i. pendahuluan 1.1. latar belakang - nad.litbang.pertanian...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sub sektor perkebunan di Aceh masih cukup luas bila akan dikembangkan
karena perkebunan memiliki biodiversity yang merupakan potensi sumberdaya
genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan.Selain itu Aceh
juga memiliki lahan yang potensial untuk perkebunan serta agroekosistem yang
sesuai seperti geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan dan
keanekaragaman jenis tanah yang sangat mendukung untuk pengembangan
perkebunan.
Dari sisi tenaga kerja, 2 juta orang angkatan kerja Aceh, sekitar 46,32%-
nya bekerja di sektor pertanian dan 24,12% di antaranya menggantungkan
hidupnya pada sub sektor perkebunan. Potensi lainnya adalah tersedia teknologi
budidaya terapan, baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun
individu praktisi perkebunan serta masih luasnya pasar komoditas perkebunan
semakin tinggi mengingat pangsa pasar di dalam negeri masih cukup besar dan
permintaan internasional terhadap produk perkebunan terutama karet, kelapa
sawit, kakao dan kopi yang semakin meningkat.
Namun demikian tidak sedikit permasalahan yang dihadapi dalam upaya
pengembangan perkebunan seperti: a) Terdapatnya kebijakan pemerintah
daerah dalam bentuk peraturan yang kurang selaras dengan kebijakan nasional,
sehingga terjadi kompetisi pemanfaatan sumberdaya alam dan membebani
pelaku perdagangan dengan berbagai pungutan atau retribusi; b) Pemanfaatan
lahan dan peningkatan jumlah penduduk yang pesat serta distribusinya yang
tidak merata telah melampaui daya dukung lahan, sehingga lahan menjadi
sumberdaya yang langka dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik sosial;
c) Budaya kerja baik pekebun maupun petugas sebagai pembina masih
berorientasi kepada anggaran pemerintah, sehingga pembinaan dan bimbingan
kurang berkesinambungan.
2
Masalah lain adalah, jumlah petugas yang kurang memadai serta ketidak
sesuaian penempatan petugas khususnya yang menangani perkebunan,
kelembagaan/ organisasi pekebun belum menunjukkan kontribusinya sebagai
kelembagaan yang profesional, produktif dan mandiri, produktivitas dan mutu
tanaman perkebunan masih di bawah potensi (72,5%), efisiensi agribisnis
perkebunan belum memenuhi skala ekonomi usaha agribisnis perkebunan
khususnya perkebunan rakyat; Belum terintegrasinya usaha agribisnis
perkebunan dalam suatu kawasan pengembangan; Liberalisasi perdagangan
menimbulkan persaingan dalam produk dan mutu produk perkebunan dan akses
pekebun terhadap sumber permodalan untuk memulai atau mengembangkan
usaha perkebunannya masih sulit.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian
mempunyai kegiatan pendampingan teknologi pada kawasan perkebunan dengan
output akhir terjadi peningkatan produktivitas perkebunan. BPTP Aceh pada
Tahun 2016 melakukan pendampingan teknologi kawasan perkebunan komoditi
kopi di Bener Meriah dan kakao di Pidie Jaya.
Kopi
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya
cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara (Herdianto, 2007).
Sentra produksi kopi Provinsi Aceh adalah Dataran Tinggi Gayo. Dataran
tinggi Gayo merupakan suatu kawasan yang meliputi tiga kabupaten yaitu
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Ketiga daerah ini
merupakan penghasil kopi Arabika Gayo(Tabel 1).
Tabel 1. Data luas, produksi dan produktivitas kopi di tiga kabupaten
Kabupaten Luas (Ha) Produksi (ton) Produktivitas
(ton/Ha)
Aceh Tengah 48300 25370 0.53
Bener Meriah 48101 22414 0.47
Gayo Lues 4652 1118 0.24
Total 1010
53 48902 Sumber : (BPS, 2015)
3
Kecamatan Wih Pesam merupakan suatu wilayah di kabupaten Bener
Meriahyang terdiri dari sembilan desa. Daerah ini memiliki luas lahan perkebunan
kopi seluas 3.825,5 ha. Pada umumnya penduduk setempat mempunyai mata
pencaharian sebagai petani kopi. Kopi dari kawasan ini dikenal dipasaran
domestik, nasional dan internasional dengan kopi Gayo yang mempunyai mutu
dan citarasa yang sangat baik, sehingga mendapatkan harga yang premium.
Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di
Provinsi Aceh namun sayangnya potensi ini belum ditangani dengan baik. Rantai
pemasaran dari petani ke konsumen masih panjang, sehingga merugikan petani.
Pertanaman kakao relatif sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini
dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber
pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Kakao dapat mulai berproduksi
pada umur 18 bulan (1,5 tahun) dan dapat menghasilkan biji kakao yang
selanjutnya bisa di olah menjadi bahan setengah jadi (bubuk coklat) maupun
bahan jadi (coklat).
Provinsi Aceh dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian lahan
persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616 ha
(2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83 %),
(BPS, 2012). Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai
potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan cuacanya
mendukung.
Secara topografi Aceh sangat cocok untuk di kembangkan komoditas
kakao, selain itu kakao sudah familiar dengan masyarakat. Pasca berakhirnya
konflik banyak lahan perkebunan yang secara teknis sangat baik untuk di
kembangkan komoditas kakao karena terbengkalainya lahan terutama di
Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara
yang juga merupakan sentrasentra perkebunan kakao.
Perkembangan kakao di Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah yang
dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu
antara lain produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor hilir
mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi.
Meskipun areal dan produksi kakao di Aceh selama lima tahun terakhir
4
mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas menurun 4,25 %
pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan tidak hanya dengan
pemperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti dengan
penyempurnaan dalam bidang pemasaran.
Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang
baku, antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian
hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif
peningkatan produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan
teknologi sambung samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang
(tanpa melakukan pembongkaran).
1.2. Dasar Pertimbangan
Tingkat pengetahuan dan ketrampilan petani tentang teknik budidaya
tanaman perkebunan (Kopi, dan Kakao) masih sangat rendah. Keadaan ini jelas
terlihat dari produktivitas tanaman perkebunan di bawah rata rata produksi
nasional. Sehingga sangat perlu dilakukan percepatan penerapan inovasi
teknologi budidaya tanaman perkebunan secara terpadu.
1.3. Tujuan
Pendampingan bertujuan agar Inovasi Teknologi Budidaya Terpadu
Tanaman Perkebunan (Kopi, dan Kakao) Balitbangtan dapat diterapkan secara
optimal dalam pengembangan kawasan pertanian nasional komoditas
perkebunan
1.4. Perkiraan Keluaran
Keluaran yang diharapkan (1) Diadopsi minimal 30% inovasi teknologi
Budidaya tanaman perkebunan (Kopi, dan Kakao) secara terpadu (2) Terjadi
peningkatan produktivitas tanaman perkebunan 10% dibandingkan sebelum
diadopsi teknologi.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Perkiraan manfaat adalah meningkatnya produktivitas dan pendapatan
usahatani; meningkatnya aktivitas kelompok tani akibat dari pemberdayaan;
meningkatnya jumlah komponen teknologi yang diadopsi oleh petani
5
II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pengendalian Hama Penggerek Buah Kopi di Kabupaten Bener Meriah
Tim pemdampingan kawasan perkebunan pada awal kegiatan melakukan
Survei awal dilokasi kegiatan : Kabupaten Bener Meriah Survei awal (baseline
survey) untuk mengetahui kondisi terkini kebun petani. Permasalahan
permasalahan yang dihadapi setiap hari dalam usahataninya perlu didata, untuk
mengetahui solusi inovasi yang didesiminasi kepada petani. Hasil survei awal
sangat berguna untuk melaksanakan kegiatan pendampingan kawasan
perkebunan.
Hasil survei awal permasalahan utama yang dihadapi petani kopi setiap
hari adalah rendahnya produktivitas akibat serangan hama dan penyakit. Hama
yang sangat meresahkan petani adalah hama penggerek buah kopi (PBKo)
Hypothenemus hampei. Hasil penelitian Firdaus (2013) serangan hama PBKo di
kecamatan Wih Pesam pada ketinggian 800 mdpl mencapai 60%. Pada
Ketinggian dibawah 1000 mdpl hama ini sangat cepat berkembang sehingga
intensitas serangannnya mengakibatkan kerugian sangat besar dialami petani.
Gambar 1. Ukuran sebenarnya (A) Gejala serangan (B) Imago Hama PBKo diperbesar (C) Pupa didalam biji kopi (D)
A B
C D
6
2.2. Mengenal lebih dekat Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) Hypothenemus hampei
Hypothenemus hampei merupakan salah satu penyebab utama
penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara
penghasil kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak
berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur
mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil.
Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Family : Scolytidae
Genus : Hypothenemus
Spesies : Hypothenemus hampei
Biologi dan Ekologi H. hampei
Hama PBKo H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa
sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa.
Kumbang betina lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina
lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2
mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang
gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada
bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya.
Telur menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari.
Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk
perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga
diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari,
sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari.
Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50
butir. Telur menetas menjadi larva yang menggerek biji kopi. Larva menjadi
kepompong di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari kepompong. Jantan
7
dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah
lain untuk masuk, lalu bertelur lagi. Serangga dewasa atau imago, perbandingan
antara serangga betina dengan serangga jantan rata-rata 10:1. Namun, pada
saat akhir panen kopi populasi serangga mulai turun karena terbatasnya
makanan, populasi serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina
memiliki umur yang lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi
demikian perbandingan serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1.
Serangga jantan H.hampei tidak bisa terbang, oleh karena itu mereka
tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji. Umur serangga jantan hanya 103
hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari dengan rata-rata 156
hari. Serangga betina mengadakan penerbangan pada sore hari, yaitu sekitar
pukul 16.00 sampai dengan 18.00 (Wiryadiputra, 2007).
2.3.2. Gejala Serangan PBKo
Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang
telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah
kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan
makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang,
warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan
pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi
karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap
susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji
berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia,
sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen
senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al., 2006).
Serangga H. hampei masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat
lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah,
serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-
lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006).
Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji
keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur
pada biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi
setelah pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk
penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga
8
perbiji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu
tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).
H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi
yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak
dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan
kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei
(DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang
sampai merah , biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada
buah. Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk
meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga
menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002).
Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah.
Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-
lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan
berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke
dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak
dalam buah (Irulandi et al., 2007).
Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk
endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah
memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang
kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika
buah sudah cukup matang (Baker et al., 1992).
2.3.3. Pola Penyebaran
Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian
menyebar luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan
beberapa pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi
(Vega, 2002). Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee
berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai
penyebaran di Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau
hitam coklat (Susniahti et al., 2005).
Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika
Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini
diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk
9
buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara,
termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega, 2002).
Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun
dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan
daerah asal dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang
tanaman kopi liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi
serupa juga dijumpai di Brazil, di mana serangan berat hama PBKo biasanya
terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga
kelembaban udara cukup tinggi.
Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo
dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena fenologi
pembuahan tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat,
curah hujan, suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis.
Kondisi pertanaman kopi di daerah Sumatera yang tergolong daerah basah dan
sebagian besar memiliki tipe iklim B dan A (menurut tipe iklim Schmidt dan
Ferguson) akan sulit menerapkan sistem sanitasi untuk memutuskan siklus hidup
hama karena pertanaman kopi berbuah sepanjang tahun. Pada daerah dataran
tinggi (lebih dari 1200 m dpl.) serangga H. hampei perkembangannya terhambat,
sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya intensitas serangan H. hampei
juga rendah.
2.3.4 Pengaruh Lingkungan
Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah
kopi. H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk
perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara
27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C,
pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau
mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).
2. KAKAO : Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Perbanyakan Bahan Tanam Unggul Kakao
1.1. Potensi Kakao di Aceh dan Permasahannya
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di
10
Provinsi Aceh namun sayangnya potensi ini belum ditangani dengan baik.
Rantai pemasaran dari petani ke konsumen masih panjang, sehingga
merugikan petani. Pertanaman kakao relatif sesuai untuk perkebunan rakyat,
karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga
dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Kakao
dapat mulai berproduksi pada umur 18 bulan (1,5 tahun) dan dapat
menghasilkan biji kakao yang selanjutnya bisa di olah menjadi bahan
setengah jadi (bubuk coklat) maupun bahan jadi (coklat).
Provinsi Aceh dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian lahan
persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616
ha (2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83
%), (BPS, 2012). Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang
mempunyai potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan
cuacanya mendukung.
Perkembangan kakao di Aceh tidak terlepas dari berbagai masalah
yang dijumpai dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor
hulu antara lain produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor
hilir mengenai rendahnya kualitas mutu biji terutama biji yang tidak
difermentasi. Meskipun areal dan produksi kakao di Aceh selama lima tahun
terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi aspek produktivitas
menurun 4,25 % pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan tidak
hanya dengan pemperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti
dengan penyempurnaan dalam bidang pemasaran.
Secara topografi Aceh sangat cocok untuk di kembangkankomoditas
kakao, selain itu kakao sudah familiar dengan masyarakat. Pasca
berakhirnyakonflik banyak lahan perkebunan yang secara teknis sangat baik
untuk di kembangkankomoditas kakao karena terbengkalainya lahan terutama di
Kabupaten Pidie, Pidie Jaya,Bireun, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara
yang juga merupakan sentrasentraperkebunan kakao.
Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang
baku, antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian
hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif peningkatan
produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan teknologi
11
sambung samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang (tanpa
melakukan pembongkaran). Untuk meningkatkan pendapatan pekebun dapat
diterapkan diversifikasi usahatani melalui tumpang sari dengan tanaman tahunan
lain yang kompatibel. Semua petani di Aceh menjual kakao dalam wujud
produksi biji kering dan diekspor melalui pedagang-pedagang eksportir yang ada
di Medan. Produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk produk primer (biji
kering ) dan hanya sebagian kecil dalam bentuk hasil olahan.
Perkembangan luas areal TBM mengalami peningkatan pesat pada tahun
2010 danperkembangan luas areal tanam dan produksi meningkat setiap
tahunnya. Hal inimembuktikan minatnya petani terhadap pengembangan kakao
ini yang didukung olehkondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional
yang menunjukkan prospekyang cerah. Dari segi luas areal memang terus
meningkat namun dari segi produktivitasmasih rendah bahkan cenderung sangat
menurun pada tahun 2011. Hal ini dikarenakansebagian besar petani masih
kurangnya melakukan pemeliharaan, sebagian besartanaman sudah tua, belum
menggunakan bahan tanam unggul, terserang hama(Penggerek Buah Kakao,
PBK), penyakit dan terbengkalainya kebun pada masa konfliksehingga banyak
petani pada saat itu meninggalkan lahan kakaonya begitu saja,sehingga
menyebabkan turunnya produktivitas sebesar 56 kg/ha/tahun atau sebesar 6%
dari produktivitas yang pernah dicapai (844 kg/ha/thn) pada tahun 2005
(Dishutbun, 2010).
Produk biji kakao di Aceh khususnya kakao rakyatumumnya masih
bermutu rendah yang tercerminpada tingginya kandungan biji tidak fermentasi
dankandungan non kakao (kotoran). Disamping iturendahnya mutu kakao di
Aceh karena prosespengeringannya dilakukan secara tradisional dengandijemur
di panas matahari, sedangkan biji kakaoyang baik harus melalui fermentasi
sebelumdijemur. Cara-cara tradisional inilah yang menjadikan biji kakao Aceh
belum menjadi komoditas kelas satu sehingga harganya bias jatuh. Penetapan
mutu biji kakao di Indonesia berdasarkan jumlah biji per 100 gram.Biji yang
bermutu beratnya tidak kurang dari 1 gram (Tumpal, 2007).
Harga kakao di tiap-tiap daerah sentra produksi kakao berbeda-beda.
Hargatersebut sangat ditentukan oleh harga penjualan ekspor. Naik dan
turunnya hargakakao di Aceh sangat di pengaruhi oleh harga dan permintaan
pasar di Medan. Namunperbedaan harga kakao di tingkat petani juga sangat
12
dipengaruhi antara kakao yangdifermentasi dengan harga kakao yang tidak di
fermentasi.
Kakao dari Aceh sebagian besar di ekspor ke luar negeri melalui eksportir-
eksportiryang ada di Medan, hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk
industri di dalamnegeri. Pemasaran kakao di Aceh tidak jauh berbeda dengan
pemasaran komoditasperkebunan lainnya. Dalam pemilihan saluran pemasaran
sangatlah penting bagi petaniuntuk meningkatkan pendapatannya, karena tidak
ketidaksesuaian dalam hal ini akanmempengaruhi tingkat pendapatan yang akan
diterima dari hasil usahatani itu. Olehkarena itu petani harus dapat menentukan
pemilihan saluran pemasaran yang tepatdalam penyaluran hasil usahanya
dengan berpedoman kepada informasi pasar sepertiharga jual, jumlah
permintaan dan tingkat keuntungan. Umumnya saluran pemasarankakao yang
dilalui oleh komoditas kakao di Aceh adalah melalui dua tipe saluranpemasaran
dengan perincian sebagai berikut, Tipe 1 : Petani – Pedagang pengumpul –
pedagang kabupaten – pedagang besar. Tipe 2 : Petani – pedagang kabupaten
– pedagang besar.
Pada umumnya tipe I merupakan tipe saluran pemasaran yang paling
seringdigunakan oleh petani, ini dikarenakan hampir semua waktu petani
dicurahkan kekebun dan kesibukan lainnya, jadi petani tidak sempat menjualnya
ke kabupaten karenajauhnya jarak yang ditempuh ke kabupaten. Sedangkan
petani yang melalui salurantipe II hanya sebagian kecil saja, ini dikarenakan
petani tersebut sambilan pergi kekabupaten karena bekerja di kabupaten dan
keperluan lainnya dan menjual hasilusahataninya tersebut, saluran ini sangat
menguntungkan bagi petani.
Kendala-kendala yang masih ditemui pada petani kakao di Aceh,
diantaranya : a)Penerapan teknologi budidaya secara benar masih kurang. b)
Produktivitas kakao di Aceh masih rendah. c) Kualitas kakao yang dihasilkan
petani masih di bawah standarekspor. d) Penanganan pascapanen kakao masih
minim. e) Pemasaran hasil kakaohanya di pasarkan keluar provinsi (Sumatera
Utara), sehingga terjadi fluktuasi hargadikarenakan pedagang belum mampu
melakukan ekspor akibat keterbatasan dana.
13
1.2. Budidaya kakao dan pascapanen
Pemangkasan pohon pelindung tetap dilakukan agar dapat berfungsi
untuk jangka waktu yang lama. Pemangkasan dilakukan terhadap cabang –
cabang yang tumbuh rendah dan lemah. Pohon dipangkas sehingga cabang
terendah akan berjarak lebih dari 1 m dari tajuk tanaman kakao. Pemangkasan
pada tanaman kakaomerupakan usaha meningkatkan produksi dan
mempertahankan umur ekonomis tanaman. Dengan melakukan pemangkasan,
akan mencegah serangan hama dan penyakit, membentuk tajuk pohon,
memelihara tanaman, dan memacu produksi.
Selain pemangkasan petani juga melaksanakan sanitasi kebun. Tujuan
penyiangan pada tanaman kakao adalah untuk mencegah persaingan dalam
penyerapan air dan unsur hara serta mencegah hama dan penyakit. Penyiangan
harus dilakukan secara rutin, minimal satu bulan sekali yaitu dengan
menggunakan cangkul, koret, atau dicabut dengan tangan.
Pemupukan dilakukan setelah tanaman kakao berumur dua bulan di
lapangan. Pemupukan pada tanaman kakao yang belum menghasilkan
dilaksanakan dengan cara menaburkan pupuk secara merata dengan jarak 15 cm
– 50 cm (untuk umur 2 – 10 bulan) dan 50 cm – 75 cm (untuk umur 14 – 20
bulan) dari batang utama. Untuk tanaman yang telah menghasilkan, pemberian
pupuk dilakukan pada jarak 50 cm – 75 cm dri batang utama. Penaburan pupuk
dilakukan dalam alur sedalam 10 cm.
Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida
dalam dua tahap.Pertama bertujuan untuk mencegah sebelum diketahui ada
hama yang benar–benar menyerang. Kadar dan jenis pestisida disesuaikan.
Penyemprotan tahapan kedua adalah usaha pemberantasan hama, di mana jenis
dan kadar pestisida yang digunakan juga ditingkatkan. Hama yang sering
menyerang tanaman kakao antara lain adalah penggerek buah kakao, ulat
jengkal (Hypsidra talaka Walker.), kutu putih (Planoccos lilaci), penghisap buah
(Helopeltis sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp.). Insektisida yang sering
digunakan untuk pemberantasan belalang, ulat jengkal, dan kutu putih antara
lain adalah Decis, Cupraycide, Lebaycide, Coesar, dan Atabron. Penghisap buah
dapat diberantas dengan Lebaycide, Cupraycide, dan Decis.
Penyakit yang sering ditemukan di lapangan dalam budidaya kakao, yaitu
penyakit jamur upas dan jamur akar. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur
14
Oncobasidium thebromae. Selain itu, juga sering dijumpai penyakit busuk buah
yang disebabkan oleh Phytoptera sp.
Kondisi petani kakao di Pante Bidari setelah dilaksanakan m-P3Mi sudah
banyak mengetahui dan menerapkan budidaya kakao yang tepat. Disamping
budidaya, petani juga mengetahui panen dan pasca panen.
Buah kakao bisa dipanen apabila terjadi perubahan warna kulit pada buah
yang telah matang. Sejak fase pembuahan sampai menjadi buah dan matang,
kakao memerlukan waktu sekitar 5 bulan. Buah kakao matang dicirikan oleh
perubahan warna kulit buah dan biji yang lepas dari kulit bagian dalam. Bila buah
diguncang, biji biasanya berbunyi. Keterlambatan waktu panen akan berakibat
pada berkecambahnya biji di dalam buah. Terdapat tiga perubahan warna kulit
pada buah kakao yang menjadi kriteria kelas kematangan buah di kebun – kebun
yang mengusahakan kakao, yakni :
Kelas kematangan A+, kuning tua pada seluruh permukaan buah
Kelas A, kuning pada seluruh permukaan buah
Kelas B, kuning pada alur buah dan punggung alur buah
Kelas C, kuning pada alur buah
Buah kakao yang telah dipanen biasanya dikumpulkan pada tempat
tertentu dan dikelompokkan menurut kelas kematangan. Pemecahan kulit
dilaksanakan dengan menggunakan kayu bulat yang keras.
Masalah yang paling penting pasca panen adalah fermentasi. Tujuan dari
fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga
perubahan-perubahan di dalam biji kakao akan mudah terjadi, seperti warna
keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji, dan
untuk melepaskan pulp. Biji kakao difermentasikan di dalam kotak kayu
berlubang. Selama fermentasi, biji beserta pulpnya mengalami penurunan berat
sampai 25%.
Perendaman berpengaruh terhadap proses pengeringan dan rendemen.
Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut
sehingga kulitnya lebih tipis dan rendemennya berkurang. Dengan demikian,
proses pengeringan menjadi lebih cepat. Setelah perendaman, dilakukan
pencucian yang bertujuan untuk mengurangi sisa – sisa pulp yang masih
menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji. Apabila biji masih ada
15
sisa pulp, bijiakan mudah menyerap air dari udara sehingga mudah terserang
jamur dan juga akan memperlambat proses pengeringan.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji dari 60 % sampai
pada kondisi kadar air dalam biji tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji
tidak ditumbuhi cendawan. Pengeringan biji kakao dapat dilaksanakan dengan
sinar matahari atau pengeringan buatan. Dengan sinar matahari dibutuhkan
waktu 2 - 3 hari, tergantung kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi 7 –
8 %. Dengan pengeringan buatan, pengeringan biji kakao berlangsung pada
temperatur 65oC – 68oC.
Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan
berdasarkan mutunya:
a) Mutu A : dalam 100 g biji terdapat 90 – 100 butir biji
b) Mutu B : dalam 100 g biji terdapat 100 – 110 butir biji
c) Mutu C : dalam 100 g biji terdapat 110 – 120 butir biji
Biji kakao yang telah kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap goni
diisi 60 kg biji cokelat kering, kemudian karung tersebut disimpan dalam gudang
yang bersih, kering, dan memiliki lubang pergantian udara. Penyimpanan di
gudang sebaiknya tidak lebih dari 6 bulan, dan setiap 3 bulan harus diperiksa
untuk melihat ada tidaknya jamur atau hama yang menyerang. Sebaiknya, biji
kakao bisa segera dijual dan diangkut dengan menggunakan truk atau
sebagainya.
16
III. PROSEDUR PELAKSANAAN
2.1. Tahapan Kegiatan
Kegiatan pendampingan tanaman perkebunan terdiri dari 3 kegiatan
utama dengan uraian pelaksanaan sebagai berikut:
1. Survei awal (baseline survey) untuk mengetahui tingkat adopsi inovasi dan
kebutuhan inovasi teknologi. Survei ini bertujuan untuk melihat keragaan
penerapan inovasi teknologi dan kebutuhan inovasi teknologi. Survei dilakukan
dengan Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara terstruktur secara
mendalam.
2. Diseminasi inovasi teknologi dengan pola/model SDMC yang diawali dengan
sosialisasi dan advokasi, Pelatihan petani dan penyuluh, pembuatan dan
penyebarluasan media cetak serta pelaksanaan peragaan (demplot) inovasi
teknologi budidaya tanaman perkebunan yang dibutuhkan petani. Pelaksanaan
dari masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi dan advokasi dilakukan terhadap pemangku kepentingan di
lokasi penelitian, seperti: penyuluh, camat, tuha peut, ketua kelompok tani,
alim ulama dan pemuka masyarakat yang ada lokasi.
b. Pelatihan petani dan penyuluh tentang teknologi budidaya tanaman
perkebunan (kopi, kakao, dan tebu) terpadu terhadap 50 orang petani
kakao dan 10 orang penyuluh lapangan per masing-masing lokasi kegiatan.
Materi pelatihan yang diberikan disesuaikan dengan hasil survei awal.
c. Penerbitan dan penyebaran media cetak dalam bentuk leaflet dan
poster. Judul leaflet dan poster yang diterbitkan dan didistribusikan
disesuaikan dengan inovasi teknologi tanaman perkebunan yang
dibutuhkan.
d. Pemutaran video budidaya tanaman perkebunan.
e. Setiap petani kooperator dilakukan pendampingan tentang teknik
budidaya teknologi secara terpadu.
3. Survei akhir untuk mengetahui peningkatan adopsi inovasi teknologi dan
permasalahan dalam adopsi teknologi. Survei dilakukan dengan wawancara
terstruktur secara mendalam dengan menggunakan kuesioner dengan petani
sampel sebanyak 10 orang petani per lokasi.
17
2.2. Waktu dan Tempat
kegiatan ini dilaksanakan dari Januari s/d Desember tahun 2016 di
Kebupaten Bener Meriah (kopi), Kabupaten Pidie Jaya(kakao).
2.3. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini berupa alat tulis kantor, bahan
untuk budidaya tanaman berupa saprodi, dan pestisida, bahan dan alat pelatihan
petani, serta bahan dan alat pendukung lainnya.
18
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Informasi Kawasan Perkebunan yang di Dampingi
3.1. 1. Gambaran Umum Lokasi Kegiatan Pendampingan Perkebunan Kopi
Kabupaten Bener Meriah yang beribukota di Simpang Tiga Redelong
memiliki luas 1.919,69 km² terdiri dari 10 Kecamatan dan 233 desa. Jumlah
Penduduk Kabupaten Bener Meriah Hasil Data Agregat Kependudukan Per
Kecamatan Tahun 2012 berjumlah 148.616 jiwa yang terdiri atas 75.958 dan
72.658 jiwa. Bener Meriah terletak 4°33’ 50’’ - 4° 54 50 Lintang Utara dan 96° 40
75- 97° 17 50 Bujur Timur dengan tinggi rata-rata di atas permukaan laut 100 -
2.500 m dpl. Batas-batas daerah Kabupaten Bener Meriah adalah sebagai
berikut:
❖ Sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen.
❖ Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Aceh Tengah.
❖ Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Tengah .
❖ Sebelah Timur berbatas dengan dengan Kabupaten Aceh Timur.
Secara umum seluruh kecamatan memiliki kebun kopi rakyat. Lahan kopi
di kabupaten Bener Meriah seluas 80.000 Ha dengan rata-rata produksi tanaman
kopi mencapai 1 hektar kebun mampu memproduksi kopi 1.500 Kg/tahun dan
dikalikan dengan jumlah luas kebun kopi, maka jumlah produksi kopi per-
tahunnya bisa mencapai 229.500,000 Kg/tahun. Pada tabel dibawah dapat di
lihat nama mukim dan desa dirinci perkecamatan sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 1. Rincian nama kecamatan, mukim dan desa Kabupaten Bener Meriah
No Kecamatan Mukim Desa
1 Timang Gajah 3 30
2 Gajah Putih 1 10
3 Pintu Rime Gayo 2 23
4 Bukit 3 40
5 Wih Pesan 3 27
6 Bandar 5 35
7 Bener Kelipah 2 12
8 Syah Utama 2 14
9 Mesidah 2 15
10 Permata 4 27
19
Gambar 2. Peta Kabupaten Bener Meriah
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Menurut Kecamatan di Kabupaten Bener Meriah
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Total Sex Ratio
1 Timang Gajah 9028 8785 17813 102,77
2 Gajah Putih 3916 3814 7730 102,67
3 Pintu Rime Gayo 5419 5124 10543 105,76
4 Bukit 11297 11213 22510 100,75
5 Wih Pesan 10523 10061 20584 104,59
6 Bandar 11147 10967 22114 101,64
7 Bener Kelipah 2017 1957 3974 103,07
8 Syah Utama 660 656 1316 100,61
9 Mesidah 1749 1552 3301 112,69
10 Permata 7724 7467 15191 103,44
3.1.1.Topografi
Letak topografi sebagian besar desa di kabupaten Bener Meriah adalah di
daerah yang berbukit-bukit dan pegunungan. Keadaan topografi Kabupaten
Bener Meriah yang umummnya berupa pegunungan dan perbukitan sangat
potensial untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan tanaman pangan,
20
peternakan dan perikanan. Berdasarkan kelas ketinggian maka Kabupaten Bener
Meriah didominasi Kelas Ketinggian 1000-1.200 m dpl.
3.1.2. Keadaan Iklim dan Cuaca
Kabupaten Bener Meriah merupakan kawasan beriklim tropis dengan curah
hujan berkisar 1.000-2.500(mm) pertahun dengan jumlah hari hujan 143-178.
Hujan umumnya turun pada bulan September sampai Februari. Musim kemarau
terjadi pada bulan Maret sampai Agustus. Temperatur maksimum berkisar pada
260C. Kelembaban relatif maksimum 75,8% dan kelembaban relative minimum
20%.
3.1.2 Pelaksanaan Koordinasi 2.1. Koordinasi Kegiatan Pendampingan BPTP Dengan SKPD,
Petani/Poktan Dan StakeholdersLain
Pelaksanan Kegiatan Koordinasi dimulai dengan kegiatan Sosialisasi
kegiatan pendampingan. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas Kehutanan
dan Perkebunan (DISHUTBUN) Kabupaten Bener Meriah. Pihat yang terlibat
dalam kegiatan ini Kadis, dan Kabid Produksi dan perlindungan tanaman.
Kegiatan ini sekaligus dilaksanakan sinkronisasi dengan kegiatan daerah.
Pada dasarnya kegiatan ini adalah kegiatan lanjutan, tim BPTP tidak
banyak yang harus disosialisasikan kepada Pemerintah Daerah. Mareka sudah
memahami dan mengharapkan BPTP Aceh dapat mendampingi pekebun kopi di
daerah dengan inovasi teknologi yang dapat mengatasi masalah dan dapat
menaikkan produktivitas kopi petani. Untuk lebih lengkap tahap tahapan
kegiatan koordinasi dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 3. Tahapan Kegiatan Koordinasi Tim BPTP Aceh dengan Pemerintah
Daerah Bener Meriah
No Jenis kegiatan Pihak yang terlibat Ket
1. Sosialisasi kegiatan pendampingan
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Bapelluh, Muspika daerah, Pelaku bisnis dan Praktisi
2. Sinkronisasi dengan kegiatan di daerah
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan
21
3. PRA/FGD untuk perakitan teknologi baru
Petani kopi dan Kakao
4. Penetapan CP/CL Kadishutbun, PPL, Ketua kelompok tani
5. Survey Kondisi Existing tanaman kopi dan kakao
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan
6. Survey permasalahan di lapangan tentang tanaman kopi dan kakao serta memprioritaskan masalah
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan
7.
Peningkatan SDM petani dengan pelatihan tentang budidaya kopi dan kakao, serta teknik pengendalian OPT utama pada kopi dan kakao
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan, pekebun, narasumber
8.
Penyebaran dan diseminasi inovasi teknologi melalui pembagian buku juknis, poster, leaflet dan CD Video
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Penyuluh Lapangan, pekebun, narasumber
Pemerintah Daerah Kabupaten Bener Meriah merupakan lokasi
Pendampingan komoditas sangat mendukung kegiatan tersebut. Para
Stakeholders akan mendukung semua kegiatan pendampingan dengan
mensinergikan dengan kegiatan Pemerintah Daerah.
3.1.2. Gambaran Umum Lokasi Kegiatan Pendampingan Perkebunan Kakao di Kabupaten Pidie Jaya
Letak Georafi Kabupaten Pidie Jaya berada pada 4°54'
15,702"N sampai 5° 18' 2,244" N dan 96°1' 13,656"E sampai 96°22'1,007"E.
Secara Topografi Kabupaten Pidie Jaya berada pada ketinggian 0 mdpl s.d 2300
22
mdpl dengan tingkat kemiringan lahan antara 0 sampai 40%. Wilayah Kecamatan
Jangkabuya secara keseluruhan merupakan dataran rendah antara 0 mdpl s.d 20
mdpl, Kecamatan Bandar Dua berada pada 10 mdpl s.d. 2300 mdpl sedangkan
Kecamatan Ulim, Meurah Dua, Meureudu, Trienggadeng, Pante Raja, dan Bandar
Baru berada pada 0 mdpl s.d 2.300 mdpl terbentang dari Pesisir Selat Malaka
hingga Puncak Gunong Peuet Sagoe pada Gugusan Bukit Barisan. Secara
keseluruhan Kabupaten Pidie Jaya rawan terhadap banjir dan erosi. Dari
klasifikasi lereng, Kabupaten Pidie Jaya merupakan daerah dataran tinggi yang
memiliki daerah kelas lereng sampai dengan 40%.
BATAS WILAYAH
UTARA : Selat Malaka
SELATAN : Kecamatan Tangse, Geumpang dan Mane, Kabuapen Pidie
BARAT : Kecamatan Glumpang Tiga, Glumpang Baro, dan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie
TIMUR : Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen
Gambar 3. Potensi Kakao di Kabupaten Pidie Jaya 13.484 Ha
23
3. 2. Survei Awal
Tim pemdampingan kawasan perkebunan pada awal kegiatan melakukan
Survei awal dilokasi kegiatan : Kabupaten Bener Meriah untuk komoditi kopi,
Kakao untuk Kabupaten dan Pidie Jaya. Survei awal (baseline survey) untuk
mengetahui kondisi terkini kebun petani. Permasalahan permasalahan yang
dihadapi setiap hari dalam usahataninya perlu didata, untuk mengetahui solusi
inovasi yang didesiminasi kepada petani. Hasil survei awal sangat berguna untuk
melaksanakan kegiatan pendampingan kawasan perkebunan.
Hasil survei awal permasalahan utama yang dihadapi petani kopi setiap
hariadalah rendahnya produktivitas akibat serangan hama dan penyakit. Hama
yang sangat meresahkan petani adalah hama penggerek buah kopi (PBKo)
Hypothenemus hampei. Hasil penelitian Firdaus (2013) serangan hama PBKo di
kecamatan Wih Pesam pada ketinggian 800 mdpl mencapai 60%. Pada
Ketinggian dibawah 1000 mdpl hama ini sangat cepat berkembang sehingga
intensitas serangannnya mengakibatkan kerugian sangat besar dialami petani.
3.2.1. Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) Hypothenemus hampei menjadi permasalahan utama petani
Hypothenemus hampei merupakan salah satu penyebab utama
penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara
penghasil kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak
berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur
mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil.
Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Family : Scolytidae
Genus : Hypothenemus
Spesies : Hypothenemus hampei
24
Biologi dan Ekologi H. hampei
Hama PBKo H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa
sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa.
Kumbang betina lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina
lebih kurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2
mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang
gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada
bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya.
Telur menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari.
Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk
perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga
diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari,
sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari.
Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50
butir. Telur menetas menjadi larva yang menggerek biji kopi. Larva menjadi
kepompong di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari kepompong. Jantan
dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah
lain untuk masuk, lalu bertelur lagi. Serangga dewasa atau imago, perbandingan
antara serangga betina dengan serangga jantan rata-rata 10:1. Namun, pada
saat akhir panen kopi populasi serangga mulai turun karena terbatasnya
makanan, populasi serangga hampir semuanya betina, karena serangga betina
memiliki umur yang lebih panjang dibanding serangga jantan. Pada kondisi
demikian perbandingan serangga betina dan jantan dapat mencapai 500:1.
Serangga jantan H.hampei tidak bisa terbang, oleh karena itu mereka
tetap tinggal pada liang gerekan di dalam biji. Umur serangga jantan hanya 103
hari, sedang serangga betina dapat mencapai 282 hari dengan rata-rata 156
hari. Serangga betina mengadakan penerbangan pada sore hari, yaitu sekitar
pukul 16.00 sampai dengan 18.00 (Wiryadiputra, 2007).
2.3.2. Gejala Serangan PBKo
Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang
telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah
kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan
25
makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang,
warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan
pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi
karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap
susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji
berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia,
sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen
senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al., 2006).
Serangga H. hampei masuk ke dalam buah kopi dengan cara membuat
lubang di sekitar diskus. Serangan pada buah muda menyebabkan gugur buah,
serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-
lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006).
Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji
keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur
pada biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi
setelah pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk
penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga
perbiji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu
tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).
H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi
yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak
dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan
kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei
(DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang
sampai merah , biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada
buah. Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk
meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga
menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002).
Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah.
Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-
lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan
berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke
dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak
dalam buah (Irulandi et al., 2007).
26
Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk
endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah
memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang
kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika
buah sudah cukup matang (Baker et al., 1992).
2.3.3. Pola Penyebaran
Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian
menyebar luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan
beberapa pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi
(Vega, 2002). Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee
berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai
penyebaran di Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau
hitam coklat (Susniahti et al., 2005).
Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika
Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini
diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk
buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara,
termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega, 2002).
Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun
dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan
daerah asal dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang
tanaman kopi liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi
serupa juga dijumpai di Brazil, di mana serangan berat hama PBKo biasanya
terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga
kelembaban udara cukup tinggi.
Berdasarkan fenologi pada pembuahan tanaman kopi, pengelolaan PBKo
dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Karena fenologi
pembuahan tanaman kopi tersebut sangat bervariasi menurut ketinggian tempat,
curah hujan, suhu, tipe tanah, varietas atau klon kopi dan praktek agronomis.
Kondisi pertanaman kopi di daerah Sumatera yang tergolong daerah basah dan
sebagian besar memiliki tipe iklim B dan A (menurut tipe iklim Schmidt dan
Ferguson) akan sulit menerapkan sistem sanitasi untuk memutuskan siklus hidup
hama karena pertanaman kopi berbuah sepanjang tahun. Pada daerah dataran
27
tinggi (lebih dari 1200 m dpl.) serangga H. hampei perkembangannya terhambat,
sehingga pada daerah-daerah tersebut biasanya intensitas serangan H. hampei
juga rendah.
2.3.4 Pengaruh Lingkungan
Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah
kopi. H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk
perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara
27⁰C-30⁰C. Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C,
pada suhu 15⁰C dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau
mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).
Selanjutnya Survei awal pada tanaman kakao dilaksanakan kegiatan
koordinasi dan diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Pidie Jaya Bapak Ir. Burhanuddin dimaksudkan untuk
mengkomunikasikan maksud dan tujuan kegiatan Pendampingan Pengembangan
Kawasan Pertanian Kawasan Perkebunan serta dukungan yang diperlukan.
Bapak Burhanuddin sangat mendukung kegiatan pendampingan ini yang
dilaksanakan oleh BPTP Aceh di Kabupaten Pidie Jaya, karena kegiatan ini
merupakan permasalahan utama yang dihadapi petani kakao.
4.5. Permasalahan Utama Kakao adalah Serangan Hama dan
Penyakit
Hasil survei awal Tim BPTP Aceh bersama Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Pidie Jaya Ir . Burhanuddin serta wawancara langsung
dengan petani permasalahan utamanya adalah Penyakit busuk buah dan
serangan hama penggerek buah kakao (PBK) (Gambar 4). Selanjutnya Pemda
Pidie Jaya sudah dilakukan semua teknik pengendalian OPT tersebut, namun
sampai sekarang belum bisa kita kendalikan. “ Petani tidak boleh menyerah pada
keadaan ini, mari kita lakukan rawat kembali kebun dengan lebih giat semoga
serangan OPT dapat dikendalikan,” demikian harapannya disaat survey
kelapangan bersama tim BPTP Aceh.
28
Gambar 4. Gejala serangan hama PBK dan penyakit busuk buah
Hasil Survei awal ditemukan juga kondisi kebun umumnya kurang terawat
(sudah diterlantarkan) dan tingginya intensitas serangan Organisme Penganggu
Tanaman (OPT). Menurut Ramli Petani teladan di Cubo, Hama dan Penyakit yang
banyak menyerang kebun kakao milik petani adalah adalah PBK, helopeltis, dan
penyakit busuk buah yang disebabkan oleh jamur Phythopthora. Hal senada juga
dikatakan oleh Saiful, petani kakao di Gampong Kayee Jato Kecamatan Bandar
Baru bahwa akibat serangan OPT tersebut, hasil panen mereka menurun sangat
drastis bahkan ada kalanya mereka tidak panen sama sekali.
Harapan Pemda Pidie Jaya melalui Kadishutbun Ir Burhanuddin dan petani,
BPTP Aceh dapat melakukan percepatan adopsi inovasi teknologi pengendalian
OPT secara terpadu dengan melakuan PsPSP (Panen sering Pemangkasan
Sanitasi dan Pemupukan) serta melakukan sambung samping dan sambung
pucuk dengan klon unggul lokal yang tahan terhadap busuk buah dan PBK.
4.6 Pelatihan Petani dan Penyuluh Pertanian untuk Meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam Budidaya Tanaman Kopi di Desa Simpang Antara Kecamatan Wih Pesam Kabupaten Bener Meriah
Permasalahan utama tanaman kopi di daerah lokasi kegiatan adalah
rendahnya produksi kopi selama ini. Produksi kopi semester I bulan Februari
2015 rendah dibandingkan dengan produksi rata rata nasional. Permasalahan ini
di karenakan belum tau petani tentang teknologi budidaya kopi terpadu dan
teknik pengendalian hama dan penyakit terpadu.
Melihat kondisi ini dilapangan BPTP Aceh dengan teamnya melakukan
percepatan diseminasi teknologi budidaya kopi dengan metode pelatihan petani
dan pembagian media leflet dan poster. Pelatihan petani lebih diutamakan pada
29
teknik budidaya dan pengendalian hama PBKo. Pelatihan petani terdiri dari
penyampaian materi di ruangan dan praktek di lapangan. Materi mencakup
pemangkasan, pemupukan, tanaman penaung dan pengendalian hama PBKo.
Masalah yang tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan mutu kopi adalah serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani. Sampai saat ini tercatat
lebih dari 900 jenis serangga hama pada tanaman kopi yang tersebar diseluruh
dunia.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis hama utama kopi, yaitu: hama
penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei, penggerek cabang hitam
Xylosandrus compactus, penggerek cabang coklat Xylosandrus morigerus, kutu
hijau Coccus viridis, dan penggerek batang merah Zeuzera coffea. Sedangkan
penyakit : Karat daun kopi (Hemileia vastatrix), Bercak daun kopi
(Mycosphaerella coffeicola), Nematoda (Pratylenchus coffeae dan Radopholus
similis Jamur upas (Corticium salmonicolor ), dan Penyakit akar: coklat, hitam,
putih.
Gambar 5. Penjab Kegiatan Firdaus, SP., M.Si Menyampaikan tujuan dan maksud kegiatan Pendampingan kawasan perkebunan (kopi) pada saat kegiatan temu lapang Pengendalian Hama PBKo
Pada kegiatan pelatihan petani dan penyuluh, Tim BPTP Aceh diwakili
oleh penanggung jawab kegiatan Firdaus, SP., M.Si menjelaskan tahapan
30
tahapan kegiatan pelatihan (Gambar 6). Pelatihan diawali dengan pemberian
materi teori teori di dalam ruangan. Bahan pelatihan yang diajarkan mencakup
budidaya tanaman kopi secara terpadu, dan yang sangat penting adalah
pengendalian hama utama kopi Penggerek Buah Kopi (PBKo).
Gambar 7. Petani sedang mengikuti materi Budidaya Tanaman Kopi Terpadu di Ruangan.
Pemateri atau narasumber berasal dari instansi terkait yaitu Dishutbun
Kabupaten Bener Meriah, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, serta Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh. Salah seorang narasumber dari BPTP Aceh
peneliti kopi Sdr Lamhot SP sedang memberikan materi pengendalian hama
penggerek buah kopi secara terpadu (Gambar 7).
Peserta pelatihan berasal dari Kelompok Tani Sejahtera petani kopi
Gampong Simpang Antara Kecamatan Wih Pesam. Selain petani kopi peserta
juga berasal dari penyuluh pertanian lapangan BP3K Kecamatan wih Pesam.
Peserta selain menerima satu set alat tulis menulis, juga alat praktek berupa
gunting pangkas tanaman kopi, gergaji, parang, dan saprodi pupuk.
31
Gambar 7. Petani sedang mengikuti materi Budidaya Tanaman Kopi Terpadu di Ruangan.
Peserta sangat antusias mengikuti materi yang di berikan oleh
narasumber (Gambar 8). Materi yang diberikan selain persentasi dengan
infokus , juga dibagikan brosur dan leaflet tentang budidaya kopi dan
pengendalian hama dan penyakit
Materi yang di terima peserta pelatihan sangat berguna bagi petani, yang
selama ini budidaya kopi seperti teknik pemangkasan belum sesuai dengan
anjuran yang disampaikan oleh narasumber. Dengan adanya pelatihan ini ada
peningkatan pengetahuan yang dirasakan oleh petani, untuk merubah sikap dan
praktek budidaya kopi kearah yang lebih baik, sehingga harapan petani
peningkatan produksi menjadi kenyataan (Gambar 9).
32
Gambar 8. Peserta berfoto bersama usai pelatihan materi dan praktek dilapangan
Teknik Pengendalian Hama PBKo diberikan kepada petani baik materi
maupun praktek langsung di lapangan. yang persentase buah terserang pada
petak perlakuan pemangkasan, sanitasi Beuveria dan pemasangan perangkap
hypotan diduga karena terdapat empat cara pengendalian yang diterapkan yaitu
dengan melakukan sanitasi dengan cara memetik buah-buah yang terserang
hama bubuk di pohon pada awal pengamatan dan memungut buah kopi yang
jatuh di tanah baik terhadap buah terserang maupun buah tidak terserang, dapat
memutuskan daur hidup hama bubuk buahkopi.
Tindakan pemangkasan wiwilan, cabang sakit dan cabang tidak produktif
menghindari kondisi pertanaman yang terlalu gelap karena ada cabang yang
tumpang tindih sehingga menciptakan suasana kebun yang tidak sesuai bagi
hama bubuk buah kopi. Disamping itu, pemangkasan juga akan mengurangi
persaingan makanan sehingga merangsang cabang produktif untuk berproduksi
lebih banyak. Selanjutnya perlakuan Beauveria juga dapat menekan populasi
hama bubuk buah ditambah lagi dengan pemasangan perangkap. Hal ini sesuai
dengan pendapat Wiryadiputra (2007) bahwa pengendalian hama bubuk buah
kopi dengan sanitasi sangat efektif untuk menurunkan intesitas serangan dari 40-
90% menjadi 0,5-3%.
Selanjutnya Kadir et al. (2003) melaporkan bahwa pemangkasan
merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur teknis yang
33
dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama utama pada tanaman kopi.
Tindakan pemangkasan pada tanaman kopi akan menghindari kelembaban
kebun yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan
dapat berlangsung secaraintensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat
penyinaran merata guna merangsang pembungaan dan membuang cabang tua
yang kurang produktif atau terserang hama atau penyakit sehingga hara dapat
didistribusikan ke cabang muda yang lebih produktif.
Aplikasi Beauveria dapat menekan persentase serangan hama bubuk
buah kopi, selanjutnya penggunaan senyawa perangkap hypotan juga dilaporkan
efektif dalam menurunkan persentase serangan hama bubuk buah kopi hingga
80% (Wiryadiputra et al. 2010).
4.7 Pelatihan petani Meningkatkan Pengetahuan Petani di Desa Kayee Jatoe Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pelatihan petani kakao dilaksanakan di Desa Kayee Jatoe Kecamatan
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Pelatihan ini di ikuti oleh 50 petani kakao
dan 5 penyuluh pertanian dari BPP Bandar Baru. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pidie Jaya.
Narasumber pelatihan berasal dari Dishutbun, penyuluh senior dan
praktisi. Bapak Muslahuddin salah seorang praktisi yang telah berhasil
menerapkan sistem nutrisi balancing. Teknologi ini mampu merehabilitasi kebun
kakao petani yang tidak produktif lagi menjadi kebun yang berproduksi.
Bapak Kadishutbun menjelaskan kebijakan pemerintah Pidie Jaya dalam
meningkatkan kesejahteraan petani kakao. Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya
pada Tahun 2016 ada kegiatan intensifikasi dan ektensifikasi kebun kakao rakyat.
Hasil Pelatihan ini petani mendapatkan teori dan Praktek Langsung
teknologi budidaya kakao yang terpadu. Semoga ilmu yang diperoleh di saat
pelatihan dapat di terapkan dikebun kakao masing masing
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Setelah dilaksanakan kegiatan pendampingan kawasan perkebuan (Kopi,
Kakao,) telah terjadi peningkatan pengetahuan petani dalam memahami teknik
budidaya yang baik. Petani sudah memahami teknik – teknik budidaya kopi
seperti pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama PBKo. Petani sudah
mau merawat kebun sendiri, setelah melihat kebun petani lain yang telah
menerapkan teknologi budidaya yang benar. Terjadi penurunan intensitas
serangan hama PBKo setelah petani melakukan pengendalian hama PBKo secara
terpadu dan serentak.
Hal yang sama, pada petani kakao di Kecamatan Bandar Baru Kabupaten
Pidie Jaya. Kegiatan pendampingan Teknologi Budidaya Kakao dapat
meningkatkan pengetahuan sikap dan ketrampilan petani, sehingga budidaya
kakao petani semakin baik dan pada akhirnya terjadi peningkatan produksi.
4.2. Saran
Pemerintah daerah masing masing lokasi kegiatan pendampingan
kawasan perkebunan dapat melanjutkan kegiatan ini dengan pengembangan
kawasan perkebunan semakin luas. BPTP Aceh telah menyampaikan inovasi
teknologi kepada petani. Semoga petani dapat mengadopsi semua teknologi
untuk meningkatkan produksi.
35
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (2014) Aceh dalam Angka
Aksi Agraris Kanisius, 2010. Budidaya Tanaman Kopi. Kanisius, Yogyakarta.
Baon, J. et.al., 2013. Pengelolaan Kesuburan Tanah Perkebunan Kopi dalam Mewujudkan Usaha Tani yang Ramah Lingkungan. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, 2014. Statistik Perkebunan Propinsi Aceh.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia, Kopi 2001-2003. Jakarta 87p.
Gupta, P.C. & J.C. O’Toole. 1986. Upland Rice A Global Perspective. Manila. IRRI. p360.
Hulupi, R. (2012). Bahan Tanam Kopi yang Sesuai untuk Kondisi Agroklimat di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 15 (1), 64-81.
International Coffee Organization. 2010. Coffee Market Report. Agustus 2004
Iskandar, S. H. (2008). Beberapa Aspek Budidaya Tanaman Perkebunan. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 48 Hal.
36
FOTO KEGIATAN
Gambar 1. Kondisi tanaman yang terserang penyakit busuk akar
Gambar 2. Keadaan buah kakao terserang hama dan penyakit
37
Gambar 3. Penjab Kegiatan menjelaskan maksud dan tujuan pelatihan
Gambar 4. KaDishutbun Kabupaten Bener Meriah membuka acara
pelatihan petani dan penyuluh
39
Gambar 7. Peserta sedang melakukan praktek pemupukan dan pemangkasan
Gambar 8. Narasumber bapak Lamhot Edy P, SP menjelaskan teknik pemangkasan pada tanaman kopi