forensik

27
Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Jabatan dalam Praktik Kedokteran Nilasari Wulandari 102011367 e-mail: [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No 6 – Jakarta Barat 11470 Pendahuluan Praktik Kedokteran ialah suatu pekerjaan yang dilakukan kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki standar kompetensi tertentu. Selain kompetensi tersebut, dalam praktik kedokteran diharapkan juga memiliki sikap profesionalisme yakni sikap bertanggung jawab dan perilaku yang akuntable baik pada pasien maupun masyarakat luas. Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum, sering tumpang-tindih pada suatu masalah tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme,dll. Bahkan di dalam praktik kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. 1 Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis 1

Upload: arya-maulana-nugroho

Post on 15-Sep-2015

251 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tes

TRANSCRIPT

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Jabatan dalam Praktik KedokteranNilasari Wulandari102011367

e-mail: [email protected] Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No 6 Jakarta Barat 11470Pendahuluan

Praktik Kedokteran ialah suatu pekerjaan yang dilakukan kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki standar kompetensi tertentu. Selain kompetensi tersebut, dalam praktik kedokteran diharapkan juga memiliki sikap profesionalisme yakni sikap bertanggung jawab dan perilaku yang akuntable baik pada pasien maupun masyarakat luas.Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum, sering tumpang-tindih pada suatu masalah tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme,dll. Bahkan di dalam praktik kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.1

Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.1

Dengan semakin berkembangnya teknologi memasuki era globalisasi luasnya arus informasi, pengetahuan dan pendidikan masyarakat semakin tinggi, kemungkinan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi. Hal ini dapat disebabkan tingginya harapan masyarakat kepada layanan kesehatan dan kedokteran sehingga bukan sekedar masalah standar pelayanan medis seperti malpraktik yang menjadi permasalahan, Namun, tentang norma maupun etika baik buruknya layanan dalam praktik kedokteran. Skenario 6Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya tahu, karena bisa terjadi pertengkaran diantaranya keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular.Istrinya juga harus diobati.Hubungan Dokter-PasienJenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batsan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang dalam prinsip-prinsip moral profesi yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficience (berorientasi kepada kebaikan pasien), nonmalaficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien), justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip-prinsip utama. Dan veracity (kebenaran=truthfull information), fidelity (kesetian), privacy,dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunan1.

Pada awalnya, hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Hubungan kontrak seharusnya terjadi pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.1Hubungan dokter pasien tidak sebatas karena pasien seorang yang awam, lalu tidak mengetahui apa yang akan dilakukan dan terjadi dalam tindakan medik. Namun, hubungan dokter pasien yang baik ialah terjalin komunikasi efektif selama hubungan kontraktual berlangsung dimana pasien mengetahaui hak dan kewajibannya sebagai pasien yang menerima pelaynan kesehatan. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman, seringkali pasien tidak mengerti dan menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian, sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Hak Pasien dan Kewajiban DokterBerdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu: 1

1. The Rights to health care

2. The rights to self-determination.

Secara tegas the World Medical on the Rights of the Patient, yaitu: 1

1. Hak memilih dokter secara bebas

2. Hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis

3. Hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat

4. Hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya

5. Hak untuk mati secara bermartabat

6. Hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral

UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien seperti: 1

1. Hak atas informasi

2. Hak atas second opinion3. Hak untuk meberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis

4. Hak untuk kerahasiaan

5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

6. Hak untuk memperoleh ganti rugi apabla ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.Undang-Undang Praktik Kedokteran

Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medisyang akan diterimanya (Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Penjelasan tersebut mencakup: Pasal 45 UU RI No 29 tahun 2004 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran2(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 1 PerMenkes RI no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran2(1) Persetujuan tindakan medik adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

(2) Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunyaPasal 2 PerMenkes RI no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran2(1) Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 1,2Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran1,2Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Hak dan Kewajiban Dokter

Pasal 50 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran1,2Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

d. menerima imbalan jasa.

Pasal 51 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran1,2Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.Informed ConsentInformed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemeikiran tentang apa yang akan dan yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari segi hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain: 1,3Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu: Threshold elements. Pemberian consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi yang penuh. Diantara terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable). Dewasa diartikan sebagi usia yang telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggapm tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.1,3 Informatif elements. Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. 1,3Dalam hal ini seberapa baik, informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar:

Standar Praktek Profesi. Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut.

Standar Subyektif. Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yan dianut oleh oleh pasien secara pribadai, sehingga informasi yang diberikan harus memadai pasien tersebut dalam mengambil keputusan. Adalah mstahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-nilai yang secar individual dianut oleh pasien.

Standar pada Reasonable Person. Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam. Sub elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis, dan imaturitas. Banyak ahli mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak lalai melaksanankan tugasnya memberi informasi yang adekuat.

Consent Elements. Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan oleh tenaga medis yang bersifat seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawaran.1Consent dapat diberikan secara:a. Dinyatakan (expressed)

Dinyatakan secara lisan

Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasive atau yang berisiko memengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied). Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari. Misalnya, adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan di ambil darahnya.1,3Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.3

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45, maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.

Rahasia KedokteranRahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisonal dianggap sebagai norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan pasien. Sumpah dokter Indonesia salah satunya berbunyi: saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya, sedangkan kode etik kedokteran Indonesia merumuskannya sebagai setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 1

Kepercayaan merupakan bagian penting dalam hubungan dokter-pasien. Untuk dapat menerima perawatan medis, pasien harus membuka rahasia pribadi kepada dokter atau orang yang mungkin benar-benar asing bagi mereka mengenai informasi yang mungkin tidak ingin diketahui orang lain. Mereka pasti mempunyai alas an yang kuat untuk mempercayai orang yang memberikan perawatan bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tersebut. Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan publik tertentu.4Baik UU Kesehatan maupun UU praktik Kedokteran juga mewajibkan tenaga kesehatan menyimpan rahasia kedokteran. Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas dalam pasal 48 UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran:11. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.2 Pasal 1 PP No 10/1966Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. Pasal 2 PPNo 10 /1966Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain. Pasal 3 PP No 10/1966Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

1. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.

2. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Pasal 4 PP No 10/1966Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan. Pasal 5 PP No 10/1966Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya. Pasal 322 KUHP

1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Pasal 48 KUHPBarang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Pasal 49 KUHP

1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHPBarang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak dipidana. Pasal 51 KUHP

1. Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

2. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.Rekam Medis

Dalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa RM adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya RM, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini makin dipahami bahwa peran RM tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan RM. Oleh karena itu, sejak tahun 1997 dalam kurikulum pendidikan dokter serta pendidikan ilmu kesehatan Iainnya, pengetahuan tentang RM telah dimasukkan di dalam mata ajar Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.5Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Menurut peraturan tersebut, Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada Bab III disampaikan pada ayat 1 bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.6 Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan. Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung. Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan.6Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain (yang diberikan) kepada pasien (yang dipergunakan serta tersedia) pada suata sarana pelayanan kesehatan selama mendapatkan perawatan di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap.7Sanksi Hukum dalam pasal 79 UU Praktik Kedokteran tegas mengatur bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 1,7Kode Etik Kedokteran IndonesiaPasal 1Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter dan atau janji dokter.

Pasal 2Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara independen, dan mempertahankan perilaku professional dalam ukuran yang tertinggi.Pasal 3Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.

Pasal 6Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 8Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih saying (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.Pasal 9Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompentensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.Pasal 10Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 11Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makluk insani.

Pasal 12Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.

Pasal 13Setiap dokter dalam bekerjasama dengan pejabat lintas sektoral dibidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling menghormati. Pasal 14Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untu itu.Pasal 15Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi.Pasal 16Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia

Pasal 17Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Pasal 18

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 19

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.

Pasal 20

Setiap dokter wajib selalu memlihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 21

Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi/kesehatan.2

Etika Profesi KedokteranKode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.1Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah:1

1. Prinsip otonomi

Sebuah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otnomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip beneficence

Prinsip moral yang utamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat)3. Prinsip non-maleficencePrinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm

4. Prinsip justicePrinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasein) dan fidelity (loyalias dan promise keeping).1Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan/ pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.1

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hariMajelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.1Kesimpulan

Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter harus mengamalkan etika profesi kedokteran dan menjaga rahasia jabatan dalam praktik kedokteran. Sebelum dilakukan tindakan kepada pasien, dokter harus memberikan informed consent kepada pasien. Untuk mencegah masalah pelanggaran norma dan etika kedokteran dalam berbicara dan menyampaikan informasi kepada pasien haruslah berhati-hati dan jelas, secara rinci jelaskan tentang sakit yang pasien derita, resiko maupun tindakan serta pengobatan yang perlu dilakukan utuk menghindari rasa ketidakpuasaan pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswadja T.D. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.h.8-111,30-6,53-80.

2. Departemen Ilmu kedokteran forensik dan medikolegal FKUI. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.h.65-94.

3. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999.h.279.4. Suryadi,Taufik. Buku penuntun kepaniteraan klinik kedokteran forensik dan medikolegal. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Unsyiah; 2009.5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.646. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Rekam Medis Nomor 269/MENKES/PER/III/2008. Jakarta, 12 Maret 2008.7. Sarake HM. Buku ajar rekam medis. Makassar: Universitas Hasanudin; 2008. 1-15

1