan ini akan dapat mengurangi
permasalahan BMI di luar negeri. Namun, hingga hari ini
peraturan tersebut masih belum dibarengi dengan sistem
pengawasan yang baik. Akibatnya, banyak pengelola PPTKIS
(Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) resmi
yang mengeluhkan persoalan banyaknya pelanggaran yang
dilakukan oleh PPTKIS abal-abal sehingga tentu saja yang sangat
dirugikan adalah PPTKIS resmi.
Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
06 | Kajian
Mereka menyaksikan banyak PPTKIS abal-abal yang
mengeluarkan sertifikat pelatihan BLK-LN bagi calon BMI
padahal yang bersangkutan tidak pernah melakukan pelatihan
200 jam. Ketua Himsataki, Yunus M. Yamani, juga mengatakan
saat ini muncul banyak penawaran dari sejumlah BLK-LN kepada
PPTKIS untuk mengikuti pelatihan TKI selama 3-7 hari dengan
biaya Rp. 700.000 perorang. Dengan mengikuti pelatihan ini
calon TKI tidak perlu lagi mengikuti pelatihan 200 jam. Lembaga
yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap setiap
peluang terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan
itu adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan
Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas,
Kemnakertrans RI. Dan Lembaga Sertifikasi Nasional (LSP) tidak
boleh mengeluarkan sertifikasi bagi calon BMI yang belum
mengkuti pelatihan 200 jam atau 21 hari di BLK.
Sebenarnya, setiap penyimpangan dari ketentuan program
kemnakertrans akan menjadi ancaman terhadap upaya
pemerintah dan semua pihak dalam memberikan perlindungan
terhadap BMI. Peraturan ketentuan pelatihan 200 jam bagi calon
BMI merupakan program yang sangat baik dalam upaya
memberikan perlindungan kepada para BMI. Kunci perlindungan
BMI dimulai dari pelaksanaan pelatihan BMI yang baik dan
benar di BLK-LN. Di antara faktor munculnya banyak
permasalahan yang melibatkan para BMI di negara penempatan
adalah karena BMI yang dikirim tidak mengikuti pelatihan di BLK-
LN sesuai standar pelatihan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang harus dilakukan di dalam
meningkatkan kualitas pelatihan BLK, yaitu orientasi target yang
jelas, infrastruktur pendukung yang memadai, dan instruktur
yang berkualitas. Pertama, perubahan orientasi. Banyak BLK yang
menyelenggarakan pelatihan hanya sekadar dalam rangka
melaksanakan kegiatan. Tanpa pernah melakukan analisis pada
kebutuhan calon pekerja, kebutuhan pasar, dan pengembangan
kualitas pelatihan. Apa yang dilakukan oleh BLK tersebut sangat
jauh berbeda dengan visi mereka, yaitu “menciptakan tenaga
terampil, ahli, produktif, dalam berbagai bidang ketrampilan
serta berdaya saing tinggi”. Pertanyaannya, bagaimana mungkin
BMI kita dapat memiliki daya saing tinggi jika orientasi pelatihan
di BLK masih jauh dari orientasi hasil (output), lebih-lebih
berorientasi keluaran (outcome).
Menurut data BNP2TKI, pada akhir tahun 2010 ada sekitar 70
ribu BMI yang sedang mengalami berbagai permasalahan di luar
negeri. Munculnya berbagai permasalahan ini tidak dapat
dilepaskan dari lemahnya pelatihan yang diberikan kepada BMI
sebelum mereka bekerja di negara penempatan. Sebenarnya,
perlindungan BMI di luar negeri dimulai dari BLK. Dengan
penyelenggaraan pelatihan dan pembekalan pengetahuan yang
baik, para BMI akan berdaya di tempat kerja. Mereka sudah
mengetahui akan melakukan tindakan apa jika suatu saat
menghadapi persoalan. Oleh karena itu, jika ingin benar-benar
memberikan perlindungan kepada BMI,
maka pengelola BLK harus segera mengubah pola pikir dan
orientasi kerjanya. Kedua, pembenahan infrastruktur BLK. Banyak
gedung BLK yang tidak memenuhi standar kualitas sebagai
tempat pelatihan. Menurut catatan, saat ini Depnakertrans
memiliki 11 BLK UPTP (Unit Pelaksana Teknis Pusat
Depnakertrans) dan 171 BLK yang dikelola UPTD (Unit Pelaksana
Teknis Daerah) di seluruh Indonesia. Data BNP2TKI juga
menyebutkan, dari penelusuran tim BNP2TKI pada 2007,
terdapat 86 BLK Luar Negeri swasta dari 181 BLK-LN dinilai tidak
memenuhi standar sebagai tempat pelatihan BMI. Sebenarnya,
tim BNP2TKI melakukan penelusuran terhadap 260 BLK-LN di
seluruh Indonesia, namun 79 BLK-LN tidak dapat dilacak karena
alamat BLK-LN tidak ditemukan dan bahkan sudah ada yang
beralih fungsi, sehingga yang dapat dilakukan rating hanya
sebanyak 181 BLK-LN.
Ketiga, instruktur yang berkualitas. Instruktur menjadi bagian
terpenting dalam proses pelatihan BMI. Seorang instruktur BLK
memiliki tanggung jawab yang cukup besar. Ia bukan hanya
sebagai pelengkap BLK. Selain mengajarkan keterampilan, ia
juga dapat menyampaikan informasi tentang seluk beluk
pekerjaan yang akan dijalani oleh para calon BMI dan juga dapat
menjadi seorang motivator. Dengan demikian, setiap instruktur
di BLK-LN harus sudah lulus uji kompetensi, karena hal ini
merupakan kunci dalam peningkatan kualitas BMI di luar negeri.
Kita tidak dapat menuntut para BMI mempunyai kompetensi
kerja tinggi jika instrukturnya tidak memiliki kompetensi.
Pelatihan yang dilakuakn tanpa arah, tujuan, dan metode yang
jelas atau hanya sekadar formalitas justru akan menghilangkan
hak-hak calon BMI. Sangat disayangkan jika sudah memiliki
fasilitas bagus, namun instrukturnya tidak berkompeten. Kondisi
BLK-LN yang memprihatinkan dan krisis kualitas dan kuantitas
instruktur yang ada di BLK sudah sampai pada tingkat yang
sangat mengkhawatirkan. [MAU]
Suasana pelatihan kerja di BLK-LN Bumenjaya Eka Putra, Jalan Inpres No.47, Kp. Tengah, Kramat Djati, Jakarta Timur. (sumber: portal BLK-LN Bumenjaya)
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
Calon Buruh Migran (BM) telah mengupayakan banyak hal
agar bisa membiayai keberangkatannya ke luar negeri, mulai
dari mencari pinjaman uang, menggadaikan sawah, hingga
menjual barang berharga miliknya. Alasan utama mereka
adalah untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Pada proses persiapan pemberangkatan, calon BM akan
mendapat pendidikan dan pelatihan keterampilan di Balai
Latihan Kerja (BLK) milik perusahaan yang akan
memberangkatkannya. BLK atau yang lebih familiar disebut
penampungan memilki peran yang sangat besar dalam
meningkatkan kualitas calon buruh migran yang akan
berangkat ke luar negari. Salah satu persoalan besar
penanganan buruh migran di Indonesia adalah rendahnya
kompetensi tenaga kerja kita. Ibarat pasukan perang (dalam
bahasa pemerintah pahlawan devisa), Buruh Migran
Indonesia (BMI) terus dikirim tanpa bekal keterampilan yang
memadai. Kondisi ini tidak ayal menjadi pemicu munculnya
pelbagai permasalahan yang menimpa BMI di negara
penempatan.
07 | Kajian
Melahirkan BLK-LN Berbasis Kompetensi dan
Proses TerbukaOleh: Fathulloh dan Hilya Auliya
Jika mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan pelatihan
Kerja bagi calon Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri maka
BLK diharuskan memiliki izin dari Lembaga Akreditasi
Lembaga Pelatihan Kerja (LALPK) dan memiliki program
diklat calon BMI yang berorientasi pada standar kompetensi
kerja dalam bentuk kurikulum dan silabus diklat calon BMI
yang dikemas dalam bentuk modul.
Salah satu syarat calon BMI bisa bekerja ke luar negeri
adalah kompetensi kerja. Oleh karena itu, calon BMI juga
diharuskan mengikuti proses belajar yang ada di BLK.
Kompetensi yang telah dimiliki tersebut diuji oleh lembaga
sertifikasi profesi yang berwenang sesuai peraturan
perundang-undangan.
Tahap selanjutnya adalah evaluasi pendidikan dan latihan
(Diklat) calon BMI yang meliputi: program, penyelenggaraan,
dan luaran. Evaluasi program meliputi kurikulum, silabus,
dan modul pelatihan. Evaluasi penyelenggaraan meliputi:
instruktur, tenaga pelatihan, sarana, fasilitas, dan
Suasana pelatihan kerja di BLK-LN PT Catur Citra Utama Karya..
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
08 | Kajian
pendanaan. Evaluasi luaran menyangkut jumlah peserta
yang dilatih dengan hasil uji kompetensi. Evaluasi
dilaksanakan oleh Direktur Jenderal, Kepala dinas provinsi,
dan Kepala dinas kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
Evaluasi menjadi kerja penting pemerintah untuk
memamtau, mengawasi, dan bersikap tegas atas proses
belajar yang dilangsungkan di setiap BLK. Jika selama ini
masih banyak BLK berperan sebatas sebagai tempat
penampungan calon BMI dan dikesankan suram seperti
penjara, di mana kegiatan BLK sangat tertutup, dan
memunculkan banyak tindak pelanggaran hukum dan HAM.
Dengan demikian, proses evaluasi yang dilakukan
pemerintah diharapkan menjadikan pelbagai proses
pendidikan di BLK semakin terbuka. Proses yang terbuka
atau dapat terpantau oleh publik akan mendukung proses
peningkatan standar kompetensi calon BMI.
Sinergi antara calon BMI, proses pelatihan, uji kompetensi,
dan evaluasi adalah mata rantai yang tidak bisa terputus,
agar daya tawar dan serapan lapangan kerja di luar negeri
meningkat dan lebih spesifik bidang-bidang kerja dengan
kompetensi khusus.
Secara langsung, kapasitas atau keahlian calon BMI yang
meningkat akan meningkatkan pula kesejahteraan yang
mereka dapatkan.
Persoalan kompetensi calon BMI adalah pilihan tegas yang
harus diambil pemerintah. Aparatur pemerintah yang
selama ini menaungi PPTKIS bermasalah dan mendapat
keuntungan dari kegiatan tersebut harus ditindak.
Menjalankan standar kompetensi harus diikuti kebijakan
tegas, PPTKIS yang tidak mampu memenuhi standar harus
dicabut izin usahanya. Kondisi demikian adalah kondisi
ideal yang kita harapkan, namun kita masih menjumpai
kondisi yang berbanding terbalik dengan kenyataan
sebenarnya.
Runtutan pola ideal dari proses kompetensi yang dihadirkan
BLK adalah bagian dari upaya perlindungan BMI. Kemudian
pertanyaan yang muncul adalah maukah lembaga-lembaga
pemerintah yang berwewenang terkait BM untuk
berkoordinasi dan merespons permasalahan ini dengan
cepat? atau apakah kita akan terus bertahan dengan pola-
pola lama yang dengan manis diungkapkan pemerintah
melalui kata "pahlawan devisa"?. (LM-HA)
Sejumlah Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS) di Cilacap, Jawa Tengah diduga melakukan
praktik perdagangan manusia (trafficking). Dugaan ini muncul
setelah diadakan razia yang dilakukan Kepolisian Resor
Cilacap (Polres).
Kepala Bidang Pembinaan Penempatan dan Pelatihan
Produktivitas (Bina Pentad dan Lattas) Dinsosnakertrans
Cilacap, Sutiknyo mengatakan sejumlah PPTIKIS ini
melakukan usaha ilegal pemberangkatan buruh migran.
Indikasi trafficking bisa ditengarai dari sejumlah prosedur
yang tidak dilalui oleh PPTKIS yang seharusnya dilakukan
dalam proses pemberangkatan buruh migran. Paling kentara,
menurut dia, beberapa PPTKIS melakukan pemalsuan
identitas diri calon buruh migran.“Antara KTP dengan
paspor dan persyaratan lainnya berbeda,”katanya. Indikasi
lain juga terlihat dari pemalsuan umur yang dilakukan oknum
di PPTKIS untuk memberangkatkan calon buruh migran di
bawah usia 21 tahun.
Padahal, dalam Undang-undang No: 39/2004, usia BMI
(Buruh Migran Indonesia) PLRT (Penata Laksana Rumah
Tangga) ini ditentukan 21 tahun. Jadi, jika ditemukan BMI
PLRT yang usianya belum genap 21 tahun, maka bisa
dikenakan pasal pemaksaan dengan memalsukan usia,
pelakunya bisa dikenakan pasal pidana trafficking. Direktur
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
(Lakpesdam) NU Cilacap, Hazam Bisri meminta agar
Pemerintah dan Kepolisian segera menindak tegas PPTKIS
yang diduga melakukan trafficking. Selain itu, dia juga
meminta agar segala aktifitas PPTKIS dihentikan secara
paksa sambil menunggu proses hukum yang sedang
berlangsung.“Ini untuk melindungi calon buruh migrant kita.
Soalnya jika tetap berkegiatan maka PPTKIS bersangkutan
tidak akan jera,” jelas Hazam.
Sejumlah PPTKIS di Cilacap
Diduga Lakukan TraffickingOleh: Ridlo Balasie
Ipul, Fasilitator Lakpesdam NU Cilacap sedang memberikan pegarahan Migrasi
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
09 | Inspirasi
Sebuah Catatan Tentang Kondisi PenampunganOleh: Narsidah
Balai Latihan Kerja (BLK) merupakan tempat penampungan
calon buruh migran yang dikelola oleh Perusahaan Penyalur
Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Keberadaan BLK
seharusnya memenuhi standar prosedur sesuai dengan
peraturan pemerintah. Selama berada di BLK calon buruh
migran berhak mendapat pelbagai bekal pendidikan dan
keterampilan.
Memperbincangkan BLK sering kali kita akan menemukan
kondisi dimana masih sangat banyak BLK yang beroperasi
tanpa mengikuti peraturan. Masih banyak penampungan
yang memperlakukan calon buruh migran seperti barang
dagangan, hal ini disebabkan jumlah calon buruh migran
yang terus didatangkan setiap saat tanpa mempedulikan
kapasitas BLK.
Berikut catatan Saya, Narsidah, mantan buruh migran asal
Banyumas selama berada di penampungan, sebelum
berangkat ke Hongkong dan saat gagal berangkat ke Taiwan.
Perjalanan menuju penampungan dimulai setelah calon
buruh migran yang direkrut calo atau sponsor asal
Purwokerto terkumpul, kemudian mereka diantar menuju
penampungan PPTKIS di Jakarta. Pertama kali Saya masuk
penampungan, Saya sangat kaget melihat banyak sekali
orang didalam dan melihat kondisi ruangan yang serba
semrawut.
Kegiatan pertama yang dilakukan setelah tiba di
penampungan adalah memotong rambut. Semua calon
buruh migran harus berambut pendek tanpa terkecuali,
sehingga ketika tiba di Hongkong, majikan saya sempat
bertanya “Mengapa buruh migran yang baru datang dari
Indonesia rata-rata berambut pendek?, apa tidak boleh
memanjangkan rambut?”.
Setelah itu, dilakukan test kesehatan (medical check up),
bagi calon buruh migran yang tidak lulus tes kesehatan akan
dipulangkan oleh sponsor, namun yang dinyatakan lulus tes,
akan dilanjutkan dengan pengisian formulir kesiapan bekerja
di Singapura, Hongkong, Taiwan, dll (sesuai dengan negara
yang dituju). Formulir kesiapan kerja berisi daftar pertanyaan,
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
misal mampu melakukan kerja apa saja? (merawat bayi atau
orang tua jompo?), mampukah mengerjakan pekerjaan
rumah tangga, memasak, tidak takut dengan anjing, bersedia
memegang daging babi, dll.
Semua calon buruh migran wajib menaati peraturan yang
ditentukan oleh PPTKIS, mengikuti belajar bahasa Inggris
dan praktek kerja, melaksanakan piket, tidak boleh keluar
dari dalam penampungan, tidak boleh menerima telepon
kecuali hari Sabtu dan Minggu, menerima tamu hanya
diperbolehkan setiap hari Sabtu dan Minggu, bagi yang
membawa HP harus dititipkan pada penjaga asrama dan
akan diberikan pada hari Sabtu dan Minggu.
Bagi calon buruh migran, setiap mereka melakukan
kesalahan, baik saat belajar maupun menjalankan tugas-
tugas di penampungan akan dikenai sanksi, seperti
hukuman berdiri di depan murid-murid yang lain,
mengangkat ember yang berisi pasir dan dibawa naik turun
tangga hingga berulang kali.
Calon buruh migran tidak bisa menolak dan harus menerima
kondisi penampungan yang sangat memprihatinkan. Mereka
hanya tidur beralas tikar dan berdesak-desakan, bantal yang
tersedia sangat terbatas, hampir setiap malam ada yang
berkelahi karena berebut bantal. Selain bantal, air juga
menjadi masalah karena penampungan yang dihuni ratusan
orang, airnya tidak mencukupi, sehingga setiap pukul tiga
pagi, calon buruh migran sudah harus berjuang berebut air
untuk mandi dan mencuci pakaian. Makanan yang
disediakan oleh penampungan juga sangat tidak cukup dan
tidak memenuhi standar gizi.
Pagi hari, menu sarapan kami hanya sepotong singkong,
siang hari sepiring nasi dengan lauk ikan asin dan sayur yang
sangat terbatas. Kami harus menambah makanan dengan
membeli dari luar melalui lubang kecil yang hanya bisa
dimasuki tangan untuk bertransaksi.
Proses selanjutnya adalah pembuatan paspor bagi calon
buruh migran secara kolektif. Ketika sudah dipastikan
mendapat majikan, seorang calon buruh migran kemudian
diminta menandatangani kontrak kerja. Saat pengurusan
dokumen tersebut, oleh petugas PPTKIS, calon buruh migran
hanya ditunjukan bagian-bagian mana saja yang harus
dibubuhi tandatangan, tanpa dijelaskan apa isi dari kontrak
kerja tersebut.
Selama empat bulan di penampungan, akhirnya saya
terbang ke Singapura bersama tiga orang calon buruh migran
dari penampungan yang sama. Sesampainya di bandara
Singapura saya dijemput oleh pegawai agen tenaga kerja di
sana dan diajak ke kantornya. Saya sempat menginap satu
malam di rumah agen dan paginya diantar ke rumah majikan
di daerah Tanjung Katong. Sampai di rumah majikan,
ternyata sudah ada satu orang Indonesia yang bekerja
khusus merawat bayi (cucu majikan saya).
Saya bekerja di rumah bungalow tiga lantai dengan jumlah
anggota keluarga sepuluh orang (delapan perempuan dan
dua laki-laki). Pekerjaan saya dimulai dari pukul 05.00
sampai pukul 02.00 dini hari. Diawali dengan
membangunkan anak majikan, kemudian menyiapkan
sarapan, mencuci 4 mobil, membersihkan rumah, memasak,
mencuci serta menyetrika pakaian, merawat kebun,
merawat tiga ekor anjing, pergi ke pasar belanja sayuran,
merekam acara TV kesukaan anak majikan yang sedang
sekolah di Australia, dll.
Di rumah majikan, saya mendapat makan yang cukup dan
gizi penuh, fasilitas kamar tidur dengan kamar mandi sendiri.
Penerimaan gaji setiap bulan melalui bank atas nama saya
sendiri. Setiap enam bulan sekali saya diwajibkan
melakukan tes kesehatan, biaya ditanggung oleh majikan.
Komunikasi dengan anggota keluarga majikan terjalin
dengan baik (akrab). Jika ada masalah dengan pekerjaan
bisa diselesaikan dengan baik. Setiap saat saya juga
diperbolehkan mengakses berita melalui televisi saat siaran
berita dan membaca koran, kususnya berita tentang
Indonesia.
Namun demikian, pekerjaan yang begitu banyak dan jarak
yang jauh, membuat saya tidak kuat dan tidak betah. Saya
tidak mendapatkan libur sama sekali. Sering ketika mencuci
mobil saya menyambung tidur sebentar di dalam mobil.
Pernah suatu ketika majikan mencari-cari saya, melihat ada
sepasang sandal di samping mobil, akhirnya majikan
menemukan saya sedang tidur di dalam mobil, beruntung
majikan memaklumi dan saya langsung meminta maaf.
Pagi hari, menu sarapan kami
hanya sepotong singkong, siang hari
sepiring nasi dengan lauk ikan asin
dan sayur yang sangat terbatas.
Sebulan sekali, saya mengirim surat pada orang tua atau
menelpon dari telepon umum. Setiap menelpon atau
menerima surat dari keluarga di rumah, saya pasti menangis
ingin sekali pulang. Selama bekerja saya selalu berpikir ingin
pulang terus, namun tidak mengerti bagaimana caranya.
Setelah masa kerja saya mendekati satu tahun, saya
memberanikan diri berbicara dengan majikan, agar mau
mengembalikan saya ke Indonesia. Majikan berjanji akan
10 | Inspirasi
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
mengembalikan saya setelah ada penggantinya, setelah
menunggu satu bulan pengganti saya tidak datang juga. Saya
kembali minta dipulangkan, akan tetapi jawaban yang saya
terima berbeda, majikan mengingatkan saya, kondisi di
Indonesia sedang rusuh, banyak kejahatan.
Majikan memberi tawaran kalau sekadar ingin pulang
melepas rindu dengan orang tua, majikan akan mengijinkan
saya. Dia bersedia membelikan tiket pesawat pulang pergi
tanpa memotong gaji. Namun saya tetap menolak, saya
hanya ingin pulang. Akhirnya majikan bertanya pesawatnya
mau lewat Jawa Tengah atau Jakarta? saya memilih lewat
Jakarta, karena belum tahu bandara di Jawa Tenah. Selang
beberapa hari majikan memesankan tiket, saya sangat
gembira sekali akhirnya bisa pulang ke Indonesia.
“Calon BMI yang berada di
penampungan tidak serta merta
dipulangkan apabila tidak lolos
seleksi ke Taiwan, bagi PPTKIS,
mereka masih bisa dikirim ke
Singapura atau Malaysia”
Setelah pulang dari Singapura, saya kembali berkumpul
dengan orang tua dan saudara, namun tidak lama kemudian
calo atau sponsor kembali datang ke rumah dan
menawarkan bekerja ke Taiwan. Sponsor yang datang ke
rumah terus merayu saya, “kalau ke Taiwan gajinya lebih
besar beberapa kali lipat dari Singapura. Namun ada biaya
sebesar lima juta, biaya bisa dibayar setengah dulu. Sisanya
dibayar setelah menerima gaji di Taiwan. Itu sudah termasuk
pengurusan dokumen,” begitu rayunya.
Hanya tiga bulan di rumah, Febuari 2000, saya kembali
ditampung di penampungan, kali ini di PPTKIS Pademangan
Semesta Lestari. Seperti pengalaman berangkat ke
Hongkong, segala persyaratan di urus oleh sponsor sehingga
tidak tahu persis apa saja yang diperlukan. Di penampungan
tersebut, PPTKIS tidak hanya mengurus calon buruh migran
yang akan bekerja ke Taiwan saja, tetapi calon buruh migran
yang akan ke Singapura dan Malaysia juga diproses di
penampungan tersebut.
Calon buruh migran yang diprioritaskan untuk diberangkatkan
ke Taiwan adalah orang-orang yang memiliki pengalaman
bekerja di luar negeri. Apabila ada calon buruh migran yang
akan bekerja di Taiwan namun tidak memenuhi standar
PPTKI, maka dipindah ke Singapura atau ujung-ujungnya
diberangkatkan ke Malaysia. Pertimbagan PPTKIS adalah
apabila ada calon buruh migran yang sudah sampai di
Jakarta mengapa harus dipulangkan lagi ke kampung.
Jumlah calon buruh migran di penampungan kali ini lebih
banyak, hampir empat ratus orang. Rata-rata pegawainya
bersikap kejam, khususnya pegawai perempuan kepada
calon buruh migran yang dianggap melakukan kesalahan.
Misalnya, jika ada calon BMI yang tidak bisa mengerjakan
tugas saat belajar bahasa atau praktek kerja lainnya,
langsung di beri hukuman berlari naik turun tangga sampai
sepuluh kali atau disuruh berdiri di depan teman-temanya.
Proses di BLK ini sangat lamban, tidak diketahui apa
penyebabnya. Banyak calon buruh migran yang sudah tiga
bulan ditampung, belum sampai ke proses pembuatan
paspor. Ada juga yang sudah setahun lebih tidak diupayakan
untuk mendapatkan majikan, tapi justru dipekerjakan di
rumah orang lain dengan alasan praktek kerja atau mencari
uang saku karena sudah kehabisan.
Terkait fasilitas, air untuk mandi dan mencuci baju juga
sangat terbatas, harus berebut karena tidak mencukupi. Juga
sangat kotor dan banyak cacing, apalagi air untuk minum,
sama sekali tidak mencukupi sehingga saya harus membeli
air untuk minum sendiri. Dengan jumlah orang yang banyak
sementara bantal untuk tidur sangat sedikit, bantal satu
harus digunakan dua orang. Seperti pengalaman di
penampungan sebelumnya, persoalan bantal juga sering
menimbulkan keributan. Setiap kali menjelang tidur selalu
ada beberapa orang yang ribut karena berebut bantal. Selain
itu, di penampungan juga tidak disediakan kasur. Begitu juga
dengan makanan, jatah makan yang diberikan sangat sedikit.
Narsidah (kanan), saat berada di Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnetti) yang dikelola bersama pegiat Paguyuban Seruni lainnya. Narsidah juga aktif dalam pelbagai pendampingan kasus buruh migran di Kabupaten Banyumas.
11 | Inspirasi
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Januari 2011
““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.
Redaksi menerima pelbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima pelbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Mahnettik dan pegiat buruh migran lainnya melalui email: Mahnettik dan pegiat buruh migran lainnya melalui email:
[email protected]@buruhmigran.or.id““
Dengan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan, PPTKIS
masih saja melakukan perekrutan. Akhirnya, jumlah
penghuni BLK semakin bertambah dan terus bertambah,
sedangkan jumlah orang yang diberangkatkan ke luar negeri
sangat sedikit. Orang-orang yang ada hanya dijadikan
persediaan, tanpa kepastian berangkat atau tidak.
Semakin lama ditunggu semakin tidak ada kepastian,
khusunya bagi calon buruh migran yang akan ke Taiwan,
mereka merasa semakin dirugikan, banyak waktu yang
terbuang. Melihat kondisi tersebut kami berlima (Saya,
Wahyuni, Puji, Leni, dan Atun) mulai merancang sebuah
rencana, setelah satpam tertidur, kami mengumpulkan
teman-teman yang lain untuk diajak diskusi, dengan
menggunakan penerangan lilin.
Rencana dimulai dengan mendata kondisi penampungan
yang tidak layak, proses yang tidak jelas, mendata orang-
orang yang sudah lebih dari satu tahun di penampungan agar
segera diproses.
Pada malam kedua, diskusi diketahui oleh satpam yang
sedang tugas berkeliling. Akhirnya rencana mendekati
pegawai PPTKIS dan mogok mengikuti kegiatan belajar pun
gagal. Saat bangun tidur semua pintu sudah dikunci gembok,
kondisi tersekap, suasana menjadi panik, banyak yang
menangis histeris. Setelah itu, salah satu pintu berhasil
dibobol, karena kunci gembok dibakar menggunakan korek
sehingga bisa terbuka.
Semua orang yang ada di dalam lari keluar halaman sambil
menangis. Dengan akal yang ada kami membuang tulisan-
tulisan ke luar pagar yang isinya meminta bantuan supaya
diteleponkan ke polisi atau lembaga yang bisa membantu.
Kebetulan ada seorang warga disekitar penampungan yang
mengetahui salah satu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di
Jakarta yang bekerja untuk perlindungan buruh migran,
lembaga tersebut adalah Center for Indonesian Migrant
Workers (CIMW),
tidak lama kemudian datang tim dari CIMW mengevakuasi
kami dan membantu menghubungkan dengan pihak PPTKIS
berkaitan dengan tuntutan yang kami ajukan. Khususnya
calon buruh migran yang dijanjikan akan diberangkatkan ke
Taiwan, tim CIMW meminta agar uang yang sudah
dibayarkan dikembalikan seluruhnya. Semua dokumen
dikembalikan dan calon buruh migran yang berada di
penampungan selama setahun lebih, harus dipulangkan
tanpa dipungut biaya.
Diskusi kemudian menjadi alot, PPTKIS tidak mau memenuhi
semua tuntutan kami, khususnya tentang pengembalian
uang. Mereka beralasan uang tersebut dibawa oleh sponsor.
Kesepakatan soal pengembalian uang akhirnya kami terima
setelah dua minggu. Sponsor kemudian mengembalikan
uang calon buruh migran yang akan ke Taiwan. Selama satu
minggu sebelumnya, kami melakukan perundingan dengan
PPTKIS, selama itu pula kami selalu berpindah-pindah
tempat tidur. Setiap hari pegiat CIMW harus mencari
dermawan-dermawan yang mau membantu untuk makan
dan menginap. (Narsidah)
Na rs ida h, Mantan buruh migran asal Kabupaten
Banyumas yang kini bergiat di Paguyuban Perlindungan
Perempuan dan Buruh Migran “Seruni” Banyumas.