herpes simplex
DESCRIPTION
ffffTRANSCRIPT
HERPES ZOSTER
I. PENDAHULUAN
Infeksi virus Herpes simplex merupakan penyakit menular seksual yang
paling sering terjadi di dunia. Virus Herpes Simplex Tipe 2 ( HSV-2) adalah
penyebab herpes genital dan hamper kesemuanya menular secara
seksual.Virus Herpes Simples Tipe 1 (HSV-1) menular from childhood dan
tidak menular secara seksual. However, Virus Herpes Simples Tipe 1 (HSV-1)
telah menjadi agen penyebab utama herpes genital di negara-negara maju.
Journal
Manifestasi utama virus herpes ini adalah infeksi mukocutaneus dengan
HSV Tipe 1 sering terkait dengan penyakit orofacial manakala HSV-2 sering
terkait dengan infeksi perigenital.fitz
Di Amerika Serikat agen penyebab utama herpes genital adalah virus
Herpes Simplex Tipe 1 (HSV-1) dan semakin menular di kalangan mahasiswa
universitas. herpevarisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi
ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi sebagai reaktivasi virus varisela zoster
yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian
menetap di ganglion spinalis posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada
1 | P a g e
orang dewasa, terutama orang tua dan individu yang mengalami imunitas
tubuh yang kurang. Adapun faktor penting yang mempengaruhi penyakit ini
adalah Umur,obat imunosupresif, limfoma, kelelahan, gangguan emosional,
danterapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti juga dapat terlibat
dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian perjalanan kembali
kesaraf sensorik dan menginfeksi. (1,5)
Varisella-zoster virus (VZV) saat pertama kali menyerang kulit dan
mukosa manusia sebagai suatu infeksi akut primer akan memberikan
gambaran berupa ruam vesikuler yang simetris bilateral pada sebagian besar
bagian tubuh terutama dibagian sentral tubuh, disertai rasa gatal, dengan
penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak. Setelah
virus ini menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus
mengalami reaktivasi dan menyebabkan penyakit herpes zoster dengan
gambaran berupa ruam vesikuler yang berbatas pada satu dermatom disertai
dengan keluhan nyeri.Pemberian antivirus secara dini sangat penting, karena
mampu meminimalisir resiko komplikasi berat akibat penyakit herpes zoster. (1,5)
II. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster merupakan reaktifasi varisela laten dan berkembang
sekitar 20% pada orang dewasa dan 50% pada orang yang mengalami
penurunan system imun, namun banyak laporan kasus yang menunjukkan
bahwa herpes zoster juga dapat terjadi pada remaja bahkan pada anak-ana. .(1)
Pada anak-anak denganherpes zoster yang tidak memiliki riwayat cacar
air, kemungkinan mereka telah memperoleh penyakit cacar air sebelumnya
2 | P a g e
melalui transplasenta. Pada individu dengan imunitas menurun,herpes zoster
mungkin cukup parah dan dapat memiliki gambaran klinis yang tidak
biasa,misalnya persisten, crusted, lesi verukosa pada pasien AIDS, atau
hiperhidrosis pasca herpetik. Penyakit kulit diseminata(didefinisikan sebagai
lebih dari 20 vesikel diluar area dermatom primer atau berdekatan) dan atau
keterlibatan viseral terjadi pada sekitar 10% dari orang yang memiliki
imunitas menurun.(2,5)
III. ETIOLOGI
VZV adalah anggota keluarga virus herpes. 23 spesies lainnya patogen
bagi manusia termasuk HSV-l dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr,
human herpes virus-6 (HHV-6) dan HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan
sarkoma Kaposi yang terkait virus herpes yang disebut HHV-8.Virus varisella
zoster ini mengandung kapsid yang berbentuk isokahedral dikelilingi dengan
amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom ini mengandung
molekul linear dari double-stranded DNA.Diameternya 150-200 nm dan
memiliki berat molekul sekitar 80 million. Meskipun virus ini memiliki
kesamaan structural dan fungsional dengan virus herpes simpleks, namun
keduanya memiliki perbedaan dalam representasi, ekspresi, dan pengaturan
gen, sehingga keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan gen.(1,10)
Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang
disebut sebagai Virus varicella-zoster .Varisela merupakan infeksi
primerdengan tahap viremik setelah virus menetap di dalam sel saraf ganglion
sensoris yang menular pada paparan awal dan biasanya terjadi pada anak-
anak. Sedangkan virus herpes zoster adalah reaktivasi dari sisa virus laten.
3 | P a g e
Virus ini memasuki host melalui sistem pernapasan (nasofaring) infiltrat pada
sistem retikuloendotelial dan akhirnya masuk kedalam aliran darah. Bukti
viremia bermanifestasi sebagai lesi pada tubuh yang menyebar.(1)
IV. PATOGENESIS
Patogenesis herpes zoster pada umumnya belum diketahui. Pada
awalnya virus mencapai ganglion diduga dengan cara hematogenik, transport
neural retrograde atau keduanya, menjadi laten pada sel ganglion. Virus ini
berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi ganglion kranialis. Kadang-
kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranial
sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik.(7,8)
Selama infeksi varisela primer, virus di dalam darah akan bereplikasi
dalam kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia sekunder
berkembang setelah siklus kedua replikasi virus dihati, limpa, dan organ lain.
Perjalanan virus ke epidermis yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar
14-16 hari. Setelah paparan VZV kemudian perjalanan dari lesi kulit dan
mukosa untuk menyerang akar ganglion dorsalis dimana virus tersebut masih
dapat teraktivasi dikemudian hari.(7,8)
Pada keadaan reaktivasi, gen translasi dan trsnkripsi mampu mencapai
DNA virus di nucleus sel dan mengaktifkan replikasi virus serta memproduksi
virus yang infeksius.Virus tersebut kemudian keluar dari ganglion dan
menginfeksi sel epitel disekitarnya dan membentuk lesi herpes
zoster.Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan
daerah persarafan ganglion tersebut.Herpes zoster menstimulasi system imun
yang mampu mencegah reaktifasi pada ganglion lainnya serta reaktivasi klinis
4 | P a g e
berikutnya. Oleh karena itu herpes zoster umumnya hanya menyerang satu
atau sejumlah kecil ganglion serta hanya sekali muncul seumur hidup.(8,10)
Penyebab reaktivasi tidak diketahui secara pasti tetapi insideni herpes
zoster berhubungan erat dengan menurunnya imunitas terhadap VZV. Herpes
zoster juga dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh stress,
demam, terapi radiasi, kerusakan jaringan (misalnya trauma). Selama herpes
zoster virus terus berepikasi pada akar ganglion dorsalis yang terkena akan
menyebabkan nyeri ganglionistis. Peradangan dan nekrosis saraf dapat
mengakibatkan neuralgia berat yang dapat menyebabkan virus menyebar ke
saraf sensoris.(2)
Infeksi virus VZV memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes
zoster.Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada
pasien HIV dengan jumlah CD4 yang menurun, dibandingkan dengan orang
normal.Latensi adalah tanda utama virus varisela zoster yang tidak diragukan
lagi peranannya dalam patogenisitas. Sifat latensi ini menandakan virus dapat
bertahan seumur hidup di host dan pada suatu saat akan masuk dalam fase
reaktivasi yang mampu menjadi media transmisi penularan kepada seorang
yang rentan.(1,8)
V. GEJALA KLINIS
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase
eruptif akut dan fase kronis (neuralgia post herpetik).(2,5)
i. Fase pre-eruptif atau preherpetik neuralgia
5 | P a g e
Gejala prodomal yang timbul ialah rasa terbakar, gatal dan nyeri yang
terlokalisir mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5
hari berikutnya. Tanda-tanda prediktif pada herpes zoster ialah adanya
hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang lunak sejajar dengan
dermatom.Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang terjadi
beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa
terjadi pada pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda
apabila erupsi mulai muncul .Gejala prodromal mungkin tidak didapatkan
pada anak-anak. (5)
ii. Fase eruptif
Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus
kemudian makulopapular muncul secara dermatomal.Lesikulit yang sering
dijumpai adalah vesikel herpetiformis berkelompok dengan distribusi
segmental unilateral.Kemudian, vesikel-vesikel ini terumblikasi dan rupture
sebelum menjadi krusta yang terjadi dalam waktu 2 hingga 3 minggu. Dalam
12-24 jam tampak lesi jernih, biasanya timbul di tengah plake ritematosa,
dalam masa 2-4 hari vesikel bersatu, setelah 72 jam akan terbentuk pustul.
Vesikel baru akan tumbuh terus dan berlangsung selama 1-7 hari. Biasanya
pada penderita lansia dan memiliki daya imunitas lemah, masa perbaikan lebih
lama dan erupsinya lebih luas, vesikel hemoragik, ada nekrosis kulit, infeksi
sekunder bakteri atau skar yang biasa berubah menjadi keloid dan hipertrofik. (1,5)
Erupsi pada kulit boleh terjadi pada satu atau dua dermatom yang
berdekatan.Kadang-kadang, beberapa vesikel muncul di garis tengah dan
6 | P a g e
erupsi pada dermatom jarang terjadi simestris bilateral atau asimetris.
Sebanyak 50% penderita dengan uncomplicated zosterterjadi viremia dengan
gambaran 20 hingga 30 vesikel tersebar dipermukaan kulit dan diluar
dermatom.(4,7)
Bagian sering terkena adalah dada (55%), kranial (20% dengan
keterlibatan N.Trigeminal), lumbal (15%) dan sakral (5%). Erupsi yang
sedikit dapat mencapai keseluruhan dermatom.(4,7)
Pada kondisi parah, rasa nyeri dapat didiagnosis salah yaitu sebagai
infark miokard, pleuritis. Kadang rasa nyeri tidak diikuti oleh erupsi kulit
herpes zoster dan manifestasi klinis ini dikenal sebagai “zoster sine
herpete”(yaitu zoster tanpa ruam). Dalam beberapa kasus, wajah, leher, kulit
kepala atau ekstremitas mungkin terlibat.(2)
Gambar 1.papuleritematosa(2) Gambar 2 .Vesikel(1)
7 | P a g e
Gambar 3. Jaringan Nekrotik (1)
iii. Fase kronis atau fase neuralgia post herpetik
Fase ini ditandai dengan adanya nyeri menetap setelah semua lesi
menjadi krusta atau setelah infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung
selama sebulan.Keterlibatan N.Trigeminal sering terjadi pada penderita
berumur diatas 40 tahun.Nyerinya dapat di bagi menjadi 2 tipe yaitu rasa
terbakar terus menerus dengan hyperaesthesia dan tipe shooting
spasmodic.Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan
disebabkan oleh simptom stress.(3)
Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan
intensitasnya tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan
anterior horn cells. Nyeri abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi
yang disebabkan keterlibatan viseral. Beberapa sindrom yang disebabkan oleh
Herpes Zoster, yaitu:
a. Keterlibatan motorik
Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan
melibatkan nervus spinalis.Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan
motorik. Biasanya mengikuti dermatom yang disebabkan oleh virus dan bias
8 | P a g e
juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda. Herpes zoster pada
anogenital bisa menyebabkan adanya gangguan defekasi dan urinasi.(3)
b. Herpes zoster trigeminal
Pada kasus herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak
dua pertiga kasus terjadi pada bagian mata, jika ada vesikel pada hidung akan
melibatkan N.nasosiliar (hutchinson’s sign). Komplikasi yang terjadi pada
okularadalah uveitis, keratitis, konjunctivitis, edema konjunctiva (chemosis),
palsy ototokular, proptosis, skleritis, oklusi vaskular pada retina dan ulkus,
skar dan bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan ganglia siliaris
dapat menyebabkanArgyll-Robertson pupil.Jika terjadi pada bagian maksilaris
terdapa vesikel pada uvula dan tonsil.Vesikel pada lidah, basal mulut dan
mukosa buccal menunjukkan adanya keterlibatan divisi mandibularis.Pada
Zoster orofasial, sakit gigi adalah petandanya.(3)
Gambar 4. Herpes Zoster oftalmikus (5,9)
c. Herpes zoster otikus
N. fasialis merupakan saraf yang utama berjalan dengan fiber-
fibersensoris vestigial pada telinga bagian eksternal (pinna dan meatus) dan
9 | P a g e
fossa tonsilaris. Biasa menyebabkan rasa nyeri dan vesikel biasanya terdapat
pada daerah meatus auditorius eksterna saja, jarang melibatkan bagian lebih
yang dalam. Adapun faktor tertekannya N.fasialis merupakan salah satu factor
terjadinya facial palsy disertai dengan nyeri pada telinga dan yang berkaitan
dengan sindroma Ramsay-Hunt. Tertekannnya N.vestibulokoklearis
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural, vertigo dan keterlibatan
N.intermedius mengakibatkan gangguan pengecapan padadua pertiga lidah
dan mengubah system lakrimasi.(3)
Gambar 5.Bell’s Palsy.(4)
d. Sindroma Ramsay-Hunt
Sindrom ini adalah akibat dari gangguan N.fasialis dan otikus, sehingga
memberikan gejala paralisis otot muka (bell’s palsy), kelainan kulit sesuai
dengan perjalanan saraf, tinnitus, vertigo, gangguan p endengaran, nistagmus
dan nausea,juga gangguan pengecapan.(3,14)
e. Reaktivasi VZV pada penderita dengan system imun yang rendah
(immunocompromised).
Herpes zoster pada penderita immunokompromais dapat mengakibatkan
keterlibatan organ dalam.Organ yang biasa terkena adalah paru, lambung, hati,
10 | P a g e
otak dan terjadi Disseminated Intravascular Coagulopathy.Lesi kulit yang
atipik, hiperkeratotik, verukosa,dan ektima sering dijmpai pada pasien AIDS.(5)
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Herpes zoster dapat didiagnosa secara klinis berdasarkan lesi kulit yang
terlibat pada kebanyakan kasus.Namun, pada keadaan khusus memerlukan
pemeriksaan laboratorium seperti:
a. Tes Smear Tzank
Hapusan lesi ditempatkan pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa.
Jika hapusan positif akan menunjukan sel keratinosit yang berinti balon dan
selmultinuklear raksasa. Tes ini cepat dan murah.(2,3,4)
Gambar 6. Tzank Smear.(5)
b. Biopsi
Biopsi dari lesi herpes zoster menunjukkan gambaran patonogmonik,
tetapi biasanya dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi
11 | P a g e
lesi atipikal. Biopsi tidak dapat membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2
juga terhadap lesi secara diagnosis klinis.(9)
Secara histopatologis terlihat peradangan nekrosis ganglion, kadangkala
terlihat perdarahan ganglia, Pada masa vesikulasi dapat ditemukan virus di
vesikel epidermis dan vaskulitis di lapisan dermis. Lima tanda spesifik secara
histopatologis yaitu vesikel di intraepidermal, degenarasi balon, degenerasi
retikuler, sel raksasa berinti banyak dan badan inklusi eosinofil intranukleus
yang sering disebut Lipschutz bodies.(9)
Gambar 7. Gambaran Biopsi. (5)
c. Polymerase Chain Reaction
Tes PCR dilakukan dari spesimen yang menunjukkan sensitivitas 97%
dimana tes ini lebih baik daripada kultur. PCR memberikan hasil yang cepat
dan dapat membedakan HZV dan HSV-1 dan HSV-2. Dengan PCR, HCZ dan
HSV dapat dibedakan dalam waktu 6 jam.(9)
d. Kultur virus
Kultur virus dapat dilakukan dengan biakan dari cairan vesikel, darah,
cairan serebrospinalis, jaringan yang terinfeksi atau melalui identifikasi
12 | P a g e
langsung antigen VZV atau asam nukleat pada spesimen.Pengambilan virus
yang infeksius dapat juga merupakan cara yang dipakai untuk analisa
berikutnya misalnya uji sensitivitas obat antivirus. Kultur harus dilakukan
pada saat lesi berupa vesikel agar didapatkan sel hidup dan virus akan segera
rusak jika lesi telah menjadi pustular. Pada keadaan imun rendah, VZV dapat
bertahan sampai seminggu. Meskipun kultur sangat spesifik tetapi masih
memiliki sensitivitas yang rendah dan pada gejala klinis yang khas kultur
dapat dilakukan dan biasanya Tes Tzank sudah boleh mengkonfirmasi Herpes
zoster.(8,9)
e. Tes serologik
Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisela dan herpes
zoster dan untuk membandingkan stadium akut dan konvalesen.Tes ini juga
dapat mengidentifikasi dan mengisolasi individu yang diduga mengalami
herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan.Teknik yang
paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked immunoabsorbent
assay.Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas
terhadap orang yang memiliki antibodi herpes zoster dan menunujukkan hasil
positif palsu pada orang tersebut.(1)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Herpes Zoster dapat di tegakkan dengan gejala klinis dan
pemeriksaan tes penunjang yang di anjurkan seperti di atas.
13 | P a g e
VIII. DIAGNOSIS BANDING
a. Herpes Simpleks
Herpes zoster dapat muncul di daerah genital sehingga harus
didiagnosis banding dengan herpes simpleks.Sering ditemukan gejala
prodromal local sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, nyeri, dan gatal.(8,12)
Gambar 11. Lesi pada penderita herpes simpleks (4)
b. Dermatitis kontak
Herpes zoster juga bisa di diagnosa dengan dermatitis kontak
alergi.Pada dermatitis kontak alergi, penderita umumnya mengeluh gatal.Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudiannya diikuiti oleh edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi atau eksudasi. Pada yang
14 | P a g e
kronik terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga
fisur, dan batasnya tidak jelas.(7)
Gambar 1 .Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi.(1)
c. Gigitan serangga
Her pes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai
contoh, penyakit kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki oleh
herpes zoster. Lesi dermatitis marin ini sering didapatkan sesudah mandi di
laut. Lesi mula timbul dalam waktu 4 hingga 24 jam selepas terpapar dengan
air laut dengan gejala seperti eritema, papula, macula dan urtikaria yang
disertai dengan rasa nyeri dan sensasi panas. Lesi akan berlanjutan menjadi
vesikulopapul yang akan pecah menjadi krusta, seterusnya akan sembuh
dalam jangka waktu 7 smpai 10 hari. Dermatitis marin ini juga turut disertai
dengan gejala sistemik seperti sub-febril, menggigil serta mual, muntah, nyeri
kepala, spasma otot, dan malaise.(1)
15 | P a g e
Gambar 13.lesi pada penderita dermatitis marin. (1)
IX. PENATALAKSANAAN
1. Terapi topical
Pada herpes zoster fasa akut, aplikasi kompresi dingin, losen calamine,
tepung jagung, atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan
mempercepat pengeringan pada lesi vesikuler.Salep yang oklusif, krem, atau
losen yang mengadungi glukokortikoid tidak boleh diaplikasikan pada lesi
herpes zoster. Lidocaine patch 10 cm x 14 cm mengandungi 5% basa
lidocaine, adhesive, dan bahan-bahan lain. Selain mudah digunakan, tidak
disertai dengan efek toksisitas sistemik. Pemberian lidocaine patch bisa
mencapai maksimal 3 kali sehari pada bagian yang terkena lesi herpes selama
12 jam sehari. (1)
2. Antivirus
Tujuan utama terapi herpes zoster adalh (1) mengurangkan ekstensi,
durasi, dan severitas nyeri dan ruam pada dermatom primer; (2) megelakkan
16 | P a g e
terjadinya penyakit di bagian tubuh yang lain; (3) mengelakkan dari terjadinya
post-herpetic neuralgia.Asiklovir yang diperkenalkan pada awal 1980, saat ini
menjadi standard pengobatan untuk herpes zoster dewasa.setelah itu
dikembangkan pengobatan generasi kedua yang memperbaiki faramakokinetik
dan farmakodinamik yaitu famsiklovir dan valasiklovir. Ketiga pengobatan ini
tentunya memperbaiki penyembuhan kulit, yang slenajutnya berdampak baik
terhadap nyeri herpes zozter, yang disebut juga zoster associated pain. Nyeri
ini bersifat akut dan kronis, walaupun tidak ada satu obatpun yang bisa
mengurangi nyeri pasca herpes zoster yang menetap. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, sifat lipofilik harus ditingkatkan, sehingga obat ideal
mampu mengeradikasi replikasi awal virus pada ganglia basalis.(1,7)
Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (800 mg 5 kali
sehari selama 7 hari), famsiklovir (500 mg setiap per 8 jam untuk 7 hari), dan
valasiklovir (1 g 3 kali sehari selama 7 hari) mampu mempercepat proses
penyembuhan lesi dan durasi serta severitas nyeri akut yang dialami oleh
pasien herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50 tahun) yang dirawat
dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. Pasien
dengan umur lebih dari 50 tahun dan disertai dengan lesi herpes zoster pada
bagian oftalmikus pula diberikan pengobatan seperti berikut, asiklovir (800mg
peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari), atau valasiklovir (1g peroral
setiap per 8 jam selama 7 hari) atau famsiklovir (500mg peroral setiap per 8
jam selama 7 hari). Pengobatan ini diberikan pada pasien yang dirawat dalam
jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit.(1)
17 | P a g e
Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang ringan atau pasien
HIV, diberikan asiklovir (800 mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7-10
hari) atau valasiklovir atau famsiklovir. Pada pasien dengan penurunan tingkat
imunitas yang berat, diberikan asiklovir (10 mg/kg secara intravena setiap per
8 jam selama 7-10 hari).(1)
Asiklovir, famsiklover, dan valasiklovir adalah analog nukleosida yang
menghambat replikasi virus herpes, termasuk VZV. Bila diberikan secara oral,
obat ini mngurangi durasi pelepasan virus, mempercepat, mengurangi
keparahan dan rasa nyeri yang akut serta mengurangi resiko untuk menjadi
post-herpetic neuralgia. (13)
3. Kortikosteroid
Tingkat nyeri hebat yang tinggi merupakan factor yang dapat
menyebabkan terjadinya post herpetic neuralgia dan nyeri akut juga
menyebabkan sensitisasi sentral serta genesis untuk terjadinya nyeri yang
kronik. Oleh sebab itu nyeri pada herpes zoster harus dikontrol secara
agresif.Tingkat nyeri hebat ditentukan dengan menggunakan skala nyeri yang
standar dan mudah. Analgetik yang diberikan adalah analgetik yang opioid
dan non-opioid dengan tujuan untuk membatasi nyeri di bawah skala 3 atau 4
dari skala 0 smpai 10 serta tidak mengganggu siklus tidur pasien. Pilihan
pengobatan, dosis, dan waktu pemberian analgetik adalah berdasarkan
tingkatan nyeri, penyakit yang menyertai dan respon terhadap obat.Apabila
nyeri masih tidak berkurang, anastesi regional atau lokal bisa dilakukan untuk
mengontrol nyeri akut. (1)
18 | P a g e
Prednison memiliki manfaat dalam mereduksi nyeri dalam waktu
jangka pendek tetapi menghilang dalam waktu jangka panjang. Prednison
menigkatkan jumlah pasien yang sembuh dari nyeri herpes pada bulan
pertama (resiko relatif 2.28), dan tidak didasari dengan pemberian asiklovir
atau tidak.Asiklovir dan prednison memberikan efek yang signifikan terhadap
pasien agar kembali beraktifitas seperti biasa.Kortikosteroid dapat segera
diberikan pada pasien dengan nyeri sedang hingga berat setelah diagnosa
ditegakkan.Pasien dengan kontraindikasi pemberian kortikosteroid seperti
hipertensi, diabetes, gastritis, osteoporosis, dan psikosis harus dievaluasi
dengan teliti.Terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan kombinasi obat
antiviral.(15)
Adapun kortikosteroid yang bisa diberikan adalah sebagai berikut:(15)
Analgesik opiod (oxycodone) diberikan dengan dosis permulaan 5 mg
setiap 4 jam dan diberikan apabila diperlukan. Dosis bisa ditambahkan
5 mg sebanyak 4 kali sehari setiap 2 hari.
Tramadol diberikan dengan dosis permulaan 50 mg sebanyak sekali
atau dia kali per hari. Dosis bisa ditambahkan 50 mg hingga 100 mg
setiap hari dalam dosis yang terbagi pada setiap 2 hari.
Gabapentin diberikan sebanyak 300 mg setiap kali sebelum tidur malam
hari atau 100 mg atau 300 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis bisa
ditambahkan 100 mg hingga 300 mg 3 kali sehari setiap 2 hari.
Pregabalin diberikan dengan dosis permulaan sebanyak 75 mg pada
waktu sebelum tidur atau dua kali sehari. Dosis bisa ditambahkan
sebanyak 75 mg 2 kali sehari setiap setiap 3 hari.
19 | P a g e
Antidepresi trisiklik (terutamanya nortryptilin) diberikan dengan dosis
permulaan sebanyak 25 mg pada waktu sebelum tidur. Dosis bisa
ditambah sebanyak 25 mg setiap hari setiap 2 atau 3 hari.
Kortikosteroid oral (Prednison) diberikan dengan dosis permulaan 60
mg setiap hari selama 7 hari. Selepas pemberian 60 mg setiap hari
selama 7 hari, dosis siturunkan sehingga 30 mg setiap hari selama 7
hari, kemudia diturunkan lagi sehingga 15 mg selama 7 hari. Setelah
itu pengobatan dihentikan.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi herpes zoster tergantung dari lokasi kerusakan saraf
sensorik atau motorik atau invasi virusnya sendiri, mungkin juga karena
terjadi vaskulopati.
Komplikasi yang lain dari herpes zoster adalah gangguan N.Trigeminus
cabang pertama ganglion trigeminalis, vaskular di otak, nukleur sensorik, dan
meninges. Komplikasi ke mata akan timbul apabila terjadinya invasi virus,
peradangan, reaksi granulomatosis, iskemia atau proses autoimun. Gangguan
pada mata antara lainnya berupa konjungtivitis, ptosis paralitik, keratitis
epitalia, skleritis, iridosiklitis, uveitis, dan glaukoma. Sedangkan pada kulit
sendiri juga dapat timbul komplikasi antara lain parut (scar), keloid, dermatitis
granulomatosis, vaskulitis granulomatosis, komedo. (7)
Selain itu, komplikasi akan timbul apabila terdapat gangguan pada
gangguan N.Trigeminus cabang ketiga atau saraf kranial cabang 5, 7, 9, dan
10. Komplikasi yang akan timbul berupa otikus zoster dengan manifestasi
20 | P a g e
klinis berupa sakit kepala, tinnitus, vertigpo, tuli, nyeri telinga, dan nyeri
wajah (Sindroma Ramsay-Hunt).(8)
Seterusnya, herpes zoster bisa mengakibatkan kelumpuhna
motorik.Kelemahan pada otot yang berhubungan dengan dermatom yang
terinfeksi dapat diamati sebelum, selama, atau setelah suatu episode herpes
zoster. Kelumpuhan biasanya terjadi dalam 2 hingga 3 minggu pertam setelah
onset ruam dan dapat bertahan selama beberapa minggu.(11)
Nyeri setelah terkena herpes zoster disebut post-herpetic neuralgia
(PHN).Ini adalah komplikasi yang paling umum dan menjadi penyebab utama
morbiditas. Resiko PHN terjadi seiring dengan peningkatan usia (terutama
pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun) dan meningkat pada pasien yang
mengalami sakit parah atau minculnya ruam yang berat. Rasa sakit ini sering
memberat dan bertambah parah.(5)
Gejala neurologi muncul dalam 2 minggu pertama dari onset lesi kulit,
ada kemungkinan bahawa ensefalitis dimediasi oleh imunitas dari hasil invasi
virus.Pasien yang paling beresiko adalah pasien dengan herpes zoster
trigeminal dan imunosupresi. Angka kematian mencapai 10% dan untuk
sembuh total 20%.(5)
Pada lansia, malnutrisi, pasien lemah atau imunosupresi, virus lebih
cenderung untuk menjadi virulen dan penyakit lebih meluas. Seluruh area
kulit dari dermatom akan menghilang akibat vesikel yang melebar. Krusta
yang lebar akan menjadi infeksi dan bertambah parah. Jaringan parut kadang-
kadang hipertrofi atau keloid.(5)
21 | P a g e
XII. PROGNOSIS
Prognosa bagi penyakit herpes zoster umumnya baik. Pada herpes
zoster oftalmikus, prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara
dini.(7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Straus,SE.Oxman,MN.Schmader,KE. Varicella and Herpes Zoster. In : Wolff KG,LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ. Fitzpatrick’s Deramatology In General Medicine. 7thed: McGraw Hill; 2008. Pg. 1886-98
2. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nded. New York: William Coleman III retains copyright of his original figures in chapter 156; 2008. 3:1-8
3. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. Australia: Blackshell Publishing Company; 2005. Pg. 22.25-4
22 | P a g e
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology. 9th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. Pg.91,103
5. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. USA: mosby; 2003. Pg.394-406
6. Alwinn R, Buxbaum S, Doerr HW. Epidemiology and Control of Herpes Zoster. In: Gross GD, HW.,editor. Herpes Zoster Recent Aspect of Diagnosis and Control. Monogr Virol: Karger; 2006. Pg. 154-63
7. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Pg.60-1,110,130-3,382
8. Jacoeb T. Herpes Zoster pada Pasien Immunokompeten. In : Baili SI, BW., editor. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. Pg. 190-9
9. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa, New Jersey: Human Press; 2006. Pg. 335-44
10. Oxman, MN. Levin, MJ. Johnson, GR. & et.al. the New England Journal of Medicine:A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia in Older Adults.June 2,2005;Vol.352:2271-84
11. Wolff K. Jhonson,RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Sypnosis of Clinical Dermatology. 6thed. New York:McGraw Hill;2009. Pg. 614,837-45
12. Gawkrodger D. Dermatology An Illustrated Color Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone;2003.Pg.51
13. Dworkin RH. Journal of Recommendations for the management of Herpes Zoster. United States: 2007.
14. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and Therapeutic Considerations. Alternative Medicine Review;2006. 11;102-11
15. Galluzi,KE. Management Strategies for Herpes Zoster: [cited]from website JAOA org
23 | P a g e