gaya bahasa kiasan di tabloid bola skripsi - core.ac.uk · internasional” , jenis gaya bahasa...
TRANSCRIPT
GAYA BAHASA KIASAN
DALAM WACANA “OLE INTERNASIONAL”
DI TABLOID BOLA TANGGAL 3 MARET 2006
SAMPAI DENGAN 22 SEPTEMBER 2006
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Disusun oleh :
Setiawan Werokila
NIM : 014114003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
Jika kesakitan ini atas kehendak-Mu,
itu pula yang aku inginkan…
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Papa dan Mama tercinta (Yustus Yonas Werokila dan Wawa
Widaningsih)
2. Arwin, Yan Peter, Mariana Werokila
3. Alm.Kakek Nie Goan San, Alm.Kakek Arloji Werokila,Alm. Qu Undang
4. Pak Samuel, Bu Anna dan PJ-nya (Shine Jogja)
5. Ibu Ester dan keluarga (Shine Jakarta)
6. Ernawati Ludji
7. Papa dan Mama Fanx
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka sebagaimana layaknya karangan ilmiah.
Yogyakarta,……………2007
Penulis
Setiawan Werokila
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Sahabatku, Yesus Kristus, karena perkenan-Nyalah
skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Kiasan dalam
Wacana “Ole Internasional” di Tabloid Bola Tanggal 3 Maret 2006 sampai
dengan 22 September 2006” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana S-1 pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, kebaikan, dan
dukungan baik material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan,
perhatian, bantuan, dan dukungan tersebut sudah dirasakan penulis sejak awal
menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma. Oleh karena itu,
perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini.
1. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku pembimbing I yang dengan
sabar dan penuh perhatian memberikan dorongan, semangat, masukan, dan
kritikan kepada penulis.
2. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah
memberi masukan kepada penulis dengan penuh perhatian
3. Bapak Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum.,
Ibu Dra. Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Drs. F.X Santosa, M.Hum.,
Bapak Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dan Ibu S.E. Peni Adji ,S.S,
M.Hum., atas bimbingannya selama penulis menjalani studi di Universitas
Sanata Dharma.
4. Staf Sekretariat Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma atas
pelayanannya dalam bidang administrasi.
5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah mendukung
penulis selama menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.
6. Papa dan Mama tercinta (Yustus Yonas Werokila dan Wawa Widaningsih)
yang dalam kesakitannya telah mendoakan, memberi semangat, dukungan
dan usaha keras agar penulis bisa menyelesaikan studi di Universitas
Sanata Dharma.
7. Kakak Arwin Werokila dan keluarga, Kakak Yan Peter Werokila dan
keluarga, Adikku tercinta Mariana Werokila yang senantiasa telah
mendoakan, memberi semangat tak henti-hentinya agar penulis sukses
selama menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.
8. Saudara-saudaraku di Garut dan Sulawesi atas dorongan dan doanya.
9. Alm.Kakek Nie Goan San, Alm.Kakek Arloji Werokila,Alm. Qu Undang
yang semasa hidupnya memberikan dukungan moril kepada penulis.
10. Pak Samuel, Bu Anna dan PJ-nya (Shine Jogja), Ibu Ester dan keluarga
(Shine Jakarta) yang memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani selama
menyelesaikan skripsi (Pertolongan Tuhan memang tepat pada waktunya).
11. Anak-anak Shine Jogja, Surabaya, Jakarta, terima kasih untuk doanya.
12. Teman-teman angkatan 2001, terima kasih atas kebersamaannya selama
belajar di Universitas Sanata Dharma.
13. Matias Gilang, Feri Irawan, Sidhi Pratomo Harja, Kristin Pundong dan
Henry Krisbudi (untuk dukungan materi).
14. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Yogyakarta, ……………2007
Penulis
Setiawan Werokila
ABSTRAK
Werokila, Setiawan. 2007. Gaya Bahasa Kiasan dalam Wacana “Ole
Internasional” di Tabloid Bola Tanggal 3 Maret 2006 sampai
dengan 22 September 2006. Skripsi Strata I (S1) Program Studi
Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas gaya bahasa kiasan dalam wacana “Ole
Internasional” di tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22 September
2006. Tujuannya adalah (1) Mendeskripsikan jenis gaya bahasa kiasan yang
digunakan dalam suatu kalimat dalam wacana “Ole Internasional” di tabloid Bola,
dan (2) Mendeskripsikan fungsi gaya bahasa kiasan dalam wacana “Ole
Internasional”. Data diperoleh dari tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai
dengan 22 September 2006.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode simak, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa dalam wacana “Ole
Internasional” pada tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22
September 2006, setiap hari Selasa dan Jumat. Metode simak dilaksanakan
dengan teknik catat yaitu mencatat kalimat yang mengandung gaya bahasa kiasan
pada kartu data.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode agih yaitu metode
analisis data yang menggunakan unsur bahasa itu sendiri sebagai alat penentunya.
Teknik lanjutan dari metode agih yang dipakai adalah teknik ganti dan teknik
perluas. Teknik ganti digunakan untuk membuktikan gaya bahasa metafora,
simile, hiperbola, personifikasi, oksimoron, sinekdoke pars pro toto. Teknik
perluas untuk membuktikan sinekdoke totem pro parte. Metode penyajian hasil
analisis data yang dipakai dengan menggunakan kata-kata dan tidak menggunakan
rumus-rumus, lambang-lambang, atau diagram.
Hasil penelitian mengenai gaya bahasa kiasan dalam wacana “Ole
Internasional” di tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22 September
2006 adalah sebagai berikut. Pertama, sebuah kalimat dapat memiliki lebih dari
satu gaya bahasa. Kedua, pada tabloid Bola, khususnya dalam wacana “Ole
Internasional”, jenis gaya bahasa yang paling banyak ditemukan adalah gaya
bahasa kiasan yang meliputi: (i) sinekdoke totem pro parte (ii) sinekdoke pars pro
toto (iii) metafora (iv) simile (v) hiperbola (vi) personifikasi (vii) oksimoron.
Fungsi gaya bahasa metafora untuk meningkatkan efek kalimat dan
memberikan variasi arti. Penggunaan gaya bahasa sinekdoke totem pro parte lebih
pada fungsi praktis yaitu untuk menyingkat sebuah frase menjadi sebuah kata,
sedangkan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, dan simile member variasi dalam
penulisan berita olah raga. Untuk gaya bahasa hiperbola dimunculkan jurnalis
untuk memperhebat dan meningkatkan kesan.
Gaya bahasa metafora dan sinekdoke totem pro parte paling sering hadir
ketika ada pertandingan sepakbola antar negara. Dalam tulisannya, wartawan Bola
langsung menggunakan nama negara untuk mewakili tim sepakbola negara yang
bersangkutan, penulisan semacam itu termasuk ke dalam gaya bahasa sinekdoke
totem pro parte (penyebutan keseluruhan untuk mewakili sebagian). Metafora
dibagi menjadi tiga, yaitu metafora antropomorfis, binatang, dan sinestetik,
sedangkan sinekdoke totem pro parte terbagi menjadi dua yaitu sinekdoke totem
pro parte dengan penyebutan negara dan sinekdoke totem pro parte dengan
penyebutan nama klub. Sedangkan untuk hiperbola terbagi menjadi tiga menjadi
hiperbola kuantitatif, hiperbola kualitatif, hiperbola frekuentif. Simile ditandai
dengan kata pembanding seperti layaknya dan bak.
ABSTRACT
Werokila, Setiawan, 2007. Metaphors in Ole Internasional News Column of
Bola Tabloid Dated March 13- September 22,2006. Undergraduate
Thesis. Study Program of Indonesian Literary, Indonesian Literature
Course, Sanata Dharma University .
This thesis explains metaphors in Ole International news column of Bola
tabloid dated March 13-September 22, 2006. The aims of this thesis are (1) to
describe the type of metaphors used in a sentence in Ole International news
column of Bola tabloid, and (2) to describe the function of figurative language
style in Ole International news column. The data are derived from Bola tabloid
dates March 13-September 22, 2006.
The data collecting method that is used in this research is simak method, a
method that observe attentively the using of its langue in Ole International news
column of Bola tabloid dated March 13- September 22, 2006 every Tuesday and
Friday. Observe method is executed with the note technic, i.e. noted sentences that
contain metaphors in the data card.
Data analysis method used is agih method. It is an analysis data method
that uses the languages element it self as the determiner. The continued technique
of sharing method are subtitusion technique and broading technique. Subtitusion
technique is used to prove metaphor, simile, hyperbole, personification,
oksimoron, and sinekdoke pars pro toto figurative language. Broading technique
is used to prove sinekdoke totem pro parte. The analytical result from the data is
served with informal method, presented of data analysis method that uses word,
not formulas, symbols, or diagrams.
The research results of metaphors in “Ole International” news column of
Bola tabloid dated on March 13th-September 22nd, 2006 are as follows. First, a
sentence may have more than one language style. Second, in Bola tabloid, Ole
International section in particular, types of language style which are mostly found
include: (i) sinekdoke totem proparte (ii) sinekdoke pars pro toto (iii) metaphor
(iv) simile (v) hyperbole (vi) personification (vii) oksimoron.
Metaphoric language style to improve sentence’s effect and give meaning
variation. The application of sinekdoke totem pro parte language style is tends to
the practical function, i.e. to sort the phrase into a word, whereas sinekdoke pars
pro toto language styles and simile gives variation in writing process of sport
news. The hyperbole language style appeared by the journalist to improve and
dramatize the impression.
Metaphore and sinekdoke totem pro parte languages style are often used
by Bola journalist for Ole International news column. Sinekdoke totem pro parte
is mostly found when there is a football match between nations. On his/her
writing, sport reporter directly uses word nation to represented the name of the
related football team, automatically that found of writing is included to sinekdoke
totem proparte language style (wholly mentioning to represented some part).
Metaphore is divided into three, i.e., antropomorphosis methapore, animal, and
sinestetik. While sinekdoke totem pro parte with the nation mentioning sinekdoke
totem pro parte with the clubs name mentioning. Hyperbole figurative language is
divided into three type, quantitative hyperbole, qualitative hyperbole, and
frequentive hyperbole. Simile is marked with the comparation word such as
seperti, layaknya, dan bak.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI …………………………… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………….. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………. vi
ABSTRAK ………………………………………………………….. viii
ABSTRACT………………………………………………………….. x
DAFTAR ISI ………………………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………….. 6
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………... 6
1.5 Tinjauan Pustaka…………………………………………... 7
1.6 Landasan Teori…………………………………………….. 11
1.6.1 Pengertian Gaya Bahasa………………………. 11
1.6.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa Kiasan………………. 12
1.6.3 Pengertian Berita………………………………18
1.7 Metode dan Teknik Penelitian…………………………….19
1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data…………19
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data…………….20
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis……………...22
1.8 Sistematika Penelitian……………………………………..22
BAB II JENIS GAYA BAHASA KIASAN DALAM SUATU KALIMA T
PADA KOLOM BERITA OLE INTERNASIONAL
2.1 Pengantar…………………………………………………24
2.2 Dua Gaya Bahasa dalam Satu Kalimat…………………...24
2.2.1 Sinekdoke totem pro parte dan Metafora………..24
2.2.1.1 Sinekdoke Totem pro parte berupa nama
klub mendahului metafora antropomorfis
berupa verba............................................ 24
2.2.1.2 Sinekdoke totem pro parte berupa nama
klub mendahului metafora antropomorfis
berupa nomina………………………….. 25
2.2.1.3 Sinekdoke totem pro parte berupa
nama klub mendahului metafora
binatang……………………………….... 27
2.2.1.4 Dua Sinekdoke totem pro parte berupa
nama klub mengapit metafora
antropomorfis berupa verba……………..28
2.2.1.5 Dua Sinekdoke totem pro parte
berupa nama klub mengapit metafora
antropomorfis berupa nomina……………30
2.2.1.6 Sinekdoke totem pro parte berupa
nama negara mendahului metafora
antropomorfis berupa verba……………...31
2.2.1.7 Metafora antropomorfis berupa verba
mendahului Sinekdoke totem pro parte
berupa nama negara……………………...32
2.2.1.8 Metafora antropomorfis berupa verba
mendahului sinekdoke totem pro parte
berupa nama klub…………………………33
2.2.1.9 Metafora antropomorfis berupa nomina
mendahului sinekdoke totem pro parte
berupa nama negara……………………….35
2.2.2 Sinekdoke Totem Pro Parte dan Sinekdoke Pars
pro toto………………………………………….36
2.2.2.1 Sinekdoke Totem pro parte mendahului
Sinekdoke Pars pro toto…………………..36
2.2.2.2 Sinekdoke pro parte mendahului
sinekdoke totem pro parte………………..37
2.2.2.3 Sinekdoke Totem pro parte berupa
nama negara mendahului Sinekdoke
pars pro toto berupa bagian tubuh ………38
2.2.2.4 Sinekdoke pars pro toto berupa
bagian tubuh mendahului sinekdoke
totem pro parte berupa nama negara…….39
2.2.2.5 Sinekdoke totem pro parte berupa
nama klub mendahului sinekdoke pars
pro toto bagian tubuh………………….....40
2.2.3 Sinekdoke totem pro parte dan hiperbola……..41
2.2.3.1 Sinekdoke totem pro parte berupa
nama negara mendahului hiperbola
kuantitatif………………………………..41
2.2.4 Sinekdoke pars pro toto dan metafora ….........42
2.2.4.1 Sinekdoke pars pro toto mendahului
metafora antropomorfis berupa verba …..42
2.2.4.2 Sinekdoke pars pro toto mendahului
metafora binatang ……………………….43
2.2.4.3 Metafora antropomorfis berupa
nomina mendahului sinekdoke pars pro
toto……………………………………. 44
2.2.5 Metafora dan Hiperbola……………………..45
2.2.5.1 Metafora antropomorfis berupa
nomina mendahului hiperbola
kuantitatif……………………………… 45
2.2.5.2 Hiperbola kuantitatif mendahului
metafora binatang …………………….. 46
2.2.5.3 Hiperbola frekuentif mendahului
metafora binatang…………………….. 47
2.2.6 Metafora dan simile………………………… 49
2.2.6.1 Metafora antropomorfis berupa
nomina mendahului simile dengan
kata pembanding seperti……………… 49
2.2.6.2 Metafora sinestetik mendahului simile
dengan kata pembanding seperti
layaknya……………………………….. 50
2.2.6.3 Simile dengan kata pembanding
bak mendahului metafora antropomorfis
berupa verba………………………….. 51
2.2.7 Metafora dan Oksimoron…………………… 52
2.2.7.1 Metafora berupa nomina mendahului
oksimoron…………………………….. 52
2.2.8 Simile dan Personifikasi…………………….. 53
2.2.8.1 Simile yang ditandai dengan kata
pembanding adalah mendahului
personifikasi …………………………. 53
2.2.8.2 Simile yang ditandai dengan kata
pembanding seolah mendahului
personifikasi………………………….. 53
2.2.9 Simile dan Hiperbola……………………….. 54
2.2.9.1 Simile dengan kata pembanding
tak ubahnya mendahului hiperbola
kualitatif……………………………… 54
2.3 Tiga gaya bahasa dalam satu kalimat………………… 55
2.3.1 Simile yang ditandai dengan kata
penghubung bak, metafora antropomorfis
berupa nomina, dan sinekdoke totem pro
parte penyebutan negara………………........ 55
2.3.2 Metafora antropomorfis berupa nomina,
sinekdoke totem pro parte berupa
penyebutan negara , dan hiperbola
kuantitatif………………………………….. 56
BAB III FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN DALAM TABLOID OLA H
RAGA
3.1 Fungsi Gaya Bahasa Kiasan dalam Tabloid
Olahraga Khususnya Tabloid Bola…………………….. 58
3.1.1 Fungsi Metafora……………………………… 58
3.1.2 Fungsi Sinekdoke totem pro parte…………… 59
3.1.3 Fungsi-fungsi Gaya bahasa lainnya………….. 59
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………. 62
4.2 Saran…………………………………………………... 63
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 64
LAMPIRAN ………………………………………………………..65
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara luas, gaya bahasa mempunyai susunan kata yang terjadi karena timbul
perasaan dalam hati penulis dan memberikan akibat munculnya perasaan tertentu pada
pembaca (Slamet Muljana via Pradopo, 1995:93). Junus (1989:192) mengatakan bahwa
gaya bahasa tidak kosong, tetapi berkaitan dengan suatu ideologi. Pikiran atau ide muncul
lebih dulu, kemudian diutarakan atau dibungkus dengan cara tertentu. Dari beberapa jenis
gaya bahasa, penulis memilih gaya bahasa kiasan sebagai obyek penelitian dan kalimat
yang memiliki gaya bahasa kiasan sebagai data penelitian.
Penulis memilih gaya bahasa kiasan yang ada dalam kolom berita pada “Ole
Internasional” di tabloid Bola karena dijumpai penulisan berita yang menggunakan gaya
bahasa kiasan. Berikut contoh gaya bahasa kiasan di kolom berita tabloid Bola:
(1) Tapi, harian La Stampa, yang bermarkas di Torino, menyebut bahwa
sekarang saat yang tepat bagi Juventus untuk melepas Ibra (Bola, Jumat, 6
April hal. 11).
Pada kalimat (1), metafora ditunjukkan dengan penggunaan verba bermarkas.
Makna denotasi dari markas adalah tempat kedudukan tentara. (Badudu-Zain, 1994:866).
Seperti dalam kalimat,
(1a) Tentara Batalyon Parahyangan bermarkas di Kabupaten Garut.
Dengan demikian, secara implisit ada perbandingan antara harian La Stampa
(sebuah koran harian) dengan tentara atau apapun yang mempunyai markas. Arti
metaforis dari kata bermarkas pada kalimat (1) adalah bertempat tinggal atau beralamat.
Dapat dibuktikan dengan teknik ganti, maka kalimat (1) menjadi,
(1b) Tapi, harian La Stampa, yang beralamat di Torino, menyebut bahwa sekarang
saat yang tepat bagi Juventus untuk melepas Ibra.
Penggantian verba bermarkas dengan verba beralamat, tidak mengubah makna kalimat
(1).
Selain mengandung metafora, kalimat (1) juga mengandung gaya bahasa
Sinekdoke Totemproparte yang ditunjukkan dengan nama klub Juventus. Untuk
membuktikannya digunakan teknik sisip, maka kalimat (1) menjadi,
(1c) Tapi, harian La Stampa, yang bermarkas di Torino, menyebut bahwa sekarang
saat yang tepat bagi manajemen Juventus untuk melepas Ibra.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya adalah
manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti pendukung,
pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Juventus hanya untuk mewakili
manajemen klub Juventus.
(2) Tapi serangan-serangan Argentina gagal sampai akhirnya datang sulap Rodriguez
(Bola, 27 Juni 2006, hal. 14).
Kalimat (2) mengandung gaya bahasa Sinekdoke Totemproparte yang ditunjukkan
dengan kata negara Argentina. Untuk membuktikannya digunakan teknik perluas untuk
unsur Argentina, maka kalimat (2) menjadi,
(2a) Tapi serangan-serangan tim sepakbola Argentina gagal sampai akhirnya datang
sulap Rodriguez.
Dengan demikian, jelas bahwa penggunaan kata Argentina hanya untuk mewakili tim
sepakbola Argentina, bukan keseluruhan warga Argentina.
Selain mengandung Sinekdoke Totemproparte, kalimat (2) juga memiliki gaya
bahasa metafora yang ditunjukkan dengan penggunaan frase sulap Rodriguez. Makna
denotasi dari sulap adalah sejenis permainan yang menggunakan ketangkasan dan
kecepatan gerak tangan sehingga penonton menyaksikan suatu keanehan yang
mengherankan (Badudu-Zain, 1994:1369). Adapun contohnya sebagai berikut,
(2b) Dedi Corbuzier, sang pesulap ternama mempertunjukkan kebolehan sulap
mengubah air menjadi api.
Secara implisit ada perbandingan antara Rodriguez (pemain sepakbola) dengan
orang yang biasa melakukan sulap atau pesulap. Dalam konteks kalimat di atas,
Rodriguez melakukan atraksi dalam sepakbola yang mengherankan penonton. Jadi arti
metaforis sulap dalam kalimat di atas adalah sebuah atraksi dalam sepakbola. Dapat
dibuktikan melalui teknik ganti. Maka kalimat (2) menjadi,
(2c) Tapi serangan-serangan Argentina gagal sampai akhirnya datang atraksi
sepakbola dari Rodriguez.
Penggantian kata sulap oleh frase atraksi sepakbola tidak mengubah makna kalimat (2).
(3) Gol tendangan geledek William Gallas pada menit kedua injury time itu
disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka memenangi sebuah laga
di turnamen dengan sistem gugur (Bola, 14 Maret 2006, hal.18).
Metafora berupa nomina yang mendahului simile ditunjukkan dengan
penggunaan nomina tendangan geledek. Makna denotasi dari geledek adalah guruh atau
guntur yang keras; petir (Badudu-Zain, 1994:439), seperti dalam kalimat,
(3a) Pak Jokir meninggal disambar geledek.
Atau dengan menggunakan teknik sisip, kalimat (3) menjadi
(3b) Gol tendangan bak geledek William Gallas pada menit kedua injury time itu
disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka memenangi sebuah laga
di turnamen dengan sistem gugur.
Dengan demikian terlihat jelas ada perbandingan antara tendangan (kegiatan
manusia) dengan gejala alam seperti geledek. Arti geledek untuk menggambarkan betapa
kerasnya tendangan tersebut.
Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, maka kalimat (3) menjadi,
(3c) Gol tendangan yang keras William Gallas pada menit kedua injury time itu
disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka memenangi sebuah laga
di turnamen dengan sistem gugur.
Penggantian kata geledek dengan kata keras tidak mengubah makna dari kalimat (3).
Pada kalimat (3) penggunaan simile yang didahului oleh metafora ditunjukkan dengan
klausa seperti layaknya mereka memenangi sebuah laga di turnamen dengan sistem
gugur. Dengan demikian ada perbandingan langsung atau secara eksplisit antara
kegembiraan karena terjadi gol di injury time dengan kegembiraan memenangi sebuah
laga di turnamen dengan sistem gugur.
(4) Pasukan Korea bukan hanya harus menjalani wajib militer, tapi juga
menyaksikan publiknya banjir air mata akibat kegagalan di Piala Dunia 2006
(Bola, 27 Juni 2006, hal. 33).
Pada kalimat (4) hiperbola kuantitatif ditunjukkan dengan klausa banjir air mata.
Walaupun warga Korea banyak yang mengeluarkan air mata/menangis karena kegagalan
tim sepakbola Korea di Piala Dunia 2006, namun banyaknya/kuantitas air mata yang
keluar tidak sampai membuat banjir seperti banjir yang melanda Jakarta, maka hiperbola
di atas termasuk ke dalam hiperbola kuantitatif.
(5) Gelsenkirchen adalah kota yang cuek, acuh tak acuh (Bola, 20 Juni 2006,
hal.3).
Pada kalimat (5) personifikasi ditunjukkan dengan penggunaan klausa kota yang cuek,
acuh tak acuh. Cuek, acuh tak cuh adalah sifat yang dimiliki oleh manusia. Pada kalimat
(5), pemakaian kata cuek, acuh tak acuh dipasangkan dengan kota yang notabene adalah
benda mati.
Tabloid Bola adalah tabloid olahraga. Tabloid ini terbagi menjadi tiga yaitu, “Ole
Internasional” (membahas tentang sepak bola luar negeri), “Ole Nasional” (membahas
tentang sepak bola dalam negeri), dan berita olah raga di luar sepak bola. Terbit setiap
Selasa dan Jumat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah (butir 1.1), masalah yang akan
diteliti sebagai berikut:
1.2.1 Gaya bahasa kiasan apa saja yang muncul dalam suatu kalimat pada kolom berita
“Ole Internasional” ?
1.2.2 Apakah fungsi gaya bahasa kiasan pada kolom berita dalam “Ole Internasional” ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1.3.1 Mendeskripsikan jenis gaya bahasa kiasan apa saja yang digunakan dalam suatu
kalimat di kolom berita pada “Ole Internasional” dalam tabloid Bola.
1.3.2 Mendeskripsikan fungsi gaya bahasa kiasan pada kolom berita dalam “Ole
Internasional”.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara
teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang stilistika, sosiolinguistik, dan
semantik. Dalam bidang stilistik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya
khazanah kajian gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam berita olahraga, sebagai contoh,
penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam kalimat,
(6) Pasukan Korea bukan hanya harus menjalani wajib militer, tapi juga
menyaksikan publiknya banjir air mata akibat kegagalan di Piala Dunia 2006
(Bola, 27 Juni 2006, hal. 33).
Dalam bidang sosiolinguistik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberi
informasi tentang ragam gaya penulisan berita olahraga khususnya sepak bola. Kata-kata
atau frase seperti hujan gol, penyerang haus gol, penyerang mandul, mematikan sayap
kiri, dsb, hanya akan ditemui dalam lingkup olahraga sepakbola saja. Jadi masyarakat
penggemar sepakbola merupakan suatu kelompok dengan istilah sendiri.
Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna kalimat
dapat diungkapkan dengan berbagai cara yang terwujud dalam gaya bahasa. Sementara
itu, manfaat praktis penelitian ini adalah pengembangan bahasa bidang jurnalistik dalam
penggunaan gaya bahasa kiasan di kolom berita.
1.5 Tinjauan Pustaka
Supratmi (1990) dalam skripsinya yang berjudul “Gaya Penulisan Berita dalam
Majalah Hai” menyatakan adanya gaya bahasa akibat dari perbedaan arah dan tujuan
serta hal yang dibicarakan. Penggunaan gaya bahasa satu dengan yang lain yang
dibicarakan tentunya akan berbeda. Dalam suasana resmi dan formal akan digunakan
gaya bahasa yang resmi pula. Ini bisa ditemui pada situasi rapat, pidato atau situasi resmi
lainnya. Orang tidak akan bicara seenaknya dalam situasi resmi. Sebaliknya dalam
suasana santai akan terasa kaku apabila digunakan gaya bahasa resmi.
Demikian juga dalam penulisan berita di majalah atau surat kabar. Penulis harus
pandai-pandai memilih gaya bahasa yang dipakai. Pemilihan kalimat dan kosakata sangat
menentukan menarik tidaknya berita yang ditulis. Dengan penyusunan kalimat dan
pemilihan kosakata yang baik dan menarik memungkinkan pembaca akan tertarik pula.
Yuliastuti (1995) dalam skripsinya yang berjudul “Gaya Tuturan Wacana Iklan
pada Majalah Wanita” membahas truktur kalimat iklan pada majalah wanita yang
menggunakan gaya bahasa sebagai salah satu pendukung pesan, retorik yang digunakan
dalam wacana iklan yang terdapat dalam majalah wanita, sudut pandang yang digunakan
dalam analisis iklan tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah wacana iklan pada
majalah wanita, sedangkan sampelnya pemakaian bahasa iklan dalam majalah wanita.
Pengambilan data dalam penelitian ini dengan mengambil 3 (tiga) majalah wanita.
Majalah-majalah tersebut adalah Femina, Kartini, dan Sarinah. Data ini diperoleh dengan
mencatat iklan yang terdapat dalam majalah, kemudian dianalisis dengan metode
deskriptif kualitatif dan persentase. Analisis selanjutnya dengan menggunakan metode
padan pragmatis dengan teknik pilah unsur penentu dan menggunakan teknik lanjutan,
yaitu teknik hubung banding menyamakan hal pokok. Temuan dari penelitian tersebut
mencakup 3 (tiga) yaitu : pertama, wacana yang bersifat periodik (klimaks). Kedua,
wacana yang kalimatnya mendapat tekanan pada awal kalimat (antiklimaks). Ketiga,
wacana yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi
dan berimbang termasuk paralelisme, antitesis, anafora, dan epistofora. Retorik yang
ditonjolkan dalam penelitian wacana iklan pada majalah wanita adalah retorik
berdasarkan informasi dan retorik berdasarkan maknanya. Sudut pandang yang
ditonjolkan dalam wacana iklan tersebut meliputi sudut pandang orang pertama, sudut
pandang orang kedua dan sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga (campuran).
Zwesti Fajinggriani (2003) dalam skripsinya “Gaya Bahasa dalam Wacana Iklan
Niaga pada harian Kompas dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di
SLTP”. Berdasarkan analisis yang telah ia lakukan dalam iklan niaga harian Kompas,
gaya bahasa yang terdapat di dalamnya mengandung dua hal, yaitu gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna dan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.
Gaya bahasa berdasar langsung tidaknya makna yang ia temukan meliputi; gaya bahasa
hiperbola, ellipsis, personifikasi, retoris, aliterasi, polisindenton, asindenton, metonimia,
asonansi, simile, epitet, dan pleonasme. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
meliputi; gaya bahasa repetisi, klimaks, dan antiklimaks.
Dibanding gaya bahasa yang lain, gaya bahasa hiperbola menduduki urutan
teratas. Gaya bahasa tersebut diklasifikasikan menjadi tujuh macam, yaitu; (i) gaya
bahasa hiperbola yang ditandai oleh kata paling, (ii) gaya bahasa hiperbola yang ditandai
dengan afiks ter-, (iii) gaya bahasa hiperbola yang ditandai oleh kata seba dan segala, (iv)
gaya bahasa hiperbola yang ditandai oleh frase negatif, (v) gaya bahasa hiperbola yang
ditandai oleh kata-kata yang menyatakan kemampuan luas biasa, (vi) gaya bahasa
hiperbola yang ditandai oleh kata pertama dan satu-satunya, dan (viii) gaya bahasa
hiperbola yang ditandai oleh afiks se-.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa
pertama, gaya bahasa sangat tergantung konteksnya. Kapan, di mana dan dengan siapa
digunakan, harus diperhatikan cermat oleh penulis. Untuk itu harus memahami lebih
dalam tentang seluk beluk gaya bahasa. Kedua, gaya bahasa berhubungan erat dengan
kosa kata. Kosa kata yang beragam akan menimbulkan kalimat yang beragam pula. Pada
akhirnya akan menentukan soal keragaman gaya bahasa yang dipakainya pula.
Sebaliknya peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas memperkaya kosakata pemakainya.
Dalam penulisan berita, teknik penulisan gaya bahasa harus terus diasah. Ketiga,
keterampilan dan kemampuan berbahasa mengarah pada gaya bahasa yang menjadi
masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya
pemakaian kata, frase atau klausa tertentu untuk menhadapi situasi tertentu. Oleh sebab
itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara
individual, frase, klausa dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana . Keempat,
untuk menarik perhatian para pembaca, berita di surat kabar pun menggunakan berbagai
macam gaya bahasa. Ketepatan pemakaian gaya bahasa sangat menentukan menarik
tidaknya sebuah tulisan.
Dalam penelitian ini, akan dianalisis jenis-jenis gaya bahasa kiasan apa saja yang
muncul dalam satu kalimat. Terdapat dua atau lebih gaya bahasa yang muncul dalam satu
kalimat. Sebagai contoh, gaya bahasa Sinekdoke totem proparte dan metafora yang
muncul bersamaan dalam kalimat,
(7) Tiket ke ronde kedua sudah dipegang Tim Matador saat menjamu Arab
Saudi di laga terakhir grup (Bola, 27 Juni 2006, hal.17).
Arab Saudi mewakili tim sepakbola Arab Saudi dan ronde kias dari babak dalam olahraga
tinju.
Selain itu, dijelaskan pula fungsi gaya bahasa dalam tabloid olahraga. Sebagai contoh,
gaya bahasa sinekdoke totem pro parte berfungsi untuk menyingkat, misalnya
penggunaan kata negara untuk mewakili tim sepakbolanya.
1.6 Landasan Teori
Untuk keperluan penelitian ini, digunakan landasan teori sebagai berikut: (i)
pengertian gaya bahasa, (ii) jenis-jenis gaya bahasa kiasan, dan (iii) pengertian berita.
1.6.1 Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu
dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, penggunaan gaya bahasa
tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale,1971: 220 Via
Tarigan, 1985:5). Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinasi
bukan dalam pengertian yang benar-benar secara alamiah saja (Warriner, 1977:602).
Gaya bahasa merupakan bentuk retorik yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan
menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Keempat, gaya
bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa
yang baik harus mengandung 3 (tiga) unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik
(Keraf, 1985:113).
Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan diri sendiri baik melalui bahasa
maupun tingkah laku dan sebagainya. Gaya bahasa adalah bahasa yang indah yang
dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih
umum. Penggunaan gaya bahasa dapat mengubah serta menimbulkan konotasi berbicara
dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca (Dale,
1970:20 dalam Tarigan, 1985:5). Menurut Kridalaksana (1983:49), gaya bahasa adalah
suatu pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur kata atau menulis.
Menurut Keraf (2002:113) style atau gaya bahasa dapat dibatasi dengan cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa).
1.6.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa Kiasan
Teori-teori tentang jenis-jenis gaya bahasa kiasan menurut Keraf (2002:121-128).
Jenis-jenis gaya bahasa kiasan mencakup:
a. Persamaan atau Simile
Persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan yang
bersifat eksplisit ini dimaksudkan bahwa langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Untuk itu memerlukan upaya yang secara eksplisit
menunjukkan kesamaan itu, misalnya: seperti, sama, sebagai, bagaikan,
laksana, dsb.
b. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa perbandingan yaitu membandingkan 2 hal atau
lebih, secara implisit dan sekedar memberikan sugesti adanya suatu
perbandingan. Konteks metafora hanya merupakan fragmen dan dapat berdiri
sendiri. Konteks dalam sebuah metafora justru membatasi arti dari metafora
itu. Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna asli
dari konotasinya sekarang ini, maka metafora itu masih hidup; tetapi kalau
sudah tidak bisa menentukan konotasinya maka metafora itu sudah mati,
sudah merupakan klise.
Perahu itu menggergaji ombak
Mobilnya batuk-batuk sejak pagi tadi
Pemuda dan pemudi adalah bunga bangsa
Kata-kata menggergaji, batuk-batuk, bunga dan bangsa masih hidup
dengan arti kata aslinya. Sebab itu penyimpangan makna seperti terdapat
dalam kalimat-kalimat di atas merupakan metafora yang hidup. Namun
proses penyimpangan semacam itu pada suatu saat dapat membawa pengaruh
lebih lanjut dalam perubahan makna kata. Kebanyakan perubahan makna
kata mula-mula terjadi karena metafora. Lama- kelamaan orang tidak lagi
memikirkan tentang metafora itu, sehingga arti yang baru itu dianggap
sebagai arti kata yang kedua atau ketiga dalam kata tersebut: berlayar,
berkembang, dsb. Metafora semacam ini merupakan metafora mati. Dengan
matinya sebuah metafora kita berada kembali di depan sebuah kata yang
mempunyai denotasi baru. Metafora semacam ini bisa berbentuk sebuah kata
kerja, kata sifat, kata benda atau frasa atau klausa: menarik hati, memegang
jabatan, mengembangkan, menduga dsb., banyak sedikitnya merupakan
metafora pada mulanya (Keraf 2002:124-125).
Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep
lain berdasarkan kias atau persamaan; mis. kaki gunung, kaki meja,
berdasarkan kias pada kaki manusia.
Metafora pengabstrakan adalah metafora berupa pemakaian kata atau
bentuk lain yang bersangkutan dengan obyek konkret untuk obyek atau
konsep abstrak; mis. namanya harum (bandingkan dengan bunga itu harum),
sambutan yang dingin (bandingkan dengan air dingin) (Harimurti
Kridalaksana 1982: 106).
Leksem-leksem yang membentuk ungkapan metafora sangat beragam
Pateda (1989:114) merinci metafora menjadi tiga golongan, yaitu metafora
antropomorfis, metafora binatang, dan metafora sinestetik. Metafora
antropomorfis ialah metafora yang berhubungan dengan diri manusia,
misalnya mulut sungai. Mulut merupakan salah satu bagian tubuh manusia
yang terletak di kepala bagian depan. Selain itu, mulut berfungsi untuk
memasukkan atau mengeluarkan makanan. Kata mulut jika diasosiasikan
dengan mulut sungai. Maka asosiasiya mengacu pada tempat yang di depan.
Demikian juga dengan sungai. Sungai adalah tempat berkumpulnya air,
tempat keluar masuk air. Selain itu, tempat yang di depan pada sebuah sungai
adalah muara. Jadi mulut sungai diasosiasikan untuk menyebut muara
sungai. Metafora binatang ialah metafora yang membandingkan sifat-sifat
binatang dan sifat-sifat manusia yang menampak, misalnya Tulisanmu cakar
ayam. Tulisanmu cakar ayam diasosiasikan untuk menyatakan tulisan yang
buruk. Metafora sinestetik ialah metafora yang didasarkan pada perubahan
kegiatan dari indera satu ke indera yang lain, misalnya dari indera
penghilatan ke indera perasa yang menghasilkan metafora, misalnya warna
yang manis. Warna yang manis diasosiasikan untuk mengatakan warna yang
cocok atau serasi.
c. Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda
mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Benda-benda itu bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.
Misalnya, Rembulan tersenyum-senyum.
d. Alusi adalah acuan yang berusaha untuk mensugestikan kesamaan antara
orang, tempat atau peristiwa. Biasanya alusi ini merupakan suatu referensi
yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh
dalam kehidupan nyata, mitologi, atau tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa
dalam karya-karya sastra yang terkenal. Misalnya, Bandung adalah Paris
Jawa.
e. Metonimi
Metonimi berasal dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan
perubahan; onoma yang berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah
suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan
suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu
dapat berupa: akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan
kulitnya, dan sebagainya. Misalnya, Ia membeli sebuah chevrolet.
f. Sinekdoke
Sinekdoke berasal dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima
bersama-sama. Sinekdoke adalah bahasa figuratif yang mempergunakan
sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro toto)
atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro
parte). Misalnya, Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp.100,-
g. Hiperbol
Adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak aku.
h. .Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada. Juga berarti semua hal yang menarik
perhatian karena kebenarannya.
Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
i. Oksimoron
Oksimoron (oksy= tajam, moros=gila, tolol) adalah suatu acuan yang
berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang
bertentangan. Atau dapat juga dikatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang
mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang
berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebanb itu sifatnya lebih padat dan
tajam dari paradoks.
Keramah-tamahan yang bengis.
j. Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
digunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada
pada sebuah kata yang lain.
Ia berbaring di atas bantal yang gelisah. (Yang gelisah adalah
manusianya, bukan bantal)
k. Eponim
Adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu diapakai untuk
menyatakan sifat itu, misalnya: Hercules, untuk menyatakan kekuatan; Helen
dari Troya untuk menyatakan kecantikan.
l. Epitet
Adalah semacam acuan yang berbentuk sebuah frasa deskriptiff yang
menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.
Lonceng pagi untuk ‘ayam jantan’.
m. Pun atau paranomasia
Adalah permainan kata-kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi
terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
1.6.3 Pengertian Berita
Kata berita berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berita adalah:
a) Laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat
b) Informasi (terutama yang resmi)
c) Laporan pers.
Menurut Badudu dan Zain (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia 1994:195), berita
adalah kabar, warta yang dikirimkan dari satu tempat ke tempat lain juga merupakan
laporan peristiwa yang dituliskan dalam surat-surat kabar, misalnya:
a) Berita acara adalah laporan polisi tentang suatu peristiwa atau perkara tentang
dimana, bila terjadi, bagaimana kejadiannya, dsb.
b) Berita keluarga adalah berita tentang keluarga misalnya kematian, kehilangan,
penculikan, dsb.
c) Berita kriminal, berita tentang kejahatan yang didapat dari polisi.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminta (1992:
219), berita adalah;
a) Kabar; warta; misalnya , tidak ada kabar beritanya artinya tidak ada kabarnya
sama sekali.
b) Rencana (laporan tentang suatu hal)
c) Pemberitahuan; misalnya berita redaksi artinya pengumuman dari redaksi.
Berdasarkan pengertian berita di atas, dapat disimpulkan bahwa berita adalah suatu
laporan peristiwa yang hangat berupa informasi, pemberitahuan yang dituliskan di dalam
surat kabar.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yakni : (i) penyediaan data, (ii)
analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis. Berikut diuraikan metode dan teknik untuk
masing-masing tahap penelitian ini.
1.7.1 Metode danTeknik Penyediaan Data
Objek penelitian ini adalah gaya bahasa kiasan pada “Ole Internasional” dalam
Tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai 22 September 2006. Objek penelitian ini
berada dalam data yang berupa kalimat dalam kolom berita. Data diperoleh dari sumber
tertulis, yaitu tabloid Bola tanggal 3 Maret 2006 sampai 22 September 2006. Tabloid
Bola terbit 2 (dua) kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jumat.
Data yang dikumpulkan adalah berupa kalimat yang mengandung gaya bahasa
kiasan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak., yaitu
menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Teknik yang digunakan dalam
tahap pengumpulan data adalah teknik nonpartisipan atau teknik simak bebas lihat cakap
dengan mengamati dan mencatat data berupa kolom berita yang mengandung gaya bahasa
kiasan yang terdapat dalam tabloid Bola pada kartu data (Sudaryanto, 1993:132-133).
Data yang sudah terkumpul diklasifikasikan berdasarkan jenisnya.
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data diklasifikasikan, kemudian dianalisis dengan metode agih yaitu
metode analisis data yang menggunakan bahasa yang bersangkutan itu sebagai alat
penentunya (Sudaryanto, 1993:15). Teknik dasarnya adalah teknik bagi unsur langsung
atau teknik BUL yaitu membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau
unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung
membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31).
Teknik lanjutan dari metode agih yang dipakai adalah teknik ganti dan teknik
perluas.
Teknik ganti dilaksanakan dengan menggantikan unsur tertentu satuan lingual
dengan unsur tertentu yang lain di luar satuaan lingual yang bersangkutan. Teknik ganti
digunakan untuk mengetahui kadar kesamaan kelas antara unsur terganti dengan unsur
pengganti. Bila dapat digantikan atau saling menggantikan berarti kedua unsur itu dalam
kelas atau kategori yang sama (Sudaryanto, 1993:48-49). Sebagai contoh,
(8) Namun, belakangan Chelsea ikut memburu striker Atletico Madrid
tersebut (Bola, 27 Juni 2006, hal.40).
Pada kalimat (8), metafora berupa verba ditunjukkan dengan penggunaan verba
memburu. Makna denotasi dari memburu adalah mencari untuk menangkap binatang
(Badudu-Zain, 1994:232). Seperti dalam kalimat,
(8b) Pangeran Henry biasa memburu harimau di dekat istananya.
Secara implisit ada perbandingan antara striker Atletico Madrid (seorang
manusia) dengan binatang atau apapun yang biasa diburu. Arti metaforis memburu dalam
konteks kalimat (8) adalah menawar (karena dalam urusan jual beli yang melibatkan
manajemen klub). Dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (8) menjadi,
(8c) Namun, belakangan Chelsea ikut menawar striker Atletico Madrid tersebut.
Penggantian verba memburu oleh verba menawar tidak mengubah makna kalimat. Verba
memburu bersifat tidak langsung (implisit) sedangkan verba menawarkan bersifat
eksplisit (langsung).
Teknik perluas dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang
bersangkutan ke kanan atau ke kiri dan perluasan itu menggunakan unsur tertentu. Teknik
perluas digunakan untuk menentukan segi-segi kemaknaan satuan lingkungan tertentu
yaitu untuk mengetahui kadar kesinoniman bila menyangkut dua satuan atau dua unsur
satuan yang berlainan tetapi diduga bersinonim satu sama lain. Dalam hal ini, sinonim
berarti sama informasinya, sama maknanya. Selain itu tataran ke kata dan kata majemuk
atau frase, teknik diperluas digunakan untuk menentukan kadar kesamaan jenis satuan
lingual (Sudaryanto, 1993: 55-59). Sebagai contoh,
(9) Perancis punya segudang pengalaman dalam hal turnamen-turnamen besar (Bola,
11 Juli 2006, hal.30).
Pada kalimat (9) penggunaan Sinekdoke Totem pro parte ditunjukkan dengan
penyebutan negara Perancis. Dibuktikan dengan menggunakan teknik perluas ke kiri,
maka kalimat (9) menjadi,
(9a) Tim sepakbola Perancis punya segudang pengalaman dalam hal turnamen-
turnamen besar.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penyebutan negara Prancis hanya untuk
mewakili tim sepakbola Perancis, bukan keseluruhan warga Prancis.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis
Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode
informal, yaitu metode penyajian analisis data dengan kata-kata biasa, artinya penyajian
hasil analisis tidak menggunakan rumus, lambing-lambang atau diagram (Sudaryanto,
1993:145).
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
berisi Pendahuluan, yang mencakup: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik
penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi tentang jenis gaya bahasa kiasan apa saja yang muncul dalam suatu
kalimat pada kolom berita pada “Ole Internasional” dalam tabloid Bola tanggal 3 Maret
2006 sampai 22 September 2006. Bab III berisi tentang fungsi gaya bahasa kiasan dalam
kolom berita pada tabloid olahraga. Bab IV berisi penutup yang mencakup kesimpulan
dan saran.
BAB II
JENIS GAYA BAHASA KIASAN DALAM SUATU KALIMAT
PADA KOLOM BERITA OLE INTERNASIONAL
2. 1 Pengantar
Dalam bab ini diuraikan tentang jenis gaya bahasa kiasan yang digunakan
dalam sebuah kalimat di kolom berita “Ole Internasional”. Penelitian ini khusus
meneliti gaya bahasa kiasan yang muncul dalam satu kalimat, tidak hanya satu
tetapi dua sampai tiga gaya bahasa. Jenis-jenis gaya bahasa kiasan adalah simile,
metafora, personifikasi, alusi, metonimi, sinekdoke, hiperbola, paradoks,
oksimoron, hipalase, hiponim, epitet, dan paranomosia (Keraf, 2002:121).
2.2 Dua Gaya Bahasa dalam Satu Kalimat
2.2.1 Sinekdoke totem pro parte dan Metafora
2.2.1.1 Sinekdoke Totem pro parte berupa nama klub mendahului metafora
antropomorfis berupa verba
(10) Namun, belakangan Chelsea ikut memburu striker Atletico Madrid
tersebut (Bola, 27 Juni 2006, hal.40).
Pada kalimat (10) terdapat gaya bahasa Sinekdoke totem pro parte dengan
penyebutan nama klub yang mendahului metafora antropomorfis berupa verba,
yaitu kata Chelsea. Dapat dibuktikan dengan teknik sisip, maka kalimat (10)
menjadi,
(10a) Namun, belakangan manajemen Chelsea ikut memburu striker Atletico
Madrid tersebut.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, ofisial tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Chelsea hanya
untuk mewakili manajemen klub Chelsea.
Sedangkan metafora antropomorfis berupa verba yang didahului sinekdoke
totem pro parte berupa nama klub, ditunjukkan dengan penggunaan verba
memburu. Memburu adalah kegiatan manusia Makna denotasi dari memburu
adalah mencari untuk menangkap binatang (Badudu-Zain, 1994:232). Seperti
dalam kalimat,
(10b) Pangeran Henry biasa memburu harimau di dekat istananya.
Secara implisit ada perbandingan antara striker Atletico Madrid (seorang
manusia) dengan binatang atau apapun yang biasa diburu. Arti metaforis memburu
dalam konteks kalimat (10) adalah menawar (karena dalam urusan jual beli yang
melibatkan manajemen klub). Dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (10)
menjadi,
(10c) Namun, belakangan Chelsea ikut menawar striker Atletico Madrid
tersebut.
2.2.1.2 Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub, mendahului metafora
antropomorfis berupa nomina
(11) Sepertinya kali ini Madrid hanya ingin agar dagangannya cepat
laku dan tidak menuntut keuntungan (Bola, 29 Agustus 2006,
hal.13).
Pada kalimat (11) terdapat gaya bahasa Sinekdoke Totemproparte berupa
nama klub yang mendahului metafora antropormofis berupa nomina, yaitu kata
Madrid. Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat (11)
menjadi,
(11a) Sepertinya kali ini manajemen Madrid hanya ingin agar dagangannya
cepat laku dan tidak menuntut keuntungan.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya adalah
manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, ofisial tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Madrid hanya
untuk mewakili manajemen klub Madrid.
Pada kalimat (11), metafora antropomorfis berupa nomina yang didahului
sinekdoke totemp pro parte berupa nama klub, adalah kata dagangan. Dagangan
adalah obyek dari sebuah transaksi perdagangan, perdagangan sendiri adalah
kegiatan yang erat hubungannya dengan manusia. Makna denotasi dari dagangan
adalah apa-apa yang dijual sebagai barang niaga; barang sebagai obyek dagang
(Badudu-Zain, 1994:300). Seperti dalam kalimat,
(11b) Dari tadi belum ada dagangannya yang laku.
Jadi secara implisit ada perbandingan antara pemain sepakbola dengan
barang dagangan, itu dikarenakan pemain sepakbola pun dapat dijual atau dibeli
seperti barang dagangan. Arti metaforis dari dagangan adalah pemain sepakbola
yang siap atau akan dijual Dibuktikan melalui teknik ganti maka kalimat (11)
menjadi,
(11c) Sepertinya kali ini manajemen Madrid hanya ingin agar pemain yang
akan dijual cepat laku dan tidak menuntut keuntungan.
2.2.1.3 Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub mendahului metafora
binatang
(12) Beberapa tahun lampau, Diego Tristan pernah dibanderol 50 juta pound
oleh La Coruna untuk mengenyahkan lalat-lalat peminat (Bola, 18 Juli
2006, hal. 19).
Gaya bahasa Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub yang
mendahului metafora binatang yang terkandung dalam kalimat (12) adalah kata
La Coruna. Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat
(12) menjadi,
(12a) Beberapa tahun lampau, Diego Tristan pernah dibanderol 50 juta pound
oleh manajemen La Coruna untuk mengenyahkan lalat-lalat peminat.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata La Coruna
hanya untuk mewakili manajemen klub La Coruna.
Pada kalimat (12), metafora binatang yang didahului sinekdoke totemp pro
parte berupa nama klub, adalah nomina lalat-lalat peminat. Makna denotasi dari
lalat-lalat adalah semacam serangga yang hinggap di makanan atau benda-benda
yang busuk, pada luka dan sebagainya. (Badudu-Zain, 1994:758). Seperti dalam
kalimat,
(12b) Bak sampah yang tidak terawat mengundang lalat-lalat hijau.
Jadi secara implisit ada perbandingan antara manajemen klub peminat
dengan lalat. Karena lalat berukuran kecil, arti metaforis lalat-lalat peminat
adalah manajemen klub-klub kecil. Dibuktikan melalui teknik ganti maka kalimat
(12) menjadi,
(12c) Beberapa tahun lampau, Diego Tristan pernah dibanderol 50 juta
pound oleh La Coruna untuk mengenyahkan manajemen klub-klub
kecil.
Contoh kalimat lainnya yang memiliki pola serupa adalah,
(a) Sepertinya kali ini Madrid hanya ingin agar dagangannya cepat laku dan
tidak menuntut keuntungan (Bola, 29 Agustus 2006, hal.13).
2.2.1.4 Dua Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub mengapit metafora
antropomorfis berupa verba
(13) Dengan Chelsea yang juga siap membajak Alessandro Nesta
(Milan) dan Gianluca Zambrotta (Juventus), praktis cuma Arsenal
yang relatif pasif menanggapi gejala eksodus tersebut (Bola, 18 Juli
2006, hal. 21).
Pada kalimat (13) terdapat dua Sinekdoke Totem pro parte berupa nama
klub yang mengapit metafora antropomorfis berupa verba adalah kata Chelsea
dan Arsenal. Untuk membuktikannya digunakan teknik sisip, maka kalimat (13)
menjadi,
(13a) Dengan manajemen Chelsea yang juga siap membajak Alessandro Nesta
(Milan) dan Gianluca Zambrota (Juventus), praktis cuma manajemen
Arsenal yang relatif pasif menanggapi gejala eksodus tersebut.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Chelsea dan
Arsenal untuk mewakili manajemen klub bersangkutan.
Sedangkan gaya bahasa metafora antropomorfis berupa verba yang diapit
dua sinekdoke totem pro parte berupa nama klub, adalah verba membajak.
Membajak adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Makna denotasi dari
kata bajak adalah merampok seperti yang dilakukan oleh perompak (Badudu-Zain
1994: 110). Seperti dalam kalimat,
(13b) Para TNI Angkatan Laut berhasil menggagalkan para perompak yang
hendak membajak kapal feri Senopati.
Dengan demikian, secara implisit manajemen Chelsea dibandingkan
dengan pembajak atau perompak atau siapapun yang biasa melakukan kegiatan
membajak. Arti metaforis dari membajak dalam konteks kalimat di atas adalah
membeli pemain sebelum masa kontraknya habis. Untuk membuktikannya
digunakan teknik ganti dan teknik perluas, maka kalimat (13) menjadi,
(13c) Dengan Chelsea yang juga siap membeli Alessandro Nesta (Milan) dan
Gianluca Zambrotta (Juventus) sebelum masa kontraknya habis, praktis
cuma Arsenal yang relatif pasif menanggapi gejala eksodus tersebut.
2.2.1.5 Dua Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub mengapit metafora
antropomorfis berupa nomina
(14) Pada akhir Juni lalu, Benfica memang telah sempat memberi lampu
hijau pada sang pemain untuk bernegoisasi dengan Valencia seusai
Piala Dunia 2006 (Bola, 18 Juli 2006, hal.10).
Pada kalimat (14) terdapat dua Sinekdoke Totemproparte berupa nama
klub yaitu klub Benfica dan Valencia. Untuk membuktikannya digunakan teknik
sisip, maka kalimat (14) menjadi,
(14a) Pada akhir Juni lalu, manajemen Benfica memang telah sempat memberi
lampu hijau pada sang pemain untuk bernegoisasi dengan manajemen
Valencia seusai Piala Dunia 2006.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Benfica dan
Valencia hanya untuk mewakili manajemen klub bersangkutan.
Sedangkan metafora antropomorfis berupa nomina yang diapit dua
sinekdoke totem pro parte berupa nama klub yaitu nomina lampu hijau. Lampu
hijau dalam keseharian dikenal dalam rambu-rambu lalu lintas yang berarti boleh
jalan. (Badudu-Zain, 1994:763) dan tentu saja berhubungan erat dengan kegiatan
manusia. Seperti dalam kalimat,
(14b) Di jalan Adi Sucipto menunggu lampu hijau setelah lampu merah sangat
lama.
Secara implisit ada perbandingan antara manajemen klub dengan rambu-
rambu lalu lintas yang bisa menyala warna merah, kuning, hijau. Arti metaforis
lampu hijau dalam kalimat (14) adalah kebebasan, kesempatan. Untuk
membuktikannya digunakan teknik ganti, maka kalimat (14) menjadi,
(14c) Pada akhir Juni lalu, Benfica memang telah sempat memberi kebebasan
pada sang pemain untuk bernegoisasi dengan Valencia seusai Piala
Dunia 2006.
Contoh kalimat lain yang memiliki pola serupa adalah,
(a) Adakah Valencia punya kesabaran menunggu pinangan dari Tottenham
Hotspur? (Bola, 8 Agustus 2006, hal. 17)
2.2.1.6 Sinekdoke totem pro parte berupa nama negara mendahului metafora
antropomorfis berupa verba
(15) Salah satu syarat untuk mengalahkan Prancis adalah dengan
mematikan Zinedine Zidane (Bola, 11 Juli 2006, hal.15).
Pada kalimat (15) terdapat Sinekdoke Totem pro parte berupa nama negara
mendahului metafora antropomorfis berupa verba, yaitu kata Prancis. Untuk
membuktikannya digunakan teknik sisip untuk unsur Perancis, maka kalimat (15)
menjadi,
(15a) Salah satu syarat untuk mengalahkan tim sepakbola Prancis adalah
dengan mematikan Zinedine Zidane.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penggunaan kata Prancis hanya
untuk mewakili tim sepakbola Prancis, bukan keseluruhan warga Prancis.
Pada kalimat (15) terkandung metafora antropomorfis berupa verba yaitu
kata mematikan. Mematikan adalah kegiatan manusia. Makna denotasi dari
mematikan adalah membuat menjadi mati, membunuh; atau memadamkan lampu.
(Badudu-Zain, 1994:877). Seperti dalam kalimat,
(15b) Ular Cobra memiliki bisa mematikan.
(15c) Lampu teras dimatikan mulai pukul 06.00
Secara implisit Zinedine Zidane (pemain sepak bola) dibandingkan dengan
siapa dan apapun yang biasa dimatikan. Arti metaforis dari mematikan dalam
konteks sepak bola adalah menjaga ketat pergerakan. Dapat dibuktikan melalui
teknik ganti. Maka kalimat (15) menjadi,
(15d) Salah satu syarat untuk mengalahkan Prancis adalah dengan
menjaga ketat pergerakan Zinedine Zidane.
Contoh kalimat lainnya yang memiliki pola serupa yaitu:,
(a) Sebaiknya Mesir hanya mampu membalas melalui satu gol yang lahir dari
tendangan penalti Samir Ibrahim pada menit 70 (Bola, 28 Juli 2006, hal.
22).
(b) Sebelumnya, 50 negara UEFA akan bertarung memperebutkan 14 tiket
(Bola, 1 September 2006, hal. 2).
2.2.1.7 Metafora antropomorfis berupa verba mendahului Sinekdoke totem pro
parte berupa nama negara
(16) Tiket ke final, diperoleh dengan melumpuhkan perlawanan
Uruguay (Bola, 28 April 2006, hal. 18).
Metafora antropomorfis berupa verba yang terkandung dalam kalimat (16)
yaitu kata melumpuhkan. Melumpuhkan bereratan dengan manusia. Makna
denotasi dari melumpuhkan adalah membuat lumpuh; lumpuh adalah tak dapat
berjalan karena kaki lemah. (Badudu-Zain, 1994:834). Seperti dalam kalimat,
(16a) Polisi berhasil melumpuhkan para penjahat dengan menembak kakinya.
Dengan demikian terlihat, secara implisit ada perbandingan antara tim
sepakbola (tim yang mengalahkan Uruguay) dengan polisi atau siapapun yang
melakukan kegiatan melumpuhkan. Arti metaforis melumpuhkan adalah
mengalahkan. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (16) menjadi,
(16b) Tiket ke final, diperoleh dengan mengalahkan perlawanan Uruguay.
Sedangkan Sinekdoke totem pro parte berupa nama negara yang didahului
metafora berupa verba, adalah kata Uruguay. Untuk membuktikannya digunakan
teknik sisip, maka kalimat (16) menjadi,
(16a) Tiket ke final, diperoleh dengan melumpuhkan perlawanan tim sepak
bola Uruguay.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penggunaan kata Uruguay hanya
untuk mewakili tim sepakbola Uruguay, bukan keseluruhan warga Uruguay.
Contoh kalimat lain yang memiliki pola serupa yaitu,
(a) Terlepas dari hasil yang direguk The Republic melawan Swedia pada Rabu
(3/1), Keane merasa sangat tersanjung dipercaya mengemban tanggung
jawab itu (Bola, 3 Maret 2006, hal.8).
2.2.1.8 Metafora antropomorfis berupa verba mendahului sinekdoke totem pro
parte berupa nama klub
(17) Tapi, harian La Stampa, yang bermarkas di Torino, menyebut
bahwa sekarang saat yang tepat bagi Juventus untuk melepas Ibra
(Bola, Jumat, 6 April hal. 11).
Pada kalimat (17) terkandung metafora antropomorfis berupa verba yang
mendahului Sinekdoke totem pro parte yaitu kata bermarkas. Makna denotasi
dari markas adalah tempat kedudukan tentara. (Badudu-Zain, 1994:866). Seperti
dalam kalimat,
(17a) Tentara Batalyon Parahyangan bermarkas di Kabupaten Garut.
Dengan demikian, secara implisit ada perbandingan antara Harian La
Stampa (Sebuah koran harian) dengan tentara atau apapun yang mempunyai
markas. Arti metaforis dari kata bermarkas pada kalimat (17) adalah bertempat
tinggal atau beralamat. Dapat dibuktikan dengan teknik ganti, maka kalimat (17)
menjadi,
(17b) Tapi, harian La Stampa, yang beralamat di Torino, menyebut bahwa
sekarang saat yang tepat bagi Juventus untuk melepas Ibra.
Sedangkan Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub yang didahului
metafora yaitu kata Juventus. Untuk membuktikannya digunakan teknik sisip,
maka kalimat (17) menjadi,
(17c) Tapi, harian La Stampa, yang bermarkas di Torino, menyebut bahwa
sekarang saat yang tepat bagi manajemen Juventus untuk melepas Ibra.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penggunaan kata Juventus
hanya untuk mewakili manajemen klub Juventus.
2.2.1.9 Metafora antropomorfis berupa nomina mendahului sinekdoke totem pro
parte berupa nama negara
(18) Tiket ke ronde kedua sudah dipegang Tim Matador saat menjamu
Arab Saudi di laga terakhir grup (Bola, 27 Juni 2006, hal.17).
Metafora antropomorfis berupa nomina yang terkandung dalam kalimat
(18) adalah frase ronde kedua. Makna denotasi dari frase ronde adalah babak
dalam pertandingan tinju yang berlangsun 3 menit. (Badudu-Zain, 1994:1177).
Seperti dalam kalimat,
(18a) Pertandingan tinju Chris John melawan Jose Rojas berlangsung dalam
12 ronde.
Jadi secara implisit teradapat perbandingan babak dalam sepakbola dengan
babak dalam tinju. Arti metaforis dari ronde kedua dalam konteks kalimat (18)
adalah putaran kedua yang berarti babak knock out/ sistem gugur. Dapat
dibuktikan dengan teknik ganti, maka kalimat (18) menjadi,
(18b) Tiket ke sistem gugur sudah dipegang Tim Matador saat menjamu Arab
Saudi di laga terakhir grup.
Penggantian nomina ronde kedua dengan sistem gugur tidak mengubah makna
dari kalimat (18).
Pada kalimat (18) penggunaan Sinekdoke Totemproparte dengan
penyebutan nama negara yang didahului metafora berupa nomina, ditunjukkan
dengan penyebutan negara Arab Saudi. Dapat dibuktikan dengan penggunaan
teknik sisip, maka kalimat (18) menjadi,
(18c) Tiket ke ronde kedua sudah dipegang Tim Matador saat menjamu tim
sepakbola Arab Saudi di laga terakhir grup.
Dengan demikian penggunaan kata Arab Saudi hanya untuk mewakili tim
sepakbola Arab Saudi, bukan keseluruhan warga Arab Saudi.
2.2.2 Sinekdoke Totem Pro Parte dan Sinekdoke Pars pro toto
2.2.2.1 Sinekdoke Totem pro parte mendahului Sinekdoke Pars pro toto
(19) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru yang
disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani (Bola, 1
September 2006, hal. 4).
Pada kalimat (19) terkandung gaya bahasa Sinekdoke Totemproparte yang
mendahului Sinekdoke Pars pro toto yaitu kata Yunani. Dapat dibuktikan dengan
menggunakan teknik sisip, maka kalimat (19) menjadi,
(19a) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru
yang disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi tim sepak
bola Yunani.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penggunaan kata Yunani
hanya untuk mewakili tim sepakbola Yunani, bukan keseluruhan warga Yunani.
Sedangkan sinekdoke pars pro toto yang didahului sinekdoke totem pro
parte adalah nomina muka baru. Dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti,
maka kalimat (19) menjadi,
(19b) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah pemain baru
yang disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang disisipkan dalam skuad
bayangan McClaren, namun keseluruhan tubuhnya. Kata muka mewakili tubuh
keseluruhan.
Contoh kalimat lainnya yang polanya serupa adalah,
(a) Musim ini Milan mendatangkan dua muka baru di lini pertahanan (Bola,
9 Mei 2006, hal. 20)
(b) Semua pergerakan Ekuador bermula dari kakinya (Bola, 28 Juli 2006,
hal. 16)
2.2.2.2 Sinekdoke pro parte mendahului sinekdoke totem pro parte
(20) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru yang
disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani (Bola, 1
September 2006, hal. 4).
Pada kalimat (20) sinekdoke pars pro toto yang mendahului sinekdoke
totem pro parte, adalah nomina muka baru. Dibuktikan dengan menggunakan
teknik ganti, maka kalimat (20) menjadi,
(20a) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah pemain baru
yang disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang disisipkan dalam skuad
bayangan McClaren, namun keseluruhan tubuhnya. Kata muka mewakili tubuh
keseluruhan.
Pada kalimat (20) terkandung Sinekdoke totem pro parte yang didahului
sinekdoke pars pro toto yaitu kata Yunani. Dibuktikan dengan menggunakan
teknik sisip, maka kalimat (20) menjadi,
(20b) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru
yang disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi tim sepak
bola Yunani.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penggunaan kata Yunani
hanya untuk mewakili tim sepakbola Yunani, bukan keseluruhan warga Yunani.
Contoh kalimat lainnya yang memiliki pola serupa,
(a) Robert Donadoni berani memainkan muka-muka baru dan non langganan
timnas dalam laga debut melawan Kroasia pada Agustus lalu (Bola, 8
September 2006, hal.2).
2.2.2.3 Sinekdoke Totem pro parte berupa nama negara mendahului Sinekdoke
pars pro toto berupa bagian tubuh
(21) Semua pergerakan Ekuador bermula dari kakinya (Bola, 28 Juli 2006,
hal. 16).
Pada kalimat (21) terkandung Sinekdoke Totemproparte berupa nama
negara yang mendahului sinekdoke pars pro toto berupa bagian tubuh, yaitu kata
Ekuador. Dibuktikan dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat (21)
menjadi,
(21a) Semua pergerakan tim sepakbola Ekuador bermula dari kakinya.
Dengan demikian akan semakin jelas bahwa penggunaan kata Ekuador untuk
mewakili tim sepakbola Ekuador, bukan keseluruhan warga Ekuador.
Pada kalimat (21) terdapat sinekdoke pars pro toto berupa bagian tubuh
yang didahului sinekdoke totem pro parte berupa nama negara yaitu kata kakinya.
Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik lesap, maka kalimat (21) menjadi,
(21b) Semua pergerakan Ekuador bermula darinya.
Dengan demikian, pergerakan tim sepak bola Ekuador bukan dari kakinya
saja, tapi keseluruhan tubuhnya pun ikut terlibat. Kata kaki mewakili tubuh
keseluruhan.
2.2.2.4 Sinekdoke pars pro toto berupa bagian tubuh mendahului sinekdoke totem
pro parte berupa nama negara
(22) Robert Donadoni berani memainkan muka-muka baru dan non
langganan timnas dalam laga debut melawan Kroasia pada Agustus lalu
(Bola, 8 September 2006, hal.2).
Pada kalimat (22) terdapat sinekdoke pars pro toto berupa bagian tubuh
mendahului sinekdoke totem pro parte berupa nama negara, yaitu nomina muka-
muka baru. Dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, maka kalimat (22)
menjadi,
(22a) Robert Donadoni berani memainkan pemain-pemain baru dan non
langganan timnas dalam laga debut melawan Kroasia pada Agustus
lalu.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang dimainkan Robert
Donadoni, namun keseluruhan tubuhnya. Penyebutan kata muka mewakili tubuh
keseluruhan.
Sedangkan Sinekdoke Totemproparte berupa nama negara yaitu kata
Kroasia. Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat (22)
menjadi,
(22a) Robert Donadoni berani memainkan muka-muka baru dan non
langganan timnas dalam laga debut melawan tim sepakbola Kroasia
pada Agustus lalu.
Dengan demikian penggunaan kata Kroasia hanya untuk mewakili tim
sepakbola Kroasia, bukan keseluruhan warga Kroasia.
Contoh kalimat lain yang memiliki pola serupa,
(a) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru yang
disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani (Bola, 1
September 2006, hal. 4).
2.2.2.5 Sinekdoke totem pro parte berupa nama klub mendahului sinekdoke pars
pro toto bagian tubuh
(23) Musim ini Milan mendatangkan dua muka baru di lini pertahanan. (Bola,
9 Mei 2006, hal. 20).
Pada kalimat (23) terdapat Sinekdoke Totemproparte berupa nama klub
yang mendahului sinekdoke pars pro toto yaitu kata Milan. Dibuktikan melalui
teknik sisip, maka kalimat (23) menjadi,
(23a) Musim ini manajemen Milan mendatangkan dua muka baru di lini
pertahanan.
Dalam hal jual beli pemain sebuah klub sepakbola, yang mengaturnya
adalah manajemen klub tersebut. Jadi tidak keseluruhan komponen klub, seperti
pendukung, pemain, official tim, dan pelatih. Jadi penyebutan klub Milan hanya
untuk mewakili manajemen klub bersangkutan.
Sedangkan sinekdoke pars pro toto berupa bagian tubuh yang didahului
sinekdoke totem pro parte, yaitu nomina muka baru. Dibuktikan dengan
menggunakan teknik ganti, maka kalimat (23) menjadi,
(23b) Musim ini manajemen Milan mendatangkan dua pemain baru di lini
pertahanan.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang didatangkan
manajemen Milan, namun keseluruhan tubuhnya. Kata muka mewakili tubuh
keseluruhan.
2.2.3 Sinekdoke totem pro parte dan Hiperbola
2.2.3.1 Sinekdoke totem pro parte berupa nama negara mendahului hiperbola
kuantitatif
(24) Perancis punya segudang pengalaman dalam hal turnamen-
turnamen besar (Bola, 11 Juli 2006, hal.30).
Pada kalimat (24) terdapat gaya bahasa Sinekdoke Totem pro parte berupa
nama negara yang mendahului hiperbola kuantitatif yaitu kata Perancis.
Dibuktikan dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat (24) menjadi,
(24a) Tim sepakbola Perancis punya segudang pengalaman dalam hal
turnamen-turnamen besar.
Dengan demikian, penyebutan negara Prancis hanya untuk mewakili tim
sepakbola Perancis, bukan keseluruhan warga Prancis.
Sedangkan gaya bahasa hiperbola kuantitatif yang didahului sinekdoke
totem pro parte dengan penyebutan nama negara, adalah kata segudang.
Dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, kalimat (24) menjadi,
(24b) Tim sepakbola Perancis punya banyak pengalaman dalam hal turnamen-
turnamen besar.
Ada perbandingan antara kata banyak dengan segudang. Tim sepak bola
Perancis memang memiliki banyak pengalaman di turnamen besar namun dari
segi kuantitas, banyaknya tidak mencapai satu gudang. Dalam konteks kalimat di
atas yang dilebihkan adalah kuantitas pengalamannya, maka termasuk dalam jenis
hiperbola kuantitatif.
2.2.4 Sinekdoke pars pro toto dan metafora
2.2.4.1 Sinekdoke pars pro toto mendahului metafora antropomorfis berupa verba
(25) Wajah-wajah yang kerap menghiasi timnya kembali dipanggil (Bola, 1
September 2006, hal.7)
Kalimat (25), mengandung sinekdoke pars prototo yang mendahului
metafora antropomorfis yaitu kata Peter Lovenkrands. Dibuktikan dengan
menggunakan teknik ganti, maka kalimat (25) menjadi,
(25a) Pemain-pemain yang kerap menghiasi timnya kembali dipanggil.
Dengan demikian bukan hanya wajahnya saja yang menghiasi tim, namun
keseluruhan tubuhnya. Kata wajah mewakili tubuh keseluruhan.
Selain Sinekdoke pars pro toto terdapat pula gaya bahasa metafora
antropomorfis yaitu verba menghiasi. Menghiasi adalah kegiatan manusia. Makna
denotasi dari menghiasi adalah mempercantik, memperbagus dengan benda-benda
yang bagus (Badudu-Zain, 1994: 508) . Seperti dalam kalimat,
(25b) Pernak-pernik bintang laut menghiasi kamarnya.
Jadi, ada perbandingan antara pemain sepak bola dengan benda-benda
bagus atau cantik yang biasa digunakan untuk menghias. Arti metaforis dari
menghiasi adalah memperkuat. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka
kalimat (25) menjadi,
(25c) Wajah-wajah yang kerap memperkuat timnya kembali dipanggil.
Contoh kalimat lain yang memiliki pola serupa yaitu,
(a) Tapi, buat bomber tajam Peter Lovenkrands, yang tersingkir oleh
Villareal, niat membantai Killmarnock pekan ini adalah awal bisnis serius
untuk kembali ke LC musim depan (Bola, 10 Maret 2006, hal. 22).
2.2.4.2 Sinekdoke pars pro toto mendahului metafora binatang
(26) Gerrard cs juga tidak bisa menutup mata bahwa Toon Army bisa saja
mencuatkan kejutan di Anfield lantaran sejumlah muka baru di kubu
seberang itu mulai menunjukkan taringnya (Bola, 19 September 2006,
hal.8).
Sinekdoke pars pro toto yang terkandung dalam kalimat (26), adalah kata muka.
Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, maka kalimat (26) menjadi,
(26a) Gerrard cs juga tidak bisa menutup mata bahwa Toon Army bisa saja
mencuatkan kejutan di Anfield lantaran sejumlah pemain baru di kubu
seberang itu mulai menunjukkan taringnya.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang masuk ke dalam tim, namun
keseluruhan tubuhnya juga. Kata muka mewakili tubuh keseluruhan.
Sedangkan metafora binatang yang didahului sinekdoke pars pro toto
adalah menunjukkan taringnya. Menunjukkan taring adalah kebiasaan yang
dilakukan oleh hewan-hewan buas. Jadi ada perbandingan secara implisit antara
pemain sepak bola dengan dengan hewan buas. Arti metaforis dari menunjukkan
taring adalah memperlihatkan kemampuannya atau kapasitasnya. Dapat
dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (26) menjadi,
(26b) Gerrard cs juga tidak bisa menutup mata bahwa Toon Army bisa saja
mencuatkan kejutan di Anfield lantaran sejumlah muka baru di kubu
seberang itu mulai memperlihatkan kemampuannya.
2.2.4.3 Metafora antropomorfis berupa nomina mendahului sinekdoke pars pro
toto
(27) Tambahan amunisi dalam daftar skuad kian melesakkan keyakinan
karena muka-muka baru cukup menjanjikan (Bola, 22 September 2006,
hal. 8).
Pada kalimat (27) terdapat metafora antropomorfis berupa nomina yang
mendahului sinekdoke pars pro toto yaitu nomina amunisi. Makna denotasi dari
amunisi adalah bahan peledak atau bahan pengisi senjata api (KBBI 1989: 30).
Seperti dalam kalimat,
(27a) Karena kehabisan amunisi bazoka, pasukan Inggris akhirnya kalah.
Dengan demikian ada perbandingan secara implisit antara tim sepakbola dengan
senapan yang diisi amunisi. Maka makna metaforis dari amunisi adalah pemain
sepakbola itu sendiri. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (18)
menjadi,
(27b) Tambahan pemain dalam daftar skuad kian melesakkan keyakinan
karena muka-muka baru cukup menjanjikan.
Pada kalimat (27) terdapat pula sinekdoke pars prototo berupa bagian
tubuh, yaitu kata ulang muka-muka. Dibuktikan dengan menggunakan teknik
ganti, maka kalimat (27) menjadi,
(27c) Tambahan amunisi dalam daftar skuad kian melesakkan keyakinan
karena pemain-pemain baru cukup menjanjikan.
Dengan demikian bukan hanya mukanya saja yang cukup menjanjikan, namun
keseluruhan tubuhnya juga. Kata muka mewakili tubuh keseluruhan.
2.2.5 Metafora dan Hiperbola
2.2.5.1 Metafora antropomorfis berupa nomina mendahului hiperbola kuantitatif
(28) Pasukan Korea bukan hanya harus menjalani wajib militer, tapi juga
menyaksikan publiknya banjir air mata akibat kegagalan di Piala Dunia
2006 (Bola, 27 Juni 2006, hal. 33).
Metafora antropomorfis berupa nomina yang muncul pada kalimat (28)
yaitu nomina pasukan Korea. Makna denotasi dari pasukan adalah kelompok,
kumpulan, kawanan bisa dikatakan pada tentara, polisi, pramuka. (Badudu-Zain,
1994:1010). Seperti dalam kalimat,
(28a) Para pasukan Palestina tewas mengenaskan.
Secara implisit, ada perbandingan antara pemain sepakbola dengan tentara
yang notabene memakai peralatan perang dan suka melakukan peperangan.
Dalam konteks kalimat di atas, arti metaforis dari pasukan-pasukan adalah
para pemain sepakbola karena ada bagian disebutkan Piala dunia 2006 yang
berarti menunjuk pada sepakbola. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka
kalimat (28) menjadi,
(28b) Pemain sepak bola Korea bukan hanya harus menjalani wajib
militer, tapi juga menyaksikan publiknya banjir air mata akibat
kegagalan di Piala Dunia 2006.
Pada kalimat (28) hiperbola kuantitatif yang didahului metafora
ditunjukkan dengan klausa banjir air mata. Walaupun warga Korea banyak yang
mengeluarkan air mata/ menangis karena kegagalan tim sepakbola Korea di Piala
Dunia 2006, namun banyaknya/ kuantitas air mata yang keluar tidak sampai
membuat banjir seperti banjir yang melanda Jakarta, maka hiperbola di atas
ternasuk ke dalam hiperbola kuantitatif.
2.2.5.2 Hiperbola kuantitatif mendahului metafora binatang
(29) Jadi, logisnya Torres punya segudang alasan untuk melirik tuan lain
yang jelas bakal merumput di arena LC (Bola, 28 Juli 2006, hal.17).
Pada kalimat (29) terdapat hiperbola kuantitatif yang mendahului metafora
yaitu kata segudang. Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, kalimat
(29) menjadi,
(29a) Jadi, logisnya Torres punya banyak alasan untuk melirik tuan lain yang
jelas bakal merumput di arena LC.
Ada perbandingan antara kata banyak dengan segudang. Torres memang
punya banyak untuk melirik tuan lain, namun dari segi kuantitas, banyaknya tidak
mencapai satu gudang. Dalam konteks kalimat di atas yang dilebihkan adalah
kuantitas alasannya, maka hiperbola di atas termasuk ke dalam hiperbola
kuantitatif.
Pada kalimat (29) terdapat pula Metafora binatang yang didahului
hiperbola yaitu verba merumput. Makna denotasi dari merumput adalah makan
rumput seperti yang dilakukan oleh hewan. (Badudu-Zain, 1994:1186-1187).
Seperti dalam kalimat,
(29b) Sapi itu sedang merumput.
Secara implisit, ada perbandingan antara pemain sepakbola dengan hewan
pemakan rumput atau sesuatu yang berhubungan dengan rumput. Dalam konteks
kalimat di atas, arti metaforis dari merumput adalah bermain sepakbola di atas
lapangan rumput. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (29)
menjadi,
(29c) Jadi, logisnya Torres punya segudang alasan untuk melirik tuan lain
yang jelas bakal bermain di arena LC.
2.2.5.3 Hiperbola frekuentif mendahului metafora binatang
(30) Publik tampak belum usai membanjiri Lionel Messi dengan pujian,
Barcelona sudah kembali menelurkan produk baru bernama Giovanni
Dos Santos (Bola, 1 Agustus 2006, hal. 15).
Hiperbola frekuentif yang terdapat dalam kalimat (30) adalah verba
membanjiri. Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, kalimat (30)
menjadi,
(30a) Publik tampak belum usai memberi banyak Lionel Messi dengan pujian,
Barcelona sudah kembali menelurkan produk baru bernama Giovanni
Dos Santos.
Publik memang memberi banyak pujian untuk Lionel Messi, namun tidak
terus menerus sehingga terjadi banjir pujian, karena itu gaya bahasa hiperbola
dalam kalimat di atas termasuk ke dalam hiperbola frekuentif (tingkat keseringan).
Sedangkan metafora binatang yang didahului hiperbola, yaitu verba
menelurkan. Makna denotasi dari menelurkan adalah mengeluarkan telur yang
berarti bisa dilakukan oleh sesuatu yang biasa mengeluarkan telur seperti ayam,
unggas, dan sebagainya. Seperti dalam kalimat,
(30b) Pagi tadi ayam milik kakek kembali menelurkan telur yang berwarna
kuning.
Namun dalam konteks di atas sebuah klub sepakbola tidak mungkin
mengeluarkan telur seperti ayam atau hewan lainnya, arti metaforis dari
menelurkan adalah menghasilkan. Secara implisit, ada perbandingan antara klub
sepakbola dengan hewan yang bertelur. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti
maka kalimat (30) menjadi,
(30c) Publik tampak belum usai membanjiri Lionel Messi dengan pujian,
Barcelona sudah kembali menghasilkan produk baru bernama Giovanni
Dos Santos.
2.2.6 Metafora dan simile
2.2.6.1 Metafora antropomorfis berupa nomina mendahului simile dengan kata
pembanding seperti
(31) Jika sampai pasukan McClaren kebobolan satu gol saja di Riverside,
target lolos ke semifinal akan terlihat seperti puncak Everest, yang harus
didaki dengan susah payah (Bola, 4 April 2006, hal.9).
Metafora antropomorfis yang mendahului simile adalah nomina pasukan
Mclaren Nomina pasukan kias dari pasukan dalam arti sebenarnya. Makna
denotasi dari pasukan adalah kelompok, kumpulan, kawanan bisa dikatakan
kepada tentara, polisi, pramuka. (Badudu-Zain, 1994:1010). Seperti dalam
kalimat,
(31a) Pasukan Palestina banyak yang terkena radiasi bom atom akibat
serangan tentara Israel.
Ada perbandingan secara implisit antara pemain sepakbola dengan
pasukan dalam arti sebenarnya. Makna metaforis dari pasukan adalah para pemain
sepakbola yang memiliki semangat bertempur. Dapat dibuktikan melalui teknik
ganti, maka kalimat (31) menjadi,
(31b) Jika sampai para pemain McClaren kebobolan satu gol saja di
Riverside, target lolos ke semifinal akan terlihat seperti puncak
Everest, yang harus didaki dengan susah payah.
Sedangkan gaya bahasa simile yang didahului metafora yaitu klausa
seperti puncak Everest, yang harus didaki dengan susah payah. Dengan demikian
ada perbandingan langsung atau secara eksplisit antara target lolos ke semifinal
dengan puncak Everest yang harus didaki dengan susah payah.
2.2.6.2 Metafora sinestetik mendahului simile dengan kata pembanding seperti
layaknya
(32) Gol tendangan geledek William Gallas pada menit kedua injury time itu
disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka memenangi
sebuah laga di turnamen dengan sistem gugur (Bola, 14 Maret 2006,
hal.18).
Metafora sinestetik yang mendahului simile dalam kalimat (32) yaitu
nomina tendangan geledek. Makna denotasi dari geledek adalah guruh atau guntur
yang keras; petir. (Badudu-Zain, 1994:439). Seperti dalam kalimat,
(32a) Bunyi geledek memekkakan telinga.
Atau dengan menggunakan teknik sisip, kalimat (32) menjadi
(32b) Gol tendangan bak geledek William Gallas pada menit kedua injury
time itu disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka
memenangi sebuah laga di turnamen dengan sistem gugur.
Dengan demikian terlihat jelas ada perbandingan antara tendangan dengan
gejala alam seperti geledek. Tendangan yang bisa dirasakan oleh indera peraba
berubah ke indera pendengaran berupa geledek. Arti metaforis dari geledek atau
geledek untuk menggambarkan betapa kerasnya tendangan tersebut.
Dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti, maka kalimat (32) menjadi,
(32c) Gol tendangan yang keras William Gallas pada menit kedua injury time
itu disambut gembira tuan rumah seperti layaknya mereka memenangi
sebuah laga di turnamen dengan sistem gugur.
Sedangkan gaya bahasa simile yang didahului oleh metafora adalah klausa seperti
layaknya mereka memenangi sebuah laga di turnamen dengan sistem gugur.
Dengan demikian ada perbandingan langsung atau secara eksplisit antara
kegembiraan karena terjadi gol di injury time dengan kegembiraan memenangi
sebuah laga di turnamen dengan sistem gugur.
2.2.6.3 Simile dengan kata pembanding bak mendahului metafora antropomorfis
berupa verba
(33) Benar saja, bak memakan umpan Pele, kapten Carlos Alberto datang
untuk menghantamkan bola dengan keras (Bola, 28 April 2006, hal. 18).
Pada kalimat (33) terkandung simile yang mendahului metafora yaitu
klausa bak memakan umpan pele. Dengan demikian ada perbandingan langsung
atau secara eksplisit antara menendang (menghantamkan bola) dengan memakan
umpan Pele.
Sedangkan metafora antropomorfis berupa verba yang didahului simile
ditunjukkan dengan penggunaan verba menghantamkan. Menghantamkan adalah
kegiatan manusia. Makna denotasi dari menghantamkan adalah meninjukan atau
memukulkan. (Badudu-Zain, 1994:493). Seperti dalam kalimat,
(33a) Mike Tyson menghantamkan jab-jab yang mampu meruntuhkan lawan-
lawannya.
Bola yang seharusnya ditendang diibaratkan ditinju untuk membandingkan
secara implisit antara pemain sepakbola dengna orang yang biasa melakukan
hantaman. Arti metafois menghantamkan dalam konteks kalimat di atas adalah
menendang. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (33) menjadi,
(33b) Benar saja, bak memakan umpan Pele, kapten Carlos Alberto datang
untuk menendang bola dengan keras.
2.2.7 Metafora dan Oksimoron
2.2.7.1 Metafora berupa nomina mendahului oksimoron
(34) Fase Grup Liga Champion kali ini memunculkan beberapa reuni
menyedihkan(Bola, 12 September 2006, hal. 17).
Pada kalimat (34) terdapat metafora antropomorfis berupa nomina yang
mendahului oksimoron adalah nomina reuni. Reuni adalah pertemuan kembali
setelah sekian lama berpisah seperti antara teman sekolah atau teman
seperjuangan. (Badudu-Zain 1994: 1165). Seperti dalam kalimat,
(34a) Reuni Akbar Alumni UGM dilaksanakan di Graha Saba Pramana.
Dengan demikian, secara implisit ada perbandingan antara Liga Champions
(sebuah turnamen sepakbola) dengan universitas atau lembaga yang biasa
mengadakan reuni. Arti metaforis dari reuni dalam konteks kalimat di atas adalah
pertandingan ulangan. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (34)
menjadi,
(34b) Fase Grup Liga Champion kali ini memunculkan beberapa
pertandingan ulangan yang menyedihkan.
Sedangkan oksimoron yang didahului metafora dalam kalimat (34) adalah
frase reuni menyedihkan. Kata reuni umumnya menimbulkan sesuatu yang
menyenangkan. Tetapi pada kalimat (34) kata reuni dipasangkan dengan kata
yang berlawanan yaitu kata menyedihkan dan bertempat pada frase yang sama.
2.2.8 Simile dan Personifikasi
2.2.8.1 Simile yang ditandai dengan kata pembanding adalah mendahului
personifikasi
(35) Gelsenkirchen adalah kota yang cuek, acuh tak acuh simile-personifikasi
(Bola, 20 Juni 2006, hal.3).
Pada kalimat (35) Simile yang ditandai dengan penghubung adalah yaitu
klausa adalah kota yang cuek, acuh tak acuh. Ada perbandingan langsung atau
secara eksplisit antara Gelsenkirchen (kota di Jerman) dengan kota yang cuek,
acuh tak acuh.
Sedangkan personifikasi yang didahului simile adalah klausa kota yang
cuek, acuh tak acuh. Cuek, acuh tak cuh adalah sifat yang dimiliki oleh mahkluk
hidup, manusia. Pada kalimat (35), pemakaian kata cuek, acuh tak acuh
dipasangkan dengan kota yang notabene adalah benda mati.
2.2.8.2 Simile yang ditandai dengan kata pembanding seolah mendahului
personifikasi
(36) Kiper berusia 24 tahun itu seolah memiliki banyak tangan untuk
memuntahkan bola-bola yang datang mengancam gawangnya (Bola, 4
April 2006, hal. 14).
Pada kalimat (36) terdapat simile yang ditandai dengan penghubung
seolah yang mendahului personifikasi yaitu klausa seolah memiliki banyak
tangan. Ada perbandingan langsung atau secara eksplisit antara kiper dengan
sesuatu yang memiliki banyak tangan.
Sedangkan gaya bahasa personifikasi yang didahului simile yaitu klausa
bola-bola yang mengancam. Dalam kalimat (36), bola seolah-olah menjadi hidup
dengan mengancam gawang. Padahal bola adalah benda mati.
2.2.9 Simile dan Hiperbola
2.2.9.1 Simile dengan kata pembanding tak ubahnya mendahului hiperbola
kualitatif
(37) Prestasi, konon, tak ubahnya heroin bikin kecanduan (Bola, 11 Juli
2006, hal.20).
Pada kalimat (37) terdapat gaya bahasa simile yang mendahului hiperbola
yaitu frase seperti layaknya. Dengan demikian ada perbandingan secara eksplisit
atau secara langsung antara prestasi dengan heroin.
Sedangkan gaya bahasa hiperbola yang didahului simile adalah nomina
heroin. Untuk membuktikannya maka digunakan teknik ganti, kalimat (37)
menjadi,
(37a) Prestasi, konon, tak ubahnya rokok: bikin kecanduan.
Untuk menggambarkan kecanduan sebenarnya ada yang lebih rendah
intensnya dibawah heroin yaitu rokok. Maka hiperbola kalimat di atas, termasuk
ke dalam jenis hiperbola kualitatif.
2.3 Tiga gaya bahasa dalam satu kalimat
Ditemukan 2 kalimat yang masing-masing memiliki 3 gaya bahasa,
dengan rincian sebagai berikut:
2.3.1 Simile yang ditandai dengan kata penghubung bak, metafora
antropomorfis berupa nomina, dan sinekdoke totem pro parte penyebutan
negara
(38) Bak singa kelaparan, pasukan Inggris mengalahkan Yunani dengan skor
4-0 (Bola, 21 Mei 2006, hal. 5).
Pada kalimat (38) gaya bahasa yang paling awal muncul adalah simile
yaitu kata bak. Dengan demikian ada perbandingan secara eksplisit antara para
pemain sepakbola Inggris dengan singa kelaparan.
Juga terdapat gaya bahasa metafora antropomorfis yang berada di tengah-
tengah, yaitu nomina pasukan Inggris. Pasukan dalam arti sebenarnya adalah
kelompok, kumpulan, kawanan yang bisa dikatakan kepada tentara, polisi,
pramuka (Badudu-Zein 1994: 1010). Dengan demikian ada perbandingan secara
implisit antara pemain sepakbola dengan tentara. Arti metaforis dari tentara adalah
para pemain sepakbola yang siap bertanding atau bertempur layaknya tentara
sebenarnya. Dapat dibuktikan melalui teknik ganti, maka kalimat (38) menjadi,
(38a) Bak singa kelaparan, pemain sepak bola Inggris mengalahkan Yunani
dengan skor 4-0.
Pada kalimat (38), gaya bahasa yang didahului oleh simile dan metafora
adalah sinekdoke totem pro parte, yaitu kata Yunani. Dapat dibuktikan dengan
menggunakan teknik sisip, maka kalimat (38) menjadi,
(38a) Bak singa kelaparan, pasukan Inggris mengalahkan tim sepakbola
Yunani dengan skor 4-0.
Dengan demikian penggunaan kata Yunani hanya untuk untuk mewakili tim
sepakbola Yunani, bukan keseluruhan warga Yunani.
2.3.2 Metafora antropomorfis berupa nomina, sinekdoke totem pro parte berupa
penyebutan negara , dan hiperbola kuantitatif
(39) Setelah pasukan Jerman berhasil mengalahkan Portugal dan
memastikan tempat ketiga, tak ada seseorangpun warga Jerman yang
rela menghabiskan sisa malam itu di tempat tidur (Bola, 11 Juli 2006,
hal. 7).
Pada kalimat (39) gaya bahasa yang mendahului gaya bahasa lainnya
adalah gaya bahasa metafora antropomorfis yaitu nomina pasukan Jerman.
Pasukan dalam arti sebenarnya adalah kelompok, kumpulan, kawanan yang bisa
dikatakan kepada tentara, polisi, pramuka (Badudu-Zein 1994: 1010). Dengan
demikian ada perbandingan secara implisit antara pemain sepakbola dengan
tentara. Arti metaforis dari tentara adalah para pemain sepakbola yang siap
bertanding atau bertempur layaknya tentara sebenarnya. Dapat dibuktikan dengan
menggunakan teknik ganti, maka kalimat (39) menjadi,
(39a) Setelah pemain sepak bola Jerman berhasil mengalahkan Portugal dan
memastikan tempat ketiga, tak ada seseorangpun warga Jerman yang
rela menghabiskan sisa malam itu di tempat tidur.
Pada kalimat (39) gaya bahasa yang diapit atau berada di tengah-tengah
adalah gaya bahasa Sinekdoke totem pro parte yaitu kata Portugal. Dibuktikan
dengan menggunakan teknik sisip, maka kalimat (39) menjadi,
(39b) Setelah pasukan Jerman berhasil mengalahkan tim sepakbola Portugal
dan memastikan tempat ketiga, tak ada seseorangpun warga Jerman
yang rela menghabiskan sisa malam itu di tempat tidur.
Dengan demikian penggunaan kata Portugal hanya untuk mewakili tim sepakbola
Portugal, bukan keseluruhan warga Portugal.
Gaya bahasa yang terakhir adalah gaya bahasa hiperbola. Hiperbola
tersebut adalah klausa tak ada seorang pun warga Jerman yang rela
menghabiskan sisa malam itu di tempat tidur. Setelah mengalahkan tim sepakbola
Portugal dan memastikan tempat ketiga di Piala Dunia 2006, publik Jerman
memang dilanda euforia dan mungkin tidak tidur semalaman untuk merayakan
kemenangan itu, tapi tidak semua warga Jerman seperti yang ditulis pada kalimat
(39), hanya pecinta sepakbola saja yang tidak tidur,itupun mungkin tidak semua.
Hiperbola semacam ini termasuk ke dalam hiperbola kuantitatif (menyangkut
jumlah).
BAB III
FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN DALAM
TABLOID OLAH RAGA
3.1 Fungsi Gaya Bahasa Kiasan Dalam Tabloid Olahraga Khususnya Tabloid
Bola
Dalam tabloid Bola, gaya bahasa yang paling sering muncul atau
digunakan adalah gaya bahasa metafora dan sinekdoke totem pro parte. Bola,
sebagai tabloid olahraga tampaknya sangat memanfaatkan gaya bahasa kiasan
khususnya metafora dan sinekdoke totem pro parte.
3.1.1 Fungsi Metafora
Jenis-jenis metafora yang digunakan adalah metafora antropomorfis,
binatang, dan metafora sinestetik. Diantara ketiga jenis di atas, metafora
antropomorfis paling mendominasi sebagai contoh,
(40) Namun, belakangan Chelsea ikut memburu striker Atletico Madrid
tersebut (Bola, 27 Juni 2006, hal.40).
Metafora antropomorfis berupa verba memburu pada kalimat (31), selain
meningkatkan efek kalimat juga dapat memberikan variasi pengungkapan.
Manajemen sepakbola diibaratkan para pemburu yang siap memburu para pemain.
Verba memburu dapat memiliki arti membeli pemain yang sudah tidak terikat
kontrak atau menawar pemain yang masih dalam kontrak, bersaing untuk
mendapatkan. Contoh kalimat lainnya yang memiliki metafora antropomorfis,
(41) Salah satu syarat untuk mengalahkan Prancis adalah dengan
mematikan Zinedine Zidane (Bola, 11 Juli 2006, hal.15).
Penggunaan verba mematikan untuk menggantikan verba menjaga ketat seorang
pemain dipakai oleh jurnalis untuk menggambarkan betapa kerasnya permainan
sepakbola.
Contoh metafora binatang adalah,
(42) Gerrard cs juga tidak bisa menutup mata bahwa Toon Army
(Newcastle) bisa saja mencuatkan kejutan di Anfield lantaran sejumlah
muka baru di kubu seberang itu mulai menunjukkan taringnya (Bola,
19 September 2006, hal.8).
Klausa menunjukkan taring memberi kesan betapa buasnya para pemain
baru Newcastle seperti hewan yang memiliki taring.
Untuk metafora sinestetik, contoh yang digunakan sebagai berikut,
(43) Gol Lionel Messi pada menit kedua injury time tersebut, memekakan
hati 23.000 penonton di Annoeta (Bola, 20 Mei 2006, hal.18).
Efek kalimat meningkat ketika ada perubahan indera. Verba memekakan
yang biasa digunakan untuk indera pendengaran disandingkan dengan nomina hati
yang berhubungan dengan kulit.
3.1.2 Fungsi Sinekdoke totem pro parte
Penggunaan sinekdoke totem pro parte lebih pada fungsi praktis yaitu untuk
menyingkat sebuah frase menjadi sebuah kata ,misalnya, penggunaan negara
Swedia pada kalimat
(44) Terlepas dari hasil yang direguk The Republic melawan Swedia pada
Rabu (3/1), Keane merasa sangat tersanjung dipercaya mengemban
tanggung jawab itu (Bola, 3 Maret 2006, hal.8).
Penyebutan negara Swedia untuk menggantikan frase tim sepakbola Swedia
karena wartawan Bola yakin pembaca telah mengerti bahwa penyebutan negara
Swedia sudah barang tentu mengarah pada tim sepakbolanya. Oleh karena itu
gaya bahasa sinekdoke totem pro parte akan sering muncul ketika jurnalis meliput
pertandingan sepakbola antar negara.
3.1.3 Fungsi-fungsi Gaya bahasa lainnya
Gaya bahasa lain yang muncul adalah sinekdoke totem pars pro toto
seperti dalam kalimat,
(45) Dalam 24 nama yang dipanggil McClaren, ada sejumlah muka baru
yang disisipkan dalam skuad bayangan saat menghadapi Yunani (Bola,
1 September 2006, hal. 4).
Penyebutan muka baru sebagai pengganti pemain-pemain baru memberi variasi
dalam penulisan berita olahraga.
Gaya bahasa simile, juga sering dipakai jurnalis sebagai variasi penulisan.
Gaya bahasa ini otomatis memunculkan tiga unsur dalam satu kalimat yaitu
sesuatu yang dibandingkan, kata pembanding, dan sesuatu yang digunakan
jurnalis untuk membandingkan. Hal ini menuntut jurnalis untuk berpikir
pembanding apa yang akan digunakan untuk menarik perhatian pembaca. Seperti
dalam kalimat,
(46) Jika sampai pasukan McClaren kebobolan satu gol saja di Riverside,
target lolos ke semifinal akan terlihat seperti puncak Everest, yang harus
didaki dengan susah payah (Bola, 4 April 2006, hal.9).
Terlihat bagaimana cerdiknya jurnalis Bola dengan membuat perbandingan antara
target lolos ke semifinal dengan puncak Everest untuk menggambarkan betapa
sulitnya mencapai target tersebut.
Selain itu gaya bahasa hiperbola dimunculkan jurnalis untuk memperhebat
dan meningkatkan kesan seperti dalam kalimat,
(47) Pasukan Korea bukan hanya harus menjalani wajib militer, tapi juga
menyaksikan publiknya banjir air mata akibat kegagalan di Piala
Dunia 2006 (Bola, 27 Juni 2006, hal. 33).
Kuantitas air mata yang jatuh atau orang yang menangis ditingkatkan untuk
menimbulkan kesan betapa bersedihnya para pendukung pemain Korea. Ada hal
yang menarik mengenai hiperbola seperti banjir air mata dan hujan gol. Kata-kata
ini seperti menjadi wajib dalam setiap tulisan usai pertandingan sepakbola. Banjir
air mata digunakan atau identik dengan pihak yang kalah baik pemain maupun
pendukung dan hujan gol digunakan apabila ada tim yang kemasukan lebih dari
tiga gol.
Untuk personifikasi seperti dalam kalimat,
(48) Gelsenkirchen adalah kota yang cuek, acuh tak acuh simile-
personifikasi (Bola, 20 Juni 2006, hal.3).
Dipakai oleh jurnalis untuk menghantar pembaca pada gambaran atau penilaian
benda mati seperti dalam benak penulis. Dalam kalimat di atas ada kemungkinan
jurnalis merasa tidak mendapat sambutan hangat dari warga kota tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
sebuah kalimat dapat memiliki lebih dari satu gaya bahasa. Pada tabloid Bola,
khususnya bagian “Ole Internasional”, jenis gaya bahasa yang paling banyak
ditemukan adalah gaya bahasa kiasan, meliputi: (i) sinekdoke totem pro parte (ii)
sinekdoke pars pro toto (iii) metafora (iv) simile (v) hiperbola (vi) personifikasi
(vii) oksimoron.
Gaya bahasa metafora dan sinekdoke totem pro parte paling sering
digunakan para jurnalis Bola dalam kolom beritanya di Ole Internasional. Gaya
bahasa sinekdoke totem pro parte paling sering hadir ketika ada pertandingan
sepakbola antar negara. Dalam tulisannya, wartawan Bola langsung menggunakan
kata negara untuk mewakili penyebutan tim sepakbola negara yang bersangkutan,
yang otomatis, penulisan semacam itu termasuk ke dalam gaya bahasa sinekdoke
totem pro parte (penyebutan keseluruhan untuk mewakili sebagian). Sementara
itu, gaya bahasa metafora berupa perbandingan secara implisit dengan hal di luar
sepakbola, digunakan untuk meningkatkan efek kalimat sehingga menarik
perhatian juga agar pembaca tidak serta merta menjadi bosan karena tidak melulu
menggunakan istilah-istilah sepakbola. Sebagai contoh, penggunaan verba
membunuh yang dipasangkan atau dilakukan oleh pemain sepakbola yang
menimbulkan efek tersendiri bagi pembaca.
Dalam penelitian ini metafora dibagi menjadi tiga, yaitu metafora
antropomorfis, binatang, dan sinestetik, serta sinekdoke totem pro parte terbagi
menjadi dua yaitu sinekdoke totem pro parte dengan penyebutan negara dan
sinekdoke totem pro parte dengan penyebutan nama klub. Sedangkan untuk
hiperbola terbagi menjadi tiga menjadi hiperbola kuantitatif, hiperbola kualitatif,
hiperbola frekuentif. Simile ditandai dengan kata pembanding seperti layaknya
dan bak.
Berita adalah kabar, warta yang dikirimkan dari satu tempat ke tempat lain
juga merupakan laporan peristiwa yang dituliskan dalam surat-surat kabar seperti
yang dikatakan J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain (Kamus Umum Bahasa
Indonesia 1994:195), yang berarti menjadi ruang publik, membutuhkan sesuatu
yang dapat menarik perhatian, dan membuat pembacanya tidak serta merta
menjadi bosan. Dalam hal ini, gaya bahasa, gaya bahasa kiasan khususnya
memegang peranan yang cukup penting. Dunia sepakbola memang hidup dengan
berbagai kata kiasan dan sebuah tulisan tentu akan mati/ kering tanpa kiasan.
4.2 Saran
Masih banyak hal tentang gaya bahasa yang belum dikaji dalam hal
penelitian terhadap gaya bahasa dalam kolom berita di surat kabar ini, untuk itu,
penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan, misalnya dengan menganalisis lebih
ke arah bidang jurnalis seperti penyebutan julukan, nama tempat, nama stadion,
atau bahkan logika perang yang digunakan para jurnalis untuk mneambah
kenikmatan membaca.
Daftar Pustaka
Badudu, J.S dan Prof. Sutan Mohammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Fajinggriani, Zwesti. 2003. Gaya Bahasa Dalam Wacana Iklan Niaga pada
Harian Kompas dan Revelansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia
di SLTP. Yogyakarta: Skripsi fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kompas Gramedia. Tabloid Olahraga Bola edisi 3 Maret 2006 s.d. 22 September
2006. Jakarta.
Pateda, Mansoer. 1989. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.
Sudaryanto. 1984. Metode Linguistik Bagian Pertama: Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: UGM.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik.Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Tarigan, Henry Guntur . 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Tim Penyusun Kamus. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua.
Jakarta : Balai Pustaka.
Ver Haar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.