gambaran tingkat depresi pada pasien...
TRANSCRIPT
GAMBARAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH
KOTA TEGAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH:
MUHAMAD ILHAM RAMDANI
NIM: 1110104000008
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
-- ~· .- ... ~-=-- - -..,...~-;~:-~~~ -~ ... P---- --- ·:-------·-' "'i .. ...... ; - '-~"'c-; · -:·:r:--..-.... ... ~- .. - .. - : ~ ....
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S 1) di Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan
universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesum
dengan ketentuan yang telah berlaku di Fakultas kedokteran dan Ilmu kesehatan
Universitas islam Negeri (UIN) Syarifhidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan univesitas Islam negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2016
11
iii
SCHOOL OF NURSING
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Undergraduated Thesis, Juny 2016
Muhamad Ilham Ramdani, NIM: 1110104000008
Overview Of Depression In Patients Type 2 Diabetes Mellitus In Kardinah Hospital Tegal
xviii + 74 pages, 3 tables, 1 charts. 5 attachments
ABSTRACT
Diabetes mellitus type 2 is a common health problem in Indonesia. Depressive symptoms are
common among adults with diabetes. Clinically significant depression is present in one of every
four people with type 2 diabetes mellitus. A diagnosis of type 2 diabetes mellitus increase the
risk of incident depression and can contribute to a more severe course of depression.
The aim of the study was to estimate the prevalence of depression in the population diagnosed
with diabetes type 2. Respondens were patient with type 2 diabates mellitus in hospital kardinah.
This research is quantitative descriptive. The sampling technique using accident sampling with
79 individuals with type 2 diabetes mellitus. The data was taken by instrument using Beck
Depression Inventory (BDI) scale. Data was analyzed by univariate test. The result of the
analysis 82,3% no symptom of depression and 17,7% have a depression.
Key Word: Depression, Type 2 Diabetes mellitus.
Bibliography: 46 (2001 - 2015)
iv
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juni 2016
Muhamad Ilham Ramdani, NIM: 1110104000008
Gambaran Tingkat Depresi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum
Kardinah Kota Tegal
Xviii + 74 halaman, 3 table, 1 bagan, 5 lampiran
ABSTRAK
Diabetes mellitus type 2 adalam masalah kesehatan yang umum di Indonesia. Pada umumnya
gejala depresi biasanya muncul pada individu dewasa yang menderita diabetes mellitus. Secara
klinis satu dari empat individu yang menderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami depresi. Dan
juga, diagnosa diabetes mellitus tipe 2 juga dapat meningkatkan insiden depresi yang dapat
menimbulkan depresi yang lebih parah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran tingkat depresi pada populasi yang
menderita diabetes mellitus tipe 2. Responden penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus tipe
2 yang rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kardinah. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif.
Teknik sampel yang digunakan adalah aksidental sampling dengan 79 responden. Pengumpulan
data penelitian menggunakan instrumen Beck Depression Inventory. Selanjutnya, data dianalisi
menggunakan analisis univariat. Hasil analisis didapatkan bahwa sebanyak 82,3% ttidak ada
gejala depresi sedangkan 17,7% mengalami depresi.
Kata Kunci: depresi, diabetes mellitus tipe 2.
Daftar pustaka: 46 (2001 - 2015)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhamad Ilham Ramdani
Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 2 Maret 1993
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Gg. AMD 28 No. 171 RT 004 RW 005 Kel. Balekambang
Kec. Kramat Jati Jakarta Timur
Telepon : 089609447843
E-mail : [email protected]
Riwayat pendidikan :
1. 1997 – 1998 : TK Pertiwi Pesurungan Kidul
2. 1998 – 2004 : MI Miftakhul Ulum Pesurungan Kidul
3. 2004 – 2007 : MTsN Model Babakan Tegal
4. 2007 – 2010 : SMAN 104 Jakarta
5. 2010 – 2016 : S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam. Yang selalu mengasihi tanpa
pilih kasih dan selalu menyayangi dengan sayang yang tak terbilang. Syukurku ucapkan atas
segala nikmat dan rahmat-Nya hingga Seminar Proposal ini dapat terselesaikan. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada rosul akhir zaman, Baginda Besar Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa umatnya menuju cahaya kebenaran. Penyusunan skripsi ini semata-mata
bukanlah hasil usaha penulis, melainkan banyak pihak yang memberikan bantuan,
bimbingan, motivasi, dan petunjuk. Sekiranya patutlah bagi penulis untuk berterima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Arif Soemantri, M.KM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Ns. Maulina Handayani, S.Kep, MSc, selaku ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Karyadi, Ph.D, selaku dosen pembimbing I dalam penyusunan proposal
skripsi ini. Terima kasih atas waktu, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang telah
diberikan.
4. Ibu Ns. Gusrina Komala Putri, S,Kep, MSN, selaku dosen pembimbing II dalam
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingannya selama ini, masukan
masukan yang yang sangat membantu dan tentunya kesabaran menghadapi saya.
ix
5. Bapak Sakhirin dan Ibu suci Nurani selaku orang tua saya yang telah jerih payah
untuk membesarkan saya hingga sekarang.
6. Seluruh teman – teman PSIK 2010. Kalian teman seperjuangan yang hebat dan
menyenangkan.
7. Segenap staf pengajar dan karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan ilmu kepada Saya selama masa perkuliahan
ini.
8. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik serta perpustakaan Fakultas yang
telah banyak membantu dalam pengadaan referensi - referensi sebagai bahan
rujukan.
9. Seluruh petugas Rumah Sakit Umum kardinah yang bersinggungan dengan Saya
yang telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan penelitian.
Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis ini masih jauh dari kata
sempurna, namun penulis harapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukan.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………...... i
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………….ii
ABSTRACT………………………………………………………………………iii
ABSTRAK………………………………………………………………………..iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………v
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………vi
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………...vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..viii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xii
DAFTAR BAGAN………………………………………………………….......xiii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….…xiv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………6
C. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………...6
D. Tujuan Penelitian………………………………………………………….7
1. Tujuan Umum…………………………………………………………7
2. Tujuan Khusus………………………………………………………...7
E. Manfaat Penelitian………………………………………………………...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………9
A. Diabetes Melitus…………………………………………………………..9
1. Pengertian Diabetes Melitus…………………………………………..9
2. Tipe –tipe Diabetes Melitus………………………………………….10
3. Etiologi Diabetes Mleitus……………………………………………12
4. Manifestasi Klinis……………………………………………………13
5. Patofisiologi………………………………………………………….15
6. Komplikasi…………………………………………………………...16
7. Pemeriksaan Penunjang……………………………………………...18
B. depresi……………………………………………………………………19
1. Pengertian Depresi…………………………………………………...19
2. Gejala Depresi………………………………………………………..20
3. Etiologi Depresi……………………………………………………...21
4. Beck Depression Inventory…………………………………………..24
5. Berduka………………………………………………………………27
C. Psikososial dan Diabates Melitus………………………………………...34
1. Depresi dan Diabetes Melitus tipe 2…………………………………34
2. Kerangka teori………………………………………………………..44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep………………………………………………………..47
B. Definisi operasional……………………………………………………...48
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian…………………………………………………….50
B. Populasi dan Sampel……………………………………………………..50
C. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………....52
D. Etika Penelitian…………………………………………………………..52
E. Insterumen Penelitian………………………………………………….....55
F. Uji Validitas dan Realibilitas…………………………………………….56
G. Prosedur Pengumpulan Data……………………………………………..58
H. Analisis Data……………………………………………………………..59
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian……………………………………..61
B. Hasil Analisis Univariat………………………………………………….63
BAB VI PEMBAHASAN
A. Analisis data Demografi………………………………………………….68
B. Analisis Variabel Independen……………………………………………70
C. Keterbatasan Penelitian…………………………………………………..71
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………………73
B. Saran ……………………………………………………………………..73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
3.1 Definisi Operasional penelitian 48
5.1 Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin 63
5.2 Distribusi frekuensi responden menurut pekerjaan 64
5.3 Distribusi frekuensi responden menurut lama menderita 64
5.4 Distribusi frekuensi responden tingkat depresi 65
DAFTAR BAGAN
Halaman
2.1 Kerangka Teori 44
3.1 Kerangka Konsep 47
DAFTAR SINGKATAN
DM = Diabetes Mellitus
WHO = World Health Organization
IDDM = Insulin Dependen Diabetes Mellitus
NIDDM = Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus
HLA = Human Leucocyte Antigen
KAD = Ketoasidosis Diabetic
LDL = Low Density Lipoprotein
DSM-IV-TR = Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder Fourth Edition Text
Revision
DA = Dopamin
DBH = Dopamin Beta Hidroksilase
BDI = Beck Depression Inventory
GAS = General Adaptation Syndrom
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit metabolik
dimana tubuh tidak dapat mengendalikan glukosa akibat kekurangan
hormon insulin. Kekurangan hormon ini dalam tubuh bisa disebabkan
oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Berdasarkan kedua faktor
tersebut, diabetes melitus (DM) terbagi menjadi DM tipe I dan DM tipe
II. Diabetes Melitus Tipe I I dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan seperti makanan dengan kadar glukosa tinggi yang
dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus sehingga terjadi
gangguan metabolisme glukosa dalam tubuh, di dukung dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita DM. DM tipe II ini terjadi pada usia
dewasa dan usia lanjut (Guyton & Hall, 2007).
Data dari World Health Organization (2013) mencatat bahwa
Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes
terbesar di dunia setelah India, China dan Amerika Serikat. WHO
memastikan peningkatan pada penderita Diabetes Melitus tipe II paling
banyak dialami negara – negara berkembang termasuk Indonesia.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memprediksi jika pada tahun 2030 ada 21,3 juta penduduk Indonesia yang
akan terserang diabetes melitus (DM). Umumnya 90% pasien diabetes
melitus (DM) dewasa. Kelompok usia penderita diabetes mellitus tipe 2
terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Meningkatnya penderita
2
diabetes mellitus tipe 2 disebabkan oleh peningkatan obesitas, kurang
aktifitas fisik, kurang mengkonsumsi makanan yang berserat, merokok,
dan tingginya lemak (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus, 2012).
Penyakit diabetes mellitus tipe 2 merupakan masalah yang cukup
besar sehingga memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan
dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu
berdampak pada kondisi fisik dan psikologis. Diabetes mellitus tipe 2
dapat menyebabkan pola hidup berubah, kelemahan fisik, masalah
penglihatan, dan berpotensi terhadap kematian. Kesemua masalah fisik
yang muncul tentunya berpeluang terhadap timbulnya masalah emosional
pada penderita diabetes mellitus (Savitri, 2006).
Penelitian Smenkof, et al (2015) meunjukan bahwa satu dari setiap
empat orang yang menderita diabetes mellitus tipe II juga menderita
depresi. Faktor pencetus terjadinya distress pada penderita dikarenakan
kurangnya dukungan sosial, ketidakterimaan akan keadaan yang
dialaminya. Hal ini yang memunculkan rasa depresi pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 sebagai respon rasa kehilangan dan berduka yang
dialaminya. Selain itu, depresi yang dialami oleh penderita diabetes
mellitus tipe 2 dapat meningkatkan resiko komplikasi pada diabetes
mellitus tipe II itu sendiri seperti, hiperglikemia, insulin, resistensi, dan
mikro dan makrovaskuler. Sebaliknya, diagnosis diabetes mellitus tipe II
meningkatkan resiko depresi pada seseorang atau bahkan membuat lebih
parah seseorang yg telah menderita depresi. Hubungan ini mencerminkan
3
etiologi bersama yang terdiri dari interaksi dua arah yang kompleks
mencakup beberapa variabel, antara lain disregulasi neurohormonal,
obesitas, peradangan, perubahan struktur hipokampus (Smenkof, 2015).
Degmecic, dkk (2014) membuat rangkuman faktor psikososial
yang mempengaruhi prevalensi depresi pada pasien diabetes, ternyata
depresi pada diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak dijumpai pada:
perempuan, ras minoritas, seseorang yang tidak menikah pada umur
pertengahan, status social, ekonomi rendah dan tidak bekerja (Degmecic,
2014).
Pendapat Degmecic dikuatkan kembali oleh penelitian Schmitz
Norbert (2014), dimana depresi semakin meningkat pada seseorang,
sebagai akibat adanya faktor risiko seperti sosiodemografi, penyakit
kronis, kurangnya komunikasi, dan kurangnya pengetahuan masayarakat
maupun tentang depresi (Schmitz, 2014).
Depresi adalah salah satu masalah terbesar gangguan psikologis
pada pasien diabetes mellitus tipe 2, dengan prevalensi antara 24% hingga
29%. Depresi pada diabetes mellitus tipe 2 juga sangat berhubungan
dengan ketidakmampuan mengkontrol glikemik, meningkatkan
komplikasi, meningkatkan kematian, menurunkan fungsi fisik dan fungsi
fikiran, meningkatkan biaya kesehatan. (starkstein, 2014).
Ironisnya, penanganan depresi pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 tampaknya kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan
komplikasi diabetes yang lainnya. Kurangnya perhatian terhadap kondisi
tersebut tidak seharusnya terjadi mengingat depresi berhubungan dengan
4
komplikasi diabetes dan kematian. Bukti menduga bahwa pengenalan dan
pengobatan untuk depresi kurang ideal dan khususnya pada setting
pelayanan primer dimana kebanyakan pasien dengan diabetes
mendapatkan perawatan secara fisik saja (Egede, 2012). Contohnya di
negara Palestina 294 yang di survei untuk melihat depresi dan data
demografi seperti usia, jenis kelamin, bodi massa indeks, tingkat
pendidikan dan lain lain pada pasian diabetes mellitus, hasilnya adalah
40% pasien yang diskrining memiliki potensi depresi namun tidak ada
yang mendapatkan penanganan. Padahal sebaiknya penilaian psikososial
harus menjadi bagian dari rutinitas klinis untuk evaluasi pasien di klinik
primer untuk meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan hasil yang
merugikan pasien diabetes mellitus (Sweileh, 2014).
Reaksi-reaksi psikis yang mungkin muncul merupakan masalah
lain bagi tim kesehatan disamping masalah diabetes melitus itu
sendiri, yang selanjutnya akan mempengaruhi penanganan penderita.
Dari sudut pandang tenaga kesehatan hal ini berarti prevalensi gangguan
jiwa ringan dan merupakan resiko terjadinya gangguan jiwa berat.
Munculnya problema secara psikiatri tersebut berarti ilmu keperawatan
jiwa dapat memainkan peranannya dalam penanganan penderita, terutama
mereka yang mengalami problema psikiatri seperti di atas. Hal ini harus
disadari oleh para tim kesehatan terlebih agar dapat mengambil sikap
yang bijak dalam menghadapi penderita diabetes melitus, terlebih bila
dihubungkan dengan kencederungan meningkatnya prevalensi disbetes
melitus di Indonesia (Edurne, 2014).
5
Pada penelitian Kuminingsih (2013) di RS Ungaran, didapatkan
proporsi depresi pada pasien diabetes mellitus tipe II sebesar 41% dan
hasil penelitian diatas tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Peyrot,
dkk (2009) yang mendapatkan prevalensi depresi pada pasien diabetes
mellitus sebesar 41,3%. Didapatkan angka 37,6% depresi pada nilai
HbA1c <9,5% angka 40,6% pada nilai HbA1c 9,5-12,0% serta 43,6%
pada nilai HbA1c >12,0%. Ini berarti control gula darah yang buruk
berhubungan dengan tingginya kejadian depresi.
Hasil studi pendahuluan di Rawat Jalan Rumah Sakit Umum
Kardinah Kota Tegal yaitu peneliti melakukan pengukuran tingkat depresi
kepada 5 pasien diabetes mellitus tipe 2 menggunakan kuesioner Beck
Depression Inventory (BDI). Didapatkan hasil bahwa 4 diantaranya pasien
diabetes mellitus tipe 2 tidak terdapat gejala depresi, sedangkan 1 lainnya
masing – masing mengalami depresi ringan dan sedang. Dari penjelasan
tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian tentang tingkat depresi pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit Umum Kardinah Kota
Tegal.
B. Rumusan Masalah
Seseorang yang menderita depresi sangat memerlukan peningkatan
pelayanan kesehatan karena beban emosional. Mengenali gejala depresi
pada individu dengan diabetes sungguh diperlukan oleh penderita DM
tipe II maupun sebaliknya, dan skrining untuk depresi pada penderita
diabetes sangat dianjurkan. Tetapi metode skrining depresi pada
6
penderita DM tipe II dan intervensinya belum cukup memadai. Dari
permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian antara diabetes melitus
tipe 2 dan depresi. Oleh karena itu saya akan melakukan penelitian
dengan judul “Gambaran Tingkat Depresi Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal”.
C. Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana gambaran tingkat depresi pada individu yang menderita
diabetes mellitus tipe 2?
2. Bagaimana tingkat depresi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 antara
laki – laki dan perempuan di RSUD Kardinah?
3. Bagaimana tingkat depresi pada pasien DM tipe II berdasarkan
berapa lama terdiagnosis. Di RSUD Kardinah?
4. Bagaimana tingkat depresi pada pasien DM tipe II berdasarkan
pekerjaan di RSUD Kardinah?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Melihat gambaran tingkat depresi pada individu yang menderita
Diabates Melitus Tipe II di RSUD Kardinah Kota Tegal.
2. Tujuan Khusus
a) Tingkat depresi pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
RSUD Kardinah Kota tegal.
b) Tingkat depresi pada pasien diabetes melitus tipe 2 antara laki-laki
dan perempuan di RSUD Kardinah Kota tegal.
7
c) Tingkat depresi pada pasien DM tipe II berdasarkan berapa lama
terdiagnosis di RSUD Kardinah.
d) Tingkat depresi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan
pekerjaan.
E. Manfaat penelitian
1. Pelayanan Keperawatan
Dari penelitian ini diharapkan akan menemukan gambaran tentang
tingkat depresi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit
Umum Kardinah Kota Tegal. Hasil dari penelitian ini akan berguna
untuk memberikan gambaran tentang masalah psikososial pada
penderita Diabetes mellitus tipe 2.
2. Pengembangan Ilmu Keperawatan
Menambah khasanah referensi penelitian untuk mahasiswa –
mahasiswa lain dalam bidang ilmu keperawatan khususnya keperwatan
jiwa dan keperawatan medical bedah.
3. Pasien
Selain sebagai subjek penelitian, pasien juga akan mengetahui
bagaimana kondisi psikologisnya dan mengetahui bagaimana rencana
selanjutnya ketika pasien mengalami gangguan psikologis.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Pengertian
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen
yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia (Brunner & Suddarth, 2002). Diabetes melitus adalah
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan
kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik
absolut maupun relatif (Rochmah,2007).
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan
kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (arjatmo, 2002). Diabetes melitus merupakan
gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat
(Silvia, 2005).
Diabetes melitus adalah gangguan hiperglikemia yang
disebabkan oleh ketidakadekuatan insulin (Allman et al, 2009).
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh
berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan
terhadap insulin (Guyton & Hall, 2007).
Diabetes melitus adalah gangguan kronis metabolisme
10
karbohidrat, lemak dan protein (Robbins, 2007). Diabetes melitus
merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Potter, 2005).
2. Tipe Diabetes Melitus
Ada beberapa tipe DM yang berbeda, penyakit ini dibedakan
berdasarkan penyebab, perjalanan klinis dan terapinya. Klasifikasi
DM menurut (Guyton & Hall 2007), adalah :
a) Diabetes Tipe I
Insulin dependen diabetes melitus (IDDM) terjadi karena
insulin yang diproduksi oleh sel pankreas (sel beta) mengalami
kerusakan. Penderita DM tipe I memproduksi insulin sedikit
sekali dan bahkan hampir tidak ada sehingga glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai energi.
Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan
kerusakan sel beta pankreas pada banyak pasien diabetes tipe I,
meskipun faktor herediter berperan penting untuk menentukan
kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan - gangguan tersebut
(Guyton & Hall 2007).
b) Diabetes Tipe II
Non insulin dependen diabetes melitus (NIDDM) atau
diabetes melitus tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
11
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada
diabetes melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel
ini. Diabetes tipe II lebih sering dijumpai daripada tipe I, dan kira-
kira ditemukan sebanyak 90% dari kasus diabetes mellitus pada
umumnya. Pada kebanyakan kasus onset diabetes melitus tipe II
terjadi diatas umur 30 tahun, seringkali diantara usia 50 dan 60
tahun, dan penyakit ini timbul secara perlahan-perlahan. Oleh
karena itu sindrom ini sering disebut sebagai diabetes onset
dewasa. Akan tetapi akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus
yang terjadi pada individu yang lebih muda, sebagian berusia
kurang dari 20 tahun dengan diabetes melitus tipe II. Tren
tersebut agaknya berkaitan terutama dengan peningkatan
prevalensi obesitas, yaitu faktor risiko terpenting untuk diabetes
melitus tipe II pada anak- anak dan dewasa (Guyton & Hall
2007).
c) Diabetes Gestasional
Diabetes Gestasional terjadi pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mengidap diabetes. Sekitat 50% pengidap
kelainan ini akan kembali ke status non diabetes setelah
kehamilan berakhir. Namun risiko mengalami diabetes tipe I pada
waktu mendatang lebih besar daripada normal. Penyebab diabetes
gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan
12
energi dan kader estrogen, hormon pertumbuhan yang terus
menerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan
estrogen merangsang pengeluaran insulin dan dapat menyebabkan
gambaran sekresi berlebihan insulin seperti diabetes melitus tipe
II yang akhirnya menyebabkan penurunan responsivitas sel.
Hormon pertumbuhan memiliki beberapa efek anti insulin,
misalnya perangsangan glikogenolisis (penguraian glikogen) dan
penguraian jaringan lemak, semua faktor ini mungkin berperan
menimbulkan hiperglikemia pada diabetes gestasional (Guyton &
Hall 2007).
3. Etiologi
a) Diabetes Tipe I
Faktor genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I
itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan
genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik
ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi
dan proses imun lainnya (Potter, 2005).
Faktor imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya
suatu respon autoimun, respon ini merupakan respon abnormal
dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing (Potter, 2005).
13
Faktor lingkungan. Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi
sel beta.
b) Diabetes Tipe II
Usia. Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas
30 atau 40 tahun (Corwin, 2001).
Pola makan. Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar
kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya DM
tipe II, hal ini pankreas mempunyai kapasitas disebabkan
jumlah/kadar insulin oleh sel maksimum untuk disekresikan.
Oleh karena itu, mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan
tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat
menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan
menyebabkan DM (Corwin, 2001).
Faktor genetik. Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM
orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai
anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut. Jika kedua
orang tua menderita diabetes, insiden diabetes pada anak –
anaknya meningkat (Corwin, 2001).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2005), tanda dan gejala atau
manifestasi klinik yang muncul pada penderita DM diantaranya
adalah:
Poliuria (peningkatan pengeluaran urin) dikarenakan ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
14
mengakibatkan glukosuria yang disertai cairan dan elektrolit yang
berlebihan (brunner, 2005).
Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi eksternal. Rasa
lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otit dan
ketidak mampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Gangguan aliran darah yang dijumpai pada pasien
diabetes lama juga berperan menimbulkan kelelahan (brunner, 2005).
Polifagia (peningkatan rasa lapar) glukosa yang tidak bisa digunakan,
akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori, sehingga sel-sel
kelaparan. Sering terjadi penurunan berat badan. Peningkatan angka
infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita
diabetes kronik (brunner, 2005).
Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot. Rabas vagina, kesulitan
orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria.
Penglihatan kabur mungkin akibat perubahan dalam lensa atau
akibat retinopati.
Luka yang tidak sembuh-sembuh.
Ketonuria (terdapat zat keton dalam jumlah yang berlebihan dalam
urin) hal ini dikarenakan glukosa tidak dapat digunakan sebagai
energi pada sel yang tergantung oleh insulin, sehingga lemak
digunakan sebagai sumber energi dengan proses lemak dipecah
menjadi badan keton dalam darah dan dikeluarkan oleh ginjal.
15
Pruritus infeksi pada kulit terjadi karena infeksi yang diakibatkan
oleh bakteri dan jamur sering terlihat secara umum.
5. Patofisiologi
Diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa penyebab,
diantaranya adalah kerusakan sel beta pankreas, genetik, lingkungan
(virus tertentu), usia, obesitas, kelompok etnik yang mempengaruhi
sel beta pankreas mengalami kemunduran atau ketidak mampuan
dalam menghasilkan insulin. Dimana insulin ini merupakan hormon
yang terjadi secara alamiah yang mengontrol penggunaan glukosa
sebagai energi sehari-hari, sehingga glukosa tidak sampai ke jaringan
atau sel. Produksi glukosa tidak terukur oleh hati dan glukosa dari
makanan tidak bisa disimpan dalam hati, dan tetap berada dalam
darah. Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika
glukosa tersebut diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga
terganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala
16
lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan, disamping itu akan
terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi
badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak
(Price, 2003).
Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan
asam-basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik
yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda-tanda. Dan gejala seperti
nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton,
dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian (Price, 2003).
6. Komplikasi
Menurut Price & Sylvia (2003), komplikasi yang timbul dari diabetes
melitus adalah :
a) Akut
Hipoglikemia. Adalah keadaan kilnik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini ringan berupa
gelisah sampai berat berupa koma dan kejang. Penyebabnya
adalah obat-obat hipoglikemia oral golongan sulfoniluria,
khususnya glibenklamid.
Hipoglikemia juga bisa terjadi karena makan kurang dari aturan
yang ditetukan. Berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah
melahirkan, sembuh dan sakit dan makan obat yang mempunyai
sifat serupa. Hipoglikemik timbul bila glukosa darah kurang
dari 50 mg/dl.
17
Hiperglikemia. Adalah adanya masukan kalori yang berlebihan,
penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres
akut. Tanda khas kesadaran menurunkan disertai dehidrasi berat.
Ketoasidosis Diabetik (KAD). Ganguan metabolik yang
mengancam hidup yang secara potensial akut yang terjadi sebagai
akibat defisiensi insulin lama dikarakteristikan dengan
hiperglikemia yang ekstrem (lebih dari 300 mg/dl). KAD
dimanifestasikan sebagai status berlanjutnya patofisiologi oleh
DM, pasien tampak sakit berat dan memerlukan intervensi
darurat untuk mengurangi kadar gula darah dan memperbaiki
asidosis berat, elektrolit dan ketidakseimbangan cairan. Faktor-
faktor pencetus KAD adalah obat-obatan (steroid, diuretik,
alkohol), penurunan masukan cairan, kegagalan masukan insulin
sesuai program, stres, emosi berat, kegagalan untuk mengikuti
modifikasi diet.
b) Kronik
Penyakit makrovaskular
Penyakit makrovaskular adalah karena aterosklerosis, terutama
mempengaruhi pembuluh darah besar dan sedang karena
kekurangan insulin. Lemak diubah menjadi glukosa untuk
energi. Perubahan pada sintesis dan katabolisme lemak
mengakibatkan peningkatan LDL (Low Density Lippoprotein)
okulasi vaskuler dari arterosklerosis dapat menyebabkan
penyakit arteri koroner. Penyakit vaskuler perifer dan penyakit
18
serebral. Penderita DM dan kelainan makrovaskular dapat
memberikan gambaran kelainan pada tungkai bawah. Baik
berupa ulkus maupun gangren diabetik.
Penyakit Mikrovaskular
Terutama mempengaruhi pembuluh darah kecil dan disebabkan
oleh penebalan membran dasar kapiler dan peningkatan kadar
glukosa darah secara kronis. Hal ini dapat menyebabkan
diabetik retinopati, neuropati dan nefropati.
c) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Rochmah (2007), pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk mengetahui seseorang menderita diabetes melitus adalah:
Glukosa darah meningkat 100-200 mg/dl atau lebih, aseton plasma
atau keton positif, asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol
meningkat elektrolit,gas darah arteri : pH rendah dan penurunan
pada HCO3 (asidosis metabolik), trombosit : Ht mungkin
meningkat (dehidrasi), ureum/kreatinin : mungkin meningkat atau
normal (dehidrasi/penurunan fungfi ginjal), insulin darah :
mungkin menurun bahkan tidak ada (pada tipe I) atau normal
sampai tinggi (pada tipe II), urin : gula dan aseton positif, berat
jenis urin mungkin meningkat, kultur : kemungkinan adanya ISK
(infeksi saluran kemih), infeksi pernapasan dan infeksi pada luka.
Parkeni (2006) menetapkan kriteria diagnostik yang menyatakan
DM adalah: kadar gula darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl,
kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl, kadar
19
plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram.
B. Depresi
1. Pengertian Depresi
Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan yaitu suatu
perasaan tidak ada harapan lagi. Individu yang mengalami depresi
pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik dan sosial
yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah
marah dan tersinggung, hilang semangat, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya konsentrasi, dan menurunnya daya tahan (Videbeck, 2001).
Dalam Chaplin (2010) depresi didefinisikan pada dua keadaan, yaitu
pada orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal,
depresi merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, patah semangat)
yang ditandai dengan perasaan tidak puas, menurunnya kegiatan, dan
pesimis dalam menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus
patologis, depresi merupakan ketidakmampuan ekstrem untuk
bereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nilai diri,
delusi ketidakpastian, tidak mampu dan putus asa. Perbedaan
depresi normal dengan depresi klinis terletak pada tingkatannya,
namun keduanya memiliki jenis simtom yang sama. Tetapi depresi
unipolar atau mayor depresi mempunyai simtom yang lebih banyak,
lebih berat (severely), lebih sering, dan terjadi dalam waktu yang
lebih lama. Namun batas antara gangguan depresif normal
(‘normal’ depressive disturbance) dengan gangguan depresif klinis
20
(clinically significant depressive disorder) masih kabur (Rosenhan
& Seligman, 2007).
Berdasarkan berbagai definisi dari faktor-faktor yang disebutkan di
atas, maka dapat disimpulkan pengertian depresi adalah suatu
keadaan dimana individu mengalami simtom-simtom perasaan sedih,
tertekan, kesepian, berkurang nafsu makan, membutuhkan usaha lebih
besar dalam melakukan sesuatu, kesulitan tidur, kesulitan untuk
memulai mengerjakan sesuatu, merasa tidak bersahabat, dan
merasa tidak disukai orang lain (maslim, 2004).
2. Gejala Depresi
Dalam DSM-V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder fourth edition Text Revision) dituliskan kriteria depresi
mayor yang ditetapkan apabila sedikitnya lima dari gejala di bawah
ini telah ditemukan dalam jangka waktu dua minggu yang sama dan
merupakan satu perubahan pola fungsi dari sebelumnya, paling tidak
satu gejalanya ialah salah satu dari mood tertekan atau
hilangnya minat atau kesenangan (tidak termasuk gejala-gejala
yang jelas yang disebabkan kondisi medis umum atau mood delusi
atau halusinasi yang tidak kongruen) (Kaplan, 2010).
a) Mood tertekan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari,
sebagaimana ditunjukkan oleh laporan subjektif atau
pengamatan dari orang lain. Ditandai dengan berkurangnya minat
dan kesenangan dalam semua, atau hampir semua aktivitas
hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (ditunjukkan oleh
21
pertimbangan subjektif atau pengamatan dari orang lain).
b) Berkurangnya berat badan secara signifikan tanpa diet atau
bertambahnya berat badan (seperti perubahan lebih dari 5%
berat badan dalam sebulan), atau berkurangnya atau
bertambahnya nafsu makan hampir setiap hari (pada kanak-kanak,
pertimbangkan juga kegagalan untuk mendapatkan tambahan berat
badan).
c) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
d) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat
diamati oleh orang lain, tidak hanya perasaan subjektif tentang
kegelisahan atau rasa terhambat).
e) Lelah atau kehilangan tenaga hampir setiap hari.
f) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau
tidak sesuai (yang mencapai taraf delusional) hampir setiap
hari (tidak hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah
karena sakitnya).
g) Menurunnya kemampuan berpikir atau konsentrasi, atau ragu-
ragu hampir setiap hari (baik atas pertimbangan subjektif atau
pengamatan dari orang lain).
h) Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya takut akan
kematian), atau usaha bunuh diri atau adanya suatu rencana
spesifik untuk bunuh diri.
22
3. Etiologi Depresi
Kaplan & Saddock pada tahun (2010) menyatakan bahwa sebab
depresi dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain: aspek biologi,
aspek genetik, aspek psikologi dan aspek lingkungan sosial.
a) Aspek Biologi
Penyebabnya adalah gangguan neurotransmiter di otak dan
gangguan hormonal. Neurotransmiter antara lain dopamin,
histamin, dan noradrenalin.
Dopamin dan norepinefrin. Keduanya berasal dari asam
amino tirosin yang terdapat pada sirkulasi darah. Pada neuron
dopaminergik, tirosin diubah menjadi dopamine melalui 2 tahap:
perubahan tirosin menjadi DOPA oleh tirosin hidroksilase (Tyr-
OH). DOPA tersebut akan diubah lagi menjadi dopamin (DA)
oleh enzim dopamin beta hidroksilase (DBH-OH). Pada
jaringan interseluler, DA yang bebas yang tidak disimpan pada
vesikel akan dioksidasi oleh enzim MAO menjadi DOPAC.
Sedangkan pada jaringan ekstraseluler (pada celah sinap) DA
akan menjadi HVA dengan enzim MAO dan COMT.
Serotonin. Serotonin yang terdapat pada susunan saraf pusat
berasal dari asam amino triptofan, proses sintesis serotonin sama
dengan katekolamin, yaitu masuknya triptofan ke neuron dari
sirkulasi darah, dengan bantuan enzim triptofan hidroksilase
akan membentuk 5-hidroksitriptofan dan dengan dekarboksilase
23
akan membentuk 5-hidroksitriptamin (5-HT).
b) Aspek Genetik
Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood, akan
tetapi pola pewarisan genetik melalui mekanisme yang sangat
kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian sebagai berikut:
Dari penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa
sanak keluarga turunan pertama dari penderita gangguan bipoler
I berkemungkinan 8-18 kali lebih besar dari sanak keluarga
turunan pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan
bipoler I dan 2-10 kali lebih mungkin untuk menderita gangguan
depresi berat. Sanak keluarga turunan pertama dari seorang
penderita berat berkemungkinan 1,5-2,5 kali lebih besar daripada
sanak keluarga turunan pertama subjek kontrol untuk menderita
gangguan bipoler I dan 2-3 kali lebih mungkin menderita depresi
berat.
c) Aspek Psikologi
Sampai saat ini tak ada sifat atau kepribadian tunggal yang secara
unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua
manusia dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan
tertentu. Tetapi tipe kepribadian dependen- oral, obsesif-
kompulsif, histerikal, mungkin berada dalam resiko yang lebih
besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian
antisosial, paranoid, dan lainnya dengan menggunakan
proyeksi dan mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan yang
24
lainnya. Tidak ada bukti hubungan gangguan kepribadian
tertentu dengan gangguan bipoler I pada kemudian hari. Tetapi
gangguan distimik dan gangguan siklotimik berhubungan
dengan perkembangan gangguan bipoler I di kemudian harinya.
d) Aspek Lingkungan sosial.
Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi
mengisi pada pasien yang terkena depresi suatu rasa
pengendalian dan penguasaan lingkungan.
4. Beck Depression Inventory (BDI)
BDI merupakan kues ioner untuk mengukur skala
depresi yang diciptakan oleh Aaron T Beck. Skala pengukuran depresi
didasarkan pada sebuah teori kognitif. Kuesioner BDI tidak hanya
menangkap perubahan dalam suasana hati, tetapi juga perubahan
dalam motivasi, fungsi fisik, dan fitur kognitif dari penderita depresi.
Beck mulai memperhatikan karakteristik yang terjadi pada
depresi. Dalam pengamatan Beck, depresi atau perubahan suasana
hati disebabkan oleh adanya gangguan berfikir. kuesioner BDI
merupakan skala pengukuran interval yang mengevaluasi 21 gejala
depresi, 15 diantaranya menggambarkan emosi, 4 perubahan sikap, 6
gejala somatik. Tujuannya adalah untuk mengukur gejala depresi dan
tingkat keparahannya pada orang dewasa. Setiap gejala dirangking
dalam skala intensitas 4 poin dan nilainya ditambahkan untuk memberi
total nilai dari 0 – 63, nilai yang lebih tinggi mewakili depresi yang
lebih berat. Pertanyaan dalam skala tersebut diisi sendiri oleh
25
responden. (Holon, 2010)
Beck dilatih dalam model psikodinamik (seperti kebanyakan
psikiater di bagian tengah dari abad terakhir) dan memulai program
ambisius penelitiannya yang dirancang untuk menguji gagasan Freud
bahwa depresi merupakan konsekuensi dari kemarahan yang diarahkan
terhadap diri dengan sadar. Dalam serangkaian studi eksperimental dan
klinis, ia menemukan sedikit bukti dari kemarahan yang diasumsikan
oleh teori dinamis dalam perilaku pasien depresi; apa yang ia temukan
adalah sesuatu kerugian yang konsisten dan kegagalan pribadi.
Daripada membiarkan teori yang ada mendorong interpretasi, ia
mengusulkan reformulasi utama yang menyatakan bahwa masalah inti
dalam depresi bukanlah produk dari dorongan sadar dan pertahanan,
melainkan konsekuensi dari keyakinan terlalu negatif dan bias dalam
pengolahan informasi. Dengan demikian ia menekankan peran kausal
dari satu kelas gejala depresi, peran kausal yang sebagian besar telah
diabaikan oleh teoritis perspektif utama hari ini. Dalam retrospeksi,
mudah untuk melupakan betapa revolusioner perspektif ini terbukti.
Teori Psikodinamik yang berasal dari Freud menyatakan bahwa
penyebab depresi dan jenis-jenis psikopatologi terletak pada motivasi
bawah sadar yang tidak dapat langsung ditangani tanpa memicu
pertahanan pada pasien yang menyebabkan mereka untuk menolak
upaya perubahan yang diperlukan. Sebaliknya, teori bihavior, pesaing
utama pada saat itu, menyatakan bahwa psikopatologi merupakan
konsekuensi dari kekuatan luar yang terbaik yang dapat diatasi dengan
26
penataan lingkungan eksternal. Baik menempatkan banyak gagasan
dan hal-hal yang pasien percaya, apa yang dia pikir atau diharapkan,
memainkan peran dalam kesusahan dan masalah dalam mengatasinya.
Formulasi kognitif oleh Beck mengenai psikopatologi benar-benar
revolusioner, dan teori kognitifnya membuka jalan bagi beberapa
pengobatan di era modern saat itu. Dilain sisi hal ini banyak yang
menolak, dan masyarakat yang lebih besar menganggap teorinya
merupakan menyimpang dijalan yang benar. Monografi Beck depresi,
diringkas dari yang awalnya susah banyak hal yang rumit menjadi
sederhana. Di dalamnya ia mengusulkan bahwa depresi adalah bagian
dari konsekuensi dari kecenderungan sistematis untuk melihat hal-hal
dengan cara yang negatif dan bias. Dia memperkenalkan konsep
tentang pandangan-pandangan negatif kognitif tentang diri, dunia, dan
masa depan, peran skema, kelompok keyakinan, dan kecenderungan
sehubungan dengan informasi. untuk memastikan bahwa setiap
modalitas memiliki kesempatan untuk diuji secara adil agar berhasil.
Kualitas dan imparsialitas investigasi tersebut telah memberikan
kontribusi besar terhadap dampak pada lapangan, dan kemudahan yang
telah mereka replikasi. Teori kognitif telah berkembang selama
bertahun-tahun, dan terapi kognitif telah direvisi berdasarkan kedua
temuan eksperimental dan wawasan klinis, yang memungkinkan untuk
digeneralisasi untuk berbagai gangguan lain di berbagai situasi klinis.
Bahkan ada bukti bahwa terapi kognitif dapat diajarkan kepada orang-
orang yang berisiko dalam pelayanan untuk mencegah munculnya
27
tekanan berikutnya. Komitmennya terhadap prinsip-prinsip keilmuan
dan kesediaannya untuk tunduk keyakinannya potensi. Penegasan telah
memberikan kontribusi baik untuk membentuk pendekatan dan
keberhasilan yang telah menikmati (Holon, 2010).
5. Berduka
a. Definisi berduka
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. Stroebe (1987) (dalam moyle & Hogan, 2006)
menganggap berduka sebagai situasi objektif dari seorang individu
yang baru saja mengalami kehilangan dari sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada. Berduka mengacu pada respons
emosional terhadap kehilangan ini, termasuk beberapa reaksi
psikologis dan fisik (Buglass, 2010).
Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini
dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup
respons dan perilaku emosi, fisik, spiritual, social, dan intelektual
ketika individu, keluarga dan komunitas menghadapi kehilangan
actual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan
kedalam kehidupan mereka sehari-hari (NANDA, 2011). Dari
berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka
merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan
sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi,
fisik, spiritual social mauopun intelektual seseorang. Berduka
28
sendiri merupakan respon yang normal yang dihadapi setiap orang
dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan.
Berduka situasional sendiri diartikan sebagai suatu kondisi
ketika individu atau kelompok mengalami sejumlah reaksi dalam
merespon kehilangan yang bermakna yang berhubungan dengan
efek negative akibat peristiwa kehilangan sekunder, kehilangan
gaya hidup dan kehilangan normalitas sekunder. Peristiwa
kehilangan sekunder timbul akibat adanya nyeri kronis, penyakit
terminal, dan kematian. Kehilangan gaya hidup timul akibat
peristiwa melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan
rumah, dan perceraian. Sedangkan kehilangan normalitas sekunder
mucul sebagai akibat cacat, bekas luka, dan penyakit (Carpenito,
2006).
b. Faktor penyebab berduka
Banyak situasi yang dapat menimbulkan kehilangan yang
dapat menimbulkan respon berduka pada diri sendiri (carpenito,
2006). Situasi yang paling sering ditemui adalah sebagai berikut:
1) Patofisiologi
Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian
yang bersifat sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis,
kardiovaskuler, sensori, musculoskeletal, digestif, pernapasan,
ginjal dan trauma;
2) Terkait pengobatan
Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialysis
29
dalam jangka waktu yang lama dan [rosedur pembedahan
(masektomi, kolostomi, histerektomi);
3) Situasional (personal, lingkungan)
Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa
kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal,
dan kematian; berhubungan dengan kehilangan gaya hidup
akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak
meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan
dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat,
bekas luka, penyakit;
4) Maturasional
Berhubungan dengan perubahan akibat penuaan seperti
teman-teman, pekerjaan, fungsi dan rumah yang berhubungan
dengan kehilangan harapan dan impian.
Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi
oleh bagaimana cara individu merespon terhadap terjadinya
peristiwa kehilangan. Menurut miller (1999) (dalam Carpenito,
2006), dalam menghadapi kehilangan, individu dipengaruhi oleh:
1) Dukungan sosial (support system)
2) Keyakinan religious yang kuat
3) Kesehatan mental yang baik
4) Banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau
psikososial yang dialami.
30
c. Tahapan berduka
Terdapat beberapa teori mengenai tahap berduka. Salah
satunya adalah teori yang dikemukakan Kubler-Ross (1969)
(dalam Moyle & Hogan, 2006). Kerangka kerja yang ditawarkan
oleh Kubler-Ross adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:
1) Fase pengingkaran (Denial)
Perasaan tidak percaya, syok, biasanya ditandai dengan
menangis, gelisah, lemah, letih dan pucat. Individu bertindak
seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan
seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu” atau “tidak akan
terjadi pada saya!” umumnya dilontarkan klien;
2) Fase kemarahan (anger)
Perasaan marah dapat diproyeksikan pada orang atau beda
yang ditandai dengan muka merah, suara keras, tangan
mengepal, nadi cepat, gelisah, dan perilaku agresif. Individu
mempertahankan kehilangan dan mungkin ”bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini individu akan lebih sensitive sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakankoping
31
individu untuk meunutupi rasa kecewa dan merupakan
manifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan;
3) Fase tawar menawar (Bargaining)
Individu mampu mengungkapkan rasa marah akan
kehilangan, ia akan mengekspresikan rasa bersalah, takut dan
rasa berdosa. Individu berupaya untuk membuat peprjanjian
dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan.
Pada tahap ini, individu sering sekali mencari pendapat orang.
Peran perawat pada tahap ini diam, mendengarkan dan
memberikan sentuhan terapeutik;
4) Fase depresi (depression)
Fase ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul
dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Individu
menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara, putus asa,
perilaku yang muncul seperti menolak makan, susah tidur, dan
dorongan libido menurun. Peran perawat pada fase ini tetap
mendampingi individu dan tidak meninggalkannya sendirian;
5) Fase penerimaan (Acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganiasi perasaan kehilangan,
pikiran yang berpusat pada objek kehilangan mulai berkurang.
Pera perawat pada tahap ini menemani klien apabila mungkin
bicara dengan pasien, dan menanyakan apa yang dibutuhkan.
32
d. Tanda dan Gejala Berduka
Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai
tanda dan gejala yang sering terlihat pada individu yang sedang
berduka. Menurut Buglass (2010), tanda dan gejala berduka
melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:
1) Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa
bersalah, kecemasan, menyalahkan diri sendiri,
ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan;
2) Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitifitas terhadap
suara dan cahaya, mulut kering, kelemahan;
3) Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan,
mudah lupa, tidak sabar, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, ketidaktegasan;
4) Reaksi perilaku, misalnya gangguan tidur, penurunan nafsu
makan, penarikan social, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
Tanda dan gejala berduka juga dikemukakan oleh Videbeck
(2001), yang mencakup kedalam lima respon yaitu respon kognitif,
emosional, spiritual, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam
tabel dibawah ini:
Respon Berduka Tanda dan Gejala
Respon kognitif a. Ganguan asumsi dan keyakinan;
b. Mempertanyakan dan berupaaya
menemukan makna kehilangan;
33
c. Berupaya mempertahankan keberadaan
orang yang meninggal atau sesuatu yang
hilang;
d. Percaya pada kehidupan akhirat dan
seolah-olah orang yang meninggal adalah
pembimbing.
Respon Emosional a. Marah, sedih, cemas
b. Kebencian
c. Merasa bersalah dan kesepian
d. Perasaan mati rasa
e. Emosi tidak stabil
f. Keinginan kuat untuk mengembalikan
ikatan dengan individu atau benda yang
hilang
g. Depresi, apatis, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan
Respon Spiritual a. Kecewa dan marah pada Tuhan
b. Penderitaan karena ditinggaljan atau
merasa ditinggalkan atau kehilangan
c. Tidak memiliki harapan, kehilangan
makna
Respon perilaku a. Menangis terisak atau tidak terkontrol
b. Gelisah
c. Iritanilitas atau perilaku bermusuhan
34
d. Mencari ataumenghindari tempat dan
aktifitas yang dilakukan bersama orang
yang telah meninggal
e. Kemungkinan menyalahgunakan obat atau
alcohol
f. Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri
atau pembunuhan
Respon Fisiologis a. Sakit kepala, insomnia
b. Gangguan nafsu makan
c. Tidak bertenaga
d. Gangguan pencernaan
e. Perubahan system imun dan endokrin
d. Akibat berduka
Setiap orang merespon peristiwa kehilangan dengan cara yang sangat
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
dikatakan maladaptive pada saat menghadapi peristiwa kehilangan akut.
Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka
akan menimbulkan respon detrimental (cenderung merusak) yang akan
berkelanjutan dan berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka
yang maladaptif tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai
akibat munculnya emosi negatif dalam diri individu. Dampak yang muncul
diantaranya perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi
sosial.
35
C. Psikososial dan DM
1. Depresi dan DM tipe II
Hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body) telah menjadi topik
perdebatan sejak dulu kala. Sudah dipastikan fungsi mental selalu
tergantung pada otak tapi keinginan untuk membahas kedua hal ini
secara terpisah terus berlannjut. Filsuf Prancis abad ke-17 Rene
Descartes (1596-1650) mempengaruhi pemikiran modern dengan
keyakinannya tentang dualisme atau keterpisahan antara pikiran dan
tubuh. Sekarang, para klinisi dan ilmuwan menyadari bahwa pikiran
dan tubuh sangat kuat terjalin tidak seperti yang dikirakan oleh model
dualistic yaitu bahwa faktor psikologis mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh fungsi fisik. Dengan kata lain, kesehatan mental dan kesehatan
fisik tidak terpisahkan (Kendler, 2010).
Pembahasan tentang hubungan antara pikiran dan tubuh diawali
dengan mendalami peranan stress dalam fungsi fisik maupun mental.
Istilah stress menunjukan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh.
Dalam dunia fisik, batu dengan berat berton-ton yang berjatuhan pada
saat tanah longsor mengakibatkan stress, membentuk lekukan dan
lubang. Dalam bidang kesehatan jiwa, kita menggunakan istilah stress
untuk menunjukan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami
individu/organisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri.
Sumber stress disebut stressor. Stressor menyangkut factor-faktor
psikologis seperti ujian sekolah, masalah hubungan sosial, dan
perubahan hidup seperti kematian orang tercinta, perceraian, dan
36
menurunnya kondisi tubuh. Dalam batas tetentu stress sehat untuk diri
kita, stress membantu kita untuk tetap aktif dan waspada. Akan tetapi
stress yang sangat kuat atau berlangsung lama dapat melebihi
kemampuan kita untuk mengatasi (coping ability) dan menyebabkan
distress emosional seperti depresi atau kecemasan, atau keluhan fisik
seperti sakit kepala dan kelelahan. (Nevid, 2011)
Stress emosional berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik
maupun psikologi. Berikut proses terjadinya depresi pada penyakit
menahun.
a. Gangguan penyesuaian
Gangguan penyesuaian adalah gangguan psikologis pertama
yang kita bahas, gangguan penyesuaian ini termasuk kelompok
gangguan yang paling ringan. Gangguan penyesuaian merupakan
suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stressor yang dikenali dan
berkembang beberapa bulan sejak munculnya stressor. Reaksi
maladaptif ini terlihat dari adanya daya yang bermakna (signifikan)
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademik, atau adanya kondisi
distress emosional yang melebihi batas normal. Reaksi maladaptif
dalam bentuk gangguan penyesuaian ini mugkin teratasi bila
stressor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stressor
(Nevid, 2011).
Menggolongkan gangguan penyesuaian sebagai gangguan
mental memunculkan beberapa kesulitan karena tidak mudah
didefinisikan apa yang normal dan tidak normal dalam konsep
37
ganguan penyesuaian. Bila sesuatu yang buruk terjadi pada hidup
kita, maka wajar bila kita merasa sedih. Bila ada krisis dalam
pekerjaan, saat dituduh melakukan kejahatan, mengalami
kebanjiran, gempa atau badai bisa dimengerti bila kita mengalami
kecemasan atau depresi. Sebaliknya, justru apabila kita tidak
bereaksi “maladaptif”, (misalnya cemas), paling tidak secara
temporer, karena terjadinya peristiwa peristiwa seperti tersebut
diatas, dapat menunjukan ada yang tidak wajar pada diri kita.
Namun, bila reaksi emosional kita berlebihan, atau kemampuan
kita untuk berfungsi mengalami penurunan atau hendaya,
(misalnya menghindari interaksi social, sulit bangun tidur,
tertinggal dalam pelajaran sekolah), maka kondisi ini bias
didiagnosis sebagai gangguan penyesuaian. Jadi, bila kita sulit
berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas karena putus cinta dan
nilai akademik menurun, maka kita mungkin mengalami gangguan
penyesuaian. (Nevid, 2011).
b. Stress dan Penyakit
Sumber-sumber psikologi dari stress tidak hanya
menurunkan kemampuan kita untuk menyesuaikan diri, tetapi
secara tajam juga mempengaruhi kesehatan kita begitu juga
sebaliknya. Bidang ilmu psikoneuroimunologi mempelajari
hubungan antara factor-faktor psikologi, dengan cara kerja system
endokrin, system kekebalan tubuh, dan system saraf (Davison,
2006).
38
a) Stres dan Sistem Endokrin
Stres mempunyai efek domino dalam system endokrin yaitu
sebuah system tubuh yang berupa kelenjar yang memproduksi
dan melepaskan sekresi yang disebut hormone, langsung ke
saluran darah. (kelenjar yang lain, seperti kelenjar ludah
memproduksi air liur, melepas sekresinya kedalam suatu
system pembuluh). System endokrin yang terdiri dari kelenjar-
kelenjar mendistribusikan hormone ke seluruh tubuh, beberapa
kelenjar endokrin terlibat dalam menampilkan respon tubuh
terhadap stres. Pertama, hipotalamus, suatu struktur kecil di
otak, melepas suatu hormone yang menstimulasi kelenjar
pituitary didekatnya untuk menghasilkan adrenocorticotrophic
hormone (ACTH). ACTH selanjutnya, menstimulasi kelenjar
adrenal yang berlokasi diatas ginjal. Dibawah pengaruh ACTH,
lapisan terluar kelenjar adrenal yang disebut korteks adrenal,
sekelompok steroid (misalnya, cortisol dan cortison), kortikol
steroid ini merupakan hormone yang mempunyai sejumlah
fungsi yang berbeda beda dalam tubuh. Hormone ini
mendorong perlawanan terhadap stres, membantu
perkembangan otot dan menyebabkan hati melepaskan gula,
yang merupakan tenaga dalam menghadapi stressor yang
megancam. Mereka juga membantu tubuh mempertahankan
diri dari reaksi alergi dan peradangan (inflammation) (Davison,
2006).
39
Cabang simpatis dari susunan saraf otonom (ANS)
menstimulasi lapisan dalam dari kelenjar adrenal, disebut:
medulla adrenalis, untuk melepas zat kimia yang disebut
cathecolamine-epinefrin (adrenalin) dan noneprinefrin (non
adrenal). Zat ini berfungsi sebagai hormone setelah terlepas
didalam aliran darah. Nonepinefrin juga diproduksi di system
saraf dan berfungsi sebagai suatu neurotransmitter, gabungan
epinefrin dan nonepinefrin menggerakkan tubuh menghadapi
stressor dengan meningkatkan kerja jantung dan menstimulasi
hati untuk melepaskan persediaan gula, menjadi tenaga yang
bias digunakan untuk melindungi diri kita dalam situasi yang
mengancam.
Hormone-hormon stres yang diproduksi oleh kelenjar
adrenalin membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor
atau ancaman.apabila stressor sudah terlewati, tubuh kembali
ke keadaan normal. Selama stres yang kronis, tubuh terus
menerus memompa keluar hormon-hormon, yang dapat
menyebabkan kerusakan pada keseluruhan tubuh, termasuk
menekan kemampuan dari system kekebalan tubuh yang
melindungi kita dari berbagai infeksi dan penyakit. (Davison,
2006).
b) Depresi dan sistem kekebalan tubuh
Pengetahuan tentang kerumitan tubuh manusia dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat membuat
40
kita sadar bahwa kita tergantung pada ahli-ahli medis untuk
meghadapi dan melawan penyakit. Sebenarnya tubuh kita
mempunyai kekuatan untuk menghadapi penyakit melalui
fungsi system kekebalan. (Davison, 2006).
System kekebalan (immune system) adalah system
pertahanan tubuh melawan penyakit. Perlawanan terhadap
penyakit ini dilakukan dengan berbagai cara. Tubuh anda
secara konstan melakukan misi untuk mencari dan membunuh
mikroba. Berjuta sel darah putih yang disebut leukosit, adalah
pasukan system kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskop
ini. Leukosit secara sistematis menyelebungi dan membunuh
pathogen seperti bakteri, virus dan jamur; sel-sel tubuh yang
sudah rusak; sel-sel kanker.
Leukosit mengenali pathogen-patogen yang menyerang ini
dari lapisan permukaan mereka yang disebut antigen, atau bias
dikatakan sebagai generator antibody. Beberapa leukosit
memproduksi antibody protein khusus yang melekat pada sel-
sel yang dianggap asing, menonaktifkan sel-sel tersebut,
memberi tanda bagian mana yang harus dihancurkan. (Nevid,
2011).
Limfosit khusus yaitu “memory lymphocytes” (limfosit
adalah suatu jenis leukosit) tidak bertugas menghancurkan sel-
sel asing, tapi berfungsi sebagai cadangan. Limfosit ini dapat
berada dalam aliran darah selama bertahun tahun dan
41
membentuk pasokan untuk memberikan respons kekebalan
yang cepat terhadap penyerangan berikutnya. (Nevid, 2011).
Semakin banyak bukti menunjukan depresi membuat kita
rentan terhadap penyakit karena melemahnya system
kekebalan tubuh. Melemahnya system kekebalan tubuh
membuat kita rentan terhadap penyakit umum seperti demam
dan flu, dan meningkatkan risiko berkembangnya penyakit
kronis, termasuk kanker.
Adanya sumber stres fisik seperti udara dingin atau suara
keras, apalagi bila terjadi secara intens dan dalam jangka
waktu lama, akan dapat mengurangi fungsi kekebalan.
Demikian juga berbagai stressor psikologi mulai dari sulit tidur
sampai ujian.
c) Sindrom Adaptasi menyeluruh
Peneliti tentang stres Hans Selye (1976) menciptakan
istilah sindrom adaptasi menyeluruh GAS (general adaptation
syndrome) untuk menjelaskan pola respon umum terhadap
stres yang berlebihan dan berkepanjangan. Selye
mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap
berbagai stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stres
berupa serangan bakteri mikroskopi, penyakit karena
organisme. Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan
stres, tubuh kita seperti jam dengan system alarm yang tidak
berhenti sampai tenaganya habis. (Nevid, 2011).
42
GAS terdiri dari tiga tahap: tahap reaksi waspada (alarm
reaction), tahap resistensi (resistancy stage), tahap kelelahan
(exhausting stage). Persepsi terhadap stressor yang muncul
secara tiba-tiba akan memicu munculnya reaksi kepadanya.
Reaksi menggerakan tubuh untuk mempertahankan diri.
Diawali oleh otak dan diatur oleh system endokrin dan cabang
simpatis dari system saraf otonom. Pada tahun 1929, walter
cannon, fisiolog dari Harvard university menyebut pola respon
ini sebagai reaksi berjuang atau melarikan diri (fight or flight).
Seperti telah dibahas sebelumnya, bagaimana system endokrin
merespon stres, pada saat tahap reaksi waspada, kelenjar
adrenal, dibawah kendali kelenjar pituari dalam otak,
memompa keluar kortikal steroid dan catecholamines yang
membantu pertahanan tubuh.
Apabila stressor bersifat persisten, kita akan mencapai
tahap resistansi (resistancy stage), atau tahap adaptasi pada
GAS. Respon-respon endokrin dan system simpatis (misalnya,
melepaskan hormone-hormon stres) tetap pada tingkat tinggi,
tetapi tidak setinggi sewaktu tahap reaksi waspada. Pada tahap
ini tubuh membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan.
Apabila stressor tetap berlanjut atau terjadi stressor baru yang
memperburuk keadaan, kita dapat sampai pada tahap kelelahan
(exhausting stage) dari GAS. Meskipun daya tahan terhadap
stres antarindividu berbeda, semua individu pada akhirnya
43
kelelahan atau kehabisan tenaga. Tahap kelelahan ditandai oleh
dominasi cabang parasimpatis akhirnya dari ANS. Sebagai
akibatnya, detak jantung dan kecepatan nafas menurun.
Apakah kondisi tenang seperti ini menguntungkan kita? Tidak
demikian kenyataannya. Apabila sumber stres menetap, kita
mengalami apa yang disebut Selye sebagai “penyakit
adaptasi”. Penyakit adaptasi ini rentangnya panjang, mulai
reaksi alergi sampai sampai penyakit jantung, bahkan sampai
pada kematian. Dapat dengan jelas dipelajari disini bahwa stres
kronis dapat merusak kesehatan kita, membuat kita lebih
rentan terhadap berbagai jenis penyakit dan komplikasi dari
penyakit tersebut. (Nevid, 2011)
44
d) Kerangka Teori
Skema 2.1
(Moyle & Hogan, 2006, Davison, 2006, Nevid, 201Keliat, 2006,Lumonga, 2009)
Proses patofisiologis
Stressor (DM tipe II)
mengakibatkan depresi
dan komplikasinya.
Proses patopsikologis
Fase pengingkaran (denial)
ditandai dengan perasaan tidak percaya, syok
(menangis, gelisah, lemah, letih dan pucat)
Fase kemarahan (Anger)
ditandai dengan muka merah, suara keras, tangan
mengepal, nadi cepat, gelisah, dan perilaku agresif.
Fase tawar menawar (bargaining)
Ditandai dengan mengungkapkan rasa marah,
mengekspresikan rasa bersalah, takut dan rasa
berdosa.
Fase depresi (depression)
Ditandai dengan sikap menarik diri, tidak mau
berbicara, putus asa, mucul perilaku penolakan seperti
makan, susah tidur, dorongan libido menurun.
Fase penerimaan (acceptance)
Ditandai dengan reorganisasi perasaan kehilangan,
pikiran berpusat pada objek kehilangan,
membutuhkan seorang pembimbing untuk menata
kehidupannya kembali baik tenaga kesehatan maupun
psikolog.
Gangguan penyesuaian
Mempengaruhi sistem hormon
Hipotalamus kel. Pituitary
(mengelurakan ACTH) kel.
Adrenal mengeluarkan (steroid
& kortison) perlawanan terhadap
ganguan penyesuaian jika
hal in berlangsung lama stres
kronis (depresi) menurunkan
fungsi kekebalan tubuh sehingga
membuat rentan terhadap
penyakit
45
e) Penelitian Terkait
Dari hasil penelitian Anderson (2001) yang dilakukan
menunjukan terdapat 48% penderita diabetes melitus yang
mengalami depresi akibat dari penyakitnya. Gejala depresi sering
dijumpai pada penderita diabetes melitus dengan menunjukan
jumlahnya 13,6% berbanding dengan bukan penderita diabetes
mellitus dengan menunjukan jumlahnya 8,7% (Amato, 2009).
Selain itu, hasil penelitian dari International Diabetes Federation
(2005) menunjukan prevalensinya 60% penderita diabetes melitus
mengalami depresi sedang. Manakala pada penderita diabetes
melitus yang disertai dengan depresi mayor mempunyai kerentanan
untuk berulang menderita depresi apabila diikuti selama 5 tahun
(Lutsman, 2009).
Menurut penelitian Anderson (2012) mendapatkan prevalensi
depresi pada penderita diabetes melitus secara signifikan lebih
pada wanita diabetes 28% daripada pria diabates 18% apabila
dilakukan studi keatas 42 orang. Prevalensi seumur hidup
depresi pada masyarakat mencapai 5% sampai 12% pada pria,
dan 10% sampai 25% pada wanita.
Berdasarkan pula penelitian Aina (2006), menemukan 10%
menjadi 20% dari individu dengan diabetes melitus mengalami
depresi dan akan terjadinya peningkatan sehingga 30% pada
penderita diabetes melitus yang mempunyai riwayat depresi
sebelum ini.
46
Hasil penelitian diatas menunjukan bahwa penderita diabetes
melitus sering mempunyai kerentanan untuk mengalami depresi
dan kasus ini akan meningkat dari tahun ke tahun.
47
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan bagan yang menunjukan hubungan antar
variabel. Kerangka konsep merupakan skema yang diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang pola fikir terkait cara dan proses penelitian
yang dilakukan dengan menempatkan bagian-bagian teori dalam variabel sesuai
dengan variabel yang diteliti. Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk
mengetahui gambaran tingkat depresi dan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
RSUD Kardinah Kota Tegal.
Gambar 3.1
Kerangka konsep menurut tinjauan pustaka
48
B. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara dan alat ukur Hasil ukur Skala
Depresi Gangguan suasana perasaan,
kehilangan minat, menurunnya
kegiatan, pesimisme menghadapi
massa yang akan datang
Responden mengisi
kuesioner khusus tingkat
depresi yang disediakan
dan alat ukur yang
digunakan adalah beck’s
depression inventory
a. Nilai 0-9 menunjukkan
tidak ada gejala depresi.
b. Nilai 10-15
menunjukkan adanya
depresi ringan.
c. Nilai 16-23
menunjukkan adanya
depresi sedang.
d. Nilai 24-63
menunjukkan adanya
depresi berat (Holon, D
Steven. Aaron T. Beck:
The Cognitive
Revolution In Theory
And Therapy. USA.
2010).
Ordinal
49
Jenis kelamin Identitas responden penelitian sesuai dengan kondisi biologis dan fisik
Kuesioner 1 = laki – laki 2 = perempuan
Nominal
Pekerjaan Kegiatan yang dilakukan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan kehidupan
Kuesiner 1 = Pegawai negeri Sipil 2 = swasta 3 = wiraswasta 4 = lainnya
Ordinal
50
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggambarkan
tingkat depresi pada pasien Diabetes Melitus tipe II. Data yang diambil
akan dianalisis secara univariat.
B. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek
yang mempunyai kuantitas dua karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Setiadi, 2007).
Populasi dalam penelitian ini adalah Semua penderita diabetes
melitus tipe 2 di Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUD Kardinah Kota
Tegal.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi
(Hidayat, 2007). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang
dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling
(Nursalam, 2008).
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2
yang ada di bagian Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUD Kardinah Kota
Tegal.
51
3. Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
aksidental sampling, artinya mencari penderita diabetes melitus tipe II
yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah
di tetapkan dalam kurun waktu tertentu (Setiadi, 2007).
a) Kriteria Inklusi
1) Terdiagnosis Diabetes Melitus tipe II.
2) Mampu membaca dan menulis
3) Sedia mengikuti prosedur penelitian dan menandatangani
Informed Concern
b) Kriteria Eksklusi
1) Timbul komplikasi yang berat akibat Diabetes Melitus tipe II
4. Besar Sampel
Untuk menentukan besaran sampel pada penelitian diatas yaitu
menggunakan rumus oleh Slovin sebagai berikut:
n = jumlah sampel
N = jumlah seluruh anggota populasi
E = error tolerance (toleransi terjadinya kesalahan,taraf
signifikansi kesehatan lazimnya 0,05)
Berdasarkan rumus Slovin diatas maka didapatkan sampel
untuk penelitian ini adalah sebanyak 79 orang dengan rincian sebagai
n = N/(1+Ne^2)
52
berikut: populasi tiap bulan pasien diabetes mellitus tipe II yang periksa di
rawat jalan Rumah Sakit Umum Kardinah adalah 85, jika dihitung dengan
rumus Slovin maka didapat sampel 70,1 orang ditambah 10 persen dari
sampel untuk menghindari data eror atau bias. Jadi didapatkan 79
responden.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUD
Kardinah Kota Tegal. Rantang waktu penelitian ini adalah 8 juni – 6 juli
2015
D. Etika Penilitian
Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek sehingga
tidak boleh bertentangan dengan etik penelitian (Setiadi, 2007). Pada
penelitian ini, peneliti meyakinkan responden perlu mendapat
perlindungan dari hal – hal yang merugikan selama penelitian dengan
memperhatikan aspek – aspek self determination, privacy, anonymity,
confidentially, dan protection from discomfort (Polit, 2006)
Penggunaan prinsip etik merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penelitian. Prinsip etik digunakan untuk
melindungi hak subyek penelitian.
Hak-hak subyek dalam penelitian telah dilindungi, dengan cara
menerapkan prinsip etika penelitian, yakni beneficience dan
maleficience, autonomy dan justice (Polit, 2006).
1. Prinsip Beneficience dan Maleficience
Prinsip beneficience mengandung arti bahwa penelitian yang
53
dilakukan telah memberi dampak baik langsung maupun tidak
langsung terhadap responden. Sebelum diberikan informed concern
responden telah diberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian
yang akan dilakukan (Polit, 2006).
Prinsip maleficience mengandung arti bahwa penelitian ini
tidak akan menimbulkan risiko yang membahayakan responen.
Responden telah dilindungi fisik dan psikologisnya sehingga tetap
merasa aman (Polit, 2006).
2. Prinsip Autonomy
Prinsip ini bertujuan memberikan perlindungan terhadap
harkat dan martabat responden. Penerapan prinsip autonomy
dilakukan dengan prinsip self determination yakni hak otonomi
responden untuk ikut atau tidak berpartisipasi dalam penelitian,
setelah sebelumnya diberikan penjelasan tentang prosedur, manfaat,
dan risiko dari penelitian yang dilakukan. Responden dapat
mengundurkan diri dari penelitian tanpa konsekuensi apapun.
Peneliti berupaya mengurangi penolakan responden dalam
penelitian ini dengan cara membina hubungan saling percaya dan
menjelaskan prosedur penelitian serta manfaatnya bagi responden
(Polit,2006).
54
3. Prinsip justice
Makna dari prinsip justice ini adalah bahwa responden
dihargai atau dihormati serta dijaga privacy dan anonymity-nya.
Prinsip ini diterapkan dalam penelitian ini dengan cara tidak
mencantumkan identitas responden dalam semua berkas penelitian.
Data yang diperoleh dari setiap responden hanya diketahui oleh
peneliti dan responden yang bersangkutan, dengan cara
mencantumkan kode responden pada lembar data yang dikumpulkan
(Polit, 2006).
4. Informed Concent
Polit dan Hungler (2006) mengatakan bahwa informed
concern diartikan sebagai kondisi dimana responden sudah
mempunyai informasi yang cukup terkait penelitian yang akan
dilakukan, memahami informasi, memiliki kekuasaan untuk secara
sukarela memilih terlibat atau menolak ikut dalam penelitian.
Informed concern dapat dilakukan apabila lima elemen penting sudah
dilakukan antara lain:
Responden telah diberikan penjelasan tentang tujuan dari
penelitian yang akan dilakukan
Responden diberikan penjelasan tentang risiko dan potensi
ketidaknyamanan yang mungkin dialami selama penelitian.
Bentuk ketidaknyamanan seperti mengambil waktu responden,
menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi dan kelelahan dalam
menjawab responden.
55
Responden diberikan penjelasan tentang manfaat langsung dan
tidak langsung dari penelitian yang dilakukan
Responden diberikan penjelasan tentang prosedur yang akan
dilakukan dan peneliti memberikan jawaban semua
pertanyaan responden.
Responden dapat mengundurkan diri kapan saja tanpa
konsekuensi apapun.
E. Instrumen Peneltian
untuk memperoleh data atau informasi dari responden, peneliti
menggunakan instrument penelitian berupa lembar kuesioner. Kuesiner
adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan sengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis kepada
responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan
tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007).
Instrument dalam penelitian ini merupakan data primer yang
diambil melalui dua kuesioner, yaitu:
a. Instrumen pertama berupa pertanyaan megenai data demografi r
esponden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, lama
menderita diabetes mellitus tipe II.
b. Beck Depression Inventory (BDI)
Beck Depression Inventory merupakan instrumen untuk
mengukur derajat depresi dari Dr. Aaron T. Beck. Mengandung
skala depresi yang terdiri dari 21 Item yang menggambarkan 21
56
kategori, yaitu: (1) perasaan sedih, (2) perasaan pesimis, (3) perasaan
gagal, (4) perasaan tak puas, (5) perasaan bersalah, (6) perasaan
dihukum, (7) membenci diri sendiri, (8) menyalahkan diri, (9)
keinginan bunuh diri, (10) mudah menangis, (11) mudah tersinggung,
(12) menarik diri dari hubungan sosial, (13) tak mampu mengambil
keputusan, (14) penyimpangan citra tubuh,(15) kemunduran
pekerjaan, (16) gangguan tidur, (17) kelelahan, kehilangan nafsu
makan, (19) penurunan berat badan, (20) preokupasi somatik, (21)
kehilangan libido.
Klasifikasi nilainya menurut Aaron T. Beck dalam Steven J. Holon
(2010) adalah sebagai berikut:
Nilai 0-9 menunjukkan tidak ada gejala depresi, nilai 10-15
menunjukkan adanya depresi ringan, nilai 16-23 menunjukkan adanya
depresi sedang, nilai 24-63 menunjukkan adanya depresi berat.
F. Uji Validitas Dan Realibilitas
1. Uji Validitas
Validitas merupakan ketepatan atau kecermatan pengukuran,
valid artinya alat tersebut dapat mengukur apa yang ingin diukur
secara tepat (Azwar, 2012). Untuk mengetahui validitas suatu
instrumen dilakukan dengan cara melakukan korelasi antarskor
masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel
dikatakan valid jika skor variabel tersebut berkorelasi secara
signifikan dengan skor totalnya (Setiadi, 2007).
57
Pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat hasil
perhitungan t hitung, apabila t hitung > t tabel, maka pertanyaan
tersebut valid, sedangkan apabila t hitung < t tabel, maka pertanyaan
tersebut tidak valid (Sugiyono, 2010).
Pada penelitian ini uji coba instrument dilakukan pada tanggal
13 hingga 20 Mei 2015. Uji coba dilakukan terhadap 25 pasien
diabetes mellitus tipe II yang sesuai kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi di rawat jalan Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal
dengan hasil tiap – tiap item pertanyaan pada variable tingkat depresi
pada pasien diabetes mellitus tipe II yang menggunakan kuesioner
Beck Depression Inventory, berkisar antara 0,393 sampai 0,826. Nilai t
hitung ini kemudian dibandingkan dengan t tabel Pearson Product
Moment pada signifikan 5% dengan uji 2 ekor (two tailed) dan n = 25,
yaitu sebesar 0,381. Kesimpulannya adalah kuesioner Beck Depression
Invntory valid.
2. Uji Realibilitas
Reliabilitas artinya kestabilan pengukuran, alat dikatakan
reliabel jika digunakan berulang-ulang nilainya sama. Sedangkan
pertanyaan dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap
pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Setiadi, 2007).
Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur realibilitas data
apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Pengukuran realibilitas
menggunakan bantuan software computer dengan rumus Alpha
Cronbach. suatu variable dikatakan reliabel jika alpha Cronbach >
58
0,60.
Pada penelitian ini, uji reliabilitas pada variable tangkat depresi
pada pasien diabetes mellitus tipe II menghasilkan nilai α = 0,741.
Nilai alpha Cronbach > 0,60. Jadi, instrument ini dianggap reliabel,
dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
G. Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan bulan juni hingga juli 2015. Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
dengan menggunakan kuesioner. Ada beberapa tahap yang dilakukan
dalam pengambilan data dalam penelitian ini, yaitu :
1. Tahap pertama, peneliti menentukan permasalahan, subjek penelitian,
tempat penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta menentukan
judul penelitian. Peneliti mengajukan surat izin dari Fakultas untuk
diberikan kepada pihak Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal.
2. Setelah perizinan penelitian disetujui oleh pihak Rumah Sakit Umum
Kardinah Tegal, peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan
terkait penelitian yang akan dilakukan.
3. Selanjutnya, peneliti menyusun proposal skripsi dan melakukan ujian
seminar proposal skripsi.
4. Selanjutnya peneliti melakukan uji validitas dan realibilitas instrument
pada 25 pasien di rawat jalan Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal.
5. Setelah instrument penelitian valid dan reliabel, peneliti melakukan
koordinasi dengan bagian rawat jalan Rumah Sakit Umum Kardinah
tegal untuk mendapatkan calon responden sesuai kriteria inklusi.
59
6. Setelah peneliti mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan, peneliti melakukan informed consent terhadap
calon responden.
7. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, responden
diberikan penjelasan mengenai cara pengisian kuesioner.
8. Kuesioner yang telah diisi selanjutnya diolah dan dianalisi oleh
peneliti.
H. Analisi Data
1. Pengolahan Data dan Analisis Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun
data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a) Mengkode data (data coding)
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah
dikumpulkan untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut.
b) Menyunting data (data editing)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran
data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian,
konsistensi pengisian setiap jawaban kuesioner. Data ini
merupakan data input utama untuk penelitian ini.
c) Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data dalam program software computer
berdasarkan klasifikasi.
d) Membersihkan data (data cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk
60
memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan
demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
2. Analisis data
a) Analisis Univariat
Analisis univariate merupakan analisis tiap variable yang
dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan
cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007). Variabel
pada penelitian ini meliputi data demografi, variabel independen
yaitu tingkat depresi pasien diabetes mellitus tipe II.
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi
dan persentase dari setiap variabel yang dikehendaki dari tabel
distribusi..
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum (RSU) Kardinah Tegal merupakan Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang kesehatan Kota Tegal. Sebagai
lembaga pelayanan kesehatan masyarakat, RSU Kardinah Tegal adalah
lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat
dengan sumber dana Anggaran pemerintah Belanja Daerah (APBD) Kota
Tegal. RSU Kardinah merupakan Rumah Sakit milik negara yang
beralamat di Jl. KS. Tubun Kelurahan Kejambon, Kecamatan Tegal Barat,
Kota Tegal.
1. Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal
a. Visi Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal
Menjadi Rumah Sakit bertaraf nasional, mandiri dengan
pelayanan prima.
b. Misi Rumah sakit Umum Kardinah Tegal
1) Mengembangkan manajemen rumah sakit yang efektif dan
professional (Good Corporate Governance);
2) Memberikan pelayanan prima kepada seluruh lapisan
masyarakat pengguna jasa rumah sakit dengan menjunjung
62
tinggi standar etika profesi serta berkeadilan (Good Clinical
Governance);
3) Mengembangkan pelayanan kesehatan sesuai dengan
perkembangan teknologi kedokteran terkini berwawasan
lingkungan (Continuous Improvement).
c. Moto Rumah Sakit
Kesembuhan dan kepuasan anda adalah keutamaan bagi kami.
Rumah sakit memiliki berbagai pelayanan salah satunya adalah rawat
jalan poliklinik. Rumah Sakit Umum Kardinah memiliki dua belas rawat
jalan yang terdiri dari bagian spesialis anak, bagian gigi dan mulut,
bagian jantung dan pembuluh darah, bagian kesehatan jiwa, bagian kulit
dan kelamin, bagian mata, bagian obsgyn, bagian spesialis paru, bagian
penyakit dalam, bagian saraf, bagian THT, dan bagian bedah saraf.
Ruangan rawat jalan yang akan dijadikan tempat penelitian adalah
bagian penyakit dalam karena disana penderita DM tipe II dirawat. Jenis
pelayanan yang ada di rawat jalan yaitu diagnostic fisik penyakit dalam,
meliputi: endokrinologi metabolic dan diabetes mellitus, penyakit infeksi
tropic, penyakit gastroenterology dan hepatologi, penyakit rematologi,
penyakit geriatric, penyakit ginjal dan hipertensi, hematologi dan
onkologi. Kemudian pelayanan selanjutnya yaitu pemeriksaan
laboratorium dan penunjang diagnostic termasuk: endoskopi,
gastrointestinal dan ultrasonografi.
63
B. Hasil Analisis Univariat
Analisis univariate dilakukan untuk menganalisis variable – variable
karakteristik individu yang ada secara unideskriptif dengan menggunakan
distribusi frekuensi dan proporsi. Analisis univariate pada penelitian ini
meliputi: data demografi pasien DM tipe II yang terdiri dari jenis kelamin,
usia, lama menderita, pekerjaan, dan tingkat depresi pada pasien DM tipe
II.
1. Data Demografi Pasien DM tipe II
a. Jenis kelamin
Pengelompokan responden berdasarkan kategori jenis kelamin
digambarkan pada table 5.2 berikut:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin di
RSUD Kardinah Kota Tegal (n=79)
Jenis kelamin N %
Laki – laki 42 53,2
Perempuan 37 46,8
Total 79 100
Tabel diatas menunjukan bahwa rata – rata responden yang
menderita DM tipe II berdasarkan jenis kelamin yaitu laki laki
sebanyak 42 orang (53,2%) sedangkan perempuan yang menderita
DM tipe II sebanyak 37 orang (46,8%).
64
b. Pekerjaan
Sebagian besar penderita DM tipe II di rawat jalan RSU kardinah
tegal bermacam – macam latar belakang pekerjaan yaitu Pegawai
negeri Sipil (PNS) sebanyak 24 orang (30,4%), swasta 19 orang
(24%) lalu wiraswasta sebanyak 21 orang (26,6%) dan lainnya
sebanyak 15 orang (19,0%). Berikut tabel penderita dm tipe II di
Rawat Jalan RSU kardinah tegal berdasarkan pekerjaan:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan di RSUD
Kardinah Kota Tegal (n=79)
Pekerjaan N %
PNS 24 30,4
Swasta 19 24,1
Wiraswasta 21 26,6
Lainnya 15 19,0
Jumlah 79 100
c. Lama Menderita
Penderita diabetes mellitus tipe II (DM tipe II) di rawat jalan RSU
Kardinah Kota Tegal berdasarkan lama menderita yaitu pasien
yang menderita selama 0 – 12 bulan sebanyak 16 orang 20,3%, 12
– 24 bulan sebanyak 28 orang 35,4%, dan antara 24 – 36 bulan
sebanyak 22 orang 27,8% serta antara 36 – 48 bulan lebih
sebanyak 13 orang 16,5%.
65
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Lama Menderita di
RSUD Kardinah Kota Tegal (n=79)
Lama Menderita N %
0 – 12 bulan 16 20,3
12 – 24 bulan 28 35,4
24 – 36 bulan 22 27,8
36 – 48 bulan 13 16,5
Jumlah 79 100
2. Variabel Independen
Tingkat depresi pada pasien DM tipe II menurut kuesioner Beck
Depression Inventory dikategorikan menjadi 4, yaitu tidak ada gejala
depresi, depresi ringan, depresi sedang dan depresi berat. Tidak ada
gejala depresi jika jumlah skor 0 – 9, depresi ringan jika jumlah skor
10 – 15, kemudian jumlah skor 16 – 23 menunjukan depresi sedang
dan depresi berat jika jumlah skor 24 – 63. Hasil penelitian ini
menunjukan 65 orang tidak memiliki gejala depresi, 12 orang yang
mengalami depresi ringan, dan 2 orang yang mengalami depresi
sedang, sedangkan yang mengalami depresi berat tidak ada. Berikut
tabel yang menggambarkan tingkat depresi pada pasien DM tipe II:
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Tingkat Depresi di RSUD
Kardinah Kota Tegal (n=79)
Tingkat depresi N %
Tidak ada gejala depresi 65 82,3
Depresi ringan 12 15,2
Depresi sedang 2 2,5
Depresi berat 0 0
Jumlah 79 100
66
Jika dilihat lebih dalam lagi yang menderita depresi, maka didapatkan
data sebagai berikut: dimulai dari responden yang mengalami depresi
ringan. Menurut jenis kelamin laki – laki sebanyak 5 orang (41,67%),
sedangkan perempuan sebanyak 7 orang (58,43%). Jika dilihat secara
jenis pekerjaan maka untuk responden yang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sebanyak 4 orang (33,33%), Swasta 2 orang
(16,33%), Wiraswasta 4 orang (33,33%) dan lainnya 2 orang
(16,33%).
Responden yang mengalami depresi sedang sebanyak 2 orang dengan
jenis kelamin laki – laki, jenis pekerjaan pasien yaitu pertama
wiraswasta dan lainnya. Usia responden cenderung usia produktif yaitu
49 tahun dan 43 tahun.
Berikut data responden yang tidak mengalami depresi : Menurut jenis
kelamin laki – laki sebanyak 36 orang (55,4%), sedangkan perempuan
sebanyak 29 orang (44,6%). Jika dilihat secara jenis pekerjaan maka
untuk responden yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebanyak 20 orang (30,7%), Swasta 17 orang (26,2%), Wiraswasta 15
orang (23,1%) dan lainnya 13 orang (20%). Berdasarkan lama
menderita diabetes mellitus rentang lama 0-1 tahun 10 orang (15,4%),
antara 1-2 tahun 18 orang (27,7%), 2-3 tahun 21 orang (32,3%) dan 3-
4 tahun sebanyak 16 orang (24,6%).
67
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Analisis Data Demografi
1. Gambaran Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini subyek penelitian yang dipilih adalah DM
tipe II, didapatkan distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis
kelamin adalah laki – laki sebanyak 42 orang (53,2%) sedangkan
perempuan sebanyak 37 orang (46,8%) hal ini menunjukan bahwa
yang datang ke Rawat Jalan RSUD kardinah saat penelitian ini
dilakukan lebih banyak laki – laki daripada perempuan.
Hal ini sesuai dengan Smenkof (2015) dimana penderita laki –
laki lebih banyak daripada perempuan yaitu sebanyak 62,3% laki laki
dan 37,7% perempuan. Akan tetapi, dalam penelitian yang dilakukan
oleh Shendro (2013) didapatkan penderita perempuan lebih banyak
daripada laki – laki. sesuai dengan data statistik penderita diabetes
mellitus tipe II di Jawa Timur saat ini dimana angka jumlah penduduk
perempuan lebih banyak daripada laki – laki yaitu sebanyak 62,3%
perempuan dan 37,7% untuk laki – laki.
Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Nadyah (2011) di
Poliklinik Endokrin RSU Prof. DR. R. D. Kandou Manado, dari 138
kasus 78 pasien adalah wanita (57%) dan 60 pasien (43%) adalah pria.
Ditambahkan lagi, Penelitian yang dilakukan oleh Dillard et all (2013)
menunjukan bahwa dari 294 pasien yang diteliti terdapat 164 pasien
(55,8%) adalah perempuan sisanya adalah laki. Laki.
68
2. Gambaran Usia
Distribusi penderita DM tipe II berdasarkan usia adalah
keseluruhan rentang umur subyek penelitian termuda adalah 36 tahun
dan tertua 60 tahun dengan rata rata berusia 48 tahun.
Menurut Suyono dalam Zulianita (2008) diabetes mellitus tipe
II muncul pada usia diatas 40 tahun, karena pada usia 40 tahun keatas
tubuh mengalami banyak perubahan terutama pada organ pancreas
yang memproduksi insulin dalam darah.
Menurut Dilland et al (2013) dari 294 pasien yang diteliti usia
responden (73,5%) atau 216 berusia <65 tahun.
3. Gambaran Jenis Pekerjaan
Tampak subyek penelitian penderita DM tipe II berdasarkan
pekerjaan didapatkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 24 orang (30,4%),
swasta 19 orang (24,1%), Wiraswasta 21 orang (26,6%) dan lainnya 15
orang (19%). Artinya Pegawai Negeri Sipil saat dilakukan penelitian
terbanyak yang mendatangi Rawat Jalan RSUD Kardinah Kota Tegal
dibanding dengan status pekerjaan lainnya. Hal ini tidak menunjukan
PNS lebih rentan daripada status pekerjaan lainnya karena pekerjaan
tidak masuk sebagai factor – factor resiko Diabetes Melitus tipe II.
4. Gambaran Lama Menderita
Menurut subyek penelitian berdasarkan lama menderita DM
tipe II yaitu pasien yang menderita selama 0 – 12 bulan sebanyak 16
orang 20,3%, 12 – 24 bulan sebanyak 28 orang 35,4%, dan antara 24 –
36 bulan sebanyak 22 orang 27,8% serta antara 36 – 48 bulan lebih
69
sebanyak 13 orang 16,5%. Minimal Sembilan bulan dan terlama empat
tahun dengan rata – rata 2,41 tahun.
B. Analisi Variabel Independen
1. Gambaran Tingkat Depresi Pasien Diabetes Melitus Tipe II
Hasil penelitian yang diperoleh oleh peneliti menunjukan bahwa
tingkat depresi pada pasien Diabetes Melitus tipe II (DM tipe II) sangat
rendah, yaitu 65 orang tidak memiliki gejala depresi (82,3%), 12 orang
yang mengalami depresi ringan (15,2%), dan 2 orang yang mengalami
depresi sedang (2,5%), sedangkan yang mengalami depresi berat tidak
ada (0%).
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kuminingsih (2013) di RSUD Ambarawa yaitu 20 orang mengalami
depresi ringan (37,7%), depresi sedang sebanyak 19 orang (35,8%) dan
depresi berat sebanyak 14 orang (26,4%). Kemudian diperkuat oleh
penelitian lain oleh Safitri, D (2013) dalam penelitiannya yang
dilakukan di RSUD Surakarta menunjukan pasien yang tidak
mengalami gejala depresi sebanyak 0%, 58,6% responden mempunyai
depresi tingkat ringan yaitu 51 orang, depresi tingkat sedang sebanyak
41,4% yiatu 38 orang dan depresi berat sebanyak 0% dengan total
responden 87 orang. Perbedaan diatas mungkin terjadi karena
perbedaan tempat penelitian, dan perbedaan instrument penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh Demecic et al (2014) bahwa
prevalensi depresi pada pasien diabetes mellitus tipe II sebanyak
70
36,1% (baik yang moderate, sedang, dan berat) dari sampel.
Kemudian, Huang CJ et al (2012) dalam penelitiannya di Taiwan
menunjukan prevalensi depresi pada diabetes mellitus tipe II di Taiwan
lebih rendah daripada di negara negara barat. Hal ini mengindikasikan
pengaruh perbedaan kebiasaan dan kultur dari masing masing negara.
Berikutnya adalah dari 14 individu yang mengalami depresi baik
ringan maupun sedang yang berjenis laki – laki sebanyak 7 orang dan
yang berjenis kelamin perempuan 7 orang (53,2% dan 46,8%). Hal ini
menunjukan persentase penderita perempuan lebih banyak daripada
laki laki. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Siddiqui, 2014) bahwasanya depresi sering terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki – laki (32,65% vs 24,69%). Prevalensi
depresi pada pasien diabetes mellitus berdasarkan kegiatanya yaitu ibu
rumah tangga sebanyak 38,89%, pekerja sebanyak 23,38%, orang yang
pensiun 24,14% dan pelajar 25%.
Menurut penelitian (waleed, 2014) yang dilakukan di Palestina
bahwa kebanyakan pasien yang menderita depresi adalah perempuan,
memiliki banyak penyakit, pengangguran, pendidikan yang rendah,
rendahnya kepatuhan terhadap pengobatan, dan individu yang nilai
BMI nya abnormal. selanjutnya, berdasarkan hasil analisis multivariat
yang dilakukannya hanya pendidikan yang rendah, pengangguran, dan
memiliki banyak penyakit, dan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap
pengobatan yang memiliki nilai yang signifikan dibanding yang lain.
71
Komplikasi diabetes mellitus tipe II sangat berkaitan dengan
depresi begitu juga sebaliknya. Disfungsi ereksi adalah salah satu
predictor terkuat dari komplikasi diabetes mellitus tipe II dengan
depresi menurut De groot et al (2001) dan Lustman et al (2000).
Penderita diabetes mellitus tipe II yang mengalami depresi tingkat
sedang adalah keduanya perempuan dengan masing – masing usianya
49 tahun dan 53 tahun. Lamanya menderita diabetes mellitus selama 2
tahun 6 bulan dan 1 tahun 9 bulan dengan pekerjaanya adalah ibu
rumah tangga dan PNS.
Menurut Richard 2014 dalam penelitiannya bahwa, populasi umum
yang memiliki faktor resiko untuk depresi pada diabetes mellitus
adalah wanita, status melahirkan, masalah ekonomi, dan memiliki
tingkat kegiatan rendah.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan – keterbatasan yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian, beberapa keterbatasan dalam penelitian ini
yaitu:
a. Waktu yang dilakukan oleh peneliti sangat singkat hanya 1 bulan saja
sehingga sampel atau responden yang didapat memiliki kemungkinan
belum dapat mewakili sebuah populasi yang ada.
b. Penelitian ini hanya menggunakan kuesioner dan tidak menggunakan
observasi pada pasien diabetes mellitus tipe II (DM tipe II) di Rawat
Jalan RSU Kardinah Kota tegal.
73
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Gambaran demografi pasien diabetes mellitus tipe II (DM tipe II) di
RSUD Kardinah Kota Tegal yang menjadi responden dalam penelitian
ini, yaitu: rata – rata jenis kelamin responden adalah laki – laki sebanyak
42 orang, rata – rata usia responden 48 tahun dengan rentang usia mulai
dari 36 tahun hingga 60 tahun, pekerjaan responden terbanyak yaitu
Pegawai Negeri Sipil (PNS) 24 orang, dan rata - rata lama menderita
responden adalah 2,41 tahun.
2. Gambaran tingkat depresi pada pasien diabetes mellitus tipe II (DM tipe
2) di Rawat Jalan RSU kardinah Kota tegal yaitu sebanyak 65 orang
(82,3%) tidak ada gejala depresi, sedangkan sebanyak 12 orang (15,2%)
mengalami depresi ringan dan 2 orang (2,5%) mengalami depresi
sedang.
B. Saran
1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan
Perlu meningkatkan peran dalam mendidik dan komprehensif antara
keilmuan Keperawatan Jiwa dan Keperawatan Medikal Bedah sehingga
dalam melihat suatu masalah atau penyakit tidak dilihat dari satu sisi
saja tetapi dari berbagai sisi dan memiliki beberapa opsi dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
74
2. Bagi Rumah Sakit Umum Kardinah
a. Perlu ditingkatkan kerjasama antara rawat jalan bagian kesehatan
jiwa dan rawat jalan bagian penyakit dalam sehingga memberikan
pelayanan kesehatan yang komprehensif.
b. Perlu dibuat kegiatan untuk merangsang pasien peduli antara
kesehatan jiwa dan kesehatan fisik, seperti melakukan skrining
keadaan kesehatan jjiwa penderita diabetes mellitus di Rumah Sakit
Umum Kardinah Kota Tegal.
c. Perlu diadakan pendidikan kesehatan mengenai kesehatan jiwa
dapat memperburuk sebuah penyakit begitu juga sebaliknya sakit
fisik dapat mendatangkan masalah pada kesehatan jiwa pasien.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Penelitian yang lebih dalam, komprehensif, dalam melihat
hubungan depresi dan diabetes mellitus tipe II sehingga
mendapatkan cara mengatasi antara keduanya.
b. Penelitian dapat dilakukan dengan sampel yang lebih besar serta
perlu dilakukan disemua kota di seluruh Indonesia.
c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kesehatan jiwa dan
kesehatan fisik bukan hanya pada lingkup depresi dengan diabetes
mellitus tipe II yang dilakukan oleh peneliti tetapi aspek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Allman, Eric; Berry, Diane, Laura. 2009. Depression And Coping Heart Failure
Patient: A Review Of the Literature Journal Of Cardiovascular Nursing.
USA.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar. 2012. Metode penelitian. Jogjakarta: pustaka pelajar.
Barker, Philip J. 2004. Assesment in Psychiatric and Mental Health Nursing.
Cheltenham: Nelson Thornes Ltd.
Brunner, Suddart. 2005. Keperawatan Medikal Bedah (Edisi delapan). Jakarta:
EGC
Buglass, E. 2010. Grief and bereavement theories. Nursing standard. Vol. 24,
no. 41.
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Carpenito, J., Lynda. 2006. Buku saku diagnose keperawatan: handbook of
nursing diagnosis. Jakarta: EGC.
Davison, Gerald; John Neale, dkk. 2006. Psikologi Abnormal Alih Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rajawali pers
Degmecic Dunja, Bacun Tatjana, Kovac Vlatka, etc. Depression, Anxiety And
Cognitive Dysfunction In Patients With Type 2 Diabetes Mellitus – A
Study Of Adult Patient With Type 2 Diabetes Mellitus In Osijek,
Croatia. 2014: 2: 711-716.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (RISKESDAS).
Dillard DA, Robinson RF, Smith JJ, etc. Depression And Type 2 Diabetes
Mellitus Among Alaska Native Primary Care Patients. 2013: 23: 56-64
Edurne AM, Altynai S, orueta JF. Prevalence Of Depression In Adult With Type
2 Diabetes Mellitus In The Basque Country: Relationship With
Glycaemic Control And Health Care Costs. 2014: 14: 769.
Guyton, Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 15. Jakarta: EGC
Hannon TS, Rofey DL, Lee SJ, Arslanian SA. Depressive Symptoms And
Metabolic Markers Of Risk For Type 2 Diabetes Mellitus In Obese
Adolescents. 2013: 12: 497-503.
Haslam DW, James WP, 2005. Bimbingan Dokter Pada Diabetes. Jakarta: Dian
Pres.
Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis
data. Jakarta: Salemba Medika
Holon, D steven. 2010. Aaron T. Beck: The Cognitive Revolution In Theory And
Therapy. USA. 2010).
Holt RIG, Groot Mary D, Golden SH. Diabetes And Depression. 2014: 14: 491.
Huang CJ, Lin CH, Lee MH, Chang KP, Chiu HC. 2012. Gen Hospital
Psychiatry. 34. 2012: 242.
Kaplan, HI. 2010. Ilmu Keperawatan Jiwa Darurat. WWidya Medika.
Keliat Budi, 2006. Modul IC-CMHN: manajemen Keperawatan psikososial dan
pelatihan kader kesehatan jiwa. Jakarta: FIKUI.
Kuminingsih. 2013. Hubungan dukungan emosional keluarga dengan tingkat
depresi pada pasien diabetes mellitus tipe II di RSUD Ambarawa.
Ungaran
Lumongga Lubis, Namora. 2009.Depresi Tinjauan Psikologi. Jakarta: Kencana.
Lustman PJ, Anderson RJ, Freedland KE, groot M, Carney RM, Clouse RE.
Depression and poor glycemic control: a meta-analytic review of the
literature. Diabetes care 2000, 23:934-942.
.
association of depression and diabetes complication: a meta-analysis.
Psychosom med. 2001, 63:619-942
Maslim, R. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta:
FK Jiwa Unika Atmajaya.
Moyle, W.P & Hogan NS. 2006. Grief theories and models applications to
hospice nursing practice, Journal of hospice and palliative nursing.
Vol. 10, no 6.
Nadyah, Awad, Yuanita Langi. 2011. Gambaran faktor resiko pasien diabetes
mellitus tipe II di Poliklinik endokrin RSU Prof. Dr. kandou Manado.
Manado
NANDA. 2011. Nursing diagnoses: Definition & classification. UK: Wiley-
Blackwell.
Nevid Jeffrey S, Spencer A. Rathus, dkk. 2011. Psikologi Abnormal Edisi kelima.
Jakarta: Penerbit Airlangga.
Nursalam. 2003. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Palta Priya, Golden SH, Teresi JA, etc. Depression Is Not Associated With
Diabetes Control In Minority Elderly. 2014: 28: 798-804.
Parkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 Di Indonesia. Jakarta: EGC.
Pollit, Hunger. Nursing; Principle and Method (6th ed). Philadelpia. Lippincot.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktek Edisi 4 Vol 1. Jakarta: EGC.
Pouwer F, Geelhoed-duijvestin PH, Tack CJ, Bazelmans E, Beekman AJ, Heine
RJ, Snoek FJ. Prevalence of Comorbid depressiion is hih in out-
patients with type 1 or type 2 diabetes mellitus. Results from three out-
patient clinics in the netherlands. Diabet Med 2010;27 (2); 217-24
Price, Sylvia A, Wilson LM. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis proses – proses
penyakit edisi 6. Jakarta: EGC
Rochmah, Wasilah. 2007.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Savitri. 2006. Diabetes Cara Mengetahui Gejala Diabetes Dan Mendeteksinya
Sejak Dini. Jakarta: BIP.
Schmitz Norbert, Gariepy G, Smith KJ, etc. Longitudinal Relationships Between
Depression And Functioning In People With Type 2 Diabetes. 2014: 47:
172-179.
Semenkovich K, Miriam E. Brown, dkk. Depression In Type 2 Diabetes
Mellitus: Prevalence, Impact, And Treatment. 2015 75:577-587.
Setiadi. 2007. Konsep & penulisan riset keperawatan. Yogyakarta: graha Ilmu.
Siddiqui Samreen, Jha Sujeet, Waghdhere Swati, etc. Prevalence Of Depression
In Patients With Type 2 Diabetes Attending An Outpatient Clinic In
India. 2014: 90: 552-556.
Sweileh WM, abu-hadeed HM, Al-jabi SW, etc. Prevalence Of Depression
Among People With Type 2 Diabetes Mellitus: A Cross Sectional Study
In Palestine. 2014: 14: 163.
Sugiyono. 2007. Statistic untuk penelitian. Bandung: Alfabeta
Syahbuddin, S. 2004. Diabetes Mellitus Dan Pengelolaannya. Jakarta: Pusat
diabetes & Lipid RSUP nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-FKUI.
Videbeck, SI. 2001. Psichiatric mental health nursing. Philadelphia: Lippincot.
Wang ML, Lemon SC, Whited MC, etc. Who Benefit From Diabetes Self-
Management Intervention? The Influence Of Depression In The Latinos
En Control Trial. 2014: 48: 256-264.
Lampiran 2
PENJELASAN PENELITIAN
Saya Muhamad Ilham Ramdani, mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan NIM
1110104000008, bermaksud melakukan penelitian dengan judul ”Gambaran
Tingkat Depresi Pada pasien Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD Kardinah”:
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat depresi pada pasien diabetes
melitus tipe II.
Manfaat penelitian ini adalah untuk Skrining depresi pada pasien Diabetes melitus
tipe II sehingga pasien tidak hanya fokus dengan penyakitnya saja tetapi fokus
juga dengan masalah kesehatan jiwanya juga.
Peneliti akan menjaga segala hal yang menyangkut kerahasiaan responden selama
dan setelah penelitian dilakukan..
Ciputat, Mei 2015
Peneliti
Muhamad Ilham Ramdani
1110104000008
LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Judul Penelitian:
Gambaran Tingkat Depresi Pada pasien Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD
Kardinah.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : .......................
Usia :........................
Jenis kelamin :.......................
Menyatakan telah memahami penjelasan tentang tujuan, manfaat dan kegiatan
yang akan dilakukan dalam penelitian ini dan saya bersedia menjadi responden
dalam penelitian ini
Ciputat, ... Mei 2015
Peneliti,
Muhamad Ilham Ramdani
1110104000008
Lampiran 3
KUESIONER
GAMBARAN TINGKAT DEPRESI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA TEGAL
A. Kuesioner Demografi
Isilah pertanyaan dibawah ini yang sesuai dengan data bapak/ibu
Nama (Inisial) : ………………………………………………..
Jenis kelamin : Pria / Perempuan*
Suku / Ras : Jawa / Batak / Sunda / lainnya* ……………….
Usia : ………………………………………………..
Lama menderita DM : ……………......Tahun…………………bulan
Pekerjaan : PNS / Swasta / Wiraswasta / Lainnya* …….....
B. Kuesioner Beck Depression Inventor
Pilihlah salah satu dengan cara dicontreng ( √ ) pada kolom yang tersedia sesuai dengan
apa yang dirasakan Bapak/Ibu/Saudara
No Kondisi yang dirasakan berkaitan dengan
kondisi kesehatan saat ini Tidak jarang sering selalu
1 Perasaan sedih
2 Perasaan pesimis
3 Kegagalan masa lalu
4 Kehilangan kesenangan
5 Rasa bersalah
6 Perasaan tersiksa
7 Benci terhadap diri sendiri
(Lanjutan)
Pilihlah salah satu dengan cara dicontreng ( √ ) pada kolom yang tersedia sesuai dengan apa yang
dirasakan Bapak/Ibu/Saudara
No Kondisi yang dirasakan berkaitan dengan
kondisi kesehatan saat ini Tidak Jarang Sering Selalu
8 Menyalahkan diri sendiri
9 Keinginan bunuh diri
10 Menangis
11 Perasaan Bimbang
12 Kehilangan minat
13 Tidak mampu mengambil keputusan
14 Perasaan tidak berharga
15 Kehilangan kekuatan
16 Gangguan pola tidur
17 Perasaan mudah marah
18 Kehilangan nafsu makan
19 Kesulitan dalam konsentrasi
20 Kelelahan
21 Kehilangan minat terhadap seks
Lampiran 4
Hasil analisi uji validitas dan realibilitas Correlations
totalskor
item1 Pearson Correlation
.708(**)
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item2 Pearson Correlation
.490(*)
Sig. (2-tailed) .013
N 25
item3 Pearson Correlation
.649(**)
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item4 Pearson Correlation
.400(*)
Sig. (2-tailed) .048
N 25
item5 Pearson Correlation
.427(*)
Sig. (2-tailed) .033
N 25
item6 Pearson Correlation
.574(**)
Sig. (2-tailed) .003
N 25
item7 Pearson Correlation
.393
Sig. (2-tailed) .052
N 25
item8 Pearson Correlation
.423(*)
Sig. (2-tailed) .035
N 25
item9 Pearson Correlation
.(a)
Sig. (2-tailed) .
N 25
item10 Pearson Correlation
.636(**)
Sig. (2-tailed) .001
N 25
item11 Pearson Correlation
.826(**)
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item12 Pearson .757(**)
Correlation
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item13 Pearson Correlation
.525(**)
Sig. (2-tailed) .007
N 25
item14 Pearson Correlation
.420(*)
Sig. (2-tailed) .037
N 25
item15 Pearson Correlation
.636(**)
Sig. (2-tailed) .001
N 25
item16 Pearson Correlation
.528(**)
Sig. (2-tailed) .007
N 25
item17 Pearson Correlation
.402(*)
Sig. (2-tailed) .046
N 25
item18 Pearson Correlation
.643(**)
Sig. (2-tailed) .001
N 25
item19 Pearson Correlation
.702(**)
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item20 Pearson Correlation
.705(**)
Sig. (2-tailed) .000
N 25
item21 Pearson Correlation
.615(**)
Sig. (2-tailed) .001
N 25
totalskor Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
N 25
Reliability Case Processing Summary
N %
Cases Valid 25 100.0
Excluded(a)
0 .0
Total 25 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.741 22
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
item1 20.88 216.027 .684 .727
item2 21.00 216.667 .445 .730
item3 21.00 214.667 .619 .726
item4 21.04 221.540 .362 .735
item5 20.96 221.873 .392 .735
item6 20.96 215.207 .544 .727
item7 21.08 221.743 .356 .735
item8 21.08 222.077 .395 .736
item9 21.44 228.090 .000 .743
item10 20.84 214.057 .602 .725
item11 20.84 210.973 .809 .720
item12 20.92 215.077 .737 .726
item13 21.00 218.167 .494 .731
item14 21.12 222.110 .405 .736
item15 20.68 214.560 .614 .726
item16 20.76 215.690 .499 .728
item17 19.88 219.277 .361 .733
item18 21.08 217.410 .618 .729
item19 21.08 217.993 .681 .730
item20 20.72 209.710 .682 .720
item21 21.12 219.527 .591 .732
totalskor 10.76 56.107 .998 .887
Lampiran 5 usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 36 1 1.3 1.3 1.3
37 1 1.3 1.3 2.5
38 3 3.8 3.8 6.3
39 3 3.8 3.8 10.1
40 5 6.3 6.3 16.5
41 2 2.5 2.5 19.0
42 2 2.5 2.5 21.5
43 3 3.8 3.8 25.3
44 2 2.5 2.5 27.8
45 4 5.1 5.1 32.9
46 4 5.1 5.1 38.0
47 6 7.6 7.6 45.6
48 5 6.3 6.3 51.9
49 5 6.3 6.3 58.2
50 4 5.1 5.1 63.3
51 2 2.5 2.5 65.8
52 3 3.8 3.8 69.6
53 7 8.9 8.9 78.5
54 4 5.1 5.1 83.5
55 2 2.5 2.5 86.1
56 5 6.3 6.3 92.4
58 5 6.3 6.3 98.7
60 1 1.3 1.3 100.0
Total 79 100.0 100.0
pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid PNS 24 30.4 30.4 30.4
Swasta 19 24.1 24.1 54.4
wiraswasta 21 26.6 26.6 81.0
Lainnya 15 19.0 19.0 100.0
Total 79 100.0 100.0
lamamenderita
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 0-12 16 20.3 20.3 20.3
12-24 28 35.4 35.4 55.7
24-36 22 27.8 27.8 83.5
36-48 13 16.5 16.5 100.0
Total 79 100.0 100.0
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Jeniskelamin 79 1 2 1.47 .502
Usia 79 36 60 48.14 6.128
Pekerjaan 79 1 4 2.34 1.108
Lamamenderita 79 1 4 2.41 .994
Valid N (listwise) 79
jeniskelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid laki - laki 42 53.2 53.2 53.2
perempuan 37 46.8 46.8 100.0
Total 79 100.0 100.0
pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid PNS 24 30.4 30.4 30.4
Swasta 19 24.1 24.1 54.4
wiraswasta 21 26.6 26.6 81.0
lainnya 15 19.0 19.0 100.0
Total 79 100.0 100.0
depresi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid 0-9 65 82.3 82.3 82.3
10-15 12 15.2 15.2 97.5
16-23 2 2.5 2.5 100.0
Total 79 100.0 100.0
Tingkat depresi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid tidak ada gejala 65 82.3 82.3 82.3
depresi ringan 12 15.2 15.2 97.5
depresi sedang 2 2.5 2.5 100.0
Total 79 100.0 100.0