geologist never die2

Upload: eevangelisa

Post on 12-Jul-2015

130 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

~ Geologist Never Die, They Just Get Stoned ~

. Yang, seru juga ya kalau cerita-cerita perjalanan dan manjat aku ditulis. Waw, keren! Iya tuh, sayang banget kalau dipendem sendiri, kamu tulis lah, kamu buat blog aja.. Ah kamu mah, kan aku gak bisa nulis kaya kamu, aku gak ngerti caranya yang. Kamu aja deh yang nulis, aku yang ceritain, yah? yah? Yaudah, tapi ceritanya dari mana kamu masih inget gak? Waduh hehehe, dari mana yah yang, bingung aku mulainya

Siapa sangka sayang, akhirnya aku menulis juga. Menulis untuk kamu. Mungkin aku tidak akan pernah tahu tentang perjalanan-perjalananmu. Sampai kamu pergi pun, kamu memilih untuk memanjat tebing itu dalam diam. Tebing tertinggi. Tebingmu yang paling sakral. Di mana hanya ada tebing, Tuhan dan kamu. Ini lah sebuah kisah tentang kamu, tentang kita. Sepenggal perjalananmu yang singgah menghampiri pelataranku. Sesaat sebelum kamu pergi mendaki kedamaian yang abadi. Aku masih dapat mendengarkanmu mendendangkan lagu itu sayang, lagu kebesaranmu. Sayup-sayup kamu bernyanyi sambil melangkah pergi

Ku daki jalan mulia, tetap doaku ini lah, ke tempat tinggi dan teguh, Tuhan mantapkan langkahku. Ya Tuhan angkat diriku, lebih dekat kepada-Mu Ke tempat tinggi dan teguh, Tuhan mantapkan langkahku (KJ 400) . Teruntuk kamu, Willson Joshua Manghittua Sibarani Seorang kekasih dan sahabat yang tak kan pernah mati

Menuliskan kembali tentang kamu membutuhkan keberanian. Tak sedikit tarikan nafas ketika hati sesak dengan kenangan. Kata-kata yang ingin ku tulis berkali-kali menghujam di tenggorokan, melunturkan tembok airmata yang sudah tak kokoh lagi. Ada saat di mana aku takut untuk bertemu muka dengan senyum, suara dan semua kenangan tentang kamu. I want to write about you, love. But everytime i look at the screen thinking of you, my eyes start to tear up, my vision becomes blurry. It all pours out of me like a waterfall. I cant see anything I cant type anything its so frustrating Tapi tak sedikit pun aku mau menafikanmu, kenanganmu adalah anugrah yang harus ku terima dengan hidup. Pesan terakhirmu harus terdengar sampai semua sudut. Dengan begitu aku akan bersyukur atas mu dan doa-doa tak kan terputus olehmu. Dengan keberanian yang kamu ajarkan, aku menulis tentang kamu, tentang pendakianmu yang terakhir, tentang kita =) . Si Muka Merah Awalnya tidak ada yang istimewa, kali pertama bertemu pun biasa saja. Teringat kala pertama berjanji temu, dia mengenakan kemeja merah maroon, aku menemuinya di pelataran Starbucks Plaza Semanggi yang terletak di sebelah kampusku. Dia tengah merokok. Melihatku datang dia setengah panik mematikan rokok dan mengulurkan tangannya menyalamiku, lalu mengajak masuk ke ruang non smoking di dalam. Pembicaraan antara kami juga sebenarnya tak kalah ngawur dan tak nyambung, Willson menghabiskan sebagian besar hari-harinya di daerah dengan kegiatan-kegiatan outdoor pecinta alam, sementara aku selalu hidup di kota besar bersama gedung-gedung dan kegiatan seni. Aku menekuni bidang psikologi, dia menekuni bidang geologi. Aku gemar bicara dengan manusia sedangkan dia gemar bicara dengan batu. Begitulah kami, dua dunia berbeda jadi satu. Kami seperti kutub utara dan selatan. Tapi mungkin itu lah yang selalu menjadi magnet pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, karena itu pula kami selalu tertarik mendengarkan cerita masing-masing dan saling mengintip dunia yang berbeda. Satu kesan yang tak pernah aku lupa ketika pertama kali mengenalnya. Setiap kali bertemu dan berbicara denganku mukanya selalu merah dan tidak berani menatap lama. Aku sampai berfikir, orang ini sangat pemalu atau memang warna mukanya merah sih? Karena sudah beberapa kali bertemu tetap saja begitu, si muka merah. Ternyata memang, dia sangat pemalu. Aku kan pemalu yang, apalagi kalau lagi naksir hehe, begitu katanya menjelaskan reaksi mukanya waktu itu sambil cengengesan. Ah kamu, pertamanya doang pemalu, sekarang bawelnya kaya mamak-mamak.. tukasku. Iya, aku cerewet kaya mamak-mamak ya? Temen-temen aku juga bilang aku bawel apalagi kalau pas di kostan dulu, kalau ada yang bikin kotor gitu, aku paling bawel yang hehe. Ah

tapi bodo amat dah, yang penting kamu sayang aku.. katanya menggodaku. Nah kalau dia bilang gitu aku bingung mau bilang apa. Yah, mau gimana lagi ya yang, namanya juga pacar sendiri, aku terima aja deh jawabku sok pasrah sambil tertawa. Seiring dengan berjalannya waktu, aku semakin mengenalnya.

Tentang Dia Masa Kecil Willson Joshua Mangihuttua Sibarani, anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir di Jakarta, 7 Mei 1985. Masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, dia bersekolah di Marsudirini sampai berhasil menyelesaikan tingkat SMP. Seperti kebanyakan anak laki-laki lain, dia anak yang sehat. Sehat artinya anak laki-laki yang cukup kreatif untuk memunculkan ulah yang memusingkan. Cerita yang aku ingat dan pernah ditambahkan salah seorang temannya ketika dia bereksperimen membunuh burung peliharaannya sendiri untuk dimasak dan dimakan ramai-ramai bersama teman-temannya. Dia menceritakannya dengan rasa puas, seakan-akan itu prestasi pertamanya dalam mencari nafkah. Ya, mungkin naluri pemburunya sudah ada semenjak kecil hehe. Cerita-cerita lain dapat ditambahkan oleh teman-teman masa kecilnya. Muntilan Setelah berhasil menyelesaikan SMP, Willson memutuskan untuk melanjutkan jenjang SMA di Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan, Magelang. Willson selalu bilang kehidupan di asrama dapat membentuk karakter anak, dia belajar banyak hal tentang kehidupan di sana. Dia mengaku tidak menyesal sekolah di asrama, walau dia mengaku di awal terasa sulit baginya yang terbiasa hidup di kota untuk beradaptasi di asrama Muntilan. Saat yang paling menyedihkan adalah perasaan ketika pertama kali ditinggal oleh keluarganya. Selalu terngiang diingatan suara mobil dan klakson ayahnya ketika mobil itu berangsur pergi meninggalkan asrama. Rasanya menyesal dan ingin segera berlari menyusul mobil itu, tapi toh tidak dia lakukan. Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, dan akhirnya dia dapat beradaptasi dengan baik. Yang, pokoknya ntar kalau kita punya anak musti di sekolahin di sekolah yang ada asramanya yah, biar dia bisa belajar banyak. Bagus loh sekolah asrama gitu. Kalau dulu pas SMA aku tinggal di Jakarta, mungkin sekarang aku jadi bandel banget kali ya, untung dulu masuk asrama katanya. Yah, orang kalau mau bandel mah bisa di mana aja kali yang, emang di asrama gak ada yang bandel apa? Buktinya aku di Jakarta tapi gak bandel tuh wooo.. jawabku mementahkan kesimpulannya. Ya sebandel-bandelnya anak di asrama, ya beda lah sama bandelnya anak pergaulan di Jakarta, apalagi cowok. Paling enggak di asrama itu bisa mandiri katanya penuh pembelaan.

Willson selalu menggambarkan suasana asrama dan sekolahnya semasa SMP sebagai tempat yang penuh dengan kesejukan. Dia tidak sabar untuk memperlihatkanku apa yang selama ini diceritakannya tentang alam di sana. Mungkin di sini kecintaannya pada alam pertama kali muncul. Seperti kebanyakan orang, pada masa remaja ini lah dia belajar arti pertemanan. Apalagi hidup di asrama yang membutuhkan toleransi besar, belum lagi percik-percik cinta masa SMA. Ya, cinta semasa SMA memang terdengar paling konyol namun selalu menjadi hal menarik untuk diceritakan. Banyak perihal yang dapat dipelajari ketika jauh dari keluarga dan hidup bersama orang lain, banyak hal yang menjadi pertama kali baginya. Dan seperti pepatah bilang, yang pertama kali selalu menjadi pelajaran yang paling melekat diingatan. Masih banyak kenangan-kenangan lain yang mungkin bisa dibagikan oleh teman-teman semasa SMA nya. Pukulan yang membuka mata dan masa kuliah Tepat setelah ia menyelesaikan bangku SMA dan ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan, keluarga Willson harus menghadapi pukulan berat. Ayahnya sakit keras dan sempat dirawat beberapa saat sampai akhirnya harus berpulang ke Rumah Tuhan pada tanggal 3 Juli 2003. Hal ini mengubah semuanya, Willson harus mandiri, tidak bisa mengandalkan ayahnya lagi. Ayahnya meninggalkan seorang putri dan dua orang putra. Kaka perempuan Willson masih berkuliah, Willson sendiri baru akan masuk kuliah dan adiknya masih di bangku sekolah. Ibunya pun segera memutar otak untuk mempertahankan kehidupan keluarganya, baik itu dengan menjual mobil-mobil, aset yang tidak terlau mendesak dan segera membuka usaha bahkan di saat hatinya masih berduka. Biaya perawatan ayahnya menggoyang kehidupan perekonomian mereka yang tadinya sangat baik, sekarang semuanya harus direncanakan dengan matang. Makanya yang, mama papa itu musti punya asuransi, jangan kaya papa aku dulu langsung ludes semua jerih payahnya karena sakit. Obat-obatan itu mahal nya setengah mati, benerbener bisa ya bikin orang bangkrut. Pokoknya aku sekarang mau masukin mama aku asuransi juga, gak boleh pusing masalah biaya kalau buat kesehatan nanti paparnya. Begitulah dia menjalani kehidupan perkuliahan sebagai anak yang mandiri dan prihatin. Namun hal tersebut tidak menghalangi prestasinya di perkuliahan, dia bahkan berhasil lulus dengan predikat Cumlaude. Sangat membanggakan keluarga terutama ibu yang selama ini berjuang untuknya. Mungkin ini udah rencana Tuhan, aku SMA di sekolah asrama, jadi semuanya udah terbiasa mandiri dan disiplin. Pas kuliah harus hidup sederhana juga udah gak terlalu kaget lagi, coba kalau aku dari SMA di Jakarta, mau jadi apa aku? katanya. Hal yang paling mengagumkan bagiku, dia dapat menceritakan kesulitan yang dihadapinya pada saat itu seakan dia menikmati semuanya. Dia menceritakannya sambil tertawa dan menyisipkan setiap hikmah yang dia dapat sebagai anugerah. Pernah satu kali dia datang ke rumahku, kami makan siang bersama. Aku protes karena dia hanya mengambil nasi sedikit saja, aku menyuruhnya mengambil lebih banyak. Jangan yang, nanti kalau aku mau nambah aku ambil lagi kok, yang penting nasinya jangan sampai sisa. Sekarang aku udah gak kuat lagi makan banyak, kalau dulu waktu kuliah aku makan satu piring nasinya sebanyak ini nih katanya sambil menirukan gundukan besar dengan telapak tangannya di atas piring.

Ih, kamu rakus banget kataku sambil memperhatikan gundukan tangannya. Yeee, bukannya rakus atuh. Wong dulu kan kalau gak punya duit, aku cuma bisa makan sekali sehari, jadi sekali makan harus sampe kenyang banget buat satu hari itu. Wah seru dah dulu mah katanya sambil tertawa-tawa. Aku hanya diam memperhatikannya tertawa. Bagiku ceritanya tidak lucu sama sekali, aku terlalu sibuk dengan rasa haru. Aku membandingkan kehidupan masa kuliahnya dengan kehidupan masa kuliahku dulu. Hampir setiap hari bisa makan di mall yang ada di sebelah kampusku, ngopi di cafe sambil mengerjakan tugas kuliah, nonton bioskop dan shopping bersama teman-teman dan setiap hari pulang pergi dengan mobil pribadi pemberian ayahku. Betapa banyak hal yang harus ku syukuri, betapa banyak pelajaran hidup yang aku lewatkan dari gaya hidup metropolitan ini. Aku tahu dia bisa saja meminta dari keluarga atau sanak saudaranya pada waktu dia kuliah dulu, tapi dia memilih untuk mencukupkan semuanya. Sebisa mungkin tidak meminta bantuan jika masih bisa makan, begitu prinsipnya. Hebatnya, dia jarang sekali sakit. Ya, dengan pola makan begitu anak itu jarang sekali sakit. Aku merasa malu, sejak mengenalnya aku pun bertekad untuk tidak memberatkan orangtua lagi. Sejak tahun lalu aku memberanikan diri mengatakan pada orangtuaku bahwa aku akan membiayai hidup sendiri. Oke, pertama kali aku bilang aku akan mencoba untuk tidak dibiayai lagi. Padahal kala itu aku masih skripsi dan sebenarnya cukup khawatir apakah pekerjaanku sebagai freelance akan mencukupi kebutuhan hidupku. Ayah dan ibu hanya tersenyum-senyum setengah tertawa seakan berkata dalam pikirannya Nih anak manja belagu banget mau biayain diri sendiri, masak aer aja gosong. Kita liat aja dia bisa bertahan sampai kapan. Ya aku tahu benar mereka tertawa dalam hati, tidak percaya. Yasudah lah aku sendiri pun sebenarnya ragu kok hehe. Tapi setiap kali aku mengingat Willson dan perjuangannya, aku selalu merasa cukup, aku selalu merasa mampu, aku pasti bisa. Tak terbayang betapa bangganya aku ketika berhasil membayar uang kuliah dari jerih payahku sendiri kala itu, rasanya sudah seperti bisa membeli seluruh dunia ini. Begini toh rasanya jadi orang kaya, pikirku. Aku berfikir betapa hebatnya orangtuaku yang telah menghidupiku sejak bayi dari hasil jerih payah mereka, membayar uang kuliah saja aku sudah bangga setengah mati. Akhirnya aku mampu, sampai sekarang pun aku mampu membiayai diriku sendiri tanpa memberatkan orangtuaku dengan atau tanpa pekerjaan tetap. Sebuah kebanggaan bagiku. Semuanya bermula dari tekad dan keinginan. Terimakasih sayang, semuanya karena semangatmu. Bagiku dia adalah orang terkaya yang pernah aku kenal. Sungguh, dia kaya raya! Aku tidak pernah melihatnya sebagai orang yang kekurangan karena dia selalu merasa cukup, dengannya semua cukup. Berapa banyak orang bergelimangan harta yang aku kenal, rumah banyak, mobil banyak namun hidup dengan penuh kekurangan, keluhan, iri hati, merasa belum cukuplah, kurang ini lah, kurang itu lah dan akhirnya lebih memilih untuk korupsi karena merasa harta kekayaannya belum cukup. Sulit sekali bersyukur jika kita selalu merasa kurang dan tidak cukup. Sedangkan bersama Willson, aku selalu merasa cukup. Semuanya cukup, Tuhan mencukupkan semuanya. Ya, bagiku dia adalah orang terkaya sedunia! =) Willson gemar berdialog dengan dirinya sendiri, terkadang menyendiri atau sekedar berjalanjalan sendiri. Dulu teman-temannya bilang dia seperti anak autis (jangan gunakan kata autis dengan sembarangan ya) karena dia terkadang terlihat menikmati kesendirian. Pergaulan masa SMA tentu berbeda dengan perkuliahan, interaksi pertemanan dirasanya jauh lebih kompleks. Dia melihat beberapa konflik terjadi bukan karena pertemanan saja namun juga

pekerjaan, untuk percintaan dia mengaku tidak terlalu ambil pusing, dia lebih suka melakukan perjalanan dan project pekerjaan magang. Ya, mahasiswa geologi sering kali kedapatan pekerjaan magang, di sini lah konflik menarik pertemanan banyak terjadi ketika berhubungan dengan profesionalitas dan uang katanya. Dia menceritakanku beberapa project di mana dia harus belajar mengenali sifat-sifat orang dan bagaimana menyikapinya. Baginya ini seperti sebuah permainan. Di sini lah kata-kata andalan yang selalu ditulisnya itu terlahir. There is always a game that u cant play alone. Palawa & Skygers Selain belajar, Willson mengisi hari-hari perkuliahan dengan kegiatan berorganisasi. Hobbi nya antara lain Rock Climbing, Caving, Mountaineering dan sesekali bermain basket. Ya, semua hobinya memang melulu berhubungan dengan kegiatan outdoor dan alam. Bagaimana tidak, sejak tahun 2004 Willson sudah tergabung dalam Palawa UNPAD (Perhimpunan Mahasiswa Pencinta Alam). Belum cukup juga, sejak tahun 2005 Willson pun ikut bergabung dengan Skygers (Indonesian Rock Climbing Federation). Dia pemanjat tebing yang handal, semua temannya bilang begitu. Aku sendiri ingin sekali melihat langsung dia memanjat, tapi tidak pernah punya kesempatan. Aduh, kamu jangan liat aku manjat deh, nanti kamu tambah jatuh cinta sama aku, repot loh katanya sok sambil cengar-cengir. Idih Ge-Er amat sih lo! Curang ah, kamu udah pernah liat aku perform nyanyi, masa aku gak boleh liat kamu manjat desakku. Aku belum pernah liat kamu maen teater! katanya tak mau kalah. Lah, salah sendiri kerja jauh-jauh amat, setiap aku main kamu gak pernah di Jakarta. Tapi kan kamu udah pernah liat videonya, aku liat dong video kamu manjat manaaaaaa.. pintaku. Waduh, di mana ya tuh dokumentasinya. Nanti deh kita ke Bandung ya, sekalian aku kenalin juga sama temen-temen Palawa aku, wah nanti pasti rame banget deh kalau kita dateng, seru-seru deh orangnya yang katanya bersemangat. Dia memang selalu bersemangat jika membicarakan tentang Palawa dan mengenang perjalanan-perjalanan bersama teman-teman Palawa. Betapa seringnya dia tinggal di senat Palawa dan mengalami kejadian-kejadian yang tak terlupakan di sana. Konflik, sakit hati, senioritas, masa-masa keemasan, kegembiraan, keriangan, kekompakan, kekonyolan, persaudaraan semua cerita campur aduk jadi satu. Mereka sudah seperti keluarga besar. Dia pernah menceritakan ku beberapa perjalanan memanjatnya tapi aku tidak pernah ingat tebingtebing apa saja yang sudah ditaklukan. Aku hanya ingat betapa bersemangatnya dia setiap kali melakukannya. Hanya teman-teman seperjuangannya di alam itu lah yang dapat menceritakannya.

Kalimantan

Setelah lulus kuliah Willson bekerja di PT Kasongan Bumi Kencana Gold (Pelsart) yang terletak di Kalimantan selama kurang lebih delapan bulan sebagai Mine Geologist. Dia mulai berusaha untuk membantu kebutuhan rumah dan kuliah adiknya. Di sini lah aku mulai mengenalnya. Dia bercerita tentang pekerjaannya dan betapa dia nyaman dengan suasana kerja dan orang-orang di sekelilingnya. Namun keinginannya untuk terus belajar itu lah yang mendorongnya untuk mencari kesempatan belajar yang lebih baik. Di saat orang lain merasa nyaman jika pekerjaan cukup lowong dan santai, dia malah merasa saat itu lah dia harus menginjakkan kaki ke tempat lain yang lebih dalam. Dia mengundurkan diri dari sana dan meraih keinginannya untuk belajar sebagai Exploration Geologist. Eksplorasi yang! Itu bagian paling keren dan paling koboi, semua-muanya berawal dari eksplorasi, top dah! katanya bersemangat. Pulau Wetar Willson menjadi Exploration Geologist di PT Batutua Tembaga Raya yang terletak di Pulau Wetar selama kurang lebih lima bulan. Di sana dia mendapat kesempatan untuk berkontribusi dalam overseas project di Nuku kepulauan Fiji, Australia. Aku teringat kala itu tidak ada sinyal di sana, aku kehilangan kontak dengannya hampir 2 minggu. Selama ini aku hanya menganggapnya tak lebih dari teman ngobrol yang unik dan menyenangkan, niat yang diutarakannya untuk menjalani hubungan yang lebih serius denganku pun hanya kutanggapi dengan bercanda dan sambil lalu. Tapi ternyata jarak dan waktu membunyikan banyak lonceng. Kehilangan kontak pada saat itu membuat perasaan campur aduk antara khawatir, takut dan cemas. Hal-hal itu membuatku sadar betapa besar kepedulianku padanya dan mungkin aku juga memiliki perasaan lebih seperti dirinya. Hal yang menjadi pertimbanganku pada saat itu adalah kenyataan bahwa dia seorang pekerja lapangan yang tidak bisa selalu hadir. Aku tidak begitu khawatir untuk masa pacaran karena aku terbiasa untuk melakukan segala sesuatu sendiri, tapi bagaimana nanti setelah menikah, apakah aku siap ditinggal suami pergi terus-terusan? Pikirku jauh sekali ke depan. Tapi aku belajar dari keluarga abangku yang juga merupakan seorang pekerja lapangan. Aku memperhatikan kehidupan keluarga dan istrinya. Semua bisa berjalan lancar jika kita memiliki komitmen yang kuat, tidak ada kehidupan yang terlalu sulit, semua bisa dijalani. Pada masa ini hubungan kami memasuki tahap yang lebih serius walaupun dia sering kali ragu aku benar-benar dapat menerimanya. Tulis di facebook dong yang, in a relationship sama aku gitu. Gimana menurut kamu? Norak ya? katanya seakan bertanya sekaligus menjawab, grogi dengan permintaannya sendiri. Ntar lah.. jawabku singkat. Tuhkan, kamu mau cari pacar lagi ya katanya sambil manyun dan merajuk. Yee, brewok-brewok manja! yaudah sana kasih request di facebook kalau kamu mau jadi pacar aku, ntar kalau ada waktu aku approve deh. Aku pikir-pikir dulu tapi ya kataku bercanda dengan nada sok jual mahal. Tuhkan kamu mah, jahat bener sih tambah manyun. Iya sayang, nanti aku approve ya. Yang penting kan sekarang aku sudah meng-approve kamu di hatiku jawabku gombal sambil tertawa menggodanya. Aku baru mau

mempublikasikan semuanya beberapa bulan kemudian setelah aku benar-benar yakin dengan hubungan ini. Willson sangat menyukai alam di kawasan Wetar. Dia bercerita tentang keindahan alamnya, pantainya dan binatang yang ada di sana. Dia pernah mengirimiku sebuah fotonya di satu sore yang menawan setelah dia bermain snorkling. Aku sempat menuliskan puisi menggelitik campur aduk dari foto ini. Aku mungkin belum dapat memastikan komitmen apa pun padanya kala itu, satu-satunya hal yang bisa aku pastikan kala itu adalah rasa rindu, rindu dan rindu. . Dawn Senja itu genit sekali Tersipu malu di sela-sela rambut mu Kamu tertunduk, merekahkan kilau tetes air di ujung hidungmu Tumpah di riak laut yang mulai kelabu Aku iri pada langit yang menaungimu Dan laut yang merengkuh tubuhmu Aku iri padamu yang tengah merayu bintang Padamu yang asyik mencumbu samudra Now, The sun is about to leave The sky is about to hide If only you know how scared am i to lose my self in the dark Heart shaking hard in a palm of my cold hope The dawn is about to come Would you wake me up in your arms? Take me to that high cliff Cause i dont wanna miss the sun Please dont give up on me tomorrow Cause today, i give my faith in you Would you promise me, That you gonna save me from my self -Christina Maria Panjaitan, 9 September 2010. Halmahera Aku pernah bertanya kepadanya suatu kali, jika ada kesempatan mendapatkan beasiswa apakah dia ingin melanjutkan kuliah S2. Dia hanya menggeleng sambil berkata,

Aku bingung kalau mau ngambil S2 buat apaan ya. Aku ngerasa semua pelajaran dan kemampuan yang aku pelajari di S1 aja belum maksimal aku aplikasikan dan aku kembangin, ngapain sok-sokan belajar S2. Nanti kalau udah jago di lapangan baru lah belajar lagi ngambil S2 katanya berapi-api. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika akhirnya dia pindah ke NHM perusahaan terakhirnya di Halmahera, dia menyadari bahwa gelar itu penting untuk meraih banyak hal dalam pekerjaan. Walaupun dia masih merasa harus mengaplikasikan banyak ilmu yang didapat di S1 dia begitu semangat untuk dapat bersekolah lagi. Aku tak akan pernah melupakan semangatnya untuk belajar, dia seorang yang cakap dan cerdas semua rekannya bilang begitu. Satu perkataannya yang selalu aku ingat Geologist itu bukan sekedar pekerjaan, Geologist itu profesi. Kapan pun dan di mana pun dia berada, Geologist tetap akan dikenal sebagai Geologist. Kamu fokus, kamu total. Kamu membuktikan bahwa seorang Geologist bukan hanya terlahir dari lapangan, kamu sudah mengabdikan hidup di sana bahkan sampai akhir hayat pun untuk mengemban tugas lapangan. Geologist memang bukan sebuah pekerjaan, Geologist adalah kamu. Kamu benar, di mana pun kamu berada sekarang, semua orang akan mengenal kamu sebagai Geologist. And Thats why Geologist never die, they just get stoned! =)

. Keluarga Seorang anak yang hebat dibentuk dari keluarga yang hebat. Willson sering kali menceritakan padaku kenangan mengenai ayahnya dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh ibunya. Ayahnya dikenal sebagai orang yang sangat dermawan semasa hidup, beliau selalu berusaha untuk membantu orang lain. Malahan bagi keluarganya beliau terkesan terlalu baik, karena terlalu sering membantu orang lain tanpa pamrih. Wilson selalu mengenang ayahnya sebagai sosok panutan, mungkin kebaikan dan kelembutan hatinya menurun dari ayah. Willson selalu tidak tega melihat kesusahan orang. Contoh kecil yang aku ingat adalah ketika dia menghampiri sebuah warung mie di kawasan Jakarta Utara, saat itu hujan. Willson memesan semangkuk mie hangat. Ada seorang anak jalanan yang terus memperhatikan Willson makan. Ketika Willson menghirup mie pesanannya, anak itu ikut menirukannya tanpa sadar, mungkin karena sangat lapar. Willson yang melihat hal itu tertawa geli dan segera memanggil anak itu untuk ikut makan bersamanya. Tak lama, beberapa anak jalanan lain datang menghampiri anak yang duduk bersama Willson itu. Mereka heran melihat temannya bisa duduk santai di warung mie. Willson tanpa ragu memberi makan mereka juga, bahkan beberapa anak lain yang kemudian datang. Willson sempat menegur penjual mie yang menghidangkan mie dengan ogah-ogahan karena tempatnya dipenuhi anak jalanan. Mas, yang bener dong ngehidanginnya. Saya kan bayar semuanya dengan harga yang sama dengan yang lain ujarnya.

Begitulah dia, selalu berusaha untuk memberi. Mungkin itu yang selalu dia ingat dan diajarkan oleh almarhum ayahnya. Kadang dia terjebak dengan rasa tidak tega. Mengapa aku bilang terjebak? Karena di dunia belakangan ini banyak sekali orang yang memanfaatkan kebaikan orang dengan cara jahat. Willson bisa saja dimanfaatkan dengan mudah oleh tipu muslihat orang. Willson orang jujur, mungkin kematiannya ini merupakan rahmat dari Tuhan supaya kebaikannya tetap kekal. Seperti kata-kata indah yang dipilih oleh keluarga untuk mengukir batu nisannya. Orang jujur akan menikmati ketentraman meskipun mati sebelum waktunya karena hidupnya baik, orang jujur dicintai Allah. Ia diambil dari tengah-tengah kaum berdosa dan disentak supaya budinya tak terjerat tipu daya. (Kitab Kebijaksanaan Salomo, bab 4, ayat 7, 10-11) Aku selalu damai membaca ayat di atas nisannya ini. Dia pasti sudah damai dalam lindungan Bapa, tempat nya memang di sana. Willson juga sering kali membicarakan tentang ibu dan nilai-nilai yang dia dapat dari beliau. Ibunya seorang pelayan Tuhan. Beliau diberi kekuatan untuk membesarkan 3 orang anak seorang diri selama 8 tahun ini. Tapi hal itu tidak membuat niatnya untuk melayani menjadi surut, beliau tetap melayani dan menjalani peradatan dengan baik. Ya, bagi suku bangsa batak adat merupakan hal yang dijunjung tinggi. Aku sendiri sering terkagum jika melihat beliau bercerita, dia benar hafal menyebut marga (nama keluarga) teman-temannya dan fasih dengan istilah adat. Sampai sekarang pun dia tetap aktif menjalani peradatan yang ada di keluarga Sibarani walaupun suaminya telah meninggal. Bagiku itu luarbiasa. Satu hal yang pernah Willson katakan padaku. Yang, kalau nanti kita nikah nih. Terus suatu hari kita mau pergi ke pesta dan kamu udah dandan, udah pake kebaya cantik dan tiba-tiba ada kerabat yang meninggal. Aku gak mau tahu loh, kita harus pergi ke tempat yang meninggal. Kamu harus ganti semua baju kamu dengan baju duka. Kita harus hadir untuk orang-orang yang berduka, kalau pesta mah bisa bikin pesta dan seneng-seneng kapan aja, tapi yang kedukaan harus selalu didahuluin dan didukung paparnya suatu kali. Pesannya itu dalam dan selalu aku ingat. Pesan itu dia dapat dari pengajaran ibunya. Dia juga selalu mengingat kerabat yang dulu selalu mendukung keluarga mereka setelah ayahnya meninggal. Dia ingin sekali membalas jasa-jasa mereka. Mungkin karena itu pula ibunya tergerak untuk selalu melayani orang yang kesusahan. Sebelum meninggal, Willson sempat membanggakan ibunya. Kamu ntar liat deh yang mama aku di lingkungan dan di adat kaya gimana, kamu pasti bangga sama dia deh ujarnya. Aku sebenarya heran mendengar kalimat itu. Kenapa aku yang bangga? Dan kapan aku bisa melihat ibunya di adat, kami tidak bersaudara. Tapi 2 hari kemudian Willson ternyata meninggal. Aku menyaksikan bagaimana orang-orang banyak berdatangan melayat dan membuat banyak acara penghiburan untuk keluarga di rumahnya. Ini kah yang kamu maksud? Kamu benar, mama kamu melayani dengan baik di lingkungan dan adat. Banyak sekali yang datang mendoakan dan menghibur beliau. Ya kamu benar, aku bangga melihatnya. Kamu benar.

Semenjak awal menjalin hubungan, Willson pernah mengingatkanku satu hal. Aku selalu ingat kata-kata ini, terlalu kuat untuk aku lupakan. Yang, kamu harus tau sesuatu. Aku ini gak punya apa-apa, yang aku punya cuma mama, ka Beatrix dan adeku Richard. Cuma mereka yang aku punya katanya. Aku sangat tersentuh, aku mengangguk dan memeluknya. Dia selalu terbeban untuk membantu keluarga karena posisinya sebagai anak laki-laki tertua. Hes simply a Family Man. Jika dia begitu mencintai keluarganya seperti ini, aku yakin dia juga dapat menjadi ayah yang baik dan bertanggungjawab. Kebiasaan keluarga mereka untuk berdoa pagi bersama juga sangat menginspirasiku. Aku yakin walaupun ayah dan kini Willson telah pergi, ikatan keluarga mereka akan tetap kuat dengan doa-doa itu. A Family that Prays Together Stays Together . Dia dan Wanita Judul ini sulit, karena dia memang sulit. Teman-temannya bilang dulu banyak wanita yang menyukainya di kampus, tapi tak ada yang berhasil. Dia sendiri mengaku suka terganggu jika banyak teman-teman wanita yang menontonnya saat latihan memanjat wall-climbing. Dia sengaja menunggu sampai suasana agak sepi baru memanjat. Kalau pun dia menyukai wanita pasti lah tidak berani menegur. Pernah satu kali teman-teman menjebaknya untuk berkenalan dengan wanita yang dia sukai, hasilnya setelah itu Willson selalu menghindar karena malu. Jadi dia ini seperti kombinasi antara pemalu, gengsian dan cuek, tentu campuran yang sulit untuk urusan cinta. Males mikirin cewe, cewe selalu ada maunya. Apalagi cewe batak, duh belagunya. Aku pikir nanti aja kalau udah sukses baru dah semua cewe ngantri katanya sambil terkekehkekeh. Halo, perkenalkan namaku Christina Maria Panjaitan. Cewe batak yang sekarang jadi pacar kamu. Pantesan antriannya kosong ya? Kamu belom sukses sih, jadi gak ada yang mau ngantri jawabku sambil tertawa. Kalau kamu kan aku yang ngantri buat kamu, aku serobot semuanya! Kamu pengecualian dong gombalnya. Kami pernah bertukar kisah tentang cinta monyet semasa SMP atau SMA. Aku tidak tahu kapan dia sampai di titik di mana dia merasa wanita tak perlu atau hanya bikin susah. Dia memang terkesan selalu menghindar dengan komitmen percintaan. Tapi yang jelas pada saat kuliah akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang bisa mencintai dia dengan tulus, di situ pemikirannya mulai berubah walau pun masih tetap kesulitan dengan kata komitmen. Setidaknya dia paham kalau cinta itu tidak melulu soal keduniawian yang bisa diukur manusia tapi juga ketulusan seseorang yang rela menanti dan mengerti dirinya apa adanya. Aku bersyukur Willson pernah melewati masa itu, aku sempat beberapa kali meminta dikenalkan dengan wanita yang pernah singgah dalam hatinya untuk berterimakasih.

Walaupun hubungan yang terjalin sebentar, mereka pasti telah memberi pelajaran yang baik sehingga Willson bisa menjadi kekasih yang hebat seperti sekarang. Dia selalu bilang dia banyak berubah. Mungkin karena dunia kami begitu berbeda, aku tidak memiliki peergroup pertemanan yang sama dengannya jadi aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Tidak ada orang yang bisa aku tanyakan tentang dia yang dulu. Satu kali aku pernah bertemu dengan temannya ketika kami jalan bergandengan bersama, temannya tampak begitu terkejut. Bisa pacaran sekarang kau con? kata temannya. Iya dong, nih kenalin pacarku katanya dengan tampang malu-malu. Belakangan temannya bercerita bahwa dia tidak pernah melihat Willson bersama wanita atau bahkan terlihat bergandengan seperti itu. Memang benar aneh anak ini, pacaran kok ngumpetngumpet? kataku sambil meledeknya. Ya gak tau, gak pernah aja. Aku juga dulu gak pernah smsan atau teleponan setiap hari sesering ini loh, wah dulu mah cuek parah. Sms juga singkat-singkat aja katanya. Have you ever fall in love before, sayang? Orang pacaran itu sms dan telepon atas dasar rasa kangen. Kangen itu karena cinta bukan karena disuruh, ngarti ora? Emang pernah aku nyuruh kamu smsin yang banyak atau telepon setiap hari minimal 10 kali gitu? hadeuh kataku tak habis pikir. Hehehe, iya makanya ini aku heran yang kenapa aku bisa begini ya sama kamu ujarnya. Ya ampun bener-bener emang aneh ya kamu. Yang heran tuh kalau kamu sayang sama aku terus kamu gak mau sms dan telpon aku, itu baru heran! Gimana sih kamu mikirnya kok kebolak balik? tanyaku lagi makin tidak habis pikir. Terkadang aku sangat gemas dengan tingkah laku dan pikirannya yang polos. Aku sendiri tentu saja pernah mencintai sebelumnya. Aku tidak bisa bilang cintaku padanya lebih besar dari cintaku yang sebelumnya atau sebaliknya, karena aku selalu mencintai dengan cara begini. Cara mencintaiku sama, yang berbeda hanya orangnya, individu yang aku hadapi. Berhasil atau tidaknya hubungan tergantung dari cara kedua pihak mempertahankan komitmen, bukan melulu hanya soal cinta. Apalah arti cinta tanpa komitmen pikirku. Bahkan cinta kepada Tuhan saja membutuhkan komitmen, untuk hidup sesuai kitab suci, untuk terus beribadah. Mencintai bangsa juga begitu, membangun kemerdekaan, berprestasi untuk mengharumkan nama bangsa. Apa lah arti cinta yang cuma dirasa-rasa saja tapi tidak ada perbuatan nyata. Cinta yang berhasil adalah cinta yang dapat membuat kedua belah pihak merasa menjadi orang yang lebih baik, lebih bahagia. Willson selalu menjaga prinsip-prinsipku, walau pun dia selalu mendorongku untuk menjadi lebih baik, dia tidak ingin merubah aku menjadi orang lain. Salah satu contoh saja seperti prinsipku soal virginitas. Aku tidak sedang menghakimi antara orang yang memegang teguh prinsip ini dan yang tidak. Prinsip itu suatu pilihan, seperti memilih agama mana yang baik buat dirimu dan bagaimana cara kamu menyembah Tuhan. Tidak ada urusannya dengan orang lain, ini murni dari dalam diri. Sejak dulu aku menganggap virginitas merupakan hal penting yang harus dijaga sampai menikah. Anggap saja pemikiranku usang dan kolot, tapi

toh masih tetap antik. Sudah agak jarang pasangan terutama diperkotaan menerima hal ini dan aku bersyukur Willson bukan hanya menerima tapi mendukung prinsipku itu. Walaupun banyak orang bilang kami pasangan yang selalu terlihat romantis, tapi Willson berhasil menjagaku (prinsip) sampai akhir hayatnya. Dia tidak berusaha merubah pemikiranku, bahkan justru mendukung batasan-batasan itu. Aku tahu dia sudah berusaha keras. Katakan, apa lagi yang aku butuhkan dari seorang pria? Dia sempurna bagiku. Willson selalu membantuku memulihkan hubungan dengan orang-orang terdekat juga keluarga dengan kesabarannya. Willson berubah, mungkin juga benar. Dia lebih sabar dan pengertian, aku terkadang heran darimana dia mendapat kesabaran itu terhadapku. Aku tidak pernah mendengarnya berkata kasar sampai satu hari aku membaca tulisannya di jejaring sosial. Aku bersyukur tidak harus mendengarnya langsung, karena dia pasti begitu marah. Hal ini terjadi karena ada seseorang yang menyamar sebagai dirinya dan menyebarkan berita bohong kepada teman-temannya bahwa dia sudah bertunangan dan akan menikah dengan satu orang yang bahkan tidak dikenalnya. Sungguh konyol. Aku sudah tau lama bahwa ada orang lain yang membuat beberapa akun Facebook palsu mengatasnamakan dia dan seorang wanita yang juga punya beberapa akun mengaku sebagai kekasihnya. Wanita ini semenjak kuliah mengirimi Willson beberapa barang tapi Willson sendiri tidak pernah bertemu dengannya. Yang lebih menggelikan lagi adalah ketika aku berhasil menemukan twitter yang mengatasnamakan Willson! ASTAGA. Ketika aku melihat twitter palsu itu, aku ingin tertawa sejadi-jadinya. Seorang Willson punya twitter? Ketika aku ceritakan padanya dia sudah pasrah. Terserah lah mereka mau bikinin aku apa, yang penting gak ada bukti atau foto apa pun kalau aku ada hubungan sama mereka katanya. Sayang, kamu hebat banget sih sampe punya fans-fans fanatik begitu. Kamu coba bayangkan effort mereka, tenaga dan waktu yang mereka keluarkan untuk bikinin kamu facebook-facebook, nomer-nomer HP palsu dan TWITTER hahahhahaha kataku masih tidak bisa berhenti tertawa membayangkan Willson bertwitter-ria. Punya BlackBerry saja dia tidak mau. Wong tinggal di hutan, Exploration Geologist pula, mau buat apa aku punya teknologi gaul gitu, facebook aja jarang katanya kesal. Makanya kamu jangan sok misterius deh, kalau ada orang yang suka sama kamu, kamu tuh jangan jual mahal, jangan dicuekin, ntar mereka makin penasaran loh kataku masih tak berhenti tertawa. Sebodo teuing deh, orang gila mah gila aja! katanya tak sabar. . Thing Hapens for Those who Believe Suatu hari dia merencanakan satu tur untukku, dia ingin memperlihatkan banyak hal. Bandung, kota mana lagi yang bisa mencuri hatinya, dia bahkan bercita-cita untuk membangun rumah tangga di sana. Aku sendiri sangat senang waktu itu, bukan hanya karena perjalanannya namun karena dia begitu bersemangat bercerita. Sepanjang perjalanan dia bercerita tentang Palawa mulai dari pelantikan, latihan fisik, pemilihan ketua dan kejadian-

kejadian menarik di sana. Dia juga bercerita tentang kehidupan kos di Jatinangor dan temanteman perjuangan semasa kuliah. Dalam perjalanan, kami sempat melewati satu tebing yang pernah dia panjat, tebing yang terlihat curam itu membutuhkan usaha besar untuk ditaklukkan. Sungguh, sepanjang perjalanan dari Jakarta Bandung dia bercerita tiada henti, aku hanya mendengarkan. Dia baru menyadari hal itu ketika kami sudah hampir sampai. Eh, kok perasaan dari tadi aku ngomong mulu ya? Kamu bosen ya yang? aku cerewet ya? Sekarang gantian kamu deh yang cerita ujarnya bingung. Aku hanya tertawa, aku senang mendengar dia bersemangat seperti itu, aku menyuruhnya melanjutkan cerita-ceritanya. Ceritanya selalu menarik. Walaupun aku lahir di Cimahi dan tidak asing dengan daerah Bandung, namun itulah kali pertama aku mengunjungi Kawah Putih. Udara di sana sangat dingin, aku sesekali menggigil. Nikmatin dinginnya yang, jangan dirasa-rasa dingin apalagi dibawa menggigil nanti kamu makin kedinginan. Nikmatin udaranya katanya sambil mendongak ke langit, memejamkan mata dan menghirup nafas dalam seakan ingin mencontohkan maksudnya padaku. Dia bercerita tentang perjalanan Palawa. Di udara yang sedingin ini, hujan turun, mereka basah kuyub tapi masih tetap harus menempuh perjalanan. Berjalan kaki dengan baju yang basah sampai baju kembali kering. Aku hanya menggeleng-geleng kepala. Betapa kuatnya manusia-manusia ini, pikirku. Ketika hari menjelang sore aku mengingatkannya agar kami cepat kembali supaya hari tidak semakin larut. Namun dia bersikeras untuk mengunjungi satu tempat lagi. Situ Patengan, sebuah danau. Aku heran. Jadi daritadi dia bersikeras ke tempat ini hanya untuk melihat danau ini? Untukku sendiri tempat itu tidak begitu menarik apalagi mengingat kami dikejar waktu. Kami hanya duduk di sana dan mengambil beberapa foto. Dia bertanya apa aku ingin naik perahu? Aku menggeleng. Tidak lama kami habiskan waktu di sana. Suatu hari ketika aku sedang menonton televisi di rumah, aku mendapati sebuah acara yang menceritakan tentang tempat wisata. Pada saat itu mereka sedang membahas Situ Patengan, tempat aku dan Willson pergi. Ada legenda yang mengisahkan tentang sepasang kekasih Ki Santang (keponakan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran) dan Dewi Rengganis (Putri Kerajaan Majapahit). Perang Bubat yang melibatkan Kerajaan Pajajaran dan Majapahit memisahkan sepasang kekasih itu. Karena rasa cinta yang sangat dalam, mereka tetap saling mencari dan pada akhirnya dapat bertemu di sebuah tempat yang hingga kini bernama Batu Cinta. Itu mengapa tempat ini dinamakan Situ Patengan yang berasal dari kata Pateangan-teangan (bahasa Sunda) yang artinya saling mencari. Dewi Rengganis meminta Ki Santang dibuatkan danau dan sebuah perahu untuk berlayar bersama. Perahu inilah yang sampai sekarang menjadi sebuah pulau yang berbentuk hati (pulau Asmara/pulau Sasaka). Konon pasangan yang mengelilingi pulau Asmara dan singgah ke batu Cinta akan mendapatkan cinta abadi seperti pasangan tersebut. Aku terkekeh-kekeh dengan apa yang ada dipikiranku, jangan-jangan kemarin Willson sangat bersikeras untuk mampir ke Situ Patengan karena legenda ini. aku segera menelepon Willson. Yang, masa tadi aku nonton tv terus ada liputan tentang Situ Patengan gitu loh yang. Katanya pasangan yang ke sana cintanya bisa abadi ya? Kok kamu gak cerita sih kataku

setengah meledek. Aku memang jarang percaya dengan hal-hal begitu. Willson masih percaya dengan mimpi atau firasat-firasat dasar seperti mata kedutan, atau jantung tiba-tiba berdebar, aku sendiri hampir tidak percaya semua. Aku sering kali salah menebak firasat dan mimpiku seakan selalu kacau dari kenyataan, jadi lebih baik untukku untuk tidak percaya semua. Iya, tapi aku gak gitu percaya ah katanya menghindar. Masa sih, kemaren aja ngotot banget pengen ke sana. Yaudah sih, yang bagus-bagus mah diaminin aja. Ayang, kamu romantis deh, aturan kamu ceritanya pas di sana atuh, kan kita belum ke batu cinta hahahhahaa aku tak kuasa untuk tidak meledeknya. Ah kamu mah, ya tergantung kita aja kok katanya, dia belum selesai. Kamu emang pernah mikirin kemungkinan untuk orang lain ya? Aku enggak loh, gak pernah kebayang selain kamu ujarnya. Aku terdiam, dia tampaknya serius. Yang ada dipikiran aku kalau ngebayangin masa depan ya cuma si christina ini aja, kalau terjadi sebaliknya aku gak ngerti gimana. Makanya aku suka stres kalau denger cerita temen-temen aku di lapangan, malah ada yang ditinggal kawin sama cewenya. Takut aku ujarnya. Ya gak semua kejadiannya begitu kan yang, ada juga kan contoh baik yang bisa langgeng terus. Ya kita jalanin aja sebaik mungkin kataku. Aku gak bisa ngebayangin gak ada kamu. Aku ngerintis semuanya dari bawah bareng kamu, aku mau nanti kalau aku sukses aku bisa nikmatin semuanya sama kamu juga. Aku gak mau orang lain yang cuma kenal aku pas sukses aja. Kalau udah sukses semua orang juga pasti bakal mau-mau aja, tapi aku cuma mau kamu ucapnya. Aku jarang kehabisan kata-kata tapi kalimat sederhananya itu terdengar begitu tulus, aku tidak sanggup menimpali. Sekarang ketika dia sudah pergi, aku terkadang tak kuasa menahan kesedihan tiap kali teringat ucapannya itu. Jika waktu itu dia tidak bisa membayangkan masa depannya tanpa aku. Sekarang, aku benar-benar harus menjalani masa depanku tanpanya. Kenyataan yang harus aku telan bukan lagi sekedar ketakutan belaka. Bukan karena legenda dan tempat-tempat sakral dia mendapatkan cinta abadinya, tapi karena keyakinannya. Keyakinannya itulah yang sakral. Dia yakin cinta yang dia bawa akan selamanya dan kematian telah memateraikan cintanya. Aku tak dapat menahan tangis sewaktu membaca satu kalimat untukku di jejaring sosial, beberapa saat setelah Willson pergi. Cinta abang Wilson akan selalu untuk Christina.. Karena cinta abang Wilson abadi.. Christina Maria Panjaitan adalah cinta terakhir Wilson Sibarani

Situ Patengan, dan baju ini. Baju yang sama, baju yang akhirnya kamu kenakan ketika kamu pergi ke keabadian. . HARI-HARI TERAKHIR Setiap orang bertanya padaku, sebagai kekasihnya apa kah ada firasat dia akan pergi? Apakah ada pesan-pesan terakhir. Aku bingung menjawabnya. Sungguh, bagiku semua yang ada di dalam dirinya adalah pesan. Tidak lama aku mengenalnya, kurang dari 2 tahun. Hubungan kami sebagai sepasang kekasih cukup sederhana, kami lebih sering berdiskusi dan berbicara tentang perasaan, perubahan dalam hidup, makna dari keluarga, masa depan dan hal-hal yang mendalam. Baginya aku adalah sebuah diari, dia mungkin tidak pintar menulis tapi aku selalu mencatat pemikirannya di hatiku. Kesederhanaannya membuatku belajar banyak hal, baginya hidup adalah untuk menolong orang disekitar kita, sudah itu saja. Jadi tidak perlu menyombongkan diri, atau merasa paling benar dari orang lain. Dia tidak suka memperdebatkan sesuatu, dia lebih suka diam dan mengalah. Dia tidak mau pusing dengan perihal pemerintahan lah, koruptor lah, negeri yang bobrok lah apalagi dengan berita dan gosip yang menjelek-jelekkan orang. Dia pusing mendengar semua orang memperdebatkan kejelekan orang lain, kenapa tidak memperbaiki diri sendiri? kenapa tidak mengulurkan tangan pada orang terdekat, kenapa tidak menolong orang-orang di sekitar kita dulu? katanya. Dia selalu mengingatkanku Sayang, dont judge the wheel that still spinning. People change. Dia mampu membuatku menjadi seorang yang lebih baik, aku bersyukur akan setiap saat yang ku jalani bersamanya. Dan entah lah itu firasat, kami memang selalu begini. Berkelimpahan kata-kata sayang dan menjalani semuanya dengan kepenuhan. Tapi jika ditanya tentang hari-hari terakhirnya, mungkin ini lah memori yang hendak diwariskannya padaku. Harta yang dia ingin selalu ku simpan. Bagaimana caranya ku simpan sendiri? Tentu akan aku bagikan. . Berawal dari sebuah mimpi dan perasaan yang berbalik Group accapella ku akan mengisi beberapa acara di Freeport selama beberapa hari. Entah kenapa hari-hari sebelum keberangkatan ke Papua, Willson selalu mengeluh, moodnya buruk, dia seperti tiba-tiba galau dan khawatir berlebihan padaku. Aku tidak nyaman dengan hal itu, aku butuh latihan, aku butuh dukungan dari dia. Akhirnya, aku protes dengan sikap kekanakkanakannya, sampai di satu titik di mana aku benar-benar marah padanya. Jadwal kerja Willson di NHM adalah 4 minggu di lapangan dan 2 minggu field break di Jakarta, begitu seterusnya. Dia selalu meninggalkanku setiap bulan selama 4 minggu, aku rela menunggu dengan sabar. Sekarang kenapa hanya karena aku pergi beberapa hari saja dia sudah begitu bawel dan tidak supportif? Sebenarnya aku tidak seharusnya juga marah karena mungkin dia khawatir karena aku akan memasuki area tambang untuk pertama kali. Tapi entah mengapa aku merasa sangat kesal padanya, aku marah, aku benar-benar ingin pergi. Kemarahan ku pada saat itu sungguh tak wajar, aku mengambarkannya sebagai amarah dalam kesedihan mendalam. Aku membayangkan bahwa aku akan pergi meninggalkan dia, aku ingin tahu bagaimana rasanya tanpa dia. Apa aku bisa? apa aku sanggup meninggalkannya? Pikiran ngawur itu merajaiku. Aku bahkan sempat menghapus semua fotonya dari profile pictureku di Facebook. Berlebihan? Ya, sangat berlebihan. Menyadari kemarahanku dia berusaha dengan sabar menelepon dan mengirim sms berkali-kali untuk membujukku agar tersenyum

lagi. Aku ingat malam itu dia meneleponku, aku mengangkat teleponnya tapi aku tidak mau dan tidak mampu bersuara, aku hanya menangis dalam diam, meneteskan air mata banyak sekali, aku hanya mendengarkan suaranya, seakan menikmatinya dengan tangisanku. Selama beberapa menit dia terus mengatakan Halo, sayang, halo yang, jawab dong yang, maafin aku, kamu jangan marah, kamu nangis ya? yang jangan nangis dong, aku harus gimana? dan hal semacam itu. Dengan sabar dia bersuara terus untuk menyabarkanku. Aku hanya mendengarkan sambil menangis. Tidak, aku tidak sedang mendapat syndrom PMS seperti wanita kebanyakan. Aku hanya ada di tahap berlebihan, kekhawatirannya mungkin berlebihan tapi amarah dan kesedihanku juga tak kalah berlebihan. Bahkan ketika dia mengantarkan ku dari rumah ke Bandara, sepanjang perjalanan di taksi tak henti-hentinya dia membujuk, memeluk dan meminta maaf. Aku tak tahu kenapa sangat sulit memaafkannya, padahal apa sih kesalahannya? Aku tidak mengerti kenapa begitu, yang aku paham saat itu adalah amarahku akannya tak kunjung padam. Seakan dia melakukan kesalahan yang teramat besar. Tapi kalau ditanya sekarang, mungkin semuanya jadi tampak masuk akal. Pada saat itu mungkin alam bawah sadar, atau firasat atau apa lah itu, pokoknya aku tahu dia akan pergi meninggalkan ku untuk selamanya, sebentar lagi. Oleh karena itu aku merasa saat itu lah waktu di mana aku dapat melampiaskan kemarahan dan kesedihan ku padanya. Tapi entah lah, semua masih misteri. Aku bego banget ya yang, masa mau pergi aja aku gak bisa bikin kamu senyum, malah bikin kamu kesel kaya gini katanya menyesal. Aku hanya diam saja, bingung mau menjawab apa. Dia menjadikannya begitu dramatis, seakan-akan aku mau pergi untuk selamanya. Nanti kamu hati-hati ya naik heli nya, kamu jangan pernah pergi sendirian kemana-mana, harus bareng sama temen-temen, dengerin instruksi safety nya, kabarin aku terus! ucapnya tak beraturan. Biarin aja aku mati kataku asal. Sengaja ingin membuatnya kesal. Kamu ngomong apa si? Kamu tuh suka kaya gitu deh, suka sembarangan kalau ngomong! Pokoknya beneran deh yang, kalau sampai ada apa-apa aku bakalan terbang ke Papua ucapnya serius. Aku masih diam, bingung dia bicara apa. Papua masih Indonesia, aku tak pergi begitu jauh, kenapa harus bersikap begitu? Pikirku. Di perjalanan ke bandara dia bahkan menyempatkan untuk memfotocopy KTP ku beberapa lembar dan menaruh fotocopy KTP itu di dompetnya. . Aku ingat sebelum Willson datang ke rumah untuk mengantarku ke Bandara, siang itu aku dan mama pergi untuk membeli jaket. Jaket ku yang ada tidak cukup tebal untuk menahan suhu dingin di pegunungan Papua. Waktu itu aku masih marah padanya karena bersikap kurang suportif akan kepergianku ke Papua. Aku tahu dia khawatir, tapi kan tiket sudah di pesan dan semua tak mungkin batal. Dia harus mendukung. Dia sebenarnya sudah minta maaf dan menyesal tapi sisa-sisa ngambek ku masih ada.

Tin, kamu kayanya bakal putus deh sama Willson mama tiba-tiba memecah kesunyian di dalam mobil. Aku diam. Berpura-pura konsentrasi menyetir namun telinga waspada. Kenapa coba? kata mama yang seakan tidak puas dengan reaksi diamku. Tadi malam mama mimpi loh. Mama mimpi kalian jalan berdua gandengan tangan. Kalian jalan aja terus, tapi kalian diam aja gitu. Tapi terus lama-lama jalan kalian misah. Willson ke kiri ke tempat pohon-pohon gitu, kamu kearah lampu-lampu neon terang. Pisah kalian lama-lama, mama liat gitu. ceritanya bersemangat. Aku tetap diam. Di benakku aku masih berprasangka, ini cerita si mama beneran apa enggak sih. Mama seakan mendengar pikiranku, dia lalu cepat berkata. Bener loh, mama mimpi kaya gitu, Willson pake kemeja merahnya itu. katanya lagi. Aku teringat akan kegigihan Willson mempertahankan hubungan kami, tekad dia untuk membangun masa depan bersamaku. Aku tak tahu apa yang akan membuat dia mundur, masih belum terbayang untukku jika mimpi mama itu jadi kenyataan. Willson seorang pejuang, aku tak yakin dia akan menyerah. Apa yang dapat membuat kami berpisah? Sebuah sms membuyarkan lamunanku. Willson. Dia bilang sudah ada di rumah. Tuh orangnya sms, udah di rumah dia kataku. Loh, kok kamu gak kasih tau mama si Willson mau dateng ke rumah, dia mau nganter ke bandara? Tanya mama heran. Gak tahu deh jawabku malas. Berarti kalian berantem, bener mimpi mama, berantem kalian kan? Pasti lah itu, masak begitu mimpi mama, paling enggak betengkar kalian ujar mama sambil menganggukangguk yakin. Aku segera pulang ke rumah dan menemuinya. Aku sibuk packing sementara dia asik ngobrol dengan mama di ruang tamu. Ada perasaan hangat ketika aku melihat mereka bicara bisik-bisik dan menahan tawa, mereka tampaknya sudah mulai akrab. Pastilah mereka sedang bergosip tentang aku, apalagi yang membuat mereka senyambung itu? Tapi tak apa, Willson pasti senang bisa lebih dekat dengan mama. Menjelang malam, Willson pun membantu aku packing. Pesawatku berangkat sekitar jam 10 malam. Dia mengantarkanku sampai bandara, mengganti SIM Card XL ku ke Nomer Simpati yang sudah dia siapkan (Karena di Freeport hanya dapat menggunakan Simpati), memastikan koperku aman terkunci dan mencium pipiku sebelum aku masuk untuk boarding. Semuanya sempurna, semuanya berjalan baik. Aku tak pernah memikirkan mimpi mama itu lagi, mungkin karena aku tak percaya, mungkin karena aku tak mau percaya, mungkin karena aku takut. Entah lah, aku tak memikirkannya lagi. .

Selama di Papua, Willson protes terus. Dia bilang aku jarang memberikan kabar dan dia selalu khawatir. Aku menjelaskan bahwa di sini jadwalnya padat, bukan jadwal acara tapi jadwal jalan-jalannya. Kamu kan pernah TA di sini 3 bulan yang, kamu tahu di daerah atas sampe Grashberg, daerah setinggi itu mana ada sinyal. Kalau aku sampe guest house kan aku selalu kabarin. Kataku memberi alasan. Dia paham, tapi mengingat sifat manjanya kalau lagi kangen memang kadang tak masuk akal, aku pun jadi sedikit terusik. Iya deh biarin aja aku gak ngabarin, akhirnya kamu ngerasain kan rasanya kalau ditinggal terus gak ada sinyal, gak tau mau nanya sama siapa, gimana tuh rasanya, enak gak? tanyaku menantang. Enggak enak yang, aku gak mau jawabnya lirih. Lah gak mau gimana, mau gak mau itu yang aku rasain klo kamu gak ada kabar, gak ada sinyal, gak enak kan ditinggal? Rasain lo! aku puas meledeknya. Iya yang, ampun yang, ampun. Ih gila, ampun dah. Sekarang aku tahu rasanya gimana, gak enak banget ya, enggak deh yang, aku gak mau lagi. Aku bakal selalu ngabarin kamu. Aku tertawa puas, akhirnya dia mengerti, tapi masak dia baru mengerti sekarang sih? Kamu masih untung yang, aku tinggal cuma beberapa hari, kamu tiap bulan ninggalin aku, udah gitu 4 minggu pula, belum lagi kalau gak ada sinyal, hadeuh kataku menambahkan. Aku teringat ketika dia tugas di pulau Fiji dan tidak mendengar kabarnya hampir 2 Minggu. Rasa khawatir campur rindu jelas bukan percampuran rasa yang menyenangkan. Dia lalu menjawab. Iya yang, gak akan lagi, aku gak akan bikin kamu khawatir lagi. Aku gak mau ninggalin kamu begitu katanya pelan seperti berbicara kepada diri sendiri. Aku diam. Entah kenapa hatiku terasa luluh mendengarnya. Aku tidak bermaksud membuatnya sedih. Aku berhenti meledeknya, aku bahkan meminta maaf telah membuatnya khawatir dan berjanji besok akan sering mengabari. Setelah itu kami ngobrol panjang, seperti biasa obrolan panjang sebelum tidur. Aku rasa kami dekat, semakin hari semakin dekat. Aku bisa merasakannya. Sekarang aku mengerti mengapa dia berkata begitu, dia tidak bohong. Dia memang tidak mau meninggalkan aku lagi. Dia tak akan membuat ku khawatir lagi. Dia akan selalu menemaniku di hati, dia tak kan pergi, tidak akan pergi lagi. Seandainya aku tahu maksud perkataannya, aku rela menanggung ribuan kekhawatiran. Sungguh, aku tak akan mengeluh sedikit pun lagi. Aku rela khawatir berjuta-juta kali

untuknya asalkan dia tetap di bumi. Andai saja kenyataan bisa ditawar Andai saja takdir bisa mendengar Andai saja . 1 Agustus 2011 Hari itu aku dan Willson mengatur rencana bertemu di Ratu Plaza, kawasan Sudirman. Dua hari lagi dia akan pergi kembali ke lapangan, jadi sebisa mungkin kami mengunakan waktu yang tersisa untuk bertemu. Aku masih merasa bersalah telah meninggalkannya 5 hari ini ke Papua, sementara dia sedang field break 2 minggu di Jakarta. Entah kenapa field break kali ini dia selalu rewel ingin bersamaku dan kekhawatirannya selama aku di Papua cenderung berlebihan. Yah, paling tidak aku sudah kembali dengan selamat, toh kemarin sewaktu aku sampai di Jakarta, dia juga yang menjemputku di Bandara dengan wajah sumringahnya. Setelah aku mencium kedua pipinya dia segera mengambil tas dari tanganku dan dengan riang mengantarkanku pulang ke rumah. Di perjalanan pulang aku tertidur beberapa kali dibahunya. Dia tak berhenti memelukku. Rasanya lelah sekali. Setelah itu kami masih punya 2 hari bersama sebelum dia pergi. Dan inilah hari pertama, aku sudah memasuki kawasan Ratu Plaza. Dia bilang sudah sampai dan menungguku di dekat lobby. Segera ketika aku memasuki pintu utama, aku melihat sosoknya. Langkahku terhenti, leher ku bergerak mundur dengan cepat, aku terkejut. Aku benar-benar terkejut. Dia mengenakan baju batik rapih, begitu tampan, begitu menawan. Entah kenapa, hari itu dia begitu lain, entah kenapa. Aku mengerenyitkan dahi selagi dia menghampiriku, dia menggenggam tanganku cepat dan bertanya. Kenapa yang? katanya heran. Aku terdiam sebentar, bingung atas reaksi tubuh yang tidak meminta persetujuan itu. Enggak kok, gak apa-apa. Kamu kok rapih banget yang? kataku sekenanya sambil menghapus semua reaksi aneh itu. Iya, abis cuma ini aja baju yang bersih katanya berusaha memberi alasan. Selalu begitu deh, gengsi nya besar kalau dalam masalah ini. Dia tidak mau terlihat berusaha berpenampilan rapih, berusaha terlihat tampan, berusaha untuk berdandan. Selalu punya alasan supaya tidak dianggap berusaha berpenampilan menarik untuk jalan denganku. Aku tersenyum-senyum sendiri mendengar jawabannya. Boong! Emang kenapa sih kalau kamu ganteng? Apa salahnyaaaa Kamu ganteng ayang, aku suka kok kataku seraya tersenyum padanya.

Dia seperti biasa hanya menunduk, tersenyum malu dan mengalihkan pembicaraan.

Kami berjalan kaki ke Plaza Senayan, aku baru tahu ada jalan belakang dari Ratu Plaza ke Plaza Senayan. Dia menemaniku makan sushi. Makanan kesukaanku. Dia tidak pernah suka sushi atau daging mentah lain, tidak pernah. Satu-satunya alasan dia berada di sini adalah karena dia tahu aku sangat suka sushi terutama Salmon Sashimi. Dia mencoba untuk suka atau memesan makanan lain yang lebih matang. Aku rasa dia tidak peduli dengan rasanya, dia selalu suka melihat aku makan dengan lahap, itu hobinya. Ya, memperhatikanku saat makan. Setelah itu kami kembali ke Ratu Plaza untuk mengambil mobil dan melanjutkan perjalanan. Oke, sekarang kita kemana yang? tanyaku ketika kami sudah berada di dalam mobil. Hari itu terik, aku mengenakan kacamata hitamku. Terserah kamu, aku mah yang penting sama kamu katanya sambil menatap lurus sok misterius. Gombal..!! seruku. Yang, kamu kok make kacamata item sih? tanyanya. Loh, emang kenapa yang? Kan panas terik tuh jawabku heran sambil menunjuk ke atas. Ahhhh ayang mah, aku jadi gak bisa ngeliat mata kamu! katanya merajuk. Aku heran, super heran. Biasanya dia tidak pernah masalah jika aku memakai kacamata hitam, bahkan dia selalu bilang Ayang keren. Begitulah. Tapi kali ini benar-benar aneh. Aku memutuskan untuk pergi ke EX. Setelah memarkirkan mobil di EX kami lalu mencari ACE Hardware karena aku harus membeli cat pelapis transparan untuk melapisi sebuah batu kenang-kenangan yang aku dapat dari Papua kemarin. Setelah bertanya kepada satpam, ternyata Ace Hardware terdekat ada di Grand Indonesia. Akhirnya kami pun berjalan kaki menyusuri EX, Plaza Indonesia sampai Grand Indonesia. Ya ampun, tau gitu kita parkir di Grand Indonesia aja yang, ngapain ke EX ya? katanya sambil tertawa. Ya gak apa-apa lah yang, biar kita jalanin semua, jadi kan kita udah ke EX, ke Plaza Indonesia terus ke Grand Indonesia, semua mall udah kita jalanin, kita udah kemana-mana jadinya kataku riang. Aku balas tertawa sambil mengayun-ayunkan tangan kami. Aku tidak tahu apa yang baru saja aku katakan, terucap begitu saja. Kami pun melanjutkan perjalanan. Willson selalu suka berada di Ace Hardware, dia suka melihat barang elektronik, keperluan outdoor, sampai figura tengkorak atau bola-bola dunia. Enak nih yang, terang, keliatan semua globe nya, aku mau yang kaya gini katanya sambil memperhatikan sebuah bola dunia yang bersinar dari dalam. Setelah itu dia asyik memperhatikan barang-barang lain.

Setelah selesai membeli keperluan di sana. Kami pun beranjak kembali ke EX menyusuri jalan panjang yang telah kami lalui di awal. Kaki rasanya pegal sekali, perjalanan bolak balik Grand Indonesia-EX ternyata tak sedekat yang aku bayangkan. Kami bahkan sempat tersesat di tempat permainan anak-anak. Dia begitu senang melihat wall climbing khusus anak-anak di sana. Nih, nanti anak kita mainannya yang beginian nih. Nanti di rumah kita aku bangun wall climbing macam begini.. katanya bersemangat. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Kaki ku terasa nyut-nyutan. Kami kesulitan mencari tempat untuk makan karena pada saat itu menjelang jam berbuka puasa. Willson juga mencari tempat yang menyediakan stop kontak, karena aku ingin mengcopy beberapa CD khotbah favoritku selama dia di lapangan kemarin. Aku selalu memesan CD khotbah yang isinya bagus dan meng-copy-nya ke laptop Willson. Dia juga ingin melihat sisa foto dan video selama aku di Papua karena dia belum sempat melihat semuanya sewaktu di rumahku kemarin. Setelah berputar sana-sini dan belulm menemukan tempat juga, Willson tiba-tiba berkata. Kamu lagi mau Yoghurt kan? Kita di J.CO aja yuk ajaknya. Aku terkejut mendengarnya, dari tadi di dalam pikiranku memang selalu yoghurt, tapi aku tahu dia belum makan siang dengan kenyang. Makanan di Sushi Tei tadi apakah sudah cukup mengenyangkannya? Daging dalam mangkuk noodle nya pun dia tidak suka. Tapi darimana dia tahu aku sedang ingin sekali yoghurt? Kamu tahu darimana aku lagi pengen yoghurt? tanyaku heran. Tau dong, aku gitu loh!! katanya sambil tersenyum puas dan menarik tanganku. Eh, seriusan ah yang, kamu tahu darimana aku mau yoghurt? tanyaku lebih memaksa sambil menarik balik tangannya. Ya aku tahu aja yang.. katanya singkat. Enggak ah, kita makan nasi, emang kamu udah kenyang tadi? tanyaku. Yah kan ntar beli donat juga, aku beli selusin kamu harus habisin ya katanya. Loh kok jadi aku? tanyaku sambil lalu. Dia sudah kembali menarik tanganku. Sesampainya di J.Co Willson hanya membuka laptop tapi tidak menyalakannya. Kami malah asik mengobrol panjang lebar, waktu benar-benar tidak terasa berlalu, kami membicarakan banyak hal. Banyak sekali. Sampai akhirnya dia menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama, pertanyaan itu lagi. Aku ingat waktu itu aku tengah bersandar malas di sofa J.CO , dia duduk di sampingku. Dia memajukan duduknya lalu menghadapkan wajahnya kepadaku. Pergerakannya tiba-tiba.

Yang, aku mau tanya sama kau, dijawab ya Katanya serius. Apaan sih kamu, sok misterius ah. Pertanyaannya apa sih? kataku agak deg-degan juga. Aku juga heran kenapa jantungku berdebar, hanya dia begitu serius melakukannya. Aku menegakkan tubuhku sedikit. Kenapa sih kamu sama aku, kenapa kamu milih aku, kenapa gak yang lebih enak, lebih mapan, itu semua yang deketin kamu. Aku masih harus nabung dulu, masih harus merintis semuanya? Kenapa gak yang lain yang? Aku tahu dia ingat aku pernah menjawab pertanyaan ini, aku tahu dia pasti ingat dia pernah menanyakan hal ini sebelumnya. Dulu aku pernah menjawabnya dengan sangat jelas, aku masih ingat benar. Dulu aku menjawab begini: Kamu memang gak lebih baik dari mereka, tapi yang aku tahu, kamu membuat aku jadi orang yang lebih baik. Kalau pun suatu saat aku harus kehilangan kamu, aku gak akan nyesel. Aku udah belajar banyak dari kamu. Sekarang, jika aku teringat jawabanku pada saat itu, rasanya ada sebuah boomerang sedang berbalik dan menghajarku tepat di ulu hati. Hatiku sesak. Begitu mudah aku mengatakannya pada saat itu. Sungguh aku tak pernah berfikir sedikit pun harus kehilangan dia dengan cara begini. Tapi ya, tentu saja aku tidak akan menyesalinya, semua yang ku ucapkan benar adanya. Pernyataanku itu seakan sudah dimateraikan dengan kematiannya. Jawaban itu, sungguh sudah sangat jelas aku mengucapkannya, tapi kenapa dia bertanya lagi? Pertanyaan yang sama. Untuk apa? Sebenarnya aku kesal mendengarnya, entah kenapa aku kesal untuk menjawabnya. Tapi aku akhirnya menjawab juga, tapi kali ini jawabanku tak sama. Aku gak tahu yang, aku hanya tahu Tuhan kasih kamu ke aku. Kamu dari Tuhan jawabku. Aku terdiam sebentar. Belum tentu pada saat ini, pada waktu ini, ketika aku memilih untuk bersama orang lain, aku bisa sebahagia saat ini, detik ini. Ya, sebahagia ketika aku bareng sama kamu sekarang kataku sambil menatap matanya dalam-dalam. Dia menunduk, tersenyum, dan mengangguk-angguk pelan. Lalu mukanya berangsur memerah. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihat wajahnya semerah itu, wajah merah yang dulu selalu terlihat ketika pertama kali dia mendekatiku. Makasih ya yang, katanya sambil tersenyum. Mukanya masih merah. Dia sekarang berani menatapku, matanya berbinar senang. Aku bahagia melihatnya. Makasih kenapa? kataku menggoda. Makasih buat semuanya .

___________________________________________________________________________ ___________________ 2 Agustus 2011 Besok Willson pergi. Aku akan ke rumahnya hari ini. Aku masih merasa bersalah meninggalkan dia ke Papua selama beberapa hari, maka itu aku harus menebusnya dengan meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk bertemu. Sebelum ke rumah Willson aku menyempatkan diri mampir ke Pondok Indah Mall untuk membeli saat teduh untuk kami pakai Bulan Agustus, sayang saat teduhnya tinggal satu. Aku pun membelinya dan melanjutkan perjalanan panjang menuju rumahnya. Di rumah hanya ada Willson dan Richard adiknya. Richard sedang berada di lantai atas. Richard lagi ngerjain skripsi di atas.. katanya. Wow rajin ya, udah gimana skripsinya? tanyaku Willson lalu menceritakan tentang skripsi Richard beserta topiknya, aku sudah mendengar hal ini sebelumnya tapi dia tetap menceritakannya lagi. Dia senang menceritakannya. Topiknya cukup sulit, lebih kurang tentang sensor mata, tapi Willson yakin adiknya bisa, dia ingin adiknya mendapat bimbingan dari alumnus yang dapat membantunya dengan topik itu. Dia pernah bilang kalau adiknya itu harus mendapat pekerjaan yang lebih baik darinya. Gak apa-apa lah kalau dia punya kerjaan lebih baik dari aku katanya. Dia diam sebentar sambil menatap lurus, kata-katanya belum selesai. Ya, harus lebih baik sih.. katanya menambahkan. Setelah itu kami makan siang. Sudahkah aku katakan kalau dia paling suka melihatku makan? Ya, dia selalu saja menambahkan apa pun ke atas piringku. Tambah, tambah, kamu harus tambah biar gendutan katanya. Dia tak segan-segan mengambil piringku dan menambahkan lauk atau mengambil bagian terbaik dari makanannya dan menaruhnya di atas piringku. Yeh, kamuuuuu. Kaya gak kurus aja, kamu juga musti tambah, masa banyakan aku makannya protesku. Tenang sayang, aku nambah kok, katanya sambil mengunyah dan tersenyum dalam satu waktu. Setelah makan dia memintaku untuk menyatukan tulang-tulang ayam yang ada di piringku ke piringnya. Jangan dibuang tulangnya ya yang, satuin ke aku. Mau aku kasih hadiah buat anjing depan, pasti seneng tuh dia, pesta pora hehehee. katanya cengengesan. Mungkin dia sedang menirukan wajah anjing yang kegirangan itu.

Aku tersenyum. Bukan kali pertama aku melihatnya mengumpulkan sisa makanan. Dalam hatiku, ya ampun yang, sama anjing aja kamu perhatian, selalu kamu inget-inget, baik bener sih kamu. Satu hal yang aku yakin, sekarang ini, anjing di depan rumahnya itu pasti kangen setengah mati sama Willson, pasti! Aku lalu mengcopy cd khotbah favoritku bulan kemarin, Willson juga melihat sisa-sisa fotoku di Papua. Nonton ini yang, keren. Aku lagi nonton nih untuk yang kedua kalinya katanya sambil mengeluarkan sebuah DVD dari laptopnya. Apa nih? DVD yang kamu ceritain kemarin? tanyaku. Dari beberapa hari yang lalu dia menyebutkan film ini terus. Iya, ini judulnya Sanctum. Kisah tentang sport paling bahaya sedunia, Cave Diving. Tonton deh yang, keren. Nih kamu bawa aja, aku cari bungkusnya di atas ya Katanya bersemangat. Aku mengangguk. Aku tak menyangka bahwa DVD itu akan menyampaikan banyak isi hati Willson. Tak heran dia ingin sekali aku menontonnya. Aku merasa setiap perkataan dalam film itu adalah dia yang tengah berbicara padaku. Pemeran utama dalam cerita itu pun bernama Joshua sama dengan namanya. Dan Goa tempat cave diving bagi atlit dan pekerjanya adalah Sanctum yang berarti tempat suci, tempat kudus, seperti sebuah gereja. Mereka tak pernah menyesal sekalipun jika harus mati di sana. Begitulah cara dia melihat alam, sebagai tempat maha suci. Ya, di situ lah dia memilih untuk menghembuskan nafas terakhirnya, di tengah alam, di pinggir tebing, di tempat maha suci-nya. Tak lama kemudian dia kembali membawakan bungkus DVD itu. Aku pun mengerenyitkan dahi melihat pakaiannya. Sebelumnya dia mengenakan celana basket dan baju basket tak berlengan. Sekarang dia mengganti celananya dengan jeans panjang lengkap dengan ikat pinggangnya, tapi baju basket tak berlengan itu tetap dipakainya. Loh, kamu ngapain ganti celana? Emang mau kemana? tanyaku heran. Ya di rumah aja. Ini kalau orang Jawa bilang Toto Kromo yang, masa ada tamu dateng aku pake nya celana kolor? terangnya. Hahahaa, yang bener aja yang, ada-ada aja kamu hahhaa.. aku makin tertawa, bagaimana tidak, dia mengganti celana tapi tidak mengganti baju tak berlengannya yang mirip kaus kutang itu. Dia lalu memelukku gemas, aku balas memeluknya. Di situ aku mencium aroma yang tak biasa. Hmm, yang. Kok kamu wangi banget sih? tanyaku sambil mengendus-endus bajunya. Ini wangi setrikaan kali yang, itu loh wangi-wangian yang buat setrikaan jelasnya.

Ohhh.. kataku. Lalu kembali memeluknya. Baunya tercium lagi, aku tak yakin. Gak mungkin ah! Masak wangi setrikaan begini. Tuhkan pasti bohong deh, kamu pasti beli parfum ato apa deh. Orang wangi banget, Ya kan? Ngaku! Ayo ngaku! kataku bersemangat. Seperti anak kecil yang tengah menemukan lawannya dalam permainan petak umpet. Lagian kamu juga sih, udah tau gak mungkin bau setrikaan masih ditanya juga katanya dengan bibir monyong seperti anak kecil merajuk. Dia terlihat malu-malu. Ahahahaaa, ya ampun yang yang. Mau wangi buat aku aja malu-malu, masak make parfum baru buat ketemu aku aja malu gitu? kamu kan pacar aku. Ihhhh dasarrrr anehhh kataku sambil mengelikitinya. Dia minta ampun. Willson adalah manusia paling gelian sedunia, jangan coba-coba meletakkan apa pun dengan sengaja di atas lututnya dia bisa melonjak-lonjak seketika. Hari itu aku merasa senang sekali, dia begitu ceria. Kami membayangkan hidup dalam kebersamaan seperti itu tanpa ada perpisahan lagi, akan menjadi sebahagia apa hari itu? Makanya, kapan kamu ngelamar aku? Cepetaaann kataku bercanda sambil mentertawakannya. Tapi diluar dugaan seketika raut cerianya berubah drastis. Yang, kamu jangan ngomong gitu dong, aku sedih tau dengernya katanya dengan nada putus asa. Aku heran. Dia yang selalu bilang kalau dia berusaha sekuat tenaga supaya dapat memenangkanku, memimpikan keluarga baru bersamaku. Melihat wajahnya yang sedih saat itu aku seperti tidak bisa berkata-kata, seakan dia begitu putus asa. Ayang, kamu kenapa? Aku kan cuma becanda, aku tahu kok kamu udah usaha.. kataku sambil tersenyum. Dia memelukku lagi. Mama pulang jam berapa yang? tanyaku. Sebentar lagi palingan, Richard yang jemput jawabnya. Aku pulang ya, sebelum mama kamu pulang.. kataku. Aku sendiri heran kenapa aku harus pulang? Aku datang ke rumah Willson tentunya bukan hanya ingin bertemu dia, tapi ingin bertemu mamanya juga. Seperti biasa menanyakan kabar atau sekedar mengobrol, kalau tidak untuk apa aku ke rumahnya? Tapi entah kenapa aku merasa harus pulang. Pokoknya Harus. Oh, kenapa? tanya nya singkat. Nanti kan kamu mau pijet refleksi kan? Nanti kalau mama pulang terus ngobrol-ngobrol dulu sama aku makin dikit waktunya, makin malem jelasku. Ya kan gak apa-apa yang, pijetnya bisa rada maleman katanya memberi alasan.

Enggak ah, kamu sama mama kamu aja dulu, tar kalau ngobrol-ngobrol sama aku lagi jadi lama, ngerepotin, kamu sama mama kamu dulu aja pokoknya jawabku. Sungguh aku tak tahu apa yang aku katakan. Yang aku mengerti pada saat itu hanya aku tidak boleh mengambil waktu Willson dari mamanya hari itu. Aku ingin memberikan mereka waktu, untuk apa? Entah lah, hanya Tuhan yang tahu mengapa aku merasa begitu sore itu. Aku pulang ya kataku sambil mengemasi barang. Richard sudah berangkat untuk menjemput mama Willson. Iya, hati-hati yah sayang.. katanya. Dia memeluk dan menciumku. Aku lalu bersiap pergi. Tepat ketika hendak membuka pintu depan rumah, aku merasakan sesuatu. Eh yang, kita foto-foto yuk tukasku tiba-tiba. Seketika saja aku merasa ingin berfoto dengannya. Ayuk katanya sambil tersenyum bersemangat. Sayang, kamu beneran berubah jadi narsis ya, gak pernah nolak difoto aku cengengesan. Kami pun mengambil beberapa foto. Ada satu foto yang dia suka.

Yang, aku suka foto ini, mau dong katanya. Iyah sayang, nanti yah.. kataku sambil merentangkan tangan memeluknya lagi. Ketika aku memeluknya dia balas memelukku erat sekali. Dia selalu begitu kalau memeluk gemas. Aku rasa dia benar-benar memeluk dengan sekuat tenaga. Aku selalu protes kalau dia begitu, karena dia kan begitu kuat, aku pasti kesesakan. Tapi hari itu aku tidak protes, tidak sama sekali. Dia bahkan bertanya. Sakit gak yang? tanyanya. Enggak, enggak sakit kataku saat dia melepaskan pelukannya. Ayang, aku mau dipeluk gitu lagi dong kataku sambil tersenyum. Dia memelukku lagi dengan erat, sesudah itu menciumku. Aku tidak pernah menyangka itulah pelukan dan ciumannya yang terakhir. Aku bisa mendengar jantungnya dengan jelas seakan itu jantungku sendiri. Aku merasakan jantungnya masih berdetak bahkan berdebar. Aku ingin tertidur di situ hanya untuk mendengarkannya. Aku ingin waktu berhenti di situ. Aku berharap dia memelukku sangat erat hingga nafasku berhenti di situ. Setelah aku pulang, dia menghabiskan malam itu dengan pijat refleksi bersama mamanya. Reaksinya sesuai dugaanku, dia kegelian setengah mati. Jangan kan pijat refleksi, ditiup saja dia sudah kegelian. Yang, ini sekarang aku pake kaos papua yang kamu kasih, pas banget loh katanya.

Masak sih yang? Muat ukuran L nya? tanyaku. Selagi di Papua aku membeli 2 kaus ukuran L dan S. Satu untuknya dan satu untuk ku. Muat kok, pas banget katanya meyakinkan. Oke, kalau begitu ntar kita pake jalan bareng yuk kapan-kapan ajakku. Ayuk Hari itu aku memilih tidur di kamar mama, aku menarik kasur tambahan beserta sarung kasurnya dan meletakkannya di depan televisi di dalam kamar mama. Aku tidak suka menonton televisi, tapi toh akhirnya aku tidur di situ juga. Entah kenapa Aku pun lelap tertidur. Aku tidak menyangka bahwa aku akan tidur di kasur itu dan di kamar itu, untuk beberapa minggu ke depan. 3 Agustus 2011 Pagi itu telefon kembali berdering, telepon itu membangunkan ku seperti biasa di pagi hari. Handphone ini sudah seperti alarm, yang ini, ya.. Selalu handphone yang ini, dan bunyinya selalu terdengar begini.. Kriiiinggg Kringggg.. Kringgg Kringgg Karena di tempat kerja Willson hanya dapat menggunakan nomer M3, terpaksa aku sebagai pengguna XL harus punya handphone khusus untuk nomer M3. Willson sempat menawarkan untuk membelikan handphone baru untukku, karena bertelepon setiap saat dan setiap hari dari M3 ke XL adalah kesediaan untuk dirampok, pulsa langsung kandas seketika. Waktu itu aku bilang tidak usah, karena aku bisa pakai handphone bekas papa dulu. Handphone tua, tidak berwarna dan tidak berkamera tapi toh masih prima dan bisa digunakan. Toh hanya untuk menerima telepon, biaya membeli handphone baru bisa untuk dia tabung. Dia pun akhirnya setuju. Jadi inilah si handphone yang berjasa mengirit pulsa kami, handphone yang sudah diwantiwanti Willson supaya yang tahu nomer itu hanya dia seorang. Terkadang dibalik kelelakian dan keberaniannya, aku melihat dia sebagai sosok kekasih yang manja, posesif dan terkadang sangat bawel, menggemaskan memang hehe. (maap ya yang, aku kadang pake handphone ini kalau telepon temen aku yang punya nomer m3, jadi sedikit bukan rahasia lagi). Dering pagi ini mungkin agak mengesalkan, karena aku tahu dia akan pergi kembali ke lapangan, meninggalkan aku satu bulan ke depan. Tapi rasa rindu tiap pagi membuat dering ini selalu menjadi hadiah teristimewa, hadiah yang selalu ku tunggu-tunggu, selalu. Semalam entah kenapa aku memilih untuk tidur di kamar mama. Mama yang terlebih dahulu bangun sigap mengambil telepon itu dan membaca nama sang penelepon. Nih si Willson haletmu nih, angkat.. katanya terburu-buru melihat aku baru saja terbangun dari tidur.

Aku meraih telepon itu dan segera menyapanya Halo.. Tak berapa lama dia menjawab, Heeey Selalu begitu cara dia menjawab, dengan sebuah hey yang panjang dan dalam. Sebuah hey yang selalu membangunkanku dari kerinduan malam. Pagi itu kami berbincang panjang lebar, dia sudah ada di ruang tunggu bandara dan akan menghabiskan waktu meneleponku sampai waktunya masuk pesawat. Gairah pagi itu akan kata-kata sayang dan hujanan peluk cium menentramkanku akan kepergiannya. Dia tahu aku tak pernah suka ditinggal, lagi pula, siapa yang suka ditinggal pergi kekasih hati? Bahkan ketika alasannya untuk bekerja dan hanya untuk beberapa saat. Perbincangan kami akhirnya selesai karena Willson harus masuk pesawat. Pesawat Garuda itu akan mengantarkannya ke Manado, sampai di Manado perjalanan akan dilanjutkan ke Halmahera tempatnya bekerja dengan menggunakan Helikopter. Aku sayang kamu. Muahhh Sayang kamu juga. Muahhh.. Telepon ditutup, aku pun kembali melanjutkan tidur dan aku bermimpi Aku bermimpi turut pergi bersamanya.. Sesaat kemudian aku terbangun.. . Willson: Sayang aku udah sampe manado yah. Ayang udah bangun? . Christina: Sent Wed, 9.50 AM Udah, aku udah bangun terus bobo lg. Terus aku mimpi aku ikut kamuuuu huhuuu.. Kangen ayang, pengen gelendotan kamuuuu =* . Willson:

Received Wed, 9:51 AM Masa tadi di pesawat pas aku bobo mimpi cium sama peluk ayang. Jelas banget, terasa beneran ayang.. =( =* =* Aku sedikit terkejut, berarti kami sama-sama tertidur dan bermimpi. Aku di tempat tidurku dan dia di dalam pesawat. Mungkin kah kami bertemu dalam mimpi siang tadi? . Christina: Sent Wed, 9:54 AM Wahhh, berarti kita beneran ketemu di mimpi ayang, sama2 saling mimpiin hihi. Ayang, tapi kamu pas mimpi gak ngigo kan? Tau2nya kamu beneran meluk sama nyium penumpang pesawat di sebelah kamu lagiiiii hihiiihihi . Willson: Received Wed, 9:56 AM Jangan gila dong ayangggg =p =* =* bener deh tadi tuh ayang trus bangunin aku gitu sambil cium aku =* =* =* sayanggg I love u . Christina: Sent Wed, 9:58 AM Love u too my dear. =* =* =* Ayang berangkat dari manado nya jam berapa? Naik apa? Nunggu sama siapa di sana yang? . Willson: Received Wed, 10.03 AM Jam 2 yang.. naik chopper.. sama rimba, famhi, sama Trinity-miss boss.. Ahhhhhhh ayanggggg.. saat teduhnya ketinggalannnnn!!!! =( =( =( =( . Christina: Sent Wed, 10:12 AM

Yahhhhhhhhhh kamuuuuuuu mahhhhhhhh =( =( =(. Yaudah telpon Richard, suruh dia yg pake.. Kemaren itu padahal tinggal satu2nyaaaa.. =( =( =( . Willson: Received Wed 10:16 AM Yahhhh.. aku payah nih kesel akuu =( =( Hari sebelumnya ketika pergi ke rumah Willson, aku membawakan saat teduh nya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ku sebelum dia pergi ke site, selalu membelikannya saat teduh Manna Surgawi. Herannya, di Gramedia Pondok Indah Mall, aku hanya menemukan sebuah buku saja. Padahal waktu itu baru tanggal 2 Agustus. Saat teduh yang terbit tiap bulan ini seharusnya punya stock banyak di awal bulan. Tapi entah lah, aku akhirnya membeli juga saat teduh itu untuk dia. Untuk ku, aku bisa cari lagi nanti di tempat lain. Begitu pikirku. . Christina: Sent Wed, 10:22 AM Ayang bawa alkitab ga? . Willson: Received Wed 10:24 AM Bawa dong kan alkitab mu yang mangamputua ada di site =) =* =* ayang udah mandi blum kamu? Aku teringat beberapa bulan lalu ketika menghadiahkan sebuah alkitab untuk Willson. Seharusnya itu menjadi hadiah yang serius, karena dia mengaku jarang baca alkitab karena tidak punya alkitab sendiri, aku ingin dia selalu dekat dengan alkitab ini. Tapi aku malah salah menuliskan nama pada bagian depan alkitab itu. Aku menulis namanya Willson Joshua Mangamputua Sibarani. Padahal nama sebenarnya adalah Willson Joshua Mangihuttua Sibarani. Entah kenapa aku selalu lupa, selalu salah menyebut Mangihuttua dengan Mangamputua. Dia tidak pernah bilang kalau aku salah menuliskan nama, dia baru mengakuinya ketika aku tanya. Dia memang selalu begitu, selalu menutupi kesalahan orang lain. Tapi semenjak itu, dia sesekali menggodaku karena kesalahan nama mangamputua itu. . Christina: Sent Wed, 10:24 AM

Ah ayang, kenapa sih diingetin mulu yg mangamputua, aku kan maluuu =( udah diganti belum namanya yang? Ayang baca2 Amsal tiap hari. Kata pendeta, Amsal itu tulisan para raja, siapa pun yg menghayati Amsal dan melakukannya, dia akan berfikir dan bersikap seperti raja dan tidak ada seorang manusia pun yg akan memperlakukan dia seperti budak. Begitu katanya yang =) . Willson: Received Wed, 10:45 AM Amsal berapa yang? Semuanya? Udah aku ganti kok yang =* =* ayang lagi apah? . Christina: Sent Wed, 10:48 AM Semua Amsal yang, baca2 aja tiap hari gitu. Hehe.. Aku lg bobo2an, ntar malem kayanya aku mau ke sanggar yang, diajakin Ivan. Udah lama gak ketemu temen2. . Willson: Received Wed, 10:50 AM Ke dokter kulitnya kapan? Sanggar di atma yang? . Christina: Sent Wed, 10:50 AM Dokter kulitnya sore yang, sanggar Teater Koma di Bintaro, deket kok.. . Berselang sejam kemudian Willson kembali mengirimakan sms . Willson: Received Wed, 11:53 AM Sayang.. =* =* =*

Hmm, tampaknya penyakit manja nya sedang keluar pikirku. Aku lalu membalas. . Christina: Sent Wed, 12:12 PM Sayang, sayangku.. Sayangnya akuuuu =* . Willson: Received Wed, 12:14 PM =* =* =* pacar akuuu =) sayang kamuuu =* . Christina: Sent Wed, 12:18 PM Ayang, aku pengen nyari duit yg banyak deh terus kita pensiun muda. Abis itu kemana2 kita bisa bareng terus. Aku nemenin kamu manjat, kamu nemenin aku nyanyi ato teateran.. Waw!! =) =* =* ayang, nanti kabarin ya kapan bisa OL, kita coba2 webcame nyaaa.. =* . Willson: Received Wed, 12:20 PM Iyah aku juga mauuu cari yang banyakkkkk.. aku mupeng banget dari tadi ngeliatin bule2 couple pada baru dari bunaken =( aku mau sama ayanggg.. =* =* =* =* . Christina: Sent Wed, 12:22 PM Oke lah kalau begitu!! Semangat!! Kita pasti bisaaaa!! =* =* =* . Willson: Received Wed, 12:24 PM

Pasti dong sayanggg.. kan kita keyen.. =* =* kangennnn kamuuuuu =* =* apa kabar mama sayang? . Christina: Sent Wed, 12:28 PM Mama aku itu yang, ngomongnya sih selalu nyuruh aku cari yang lebih baik, cari yg lebih mapan lah dll. Tapi padahal dia seriiiinggg bgt nanyain kamu, malah kemaren dia minta foto aku sama kamu dimasukin ke HP nya dia hahahhaa. Ayang, kamu pinter2 ngambil hati mama aku yaa =* . Willson: Received Wed, 12:57 PM Hah? Seriusan kamuu, mama minta foto kita? Terus ayang kasih yang mana? =* =* Udah jam 2 blum berangkat2 uy.. sepertinya mendung. Iyah sayang, kamu juga jangan lupa berdoa yah. . Aku membaca sms terakhirnya itu, aku hendak membalas tapi entah kenapa kantuk menguasaiku, padahal kalau dipikir-pikir aku belum beranjak dari seputaran tempat tidur. Mulai dari pagi tadi ketika dia membangunkan ku, setelahnya aku kembali meneruskan tidur. Willson sampai Manado aku terbangun lalau sms-an dengannya sambil makan karena perutku lapar. Dan sekarang sudah hampir jam 1 WIB dan aku mau tidur lagi? Berapa jam lagi yang aku butuhkan untuk tidur? Aku seperti ditarik ke alam mimpi berkali-kali. Aku pun kembali tertidur. Tak pernah ku sangka, semua tak kan sama ketika aku bangun. Sore itu, ketika akhirnya aku terbangun, aku merasakan badanku agak berkeringat. Aku meraba-raba leherku dan ahhhh benar saja. Aku sedikit demam. Mungkin karena terlalu banyak tidur, entahlah. Aku mengirimkan beberapa sms padanya, menanyakan keberadaannya. Tapi tak satu sms pun berbalas. Aku lupa, aku lupa apakah aku bermimpi atau tidak. Hari itu, entah mengapa aku tertidur terus, tertidur banyak sekali. Mungkin kah aku bersamanya? Mungkin kah dia ingin aku menemaninya? Kalau iya, aku bersyukur aku telah menemaninya. Kalau iya, aku bersyukur telah memeluk jiwanya untuk yang terakhir kali sebelum dia pergi.

Dan itu lah kontak terakhir, semua sms yang aku kirimkan setelah itu tidak ada yang terkirim, semua pending, semua mendung. Ya sayang, kamu benar, sepertinya mendung, sejak saat itu semua mendung. Tapi mendung telah mengubah terik menjadi teduh, malah mewarnainya dengan pelangi yang luarbiasa indah. Jangan lupa berdoa ya.. itu lah kata-kata terakhirnya. Dia ingin aku berdoa terus. Aku tak akan lupa berdoa sayang. Seperti aku tak kan melupakanmu.. =) . Terperangkap dalam mimpi Tadinya aku ingin menghilangkan babak ini. Babak kesedihan, kemuraman, kegelapan. Babak paling traumatis dalam hidupku. Tapi aku sadar bahwa ini adalah bagian dari keseluruhan. Aku harus menerima dan menghadapi kesedihan terdalam sebelum dapat bangkit darinya. . Sore itu aku terbangun. Aku meraih HP ku untuk membalas sms yang tadi tidak sempat aku kirim karena rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang. Christina: Sent Wed, 4:02 PM Gak bisa yang, soalnya dari BB ke HP mama gak bisa hihihi. Kamu udah nyampe belum yang? Hari ini aku tidur mulu deh. Ampe anget badan aku xP . Sms kali ini aku tidak mendapatkan laporan terkirim, sms dinyatakan pending. Aku pun bersiap-siap untuk berangkat ke dokter kulit bersama mama. Beberapa hari di Tembagapura dan pegunungan Papua yang berhawa sangat dingin membuat kulitku terbakar karena perubahan cuaca yang amat drastis. Setelah diperiksa oleh dokter dan menjalani beberapa treatment aku pun pulang. Aku bingung, kok belum ada kabar juga dari Willson? . Christina: Sent Wed, 6:38 PM Yang, kamu dmn? Gak ada kabar? =(

. Sms kembali pending. Oh, yasudahlah, mungkin baterai HP nya habis atau HPnya eror. Aku kembali bersiap-siap untuk berangkat ke Sanggar Teater Koma di kawasan Bintaro. Senang sekali rasanya bertemu dengan teman-teman di sana, mengingat sudah lama aku tidak berkunjung. Semenjak pementasan Teater Sampek-Engtay berakhir, hanya beberapa kali aku mampir ke sana dalam forum jumat rutin. Rindu juga. Aku tengah serius mengikuti pembacaan naskah ANTIGONEO sebuah pentas yang akan dimainkan oleh Teater Koma tanggal 7-16 Oktober 2011 di Gedung Kesenian Jakarta. Aku memperhatikan dan mendengarkan naskah dibaca bergiliran. Aku sedang membayangkan tokoh utama yang diceritakan sedang berjuang mempertahankan kuburan orang yang dikasihinya dari gusuran. Tidak peduli proyek besar itu telah berhasil menggusur kuburankuburan lain dengan bayaran dan uang ganti besar kepada pihak keluarga, dia tetap bersikeras mempertahankan kuburan itu. Dia tidak perduli ancaman, tidak peduli suap, tidak peduli gunjingan orang. Karakter yang menarik dan sangat jarang kita temui hari-hari ini. Aku sedang serius mengikuti alur ceritanya ketika HP ku bergetar. Ah, ada telepon. Tapi entah dari mana, aku tidak kenal nomernya. Telepon masuk beberapa kali, aku tak bisa angkat. Semua orang dalam posisi tenang dan memperhatikan. Sampai akhirnya sebuah sms masuk. Received Wed, 9:05 PM Cristina in saya fahmi, temen Wilson d gosowong, sudah dpt kbr dr Wilson blom? Kt ad kabar kurang baik kl chopper yg dianiki Wilson hilang, sampe saat in blom ad kbr dr tim sar, smg kabar baik segera datang, kt tunggu bersama. Lht jg d metro am tvone dah masuk jg tentang updatenya. Sabar ya . Langit runtuh, bumi seakan menciut dan masuk ke dalam rongga mulutku yang tengah terbuka lebar. Semua otot muka dan mata menegang. Waktu berjalan pelan, satu detik serasa seabad. Aku bisa merasakan jantungku yang berdebar cepat ini seperti dieja-eja tak beraturan. Tanganku gemetar. Aku membaca sms itu berulang-ulang kali, seakan-akan isinya bisa berubah ketika aku membacanya lagi. Aku tidak mengerti apa maksud sms itu, atau mungkin aku tidak mau mengerti. Tuhan Yesus Aku beranjak berdiri, hendak mencari angin dengan melangkah entah kemana, karena aku tidak mendapat asupan udara. Aku lihat seorang temanku bernama Yogi baru saja masuk arena sanggar. Bagaikan melihat malaikat, aku mencengkram tangannya, tanganku gemetar tak karuan seakan hendak minta ampun. Dia seketika panik melihat reaksi ku itu. Aku memberikan isyarat untuk membaca isI sms di HP ku. Sedangkan kedua tanganku berusaha menutupi mulutku yang masih menganga sambil gemetaran. Tuhan Yesus Aku harus pulang. Itu yang aku katakan. Aku berlari ke depan sanggar, aku harus menelepon Mas Fahmi. Aku telepon dia, tapi beliau juga tidak dapat memastikan apa pun, belum ada kejelasan. Aku linglung, bimbang, ragu.

Yogi menghampiriku lagi dengan wajah resah, aku tertunduk tiba-tiba. Tulang punggungku menciut, tangaku menutupi mulut dan seketika guncangan itu datang. Ada luapan besar yang menghujam perutku. Aku terisak, seluruh tubuh berguncang. Yogi lalu memberi usul untuk memeriksa berita tersebut di internet terlebih dulu. Dia menenangkan aku, membimbing aku ke ruang internet tak jauh dari tempat pembacaan naskah tadi. Sesampainya di ruang internet, di depan layar komputer, aku mengetik kata kunci yang rasarasanya seperti NHM Helikopter. Tanganku gemetar tak karuan. Ketika layar terbuka dan menampilkan kecelakaan itu, air mataku terpecah tak karuan. Ya Tuhan, ini bukan mimpi? Mereka menyajikan beberapa berita terkait dengan helicopter yang hilang itu. Om Budi Ros dan kak Dana lalu ikut menghampiriku di depan komputer. Semua terdiam, membaca berita tersebut seakan sedang membaca mantra keramat. Tangisku terpecah lagi. Om Budi Ros lalu menanyakan kronologisnya, dia belum paham benar apa dan mengapa. Aku pun begitu, aku tak paham apa yang terjadi. Aku hanya menjelaskan bahwa Willson bekerja di sebuah pertambangan emas di Halmahera. Dia pergi naik pesawat garuda dari Jakarta ke Manado, dan dari Manado mereka melanjutkan perjalanan menggunakan helicopter ke Halmahera. Aku segera beranjak, mengambil tas dan sendalku. Aku harus pulang. Itu lagi yang aku katakan seperti meyakinkan diriku sendiri. Aku menolak halus tawaran dari Ka Yogi dan Ka Dana untuk menemani. Latihan masih berlangsung aku tak mau mengganggu prosesnya, aku ingin pergi setenang mungkin. Rumahku dari sanggar tidak begitu jauh dan aku mengendarai mobil pribadi, pasti akan cepat sampai. Tante Ratna sempat memelukku dan memintaku untuk bersabar. Kepergianku dilepas dengan wajah cemas oleh mereka. Segera ketika aku keluar dari pelataran sanggar, tangisku terpecah tak karuan, benar-benar seperti orang linglung. Rumahku yang tak jauh dari sanggar itu rasanya seperti ribuan kilometer. Aku menerobos aspal-aspal bolong dan lupa mengambil belokan pertama yang seharusnya mengantarkan aku pulang lebih cepat. Sesampainya di rumah, aku segera mematikan mesin mobil seperti kesetanan. Entah apa yang aku kejar aku tak tahu. Aku menutup pagar rumah cepat-cepat. Aku menangkap bunyi bahwa pintu rumah sedang di buka dan muncul lah wajah papa dari balik pintu. Aku menangis sejadi-jadinya. Raut wajah papa yang tenang berubah seketika, dia panik. Heh, kenapa? Ada apa? Dia lalu segera merangkulku dengan wajah ngerti dan tak berhenti bertanya. Sssstt kenapa? Ada apa? Badanku berguncang hebat, bukan seperti tangisan tapi seperti gempa hebat yang mengguncang seantero tubuh. Guncangan untuk mengeluarkan sesuatu yang terlalu besar dari kemampuannya.

Willson pa Willson Helikopternya Willson kecelakaan.. Papa terkejut, sangat terkejut. Aku berlari ke dalam rumah sambil menangis, mengetuk pintu kamar mama, tampaknya mama sudah terlelap. Aku segera berlari ke kamar tidur untuk mencari laptopku dan membawanya ke ruang keluarga di depan televisi. Aku ingin cari tahu lagi kabarnya. Mama akhirnya keluar dari kamar dengan wajah keheranan. Kenapa? Ada apa? Willson kecelakaan helicopter ma, dia hilang Aku masih sibuk berkutat dengan laptop, mengetik kata kunci untuk mencari berita apa pun yang disediakan oleh internet. Aku masih bisa mendengar suara mama ikut menangis sambil mengajukan banyak pertanyaan. Pikiranku kalut. Aku membuka facebook dan menemukan message dari ka Beatrix, kaka perempuan Willson. Dia memintaku untuk segera menghubunginya. Aku cepat-cepat mencari Handphone dan menekan nomer telepon yang diber