feminism e
DESCRIPTION
lampiran lalaTRANSCRIPT
Feminisme
"Masya Allah... Itu kan jauh dari sini, lagi pula di daerah sana tidak ada bank." kata
Bianti dalam hati.
Maka, gagallah misi kemanusiaan Bianti untuk membantu Ibu yang sedang sakit.
Celakanva lagi, Bianti sama sekali tidak bercerita pada Gabriel tentang keinginanny
menyetorkan sebagian tabungan hasil tarik suara untuk membantu Ibu yang sedang dirawat di
rumah sakit. Ada kekhawatiran dalam hati Bianti, jangan-jangan Gabriel dan Maini mengir
uang tabungannya cukup besar. Padahal kenyataannya, sampai saat itu Bianti baru memiliki
dua ribu sembilan ratus Euro. Ia akan menyimpan yang sembilan ratus Euro untuk dirinya.
siapa tahu kapan-kapan ia ingin membeli sesuatu yang agak mahal, yang nantinya bisa dibawa
pulang ke Indonesia.
Sebetulnya, kalau saja Bianti mau berterus terang pada Gabriel dan meminta tolong
mengirimkan uang ke Ibu, urusan itu pasti sudah beres sejak beberapa hari lalu. Tetapi Bianti
khawatir Gabriel yang pada dasarnya amat baik hati akan menambah beberapa ratus Euro dari
dompetnya, sementara Bianti tahu pengeluaran selama ada Mami juga membengkak. Belum
lagi dua kali tawaran menyanyi terpaksa ditolak Bianti gara-gara tidak enak meninggalkan
Mami sendirian di apartemen yang sempit. Walaupun Mami tidak mengucapkannya terang-
terangan, Bianti merasa setiap kali ia berpapasan dengan Mami di ruang duduk yang hanya
3x3 dan tersmbung ke ruang makan yang hanya 2,5x 1,5 m atau bila kebetulan mereka hendak
masuk ke ruang mandi yang hanya satu-salunya, Mami selalu tertawa lebar penuh pengertian.
lalu, dalam kepala Bianti tergambar ruang tamu rumah Mami yang berukuran 8x8 m dan
ruang makan yang berukuran 5x6 m. Dengan pemikiran seperti itu, mana mungkin Bianti tega
meninggalkan Mami di rumah sementara ia menyanyi, walaupun sudah dapat dipastikan ia
akan membawa uang setelah acara usai.
betul dugaan Gabriel, tidak sulit memajukan tiket Manii dan membeli satu tiket tambahan
untuk Bianti. Akhirnya, keesokan harinya. berangkatlah mereka ke airport diantar oleh
Gabriel. Di pesawat Bianti memejamkan mata dan berdoa, "Ya Tuhan, Engkau selalu
memberkan yang terbaik. Pada awalnya aku menggurutu setiap hari karena tidak bisa
mengirim uang pada Ibu. tetapi hari ini Engkau perbolehkan aku menemui Ibu. terima kasih,
Tuhan!"
Begitu Bianti membuka matanya, Mami bertanya, "kamu berdoa, ya?"
"Ya, Mam, bersyukur pada Tuhan, bisa menengok Ibu." Kalimat berikut hanya diucapkan
Bianti dalam hati, walaupun sayang juga uangnya untuk membeli tiket kelan bisnis. lebih baik
untuk menambah uang yang akan diserahkan pada Ibu. Rasanya aku nggak keberatan duduk
di kelas Ekonomi, walaupun jauh dari Mami.
Setelah berada di dalam rumah, Arleen segera memutar nomor telepon Ari untuk
menceritakan apa yang baru terjadi. Baru saja ia mengatakan "halo", Ari dengan kesal
berkata, "Ya, ya, aku sudah tahu kok. Mama datang ke rumah dan membunyikan klakson
mobilnya keras-keras, kan? Lalu tetangga kita pada melongok keluar? Memang keterlaluan
kok mamamu itu. Udah suaranya meleking-lengking seperti anak anjing mencari induknva,
eh, masih ditambah dengan membunyikan klakson mobil. Aku tadi sudah menegur Mama
dengan nada keras. Ya maaf saja, Leen, kalau selama ini tidak ada yang menegur mamamu,
tadi aku sebagai menantu mencoba mendidik Mama yang umurnya dua kali umurku. Terserah
Mama mau berpendapat bagaimana, buatku nggak penting. Yang lebih penting, hubungan kita
dengan tetangga tetap baik." Ada nada kesal dalam suara Ari.
Dengan tersenyum Arleen menyahut, "Terima kasih untuk waktu dan kesempatanmu
memberikan pelajaran pada Mama. Memang perlu sekali ada yang menasihati Mama, karena
gara-gara bunyi klakson mobilnya tadi Pak Abu anval jantungnya. Jadi sudah seharusnya
Mama diperingatkan. Trims ya," sahut Arleen sambil menutup telepon.
Di seberang sana, di ruang kantor yang sibuk. Ari sedang termenung. Sakit jantung
Pak Abu kumat.? Ah, kalau begitu mending kutelepon Mama sekak lagi. katanya dalam hati
sambil memencet nomor telepon Mama. pelajaran yang kedua harus lebih keras, pikirnya
sambil menunggu Mama mengangkap telepon.
"Kan memang Dami orangnya pemaaf toh, Bu, nggak seperti Ibu yang gampang korslet
karena legangannya tinggi. Lagi pula, kulihat Dami juga sayang sama si Blekis. Coba lihat,
kalau Minggu pagi kan Dami dan Detty yang mengajak Blekis jalan-jalan, bukan Gino."
"Hhhh... Ya begitu deh, kalau punya istri manja."
"Lho, manja bagaimana sih, Bu?"
"Ya manja dong, kalau minta apa-apa diturutin. Minta anjing, dibeliin," kata Ibu sewot.
Rupanya saling heran di antara Ibu dan Muti terus berlanjut, dan bagaikan rel kereta api di
mana pun, keduanya sejajar berdampingan. Seperti siang itu ketika Muti hendak mengambil
pisang dari tempat buah di atas kulkas, ia mendengar Ibu bersenandung, "Yen ing tawang ana
lintang" dengan nada halus mendayu-dayu. Dengan maksud baik Muti berujar, "Wow, suara
Ibu seperti Waljinah, ya..." Tetapi entah kenapa komentar itu membuat Ibu merasa tidak enak.
"Ibu tersinggung tadi Muti mengatakan Ibu kuper. Coba kamu jelaskan padanya bahwa Ibu
bertahun-tahun menjadi koordinator Dharma Wanita di kantor Bapak dan mengunis segala
hal. mulai dan piknik karyawan sanipai pertunjukan seni untuk menggalang dana
kemanusiaan. Mana mungkin ibu kuper? untuk mengurus surat-surat izin, Ibu sendiri yang ke
Polda, Dinas Pariwisata, dan lain-lain..."
berakhir dan ia kembali bekerja. Menu makan siang hari itu gudek ayam dengan sambel
goreng krecek serta lalap. ibu nyetel CD wayang orang Bharata yang suaranya sengaja agak
dibesarkan. Rupanya Ibu malah kesulitan mendengar kata-kata mud karena terhalang volume
suara CD itu.
"Ibu jangan terlampau keras menyetel gending- gending Jawa, saya juga sekarang kalau
mendengar musik di kamar memakai headphone kok," jawab Muti enteng.
Ibu terdiam. Masih ada rasa jengkel yang bertengger di hatinya. mengapa anak muda sok teu
ini berani menasehati aku,ya?
"Tapi, ngomong-ngomong, nanti kalau kami pindah. saya boleh pinjam salah salu CD
gending Jawa Ibu. ya? Biar telinga saya mulai berlatih mendengarkannya. "
Brrrr... Seperti ada angin segar menerpa kalbu Ibu.
"Ya boleh saja, kamu pilih sendiri. CD Ibu banyak sekali."
Baik juga ini anak. mau mempelajari sesuatu yang dia belum kenal. kok aku langsung tidak
suka mendengar lagu rock kesukaannya?
Tentu saja, maksud Muti ketika mengatakan ingin meminjam CD gending jawa Ibu. itu adalah
uluran tangan untuk "berdamai" Muti cewck masa kini yang memiliki tangan dan jiwa
terbuka, yang mau menerima hal-hal baru tanpa prasangka. Ketika Ibu menceritakan hal ini
pada Bimo, komentar Bimo, "Nah, makanya, Bu, jangan terburu-buru mengkrilik Muti. Dia
sangat terbuka sifatnya dan selalu mau menerima hal-hal baru. Jadi... apa Ibu mau meminjam
CD Coldplay kepunyaannya Muti?'
"Opo kowi.' Kok seperti nama pabrik es? Dulu pabrik baja?"
"Ibu, Ibu... Itu nama grup band juga, Bu..." kata Bimo menahan tawa.
"Emoh... emoh... suarane mesti banter tho?"
Trianka menantu wanita satu-satunya dari Pak Broto (71 tahun) karena kedua menantunya
yang lain laki-laki dan tinggal di luar negeri. Trianka menjadi sangat dekat secara emosional
dengan mertuanya karena perasaan iba. Istri Pak Broto, Bu Wina (56 tahun) pengacara
kondang yang menganggap pengabdian pada suaminya bisa diwujudkan dengan membiayai
pemeliharaan kesehatan suaminya yang memang besar sekali. Pak Broto pernah dua kali
terserang stroke, lalu satu kali terjatuh dari tangga depan rumah dan klep jantungnya
didiagnosis agak bermasalah.
Sebenarnya Bu Broto tidak pernah meminta Trianka merawat suaminya, tapi gara-gara
pada suatu siang ketika Trianka pulang dari PIM dan mampir ke rumah mertunya dan
menyaksikan Pak Broto sedang duduk sendirian di depan tivi, timbul ran ibanya. Apalagi saat
Pak Broto ditanya, "Sudah makan Pak?" ia menjawab "belum" padahal saal itu sudah pukul
setengh dua siang Masya Allah, pasti Bapak juga belum minum obat.
Trianka menelepon Bu Broto di kantor dan menceritkan pcristiwa trial makan tersebut,
yang dijawab Ibu dengan, 'Ya begitulah, nggak ada Mbok Kas..."
Dari perbincangan seang itu, Trianka menangkap ada rasa kesepian juga di dalam hali Pak
Broto. Nafsu makannya menurun drastis karena dua pembantu baru hanya dapat masak menu
tertentu. Hal ini diperhatikan Trianka karena beberapa kali ia melihat yang tesedia di meja
makan hanya satu jenis gorengan (ayam atau tahu-tempe) plus satu jenis tumisan (tumis
buncis, kacang panjang, labu). Trianka pernah bertanya pada dua pembantu itu apakah mereka
bisa memasak soto, semur, atau sup, dan mereka berdua menggeleng.
Gara-gara anjuran yang terus menerus, suatu kali Mamih nekat membeli gaun batik berwarna
jingga terang. Gina senang sekali melihat Mamih turun di pintu depan rumahnva dengan
penampilan "baru". Gina segera berkomentar, "Bagus kan. Mih... Justru Mamih jadi Iebih
ngejreng. Eh, lipstiknya ganti dong, Mih, jangan merah tua begini, tapi orange manyala atau
merah cabe."
Sontak Mamih jangah. Ah... Jangan-jangan Gina ngerjain aku nih.. Secepat kilat
ditrmukan cara cepat untuk mengecek kebenaran pendapat sahabat yang agak lancang mulut.
Mamih memutuskan masuk ke Starbucks yang saat itu sepi dan meminta tolong mas cakrp
yang sedang mengelap meja. "Mas, tolong dong fotoin saya." sambil mengulurkan BB-nya.
Sejenak si mas kaget, tapi dengan sigap diterimanya BB Mamih dan dijepretnya Mamih yang
berdiri bersandar di depan meja kasir. Lalu, Mamih mengirim folo itu ke ponsel suaminya
dengan teks: "Pantas nggak aku pakai warna ini?"
Mamih duduk setelah memesan iced cappuccino sambil menunggu komentar
suaminya. Lima menit berlalu, sepuluh menit, lima belas menit... Ah, ada yang nggak beres
nih, pikir Mamih, mengingat biasanya suaminya sangat responsif dan akan segera menjawab
atau memberi komentar atas pertanyaan Mamih.
"Tapi gini ya, Mih, saya ingin memberitahu Mamih agar jangan telalu memikirkan
warna gaun... Mudah saja, kalau Mamih kurang PD mengenakan warna-warna anjuran saya,
ya balik saja ke warna-warna favorit Mamih. Jangan lerlalu dipikirin gitu, Mih. Namanya juga
saran. Mamih mau mencoba saja saya sudah senang. Artinya, Mamih tidak tergolong orang-
orang yang statis."
Drama cat rambut itu membuat Gina merasa tidak enak. Dengan hati-hati ia berkata
pada Anton, "Mungkin Mamih mengira aku menjadikannya kelinci percobaan, ya. Tapi,
suwer... Aku nggak bermaksud begitu. Aku cuma nawarin ngecat rambut dan warna itu yang
dipilihnya. emang sih... Aku juga nambahin bahwa kawanku pakai warna itu bagus banget.
Tapi aku lupa si Mia itu kan bule kulitnya, putih banget. kenapa ya, di rambut Mamih kok
warnanya jadi keunguan. Jujur aja, aku merasa bersalah."