gtl

15
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Enrekang mengalami perkembangan yang pesat, yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi sampah di kota tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang, produksi sampah Tahun 1997 di Kota Enrekang sebesar 29,31 m 3 /hari, kemudian pada Tahun 2002 menjadi 34,77 m 3 /hari ( meningkat rata-rata sebesar 3,72 %/tahun). Kebijakan pemerintah Kabupaten Enrekang dalam pengolahan TPA sampah yaitu menggunakan metode Lahan Urug Terkendali (Controlled Landfill). Prinsip pengolahan metode Lahan Urug Terkendali adalah secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah kemudian dilakukan perataan dan pemadatan sampah. Efektifitas penggunaan metode tersebut harus mempertimbangkan aspek kondisi fisik TPA, jenis dan karakteristik sampah, kemampuan pendanaan, dan prasarana pendukungnya (Notoatmodjo, S. 1997). Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan di sekitarnya, seperti terbentuknya rembesan lindi yang dapat mencemari air permukaan dan air tanah dangkal, serta polusi udara, serta pencemaran tanah. Indikasi tersebut lebih dipertegas dari penelitian terdahulu yang dilakukan di TPA Tamangapa oleh (Arifin 2001) yang menyimpulkan bahwa rembesan lindi yang keluar dari timbunan sampah membentuk alur yang mencemari air permukaan dan air tanah dangkal sekitar TPA. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh (Yuliana 2001) menunjukan bahwa beberapa sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang kondisi airnya berbau. Lebih lanjut Yuliana menyimpulkan bahwa kondisi kualitas air sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang relatif berbau dan berubah warna terutama sumur-sumur yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi TPA. Juga disimpulkan bahwa penyakit diare dan kudis yang menjadi keluhan masyarakat sejak pertengahan Tahun 2000 disebabkan oleh pencemaran air akibat rembesan air lindi dari TPA tersebut. Mempertimbangkan jenis sampah di Kota Enrekang, maka di dalam penelitian tersebut disarankan pengolahan sampah dilakukan dengan pengomposan. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Desa Batu Mila Kabupaten Enrekang ? 2. Apakah penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang sesuai dengan konsep penataan ruang? 3. Apakah TPA sampah Kabupaten Enrekang mencemari air lingkungan di sekitarnya ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang.

Upload: penjual-muslimin

Post on 02-Aug-2015

39 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gtl

I  PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Kota Enrekang mengalami perkembangan yang pesat, yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi sampah di kota tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang, produksi sampah Tahun 1997 di Kota Enrekang sebesar 29,31 m3/hari, kemudian pada Tahun 2002 menjadi 34,77 m3/hari ( meningkat rata-rata sebesar 3,72 %/tahun).

Kebijakan pemerintah Kabupaten Enrekang dalam pengolahan TPA sampah yaitu menggunakan metode Lahan Urug Terkendali (Controlled Landfill). Prinsip pengolahan metode Lahan Urug Terkendali adalah secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah kemudian dilakukan perataan dan pemadatan sampah.

Efektifitas penggunaan metode tersebut harus mempertimbangkan aspek  kondisi fisik TPA, jenis dan karakteristik sampah, kemampuan pendanaan, dan prasarana pendukungnya (Notoatmodjo, S. 1997). Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan di sekitarnya, seperti terbentuknya rembesan lindi yang dapat mencemari air permukaan dan air tanah dangkal, serta polusi udara, serta pencemaran tanah. Indikasi tersebut lebih dipertegas dari penelitian terdahulu yang dilakukan di TPA Tamangapa oleh (Arifin 2001) yang menyimpulkan bahwa rembesan lindi yang keluar dari timbunan sampah membentuk alur yang mencemari air permukaan dan air tanah dangkal sekitar TPA.

Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh (Yuliana 2001)  menunjukan bahwa beberapa sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang kondisi airnya berbau. Lebih lanjut Yuliana  menyimpulkan bahwa kondisi kualitas air sumur  di sekitar TPA Kabupaten Enrekang relatif berbau dan berubah warna terutama sumur-sumur yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi TPA.  Juga disimpulkan bahwa penyakit diare dan kudis yang menjadi keluhan masyarakat sejak pertengahan Tahun 2000 disebabkan oleh pencemaran air akibat rembesan air lindi dari TPA tersebut. Mempertimbangkan jenis sampah di Kota Enrekang, maka di dalam penelitian tersebut disarankan pengolahan sampah dilakukan dengan pengomposan.

B.   Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Desa Batu Mila Kabupaten Enrekang ?

2. Apakah penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang sesuai dengan konsep penataan ruang? 

3. Apakah TPA sampah Kabupaten Enrekang mencemari air lingkungan di sekitarnya ?

C.  Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kesesuaian penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang di tinjau dari aspek penataan ruang kota. 

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh TPA Sampah Kabupaten Enrekang terhadap pencemaran air lingkungan di sekitarnya.

Page 2: Gtl

D.  Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu masukan dalam pengolahan TPA sampah di Kabupaten Enrekang.2. Sebagai salah satu  masukan dalam penentuan lokasi TPA di Kabupaten Enrekang, dan

kabupaten lainnya secara umum.3. Sebagai salah satu masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya di bidang

persampahan. 

 

II.      TINJAUAN PUSTAKA

A.     Pengertian Sampah

Menurut American Public Health Association, sampah (waste) diartikan sebagai suatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Mustofa (2000) sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama  dalam pembikinan atau pemakaian, barang rusak atau bercacat dalam pembikinan atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, maka sampah didefinisikan sebagai suatu zat atau benda-benda yang tidak terpakai lagi yang bersumber dari aktivitas manusia dan proses alam baik yang bersifat zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan.

B.     Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah upaya  yang sering dilakukan  dalam sistem manajemen persampahan dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan efesiensi operasional.  Menurut Madelan (1997), terdapat enam aktifitas yang terorganisir di dalam elemen fungsional teknik operasional pengelolaan sampah, sebagai berikut;

1. Timbulan Sampah (Waste Generation)2. Pewadahan (Onside Storange)3. pengumpulan (Collection)4. Pemindahan dan Pengangkutan (Transfer dan Transport)5. Pemanfaatan Kembali (Procesing dan Recovery)6. Pembuangan Sampah (Disposal)

C.     Pengolahan  TPA Sampah

Menurut Ryadi (1986), cara pembuangan akhir sampah merupakan salah satu aspek  strategis  dalam sistem pengolahan sampah. Beberapa  metode pengolahan sampah  dalam penerapannya adalah sebagai berikut;

1. Open Dumping atau pembuangan terbuka;  merupakan cara pembuangan sederhana di mana sampah hanya dibuang pada suatu lokasi, dibiarkan terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi penuh.

2. Controlled Landfill: Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk menghindari potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan.  Dalam operasionalnya juga dilakukan

Page 3: Gtl

perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.

3. Sanitary Landfill: metode ini dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah, yang dilakukan terus menerus secara berlapis-lapis sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pekerjaan pelapisan sampah dengan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir jam operasi. 

4. Inceneration; cara ini dilakukan dengan cara membakar sampah.5. Composting: cara pengolahan  sampah untuk  kebutuhan  pupuk tanaman.6. Individual Inceneration; setiap orang atau rumah tangga  membakar sendiri sampahnya.7. Recycling: cara ini memanfaatkan dan mengolah kembali  sebagian sampah, seperti

kaleng, kertas, plastik, kaca/botol dan lain-lain.8. Hog Feeding: cara pengolahan dengan sengaja mengumpulkan jenis sampah basah

(gerbage) untuk digunakan  sebagai makanan ternak.

Sejalan dengan itu, Wardhana (1995)  menjelaskan bahwa walaupun sudah disediakan TPA,  namun karena sampah yang dihasilkan terus bertambah,  sehingga TPA ikut semakin meluas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah padat (sampah) sampai ke TPA dengan memanfaatkan kembali limbah padat tersebut melalui daur ulang dan sistem pengomposan. 

D.     Pemilihan Lokasi TPA Sampah

Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 125/KPTS/1991 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Pembuangan Akhir Sampah, dijelaskan kriteria pemilihan lokasi TPA sebagai berikut;

1. Kriteria Regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak-tidaknya  penempatan TPA, sbb;

1. Kondisi geologi; yaitu tidak berlokasi pada daerah besar yang aktif dan bukan pada zona bahaya geologi.

2. Kondisi hidrogeologi; yaitu tidak memiliki muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kandungan tanah lebih 10-6 cm/det,  jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter dari hilir aliran.

3. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %.4. Jarak dari bandara harus lebih besar dari 3.000 mtr.5. Tidak pada daerah lindung dan daerah banjir periodik ( 25 thn).6. Kriteria penyisih yaitu kriteria untuk memilih lokasi terbaik yaitu dari kriteria

regional ditambah dengan kriteria berikut;1. Iklim yang meliputi: intensitas hujan kecil. arah angin dominan tidak

menuju kepermukiman.2. Utilitas, tersedia lebih lengkap.3. Lingkungan biologis meliputi: daya dukung kurang menunjang flora dan

fauna, habitat kurang bervariasi.4. Kondisi tanah meliputi: produktifitas tanah rendah, kapasitas besar,

tersedia tanah penutup yang cukup, status tanah tidak bervariasi.5. Kepadatan penduduk rendah.6. Masih dalam wilayah administrasi Kabupaten berangkutan.7. Memiliki zona penyangga yang cukup, untuk bau dan kebisingan.8. Estetika lingkungan (tidak terlihat dari keramaian dan jalan umum).9. Biaya pengelolaan dan pengolahan yang murah.

Sejalan dengan itu, berdasarkan pedoman penyusunan tata ruang wilayah dan kota Tahun 1997,  faktor pertimbangan penentuan lokasi TPA sebagai berikut;

Page 4: Gtl

1.  Di luar kawasan lindung (cagar alam, tangkapan air, hutan lindung);

2.  Jauh dari sumber air  bersih dan daerah rawan bencana;

3.  Di luar aktifitas perkotaan, tetapi  memiliki akses pencapaian yang baik;

4.  Mempertimbangkan kecenderungan perkembangan  kota;

5.  Berlokasi pada lahan-lahan non produktif;

6.  Berorientasi pada pemanfaatan jangka panjang;

7.  Tidak harus dibatasi oleh wilayah administrasi.

E.     Pencemaran Air  Lingkungan

Menurut Wardana (1995), air yang bersih tidak hanya ditetapkan pada kemurniannya saja, tetapi didasarkan pada keadaan normalnya. Jadi air tercemar apabila air tersebut telah menyimpang dari keadaan normalnya. Tanda-tanda atau indikator air lingkungan telah tercemar  adalah adanya perubahan yang dapat diamati melalui; (i) perubahan suhu air, (ii) perubahan pH, (iii) adanya perubahan warna, bau, dan rasa, (iv) timbulnya endapan, koloidal, bahan tersuspensi, (v) adanya mikroorganisme, (vi) meningkatnya BOD5 air lingkungan. Sejalan dengan itu, menurut Notoadmodjo (1997), syarat-syarat air yang sehat sebagai berikut;

1. Syarat fisik air minum adalah bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara di luarnya.

2.  Syarat bakteriologis air minum harus bebas dari segala bakteri terutama bakteri patogen. Apabila   dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 20×102 Bakteri  E. Coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.

3. Syarat kimia air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu  dalam jumlah tertrentu pula.

Lebih jelasnya baku mutu air, dapat dilihat tabel berikut;

Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Domestik (KepGub. Sulsel No. :14 Thn 2003)

Paramater SatuanKadar Maksiman*

A B C

pH - 6-9 6-9 6-9

BOD5 mg/l 25 40 75

COD mg/l 80 100 125

TSS mg/l 20 35 50

B.E. ColiMPN/ 100 ml

2500 5000 -

Keterangan:

* = Kecuali pH

Page 5: Gtl

Kategori A : 

- Kawasan permukiman (real estat) ukuran > 200 Ha

-   Restourant [rumah makan] ukuran > 2.300 m2

-   Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran > 50.000 m2.

Kategori B 

-   Kaw. permukiman (real estat) ukuran 16-200 Ha.

-   Restourant [rumah makan] ukuran 1.400-2.300 m2

-   Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran 10.000-50.000 m2.

Kategori C 

-   Restourant [rmh makan] ukuran 500-1.400 m2

-   Perkantoran, perniagaan dan apartemen dengan ukuran 5.000-10.000 m2.

III.   METODE  PENELITIANSampelPopulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah air lingkungan yang terdapat di sekitar lokasi TPA yang terdiri atas rembesan air lindi (air genangan), air sumur dangkal dan air Sungai Mila dengan jumlah sampel sebanyak 24 titik. Pengambilan sampel didasarkan pada kondisi topografi (arah pergerakan lindi) dan jarak. Metode penarikan sampel ini dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), pada daerah rembesan air lindi di lokasi TPA (2 sampel), pada rembesan air lindi/air genangan sekitar lokasi TPA (12 sampel),  pada sumur-sumur di sekitar lokasi TPA (8 sampel) dan di sungai Mila (2 sampel)

Teknik pengumpulan data disesuaikan dengan data yang akan diambil, meliputi;

1.  Pengukuran; melakukan pengukuran terhadap indikator kualitas air yang meliputi BOD5 dan Bakteri E. Coli.

2.  Observasi; Pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap kondisi fisik alamiah TPA sampah dan guna lahan daerah sekitarnya, dengan melakukan sketsa dan pemetaan tematik lokasi. Teknik ini digunakan untuk mendiskripsikan secara terperinci karakteristik fisik di sekitar TPA.

3.  Wawancara; (i) Teknik wawancara non struktur, yaitu melakukan wawancara kepada Aparat Pemda Enrekang berkaitan dengan lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang, dan (ii) Focus Group Discussion, yaitu wawancara kepada kelompok masyarakat tentang TPA sampah di Kabupaten Enrekang.

Page 6: Gtl

4.  Dokumentasi; Merupakan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait seperti BPS, Bappeda, Bapedalda, BPN, serta penelitian terdahulu yang relevan.

Dari uraian rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan variabel penelitian sebagai berikut;

1. Kondisi Topografi2. Kondisi Hidrologi3. Kondisi Geologi

kedua, ditentukanD.       Metode Analisis

Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah, sbb;

1. Rumusan masalah butir (a) dianalisis dengan teknik statistik diskriptif.2. Rumusan masalah butir (b), dianalisis dengan teknik statistik diskriptif.3. Rumusan masalah butir (c), dianalisis dengan menggunakan analisis  statistik diskriptif.

1. Kecenderungan Perkemb. Fisik Kota

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Lokasi TPA terhadap Tata Ruang Kota

Arah perkembangan Kota Enrekang dihambat oleh keadaan alam berupa gunung yang ada di sekelilingnya. Pengembangan ruang fisik secara ekstensif di Kota Enrekang tidak memungkinkan lagi, sehingga harus mempertimbangkan alternatif lahan-lahan kosong pada daerah sekitarnya yang potensi untuk kegiatan perkotaan.

Secara alamiah kecenderungan perkembangan fisik kota saat ini adalah mengikuti jalur jalan poros ke selatan Kota Enrekang dan sebagian kecil berkembang ke arah timur.

Perkembangan fisik kota saat ini menunjukan fenomena penggunaan ruang yang tidak mempertimbangkan pelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa permukiman masyarakat yang telah merambah sampai ke kawasan lindung yang terdapat di arah timur dan utara kota ini.

1. Kebijakan Penataan Ruang Kota

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang Tahun 2001-2010 sebagai salah satu instrumen yang berkekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Enrekang, telah mengarahkan penggunaan ruang Kabupaten Enrekang sedemikian rupa sebagai pengejawantahan dari visi Kabupaten Enrekang. Salah satu arahan pengembangan fisik Kota Enrekang menurut RTRW tersebut adalah wilayah Kecamatan Maiwa, dimana arahan fungsi pengikat wilayah Kecamatan Maiwa tersebut adalah industri dan perkebunan, sedangkan fungsi

Page 7: Gtl

penunjang adalah permukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Sementara itu, lokasi TPA yang ada saat ini juga terdapat di Kecamatan Maiwa.

1. Aksesibilitas

Secara umum  sistem transportasi darat di Kabupaten Enrekang sangat dipengaruhi pola persebaran permukiman dan kondisi geografis wilayahnya. Pola permukiman yang terpencar serta kondisi geografi relatif bergelombang/pegunungan, menjadi kendala dalam pengembangan ruang Kabupaten Enrekang termasuk pengelolaan persampahan.

Sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Enrekang belum menunjukan hasil yang optimal baik ditinjau dari aspek pewadahan/ pengumpulan maupun dari aspek pengangkutan ke TPA. Jarak Kota Enrekang ke lokasi TPA yang relatif jauh yaitu sekitar 23 km serta sistem pewadahan/pengumpulan yang masih didominasi oleh metoda individual merupakan kendala yang dalam rangka teknik operasional pengelolaan sampah di Kabupaten Enrekang. Tingkat pencapaian armada angkutan sampah ke TPA ditempuh selama  6 jam tiap kali pengangkutan. Sehingga tiap kendaraan masing-masing hanya bisa mengangkut sampah 2 kali / hari. Jumlah armada angkutan sampah yang dioperasikan tiap hari sebanyak 2 unit dengan kapasitas 6 m3/unit, sehingga jumlah rata rata pengangkutan setiap hari sebanyak empat kali kendaraan atau sebanyak 24 m3, sementara volume produksi sampah tiap hari di Kota Enrekang adalah kurang lebih 34,77 m3/hari.

Oleh karena itu, dipertimbangkan  alternatif lokasi baru TPA Kota Enrekang yang mudah dijangkau, namun tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup.

1. Aspirasi Masyarakat

Hasil wawancara dengan 60 responden di Kota Enrekang yang terdiri masyarakat sekitar TPA (15 responden) dan masyarakat Kota Enrekang (40 responden) serta Pemda Kabupaten Enrekang dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang (5 responden), secara umum menjawab pertanyaan bahwa tidak sepakat penempatan lokasi TPA di Desa batu Mila, dengan pertimbangan;

-          Lokasi TPA sampah relatif jauh dari Kota Enrekang.

-          Tingkat pencapaian yang relatif sulit ke lokasi TPA.

-          Mencemari lingkungan sekitarnya terutama Sungai Bila dan permukiman sekitarnya.

-          Bergabung dengan kawasan permukiman dan lokasi bumi perkemahan pramuka.

-          Menciptakan pembiayaan operasional yang tinggi.

Matriks hasil wawancara dengan masyarakat di Kota Enrekang, sbb;

Tabel 2 Matriks Hasil Wawancara dengan Masyarakat Kabupaten Enrekang

No. Persepsi Masyarakat

Jawaban responden

Jumlah %

1 Reatif Jauh dari Kota Enrekang

45 75,0

Page 8: Gtl

  Tidak setuju karena ekses  rendah

41 63,3

2 Mencemari Lingkungan Sekitarnya

57 95,0

3 Berdekatan dengan kawasan permukiman dan Bumi Perkemahan Pramuka

39 65,0

4 Menciptakan Biaya Operasional Yg Tinggi

32 53,3

B.   Tinjauan TPA Terhadap Kualitas Air Lingkungan

Untuk menilai air yang bersih, tidak hanya ditetapkan pada kemurnian saja, tetapi juga didasarkan pada keadaan normalnya. Apabila terjadi penyimpangan dari keadaan normal berarti air tersebut telah mengalami pencemaran. Keadaan normal tersebut tergantung dari kegunaan & asal sumber air.

Dalam penilaian kualitas air di kawasan TPA sampah dan sekitarnya di Kabupaten Enrekang ini, beberapa indikator air lingkungan yang diamati perubahan-perubahannya meliputi; (i) Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5) dan (ii) Kandungan Bakteri E. Coli. Dalam pengamatan tersebut, diambil 24 sampel pada titik-titik sampel yang dianggap sebagai tempat-tempat rembesan air lindi dengan pertimbangan kondisi topografi, geologi dan jarak. Lebih jelasnya titik-titik pengambilan sampel, dapat dilihat pada gambar berikut.

Berdasarkan hasil pengujian sampel air pada 24 titik sampel yang dilakukan di Laburatorium Kimia Fakultas Teknik Universitas “45” Makassar, maka diketahui kondisi air lingkungan di TPA sampah Kabupaten Enrekang dan sekitarnya, sebagaimana pada tabel berikut;

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diuraikan kondisi dan kualitas  air di TPA sampah dan sekitarnya, sebagai berikut;

Tabel 3. Karakteristik Sampel Air di Kawasan TPA Kabupaten Enrekang

No. Kode

Jarak

(m)

BOD5

(mg/l)

Bakteri E-Coli

(MPN/100 ml

1 S1 0 327,60 77 X 102

2 S2 0 323,50 78 X 102

3 S3 5 242,20 62 X 102

4 S4 10 137,30 59 X 102

5 S5 22 112,80 59 X 102

6 S6 24 112,70 61 X 102

7 S7 30 110,20 57 X 102

8 S8 55 98,50 51 X 102

9 S9 67 52,30 46 X 102

10 S10 60 96,00 47 X 102

11 S11 80 96,00 42 X 102

12 S12 94 48,20 42 X 102

13 S13 88 47,00 27 X 102

Page 9: Gtl

14 S14 86 38,80 21 X 102

15 S15 90 38,80 77 X 102

16 S16 105 38,50 81 X 102

17 S17 120 33,10 82 X 102

18 S18 125 36,10 81 X 102

19 S19 100 27,80 95 X 102

20 S20 200 19,40 41 X 102

21 S21 200 19,10 96 X 102

22 S22 165 20,30 75 X 102

23 S23 126 19,50 99 X 102

24 S24 150 18,90 97 X 102

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Fakultas Teknik  Univ. “45” Makassar

1. 1.    Penilaian BOD5

Hasil pengujian kandungan BOD5 dalam air pada lokasi TPA sampah dan sekitarnya pada jarak antara 0-150 m menunjukkan bahwa kandungan BOD5 pada titik pengambilan sampel S1dan S13 menunjukan kandungan BOD5 berada di atas ambang batas. Kandungan BOD5 yang relatif cukup tinggi terutama terjadi pada sampel S1 dan S2 yaitu masing-masing 327,60 mg/l dan 323,50 mg/l. Pengambil sampel tersebut dilakukan dalam lokasi TPA sampah. Sementara itu, pada sampel S3 sampai dengan S7 cenderung menurun, tetapi masih dalam kategori cukup tinggi yaitu di atas 100 Mg/L. Selanjut dari  titik sampel S8 sampai dengan S13 kandungan BOD5 masih pada ambang batas yang tidak diperbolehkan, tetapi menunjukan penurunan yang relatif linier, bahkan pada sampel S9 terjadi penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 98,50 mg/l pada S8 turun menjadi 52,30 mg/l pada S9.

Penurunan kandungan BOD5  yang cukup drastis pada sampel S9 disebabkan oleh kondisi lahan pada daerah tersebut merupakan lokasi pembuatan batu cipping yang telah dilengkapi saluran drainase di sekelilingnya serta sudah mengalami pemadatan yang maksimal, sehingga sulit terjadi perembesan air lindih pada lokasi tersebut.

Selanjutnya pada S10 kembali terjadi kenaikan BOD5  dari 52,30 mg/l pada S9 menjadi 96,00 mg/l pada S 10. Kemudian dari sampel 10, sampel S11 sampai pada sampel terakhir 24 (S24)  terus mengalami penurunan. Penurunan kandungan BOD5 sampai mencapai titik di bawah ambang batas terjadi pada sampel S14 (kandungan BOD5 =38,80 mg/l) sampai pada S24 (kandungan BOD5 = 18,90 mg/l). 

Diagram hubungan kandungan BOD5 terhadap jarak diperlihatkan pada gambar berikut.

Grs. ambang batas diperbolehkan 

 

Gambar 2. Diagram Hubungan kandungan BOD5 air terhadap jarak.

Gambar diagram tersebut di atas menunjukkan sebaran pencemaran air yang cenderung linier pada kawasan TPA kecuali pada titik sampel 9 (S9) mengalami penurunan kandungan BOD5 yang relatif drastik.

Page 10: Gtl

Tingginya kandungan BOD5 di sekitar lokasi TPA tersebut merupakan konsekwensi dari belum adanya pengolahan sampah yang baik di TPA tersebut, misalnya tidak adanya drainase dan kolam oksidasi yang memadai pada kawasan tersebut, sehingga terbentuk genangan-genangan air lindih dan selanjutnya meresap ke dalam tanah.

Berdasarkan pola sebaran BOD5 dalam air di sekitar TPA,  menunjukan bahwa kondisi topografi dan jarak turut mempengaruhi sebaran pencemaran air di sekitar lokasi TPA.

1. 2.    Penilaian Bakteri  E-Coli

Berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan, pengendalian Pencemaran Air, Udara, Penetapan Baku Mutu Limbah Cair, Baku Mutu Udara Ambien dan Emisi serta Baku Mutu Tingkat Gangguan Kegiatan yang Beroperasi di Propinsi Sulawesi Selatan, dalam penelitian ini akan digunakan parameter kualitas air kategori A yaitu parameter kualitas air pada kawasan permukiman dengan ukuran 16-200 Ha dengan kadar maksimal BOD5  adalah 50×102mg/l.

Hasil pengujian kandungan Bakteri E. Coli pada lokasi TPA pada jarak 0-150 m menunjukan pola sebaran relatif berfluktuasi. Pada titik sampel antara S1 (dalam lokasi TPA) – S18 (jarak 86 meter ke arah utara) kandungan Bakteri E. Coli relatif menurun secara linier. Diantara sampel tersebut, kandungan Bakteri E. Coli di atas ambang batas terjadi pada sampel S1 sampai dengan sampel S8, sedangkan sampel S9 sampai dengan sampel S14 kandungan Bakteri E. Coli Berada di bawah ambang batas. Namun demikian, pada sampel S15 (jarak 90 meter) – S24 (jarak 150 m) terjadi peningkatan kandungan Bakteri E. Coli yang cukup signifikan kecuali pada sampel S20 terjadi penurunan di bawah ambang batas. Peningkatan terutama terjadi pada sampel air di daerah permukiman khususnya pada sumur-sumur penduduk. Sedangkan penurunan secara drastis terjadi pada sampel S20 disebabkan karena lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di seberang jalan (jalan tersebut membatasi titik sampel dengan perumahan dan TPA), sehingga pemadatan tanah oleh jalan menyulitkan perembesan ke titik sampel tersebut.

Pola sebaran Bakteri E. Coli tersebut di atas, menunjukan bahwa lokasi TPA berpengaruh terhadap kandungan bakteri E. Coli dalam air. Semakin jauh air dari lokasi TPA semakin kecil kandungan Bakteri E. Coli. Selain dari pengaruh jarak terhadap kandungan Bakteri E. Coli dalam air tersebut, kondisi topografi dan geologi lokasi penelitian turut berpengaruh terhadap sebaran Bakteri E. Coli dalam air di lokasi tersebut. Jenis batuan konglomerat yang terdapat pada lokasi penelitian memiliki porositas yang tinggi dalam menyebarkan cairan lindi yang mengandung Bakteri E. Coli bersumber dari TPA sampah tersebut. Demikian pula kondisi topografi yang relatif bergelombang menjadikan pola sebaran Bakteri E. Coli cenderung berfluktuasi.

Sementara itu, kandungan Bakteri E. Coli yang cenderungan meningkat pada sampel S15 sampai S24 (kecuali sampel S20), disebabkan oleh aktifitas masyarakat yang bermukiman di sekitar TPA tersebut seperti kondisi saluran air kotor rumah tangga dan jamban keluarga yang belum di desain dengan baik sehingga dengan mudah terjadi rembesan ke sumur-sumur penduduk dan air lingkungan di kawasan tersebut. Diagram sebaran Bakteri E. Coli diperlihatkan pada gambar berikut.

Grs. ambang batas diperbolehkan 

 

Gambar 3. Diagram hub. kandungan Bakteri E. Coli dalam air terhadap jarak.

Page 11: Gtl

V.  PENUTUP

Page 12: Gtl

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui karakteristik fisik lokasi TPA sampah Kabupaten Enrekang, sebagai berikut;

1. Struktur geologi TPA sampah Kabupaten Enrekang merupakan batuan konglomerat searah dengan kemiringan lahan, memudahkan rembesan lindih ke arah barat kawasan permukiman.

2. Kondisi topografi pada lokasi TPA  relatif bervariasi membentuk kemiringan yang relatif terjal ke arah barat sampai ke Sungai Mila, mempercepat rembesan air lindih sampai kawasan permukiman sekitar Sungai Bila.

2. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi TPA sampah yang ada di Batu Mila tidak sesuai ditinjau dari aspek penataan ruang.

3. Berdasarkan indikator BOD dan Bakteri E. Coli, menunjukan bahwa TPA sampah Kabupaten Enrekang telah mencemari air lingkungan di sekitarnya dampai radius 150 meter 

4. Agar dilakukan studi lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang.5. Sebaiknya lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang tidak terpusat pada satu kawasan

saja, tetapi terdistribusi berdasarkan kondisi geografis dan tipologi kota di Kabupaten Enrekang .

6. Agar Masyarakat dan Pemda Kabupaten Enrekang memulai program pengomposan sampah organik dalam mendukung dan menciptakan program Sistem Pertanian Organik (Organic Farming) baik dalam skala individual maupun dalam skala Komunal (kelompok).

 

Page 13: Gtl
Page 14: Gtl

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang. Bappeda Kabupaten Enrekang.

Alswar, J.R.L. 1988. Pengantar Ilmu Gunungapi. Nova, Bandung.

Arifin F. 2001. Tinjauan Geohidrologi Sebagai Salah Satu Pertimbangan Dalam Pemilihan Lokasi TPA Sampah (Studi Kasus TPA Sampah Tamangapa Makassar). Tesis tidak  diterbitkan. Prorgam Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

A Warld Health Organitation Expert Committee. 1989. Enviromental Sanitary. Proc. Nat. Sym Therm. Poll. Vanderbilt University Press, Nashville, Tenn.

Azikin, S. 1980.  Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Azwar. A. 1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya,  Jakarta.

Budihardjo. E. 1999. Kota Berkelanjutan. Alumni, Bandung.

Damanhuri E. 1990. Penelitian Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dan Pengelolaan Sampah Tepat Guna. Bandung.

Hidartan dan Handayana, 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis Untuk Studi Geologi, Proceding Volume II. Pertemuan Ilmiah Tahunan XXIII Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung.

Lahee, F.H. 1997. Field Geology. Sixth Edition, McGraw-Hill Book Company Inc. Kogakhusa Company, Ltd, New York, Toronto, London and Tokyo.

Madelan. 1997. Sistem Pengelolaan Sampah. Instalasi Penerbitan PAM-SKL, Ujungpandang.

Mustofa,H.A. 2000. Kamus Lingkungan. Rineka Cipta, Solo. 

Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.

Ryadi, W. 1986. Pedoman Teknis Pengelolaan Persampahan. Direktorat  Penyehatan Lingkungan Permukiman, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta.

Ruslan H.P. (1988). Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana, Semarang.

Slamet R., 1984. Pencemaran Air. Karya Anda, Surabaya.

Soemarwoto, O. (1989). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Djambatan, Bandung. 

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito Edisi ke-6, Bandung.

Sulawesi II Urban Development Project Pekerjaan Umum. 1999/2000.Prosedur Pengoperasian Standar TPA Sampah., Departemen Pekerjaan Umum, Ujungpadang.

Page 15: Gtl

Tri C.S. 1998. Penelitian Secara Cepat Pencemaran Air, Tanah, dan Udara. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Unaradjan, U. 2000. Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial. PT. Grasindo, Jakarta.

Vehoef, P.N.W. 1989. Geologi Untuk Teknik Sipil. Erlangga, Jakarta.

Wardhana W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta.

Yayasan LPMB. 1991. Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

Yuliana.2001. Studi Pengelolaan Sampah di Kabupaten Enrekang Ditinjau Dari Aspek Pewadahan dan Pengangkutan. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Planologi Universitas 45, Makassar.