hunting tax amid fintech business growth

36
45219 1299 7263 8364 ABC BANK pay guide Enrich your Knowledge 18 Edition The Faster, The More Convenient Yon Arsal Exclusive Interview: Hunting Tax amid Fintech Business Growth Director of Potential, Compliance, and Revenue of Directorate General of Taxes

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

45219 1299 7263 8364

ABC BANK

pay

guideEnrich your Knowledge

18Editio

n

The Faster, The More Convenient

Yon ArsalExclusive Interview:

Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Director of Potential, Compliance, and Revenue of Directorate General of Taxes

Page 2: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Assalamualaikum Wr. Wb. Assalamualaikum Wr. Wb.Salam sejahtera untuk kita semua. Kami panjatkan puji dan syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas kembali terbitnya MUC Tax Guide ke hadapan pembaca. Dengan tetap mengedepankan kejernihan dan kualitas konten, Tax Guide edisi perdana di tahun 2019 ini hadir dengan format dan tampilan baru yang lebih segar.

Berbagai isu hangat seputar perpajakan masih menjadi ulasan utama Tax

Guide. Dibuka dengan wawancara esklusif kami dengan Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Yon Arsal yang berfokus pada kepatuhan Wajib Pajak dari sisi pelaporan Surat Pember-itahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi maupun badan. Seperti diketahui, tenggat waktu pelaporan SPT Tahunan PPh paling lambat dilakukan 31 Maret untuk orang pribadi dan 30 April untuk Wajib Pajak badan.

Kemudian, isu tersebut semakin diperkuat oleh opini Ahmad Komara, pegawai DJP yang menuangkan ide dan gagasannya mengenai paradigma kepatuhan pajak di Indonesia. Melalui opininya yang berjudul “Paradigma Kepatuhan Pajak: dari Deterrence ke Deference?” Komara memetakan permasalahan kepatuhan pajak yang bersifat multidimensi dan kompleks. Dia juga menjabarkan cara-cara penegakan hukum perpajakan yang lazim diterapkan di dunia: Economic Deterrence Model, Social Psychology Model, dan Fiscal Psychology Model.

Opini yang tidak kalah menarik juga ditulis oleh konsultan MUC Consulting Group, Nendi Bachtiar dan Bayu Cahyad-iputra. Riset keduanya berfokus pada tantangan otoritas pajak dalam menyikapi perkembangan industri jasa keuan-gan berbasis teknologi atau financial technology (fintech).

latest on 31 March for individual Taxpayers and 30 April for corporate Taxpayers.

Moreover, the issue is supported by the opinion of Ahmad Komara, a DGT official that conveyed his ideas and notions of tax compliance paradigm in Indonesia. Through his opinion entitled “Tax Compliance Paradigm: from Deterrence to Deference?” Komara mapped the problems of the multidimensional and complex tax compliance. He also detailed the taxation law enforcement methods commonly applied globally: Economic Deterrence Model, Social Psychology Model, and Fiscal Psychology Model.

Another compelling opinion was written by MUC Consult-ing Group consultants, Nendi Bachtiar and Bayu Cahyad-iputra. Their research focused on the challenges for the tax authority in facing the development of technology-based financial service industry or financial technology (fintech).

In addition, Tax Guide highlights global tax policy, mainly the implementation of sayonara tax in Japan and its relevance for application in Indonesia. It is the trio of MUC

May peace and prosperity befall upon all of us. All praise and thanks to the One Almighty God for the release of MUC Tax Guide to the readers. By keeping content clarity and quality as our priority, the first edition of Tax Guide in 2019 comes out with new format and layout that are fresher.

Various hot issues related to tax remain becoming the main coverages of Tax Guide. We begin this edition with our exclusive interview with Director of Tax Potential, Compliance, and Revenue of Directorate General of Taxes (DGT) Yon Arsal focusing on the compliance of Taxpayers in terms of Annual Income Tax Return reporting, both for individual and corporate Taxpayers. As is known, the deadline for Annual Income Tax Return submission is at the

Consulting Group consultants: Deo Damiani, Racha Arif Luthfi, and Rama Ames Remonda who wrote the booming of tourism industry as the momen-tum to apply tax type similar to sayonara tax in Indonesia.

The next article is a piece of writing of MUC Consulting Group Partner Karsino on the Compensation of Value Added Tax (VAT) and the increment sanction of 100% on tax underpayment. We republish the writing after previously appeared in Investor Daily newspaper (Thursday, 29 November 2018).

As always, Tax Guide also presents the regulation updates and infograph-ics, as well as documentation of several events recently held by MUC Consulting Group.

To know more about these issues and news, please take a look at the newest edition of Tax Guide. We hope that what we present may enlighten us all and is useful for all the readers.

In the end, we are open for any inputs, suggestions, and critics from you for our evaluation in improving the quality of Tax Guide in the future. Enjoy the reading.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Jakarta, April 2018

Sugianto

Executive Editorial TeamSugiantoMuhammad RazikunKarsinoWahyu NuryantoImam SubektiMeydawatiIka Fithriyadi

DistributionM. Tisna IndraM. Budhi KurniawanIksan Sadar

Editor's address

MUC Building 4th Floor

Jl TB Simatupang 15, Tanjung barat

Jakarta (12530)

Phone : +6221 788 37111

Fax : +6221 788 37 666

Email : [email protected]

Artwork & DesignAhmad Zaki Ihsan

Editorial TeamAgust SupriadiYasmine TiaraFhadhila R. PutriAsep Munazat ZatnikaCindy MirantiIffah AdilahNovi AstutiRathihanda Batam

Editorial Notes

Tax Guide is a monthly publication of MUC Consulting Group covering latest information on tax and accounting world. Editorial team is open for contributions in the form of photo and opinion related to tax and accounting issue. Any opinion published in Tax Guide is not a representative of MUC Consulting Group’s view. Any inaccuracy of statement, opinion, or suggestion in the contents is not Editorial team’s responsibility.

Selain itu, Tax Guide juga menyoroti kebijakan pajak global, terutama penerapan sayonara tax di Jepang dan relevansinya untuk bisa diterapkan di Indonesia. Adalah trio konsultan MUC Consulting Group: Deo Damiani, Racha Arif Luthfi, dan Rama Ames Remonda yang menulis tentang booming industri pariwisata sebagai momentum untuk bisa menerapkan jenis pajak serupa sayonara tax di Indonesia.

Artikel berikutnya merupakan buah pikir Partner MUC Consulting Group Karsino, yang menulis tentang Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan sanksi kenaikan 100% atas kurang bayar pajak. Tulisan ini kami terbitkan ulang setelah versi singkatnya telah dimuat di koran Investor Daily (Kamis, 29 November 2018).

Tidak lupa Tax Guide juga menyajikan update regulasi dan infografis, serta dokumentasi sejumlah event yang diselenggarakan oleh MUC Consulting Group dalam beberapa waktu terakhir.

Untuk mengetahui kabar dan berita tersebut secara lebih lengkap, silakan membaca Tax Guide edisi terbaru ini. Semoga apa yang kami sajikan bisa memberikan pencerahan bagi kita semua dan bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Akhir kata, kami sangat terbuka atas segala masukan, saran, dan kritik dari Anda agar menjadi bahan evaluasi dalam meningkatkan kualitas Tax Guide ke depan. Selamat membaca.

Wassalamualaikum, Wr. WB.

Jakarta, April 2018 Sugianto

Tax Guide2

Page 3: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

4 |

Table of Contents

Relevansi Sayonara Tax Di Tengah Geliat Wisata

The Relevance of Sayonara Tax amid the Growth of Tourism Industry

The Faster, The More Convenient

Hunting Tax amid Fintech Business Growth

11 | Lebih Cepat Lebih Baik

16 | Berburu Pajak di Tengah Geliat Bisnis Fintech

Ekspor Jasa yang Dikenakan PPN 0% Diperluas

Menyoal arti Kompensasi PPNdan Sanksi Kenaikan 100 %

Paradigma Kepatuhan Pajak:dari Detterence ke Deference

Export of Service Subject to 0% VAT Broadens

20 |

Questioning the Meaning of VAT Compensa-tion and 100% Increment Sanction

22 |

Tax Compliance Paradigm: from Deterrence to Deference?

30 |

Event

MUC Represents Indonesia in MSI Regional Meeting Asia-Pasific 2019

MSI Global Alliance Visits MUC Consulting Group,

MUC and JETRO Hold A Series of Customs Seminar

34 |

Regulation Update

Benefits in Kind as Tax Deduction of Taxable Income

Tax Authority Simplifies Certificate of Domicile

26 |

BroadensVAT0

Page 4: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

*Deo Damiani, Racha Arif Luthfi, Rama Ames Remonda

Sayonara TaxDi Tengah Geliat Wisata

RelevansiSayonara Tax

Di Tengah Geliat Wisata

Relevansi

The Relevance of Sayonara Tax amid the Growth of Tourism Industry

Opinion

Baru-baru ini, Pemerintah Jepang memberlakukan jenis pajak baru berupa pungutan yang wajib dibayar oleh setiap orang yang pergi atau meninggalkan Negeri Sakura, kecuali anak berusia di bawah dua tahun dan penumpang transit tidak lebih dari 24 jam. Pungutan tersebut dikenal dengan istilah Sayonara Tax atau pajak selamat tinggal. Kebijakan ini tidak memandang kewarganegaraan, berlaku sama bagi warga lokal maupun pendatang.

Tarif pajak Sayonara adalah sebesar ¥1.000 atau setara

dengan Rp126.500 (kurs Rp126,5/yen). Mekanisme pemu-ngutannya adalah dengan menambahkan komponen pajak Sayonara pada harga tiket pesawat atau kapal laut yang meninggalkan Jepang. Bagi pelancong yang pergi berlibur ke Jepang menggunakan jasa travel agent, maka pajak tersebut dapat disetorkan melalui agen penyedia jasa tersebut. Nantinya, pihak maskapai pesawat, pengelo-la kapal, dan penyedia jasa travel akan menyetorkan pajak tersebut kepada otoritas pajak Jepang.

Dilansir dari laman berita The Japan Times, pajak keberangkatan merupakan pajak permanen pertama yang diadopsi Jepang sejak tahun 1992. Tujuan Pemerintah Jepang melalui kebijakan ini adalah mencari tambahan penerimaan untuk mendanai perbaikan dan pelestarian sarana dan prasarana wisata di tengah derasnya kunjun-gan wisatawan mancanegara. Selain itu, pajak keberang-katan ini juga akan digunakan untuk mempromosikan tempat wisata pedesaan Jepang, membiayai kampanye pariwisata global, mengadakan panduan multibahasa di taman-taman nasional dan situs-situs budaya di Jepang, serta memperluas layanan Wi-Fi gratis di transportasi umum.

Pada tahun 2018, Jepang dinobatkan sebagai destinasi wisata terfavorit versi Travel + Leisure. The Japan Times memberitakan bahwa, pada tahun 2017, sebanyak 28,69 juta turis mancanegara berkunjung ke Jepang, meningkat 19,3% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Kementerian

Recently, the Japanese Government enforces a new type of tax in the form levy that shall be paid by all people depart-ing from or leaving the Country of Cherry Blossom, except for children under two years old and passengers transitting in less than 24 hours. The levy is known by the term of Sayonara Tax. This policy is not a matter of citizenship, but for both locals and visitors.

The rate of Sayonara tax is of JPY1,000 or equal to IDR126,500 (exchange rate of IDR126.5/JPY). The collection mechanism is by adding Sayonara tax component on the ticket price of airplanes or ships leaving Japan. For travellers on vacation to Japan using travel agent service, the tax may be remitted through the travel agent. Eventually, the airline company, the ship manager, and the travel agent will remit the tax to Japanese tax authority.

The Japan Times reported that the departure tax is the first permanent tax adopted by Japan since 1992. The Japa-nese Government’s purpose on this policy is to earn additional revenue to fund repair and preservation of tourism facilities and infrastructures in the middle of abundant foreign tourists visits. In addition, the departure tax will be used for promoting Japanese countryside tourists attraction, funding global tourism campaign, procuring multilanguage guidances in national parks and cultural sites in Japan, as well as expand-ing free Wi-Fi service in public transportation.

In 2018, Japan was awarded the most favorite tourist destination in Travel + Leisure version. The Japan Times reported that, in 2017, there were 28.69 million foreign tourists visited Japan, increasing by 19.3% from the previous year. Meanwhile, Japanese Ministry of Law recorded 45.2 million people—including foreign tourists—left the Land of the Rising Sun in the same period.

With that assumption in mind, the potential of Sayonara tax revenue is estimated to reach around JPY43 billion or more than IDR5.4 trillion per year. The Sayonara tax potential can be

Tax Guide4

Page 5: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Hukum Jepang mencatat sebanyak 45,2 juta orang—ter-masuk turis asing—meninggalkan Negara Matahari Terbit dalam kurun waktu yang sama.

Dengan asumsi tersebut, potensi penerimaan pajak Sayonara ditaksir bisa mencapai sekitar ¥43 miliar atau lebih dari Rp5,4 triliun per tahun. Potensi pajak Sayonara akan lebih besar lagi jika harapan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe—yang menargetkan peningkatan kunjungan wisatawan asing hingga 40 juta orang pada tahun 2020 dan menjadi 60 juta orang pada tahun 2030—terwujud.

Implementasi Global

Kebijakan “pajak Sayonara” sejatinya bukanlah yang pertama di dunia. Inggris, Australia, Jerman, dan Singapura telah lebih dahulu memberlakukan pajak keberangkatan tersebut.

Inggris pertama kali memperkenalkan pajak keberang-katan ini pada tahun 1994 sebagai kompensasi untuk membayar biaya lingkungan atas dampak penerbangan. Otoritas Inggris mengenakannya dalam bentuk bea penumpang angkutan udara, yang besaran tarifnya menyesuaikan dengan jarak tempuh dan kelas penerban-gan.

Untuk penerbangan jarak pendek atau di bawah 2.000 mil dari London, wisatawan harus membayar bea pener-bangan sekitar £13-£26 (Rp242-483 ribu). Sementara, untuk penerbangan jarak jauh atau lebih dari 2.000 mil dari London, wisatawan kelas ekonomi dikenakan bea pener-bangan £78 (Rp1,45 juta), sedangkan penumpang kelas premium, bisnis, dan first class harus mengeluarkan £156 (Rp2,9 juta).

Sementara, di Australia, berlaku ketentuan Passenger Movement Charge sebesar AUS$60 bagi warga lokal dan warga asing yang meninggalkan Negeri Kangguru melalui jalur udara atau laut, baik yang berniat untuk kembali maupun yang tidak. Biaya ini biasanya ditambahkan ke harga tiket oleh perusahaan penerbangan dan perusahaan transportasi laut. Anak-anak di bawah 12 tahun dan penumpang transit dibebaskan dari pungutan ini.

Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat (AS). Otoritas setempat mengenakan Passenger Facility Charge dan Sept 11 Security Fee bagi siapapun yang terbang ke luar negeri. Passenger Facility Charge dikenakan hingga AS$4,5 untuk setiap penumpang angkutan penerbangan tertentu. Untuk penerbangan transit di bandara AS, sebelum berangkat ke bandara lain, penumpang harus membayar dua kali lipat pungutan ini. Sedangkan, security charge yang dikenakan sebesar AS$5,6 untuk setiap perjalanan satu arah. Namun, biaya yang dikenakan untuk perjalanan pulang-pergi dibatasi sebesar AS$11,2.

Pun demikian dengan Jerman, yang memberlakukan Air Transport Tax mulai Januari 2011. Otoritas Jerman mem-berlakukan dua jenis tarif terkait pungutan tersebut, tergantung pada jarak penerbangan dan tujuan. Untuk penumpang angkutan udara jarak pendek dikenakan

Opinion

higher if the expectation of Japanese Prime Minister Shinzo Abe—who targets the foreign tourist visit to increase up to 40 million people in 2020 and 60 million people in 2030—comes true.

Global Implementation

The “Sayonara tax” policy is not the first in the world. United Kingdom (UK), Australia, Germany, and Singapore have enforced departure tax beforehand.

UK introduced departure tax for the first time in 1994 as a compensation to pay for environmental expense due to flight. UK’s authority imposes such tax in the form of flight passen-gers duty, in which the rate is adjusted to the traveling distance and flight class.

For short-haul flights or under 2,000 mil from London, the tourists have to pay flight duty amounting to GBP13-GBP26 (IDR242-483 thousand). Meanwhile, for long-haul flights or more than 2,000 mil from London, the economy-class tourists are charged with flight duty of GBP78 (IDR1.45 million), while the premium, business, and first class passengers have to pay in the amount of GBP156 (IDR2.9 million).

Meanwhile, in Australia, the Passenger Movement Charge of AUD60 is imposed on local and foreign citizens leaving the Kangaroo Country by air or sea, both those intending to come back and those not. The fee is usually added to the ticket price by the airline company and sea transportation compa-ny. Children under 12 years old and transitting passengers are exempted from the collection.

This is different to the United States (US). The local authority imposes Passenger Facility Charge and Sept 11 Security Fee on anyone flying abroad. Passenger Facility Charge is imposed up to USD4.5 on all passengers of certain airlines. For transit flight in US airports, before departing to other airports, the passengers shall pay twice of the collection. Meanwhile, the security charge imposed is in the amount of USD5.6 for all one way trip. However, the fee imposed in round trip is limited to USD11.2.

The same also happens in Germany, which enforces Air Transport Tax starting from January 2011. German authority imposes two types of rate related to the collection, depending on the traveling distance and destination. Short-haul flight passengers are charged with levy of EUR7.5, while long-haul flight passengers shall pay EUR40.

Singapore government has also charged tax to all airplane passengers departing from Changi Airport. All transitting passengers are charged with Departure Tax of SGD6, while those really leaving Singapore are charged with SGD34. The departure tax consists of passenger service fee, security tax, and retribution.

Similar scheme is also conducted by Thailand that impos-es departure tax of THB700 on all international flight passen-gers. This fee also applies to transitting passengers leaving Thailand airport during long transit period.

5Tax Guide

Page 6: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

pungutan sebesar €7,5, sedangkan untuk rute jarak jauh, biaya yang harus ditanggung penumpang pesawat sebe-sar €40.

Pemerintah Singapura juga sebenarnya mengenakan

pajak bagi setiap penumpang pesawat yang terbang meninggalkan Bandara Changi. Setiap penumpang transit dikenakan Departure Tax sebesar S$6, sedangkan yang benar-benar meninggalkan Singapura ditetapkan sebesar S$34. Pajak keberangkatan tersebut terdiri dari biaya layanan penumpang, pajak keamanan, dan retribusi.

Skema yang sama juga dilakukan Thailand yang juga mengenakan pajak keberangkatan sebesar �700 bagi setiap penumpang pesawat tujuan internasional. Biaya ini juga berlaku bagi penumpang transit yang keluar dari bandara Thailand ketika transit dalam jangka waktu lama.

Cina mengemas pajak keberangkatan dalam bentuk Airport Construction Fee. Tarif pajaknya sebesar ¥90 untuk wisatawan internasional dan ¥50 untuk siapa pun yang terbang antardaerah di Cina. Pajak ini juga berlaku untuk penerbangan ke Hong Kong. Penumpang yang meme-gang paspor diplomatik atau mereka yang transit selama 24 jam tidak diharuskan membayar pajak tersebut.

Kondisi Dalam Negeri

Apabila melihat Jepang yang kebanjiran wisatawan dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga mengalami hal yang sama. Setidaknya lebih dari satu juta wisatawan mancanegara setiap bulannya berkunjung ke Indonesia. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, jumlahnya bertum-buh rata-rata 10% per tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia selama tahun 2018 mencapai 15,81 juta kunjungan atau naik 12,58% dibanding-kan dengan jumlah kunjungan turis asing pada periode yang sama tahun 2017 yang berjumlah 14,04 juta kunjun-gan.

Indonesia pun menjelma menjadi negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat kesembilan di dunia, nomor tiga di Asia, dan nomor satu di kawasan Asia Teng-gara. Indikatornya adalah pertumbuhan pariwisata Indone-sia yang mencapai 25,68% dalam beberapa tahun terakhir, jauh melampaui pertumbuhan sektoral di kawasan Asia Tenggara yang sebesar 7% maupun pertumbuhan wisata global yang hanya 6%

Namun, tingginya angka wisatawan tak selalu berdampak baik bagi suatu kawasan. Derasnya kunjungan wisatawan ternyata juga dapat mengancam keindahan kawasan wisata itu sendiri.

Bali, misalnya, pulau yang terkenal dengan panorama

dan budayanya itu pernah mengalami “darurat sampah”. Tercatat pada tahun 2017, sepanjang enam kilometer garis pantai Bali yang mencakup pantai populer seperti Jimba-ran, Kuta, dan Seminyak disesaki berton-ton sampah.

Opinion

China formatted its departure tax in the form of Airport Construction Fee. The tax rate is of CNY90 for international tourists and CNY50 for anyone flying between regions in China. The tax also applies to flights to Hong Kong. Passen-gers holding diplomatic passport or those who transit in 24 hours are not obliged to pay such tax.

Domestic Condition

If we take a look at Japan that gets large number of tourists in the last several years, Indonesia also experiences the same. At least more than one million foreign tourists visit Indonesia each month. In fact, in one last decade, the number grew by 10% per year in average.

Statistics Indonesia (Badan Pusat Statistik/BPS) recorded that the number of foreign tourists visit to Indonesia in 2018 has reached 15.81 million visits or increased by 12.58% compared to foreign tourist visit in the same period in 2017, which amounted to 14.04 million visits.

Indonesia came in the 9th place of the country with the fastest tourism growth in the world, 3rd in Asia, and 1st in Southeast Asia. The indicator was the growth of Indonesian tourism that reached 25.68% in the last few years, far ahead the sectoral growth in Southeast Asia of 7% and global tourism growth of only 6%.

However, the high number of tourists is not always a good thing for a region. The overflowing visit of tourists can also endanger the beauty of the tourism area itself.

Bali, for example, the island well-known for its view and culture has experienced “waste emergency”. In 2017, it was recorded that six kilometers of Bali coastline covering popular beaches such as Jimbaran, Kuta, and Seminyak were crowd-ed by tonnes of waste. Environmental and Sanitation Agency

Foreign Tourists Visit

Nationality Annual Annual

ASEAN

Asia (minus ASEAN)

Middle East

Europe

America

Oceania

Africa

4,524,646.00

5,120,405.00

284,369.00

1,974,215.00

537,031.00

1,507,934.00

91,199.00

5,456,542.00

5,842,782.00

266,927.00

2,008,889.00

567,686.00

1,574,739.00

88,626.00

2017

14,039,799.00 15,806,191.00Total

2018

Tax Guide6

Page 7: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung, Bali sedikitnya harus mengerahkan 700 tenaga pembersih dan 35 truk untuk membuang sekitar 100 ton sampah setiap hari ke tempat pembuangan sampah.

Selain sampah, masifnya kunjungan turis juga disinyalir mengganggu dan merusak ekosistem di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Eksploitasi komodo di sisi lain juga memicu perburuan liar rusa, yang merupakan makanan utama hewan purba tersebut. Kondisi yang memprihatinkan ini memunculkan wacana penutupan Taman Nasional Komodo dari kegiatan pariwisata untuk sementara di tahun 2020.

Karenanya, faktor lingkungan yang rusak juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia, tidak melulu terbuai oleh kontribusi industri pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Setidaknya, eksploitasi keindahan alam Indonesia harus juga dibarengi dengan pelestarian lingkungan serta perbaikan sarana dan prasarana di pelbagai kawasan wisa-tanya. Harus diakui indeks daya saing pariwisata Indonesia men-galami perbaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data World Economy Forum (WEF), peringkat daya saing pariwisata Indonesia menempati peringkat ke 42 pada tahun 2017, naik dari posisi 50 di tahun 2015. Namun, di balik potensi serta pertumbuhan yang menunjukkan tren meningkat, sektor pariwisata masih menyimpan beberapa permasalahan, terutama di bidang infrastruktur pendukung pariwisata, kelestarian lingkungan, serta kese-hatan dan kebersihan lingkungan pariwisata.

Agency of Badung Regency, Bali had to mobilize at least 700 cleaning staffs and 35 trucks to dispose around 100 tonnes of waste to the landfill site every day.

Other than waste, the massive visits of tourists allegedly harm and damage the ecosystem in Komodo National Park, East Nusa Tenggara. The exploitation of komodo dragon in the other hand is also triggering illegal hunting of deers as the main prey of the ancient animal. This alarming condition has initiated the plan to temporarily close Komodo National Park from tourism activity in 2020.

Thus, the factor of damaged environment shall also be seriously concerned by Indonesian Government, not to be carried away by tourism industry contribution to economic growth and employment creation. At least, the exploitation of Indonesian natural splendor shall be accompanied with the environmental preservation as well as facilities and infrastruc-tures repair in various tourism areas.

It has to be admitted that the tourism competitiveness index of Indonesia has been improving year by year. Based on the data of World Economy Forum (WEF), Indonesian tourism competitiveness ranked 42nd in 2017, up from 50th position in 2015. However, behind the potential as well as the growth showing the trend of improvement, tourism sector is still having some problems, mainly in the field of tourism support-ing infrastructure, environmental sustainability, as well as tourism environmental health and hygiene.

7Tax Guide

Page 8: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan inisiatif dan terobosan kebijakan yang nyata. Bukan hanya sebatas program kerja dan semangat membangun infras-truktur, melainkan pula harus dipikirkan soal penyediaan anggaran untuk mendanainya.

Karenanya, kebijakan pajak Sayonara di Jepang atau pajak keberangkatan yang diterapkan banyak negara di dunia menjadi relevan untuk diadopsi oleh Indonesia.

Skema Pemajakan

Namun, tidak mudah untuk bisa langsung menerapkan kebijakan pajak keberangkatan di Indonesia. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan, bukan hanya soal dampak ekonomi dan sosialnya. Tantangan terberat justru adalah ketiadaan regulasi dan dukungan politik yang kerap tak sejalan dengan semangat pemerintah.

Pasalnya, bukan perkara mudah memunculkan jenis pajak baru di Indonesia jika payung hukum yang menjadi induknya tidak mengakomodir. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Dengan demikian, dibutuhkan amendemen undang-un-

dang perpajakan atau pembuatan regulasi baru setingkat undang-undang untuk bisa memajaki para turis. Dapat dipastikan bahwa proses politiknya akan melelahkan karena bakal menguras tenaga dan pikiran serta membu-tuhkan waktu yang tidak sebentar. Karenanya, jika pemer-intah ingin meraih pemasukan dalam bentuk pajak pusat, hal tersebut akan lebih sulit direalisasikan segera.

Sebenarnya, pemberlakuan “pajak Sayonara” bisa dilaku-kan pemerintah daerah, yang secara umum menginduk pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Berkaca pada inisiatif Pemerintah Provinsi Bali. Dalam rangka pelestarian lingkungan alam dan budaya lokal, Pemerintah Provisi Bali berencana menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang mengatur tentang pungutan yang bersifat retribusi dari turis asing yang berkunjung ke Bali sebesar AS$10 per orang.

Sayangnya, wacana “retribusi Sayonara” ini baru sebatas di Bali dan belum meluas ke daerah-daerah wisata lainnya di Indonesia. Sekalipun diimplementasikan serempak di banyak daerah, dampak positif terhadap anggaran dan pelestarian lingkungannya tidak akan merata karena tingkat kunjungan wisatawan masing-masing daerah berbeda-beda.

Selain itu, retribusi daerah ini juga bakal menurunkan daya tarik wisata Indonesia di mata turis mancanegara. Sebab, jika setiap daerah mengeluarkan kebijakan serupa, turis asing yang transit di sejumlah destinasi wisata Indo-nesia berpotensi dipungut retribusi lebih dari satu kali.

Beda halnya jika kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah pusat yang hanya akan memungut pajak keberangkatan

Opinion

To handle such problem, real initiative and breakthrough policy is needed. It is not only limited to work program and the spirit to put up the infrastructure, the budget provision to fund such shall also be considered.

Consequently, the Sayonara tax policy in Japan or depar-ture tax applied in many countries in the world is relevant to be adopted in Indonesia.

Taxation Scheme

However, it is not easy to directly implement the departure tax policy in Indonesia. There are a lot of factors to be consid-ered, not only the economic and social impacts. The hardest challenge is the absence of regulation and political support which oftentimes is not in line with the government spirit.

This is because setting up a new type of tax in Indonesia is not an easy task if the legal protection being the parent is not accomodating it. As mandated in the Article 23A of 1945 Constitution, “All taxes and other levies that are compulsory

for the needs of the state shall be regulated by law”.

Thus, amendment to tax law or execution of new regulation in the level of law is needed to tax the tourists. The political process must be exhausting as it will drain energy and mind as well as consume a long time. Therefore, if the government expects to earn revenue in the form of central tax, it will be more difficult to be realized immediately.

Actually, the implementation of “Sayonara tax” can be done by the local government, generally under the Local Taxes and Retributions (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah/PDRD) Law. It reflects on the initiative of Bali Province Government. In order to preserve natural environment and local culture, Bali Province Government plans to arrange Proposed Regional Regulation (Rancangan Peraturan Daerah/Ranperda) stipu-lating the retribution levy from tourists visiting Bali of USD10 per person.

Tax Guide8

Page 9: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opini

satu kali bagi setiap wisatawan yang pergi meninggalkan Indonesia. Tambahan penerimaan negara ini juga dapat digunakan secara nasional dalam rangka melakukan pengembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia.

Alternatifnya mungkin dapat dilakukan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 menjelaskan bahwa PNBP adalah seluruh penerimaan non-pajak Pemerintah Pusat yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; peman-faatan sumber daya alam; hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; pelayanan yang dilak-sanakan Pemerintah; penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

Artinya, jenis pungutan yang belum tercakup dalam kelompok PNBP, seperti pungutan atas turis, dimungkink-an dipungut di tingkat pusat cukup dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

Skema pemungutan PNBP juga menguntungkan dengan adanya penerapan konsep earmarking dalam pengelolaaan keuangan PNBP. Prinsip PNBP dapat digu-nakan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan jenis pungutan yang diterapkan. Dalam hal ini, jika pungutan dilakukan oleh otoritas yang terkait dengan pariwisata, hasil pungutan dapat digunakan sesuai dengan rencana jangka panjang terkait pariwisata secara nasional. Sehing-ga, perkembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia dapat merata.

Bentuk pungutan atas keberangkatan ini dapat ditujukan kepada wisatawan mancanegara yang menikmati tempat wisata di Indonesia, sedangkan wisatawan domestik tidak perlu dikenakan pungutan yang sama. Pemungutan PNBP dapat dilakukan melalui pembebanan pada tiket dengan tujuan keluar dari Indonesia (misalnya tiket pesawat terbang dan kapal laut).

Dengan asumsi tarif pungutan sebesar Rp100 ribu per orang dan mengacu jumlah wisatawan asing yang transit di Indonesia (15,8 juta turis sepanjang 2018), potensi tambahan penerimaan negara dari jenis pajak baru ini sekitar Rp1,5 triliun per tahun. Jumlahnya akan bertambah besar seiring dengan pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan asing yang rata-rata tumbuh 10% per tahun.

Intinya, Indonesia dapat mengadopsi pajak keberangka-

tan untuk menjadi sumber penerimaan baru bagi negara jika melihat dari potensi alam dan jumlah pertumbuhan wisatawan mancanegara. Namun, mengingat panjangnya proses ratifikasi Undang-Undang untuk pemungutan pajak baru, pungutan melalui skema PNBP dapat menjadi opsi terbaik dalam melakukan pungutan atas keberangkatan tersebut.

To handle such problem, real initiative and breakthrough policy is needed. It is not only limited to work program and the spirit to put up the infrastructure, the budget provision to fund such shall also be considered.

Consequently, the Sayonara tax policy in Japan or depar-ture tax applied in many countries in the world is relevant to be adopted in Indonesia.

Taxation Scheme

However, it is not easy to directly implement the departure tax policy in Indonesia. There are a lot of factors to be consid-ered, not only the economic and social impacts. The hardest challenge is the absence of regulation and political support which oftentimes is not in line with the government spirit.

This is because setting up a new type of tax in Indonesia is not an easy task if the legal protection being the parent is not accomodating it. As mandated in the Article 23A of 1945 Constitution, “All taxes and other levies that are compulsory for the needs of the state shall be regulated by law”.

Thus, amendment to tax law or execution of new regulation in the level of law is needed to tax the tourists. The political process must be exhausting as it will drain energy and mind as well as consume a long time. Therefore, if the government expects to earn revenue in the form of central tax, it will be more difficult to be realized immediately.

Actually, the implementation of “Sayonara tax” can be done by the local government, generally under the Local Taxes and Retributions (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah/PDRD) Law. It reflects on the initiative of Bali Province Government. In order to preserve natural environment and local culture, Bali Province Government plans to arrange Proposed Regional Regulation (Rancangan Peraturan Daerah/Ranperda) stipu-lating the retribution levy from tourists visiting Bali of USD10 per person.

Unfortunately, the “Sayonara retribution” plan is only in Bali and has not spread to other tourism regions in Indonesia. Even if it is implemented simultaneously in several places, the positive impact on budget and environment preservation will not be distributed evenly since the level of tourist visit in each region is different to one another.

Other than that, local retribution will lower the Indonesian tourism attraction for foreign tourists. This is because, if each region issues similar policy, the foreign tourist transitting in several tourism destinations in Indonesia will be potentially subject to retribution more than once.

It will be different if the policy is undertaken by the central government that will only collect the departure tax once at the time the tourist leaves Indonesia. The additional state revenue can also be used nationally in order to conduct development related to tourism in Indonesia.

9Tax Guide

Page 10: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

The alternative may be conducted in the form of Non-Tax State Revenue (Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP). Law Number 20 year 1997 explains that PNBP is all non-tax revenues of Central Government earned from Government fund management; natural resources utilization; separated State assets management results; services provided by the Government; revenue based on court decision and those from administrative sanction charge; revenue in the form of grant as the Government’s rights; and other revenues as stipulated in separate Law.

In other words, the type of levy not yet covered in PNBP group, such as levy on tourists, may be collected in central level only by issuing Government Regulation.

The scheme of PNBP collection is also beneficial consider-ing the implementation of earmarking concept in PNBP’s financial management. The principle of PNBP can also be used in activities related to the type of levy applied. In this case, if the levy is collected by authority related to tourism, the result may be used in accordance with national long-term plans related to tourism. Therefore, development related to tourism in Indonesia can be evenly distributed.

The form of levy on departure can also be specifically aimed at foreign tourists enjoying tourism destinations in Indonesia, while domestic tourists will not be charged with similar levy. The PNBP collection can be added in the ticket with the destination to outside Indonesia (for example, airplane and ship tickets).

Under the assumption that the levy rate is of IDR100 thousand per person and reffering to the number of foreign tourists transit in Indonesia (15.8 million tourists in 2018), the potential of additional state revenue from the new type of tax is around IDR1.5 trillion per annum. This number will get bigger as the foreign tourists visit number approximately grows by 10% per year.

In brief, Indonesia can adopt departure tax as the new state revenue source as seen from the potential of nature and foreign tourist growth number. However, considering the long process of Law ratification for a new tax collection, levy in PNBP scheme can be the best option in collecting the depar-ture tax.

satu kali bagi setiap wisatawan yang pergi meninggalkan Indonesia. Tambahan penerimaan negara ini juga dapat digunakan secara nasional dalam rangka melakukan pengembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia.

Alternatifnya mungkin dapat dilakukan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 menjelaskan bahwa PNBP adalah seluruh penerimaan non-pajak Pemerintah Pusat yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; peman-faatan sumber daya alam; hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; pelayanan yang dilak-sanakan Pemerintah; penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

Artinya, jenis pungutan yang belum tercakup dalam kelompok PNBP, seperti pungutan atas turis, dimungkink-an dipungut di tingkat pusat cukup dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

Skema pemungutan PNBP juga menguntungkan dengan adanya penerapan konsep earmarking dalam pengelolaaan keuangan PNBP. Prinsip PNBP dapat digu-nakan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan jenis pungutan yang diterapkan. Dalam hal ini, jika pungutan dilakukan oleh otoritas yang terkait dengan pariwisata, hasil pungutan dapat digunakan sesuai dengan rencana jangka panjang terkait pariwisata secara nasional. Sehing-ga, perkembangan terkait dengan pariwisata di Indonesia dapat merata.

Bentuk pungutan atas keberangkatan ini dapat ditujukan kepada wisatawan mancanegara yang menikmati tempat wisata di Indonesia, sedangkan wisatawan domestik tidak perlu dikenakan pungutan yang sama. Pemungutan PNBP dapat dilakukan melalui pembebanan pada tiket dengan tujuan keluar dari Indonesia (misalnya tiket pesawat terbang dan kapal laut).

Dengan asumsi tarif pungutan sebesar Rp100 ribu per orang dan mengacu jumlah wisatawan asing yang transit di Indonesia (15,8 juta turis sepanjang 2018), potensi tambahan penerimaan negara dari jenis pajak baru ini sekitar Rp1,5 triliun per tahun. Jumlahnya akan bertambah besar seiring dengan pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan asing yang rata-rata tumbuh 10% per tahun.

Intinya, Indonesia dapat mengadopsi pajak keberangka-tan untuk menjadi sumber penerimaan baru bagi negara jika melihat dari potensi alam dan jumlah pertumbuhan wisatawan mancanegara. Namun, mengingat panjangnya proses ratifikasi Undang-Undang untuk pemungutan pajak baru, pungutan melalui skema PNBP dapat menjadi opsi terbaik dalam melakukan pungutan atas keberangkatan tersebut.

Opinion

Indonesia can adopt departure tax as the new state revenue source as seen from the poten-tial of nature and foreign tourist growth number.

Tax Guide10

Page 11: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Tahunan 2018, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Bagaimana tren kepatuhan penyampaian SPT Tahunan selama ini dan strategi apa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mendorong penyampaian SPT? Berikut penjelasan Direk-tur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jender-al Pajak Yon Arsal ketika MUC Tax Guide berkunjung ke kantornya belum lama ini:

Bagaimana tingkat kepatuhan pajak saat ini?

Pada prinsipnya kalau kita bicara kepatuhan, secara teori ada empat pilar yaitu pendaft-aran, pelaporan, kepatuhan pembayaran, dan correct reporting atau melaporkan dengan benar. Jadi yang kita publikasikan selama ini terkait dengan kepatuhan pelaporan. Kalau kepatuhan pendaftaran itu kaitannya dengan ekstensifi-kasi.

Kepatuhan pelaporan SPT itu kita hitung, ukurannya mulai dari jumlah Wajib Pajak terdaftar, itu Wajib Pajak yang wajib SPT berapa? Karena tidak seluruh Wajib Pajak terdaftar itu wajib SPT. Ada yang status istri, kalau perusahaan ada yang status cabang, JO atau joint operation kan tidak wajib menyampaikan SPT. Ada juga bendahara, Wajib Pajak yang penghasilannya di bawah PTKP dan Wajib Pajak yang statusnya non-efektif. Nah itu kan termasuk Wajib Pajak-Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT.

ingga April nanti merupakan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)

Up to next April is the period of 2018 Annual Tax Return submis-sion both for Individual and Corpo-rate Taxpayers. How is the trend in the Tax Return submission compli-ance so far and what is the strate-gy implemented by Directorate General of Taxes (DGT) to encour-age the Tax Return submission? The following is the explanation from Director of Potential, Com-pliance, and Revenue of Director-ate General of Taxes, Yon Arsal when MUC Tax Guide visited his office recently:

How is the level of tax compli-ance recently?

Basically, if we talk about compli-ance, theoretically there are four points i.e. registration, reporting, payment compliance, and correct reporting. So, the thing we have been bringing out so far is related to reporting compliance. The registration compliance is related to the extensification.

We estimate the compliance of Tax Return reporting by consider-ing the number of registered Taxpayers, how many Taxpayers are obliged to report their Tax Returns? It is because not all the registered Taxpayers are obliged to report it. Some are with the status as wife, for companies some are with status as branch, JO or joint operation which is not obliged to file the Tax Return. There are also treasurers, Taxpayers whose incomes are below Non-taxable Income and Taxpay-ers whose status is non-effective. They are included as Taxpayers who are not obliged to file the Tax Return.

Inspiration

The Faster, The More Convenient

Yon ArsalDirector of Potential, Compli-ance, and Revenue of Directorate General of Taxes

11Tax Guide

Page 12: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Inspiration

Seberapa besar kepatuhan penyampaian SPT sejauh ini?

Kalau untuk tahun 2018 kemarin, itu dari jumlah Wajib Pajak terdaftar di awal tahun, per 1 Januari 2018 sekitar 39 juta Wajib Pajak. Itu yang wajib SPT adalah 16,5 juta. Nah kemudian target kepatuhan yang dihitung dari jumlah Wajib Pajak terdaftar wajib SPT tersebut ditetapkan targetnya 80%, yaitu kurang lebih 14 jutaan. Realisasinya 12,5 juta sehingga capaiannya adalah sekitar 71%. Angkanya memang sedikit turun dari yang 2017, tapi kalau kita bedah lagi kenapa turun? Itu lebih disebabkan salah satunya, karena jumlah orang pribadi (OP) non-karyawan dan badan itu naik atau tumbuh. Tapi penurunan terjadi pada Wajib Pajak-Wajib Pajak karyawan. Kenapa Wajib Pajak karyawan penyampaian SPT-nya turun?

Karena memang sejak dua tahun yang lalu ada kenaikan batas PTKP. Dengan kenaikan PTKP, Wajib Pajak-Wajib Pajak (dengan penghasilan) di bawah PTKP tidak mema-sukkan SPT, otomatis sebagian besar SPT yang 1770 SS ini kan terpengaruh. Ambil contoh sekarang karena PTKP OP Rp54 juta setahun, sementara yang mengisi SS itu maksi-mal penghasilan setahun itu Rp60 juta. SPT yang diterima selama ini sebagian besar 1770 SS, yang berada di karyawan, pensiunan dan sebagainya. Nah orang-orang ini kan pada prinsipnya dengan kenaikan PTKP otomatis tidak lagi wajib menyampaikan SPT. Itu sebenarnya yang terjadi.

Kenapa jumlah Wajib Pajak wajib SPT tidak diturunkan agar tidak jomplang dengan target?

Karena kita tidak sepenuhnya mendapat informasi sebe-narnya orang ini penghasilannya berapa, kita baru tahu setelah mereka menyampaikan SPT. Misal kita adjust sekarang untuk tahun 2019, kita cek di tahun kemarin berapa yang masih menyampaikan SPT tapi (penghasilan-nya) di bawah PTKP, nah itu tidak lagi kita hitung karena besar kemungkinan tahun ini dia tidak akan memasukkan SPT lagi. Tapi itu kan tidak cepat prosesnya. Bisa juga kita bilang udah kamu tidak usah menyampaikan SPT, tapi siapa tahu dia ada penghasilan lainnya yang dia report sendiri secara voluntary.

Tapi tidak juga tiap tahun turun karena rata-rata jumlah Wajib Pajak tiap tahun tambah juga dan kita juga punya basis lain misalnya data, ada data-data tertentu yang kita punya yang bisa menunjukkan bahwa oh mungkin orang yang tadinya mengaku di bawah PTKP tapi ada data lain yang menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak di bawah PTKP karena ada penghasilan lain dan seterusnya.

How far is the compliance of Tax Return submission until now?

For 2018, from the total registered Taxpayers at the beginning of the year, per 1 January 2018, there were 39 million Taxpay-ers. Those who are obliged to file their Tax Returns were 16.5 million. Then, the target of compliance that is calculated from the number of those who are Tax Return-reporting mandatory is determined by 80%, which is approximately 14 million. The realization is 12.5 million so that the accomplishment is around 71%. The number slightly declines compared to 2017, but if we elaborate why does the decrease occur? One of them is because the number of non-employee Individual

Since we don’t fully receive the information about how much their incomes are, we will know it after they submit their Tax Returns. For example, we now make an adjustment to the year 2019, we will check it from last year how many of them still report their Tax Returns but (having income) below Non-taxable Income, we won’t count them since it is more likely that this year they will not file their Tax Returns again. But the process takes time. We can just tell them that they are no longer required to submit the Tax Returns, but who knows that they earn other incomes they report voluntarily.

1770 S SPT TAHUNAN

NO NPWP

IDEN

TITA

S

A. ID

ENTI

TAS

IDEN

TITA

SB.

PEN

GHA

SILA

N

KEN

A PA

JAK

IDEN

TITA

S

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah tanpa nilai desimal

NAMA WAJIB PAJAK

PEKERJAAN

NO TELEPON LAMPIRAN TERSENDIRI

PERUBAHAN DATA

A. PAJAK PENGHASILAN

KEMENTRIAN KEUANGAN

1770 SS SPT TAHUNAN

NO NPWP

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah tanpa nilai desimal

1.2.3.4.5.6.7.

NAMA WAJIB PAJAK

A. PAJAK PENGHASILAN

KEMENTRIAN KEUANGAN

8.9.10.

B. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK

11.

12.

C. DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN

PERNYATAAN

Taxpayers and Corporate Taxpay-ers is rising or growing. However, decline takes place in the number of employee-Taxpayers.

Why does the submission of Tax Return of Taxpayer of employee decrease?

Admittedly in the past two years there was an increase in the limit of Non-taxable Income. Through this increase, the Taxpayers (having income) below Non-tax-able Income do not report the Tax Returns, (which) automatically affects most of 1770 SS Tax Return. For instance, now the limit of Non-taxable Income for Individual Taxpayer is IDR54 million a year, while for those who fill this SS, the maximum income in a year is IDR60 million. The Tax Returns received currently are mostly 1770 SS, which are from employees, retirees, etc. Well, basically with the increase in Non-taxable Income, these people are auto-matically no longer obliged to file the Tax Return. It is what really occurs.

Why is the number of those who are obliged to report their Tax Returns not reduced so that it is not unequal to the target?

Tax Guide12

Page 13: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Inspiration

mation). Itu kita direview standar EoI di mana standar negara-negara OECD itu adalah 85% ternyata untuk total SPT yang masuk, 95% untuk badan. Kita direview EoI ini dua tahun belakangan.

Effort untuk mencapai target tersebut seperti apa?

Kalau kita yang pasti pendekatan persuasif dilakukan. Makanya kampanye besar-besaran selalu di bulan Maret terutama untuk orang pribadi karena seba-gian besar Wajib Pajak wajib SPT terdaftar itu adalah orang pribadi, jadi bagaimana merangkul orang pribadi. Dan caranya macam-macam. Pertama, melalui kampanye terbuka. Kalau kampanye terbuka kan pendekatannya persuasif saja, kita sampaikan semua spanduk di mana-mana, iklan di tv, radio, dan media cetak. Kedua, pendekatan melalui pemberi kerja karena sebagian besar (Wajib Pajak Orang Pribadi) kan karyawan. Pemotong itu kan ada di peru-sahaan. Kita kontak perusahaannya agar cepat-cepat mengeluarkan bukti potong-nya biar karyawannya bisa melakukan e-filing.

Kita biasanya dalam hal tertentu juga temen-temen proaktif visit ke kantor-kantor yang karyawannya susah untuk keluar, kita membantu. Kan sekarang sebenarnya sudah tidak sulit lagi mengisi SPT, cuma tidak dipungkiri juga kadang-kadang perlu ada nanya, perlu ada konsultasi, nah anggota kita itu siap di mana-mana. Jadi selain kampanye terbuka, kita bantu juga one on one ke perusahaan - perusahaan

terutama yang karyawannya banyak jumlahnya. termasuk bendaha-ra-bendahara pemerintah juga.

Ketiga, ya kita ingatkan. Bagi yang sudah pernah menyampaikan SPT tentu kita ingatkan, makanya itu kemarin ada email blast dan itu tidak sembarangan juga. Isinya juga mengingatkan. Poin yang kita sam-paikan adalah anda memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Kalau mau kami bantu, kami bantu. Dan, kalau bisa sampaikan SPT-nya sebelum tanggal 16, walaupun jatuh tempo tanggal 31.

Data ini yang terus kita kombinasi. Kalau setahun rata-rata kenaikan jumlah Wajib Pajak itu antara 3 juta sampai 3,5 juta tapi kan kenaikan Wajib Pajak wajib SPT-nya tidak langsung sebesar itu. Di situlah kita ada adjustment-adjustement-nya. Intinya yang lama-lama yang tidak wajib kita hilangkan, sedangkan Wajib Pajak yang baru diwajibkan tentunya menjadi faktor penambah.

Berapa target kepatuhan tahun ini?

Target kita tahun ini adalah 85%. Kenapa 85%? Itu lebih karena kita seka-rang ada standar internasionalnya dalam konteks EoI (Exchange of Infor-

It is also not that it decreases every year as in average the number of Taxpayers each year also increases and we also have other basis such as data, (in which) there are certain data we have that may show some people who declare (having income) below Non-taxable Income but proven actually (having income) not below Non-taxable Income because of other incomes, etc. We continuously combine this data. If in a year the average increase of the number of Taxpayers is between 3 million and 3.5 million, the increase in the number of Tax Return reporting-mandatory Taxpayers is not automatically the same. On that base we make adjustments. The point is that we eliminate those who are no longer obliged to do it, while the newly reporting-mandatory Taxpay-ers indeed become an add factor.

How about the compliance target this year?

Our target this year is 85%. Why 85%? It is more because now there is an international standard in the EoI (Exchange of Information) context. We are being reviewed by EoI standard in which the standard for OECD countries is 85% for the total incoming Tax Returns, 95% is for the corporates. We were reviewed by EoI in the last two years.

SPT TAHUNAN

2 0

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah tanpa nilai desimal

NO FAKS.

LAMPIRAN TERSENDIRI

KEMENTRIAN KEUANGAN

TIDAK ADA

PERNYATAAN

SPT TAHUNAN2 0

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah tanpa nilai desimal

KEMENTRIAN KEUANGAN

B. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK

PERNYATAAN

13Tax Guide

Page 14: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Kenapa harus lapor lebih awal?

Kalau orang Indonesia kan cenderungnya menunggu, pasti numpuk di akhir bulan. Cuma risikonya kan kita tidak pernah tahu. Mungkin ada jaringan bermasalah. Jaringan kan mungkin tidak hanya DJP (Ditjen Pajak) saja, jaringan internet si Wajib Pajak bisa juga. Daripada menimbulkan komplain, kami menyarankan kalau mau, kita ingatkan nanti lapor duluan. Jadi untuk menggalakkan SPT ya tadi kita lakukan pendekatannya, masif terbuka, menargetkan kepada pemberi kerja tertentu, kepada Wajib Pajak-Wajib Pajak yang tahun lalu sudah memasukkan SPT dan tahun ini seharusnya berkewajiban juga, dan juga kepada Wajib Pajak-Wajib Pajak yang kami pikir kami punya datanya dan orang ini wajib menyampaikan SPT. Intinya lebih cepat lebih nyaman. Kalau tenggat waktu sudah terlampaui, apa yang akan dilakukan DJP?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Wajib Pajak itu tidak melaporkan SPT. Yang legal khususnya terkait perpanjangan waktu karena belum selesai audit laporan keuangan dan sebagainya. Ketika jangka waktu ini sudah terlewati, kita akan segera lakukan analisis karena kita punya daftar satu-satu namanya. Dari 16,5 juta itu ada nama, ada NPWP-nya. Nanti kita tinggal matching-kan setelah April baik OP maupun badan, siapa dari daftar ini yang sudah menyampaikan, siapa yang belum.

Nanti kita sampaikan lagi ke unit, Kanwil, KPP, bahwa tolong dicek lagi nih di daftar kalian. Misal Kanwil A sudah ditetapkan target 100 Wajib Pajak yang menyampaikan SPT, tapi kok baru ada 60. Tolong cek dong yang 40 lagi kenapa? Kan penyampaian SPT ini masih bisa sampai akhir tahun walaupun mereka kena sanksi dan itu relative-ly masih cukup banyak sebenarnya dan dengan data yang semakin berkualitas, kita tentu lebih confident juga men-gajak Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT.

Yang belum menyampaikan, umumnya alasannya apa? Kadang kala begini, masalah penyampaian SPT ini, kalau kita lihat akarnya kenapa orang tidak menyampaikan SPT adalah banyak justru orang-orang yang tidak tahu kewa-jiban pajaknya. Makanya kita lebih menekankan persuasif, outreach itu karena banyak juga yang tidak memahami terutama karyawan bahwa (mereka pikir) kalau saya itu sudah dipotong pajak, ngapain lapor lagi, saya tidak kerja di mana-mana kok, kan gitu.

Padahal kewajiban itu tanda kutip ada dua, yaitu kewa-jiban pembayaran dan kewajiban pelaporan. Jadi banyak case-nya sebenarnya ditemukan banyak orang-orang yang justru tidak tahu kalau dia itu harus melaporkan SPT. PR kita justru dalam hal ini memberikan outreach program yaitu memberikan edukasi bahwa ini lho Anda memang

What kind of efforts that we put in to achieve the target?

We’ll surely use persuasive approach. Therefore, there is always massive campaign in March especially for individuals since most of registered Tax Return-reporting mandatory Taxpayers are individuals, so it is how we gather them. And, the mechanisms are various.

First, it is through an open campaign. The approach for open campaign is only persuasive way, we put all banners every-where, advertisement on television, radio, and print media. Second, it is the approach via the employers as most (Individ-ual Taxpayers) are employees. The withholders are in the companies. We contact the companies so that they immedi-ately issue the withholding slip, thus their employees can perform e-filing.

In special case, we are proactive to visit the offices where the employees are difficult to go outside, we assist them. In fact, it is basically easy to fill in the Tax Return, yet it is also undeni-able that sometimes confirmation and consultation are necessary. Thus, our officers are ready everywhere. So, other than open campaign, we also help them one on one to companies especially those with many employees including governmental treasurers.

Third, we make reminders. We remind those who have submitted Tax Return thus there was email blast yesterday and it was not random. The content is a reminder as well. Our point to convey is that you have an obligation to report the Tax Return. If needing our assistance, we will help you. And, if possible, submit it before 16th, even though the due date is 31st.

Why should we report it earlier?

Indonesians are most likely to wait, it’ll pile up at the end of the month. But we never know the risks. There may be network prob-lems. The network is not only DGT’s (Directorate General of Taxes), the Taxpayer’s internet connection may also be the cause. To anticipate complains, we suggest an early reporting, if you want.

Inspiration

20132013

56.2%

Compliance Ratio

Tax Guide14

Page 15: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Inspiration

sudah dipotong tapi dilaporkan juga makanya kita tidak bisa men-judge kalau jumlah penyampaian SPT 70% berarti jumlah pengemplang pajak 30%, tidak bisa juga. Belum tentu juga. Mungkin di dalamnya ada, tapi tidak seluruhnya. Kaitan dalam SPT memang lebih banyak karena ketidaktahuan, makanya edukasi menjadi bagian yang sangat penting.

Nah untuk orang-orang yang rasa-rasanya dia sudah tahu tapi bilang tidak tahu ya kita ingatkan juga. Makanya email yang blast tadi itu disampaikan untuk mengingatkan sebenarnya. Nah bahwa nanti ternyata tetap tidak masukkan SPT ya kita tunggu setelah SPT jatuh tempo. Nanti kan ada proses klarifi-kasi lagi, kenapa tidak menyampaikan?

So, in order to promote the Tax Return, we take the approach, open and massive, by targeting certain employers, the Taxpayers who reported their Tax Returns last year thus for this year they must have the same obligation, and also the Taxpayers whose data we have and who are obliged to report their Tax Returns. The point is the faster, the more convenient.

If the deadline has been passed, what will DGT do?

There are several factors causing the Taxpayers not report their Tax Returns. What’s legal is specifically related to the time exten-sion as the audit of financial report has not been done, etc. If the due date has been exceeded, we will immediately analyze it since we have the list of names. From the total 16.5 million, there are names and the Tax ID Numbers. After April, we will match the data, both Individual and Corporate Taxpayers, from the list who have submitted it and who haven’t.

Then, we report it to the unit, regional offices, Tax Offices, to be checked in their lists. For instance, a regional office has targeted 100 Taxpayers reporting their Tax Returns, but why it is only 60. They should check how about the remaining 40? Indeed, this submission can still be made until the end of the year even though they are subject to sanction and it is relatively still quite many actually and with the data that is more qualified, we are more confident to encourage the Taxpayers to report their Tax Returns.

For those who have not reported their Tax Returns, in general what is the reason? Sometimes, related to this Tax Return reporting, if we try to look deeper at why they do not report their Tax Returns, it is that because many people are not aware of their tax obligation. Therefore, we emphasize the persuasive, the outreach, since there are many of them who do not understand it, especially employees, that (they think) I have been taxed, why should I report it, I do not work anywhere else. In fact, there are two obligations, namely payment and reporting obligation. There are many cases discovered that many people do not really know that they must report their Tax Returns. Our task in this case is providing an outreach program by giving education that when you have been taxed, you still have to report it, thus we cannot judge that the number of Tax Return submissions that reaches 70% means 30% of tax evader, it doesn’t mean that way. It is not always like that. There may be some of them in it, but not entirely. In terms of Tax Return, it is more about unawareness, so that educa-tion becomes an essential part.

For those who have known about it but saying they don’t, we also remind them. That’s why we send the email blast to remind them. If they still do not conduct reporting, we will wait after the due date of Tax Return. Later, there will be clarification process to know why they do not report it.

20142015

20162017

20132014

20152016

201759.13%

60.44%

60.78%

72.44%

15Tax Guide

Page 16: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

45219 1299 7263 8364

ABC BANK

pay

*Nendi Bachtiar & Bayu Cahyadiputra

Opinion

Dewasa ini, layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) tumbuh pesat dan semakin menyemarakan industri keuangan nasional maupun global. Namun, sejatinya layanan fintech bukanlah hal baru, melainkan respons atas teknologi yang senantiasa bergerak aktif. Dalam hal ini, teknologi internet menjadi faktor utama yang mendukung transformasi sistem penye-dia jasa keuangan, yang membuat pelayanan fintech men-jadi tanpa batas.

Ragam jasa keuangan yang ditawarkan fintech pun tergolong mirip dengan jasa keuangan konvensional, mulai dari jasa perbankan, asuransi, investasi, hingga sistem pembayaran. Perbedaannya adalah fintech memungkink-an pelanggan untuk dapat mengakses seluruh jasa keuan-gan tersebut hanya dengan bantuan gawai (gadget). Bahkan pelanggan kini bisa mendapatkan nasihat keuan-gan otomatis tanpa harus berinteraksi dengan manusia lain.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan fintech sebagai aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Ada empat kategori jasa keuangan berbasis online versi OJK. Pertama, fintech yang bisnis intinya berupa jasa pembayaran (payment), kliring (clear-ing), dan penyelesaian (settlement).

Kedua, fintech yang sifatnya mengumpulkan berbagai

informasi pilihan layanan keuangan— berupa persandin-gan, mulai dari harga, fitur, hingga manfaat produk keuan-gan—untuk kemudian ditawarkan kepada calon konsumen (market aggregator).

Ketiga, fintech yang berfokus pada manajemen risiko dan investasi dengan mengembangkan perangkat lunak sistem perencanaan keuangan melalui pemetaan situasi dan kondisi keuangan berdasarkan informasi dasar yang diinput pengguna.

Keempat, fintech pengepul dana atau pembiayaan

Nowadays, technology-based financial service or financial technology (fintech) grows rapidly and makes the national and global financial industries even merrier. However, fintech service is actually not a new thing, but a response to technol-ogy that is always actively developing. In this case, internet technology becomes the main factor supporting the transfor-mation of financial service provider system, making fintech service limitless.

The variations of financial service offered by fintech are considered similar to those of conventional financial service, starting from banking, insurance, investment, to payment system services. The difference lies on the fact that fintech enables the customer to access all of the financial services only with the help of a gadget. Now the customer can even get an advice on finance automatically without the need to interact with other human.

Financial Service Authority (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) defines fintech as the renewal activity of business process, business model, and financial instrument that gives new additional value in financial service sector by involving digital ecosystem. There are four categories of online-based finan-cial services according to OJK. First, fintech with main businesses in payment, clearing, and settlement services.

Second, fintech with the characteristic of collecting various

information about financial service choices—in the form of comparison, starting from price, feature, to benefit of financial products—to be then offered to prospective customers (mar-ket aggregator).

Third, fintech that focuses on risk and investment manage-ment by developing financial planning system software through the mapping of financial situation and condition based on basic information inputted by user.

Fourth, fintech that collects fund or financing through appli-cation that facilitates interaction between individuals acting as debtor and creditor. This kind of fintech is known as crowd funding and Peer-to-Peer (P2P) Lending.

Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Tax Guide16

Page 17: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

melalui aplikasi yang memfasilitasi interaksi antarindividu yang bertindak sebagai debitur dan kreditur. Fintech jenis ini dikenal dengan crowd funding dan Peer-to-Peer (P2P) Lending.

Jenis fintech yang terakhir, yakni jasa pinjaman P2P merupakan fintech dengan nilai transaksi yang cukup signifikan di Indonesia. OJK mencatat nilai penyaluran kredit P2P per Agustus 2018 mencapai Rp11,68 triliun. Otoritas memprediksi angka penyaluran pembiayaan industri P2P Lending bakal menembus nominal Rp20 triliun hingga akhir tahun 2018. (Bisnis Indonesia, Oktober 2018)

Sumber Masalah

Harus diakui bahwa keberadaan fintech memberi banyak manfaat, seperti waktu akses jasa keuangan yang lebih efek-tif serta kenyamanan yang dapat disesuaikan dengan mobili-tas pelanggan, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan maupun penyedia jasa keuangan menjadi lebih efisien. Walaupun demikian, bukan berarti fintech bebas dari risiko.

Hingga 8 November 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 debitur pinja-man online terkait berbagai bentuk pelanggaran hukum oleh penyedia jasa fintech P2P Lending. Bentuk pelanggarannya bermacam-macam, mulai dari cara penagihan yang tidak beradab hingga penyalahgunaan data pribadi. Sumber masalahnya adalah bunga tinggi yang membuat nasabah seolah dijebak oleh “rentenir digital” berkedok P2P Lending. (CNBC Indonesia, November 2018)

Model bisnis fintech yang berbeda dengan penyedia jasa keuangan konvensional mempersulit regulator melakukan identifikasi atas hak dan kewajiban yang ditanggung oleh penyedia layanan tersebut dan pelanggan. Minimnya pertemuan antara pelanggan dan penyedia fintech membuat keputusan yang diambil pelanggan menjadi rentan terhadap sengketa akibat asimetri informasi. Selain itu, fintech juga rentan terhadap gangguan, bahkan penyalahgunaan data dan informasi pribadi karena berbasis teknologi yang dijalankan secara daring.

OJK telah membuat aturan main bagi para pelaku industri fintech, yang antara lain diatur dalam POJK Nomor 77/PO-JK.01/2016 (POJK 77/2016) tentang Layanan Pinjam Memin-jam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 (POJK 13/2018) tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekosistem yang kondusif di dalam industri keuangan digital serta melindungi pihak-pihak yang bertran-saksi.

Melalui paket regulasi tersebut, OJK secara rinci mengatur profil penyelenggara maupun penguna. Khusus penyeleng-gara, OJK masih membatasi status badan hukum hanya yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya. Selain bentuk badan hukum, dari sisi kepemilikan pun OJK mewajibkan lembaga tersebut didirikan atau dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing, dengan porsi kepemilikan maksimal sebesar 85%.

Selain itu, penyelenggara juga wajib memenuhi Regulatory Sandbox atau program uji coba sistem dan layanan dengan rentang waktu antara 6-12 bulan sebelum bisnis dioperasikan

The last fintech, namely P2P lending service, is a fintech with transaction value that is quite significant in Indonesia. OJK recorded that the amount of P2P credit distribution per August 2018 reached IDR11.86 trillion. The Authority has predicted that the financing distribution amount of the P2P lending industry will have reached IDR20 trillion by the end of 2018. (Bisnis Indonesia, October 2018)

Source of Problem

It should be admitted that fintech provides many benefits, such as the duration of financial service access that is more effective, as well as the convenience that is adjustable to the customer’s mobility, so that the cost incurred by the customer and the financial service provider becomes more efficient. Nevertheless, it does not mean that fintech is risk-free.

Up to 8 November 2018, Legal Aid Institute Jakarta received

complaints from 283 debtors of online loan related to various forms of violation of law by P2P Lending fintech service provid-er. The violation varies, from unpleasant collection method to individual data misuse. The source of the problem is the high interest, which makes the customers seem to be trapped by “digital moneylenders” disguised as P2P Lending. (CNBC Indonesia, November 2018)

Fintech business model that is different from conventional financial service provider makes it hard for the regulator to identify the rights and obligations borne by the service provid-er and its customer. The limited face-to-face contact between customer and fintech provider makes the decision taken by the customer more vulnerable to dispute due to information asymmetry. Besides, fintech is also vulnerable to disruption, not to mention individual data and information misuse since it is online technology-based.

OJK has set out rules for fintech industrial players, such as POJK Number 77/POJK.01/2016 (POJK 77/2016) on Informa-tion Technology-based Money Loan Service and POJK Number 13/POJK.02/2018 (POJK 13/2018) on Digital Financial Innovation in Financial Service Sector. The objective is to create a conducive ecosystem in digital financial industry as well as to protect the transacting parties.

Under such regulation package, OJK sets detailed profile of operator and user. Notably for the operator, OJK still limits the legal entity status to only limited liability company or coopera-tive confirmed as other financial service institutions. In addition to legal entity, from ownership side, OJK obliges that the institution must be established or owned by foreign citizen and/or legal entity, with maximum ownership of 85%.

Besides, the operator must also meet Regulatory Sandbox or system and service trial program within a period of 6-12

Fintech provides many benefits, such as the duration of financial service access that is more effective, as well as the conve-nience that is adjustable to the customer’s mobility,

17Tax Guide

Page 18: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

secara penuh. Dengan demikian, OJK dapat menilai risiko transaksi dan keandalan proses bisnis, model bisnis, instru-men keuangan, dan tata kelola penyelenggara.

Terkait pengguna—dalam hal ini adalah penerima dan

pemberi pinjaman—OJK mempersilakan warga negara dan/atau badan usaha asing termasuk lembaga internasion-al untuk turut serta menjadi pemberi pinjaman. Namun, penerima pinjaman hanya diperuntukkan bagi warga negara dan/atau badan hukum yang berasal dan berdomisili di Indonesia.

Menyoal Pajak

Apabila melihat masifnya pertumbuhan industri fintech, nilai transaksi jasa keuangan berbasis teknologi sangat signifikan. Pun demikian seharusnya dengan potensi pajak yang menyertainya.

Untuk P2P Lending, misalnya, potensi pinjaman yang dapat

disalurkan nilainya bisa mencapai Rp2 miliar untuk setiap penerima pinjaman. Apabila memperhitungkan bunga atas pinjaman, bayangkan berapa besar potensi pajak yang dapat masuk ke kas negara dari bisnis ini.

Pada prinsipnya, setiap tambahan penghasilan atau

kekayaan wajib dikenakan pajak. DJP dalam berbagai diskusi dengan pelaku industri digital kerap menjabarkan aspek perpajakan yang melekat terhadap jasa layanan keuangan, tanpa terkecuali fintech. Pendekatan pajak disesuaikan dengan klasifikasi industri keuangan, yang berdasarkan kajian DJP terdapat lima jenis aktivitas fintech.

Pertama, fintech jasa pembayaran seperti crowd funding atau P2P Lending. Berdasarkan ketentuan perpajakan, keun-tungan yang didapat dari pelaku bisnis ini seharusnya dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari total pendapatan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas penyer-ahan jasa.

Kedua, fintech perdagangan software keuangan. Pajak yang menyasar fintech jenis ini adalah PPN sebesar 10% atas penyerahan barang tidak berwujud.

Ketiga, fintech jasa riset penilaian kredit. Sama halnya dengan sebelumnya, fintech jenis ini juga dapat dikenakan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa penilaian kredit.

Keempat, fintech di bidang manajemen investasi. Fintech jenis ini dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari total pendapatan dan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa.

Kelima, fintech yang bergerak di bidang jasa keuangan dan asuransi—termasuk tabungan, pinjaman, dan permoda-lan—secara umum dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% atas pendapatan yang berasal dari bunga pinjaman, dividen, atau keuntungan lainnya.

Namun, pada hakekatnya Indonesia mengadopsi sistem perpajakan self-assessment. Artinya, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melapor-kan sendiri pajak yang seharusnya terutang. Karenanya, “kepatuhan” Wajib Pajak menjadi kata kunci dan, untuk itu, himbauan saja tidaklah cukup.

Sayangnya, belum ada regulasi khusus yang mengatur mekanisme pemajakan atas keuntungan atau penghasilan dari bisnis fintech—utamanya P2P Lending. Karenanya, wajar

months before the business is fully operated. Thus, OJK can assess the transaction risk and reliability of business process, business model, financial instrument, and governance of the operator.

In regards to user—in this case debtor and creditor—OJK allows foreign citizen and/or legal entity including international institution to be a creditor. However, the debtor is only for the citizen and/or legal entity from or domiciled in Indonesia.

Speaking of Tax

Considering the massive growth of fintech industry, the trans-action amount of technology-based financial service is very significant. The concerning tax potential should also be the same.

For P2P Lending, for instance, the potential of loan amount that can be distributed can reach IDR2 billion for each debtor. If we calculate the interest on loan, imagine how big the potential is for the tax that can go to the state cash from this business.

Principally, each additional income or property is subject to tax. DGT in a series of discussion with digital industrial players frequently elaborates the tax aspects on financial service, fintech is no exception. The tax approach is adjusted to the financial industrial classification, in which based on DGT study there are five types of fintech activity.

First, fintech for payment service such as crowd funding or

P2P Lending. Based on taxation provisions, the benefit obtained by the business player should be subject to Income Tax Article 23 at 2% of total income and 10% Value Added Tax (VAT) upon the service provision.

Second, fintech for financial software trading. The tax imposed in this type of fintech is 10% VAT upon intangible goods transfer.

Third, fintech for credit assessment research service. Similar to the above types, this fintech is also subject to 10% VAT upon credit assessment service provision.

Fourth, fintech for investment management. This type of fintech is imposed with Income Tax Article 23 at 2% of total income and 10% VAT upon service provision.

Fifth, fintech engaged in financial and insurance service—in-cluding saving, loan, and capital—is generally subject to Income Tax Article 23 of 15% upon the income derived from loan interest, dividend, or other profits.

Whereas, Indonesia basically adopts self-assessment tax system. In other words, the Taxpayers are trusted to calculate, pay, and report the tax that should be payable themselves.

The transaction amount of technology-based financial service is very significant. The concerning tax potential should also be the same.

Tax Guide18

Page 19: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

thus, persuasion is not enough.

Unfortunately, special regulation on taxing mechanism upon the profit or income from fintech business—esp. P2P Lending—is yet to issue. Hence, it is normal that DGT finds it hard to determine the tax subject and identify the income from online loan business in Indonesia.

There are several issues that become challenges for DGT to

tax fintech business. Among others, the mechanism to deter-mine the tax subject and object, set the proportional tax rate, and impose the tax. Besides, the availability of transaction data that are limited and the method to track the location of fintech players also become a task for the Tax Authority.

Not to mention the method to map fund transfer media in

fintech transaction, as well as to determine the just taxing method. Those have not been included in international taxation, in which Indonesia’s taxing right is bound to Double Taxation Avoidance Agreement (tax treaty).

So far, the government expects awareness and compliance of fintech players to fulfill their tax obligations well and accu-rately. The regulations used as a sweet complement to attract the Taxpayers are only Government Regulation Number 23 Year 2018, which gives low tax facility for Taxpayers with certain revenue (MSME) and Minister of Finance Regulation Number 197 Year 2013 on limitation of small enterprise subject to VAT.

Whilst Indonesian Tax Authority is still staggering in responding the fintech business dynamic, several countries in the world have run fast with their dynamic taxation technolo-gy and policy. British government, for example, through Financial Conduct Authority (FCA) attempts to accommodate this industry through regulation on P2P Lending, including the taxation issue. Referring to the Introduction of the Innovative Finance ISA in April 2016, P2P Lending interest and profit are exempted from tax. It is by adding the interest income earned by the creditors to their taxable income.

P2P Lending with loan amount of EUR10,000 will acquire 10% annual interest income or EUR1,000 per year. Thus, the basic rate to be paid by the Taxpayer is 20% of EUR1,000, or EUR200. Higher rate will make the Taxpayer pay higher tax (40%). Further, Taxpayers with additional rate shall pay the tax at 45%. However, Personal Saving Allowance in April 2016 allows the Taxpayers with lower rate to obtain EUR1,000 as tax-free interest.

Such tax mechanism is, principally, similar to individual tax

mechanism in Indonesia. Income from P2P Lending is classi-fied as other income that automatically increases the Taxpay-er’s gross income. However, in P2P Lending case, Indonesia has not had any legal basis to impose tax on such income. As a result, P2P Lending still becomes a task to be completed by Indonesian Tax Authority.

jika DJP kesulitan untuk menentukan subjek pajak dan men-gidentifikasi pendapatan dari bisnis pinjaman online di Indo-nesia.

Ada sejumlah isu yang menjadi tantangan DJP untuk bisa memajaki bisnis fintech. Antara lain, cara untuk menentukan objek dan subjek pajak, menetapkan tarif pajak yang propor-sional, serta mengenakan pajaknya. Selain itu, ketersediaan data transaksi yang terbatas dan cara melacak keberadaan pelaku fintech juga menjadi pekerjaan rumah bagi Fiskus.

Belum lagi cara memetakan media transfer dana dalam transaksi fintech, serta menentukan metode pemajakan yang berkeadilan. Itu semua belum masuk pada ranah perpaja-kan internasional, yang mana hak pemajakan Indonesia terikat pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty).

Sejauh ini, pemerintah berharap adanya kesadaran dan kepatuhan dari para pegiat fintech untuk menunaikan kewa-jiban perpajakannya secara baik dan benar. Regulasi yang dijadikan pemanis untuk merayu Wajib Pajak saat ini baru Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, yang memberikan fasilitas pajak murah bagi pelaku Wajib Pajak dengan nilai peredaran bruto tertentu (UMKM) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 Tahun 2013 tentang batasan pengusaha kecil kena PPN.

Ketika Otoritas Pajak Indonesia masih terpincang-pincang merespons dinamika bisnis fintech, sejumlah negara di dunia telah lari kencang dengan teknologi dan kebijakan perpaja-kannya yang dinamis. Pemerintah Inggris, misalnya, melalui Financial Conduct Authority (FCA) mereka berupaya untuk mengakomodasi industri ini melalui regulasi terkait P2P Lending, termasuk soal perpajakannya. Mengacu pada the Introduction of the Innovative Finance ISA pada April 2016, bunga dan keuntungan P2P Lending dibebaskan dari pajak. Caranya dengan menambahkan pendapatan bunga yang didapatkan pemberi pinjaman ke dalam penghasilan kena pajak mereka.

P2P Lending dengan nilai pinjaman £10.000 akan memper-oleh pendapatan bunga 10% per tahun atau £1.000 per tahun. Sehingga, tarif dasar (basic rate) yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah 20% dari nilai £1.000, atau £200. Tingkat pendapatan bunga yang lebih tinggi (higher rate) akan mem-buat Wajib Pajak membayar pajak yang lebih tinggi (40%). Adapun Wajib Pajak dengan tarif pajak yang lebih tinggi lagi (additional rate) diharuskan membayar pajak sebesar 45%. Meskipun demikian, Personal Saving Allowance pada bulan April 2016 memperkenankan Wajib Pajak kecil (lower rate) untuk mendapatkan £1.000 sebagai bunga bebas pajak.

Mekanisme pajak yang demikian, pada prinsipnya, mirip dengan mekanisme pajak orang pribadi di Indonesia. Pendapatan dari P2P Lending diklasifikasikan sebagai peng-hasilan lain-lain yang secara otomatis menaikkan jumlah pendapatan kotor WP. Namun, untuk kasus P2P Lending, Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk mengenakan pajak atas penghasilan tersebut. Walhasil, P2P Lending masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Otoritas Pajak Indonesia.

19Tax Guide

Page 20: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Infographic

of Service

Broadens

Subject toVAT0

Tax Guide20

Page 21: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

The government expands the imposition of Value Added Tax (VAT) rate of 0% on export of taxable service. It is stipulated in Minister of Finance

(MoF) Regulation Number 32/PMK.010/2019

effective on 29 March 2019.

Contract manufacturing service Repair and maintenance service Freight forwarding service

Construction consulting service Technology and information service Research and development service Carrier rent service (airplane and/or ship for international flight or shipping) Business and management consulting service, legal consulting service, architecture and interior design consulting service, human resources consulting service, engineering consulting service, marketing consulting service, accounting service, financial report audit service, and tax service Trading service to search for the seller of goods inside Customs and Excise Territory for export purpose Intercon-nection, satellite and or communica-tion/data connectivity management service

Infographic

3 7

Service adhered to movable goods that are released to be

used outside Customs and Excise Territory

Service adhered to immovable goods outside

Customs and Excise Territory

Other services whose results are utilized outside Customs

and Excise Territory

In the prior regulation, the government only classified 3 (three) types of export of taxable services that are subject to VAT of 0%, namely contract manufacturing service, repair and maintenance service, and construction service. Currently, the quantity increases to 10 (ten) Taxable Services, which are divided into 3 (three) categories. The list is as follows:

21Tax Guide

Page 22: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berjanji akan terus mem-perbaiki kualitas proses pemeriksaan pajak, antara lain dengan melakukan seleksi ketat Wajib Pajak yang diang-gap pantas untuk diperiksa. Reformasi perpajakan lanjutan ini akan mengedepankan keadilan dan efisiensi dalam melakukan pemeriksaan pajak (CNBC Indonesia, 23 Okto-ber 2018).

Ini merupakan kabar baik bagi Wajib Pajak, terutama bagi mereka yang kerap merasa diperlakukan kurang adil dalam pemeriksaan. Kabar baik ini sangat diharapkan tidak hanya sebatas wacana, tetapi dapat ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Harapan selanjutnya adalah bahwa perbaikan tidak hanya pada tahap seleksi atas Wajib Pajak yang akan diperiksa, melainkan juga pada tahap pelaksanaan pemer-iksaan, di antaranya dalam mengimplementasikan aturan-aturan perpajakan yang terkait dengan proses pemeriksaan.

Implementasi aturan perpajakan yang dirasakan kurang adil oleh Wajib Pajak acap kali terjadi. Contohnya pada penerapan ketentuan Pasal 13 ayat 3 huruf c UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) berkenaan dengan pengenaan sanksi kenaikan 100% Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi

Directorate General of Taxes (DGT) promised to keep improving the quality of tax audit process, among others by strictly selecting Taxpayers deemed reasonable to be audited. The advanced tax reform will put forward justice and efficien-cy in conducting tax audit (CNBC Indonesia, 23 October 2018).

This is good news for Taxpayers, especially those who often feel unfairly treated during audit. The good news is expected to be not a mere narrative, but can be followed up with a real action. The other expectation is that the improvement is not only in selection stage upon Taxpayers to be audited, but also in the audit execution stage, inter alia, improvement in imple-menting tax regulations related to audit process.

Implementation of tax regulation considered unfair by the Taxpayers happens frequently. The example is on the imple-mentation of Article 13 paragraph 3 letter c of Taxation Gener-al and Procedures (KUP) Law related to 100% increment sanc-tion of Value Added Tax (VAT) and Sales Tax on Luxury Goods (STLG) underpaid or unpaid. The sanction is imposed due to the Taxpayers’ mistake in compensating the discrepancy in tax overpayment or tax that shall not be charged with 0% rate as referred to in Article 13 paragraph 1 letter c of KUP Law.

From the normative side, the provision of 100% increment sanction of VAT is not a problem. The reason of why the sanc-

Menyoal Arti

Kenaikan 100% dan SanksiKompensasi PPN

Questioning the Meaning of VAT Compensation and 100% Increment Sanction

Tax Guide22

Page 23: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

kenaikan 100% Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi tersebut dikenakan akibat kesalahan Wajib Pajak dalam mengompensasikan selisih lebih pajak atau yang tidak seharusnya dikenakan tarif 0% sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 huruf c UU KUP.

Dari sisi normatif, ketentuan tentang sanksi kenaikan 100% PPN tersebut sebenarnya tidak ada masalah. Alasan menga-pa sanksinya begitu besar adalah karena memang tujuan dari ketentuan tersebut adalah untuk memberikan hukuman yang setimpal atas kesalahan Wajib Pajak karena tidak mem-bayar PPN dengan seharusnya karena mengompensasikan lebih bayar PPN secara tidak benar atau keliru menerapkan tarif PPN 0%. Hal tersebut mungkin dikarenakan Wajib Pajak salah hitung, atau mungkin juga karena kesengajaan atau kecurangan. Apa pun itu, hukum harus ditegakkan.

Sekali lagi, tujuan dari aturan sanksi tersebut sudah tepat. Persoalannya adalah, apakah penerapannya juga sudah tepat?

Beda Tafsir

Sumber masalah sebenarnya muncul dari definisi “kompensasi” yang tidak diatur dengan jelas dalam UU Perpajakan. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kompensasi” dipersamakan dengan: (1) ganti rugi; (2) pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya; (3) pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain; (4) manajemen imbalan berupa uang atau bukan uang (natura) yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.

Dalam konteks Pasal 13 ayat 1 huruf c UU KUP, dapat dipa-

hami bahwa arti kompensasi selisih lebih pajak adalah peng-gunaan lebih bayar PPN untuk membayar utang pajak (kurang bayar PPN) yang ada di bulan berikutnya. Hal ini sesuai dengan definisi “kompensasi” menurut KBBI, yaitu “pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya.” Artinya, kompensasi lebih bayar PPN terjadi ketika terdapat kurang bayar PPN pada bulan berikutnya.

Sebagai ilustrasi, misalnya, Wajib Pajak A melaporkan lebih bayar PPN bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar. Lebih bayar tersebut akan dikompensasikan dengan utang pajak (kurang bayar PPN) bulan berikutnya. Sementara itu, di bulan Febru-ari 2018, Wajib Pajak A melaporkan kurang bayar PPN sebe-sar Rp500 juta. Karena terdapat lebih bayar PPN bulan Janu-ari 2018 sebesar Rp1 miliar yang dapat dikompensasikan, perhitungan PPN menurut Wajib Pajak pada bulan Februari 2018 menghasilkan sisa lebih bayar sebesar Rp500 juta untuk dikompensasikan dengan kurang bayar PPN bulan berikutnya.

Sementara, dalam proses pemeriksaan, misalnya, Pemer-iksa pajak menilai perhitungan PPN oleh Wajib Pajak A untuk bulan Januari 2018 tidak benar karena, berdasarkan pemerik-saan, tidak ada lebih bayar PPN atau nihil. Konsekuensinya, Wajib Pajak A akan diberikan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk bulan Januari 2018 sebesar Rp2 Miliar, yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp1 miliar dan sanksi kenaikan 100% PPN sebesar Rp1 miliar (atas kompensasi lebih bayar PPN yang tidak seharusnya).

tion is so high is because the objective of the provision is to give proper punishment to the Taxpayers’ mistakes for not paying the VAT as it should be because they incorrectly compensate the VAT overpayment or mistakenly apply the 0% VAT rate. It may arise from the Taxpayers’ miscalculation, or it can be intentional or fraud. Regardless of the cause, let the law be done.

To re-underline, the aim of the sanction provision is already correct. The problem is, has the implementation been accu-rate?

Different Interpretation

The source of the problem actually comes from the defini-tion of “kompensasi” (compensation), which is not clearly stipulated in the Tax Law. Referring to Great Dictionary of the Indonesian Language (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KB-BI), “kompensasi” is equal to: (1) damages; (2) receivables settlement by giving goods in which price is equal to the loan; (3) seeking of satisfaction in a sector to obtain a balance from disappointment in other sectors; (4) management of reward in the form of money or non-money (benefits in kind) given to an employee in a company or organization.

In the context of Article 13 paragraph 1 letter c of KUP Law, it can be understood that the meaning of tax overpayment discrepancy compensation is the use of VAT overpayment to pay tax debt (VAT underpayment) of the following month. This is in accordance with the definition of “kompensasi” based on KBBI, which is “receivables settlement by giving goods in which price is equal to the loan.” This means that the compen-sation of VAT overpayment can be made if there is a VAT underpayment in the following month.

As an illustration, for example, Taxpayer A reported VAT overpayment in January 2018 of IDR1 billion. The overpayment would be compensated for the tax debt (VAT underpayment) of the following month. Meanwhile, in February 2018, the Taxpayer A reported VAT underpayment of IDR500 million. Because there was VAT overpayment in January 2018 of IDR1 billion that can be compensated, the Taxpayer’s calculation of VAT in February 2018 resulted in the remaining overpay-ment of IDR500 billion to be compensated for the VAT under-payment of the next month.

Meanwhile, in the tax audit process, for instance, the Tax Auditor was of the opinion that the Taxpayer A’s VAT calcula-tion of January 2018 was incorrect because, during the audit process, there was no VAT overpayment or null. As a conse-quence, the Taxpayer A would be given a Tax Underpayment Assessment Notice (SKPKB) for January 2018 of IDR2 billion, consisted of tax principal of IDR1 billion and 100% VAT incre-ment sanction of IDR1 billion (upon the incorrect VAT overpay-ment compensation).

To re-underline, the aim of the sanc-tion provision is already correct. The problem is, has the implementation been accurate?

23Tax Guide

Page 24: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Referring to Article 13 paragraph 1 letter c and paragraph 3 letter c of KUP Law, the 100% increment sanction shall be charged in the tax period or month when the incorrect VAT overpayment compensation was made.

In the above case example, it is true that the VAT overpay-ment reported by Taxpayer A in January 2018 was IDR1 billion. However, the compensation was just trully conducted by the Taxpayer A in February 2018 of IDR500 million, in accordance with the tax debt (VAT underpayment) of the month.

Therefore, the 100% increment sanction shall be calculated based on the real compensation made by the Taxpayer A in February 2018, which was IDR500 million. It is inaccurate if the sanction is charged to the overpayment base in the previous month (January 2018) of IDR1 billion.

The compensation can be made in the next month if there is a tax debt (VAT underpayment).

Similar to the previous case example, for instance, in the audit process, the Tax Auditor considered that the VAT calcu-lation of Taxpayer B was incorrect. According to the Tax Auditor, the amount of VAT overpayment in January 2018 should be IDR500 million, not IDR1 billion as the Taxpayer B reported.

In the usual practice, the Taxpayer B would be given SKPKB for January 2018 of IDR1 billion, comprising the tax principal of IDR500 million and the 100% increment sanction of IDR500 million. Whereas, based on the audit, in January 2018, the Taxpayer B still had its VAT overpayment of IDR500 million. In addition, the fact was that the VAT overpayment in January 2018 reported by the Taxpayer B has not actually used as compensation (deduction) for tax debt because Taxpayer B had no tax debt. Instead, the Taxpayer B had VAT overpay-ment every month.

Referring the provision of Article 13 paragraph 1 letter c and paragraph 3 letter c of KUP Law, the Taxpayer B should not be charged with 100% increment sanction. It is because, in fact, the Taxpayer B had no tax debt (VAT underpayment). There-fore, the VAT overpayment compensation was not actually made.

A more extreme case possibly arises to a Taxpayer who has VAT overpayment every month, but not filing for any refund (restitution) on the VAT overpayment. For instance, Taxpayer B reported VAT overpay-ments in January and February 2018, each of IDR1 billion, and so forth. However, the VAT overpay-ment will only be refunded in the end of 2018.

Even though the VAT overpay-ment in January 2018 was IDR1 billion, there was no compensation in February 2018 because, in February 2018, there was no tax debt (VAT underpayment). The

Opinion

Mengacu pada Pasal 13 ayat 1 huruf c dan ayat 3 huruf c UU KUP, sanksi kenaikan 100% seharusnya dikenakan pada masa pajak atau bulan terjadinya kompensasi lebih bayar PPN yang tidak seharusnya.

Dalam contoh kasus di atas, memang benar nilai lebih bayar PPN yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A pada bulan Januari 2018 adalah sebesar Rp1 miliar. Namun, kompensasi sejatinya baru dilakukan oleh Wajib Pajak A pada bulan Februari 2018 senilai Rp500 juta, sesuai dengan nilai utang pajak (kurang bayar PPN) bulan tersebut.

Dengan demikian, sanksi kenaikan 100% seharusnya hanya dihitung berdasarkan nilai kompensasi riil yang dilakukan oleh Wajib Pajak A pada bulan Februari 2018, yakni Rp500 juta. Keliru apabila sanksi dikenakan atas dasar nilai lebih bayar bulan sebelumnya (Januari 2018) yang sebesar Rp1 miliar.

Kasus yang lebih ekstrim dapat terjadi pada Wajib Pajak yang mengalami lebih bayar PPN setiap bulan, namun tidak men-gajukan restitusi (pengembalian) atas lebih bayar tersebut setiap bulannya. Misalnya, Wajib Pajak B melaporkan adanya lebih bayar PPN di bulan Januari dan Februari 2018 masing-masing sebesar Rp1 miliar dan seterusn-ya. Namun, lebih bayar tersebut baru akan direstitusi pada akhir tahun 2018.

Meskipun lebih bayar PPN bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar, nilai yang dikompen-sasikan di bulan Februari 2018 sebenarnya tidak ada karena, pada bulan Februari 2018, tidak terdapat utang pajak (kurang bayar PPN). Kompensasi baru dapat dilakukan pada bulan berikutnya jika terdapat utang pajak (kurang bayar PPN).

Seperti pada contoh kasus sebelumnya, misalnya, dalam proses pemeriksaan, Pemeriksa pajak menganggap perhitungan PPN oleh Wajib Pajak B tidak benar. Menurut pemeriksa, nilai lebih bayar PPN pada bulan Januari 2018 seharusnya Rp500 juta, bukan Rp1 miliar seperti yang dilaporkan Wajib Pajak B.

Dalam praktik selama ini, Wajib Pajak B akan diberikan SKPKB untuk bulan Januari 2018 sebesar Rp1 miliar, yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp500 juta dan sanksi kenaikan 100% sebesar Rp500 juta. Padahal, berdasarkan pemeriksaan tersebut, pada bulan Januari 2018, Wajib Pajak B masih memiliki lebih bayar sebesar Rp500 juta. Selain itu, faktanya, lebih bayar PPN bulan Januari 2018 yang dilaporkan Wajib Pajak B belum benar-benar dimanfaatkan sebagai kompensasi (pengurang) atas utang pajak karena Wajib Pajak B tidak memiliki utang pajak. Melainkan, Wajib Pajak B memi-liki lebih bayar PPN setiap bulannya.

Kembali merujuk pada ketentuan Pasal 13 ayat 1 huruf c dan ayat 3 huruf c UU KUP, Wajib Pajak B seharusnya tidak dapat dikenakan sanksi kenaikan 100%. Sebab, faktanya, Wajib Pajak B tidak memiliki utang pajak (kurang bayar PPN).

Referring to Article 13 para-graph 1 letter c and para-graph 3 letter c of KUP Law, the 100% increment sanction shall be charged in the tax period or month when the incorrect VAT overpayment compensation was made.

Tax Guide24

Page 25: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

The Need for Certainty

The cases above are the examples of how regulation is interpreted differently by the Tax Official and the Taxpayer. The difference is unfair for the Taxpayer because it results in bigger punishment than it should be. Unfortunately, KUP Law does not describe the definition of “kompensasi” that triggers the dispute.

The different perspective often leads to Tax Court. The process is definitely more burdensome for the Taxpayer and the Tax Authority, both in terms of cost and energy. Thus, good faith of the Tax Authority in improving the audit process to be more efficient and fair is really expected by the Taxpayer, especially related to the implementation of 100% increment sanction of VAT.

At last, we hope that the promised regulation will be issued soon and become win-win solution for both the Tax Authority and the Taxpayer.

*Short version of this article has been published in Investor Daily, Thursday, November 29, 2018.

Opinion

Sehingga, kompensasi lebih bayar PPN tidak benar-benar dilakukan.

Butuh Kepastian

Kasus-kasus di atas merupakan contoh bagaimana regula-si ditafsirkan secara berbeda oleh fiskus dan Wajib Pajak. Perbedaan ini menjadi tidak adil bagi Wajib Pajak karena menghasilkan hukuman yang lebih besar dari yang seharus-nya. Sayangnya, UU KUP tidak menjabarkan definisi “kompensasi” yang menjadi pemicu terjadinya sengketa tersebut.

Beda persepsi ini tidak jarang berlanjut ke Pengadilan Pajak. Prosesnya sudah pasti bakal menambah beban Wajib Pajak maupun Otoritas Pajak, baik dari sisi biaya maupun tenaga. Karenanya, itikad baik Otoritas Pajak untuk memper-baiki proses pemeriksaan menjadi lebih efisien dan berkeadilan sangat ditunggu oleh Wajib Pajak, terutama yang terkait dengan penerapan sanksi kenaikan 100% PPN.

Akhir kata, semoga regulasi yang dijanjikan segera terbit dan menjadi win-win solution bagi Otoritas maupun Pemba-yar Pajak.

*Versi singkat artikel ini telah terbit di koran Investor Daily, Kamis, 29 November 2018.

25Tax Guide

Page 26: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Regulation Update

Kementerian Keuangan mempertegas ketentuan pemberi-an natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja (deductible expenses). Penegasan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.03/2018 yang terbit dan berlaku efektif pada 19 Desember 2018.

Beleid tersebut menegaskan bahwa natura dan kenik-matan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pem-beri kerja yakni berupa:

Kewajiban perusahaan menyediakan sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut harus mengharuskann-ya.

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan dalam rangka menunjang kebija-kan pembangunan pemerintah; dan

Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai;

Provision of food and drink for all employees;

Reimbursement or remuneration in the form of BIKs in certain region and related to the perfor-mance of works in order to support the govern-ment’s development policy; and

The obligation of a company to provide the facili-ties of work safety or due to the condition that such work naturally requires such facilities.

Ministry of Finance affirms the regulation of benefits in kind (BIKs) provision that may be deducted from the gross income of an employer (deductible expenses). This affirmation is stipu-lated in Minister of Finance (MoF) Regulation Number 167/P-MK.03/2018 that was issued and valid effectively on 19 December 2018.

This policy declares that BIKs that may be deducted from gross income of employer are in the following forms:

Natura dan Kenikmatan Pengurang Penghasilan Kena Pajak

Benefits in Kind as Tax Deduction of Taxable

1.

2.

3.

1.

2.

3.

Tax Guide26

Page 27: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Regulation Update

Directorate General of Taxes (DGT) makes the adminis-trative process simpler for Non-Resident Taxpayers receiving income from Indonesia especially related to Double Tax Avoidance Agreement or Tax Treaty between Indonesia and partner’s country or jurisdiction.

In the implementation of Tax Treaty, Indonesia’s tax authority requires Non-Resident Taxpayers to submit Certificate of Domicile (CoD) along with the form and the information pursuant to the characteristic of income earned by Non-Resident Taxpayers in Indonesia.

By the issuance of Director General of Taxes Regulation Number PER-25/PJ/2018 on Procedures for Implemen-tation of Double Tax Avoidance Agreement, effective from 1 January 2019, the CoD form of Non-Resident Taxpayer is simplified to one form only (consisting of two pages).

Previously, there were two types of CoD forms of Non-Resident Taxpayers provided by DGT, namely Form DGT-1 (three pages) and DGT-2 Form (two pages). Form DGT-2 is made particularly for Non-Resident Taxpayers in the form of banks; the income recipients through custodian from transfer of share or obligation in Indone-sia’s capital market (other than interest and dividend); as well as pension fund.

For further information, please contact the following MUC Consulting Group or click www.mucglobal.com

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyederhanakan proses administrasi bagi Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang menerima penghasilan dari Indonesia. Terutama terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara Indonesia dengan negara atau yuris-diksi mitra.

Dalam pelaksanaan P3B, otoritas Pajak Indonesia mens-yaratkan WPLN untuk menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) dengan jenis formulir dan informasi dise-suaikan dengan karakteristik penghasilan yang diterima oleh WPLN di Indonesia

. Dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, efektif mulai 1 Januari 2019 formulir SKD WPLN disederhanakan menjadi hanya satu formulir (berjumlah dua halaman).

Sebelumnya atau selama ini, terdapat dua jenis formulir SKD WPLN yang disediakan oleh DJP, yakni Form DGT-1 (tiga lembar) dan Form DGT-2 (dua lembar). Untuk Form DGT-2 dikhususkan bagi WPLN Bank; penerima penghasi-lan melalui Kustodian dari pengalihan saham atau obligasi di pasar modal Indonesia (selain bunga dan dividen); serta Dana Pensiun.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Grup Konsultasi MUC atau kunjungi www.mucglobal.com

OtoritasOtoritasPajak Pajak

AturanAturanSimplifikasiSimplifikasi

Tax Authority Simplifies Certificate of Domicile

27Tax Guide

Page 28: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Regulation Update

Pemerintah mempertegas ketentuan mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35/PMK.03/2019, yang terbit dan berlaku efektif per 1 April 2019. Sasaran regulasi ini adalah orang pribadi maupun badan asing yang melakukan kegiatan usaha secara permanen dan tanpa batasan akses ke 12 jenis tempat usaha di Indonesia.

Terdapat sejumlah poin penting terkait penegasan ketentuan BUT dalam PMK No. 35/PMK.03/2019. Pertama, setiap orang pribadi atau badan asing yang menjalankan usaha di Indonesia melalui BUT wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maksimal satu bulan setelah kegiatan usaha berjalan.

Kedua, PMK ini juga mempertegas definisi dan kriteria BUT.

BUT adalah bentuk usaha di Indonesia yang dipergunakan oleh orang pribadi maupun badan asing, dengan kriteria bahwa tempat yang digunakan untuk menjalankan usaha bersifat permanen.

Suatu tempat usaha dikatakan BUT jika orang pribadi atau badan asing bisa mengakses tempat tersebut secara tidak terbatas. Sementara itu, jika orang pribadi dan badan asing memiliki akses yang terbatas atas tempat usaha atau tempat tersebut hanya digunakan untuk penyimpanan atau pengelo-laan data secara elektronik, maka tidak termasuk kategori BUT.

Menteri Keuangan melalui beleid ini juga menegaskan definisi usaha yang dijalankan BUT sebagai semua kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan. Ia juga menetapkan empat kriteria usaha yang secara otomatis menjadi BUT—sekalipun tidak memenuhi krite-ria tempat usaha permanen dan aksesibilitas terbatas.

Berkaitan dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), orang pribadi maupun badan asing yang kegiatan usaha-nya bersifat persiapan (preparation) atau penunjang (auxilia-ry)—guna memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan—dikecualikan dari kriteria BUT meskipun tempat usahanya permanen dan memiliki akses penuh ke tempat tersebut.

The government affirms the provision of Permanent Estab-lishment (PE) through Minister of Finance (MoF) Regulation No. 35/PMK.03/2019, issued and effective per 1 April 2019. The target of this regulation is foreign individuals or corpo-rates doing business permanently without access limitation to 12 types of business place in Indonesia.

There are several important points related to the PE regula-tion affirmation in PMK No. 35/PMK.03/2019. First, each foreign individual or corporate doing business in Indonesia through a PE is obliged to have a Tax Identification Number (Tax ID Number) at maximum one month after their business activities are running. If they do not make any registration, a Tax ID Number may be issued ex-officio by the Director Gener-al of Taxes.

Second, the MoF Regulation also affirms the definition and the criteria of the PE. PE is a type of business in Indonesia used by foreign individual or corporate under criteria that the place used to run the business is permanent.

A place of business is deemed a PE if the foreign individual or corporate can limitlessly access the place. Whereas, if the foreign individual or corporate has limited access to the place of business or it is only used to electronically store or manage data, it is not categorized as a PE.

The Minister of Finance through this policy also affirms the definition of business performed by the PE as all activities conducted to obtain, collect, or maintain income. She also stipulates four business criteria automatically becoming a PE—even though they do not meet the permanent business place criterion and have limited accessibility.

Ketentuan Dipertegas,Empat Jenis Usaha Otomatis BUT

Regulation Affirmed, Four Busi-ness Types Automatically PEs

Tax Guide28

The following are four business activities automatically categorized as PEs:

The permanent business place included in the PE category covers:

1. Construction, installation, and assembly projects;

2. Provision of service in any form by employee(s) or other person(s) for more than 60 days within a year;

3. Individual or corporate acting as limited agent; and

4. Agent(s) or employee(s) of an insurance company not established and domiciled in Indonesia.

Management location;Company branch;Representative office;Office building;Factory;Workshop;Warehouse;Promotional and sales rooms;Mining and natural resource boring;Oil and gas mining work area;Fishery, farming, agriculture, plantation, or forestry; andComputer, electronic agent, or automatic equipmentowned; rented; or used by the foreign individual orcorporate to run a business using internet.

Page 29: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

TAXSEMINAR

26JUNE

2019

Advance Pricing Agreement & Mutual Agreement Procedures untuk Penyelesaian Sengketa Transfer Pricing

www.mucglobal.comMORE INFO:

Partner of Transfer Pricing & International Taxation, MUC Consulting Group

Holder of Transfer Pricing Certificate Chartered Institute of Taxation (CIOT), United Kingdom

Registered Tax Attorney

Registration and further information please email to: [email protected]

Registration link : https://bit.ly/2Vln394

Place : TBA

@mucconsulting

KEYNOTE SPEAKER :Wahyu Nuryanto, Ak., MPA

Investment : Rp 2.000.000,- /person

Page 30: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

*Ahmad KomaraStaff of the Directorate General of Taxation

Upaya untuk membedah persoalan tersebut telah dan terus dilakukan, baik oleh akademisi maupun otoritas pajak. Namun, jalan keluar yang konkret belum juga ditemukan. Bahkan, tidak jarang diskursus buntu hanya pada tataran mencari definisi ideal dari “kepatuhan pajak” itu sendiri.

Alih-alih mencari solusi, paradigma tentang kepatuhan pajak justru mengalami pergeseran cukup fundamental dari waktu ke waktu. Semula kajian mengenai kepatuhan berangkat dari pertanyaan ‘Kenapa Wajib Pajak tidak membayar pajak (tidak patuh)?’ Saat ini, arah pertanyaan justru mengalami kemundu-ran menjadi ‘Kenapa Wajib Pajak harus membayar pajak (patuh)?’

Penelitian yang bertolak dari pertanyaan pertama cenderung menggunakan pendekatan economic rationality, yakni Wajib Pajak dipandang semata-mata sebagai penghitung keuntun-gan dan kerugian ekonomi yang egois. Anggapannya, Wajib Pajak akan selalu menghindari pajak jika dirasa lebih mengun-tungkan karena menganggap membayar pajak sebagai biaya. Alhasil, untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, otoritas cenderung mengacu pada deterrence model, yakni berupa penerapan sanksi yang berat, tarif pajak yang tinggi, dan peningkatan frekuensi pemeriksaan.

Sebaliknya, penelitian yang dipicu oleh pertanyaan kedua—‘Kenapa Wajib Pajak harus membayar pajak (patuh)?’—cenderung lebih menggunakan pendekatan behavioural cooperation. Dalam hal ini, Wajib Pajak dianggap sebagai warga negara yang baik sehingga bersedia membayar pajak. Atas dasar ini, otoritas pajak lebih mengedepankan peningkatan pelayanan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (service/deference model). Dalam hal ini, berbagai fasili-

epatuhan pajak merupakan permasalahan multidimen-si yang telah mengundang perhatian banyak pihak di dunia, terutama dalam beberapa dekade terakhir.

Tax compliance is a multidimensional problem that has been attracting the attention of many people in the world, especially in the last decades. Effort to break down the issue has been and is always conducted, both by the academics and the tax authority. However, concrete solution has not been found. In fact, it is common that discourses find deadlock only by trying to find the ideal definiton of “tax compliance” itself.

Instead of finding solution, the paradigm of tax compliance has fundamentally shifted from time to time. Initially, the discussion about compliance started with the question of ‘Why the Taxpayer did not pay (did not comply with) tax?’. Nowadays, the question is moving backwards to ‘Why the Taxpayer must pay (comply with) tax?’

Researches based on the first question tend to use economic rationality approach, perceiving the Taxpayers only as selfish economic profit and loss counters. The assumption is that the Taxpayers will always avoid tax when they feel it more beneficial as they consider paying tax an expense. Thus, to enhance the Taxpay-er’s compliance, the authority tends to refer to deterrence model, namely the application of severe sanctions, high tax rate, and increase of audit frequency.

On the contrary, researches triggered by the second ques-tion—‘Why the Taxpayer must pay (comply with) tax?’—tend to use behavioural cooperation approach. In this case, the Taxpayers are deemed good citizens so they pay tax willingly. Based on this, the tax authority puts forward service enhancement more to increase the Taxpayer’s compliance (service/deference model). In this case, various facilities and procedural convenience are provided to help Taxpayers meet their tax rights and obligations.

Tax Compliance Paradigm: from Deterrence to Deference?

Tax Guide30

Registration link : https://bit.ly/2Vln394

Page 31: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

tas dan kemudahan prosedural diberikan guna memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakann-ya.

Jalan Tengah

Cara-cara penegakan hukum berbasis Economic Deterrence Model banyak digunakan pada fase awal munculnya kesada-ran atas pentingnya kepatuhan pajak, yakni sekitar tahun 1960-1970an. Kala itu, Wajib Pajak dipandang dan diperlaku-kan sebagai sosok yang rasional secara ekonomi dan merupa-kan potential criminals. Pada era ini pula, rasa takut (fear) digunakan oleh otoritas pajak untuk menekan Wajib Pajak agar patuh terhadap ketentuan perpajakan.

Penegakan hukum yang tegas justru mendapatkan kritik dari sejumlah pihak karena dianggap kurang rasional dan mengab-aikan unsur kemanusiaan. Untuk itu, perlu pendekatan lain seperti behavioural approach dan ilmu sosial lainnya.

Social Psychology Model merupakan salah satu pisau analisis yang mengkritik pedas penggunaan Economic Deterrence Model. Para penelitinya menyimpulkan bahwa faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya unsur yang memengaruhi kepatuhan pajak. Penganut model ini beranggapan bahwa faktor non-ekonomi juga banyak berperan dalam mendorong Wajib Pajak untuk patuh, seperti tax morale, perilaku, persepsi, dan pengaruh individu lain.

Sebagai jalan tengah, tidak sedikit peneliti yang menawarkan kombinasi dan harmonisasi model Economic Deterrence dan Social Psychology, yakni dengan menggunakan Fiscal Psychol-ogy Model. Model ini menekankan bahwa perilaku ketidakpat-uhan disebabkan oleh kurangnya manfaat yang dirasakan atau diterima oleh pembayar pajak, baik dalam bentuk finansial maupun barang publik. Paradigma ini mengeksplorasi pengaruh masalah ekonomi dan kebijakan pemerintah terha-dap sikap masyarakat guna meningkatkan kepatuhan pada peraturan.

Berdasarkan pendekatan ini, kebijakan yang positif mesti dikembangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kerjasa-ma dengan masyarakat. Sebagai contoh, penurunan tarif pajak digunakan sebagai insentif bagi Wajib Pajak agar menjadi patuh. Di samping itu, model ini juga menekankan bahwa pemahaman Wajib Pajak terhadap ketentuan akan memen-garuhi kemauan mereka untuk bekerjasama dengan pemerin-tah yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat kepatu-han mereka.

Risiko

Selama bertahun-tahun, berkembang persepsi bahwa mem-bayar pajak merupakan sebuah keputusan individu atas dua opsi: membayar seluruh pajak dengan jujur atau tidak memba-yar (menghindari) pajak. Berbeda dengan pilihan pertama, pilihan kedua merupakan opsi yang mengandung risiko. Tinggi atau rendahnya risiko tersebut terkait dengan kemungkinan pemeriksaan dan sanksi yang diterapkan.

Paradigma pertama dianggap telah mengabaikan banyak elemen penting karena tidak mengindahkan pengaruh Wajib Pajak lain dan kelompok. Selain itu, pendekatan tersebut juga menegasikan aktor-aktor lain dalam proses pembayaran pajak

Pendekatan multi-agent sepertinya lebih relevan karena ada motivasi lain yang mendorong individu untuk patuh selain pertimbangan finansial, misalnya rasa bersalah, malu, morali-tas, dan altruisme. Selain itu, kepatuhan Wajib Pajak juga bisa

The Middle Ground

Ways to enforce the law based on Economic Deterrence Model were popular in the first phase of awareness of tax compliance importance, which was around 1960-1970’s. At that time, the Taxpayers were perceived and treated as economically rational figures and were potential criminals. This era also used fear as a tool for tax authority to push the Taxpayer to comply with the tax provisions.

Strict law enforcement has been criticized by many because it is considered irrational and ignoring humane element. Therefore, another approach is needed such as behavioural approach and other social sciences.

Social Psychology Model is one of the analysis blades negatively criticizing the use of Economic Deterrence Model. The researchers concluded that economic factors are not the only elements affect-ing tax compliance. The followers of this model are of the opinion that non-economic factors are also playing roles in pushing the Taxpayers to comply, such as tax morale, behavior, perception, and other individuals influence.

As the deal, many researchers offer the combination and harmoni-zation of Economic Deterrence and Social Psychology models, namely by using Fiscal Psychology Model. The model emphasizes that non-compliance behavior is caused by lack of benefit felt or earned by the Taxpayers, both financially or in public goods. The paradigm explores the effect of economic and government policy issues to citizen’s attitude in order to increase regulation compli-ance.

Based on this approach, positive policy shall be developed by the government to increase cooperation with the society. For example, tax rate reduction is used as an incentive for Taxpayers so that they will be obedient. In addition, this model also underlines that the Taxpayers’ understanding of the provision will affect their willing-ness to cooperate with the government, which will eventually affect their compliance level.

Risk

For years, a perception has been developing that paying tax is an invidual decision on two options: fully paying the tax honestly or not paying (avoiding) tax. Different to the first option, the second is a risky option. The level of the risk is related to the possibility of audit and sanction imposed.

The first paradigm is considered neglecting many important elements because it overlooks the influence of other Taxpayers and community. Moreover, the approach is also negating other actors in the process of paying tax.

Opinion

For example, tax rate reduc-tion is used as an incentive for Taxpayers so that they will be obedient.

31Tax Guide

Page 32: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Opinion

dipengaruhi oleh pemikiran kelompoknya, seperti tentang norma sosial, adat kebiasaan, keadilan, kepercayaan, tax morale, patriotisme, dan barang publik.

Intinya, pajak tidak berada di ruang hampa dan semata-mata hanya melibatkan seorang individu, melainkan menyangkut banyak pihak. Pembayaran pajak sering dilakukan dengan melibatkan konsultan, dipungut oleh fiskus, dan digunakan oleh instansi-instansi negara dengan persetujuan wakil rakyat. Oleh karena itu, pendekatan multiple entity terkait kepatuhan pajak dianggap dapat mengakomodasikan peran dan interaksi antara para pihak dimaksud.

Seimbang

Dalam perpajakan, istilah ‘kepatuhan’ (compliance) selalu bersandingan dengan istilah ‘ketidakpatuhan’ (non-compli-ance). Pertanyaannya, mana yang lebih penting: meningkatkan kepatuhan atau memerangi ketidakpatuhan? Idealnya, tentu saja kedua hal tersebut harus berjalan seiring dan seimbang. Namun, pada praktiknya, tidak mudah untuk menemukan titik keseimbangan atas dua paradigma yang berbeda tersebut.

Otoritas pajak yang cenderung memilih untuk memerangi ketidakpatuhan (enforcement paradigm) terkesan mengang-gap Wajib Pajak sebagai sosok yang amoral, menghindari risiko, dan individu yang selalu memaksimalkan utilitas. Modusnya adalah dengan menghindari pajak setiap kali hal tersebut dianggap lebih menguntungkan.

Pendekatan ini dibangun berdasarkan economic-of-crime model yang diterapkan untuk memerangi tindakan ilegal karena menjatuhkan hukuman dianggap sebagai langkah terbaik untuk meningkatkan perilaku yang sesuai aturan. Dengan demikian, fokus otoritas pajak diletakkan pada pem-berantasan ketidakpatuhan daripada peningkatan kepatuhan.

Di sisi lain, ada pula pendekatan otoritas pajak yang mengede-pankan peningkatan kepatuhan dengan menitikberatkan peran administrasi pajak sebagai fasilitator dan penyedia pelayanan bagi pembayar pajak (service paradigm). Penelitian menunjukkan pendekatan ini terbukti berhasil meningkatkan persepsi positif masyarakat terhadap otoritas pajak, meskipun dampaknya terhadap kepatuhan Wajib Pajak belum terbukti.

Di dalam iklim masyarakat yang saling tidak percaya (antago-nistic climate), kekuatan yang tinggi dari otoritas pajak diperlu-kan untuk meningkatkan kepatuhan. Kebijakan yang mungkin efektif dalam situasi seperti ini adalah meningkatkan kemun-gkinan pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi yang berat.

Sebaliknya, dalam kondisi kepercayaan masyarakat tinggi terhadap otoritas pajak (synergetic climate), variabel lain akan berperan sangat penting. Pengetahuan, perilaku, ajakan moral, keadilan, dan demokrasi akan membantu meningkatkan kepatuhan. Sementara itu, dalam situasi seperti ini, sanksi yang berat serta intensifnya pemeriksaan mungkin akan berakibat negatif, seperti menggerus tax morale Wajib Pajak.

Multiagent approach seems more relevant because of the presence of other motivations pushing the individual to obey other

than financial consideration, such as guilt, shame, morality, and altruism. Besides, the Taxpayer’s compliance may also be influenced by the thought of the community, such as social norm, customs, justice, trust, tax morale, patriotism, and public goods.

The main idea is that tax is not in an empty area and only involving an individual, but related to many parties. Tax payment is often made by involving consultant, collected by tax officer, and used by state institutions under the approval of the people’s representa-tives. Therefore, multiple entity approach related to tax compliance is deemed accomodating roles and interactions between the parties involved.

Balance

In taxation, the term of ‘compliance’ is always side by side with the term of ‘non-compliance’. The question is what is more important: increasing compliance or fighting non-compliance? Ideally, both

In taxation, the term of ‘compliance’ is always side by side with the term of ‘non-compliance’. The question is what is more important: increasing compliance or fighting non-compliance?

Tax Guide32

Page 33: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Yang bahaya adalah jika kepercayaan terhadap otoritas pajak rendah, sedangkan kekuatan otoritas minimal. Dalam kondisi semacam ini, jangan harap kepatuhan pajak, baik enforced maupun voluntary, akan dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini otoritas pajak, dituntut menjaga kepercayaan masyarakat dan sekaligus memiliki kekuatan menghadapi Wajib Pajak.

Pendekatan tailor made rather than one size fits all mungkin akan lebih efektif untuk digunakan. Selain itu, sebagaimana filosofi Jawa, menundukkan lawan akan lebih efektif dengan cara dirangkul daripada dipukul.

Otoritas pajak tentu perlu mengambil hati Wajib Pajak agar mereka bisa mematuhi seluruh ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Atas dasar hal tersebut, strategi yang efektif tampaknya adalah dengan merangkul, menganggap mereka sebagai mitra, daripada memperlakukan mereka sebagai sosok yang tidak patuh apalagi musuh yang harus diperangi. Akan tetapi, dalam hal tertentu, penegakan hukum untuk menciptakan efek jera perlu juga dilakukan.

Intinya, perhatian saja tidak akan cukup jika tidak ada langkah-langkah konkret untuk memerangi ketidakpatuhan sekaligus meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Karenanya, sudah saatnya model kepatuhan pajak dibangun dan dikem-bangkan secara sistematis dan terstruktur sehingga program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dapat berjalan secara berkelanjutan.

issues have to go hand in hand and in balance. However, in practice, it is not easy to find the balance point on the two different paradigms.

The tax authority who tends to choose fighting non-compliance (enforcement paradigm) is seen to assume that Taxpayers are immoral, avoiding risk, and individuals that always maximize utilities. The modus is by avoiding tax every time the avoidance deemed more profitable.

This approach is built based on economic-of-crime model , implemented to fight illegal actions because punishment is considered the best way to improve behavior desired by regula-tion. Therefore, the focus of the tax authority is placed on the eradication of non-compliance instead of improvement of compliance.

On the other side, there is also an approach of the tax authority bringing up the improvement of compliance by stressing the tax administration roles as the facilitator and provider of service for Taxpayers (service paradigm). Research shows that this approach is proven successfull in improving the positive percep-tion of the citizen on the tax authority, even though the impact on the Taxpayer’s compliance has not been proven.

In the climate in which the people mistrust each other (antagonis-tic climate), the higher power of tax authority is needed to increase the compliance. The policy that may be effective in such situation is to improve the possibility of tax audit and implementa-tion of severe sanction.

Conversely, in the condition that the people highly trust the tax authority (synergetic climate), other variables will play significant role. Knowledge, behavior, moral encouragement, justice, and democracy will help the improvement of compliance. Meanwhile, in such situation, severe sanction as well as intensive audit may have negative result, such as diminishing tax morale of the Taxpayers.

What will be dangerous is when the trust on the tax authority is low while the power of the authority is minimum. In such condition, there is no hope that tax compliance, both enforced and volun-tary, will come true. Therefore, the government, in this case the tax authority, must maintain the trust of the people as well as overpower the Taxpayers at the same time.

Tailor made rather than one size fits all approach may be more effective to be used. In addition, as in Javanese philosophy, it is more effective to conquer enemies by embracing them rather than beating them.

The tax authority shall indeed gain the trust of the Taxpayers so that they will obey all prevailing regulations. Based on that, the effective strategy seems to be embracing the Taxpayers, regard-ing them as partners, instead of treating them as disobedient figures, let alone as enemies to be fought. However, in certain condition, law enforcement to create detterent effect shall also be done.

The point is attention will not be enough if there is no concrete steps to fight non-compliance as well as improve the compliance of the Taxpayer. Thus, this is the time to build and develop sistematical and structured tax compliance model so that the program of Taxpayer’s compliance improvement can be continu-ally running.

Opinion

33Tax Guide

Page 34: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

MUC Wakili Indonesia di MSI Regional Meeting Asia-Pasifik 2019

MUC Represents Indonesia in MSI Regional Meeting Asia-Pasific 2019

Event

Shanghai-- MSI Global Alliance, asosiasi praktisi hukum dan akuntan ternama dunia, menyelenggarakan pertemuan rutin tingkat regional Asia-Pasifik di Shanghai, Cina, 16-17 Maret 2019.

Setidaknya lebih dari 30 firma hukum dan

akuntan dari 17 negara anggota MSI mengirim-kan delegasi dalam perhelatan tersebut.

Forum diskusi para profesional di bidang hukum, akuntansi, dan pajak tersebut memba-has sejumlah agenda mulai dari memetakan tantangan dan potensi bisnis di tengah dinamika ekonomi dan geopolitik global, hingga meru-muskan dan mencari solusi terbaik yang dapat saling menguntungkan semua anggota MSI.

Selain mendorong kolaborasi antaranggota MSI, MUC mengangkat sejumlah isu dalam forum regional MSI tersebut antara lain bagaimana menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang didominasi kaum millenial, serta pentingnya melakukan tranformasi bisnis berbasis digital.

Shanghai-- MSI Global Alliance, a notable global association of law and accountancy firms, held annual meeting in regional level of Asia-Pacific in Shanghai, China, 16-17 March 2019.

More than 30 law firms and accountants from 17 countries of MSI members sent their delegations to this event.

The discussion forum of professionals in law, accounting, and tax fields discoursed several agendas, starting from the mapping of business obstacles and potentials amid global economic and geopolitical dynamics to formulating and

seeking for the best solution that may be advanta-geous for all MSI members.

Other than encouraging collaboration between the members of MSI, MUC raised several issues in MSI regional forum, among others how to explore and exploit human resources dominated by millen-nial generation as well as the importance of making digital-based business transformation.

Tax Guide34

Page 35: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Event

MSI Global Alliance Kunjungi MUC Consulting Group

MSI Global Alliance mengirimkan delegasinya ke Indonesia untuk berdiskusi langsung dengan para partner dan konsultan MUC Consulting Group.

Dalam kunjungannya ke kantor pusat MUC,Rabu (20/3), asosiasi praktisi hukum dan akuntan publik dunia yang berbasis di London itu diwakili oleh Head of Membership Development MSI Matthew Gimlette.

MSI Global Alliance assigned its delegation to Indonesia to directly discuss with MUC Consulting Group’s partners and consultants.

In their visit to the head office of MUC, Wednesday (20/3), the global association of law and accountancy firms based in London was represented by Head of Membership Development MSI Matthew Gimlette.

MUC dan JETRO Gelar Seminar Kepabeanan

MUC Consulting Group bekerja sama dengan Japan External Trade Organization (JETRO) menyelenggarakan rangkaian seminar di bidang kepabeanan. Kegiatan tersebut sudah berlangsung di Jakarta (21 Maret 2019), Semarang (22 Maret 2019), dan Kawasan Industri Deltamas, Cikarang (27 Maret 2019).

Adapun seminar ini dilaksanakan untuk memberikan pemahaman kepada pengusaha yang tergabung dalam JETRO terkait pelaksanaan kepabeanan di Indonesia.

MUC Consulting Group collaborating with Japan External Trade Organization (JETRO) held a series of seminar in customs sector. The activity was conducted in Jakarta (21 March 2019), Semarang (22 March 2019), and Kawasan Industri Deltamas, Cikarang (27 March 2019).

This seminar was established to provide information to entrepreneurs joined in JETRO related to the customs implementation in Indonesia.

MSI Global Alliance Visits MUC Consulting Group

MUC and JETRO Hold of Customs Seminar

35Tax Guide

Page 36: Hunting Tax amid Fintech Business Growth

Complying with the prevailing regulations needs adequate understanding and accurate measures in avoiding potential errors and costly inefficiency. We assist our clients to fullfill their needs in order to minimize such risk as well as to optimize efficiency.

Tax Planning, Tax Review, Tax Return Preparation, Tax Audit Assistance, Tax Advisory, Tax Dispute Resolution, Tax Administration, Standard Opera-tional Procedure Designing, Interna-tional Taxation

Strategic Customs Planning, Customs System Solution, Classifica-tion of Goods, Customs Valuation Analysis, Customs Audit Assistance, Customs Compliance Review, Customs Dispute Resolution, License Instruments Arrangement Customs Advisory

Tax & Custom Business Advisory Legal

Our Services

Contact Us MUC BuildingJl. TB Simatupang 15Jakarta 12530Phone : +62 21 788 37 111 (Hunting)Fax : +62 21 788 37 666

General Audit, Internal Audit,

Special Audit, Review and Compila-

tion, Other Assurance services

AssuranceBusiness Establishment Service,

Governance, Risk & CSR Consul-

tants, Accounting, Marketing

Research Consultants

Family & Marriage, Health, Intellec-

tual Property, Labor, Banking,

Bankruptcy, Capital Market Civil &

Criminal, Corporate & Investment

Law Mining, Property

TAX