fikosianin_lorentia santoso_12.70.0078_kloter a_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Pigmen fikosianin yang terkandung dalam Spirulina platensis berpotensi sebagai bahan pewarna biru alamiTRANSCRIPT
Acara IV
FIKOSIANIN: PEWARNA ALAMI DARI “BLUE GREEN MICROALGAE”
SPIRULINA
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Lorentia Santoso
NIM : 12.70.0078
Kelompok : A2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan penggunaan fikosianin dari Spirulina sebagai pewarna alami dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Fikosianin
KelompokBerat
biomassa kering (gr)
Jumlah aquades yang ditambahkan
(ml)
Total filtrat yang
diperoleh (ml)
OD615 OD652KF
(mg/ml)Yield
(mg/g)
Warna
Sebelum dioven
Setelah dioven
A1 8 100 50 0,0894 0,0366 0,013 0,081 +++ ++++A2 8 100 50 0,0890 0,0367 0,013 0,081 +++ ++++A3 8 100 50 0,0894 0,0366 0,013 0,081 +++ ++++A4 8 100 50 0,0886 0,0366 0,013 0,081 +++ ++++A5 8 100 50 0,0891 0,0376 0,013 0,081 +++ ++++A6 8 100 50 0,0890 0,0374 0,013 0,081 +++ ++++
Keterangan :Warna+ = biru sangat tua++ = biru tua+++ = biru muda++++ = biru sangat muda
Berdasarkan Tabel 1, diketahui berat biomassa kering sebanyak 8 gram, jumlah aquades yang ditambahkan sebanyak 100 ml dan total
filtrat yang diperoleh sebanyak 50 ml untuk setiap kelompok. Nilai OD652 lebih rendah jika dibandingkan nilai OD615 untuk setiap
kelompok. Konsentrasi fikosianin yang dihasilkan dan yield yang dihasilkan untuk keenam kelompok seragam yaitu sebesar 1,013 mg/ml
dan 0,081 mg/g berturut-turut. Sedangkan untuk pengamatan warna, fikosianin yang telah mengalami pemanasan menggunakan oven
memiliki intensitas warna biru yang lebih rendah (lebih muda) jika dibandingkan dengan sebelum dioven.
1
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kloter A ini, dilakukan proses pembuatan pewarna serbuk alami yang
diperoleh dari pigmen fikosianin yang diisolasi dari Sprilunia sp. dengan warna
dominan biru alami. Steinkraus (1983) berpendapat bahwa warna merupakan salah satu
indikator mutu yang akan dipertimbangkan dalam produksi produk pangan. Warna
menjadi indikator yang penting karena warna akan mempengaruhi penampilan dari
suatu produk pangan dimana penampilan keseluruhan dari produk merupakan salah satu
faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli suatu produk pangan
disamping faktor-faktor penting lainnya. Oleh karena itu untuk memperoleh suatu
produk pangan dengan warna yang menarik pada umumnya industri pangan akan
menggunakan pewarna alami maupun sintetis dalam produk pangan. Jika pada
umumnya zat warna sintesis lebih sering digunakan oleh industri pangan karena
harganya relatif lebih murah, mudah didapat, stabilitas lebih tinggi dan tahan lama
selama penyimpanan tetapi memiliki tingkat keamanan pangan yang lebih rendah. Syah
et al. (2005) menyatakan bahwa pengunaan zat warna alami jauh lebih aman jika
dibandingkan dengan penggunaan zat pewarna sintetis. Oleh karena itu salah satu tujuan
dalam praktikum ini adalah untuk menghasilkan zat warna biru alami (fikosianin) dari
Spirulina sp. yang dapat diaplikasikan ke dalam bahan/produk pangan.
Zat pewarna alami dapat diperoleh dari beberapa spesies alga. Berdasarkan teori dari
Sutomo (2005), mikroalga laut mempunyai potensi dalam menghasilkan senyawa-
senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan masa kini. Senyawa-
senyawa aktif tersebut adalah pigmen, asam lemak, klorofil, dan lain-lain. Salah satu
spesies alga yang mampu menghasilkan warna yakni Spirulina sp. yang menghasilkan
pigmen fikosianin yang menghasilkan warna biru alami. Pigmen warna ini memiliki
sifat yang larut dalam pelarut polar seperti air hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan
oleh Spolaore et al. (2006).
Tietze (2004) menyatakan bahwa Spirulina sendiri merupakan organisme yang
termasuk dalam golongan alga hijau biru atau yang sering disebut dengan blue green
algae. Jika spirulina berada pada koloni besar maka akan menghasilkan warna hijau tua
atau biru kehijauan (agak gelap) dikarenakan keberadaan klorofil yang tinggi. Pada
2
3
praktikum ini terlihat spirulina tersebut berwarna hijau pekat sebelum dilakukan
sentrifugasi sehingga dapat dikatakan bahwa spirulina tersebut mengandung pigmen
klorofil dan membentuk koloni. Spirulina merupakan salah satu jenis alga mesofilik,
yang artinya akan tumbuh secara maksimal pada suhu 35-40 °C Richmond (1988).
Dalam praktikum ini langkah awal yang dilakukan adalah biomassa spirulina sebanyak
8 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades sebanyak 100
ml lalu diaduk dengan stirrer selama ± 2 jam. Pengadukan ini bertujuan untuk
mengekstrak fikosianin yang terkandung dalam spirulina. Menurut Syah et al. (2005),
aquades merupakan pelarut yang bersifat polar sehingga dapat melarutkan fikosianin
karena fikosianin merupakan salah satu pigmen yang memiliki sifat larut di dalam air.
Pengadukakan dengan stirrer ini bertujuan agar terjadi homogenisasi spirulina dengan
aquades sehingga memaksimalkan ekstraksi pigmen fikosianin. Hal ini didukung oleh
Silveira et al. (2007), oleh karena ini langkah awal yang digunakan selama praktikum
untuk mengekstrak fikosianin menggunakan aquades sudah tepat dan sesuai dengan
teori yang ada.
Setelah itu dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit lalu
supernatan yang terbentuk diambil. Proses sentrifugasi ini bertujuan untuk memisahkan
endapan dan supernatan dari larutan dimana supernatan pada tahap ini merupakan
cairan yang mengandung fikosianin. Selain itu menurut Silveira et al. (2007) , proses
sentrifugasi ini juga berfungsi untuk memisahkan fase padatan dan fase cair dari
fikosianin yang telah terekstrak sehingga pada proses pengukuran absorbansi
menggunakan spektrofotometer tidak akan terganggu oleh karena keberadaan
zat-zat/padatan pengotor. Supernatan kemudian diukur kadar fikosianinnya
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Kadar
fikosianin dapat diketahui dari nilai absorbansi yang terbaca oleh spektrofotometer.
Panjang gelombang yang digunakan pada tahap spektrofotometri ini sudah sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Silviera et al. (2007) dimana di dalam analisa
fikosianin, kadar fikosianin dapat dilakukan dengan cara spektrofotometri absorbansi
dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Kemudian sebanyak 8 ml supernatan
diambil dan dicampurkan dengan dekstrin sebanyak 10 gram hingga merata dan dituang
4
dan diratakan di atas permukaan loyang kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu
45oC hingga benar-benar kering dan dihancurkan dengan alat penumbuk hingga menjadi
bentuk serbuk. Parameter yang diamati adalah warna baik sebelum dan sesudah proses
pengeringan dengan oven. Tujuan penambahan dekstrin ke dalam supernatan yang ada
menurut Murtala (1999), bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan serta
mencegah kerusakan yang dapat terjadi akibat panas, selain itu juga dapat melapisi
komponen flavor yang dihasilkan serta meningkatkan total padatan dan untuk
memaksimalkan volume fikosianin yang dihasilkan pada tahap akhir.
Menurut Suparti (2000), dekstrin merupakan polisakarida yang diperoleh dari proses
hidrolisa pati yang diatur oleh enzim tertentu atau dengan cara hidrolisis asam. Dekstrin
memiliki penampakan warna yang putih hingga kuning dengan sifat mudah larut dalam
air, mudah terdispersi, tidak kental, dan stabiliasinya lebih baik jika dibandingkan
dengan pati. Fungsi dekstrin ini pada umumnya dapat meningkatkan berat produk
apabila produk tersebut dalam bentuk bubuk. Struktur molekul dekstrin ini berbentuk
spiral, sehingga dekstrin memiliki kemampuan untuk memerangkap molekul-molekul
flavor (Arief, 1987). Suparti (2000) juga menambahkan bahwa dekstrin dapat
mengurangi penguapan komponen selama terjadinya proses pengolahan.
Temperatur pengeringan dengan oven yang digunakan adalah 45oC hal ini sesuai
dengan teori dari Metting dan Pyne (1986) yang menyatakan jika suhu pengeringan
fikosianin dilakukan pada suhu diatas 60oC maka akan mengakibatkan degradasi
fikosianin dan dapat memacu reaksi maillard. Pengeringan dengan matahari langsung
sangat tidak direkomendasikan karena akan menimbulkan aroma yang tidak diinginkan
serta dapat meningkatkan kontaminasi bakteri pada produk yang dihasilkan.
Berdasarkan teori tersebut maka pengeringan yang dilakukan selama praktikum idak
menggunakan energi matahari secara langsung melainkan menggunakan oven dengan
suhu yang diatur di bawah suhu 60oC agar tidak terjadi penurunan kualitas fikosianin.
Pada hasil pengamatan yang diperoleh dapat dilihat konsentrasi fikosianin, yield serta
perubahan warna sebelum dan setelah dilakukan pengeringan dengan oven. Nilai
konsentrasi fikosianin ini dapat dihitung dengan rumus:
5
Konsentrasi fikosianin (KF) = OD615−0,474 (OD652)
5,34
Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa meskipun seluruh kelompok melakukan
perlakuan yang sama, tetapi nilai OD yang didapat berbeda-beda. Namun untuk nilai KF
dan yield pada setiap kelompok menghasilkan hasil perhitungan yang sama. Hal ini
dapat dikarenakan karena perbedaan antara OD615 dan OD652 sebanding untuk masing-
masing kelompok. Menurut Fox (1991) nilai OD (optical density) dipengaruhi dari
konsentrasi serta kejernihan larutan.Semakin keruh suatu larutan maka nilai OD yang
didapat akan semakin tinggi. Namun pada praktikum ini memang nilainya tidak berbeda
jauh sehingga tingkat kekeruhan tidak begitu berbeda antara satu kelompok dengan
kelompok lain.
Sedangkan nilai yield didapatkan dengan rumus ini:
Yield = KF × Vol(total filtrat )gram(berat biomassa )
Dari rumus di atas dapat disimpulkan jika nilai yield berbanding lurus dengan
konsentrasi fikosianin yang dihasilkan. Sehingga semakin tinggi konsentrasi fikosianin
yang dihasilkan maka yield yang dihasilkan juga semakin tinggi pula, begitu juga
sebaliknya. Pada hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa seluruh kelompok mendapatkan
konsentrasi fikosianin serta yield yang sama itu artinya memang seragam karena
perlakuan yang diberikan tidak berbeda/sama untuk setiap kelompok. Pada praktikum
ini juga dilihat bahwa setelah dilakukan pengeringan dalam oven, seluruh kelompok
menghasilkan parameter warna yang lebih muda dan pucat dibandingkan dengan bahan
sebelum dioven. Berdasarkan pendapat Angka dan Suhartono (2000), penambahan
konsentrasi dekstrin yang tinggi akan mengakibatkan bubuk fikosianin yang dihasilkan
memiliki warna yang cenderung lebih muda dan pucat. Oleh karena itu hasi pengamatan
yang diperoleh sudah sesuai dengan teori yang ada dimana warna fikosianin setelah
dioven lebih pudar/muda/pucat jika dibandingkan dengan warna sebelum
dipanaskan/dikeringkan dalam oven.
Muthulakshmi et al. (2012) dalam “Extraction, partial purification, and antibacterial
activity of phycocyanin from Spirulina isolated from fresh water body against various
6
human pathogens” menyatakan bahwa pigmen phycobilin merupakan salah satu pigmen
yang memiliki warna fluorescens dan bersifat larut dalam air. Phycobilin secara garis besar
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu phycoerythrins, phycocyanins, dan allophycocyanins.
Dari ketiga jenis tersebut pigmen fikosianin merupakan jenis yang paling diakui dalam hal
efektivitasnya. Adanya aktivitas antibakteri dari fikosianin yang diisolasi dari blue green
algae Spirulina platensis. Fikosianin diekstrak melalui tahap sonikasi, sentrifugasi, dan
filtrasi. Fikosianin dalam bentuk jenuh akan dimurnikan dengan presipitasi ammonium
sulfat, filtrasi membran, dan metode dialisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa Spirulina
maxima memiliki potensi antibakterial yang paling besar dalam melawan pertumbuhan
bakteri.
Antelo et al. (2010) dalam “Extraction and Purification of C-phycocyanin from Spirulina
platensis in Conventional and Integrated Aqueous Two-Phase Systems” menyatakan bahwa
Fikosianin C dapat diesktrak dari Spirulina platensis dengan/tanpa adanya debris sel,
yang dimurnikan dalam sistem dua fase uap pada pH 6. Penggunaan 5% PEG 4000 dan
18% garam akan memberikan hasil yang terbaik untuk konsentrasi fikosianin C.
Ekstraksi yang menggunakan debris sel akan menghasilkan jumlah pengotor (purities)
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ekstraksi yang tidak menggunakan debris
sel.
Menurut Albert et al. (2012) dalam jurnal dengan judul “Changes in the physico-
chemical properties of Spirulina platensis from three production sites in Chad” telah
diungkapkan bahwa cyanobacterium Spirulina platensis merupakan salah satu sumber
protein yang bermanfaat untuk manusia dan hewan. Ternyata lokasi produksi akan
mempengaruhi karakterisik fisikokimiawi dari S.platensis. Perbedaan lokasi akan
mengakibatkan perbedaan nilai pH dan perbedaan temperatur. Meskipun begitu tidak
ditemukan kandungan logam berat yang beracun seperti nikel, sulfat, sianida dalam
sampel S.platensis oleh karena itu S.platensis dapat digunakan sebagai suplemen
tambahan untuk manusia dan hewan.
7
Gambar 1. Perbedaan kandungan pigmen pada Spirulina platensis berdasarkan lokasi produksi
Dari Gambar 1 di atas, maka dapat terlihat bahwa memang perbedaan lokasi produksi
S.platensis akan mempengaruhi kandungan pigmen dalam S.platensis. Pigmen-pigmen
tersebut terdiri dari klorofil (a dan b), karotenoid, dan fikosianin. Dari ketiga lokasi
produksi, S.platensis akan meghasilkan kandungan pigemn fikosianin terbesar pada
lokasi Brandi yaitu sebesar 46,435%.
Ungsethaphand et al. (2010) dalam “Effect of feeding Spirulina platensis on growth and
carcass composition of hybrid red tilapia” membahas mengenai manfaat spriluna
(S.platensis) sebagai sumber protein dalam pembiakan ikan tilapia merah. Spirulina
dapat diberikan melalui pakan ikan dengan berbagai tingakt konsentrasi (0, 5, 10, dan
20%). Pakan ikan diberikan sebanyak 2% dari berat ikan setiap harinya selama 120 hari.
Ternyata berat akhir dari ikan, laju pertumbuhan, ketahanan ikan tidak dipengaruhi oleh
suplementasi spirulina. Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan spirulina
sebanyak 20% dapat menggantikan pakan ikan dalam pembiakan ikan tilapia merah
dimana pemberian ini tidak akan berpengaruh pada pertumbuhan ikan.
Sedangkan dalam jurnal “C-Phycocyanin extraction from Spirulina platensis wet
biomass” oleh Moraes et al. (2011) dijelaskan bahwa fikosianin C merupakan pewarna
alami berwarna biru yang biasa digunakan dalam bidang pangan dan obat-obatan.
Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan metode yang singkat dan efisien dalam
mengekstrak fikosianin C dari berat basah Spirulina platensis. Proses ekstraksi terdiri
dari enam metode yang berbeda. Termasuk perlakuan kimia (asam organik dan asam
anorganik), fisik (freezing, thawing, sonikasi, dan homogenisasi) dan secara enzimatis
8
(enzim lizozim). Metode ekstraksi yang menggunakan gelombang ultrasonik menjadi
salah satu metode yang paling efisien dalam menghasilkan fikosianin C.
Pada dasarnya fikosianin yang diperoleh dari Spirulina merupakan pewarna alami yang
memiliki kelemahan antara lain yaitu bersifat tidak stabil karena sangat dipengaruhi
oleh faktor intensitas cahaya, pH, dan perlakuan temperatur. Perlu diberikan perlakuan
khusus untuk meminimalkan fikosianin kontak dengan cahaya karena sifatnya yang
yang sangat sensitif terhadap cahaya. Selain sensitif terhadap cahaya, pewarna alami
fikosianin memiliki sifat yang sensitif terhadap suhu yang tinggi atau terlalu panas,
tidak stabil pada pH rendah (cenderung asam), serta tidak stabil dalam larutan jika
terkena cahaya dan pemanasan yang berlebihan dan bersamaan. Hal ini sesuai dengan
hasil pengamatan yang diperoleh, dimana warna fikosianin yang telah dipanaskan
dengan oven mengalami perubahan warna menjadi lebih muda atau pucat. Namun di
samping itu, pewarna fikosianin tetap memiliki kelebihan dibanding pewarna biru
sintetis yaitu sifatnya yang lebih tahan terhadap reaksi oksidasi (anti oksidatif), oleh
karena itu pewarna fikosianin cenderung lebih aman untuk kesehatan dan dapat
digunakan sebagai penangkal radikal bebas. Banyak fikosianin yang diaplikasikan
dalam pembuatan makanan dan minuman sebagai pewarna alami (Boussiba dan
Richmond, 1979).
3. KESIMPULAN
Pigmen fikosianin dapat diperoleh dari Spirulina yang akan menghasilkan warna
biru alami.
Fikosianin memiliki sifat larut dalam air yang merupakan pelarut polar.
Penggunaan aquades bertujuan untuk mengeksrak fikosianin yang terdapat
dalam Spirulina.
Sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan endapan dan supernatan dari larutan
yang mengandung fikosianin.
Penambahan dekstrin bertujuan untuk mempercepat pengeringan, mencegah
kerusakan yang dapat terjadi akibat pemanasan, melapisi komponen flavor yang
dihasilkan serta meningkatkan total padatan dan untuk memaksimalkan jumlah
fikosianin yang dihasilkan.
Penambahan konsentrasi dekstrin yang semakin tinggi akan mengakibatkan hasil
fikosianin menjadi lebih muda dan lebih pucat.
Suhu pengeringan fikosianin yang terlalu tinggi (diatas 60oC) akan
mengakibatkan munculnya reaksi maillard dan fikosianin dapat terdegradasi.
Nilai OD (optical density) ditentukan oleh konsentrasi dan kejernihan dari
larutan, semakin keruh suatu larutan maka nilai OD yang didapat akan semakin
tinggi pula.
Fikosianin, klorofil a dan total karoteinoid dapat mengalami penurunan akibat
keberadaan CO2 yang berlebihan.
Semarang,23 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen
Agita Mustikahandini
Lorentia Santoso(12.70.0078)
9
4. DAFTAR PUSTAKA
Albert, Ngakou; Ridine Wague; Mbagiguinam Mbailao and Namba Fabienne. 2012. Changes in the physico-chemical properties of Spirulina platensis from three production sites in Chad. Journal of Animal and Plant Sciences. Vol 13 : 1811-1822.
Angka,S.I.dan Suhartono MT.(2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB.
Antelo, Francine S; Andreia Anschau; Jorge A. V. C and Susana J. Kalil. 2010. Extraction and Purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis in Conventional and Integrated Aqueous Two-Phase Systems. Journal Brazil Chemistry. Vol 21 No. 5 : 921-926.
Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas Gajahmada Press.Yogyakarta.
Boussiba, S; Richmond, A. 1979. Isolation and Purification of Phycocyanin from Spirulina platensis. Arch. Microbiol 120:155-159.
Metting B dan Pyne JW. (1986). Biologically Active Compounds from Microalga. Journal of Enzyme Microb. Tech. Vol. 8. Butterworth and Co Publish.
Moraes C. C; Lusia Sala; G. P. Cerveira and S.J. Kalil. 2011. C-Phycocyanin extraction from Spirulina platensis wet biomass. Brazilian Journal of Chemial Engineering. Vol. 28 : 45-49.
Murtala, S. S. (1999). Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang.
Muthulakshmi, M; A. Sarananya; M. Sudha and G. Selvakumar. 2012. Extraction, partial purification, and antibacterial activity of phycocyanin from Spirulina isolated from fresh water body against various human pathogens. Journal of Algal Biomass Utilization. Vol 3(3) : 7-11.
Richmond A. (1988).Spirulina.Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor.Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.
Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.(2007). Bioresour.Technol.,98, 1629.
Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. (2006). Comercial Application of Microalgae Review.J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96.
Steinkraus, H. (1983). Indigenous Fermented Food. Marcel Dekker. New York.
10
11
Suparti, W. (2000). Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis.Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.
Sutomo. (2005). Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp.dan Chaetoceros gracilis) dan Pengaruh Kepadatan Awal Terhadap Pertumbuhan C. Gracilis di Laboratorium. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 37 :43-58. Pusat Penelitian Oseanografi.
Syah et al. (2005).Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Tietze HW. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing.Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.
Ungsethaphand, Thepparath; Yuwadee Peerapornpisal; Nowoot Whangcai and Uraporn Sardsud. 2010. Effect of feeding Spirulina platensis on growth and carcass composition of hybrid red tilapia. Maejo International Journal of Science and Technology. Vol 4 : 331-336.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=OD615 – 0,474(OD652)
5,34
yield (mgg )=KF × vol(total filtrat )
g(berat biomassa )
Kelompok A1
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0894 – 0,474 (0,0366)
5,34
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yield (mgg )=0,013 × 50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
Kelompok A2
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0890 – 0,474(0,0367)
5,34
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yield (mgg )=0,013 × 50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
Kelompok A3
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0894 – 0,474 (0,0366)
5,34
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yield (mgg )=0,013 × 50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
Kelompok A4
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0886 – 0,474 (0,0366)
5,34
12
13
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yield (mgg )=0,013 × 50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
Kelompok A5
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0891 – 0,474(0,0376)
5,34
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yiel d (mgg )=0,013 ×50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
Kelompok A6
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,0890 – 0,474(0,0374)
5,34
Konsentrasi fikosianin ( KF )(mgml )=0,013
mgml
yield (mgg )=0,013 × 50
8
yield (mgg )=0,081
mgg
5.2. Foto
Gambar 2. Warna fikosianin sebelum pengovenan (Kelompok A1-A3)
14
Gambar 3. Warna fikosianin sebelum pengovenan (Kelompok A4-A6)
Gambar 4. Warna fikosianin setelah pengovenan (Kelompok A1-A6)
5.3. Diagram Alir
5.4. Laporan Sementara