ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · communication) antar berbagai pihak dan pembangunan...

39
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerjasama Antar Daerah Kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pamudji, 1985). Sedangkan Patterson(2008) dalam Warsono (2009: 118) mendefinisikan kerjasama antar daerah (intergovernmental cooperation) sebagai an arrangement two or more goverments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem”. Dari definisi tersebut tercermin adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Ada dua motivasi utama mengapa kerjasama antar daerah menjadi penting untuk dilakukan. Pertama, untuk menghindari terjadinya eksternalitas, berupa kemungkinan adanya pembangunan yang pesat di suatu daerah tetapi berdampak negatif bagi daerah yang lain. Kedua, adanya keinginan untuk memecahkan masalah secara bersama dan mewujudkan tujuan bersama pada bidang-bidang tertentu. Motivasi kedua ini biasanya didasarkan pada kesadaran bahwa masing-masing daerah memiliki keterbatasan sumberdaya pembangunan baik alam maupun manusia. Oleh karena itu, dengan bekerjasama masing-masing daerah akan saling mendapat keuntungan apabila mereka saling memanfaatkan dan mengembangkan potensi mereka secara bersama. 2.2. Teori Kerjasama Antar Daerah 2.2.1. Teori Model Kemitraan Antar Pemerintah Daerah Olberding (2002) mengidentifikasikan dua model hubungan antar pemerintahan lokal yang saling bertentangan, yaitu model persaingan antar pemerintahan lokal (interjurisdictional competition) dan model regionalisme (regionalism). Model persaingan mengasumsikan bahwa antar pemerintahan lokal bersaing untuk memberikan layanan yang prima kepada penduduk dan pengusahanya. Menurut model persaingan, beberapa kota menghasilkan layanan

Upload: truongnguyet

Post on 24-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerjasama Antar Daerah

Kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang

dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dalam posisi yang setingkat dan seimbang

untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat

(Pamudji, 1985). Sedangkan Patterson(2008) dalam Warsono (2009: 118)

mendefinisikan kerjasama antar daerah (intergovernmental cooperation) sebagai

”an arrangement two or more goverments for accomplishing common goals,

providing a service or solving a mutual problem”. Dari definisi tersebut tercermin

adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah

untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara

bersama-sama.

Ada dua motivasi utama mengapa kerjasama antar daerah menjadi

penting untuk dilakukan. Pertama, untuk menghindari terjadinya eksternalitas,

berupa kemungkinan adanya pembangunan yang pesat di suatu daerah tetapi

berdampak negatif bagi daerah yang lain. Kedua, adanya keinginan untuk

memecahkan masalah secara bersama dan mewujudkan tujuan bersama pada

bidang-bidang tertentu. Motivasi kedua ini biasanya didasarkan pada kesadaran

bahwa masing-masing daerah memiliki keterbatasan sumberdaya pembangunan

baik alam maupun manusia. Oleh karena itu, dengan bekerjasama masing-masing

daerah akan saling mendapat keuntungan apabila mereka saling memanfaatkan dan

mengembangkan potensi mereka secara bersama.

2.2. Teori Kerjasama Antar Daerah

2.2.1. Teori Model Kemitraan Antar Pemerintah Daerah

Olberding (2002) mengidentifikasikan dua model hubungan antar

pemerintahan lokal yang saling bertentangan, yaitu model persaingan antar

pemerintahan lokal (interjurisdictional competition) dan model regionalisme

(regionalism). Model persaingan mengasumsikan bahwa antar pemerintahan lokal

bersaing untuk memberikan layanan yang prima kepada penduduk dan

pengusahanya. Menurut model persaingan, beberapa kota menghasilkan layanan

20

publik dengan biaya yang murah, sedangkan lainnya tidak. Penduduk dan

pengusaha yang tinggal di kota dengan pelayanan yang prima tidak terdorong

untuk keluar dari kota tersebut. Sebaliknya, mereka yang tinggal di kota-kota

yang tidak dapat memuaskan pelayanan publik cenderung untuk bermigrasi ke

kota-kota lain. Karena persaingan antar pemerintah kota untuk menghasilkan

outcomes yang paling efisien, maka penduduk dan pengusaha akan memilih

tinggal di kota-kota yang pelayanan publik dan tarif pajaknya paling cocok

dengan preferensi mereka. Bahkan dapat dimungkinkan pula terjadinya

pembentukan kota-kota baru akibat buruknya pelayanan.

Berbeda dengan model kompetisi, model regionalisme menyatakan

bahwa kerjasama antar pemerintahan lokal dapat tercipta jika mereka mengakui

rasa saling tergantung (interdependency) dan bertindak dalam koridor yang

terkoordinasi. Para teoritisi administrasi publik tradisional menyatakan bahwa

beberapa pemerintahan kota yang bekerjasama menghasilkan skala ekonomi yang

menguntungkan, perlakuan warga negara yang lebih adil, dan peluang-peluang

yang lebih besar untuk mengatasi beberapa persoalan penting (Lyons, Lowery,

dan DeHoog, 1992).

Model regionalisme mengasumsikan bahwa setiap pemerintahan lokal

memiliki keterbatasan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia,

sumberdaya buatan maupun sumberdaya sosial. Oleh karena itu, agar pemerintah

lokal dapat berkembang maka antar pemerintah lokal diharapkan dapat saling

bekerjasama. Konsep pembentukan regionalisme seperti ini identik dengan

konsep perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pilar dari perencanaan

pembanguna wilayah adalah bahwa dalam membangun suatu wilayah harus

memperhatikan aspek tata ruang/spasial (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju,

2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan suatu wilayah lebih

dipengaruhi oleh wilayah di sebelahnya atau wilayah yang lebih dekat

dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih berjauhan akibat adanya

interaksi sosial-ekonomi antar penduduknya.

Hukum Geografi “Tobler” yang pertama menyebutkan bahwa “setiap hal

memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki

keterkaitan lebih dari lainnya” (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2007). Dalam

21

ilmu wilayah, pengertian jarak tidak selalu berkonotasi fisik, tetapi lebih tepat jika

diungkapkan sebagai tingkat aksesibilitas yang dapat diukur melalui pendekatan

waktu tempuh, biaya perjalanan dan sebagainya. Secara alami, “kedekatan

psikologis” hubungan antar manusia tidak hanya ditentukan oleh jarak yang

memisahkannya, namun “posisi relatif” antar keduanya, akan menentukan pola

interaksi dan komunikasi antar keduanya. Sebagai contoh, secara psikologis

komunikasi dua orang yang duduk bersebelahan, berhadapan, dan saling

membelakangi akan memiliki nilai yang berbeda (Rustiadi, Saefulhakim dan

Panuju, 2007). Sejalan dengan konsep tersebut, model regionalisme

mensyaratkan, meskipun dua atau lebih pemerintahan lokal secara geografis

saling berdekatan, namun agar tetap terjalin hubungan komunikasi yang baik dan

saling menguntungkan maka diantara mereka hendahnya saling menjalin

hubungan kerjasama.

Dalam perspektif Good Governance, kemitraan merupakan ciri utama

dari model baru tata pemerintahan lokal (a new model of local governance) yang

mencakup penciptaan dan pencerminan perubahan hubungan yang melibatkan tiga

komponen, yaitu negara, pasar dan masyarakat sipil (Southern, 2002). Dalam

situasi dimana pemerintah (negara) mengalami kesulitan finansial, kombinasi tiga

komponen atau multistakeholders tersebut dapat menciptakan perpaduan

ketrampilan dan sumberdaya. Hal ini tidak saja penting, tetapi juga bermanfaat

untuk meningkatkan pemberian dan kualitas layanan dengan cara-cara yang lebih

efisien dan efektif (Slater, 2001).

2.2.2. Game Theory

Game theory adalah teori yang menjelaskan problem pengambilan

keputusan yang melibatkan beberapa kelompok kepentingan (multi stakeholders).

Teori ini mempelajari interaksi strategis antar pemain (agen). Dalam permainan

strategis, suatu agen memilih strategi yang dapat memaksimalkan keuntungan,

berdasarkan strategi yang dipilih agen lain. Ada dua bentuk permainan yaitu

permainan zero-sum (zero-sum game) atau non kooperatif yaitu keadaan dimana

pemenang memperoleh semuanya, dan permainan non zero-sum (non zero-sum

game) atau permainan kooperatif dimana memungkinkan terjadinya koalisi antara

22

sesama pemain. Intinya, teori ini menyediakan pendekatan permodelan formal

terhadap situasi sosial mengenai bagaimana pelaku keputusan berinteraksi dengan

agen lain. Teori permainan dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup

terkenal, yakni bagaimana orang bisa bekerjasama dalam masyarakat apabila

masing-masing dari mereka cenderung berusaha untuk menjadi pemenang.

John Nash menunjukkan perbedaan antara permainan kooperatif, dimana

masing-masing pemain saling bekerjasama secara terikat, dan permainan non-

kooperatif, dimana tidak ada kekuatan dari luar permainan yang dapat

memaksakan berlakunya sekumpulan peraturan yang sudah ditentukan

sebelumnya. Dalam teori permainan, setiap pemain berusaha untuk mencapai

suatu kesetimbangan (equilibrium) yang disebut sebagai Kesetimbangan Nash.

Dalam konteks pembangunan wilayah, penerapan teori permainan ini

dapat juga dilakukan. Apabila akan membangun suatu wilayah, pilihannya adalah

apakah antar pemerintah daerah di wilayah tersebut harus saling bekerjasama atau

justru saling bersaing. Apabila pemicu kerjasama telah terbentuk, kondisi

kesetimbangan akan dapat terwujud apabila diantara mereka melakukan

kerjasama. Sebagai ilustrasi, jika beberapa daerah otonom memiliki keterbatasan

sumberdaya ekonomi dan sumber daya manusia (SDM), dan mereka ingin

mengembangkan ekonomi wilayahnya, maka jika mereka menerapkan permainan

non kooperatif justru akan saling melemahkan. Namun, jika mereka mau

menerapkan permainan kooperatif atau mau saling bekerjasama maka keuntungan

akan diperoleh seperti efisiensi biaya dalam mengembangkan potensi sumberdaya

ekonomi di masing-masing daerah.

2.2.3. Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi

Dalam studinya yang sangat komprehensif, Olberding (2002)

mengajukan teori kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi. Menurut teori

tersebut dihipotesiskan terdapat dua determinan utama terhadap pembentukan

kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi, yaitu: norma kerjasama

(cooperative norms) atau tradisi kerjasama regional dan kebutuhan (need).

Melalui norma kerjasama diharapkan berbagai pihak dapat bertindak dengan suatu

cara yang kolaboratif atau terkoordinasi. Menurut Axelrod (1997) dikatakan

23

bahwa jika perilaku terkoordinasi tercipta tanpa campur tangan pemerintah pusat

untuk mengawasi perilaku tersebut, maka keberadaan norma cenderung bertalian

erat dengan perilaku terkoordinasi dan regulasi penanganan konflik.

Ilmuwan lainnya juga menyimpulkan bahwa norma kerjasama sangat

penting untuk menggeser perilaku kompetitif menjadi perilaku kooperatif.

Sebagai contoh, Ostrom (1998) menyimpulkan bahwa penentu utama kerjasama

adalah norma timbal balik (norms of reciprocity) atau kecenderungan para

individu untuk bereaksi terhadap tindakan positif yang dilakukan oleh orang lain

dengan respon yang positif dan terhadap tindakan negatif dengan respon yang

negatif. Di samping itu, Ostrom (1998) juga menyarankan bahwa ada dua cara

untuk mengatasi dilema sosial yaitu komunikasi tatap muka (face-to-face

communication) antar berbagai pihak dan pembangunan sanksi, aturan dan

lembaga yang mendukung dan mempertahankan kerjasama. Hal yang sama

dikatakan oleh Axelrod (1997) bahwa mekanisme-mekanisme tertentu

mendukung norma dan akhirnya membantu untuk mencapai dan mempertahankan

kerjasama diantara kelompok-kelompok besar atau sekumpulan individu atau

organisasi. Ilmuwan lain menganggap bahwa norma adalah suatu bentuk

kelembagaan. Schotter (1981), mengatakan kelembagaan merupakan regulasi atas

tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan

merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang. Apapun

bentuknya, baik formal maupun informal, kelembagaan bertujuan mengurangi

ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi (North, 1990 dalam

Hidayat, 2007), atau untuk meningkatkan derajat kepastian dalam interaksi antar

individu (Kasper dan Streit, 1998 dalam Hidayat, 2007). Sedangkan menurut

Ostrom, (1990) dalam Hidayat, (2007) tujuan kelembagaan adalah untuk

mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota

masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam

masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis.

Di samping teori berbasis norma, faktor lain yang terkait dengan proses

pembentukan kemitraan regional adalah kebutuhan-kebutuhan daerah (the needs

of the region). Beberapa studi kasus juga telah menemukan bahwa kebutuhan

ekonomi (economic need) merupakan salah satu faktor utama yang mendorong

24

pembentukan kemitraan regional (lihat Coe, 1992; Huggins, 1992). Selain faktor

ekonomi, para ilmuwan politik juga menemukan bahwa kebutuhan-kebutuhan

sosial mempengaruhi hasil-hasil kebijakan publik (Peterson, 1981; Dye, 1990).

Dengan demikian, faktor kebutuhan merupakan sebuah faktor penentu penting

lainnya yang mendorong proses pembentukan kemitraan. Dalam hal ini, faktor

kebutuhan dapat dikatakan sebagai faktor pendorong terciptanya kemitraan agar

suatu daerah tetap dapat bertahan. Kebutuhan daerah dapat berupa kebutuhan

ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta kebutuhan sosial

seperti melakukan interaksi antar pejabat, pengusaha dan stakeholders lainnya.

Kemampuan interaksi ini akan dapat menambah wawasan pengetahuan terhadap

berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal lainnya, dan

pengetahuan terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal

lain dapat dijadikan benchmarking dalam pembuatan kebijakan sejenis di tempat

pemerintahan lokal sendiri.

Ada tiga kelompok yang diasumsikan berperan penting dalam

mendorong norma pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan

ekonomi. Beberapa kajian mencatat bahwa dua kelompok yang secara aktif

terlibat dalam pembentukan kemitraan regional khususnya dalam pembangunan

ekonomi adalah pejabat publik dan pemimpin bisnis (Raasch dan Brooks, 1995;

Grell dan Gappert, 1993; Coe, 1992; Hersberg, Magidson, dan Werneeke, 1992;

Huggins, 1992). Di samping itu, peran masyarakat sipil juga turut memberikan

pengaruh terhadap norma pembentukan kemitraan regional. Rusk (1995),

misalnya, menemukan bahwa keterlibatan masyarakat sipil memainkan peranan

yang vital dalam perumusan strategi kerjasama regional.

25

Sumber: Diadopsi dari Olberding, 2002

Gambar 3 Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi

Gambar di atas menunjukkan bahwa pengaruh norma kerjasama tidak

hanya pada pembentukan hubungan antar pemerintahan lokal atau antar

organisasi, tetapi juga terhadap struktur dan proses pembentukannya. Van de Ven

(dalam Olberding, 2002) mengindentifikasikan tiga dimensi struktur dalam

hubungan antar organisasi: (1) formalisasi melalui kesepakatan atau kontrak; (2)

kompleksitas, atau jumlah organisasi yang terlibat dalam kerjasama dan jumlah

proyek dan tugas yang dilaksanakan melalui hubungan antar organisasi; dan (3)

sentralisasi, atau derajat pembuatan keputusan bersama oleh komite atau dewan.

Di samping itu, terdapat dua dimensi proses dalam hubungan antar organisasi: (1)

intensitas aliran sumberdaya, atau jumlah sumberdaya yang mengalir diantara

Kebutuhan

Norma-norma kerjasama yang dibangun secara parsial

Pemerintah

Sektor Swasta

Masyarakat Sipil

Kemitraan Regional untuk Pembangunan Ekonomi

Formalisasi

Sentralisasi

Kompleksitas

Intensitas aliran sumberdaya

Intensitas aliran informasi

+

+

_

_

+

+

+

Lingkungan ekonomi politik makro

26

organisasi; dan (2) intensitas aliran informasi, atau frekuensi komunikasi diantara

organisasi.

Terakhir, lingkungan ekonomi dan politik makro juga dapat berperan

dalam pembentukan kerjasama regional. Perubahan kebijakan otonomi daerah

yang tengah digodok oleh pemerintah maupun kondisi perekonomian di tingkat

nasional maupun internasional dapat menjadi faktor pendukung atau bahkan

penghambat bagi terciptanya kerjasama regional. Birner dan Wittmer (2003),

misalnya, mencatat bahwa lingkungan ekonomi dan politik makro turut

menentukan dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal.

2.3. Teori Regionalisasi

Kata region (dalam bhs.Latin: regio) terbentuk dari kata latin rege

yang berarti tata pemerintahan, yang menunjuk pada batasan geografis yang

terdiri dari beberapa ruang administratif tertentu. Sedangkan regionalisasi

terbentuk dari kata dasar regio(n) dan kemudian menjadi regional sebagai kata

sifat yang berarti kewilayahan. Kata regional diartikan sebagai sifat kewilayahan

yang melibatkan beberapa area administratif, baik sebagian ataupun menyeluruh,

dan imbuhan-isasi (pada kata regionalisasi) menunjukkan suatu proses

pembentukannya. Dengan demikian, regionalisasi secara umum dapat diartikan

sebagai proses terbentuknya suatu region yang terdiri dari beberapa daerah

administratif dan secara keruangan memiliki relevansi/keterkaitan geografis

(Abdurahman, 2009). Dari pengertian ini terlihat bahwa region merupakan

produk dari sebuah proses regionalisasi. Proses yang tidak hanya menitikberatkan

aspek teknis kewilayahan namun juga mempertimbangkan aspek batasan

administratif (politik-administratif).

Abdurahman (2009), membedakan antara istilah wilayah dengan region.

Istilah wilayah dipergunakan untuk menyebut sebuah batasan ruang geografis

tanpa batasan yang pasti, seperti wilayah budaya, wilayah tandus, wilayah iklim

tropis, dan seterusnya. Sedangkan istilah region dipergunakan untuk menyebut

ruang geografis yang menunjukkan keterlibatan ruang (spatial) beberapa daerah

administratif, baik sebagian maupun menyeluruh. Mengacu pada istilah di atas,

maka pengertian regionalisasi di Indonesia dapat diartikan sebagai proses

27

pembentukan region yang melibatkan beberapa daerah otonom, khususnya

kabupaten/kota, baik di dalam satu provinsi maupun antar provinsi.

Di Indonesia, hasil regionalisasi yang merupakan tindak lanjut dari

kegiatan pewilayahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan paradigma yang

mendominasi pembentukannya. Ada dua paradigma yang biasa digunakan dalam

melakukan proses regionalisasi, yaitu paradigma sentralistik dan desentralistik.

Menurut Abdurahman (2009), pada pemanfaatan paradigma sentralistik,

regionalisasi dapat digambarkan sebagai proses terbentuknya suatu pewilayahan

yang terdiri dari beberapa daerah administratif yang memiliki relevansi pada

aspek geografis atas perintah (ex mandato) struktur hirarkis yang berwenang.

Proses regionalisasi yang didominasi oleh pola sentralistik disebut regionalisasi-

sentralistik atau sruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi sentralistik ini

adalah terbentuknya daerah-daerah eks karesidenan di Pulau Jawa, provinsi, kota,

dan kabupaten. Sedangkan regionalisasi dengan paradigma desentralistik dapat

diartikan sebagai proses pewilayahan yang ditandai dengan platform kerja sama

oleh para aktor regional antara daerah otonom yang bertetangga (memiliki

relevansi keruangan) berdasarkan kebersamaan dan kepentingan pembangunan

tertentu serta atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu). Proses regionalisasi

yang didominasi oleh pengaruh pola desentralistik biasa disebut regionalisasi-

desentralistik atau nonstruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi ini

adalah pembentukan beberapa lembaga kerjasama antar daerah seperti

BARLINGMASCAKEB, Subosukawonosraten, Sampan, dan lain-lain.

Pada prakteknya, implementasi dari proses regionalisasi desentralistik

biasanya lebih bersifat kompleks jika dibandingkan dengan regionalisasi

sentralistik, karena pada pelaksanaannya dibutuhkan adanya komitmen politik dan

kesepakatn-kesepakatan dari para aktor regional (kepala daerah) dalam

memadukan potensi daerah dan pengaruh kekuatan dari luar. Tabel berikut

menjelaskan perbedaan proses regionalisasi sentralistik dengan proses

regionalisasi desentralistik.

28

Tabel 5 Perbedaan Proses Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik

Proses

Teknis

PENDEKATAN KEWILAYAHAN (Pendekatan Homogenitas, Fungsionalitas, dan Perencanaan dsb)

Produk

TEKNIS PERWILAYAHAN

Proses Politik

Regionalisasi Sentralistik (ex mandato)

Regionalisasi Desentralistik (ex mera motu)

Proses Adm.

Regionalisasi Struktural (hirarkhis)

Regionalisasi Non-Struktural (jejaring)

Produk

Region dalam Konteks Hirarkis

(PEWILAYAHAN)

Region dalam Konteks Jejaring

(REGION)

Contoh

Eks-Karesidenan di Jawa Kawasan Khusus

Bentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota baru sesuai UU.

32 Tahun 2004

BARLINGMASCAKEB, Subosukawonosraten,

Sampan, RM Lake Toba, Aksess, Jonjokbatur, Kaukus Setara Kuat,

Janghiangbong, dsbnya. Sumber: Abdurahman, 2009.

Regionalisasi sentralistik sebagai produk dari pewilayahan,

implementasinya relatif mudah dan sederhana karena dalam proses pengambilan

keputusannya tidak menitikberatkan pertimbangan pada aspek keterlibatan daerah

terkait. Dengan kewenangnan yang bersifat direktif-koordinatif, lembaga

pemerintahan yang lebih tinggi memiliki kewenangan utama dalam pembentukan

regionalisasi sentralistik. Kewenangan tersebut dapat berupa pembuatan kebijakan

berupa produk hukum, seperti peraturan pemerintah atau peraturan perundang-

undangan yang lainnya. Sementara koordinasi pelaksanaan dari peraturan tersebut

dilakukan secara direktif (bersifat struktural-hirarkhis) oleh lembaga pemerintah

yang lebih tinggi sedangkan lembaga pemerintah yang lebih rendah hanya bersifat

afirmatif (Abdurahman, 2009).

Pada regionalisasi desentralistik, pelaksanaannya lebih bersifat kompleks.

Karena pembentukannya berasal dari inisiatif lokal, maka sejak dari mulai ide

pembentukan, perencanaan sampai implementasinya sangat dibutuhkan adanya

peran serta dari masing-masing pemerintah lokal. Karena tujuan dari pembentukan

regionalisasi desentralistik adalah untuk mengoptimalkan hasil pembangunan

wilayah dengan cara lebih mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal masing-

masing, maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh adanya kesediaan, komitmen,

29

dan konsensus bersama antar pemimpin daerah otonom yang terlibat. Diantara

mereka harus dibangun komunikasi yang mutualistik melalui asas musyawarah

secara terus menerus. Kendala biasanya akan muncul ketika terjadi pergantian

kepala daerah. Karena mereka tidak terlibat dalam proses pembentukan kerjasama

sejak awal biasanya komitmennya terhadap keberlangsungan kerja sama tersebut

tidak sekuat pejabat yang digantikannnya.

2.4. Teori Tindakan Kolektif

Teori tindakan kolektif pertama kali dikembangkan oleh Mancur Olson

(2001). Teori ini mengupas mengenai aktivitas berbagai kelompok kepentingan

(interest group) dalam mengelola sumberdaya bersama (common risources). Teori

ini dikembangkan dalam rangka untuk mengatasi munculnya penunggang bebas

(free-riders) dalam pengelolaan sumberdaya bersama. Teori ini sudah mapan

digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang bersingggungan dengan masalah

pengelolaan sumberdaya bersama. Dimasa lalu, penyelesaiaan atas solusi ini

dilakukan dngan cara memformulasikan dan menegakkan hak kepemilikan

(property right). Tetapi dalam studi yang lebih baru, kesepakatan kelembagaan

lokal (local institutional arrangements), dapat dipakai untuk mengatasi persoalan

pengelolaan sumberdaya secara efisien (Yustika, 2008).

Menurut Olson (2001) dalam Yustika (2008) determinan penting bagi

keberhasilan suatu tindakan kolektif adalah ukuran (size), homogenitas

(homogeneity) dan tujuan kelompok (porpuse of the groups). Menurut Olson

suatu tindakan kolektif akan bekerja secara optimum tergantung pada ketiga

determinan tersebut. Secara hipotetik, semakin besar ukuran suatu kelompok

kepentingan maka akan semakin sulit bagi kelompok tersebut menegosiasikan

kepentingan diantara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya kelompok

yang dibangun dengan ukuran yang kecil akan bekerja lebih efektif. Keragaman

anggota kelompok juga sangat berpengaruh terhadap efektivitas tindakan kolektif.

Semakin beragam kepentingan anggota kelompok maka akan semakin sulit

memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing anggota membawa

kepentingannya sendiri-sendiri, demikian juga sebaliknya. Jadi homogenitas

kepentingan akan memudahkan kerja suatu kelompok. Tujuan kelompok juga

30

berpengaruh terhadap efektivitas tindakan kolektif. Tujuan kelompok harus dibuat

secara fokus dengan memperhatikan kepentingan semua anggota. Tujuan

kelompok yang luas, disamping kabur juga akan memecah kesatuan antar anggota

sehingga dukungan terhadap tindakan kolektif menjadi lemah.

Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi

yang membutuhkan tindakan kolektif untuk menyelesaikan persoalan

(Heckarthorn, 1993). Pertama, sistem untuk mengelola sumberdaya bersama

(common-pool resources), seperti perikanan, sumberdaya air yang dikelola

melalui sistem irigasi atau padang rumput. Kedua, sistem untuk mengontrol

perilaku (controlling behavior), misal norma-norma sosial yang melarang

eksploitasi atau perilaku merusak. Ketiga, perubahan-perubahan sosial semacam

revolusi atau perubahan perlahan dalam kebijakan publik. Ketiga situasi tersebut

mempersyaratkan adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan

sumberdaya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan lebih dari itu

tindakan kolektif menjadi krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik dan

kemungkinan dieksploitasinya salah satu atau beberapa pihak dalam kegiatan

tersebut. Hal ini menjadi argumentasi penting perlunya kehadiran tindakan

kolektif dalam pemecahan masalah kegiatan ekonomi (Yustika, 2008).

Deskripsi di atas sekurangnya menyumbangkan tiga karakteristik esensial

mengapa suatu tindakan kolektif perlu dilakukan. Pertama, tindakan kolektif

diperlukan apabila suatu kelompok memproduksi barang dan jasa secara bersama,

jika tidak tindakan kolektif tidak dibutuhkan. Kedua, produksi memberikan laba

kepada semua anggota, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang

gagal berkontribusi dalam aktivitas produksi. Ketiga, adanya produksi dalam

barang-barang publik yang menyertakan biaya. Ketika ketiga kondisi tersebut

terpenuhi, anggota kelompok akan bertemu dengan problem penunggang bebas

(free-riders problem), yaitu mereka yang tidak berkontribusi terhadap beban biaya

dari tindakan kolektif tetapi masih menerima benefitnya. Fakta yang tidak

mungkin disanggah, setiap aktivitas ekonomi selalu berpotensi menyumbangkan

penunggang bebas sehingga suatu tindakan kolektif dibutuhkan untuk

mengatasinya.

31

Berkaitan dengan masalah penunggang bebas (free-riders), tindakan

kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaiakan masalah ini, tetapi

dapat pula bahwa tindakan kolektif justru menjadi sumber munculnya

penunggang bebas (Yustika, 2008). Dalam proposisi yang pertama, mereka yang

dirugikan dari keberadaan free-riders akan menggalang kekuatan yang berujung

pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas

tersebut. Sedangkan dalam proposisi kedua, tindakan kolektif yang didesain

secara kurang lengkap besar peluangnya untuk menciptakan free-riders baru,

misalnya ketidakjelasan aturan main tentang hukuman dan insentif. Kedua

kemungkinan skenario tentang free-riders itu sangat mungkin terjadi sehingga

desain tindakan kolektif memang mesti dilakukan secara hati-hati dengan

mempertimbangkan banyak aspek, seperti ukuran, homogenitas dan tujuan

kelompok.

Dalam kasus kerjasama antar daerah sebagai bentuk dari tindakan kolektif

untuk meningkatkan skala ekonomi daerah pabila ingin dapat bekerja secara

efektif perlu didesain secara hati-hati dan cermat. Pertama, jumlah anggota

sebaiknya tidak terlalu besar, karena semakin banyak pemerintah daerah yang

tergabung dalam suatu lembaga kerjasama antar daerah akan semakin sulit untuk

melakukan koordinasi di antara para anggotanya, dan apabila hal ini tejadi akan

berujung pada gagalnya pencapaian tujuan organisasi. Kedua, keragaman

kepentingan di antara para anggotanya juga perlu mendapat perhatian. Semakin

beragam kepentingan anggota ketika bergabung dalam lembaga kerjaam antar

daerah maka peluang kegagalan dari lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya

akan semakin besar. Untuk itu diperlukan seleksi ketat terhadap kepentingan dari

masing-masing anggota ketika hendak bekerjasama. Ketiga, dalam merumuskan

tujuan yang hendak dicapai, organisasi hendaknya merumuskannya dengan

mengarah pada tujuan-tujuan yang spesifik, fokus pada masalah tertentu dan tidak

dirumuskan secara umum dan luas. Karena tujuan yang dirumuskan secara

spesifik dan khusus akan membantu mempercepat pencapaian tujuan.

32

2.5. Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah 2.5.1. Pengertian Kelembagaan

Para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang yang beragam

mendefinisikan kelembagaan secara beragam menurut sudut pandang

keilmuwanannya (Hidayat, 2007). Berikut beberapa pandangan dari para ahli

mengenai pengertian kelembagaan. North mendefinisikan kelembagaan sebagai

batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis

antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Schmid

mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah

masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung

jawab, baik sebagai individu mauapun sebagai kelompok. Sementara Jack Knight,

mengartikan kelembagaan sebagai serangkaian peraturan yang membangun

struktur interaksi dalam sebuah komunitas (Hidayat, 2007). Sedangkan Ostrom

(1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat

yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang

boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat,

prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh

disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari

tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang

berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut

sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi)

dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama

anggota masyarakat (Hidayat, 2007).

Berdasarkan atas bentuknya, North membagi kelembagaan menjadi dua

yaitu informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang

keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi,

pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan

dikelompokkan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal

adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements),

perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain.

Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional,

regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal (Hidayat, 2007).

33

Wolfgang Kasper dan Manfred Streit, membagi kelembagaan berdasarkan

atas proses kemunculannya, yaitu internal institutions dan external institutions.

Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari budaya masyarakat seperti

nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat. External institutions adalah

institusi yang dibuat oleh pihak luar yang kemudian diberlakukan pada suatu

komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah termasuk external institutions

(Hidayat, 2007).

Banyak kalangan yang menganggap bahwa pengertian kelembagaan atau

institusi dengan organisasi dapat saling dipertukarkan. Namun, sebenarnya ada

perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Organisasi merupakan wadah

manusia untuk berinteraksi seperti partai politik, lembaga pendidikan, lembaga

yang mengurusi kegiatan olah raga, organisasi keagamaan, dan lain-lain.

Sedangkan kelembagaan atau institusi adalah serangkaian peraturan yang berlaku

di dalam organisasi tersebut.

2.5.2. Tingkatan Kelembagaan

Kelembagaan sebagai norma atau tata aturan yang berlaku untuk mengatur

pola interaksi manusia pada dasarnya memiliki empat tingkatan, yaitu

kelembagaan pada: (1) level masyarakat (social); (2) level kelembagaan formal

(formal institutional environment); (3) level tata kelola (governance); dan (4)

perubahan bersifat kontinu (Williamson, 2000).

Kelembagaan pada level masyarakat adalah kelembagaan yang

keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat (social embeddedness)

seperti norma, kebiasaan, tradisi, hukum adat, dll. Level kelembagaan formal

adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja

seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga

legislatif/pemerintah. Kelembagaan yang terjadi pada level governance (tata

kelola) yaitu serangkaian peraturan (rule of the game) dalam sebuah komunitas

yang membentuk struktur tata keleola (governance structure), lengkap dengan tata

cara penegakan, pemberian sanksi, dan perubahan dari rule of the game tersebut.

Kelembagaan pada level keempat berlangsung kontinu (sepanjang waktu)

mengikuti perubahan insentif ekonomi, harga alokasi sumberdaya dan tenaga

34

kerja. Dengan kata lain, kelembagaan berubah mengikuti perubahan harga input

produksi, perubahan input produski menyebabkan perubahan kelembagaan

(Hidayat, 2007).

2.5.3. Teori Perubahan Kelembagaan

Pada dasarnya kelembagaan bersifat selalu berubah. Perubahan dapat

terjadi pada setiap level. Tidak ada lembaga yang bersifat permanen. Ia akan

selalu berubah menuju tatanan kelembagaan (institutional arrangement) yang

lebih efisien (Hidayat, 2007). Schlueter dan Hanisch (1999) mengklasifikasi teori

perubahan kelembagaan berdasarkan efisiensi ekonomi dan teori distribusi konflik

(distributional conflict theory).

Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi memiliki tiga

arus pemikiran utama. Arus pemikiran pertama disampaikan oleh Friedrich

Hayek, ekonom terkemuka Austria dan pendukung utama ekonomi neo klasik.

Menurut Hayek, perubahan kelembagaan bersifat spontan, tidak disengaja, namun

merupakan hasil dari tindakan yang disengaja (Hayek, 1968 dalam Hidayat,

2007). Artinya bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat tidak akan

membuat sebuah lembaga/aturan bila tidak ada dorongan yang menuntut aturan

tersebut harus ada. Yang dimaksud Hayek, “perubahan kelembagaan bersifat

spontan” adalah bahwa lahirnya dorongan untuk menciptakan atau merubah

kelembagaan bersifat spontan. Sedangkan aktifitas membuat atau mewujudkan

kelembagaannya bersifat disengaja. Sebagai contoh, pembuatan peraturan daerah

(perda) tentang pengelolaan sumberdaya air tanah merupakan tindakan yang

disengaja, tapi lahirnya kebutuhan adanya perda tersebut bersifat spontan sebagai

respons terhadap situasi yang berkembang (Hidayat, 2007).

Arus pemikiran kedua tentang teori perubahan kelembagaan berdasarkan

atas efisiensi ekonomi disampaikan antara lain oleh Posner (1992) dalam Hidayat,

(2007). Menurut Posner, sebuah lembaga/aturan berubah karena adanya upaya

melindungi hak-hak kepemilikan (property rights). Artinya, seseorang atau

anggota masyarakat terdorong membuat sebuah aturan tujuan utamanya adalah

untuk melindungi hak-hak kepemilikan dari gangguan yang datang dari luar.

Adanya land tenure system (sistem kepemilikan lahan) dalam masyarakat adat

35

bertujuan agar hak-hak lahan terdistribusi di antara anggota masyarakat adat

tersebut dan mereka memiliki kepastian mengenai hal tersebut.

Pemikiran ketiga perubahan ekonomi kelembagaan berdasarkan atas

efisiensi ekonomi antara lain disampaikan oleh Oliver Williamson (2000) dalam

Hidayat (2007). Menurutnya, lembaga/aturan akan terus berubah dinamis sebagai

upaya meminimumkan biaya transaksi (transaction cost). Perubahan biaya

informasi, penegakan hukum, perubahan harga, teknologi dll mempengaruhi

insentif/motivasi seseorang dalam berinteraksi dengan pihak lain. Hal ini akan

berpengaruh pada perubahan kelembagaan (North, 1990). Perubahan harga relatif

faktor produksi akan mendorong pihak yang terlibat dalam transaksi melakukan

negosiasi untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan baru. Perubahan kesepakatan

atau kontraktual akan sangat sulit tanpa perubahan aturan main. Oleh karena itu,

North menegaskan, perubahan harga membawa pada perubahan aturan main

(Hidayat, 2007).

Selain itu, kelembagaan juga tidak resisten terhadap perubahan selera atau

kesukaan anggota masyarakat/aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah komunitas.

Perubahan tersebut, sebagaimana diyakini North (1990), akan mengancam

existensi kelembagaan yang ada. Jika para aktor merasakan bahwa kelembagaan

yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan atau kondisi

lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha melakukan perubahan kelembagaan

agar lebih akomodatif terhadap lingkungan yang baru. Kehilangan nilai budaya,

norma, tradisi dan lain-lain dari sebuah komunitas merupakan contoh perubahan

kelembagaan karena adanya perubahan kondisi lingkungan, baik karena pengaruh

eksternal sosial ekonomi komunitas tersebut maupun karena faktor internal.

Sebagai contoh, permintaan pasar ikan karang yang tinggi dengan harga yang

sangat bagus merupakan insentif bagi nelayan untuk menangkap ikan sebanyak

mungkin. Karena itu, larangan menangkap ikan karang sebagaimana berlaku di

beberapa kawasan konservasi laut dianggap oleh para nelayan sebagai faktor

penghambat mencari keuntungan ekonomi. Sehingga, nelayan akan berusaha

mengubah, mencabut atau mengabaikan larangan tersebut. Pencabutan atau

perubahan sebagian dari aturan tersebut merupakan bentuk perubahan

kelembagaan (Hidayat, 2007).

36

Demikian juga, ketika Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini

sehingga tidak effektif, maka pemerintah mengupayakan perubahan atas undang-

undang tersebut. Pada saat undang-udang tentang tata ruang dirasa sudah tidak

sesuai lagi maka pemerintah akan berupaya menggantinya dengan undang-undang

baru yang bisa lebih baik. Perubahan kelembagaan akan terus berlangsung untuk

meminimumkan biaya transaksi (Hidayat, 2007).

Teori kedua yang menjelaskan perubahan kelembagaan adalah

distributional conflic theory. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap aktor

dalam sebuah arena (komunitas) memiliki perbedaan kepentingan dan kekuatan.

Perbedaan kepentingan ini merupakan sumber konflik. Setiap aktor yang terlibat

konflik akan berusaha mencari solusi atas konflik tersebut dengan memanfaatkan

kekuatan (power) yang ia miliki dengan jalan mengubah aturan main yang berlaku

(Hidayat, 2007). Aktor yang dapat mengendalikan power atau memiliki power

lebih baik, misalnya karena menguasai informasi, akses politik, modal, dll, akan

mengendalikan proses perubahan tersebut agar berpihak pada kepentingannya

(Knight, 1992). Perubahan kelembagaan tersebut bukan untuk memuaskan semua

pihak atau untuk mencapai kepentingan kolektif melainkan untuk kepentingan

mereka yang punya kekuatan. Proses perubahan tersebut bisa disengaja atau bisa

pula sebagai konsekuensi dari strategi mencari keuntungan dari aktor-aktor yang

bermain. Oleh karena itu, sering ditemukannya tarik menarik dalam proses

pembuatan undang-undang karena adanya perbedaan kepentingan dari setiap aktor

yang bermain. Mereka tidak peduli apakah kelembagaan baru tersebut akan lebih

efisien atau tidak. Yang penting, bagaimana agar aturan main yang baru tersebut

dapat menguntungkan kelompoknya (Knight, 1992).

Knight (1992) mendefinisikan power sebagai kekuatan untuk

mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan kepentingannya. Untuk

menggambarkan power, Hidayat (2007) mengemukakan dengan ilustrasi, jika “A”

lebih powerful dari pada “B”, maka “A” akan mampu memaksa “B” mengadopsi

aturan main yang ide utamanya berasal dari “A” atau dibuat oleh “A”. Dalam hal

ini, pada awalnya “A” tidak memikirkan kepentingan “B” meskipun pada

akhirnya bisa jadi aturan baru tersebut juga menguntungkan “B”. Dalam hal ini,

37

ketaatan kelompok B atas kelembagaan baru bukan karena mereka setuju dengan

isinya, atau menguntungkannya, melainkan karena mereka tidak mampu membuat

yang lebih menguntungkan baginya. Kondisi ini akan terus berlangsung selama

power resources tidak terdistribusi secara merata atau asymmetric power

condition.

2.5.4. Intergovernmental Networks Sebagai Mekanisme Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

Mengelola kerjasama antar daerah pada prinsipnya adalah mengelola

hubungan antar organisasi. Secara teoritis, ada dua pola hubungan antar organisasi

yang bisa dilakukan dalam pengelolaan kerjasama antar daerah (Warsono, 2009).

Pertama, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat intergovernmental

ralationship. Pola hubungan ini memiliki karakter hubungan yang bersifat

hierarkis, yang melihat forum kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan

yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada tujuan tertentu,

keputusan organisasi didominasi pada kewenangan yang terpusat dan mempunyai

tujuan dan nilai yang jelas.

Kedua, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat Intergovernmental

Networks. Kerjasama antar daerah yang berbasis network lebih didasarkan pada

inter-relasi yang dilakukan oleh daerah, yang masing-masing daerah bersifat

bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Selain itu, tidak ada

struktur kewenangan sentral dan tujuan dari kerjasama tersebut yang bukan

merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang menjadi anggota forum

kerjasama antar daerah tersebut sebagai sebuah perwujudan dari aksi bersama

(collective action) (Ruhyanto dan Hanif, (2007). Oleh karena setiap kerjasama

antar daerah harus didasarkan pada kepentingan bersama, maka proses

pembentukannya harus bersifat partisipatif dan fleksibel sehingga dapat

melahirkan konsensus. Konsensus ini tidak akan terbentuk tanpa adanya

pengakuan kesetaraan, kesukarelaan, dan kemandirian dari setiap daerah yang

terlibat. Dalam konteks ini, maka penggunaan pola hubungan organisasi

kerjasama antar daerah haruslah yang bersifat Intergovernmental Networks.

38

Terdapat beberapa perwujudan dari bentuk-bentuk Intergovernmental

Networks yang membuat kerjasama antar daerah menjadi lebih efektif. Pertama,

adalah information networks, dimana daerah dapat membuat sebuah forum yang

berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensi

atas masalah-masalah bersama. Kedua, adalah development networks, dalam jenis

ini engagement dari masing-masing daerah lebih tingi karena interaksi antar

daerah tidak hanya dalam pertukaran informasi, tetapi juga dikombinasikan

dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas

informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya.

Ketiga, adalah outreach networks, dimana networks antar daerah lebih solid

dengan adanya program strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan

dilaksanakan di daerah lain. Keempat, adalah action networks, dimana daerah-

daerah secara bersama-sama membuat serangkaiuan program aksi bersama yang

dijalankan oleh masing-masing daerah sesuai dengan proporsi dan

kemampuannya masing-masing. (Agranoff, 2003 dalam Ruhyanto dan Hanif,

2007).

2.5.5. Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah

Format kelembagaan kerjasama meliputi; format kerjasama, pengelolaan

kerjasama, struktur organisasi, kerangka regulasi, dan sumber pendanaan.

2.5.5.1. Format Kerjasama

Aspek kelembagaan kerjasama yang pertama adalah bagaimana bentuk-

bentuk kerjasama antar daerah yang paling ideal untuk dipilih agar efektivitas dari

lembaga kerjasama tersebut dapat tercapai. Ada beberapa alternatif bentuk

kerjasama yang dapat dipilih sebagai dasar bagi pengembangan kerjasama antar

daerah. Masing-masing alternatif akan dikomparasikan dengan melihat kekuatan,

kelemahan serta fisibilitas pelaksanaannya. Perbedaan dari masing-masing bentuk

kerjasama tersebut terutama terletak pada dimensi kewenangan serta lingkup

otoritas dan pola relasi antara lembaga kerjasama dengan anggota-anggotanya.

Berikut digambarkan berbagai alternatif dari format kerjasama tersebut

(Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto (2007):

39

A. Lembaga Kerjasama

1. Karakteristik

Format kerjasama ini tidak hanya berbasis pada sharing of information,

namun lebih dari itu, fomat kelembagan seperti ini juga menyentuh aktivitas-

aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka

meningkatkan kapasitas daerah sebagai anggota, memfasilitasi terjadinya

horizontal learning antar daerah, bahkan sampai pada kesepakatan membuat

program aksi bersama. Dengan kata lain, format kerjasama semacam ini memiliki

sifat developmental networks, outreach networks, dan action networks. Yang

membedakan format kerjasama ini dengan format kerjasama yang lainnya adalah

adanya otoritas pengaturan (regulatory) yang kuat. Otoritas pengaturan ini

diharapkan dapat menciptakan sustainabilitas dan efektivitas kerjasama melalui

penciptaan struktur sanksi yang ketat bagi pihak yang tidak melaksanakan hasil

kesepakatan bersama. Hal ini dimaksudkan agar network diantara anggota dapat

terlembagakan secara kuat.

2. Kelebihan

Kekuatan dari format kerjasama ini adalah tingginya engagement antar

daerah sebagai anggota kerjasama. Semua kesepakatan yang dibuat dalam

lembaga kerjasama antar daerah dalam format ini dimungkinkan memiliki tingkat

integrasi yang tinggi dengan kebijakan internal daerah. Hal ini terjadi karena

adanya kesepakatan bersama yang bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh para

anggotanya jika tidak ingin mendapat sanksi. Dengan adanya aturan ini solidaritas

dan keberlangsungan forum kerjasama akan dapat lebih terjamin.

3. Kelemahan

Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini adalah menyangkut tingkat

penerimaan kepemimpinan lembaga kerjasama antar daerah dengan daerah

sebagai anggotanya. Format kelembagaan seperti ini membutuhkan karakter

kepemimpinan yang kuat. Persoalannya adalah dalam kelompok kerjasama antara

daerah yang memiliki tingkat otonomi yang sama dan sederajat, siapa yang

kemudian menjadi pemimpin lembaga kerjasama antar daerah dengan model

tersebut. Apakah ada mekanisme checks and balances? Pertanyaan ini penting

untuk dijawab karena kerjasama dengan alternatif semacam ini sangat membuka

40

peluang dominasi satu daerah atas daerah lainnya. Selain itu, model ini juga

mengasumsikan bahwa secara internal daerah sudah tidak memiliki permasalahan

terkait denga karakteristik lokal masing-masing, sehingga apa yang menjadi

kesepakatan dalam lembaga kerjasama secara otomatis dapat diimplementasikan

di masing-masing anggota.

4. Fisibilitas

Penerapan model ini secara teknis tidak mudah dilahirkan dan

dikembangkan dengan mengandalkan pada mekanisme network. Diperlukan

mekanisme lain yang bersifat legal-formal yang baku untuk dapat menerapkan

alternatif ini. Dalam suasana desentralisasi dan otonomi seperti sekarang ini,

dimana daerah memiliki posisi yang sederajat sangat tidak mudah untuk

membentuk lembaga kerjasama dengan format seperti ini. Kekuatan pengikat

yang didasarkan semata-mata pada pemberian sanksi dan bukan toleransi antar

pihak yang bekerjasama justru dapat menjadi bumerang bagi efektivitas dan

sustainabilitas kerjasama yang hendak dibangun.

B. Forum Koordinasi

1. Karakteristik

Pada pola kerjasama semacam ini fungsi lembaga kerjasama yang

dibentuk sangat terbatas pada upaya memfasilitasi komunikasi dan koordinasi

antar daerah anggota, lingkup komunikasi dan koordinasi juga sangat terbatas

pada teknis pelaksanaan dan penganggaran. Yang menjadi kekuatan pengikat

adalah adanya toleransi antar pihak dan adaya informasi yang seimbang mengenai

bidang-bidang yang dikerjasamakan. Lembaga kerjasama yang dibentuk tidak

memiliki otoritas regulatif dan tidak ada mekanisme sanksi bagi pelanggar

kesepakatan. Hubungan antar anggota bersifat cair dan fleksibel.

2. Kelebihan

Dibandingkan dengan format kelembagaan yang lainnya, alternatif ini

relatif sangat mudah untuk dibangun dan dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena

daerah hanya memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi atas daerahnya

sendiri tanpa ada kewajiban atau beban yang lain. Kekuatan pengikat daerah

untuk bekerjasama hanya berdasarkan toleransi antar daerah dan tidak

41

menyediakan sanksi yang tegas. Dengan demikian, energi yang dikeluarkan oleh

suatu daerah relatif tidak banyak dan daerah relatif aman dari sanksi ketika suatu

daerah akan membangun kerjasama dengan model ini. Alternatif kerjasama

seperti ini umumnya menjadi embrio bagi pengembangan format kerjasama yang

lebih canggih. Tanpa didahului oleh adanya sharing of information antar daerah

sebagai anggota lembaga kerjasama intergavenmental networks yang

diwujudkan dalam kerjasama antara daerah tidak akan eksis dan berkembang.

3. Kelemahan

Kelemahan paling menonjol dari format kerjasama ini adalah minimnya

kontribusi yang bisa diberikan forum kerjasama bagai pembangunan wilayah

karena aktivitas kerjasama hanya terbatas pada sharing of infomation. Karena

sifatya yang cair dan fleksibel serta tidak adanya jaminan sanksi membuat

keterlibatan dan solidaritas antar anggota sangat longgar, oleh karenanya

keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini sangat diragukan.

4. Fisibilitas

Secara teknis model kerjasama antar daerah semacam ini tidak sulit untuk

dilahirkan dan dikembangkan oleh daerah. Pembentukan kerjasama semacam ini

cenderung ”aman” dari sisi politik internal. Persoalan penganggaran yang

biasanya menjadi ganjalan utama dalam pengembangan kerjasama relatif tidak

menjadi kendala karena relatif kecilnya penganggaran yang dibutuhkan.

Sedangkan secara eksternal (antar daerah) penerapan model ini sangat mungkin

untuk dilakukan, masing-masing anggota tidak akan menghadapi kedala karena

sifat kerja sama yang cair dan fleksibel.

C. Forum Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi

1. Karakteristik

Alternatif ini merupakan kombinasi dari developmental networks,

outreach networks, dan action networks. Yang membedakan dari alternatif

pertama adalah lembaga kerjasama semacam ini tidak memiliki otoritas

pemberian sanksi yang mengikat dengan ketat pada anggotanya. Model ini

merupakan perkembangan dari alternatif model kerjasama antar daerah yang

kedua, namun dengan karakter yang lebih canggih, yang tidak lagi sekedar

42

berbasis pada sharing of information antar daerah sebagai anggotanya, tetapi juga

pada aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka

meningkatkan kapasitas daerah anggota, fasilitasi horizontal learning antar daerah

hingga fasilitasi dalam membuat aksi bersama yang terintegrasi dengan kebijakan

internal daerah. Model kelembagaan seperti ini memiliki karakter hubungan antar

anggota yang sifatnya cair dan fleksibel. Meski tidak menyediakan dan mengatur

sanksi bagi daerah yang melanggar, namun model kerjasama semacam ini

menyediakan dan mengatur struktur insentif dan sekumpulan aturan yang dapat

mempengaruhi anggotanya untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi

kesepakatan bersama.

2. Kelebihan

Kekuatan dari model ini adalah terletak pada besarnya kontribusi jangka

panjang yang diberikan oleh lembaga kerjasama terhadap kebijakan internal

daerah karena dapat memberikan pengaruh yang signifikan. sehingga soliditas dan

keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini menjadi dapat lebih dijamin.

3. Kelemahan

Format kerjasama ini pada umumnya berorientasi pada upaya penguatan

kapasitas anggotanya melalui fasilitasi berbagai bentuk capacity building. Efek

capacity building yang umumnya bersifat jangka panjang dan tidak kasat mata ini

selalu menjadi persoalan ketika dihadapkan pada tuntutan instan jangka pendek

yang cenderung berorientasi fisik. Karakter ini biasanya menjadi hambatan dalam

upaya menarik dukungan politik dari DPRD yang cenderung menekankan pada

dampak langsung yang lebih berdimensi material.

4. Fisibilitas

Format model kerjasama semacam ini memiliki tingkat kesulitan yang

tinggi. Diperlukan keuletan dan energi yang tidak sedikit untuk membangun

kesadaran bersama bahwa kerjasama antar daerah sangat penting dan perlu untuk

dilakukan dalam rangka mendorong potensi daerah. Model ini juga memerlukan

adanya dukungan dan kesiapan internal daerah seperti kepemimpinan yang

visioner serta adanya kesamaan persepsi dan keputusan bersama antara eksekutif

dan legislatif daerah. Intinya, energi yang harus dikeluarkan oleh suatu daerah

43

untuk membentuk kerjasama dengan model ini tidak sedikit serta diperlukan

adanya sinergi dari pihak lain.

D. Badan Usaha Bersama

1. Karakteristik

Format kerjasama model ini mendasarkan pada logika networking, dengan

menekankan pada orientasi pengembangan ekonomi regional. Pada umunya

alternatif ini merupakan kerjasama beberapa daerah dalam pengembangan sektor

ekonomi tertentu sesuai dengan competitive advantages yang dimiliki oleh

masing-masing daerah. Misalnya kesepakatan antar daerah untuk

mengembangkan sektor pariwisata, pertambangan, industri, peningkatan investasi,

dan sebagainya.

2. Kelebihan

Kekuatan dari format ini terletak dari kontribusi yang riil bagi

pengembangan ekonomi dan pembangunan bagi daerah-daerah anggota dapat

lebih optimal. Forum kerjasama semacam ini dapat memberikan pengaruh secara

langsung terhadap kebijakan internal daerah. Misalnya adanya kesepakatan

kerjasama pada pengembangan sektor pariwisata, maka daerah-daerah yang

tergabung dalam forum kerjasama tersebut akan menindaklanjuti kesepakatan ini

dalam kebijakan internal daerah termasuk mengalokasikan anggaran yang

memadahi untuk sektor pariwisata tersebut. Dengan demikian, tingkat

engagement antar daerah menjadi tinggi karena setiap daerah memilik

kepentingan untuk memperoleh manfaat dari adanya kerjasama yang dibangun.

3. Kelemahan

Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini terletak pada basis hukum

kerjasama. Sejauh ini kerangka legal yang memungkinkan baru sebatas Surat

Keputusan Bersama (SKB) di antara kepala daerah anggota. Di satu sisi basis

legal ini memiliki keunggulan karena proses perumusannya tidak memerlukan

waktu lama dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Tetapi di sisi lain memiliki

kelemahan, dimana kerangka legal yang hanya berbentuk SKB, tidak mudah bagi

daerah untuk mendapatkan dukungan dan komitmen dari DPRD terutama terkait

dengan dukungan perencanaan dan penganggaran. Dari sisi sustainabilitas,

44

kerangka legal ini juga kurang memberikan jaminan sustainabilitas kerjasama,

karena kekuatan hukumnya yang hanya terbatas pada kesepakatan antar anggota

yang pada umumnya tidak disertai dengan pemberian sanksi bagi pelanggaran

yang dilakukan. Keberhasilan format ini sangat tergantung pada daya tarik dan

efektivitas struktur insentif yang diciptakan bersama.

4. Fisibilitas

Pengembangan kerjasama dengan format badan usaha ini memerlukan

proses yang rumit dan energi yang tidak sedikit. Kerjasama model ini biasanya

menghadapi tantangan yang relatif berat pada awal membangun kesadaran dan

komitmen bersama. Upaya mencari titik temu dari berbagai perbedaan prioritas

masing-masing daerah bukanlah pekerjaan yang sederhana. Namun demikian,

kendala-kendala tersebut pada dasarnya dapat diatasi selama tersedia argumen

logis dan diikuti dengan pembuktian bahwa kerjasama dapat bekerja efektif serta

memberikan kontribusi riil bagi pembangunan daerah.

2.5.5.2. Pengelolaan Kerjasama

Aspek kelembagaan kerjasama yang lain yang juga harus mendapatkan

perhatian adalah bagaimana pengelolaan kerjasama dilakukan agar efektivitas dari

lembaga kerjasama antar daerah dapat dijamin. Pilihan pola pengelolaan

kerjasama biasanya juga sangat dipengaruhi oleh pilihan bentuk-bentuk kerjasama

sebagaimana diuraikan di atas. Karena pilihan terhadap bentuk kerjasama akan

sangat berpengaruh terhadap pola pengorganisasian, pengelolaan, atau mekanisme

kerja lembaga kerjasama maupun karakter struktur organisasi yang terbentuk.

Terlepas dari bentuk kelembagan yang dipilih, secara umum pengelolaan

kerjasama antar daerah terbagi dalam dua pola yaitu pengelolaan profesional dan

pengelolaan terintegrasi dengan pemerintah daerah.

a. Pengelolaan oleh Profesional (Privat Sector)

Pada pengelolaan profesional, pengelolaan lembaga kerjasama diserahkan

kepada kelompok profesional yang direkrut secara khusus untuk mengelola

aktivitas kerjasama. Kelompok profesional biasanya dipimpin oleh seorang

manager yang dipilih dengan menggunakan pertimbangan meritokrasi, misalnya

melalui fit and proper test dan bekerja selama kurun waktu yang disepakati.

45

Manager merupakan eksekutor dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah-

daerah sebagai anggota lembaga kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai

dewan pengarah yang berada di atas manager. Forum kerjasama yang melibatkan

daerah-daerah inilah yang menjadi forum tertinggi dalam proses pengambilan

keputusan.

Model pengelolaan profesional ini memiliki tingkat kepercayaan yang

tinggi dari para anggotanya karena mereka percaya bahwa manager dan para

stafnya bersifat independen serta tidak memihak kepada salah satu anggota.

Namun, pengelolaan model ini memiliki kendala yaitu tidak mudahnya proses

integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah dengan unit-unit di pemerintah

daerah.

b. Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah (Public Sector)

Pengelolaan kerjasama dengan menggunakan model ini yaitu pengelolaan

kerjasama antar daerah yang sepenuhnya melekat dalam unit-unit SKPD tanpa

melibatkan kalangan profesional. Peran pengelolaan dilimpahkan kepada aparat-

aparat instansi yang sesuai dengan bidang tugas dari sektor atau bidang yang

dikerjasamakan. Masing-masing daerah dapat berperan sebagai manager secara

bergantian dalam periode waktu tertentu. Manager merupakan eksekutor dari

kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah-daerah sebagai anggota lembaga

kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai dewan pengarah yang berada di atas

manager. Forum kerjasama yang melibatkan daerah-daerah inilah yang menjadi

forum tertinggi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus,

model ini tidak terlalu mempercepat proses kerjasama antar daerah karena sangat

berpeluang terjebak dalam logika birokrasi dalam proses mengembangkan

kerjasama tersebut, serta rendahnya tingkat kepercayaan antar anggota terhadap

netralitas manajer. Namun, pengelolaan kerjasama dengan model ini mempunyai

kekuatan berupa tingginya integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah

dengan unit-unit kerja di pemerintah daerah karena model ini memang di bawah

pengelolaan pemerintah daerah secara langsung.

46

2.5.5.3. Struktur Organisasi

Aspek kelembagan kerjasama antar daerah yang ketiga adalah struktur

organisasi. Menurut Brinton Milward dan Keith G. Provan (2003), setidaknya ada

dua model struktur organisasi yang dominan dalam pengembangan kerjasama

antar daerah yaitu (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, (2007):

a. Organisasi berbasis pada Hierarki

Model ini mendasarkan pada teori intraorganisasi (intraorganizational

theory). Karakter yang dimiliki oleh model ini adalah pola hubungan yang bersifat

hirarkis antar anggota. Forum kerjasama dianggap unit yang koheren dengan

tujuan yang jelas yang ditentukan oleh sekelompok pihak. Proses pembuatan

keputusan bersifat top-down dan tidak melibatkan anggota. Sedangkan relasi antar

anggota bersifat otoritatif.

b. Organisasi berbasis pada Networks

Model ini mendasarkan pada teori interorganisasi (interorganizational

theory) dengan berbasis pada network antar anggota. Kerjasama antar daerah yang

berbasis network lebih didasarkan pada inter-relasi yng dilakukan oleh daerah,

yang masing-masing daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi

satu sama lain. Dalam model ini tidak ada struktur kewenangan yang sentral dan

tujuan dari kerjasama merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang

menjadi anggota forum kerjasama antara daerah tersebut sebagai perwujudan dari

aksi bersama (collective action).

2.5.5.4. Kerangka Regulasi

Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang keempat adalah

kerangka regulasi. Keberhasilan lembaga kerjasama antar daerah juga sangat

ditentukan oleh kerangka regulasi yang membentuk terjadinya kerjasama tersebut.

Legitimasi suatu kerjasama antar daerah tidak hanya ditunjukkan dari

berfungsinya lembaga kerjasama tersebut, namun juga harus dijamin dalam

kerangka regulasi yang mewadahinya sehingga dapat menjamin dan mendorong

bekerjanya bentuk-bentuk kerjasama antar daerah. Di samping itu, kerjasama

antar daerah tanpa adanya kerangka regulasi yang jelas akan dapat menimbulkan

konfilik dan kesalahpahaman antar angggotanya. Ada beberapa alternatif pilihan

47

kerangka regulasi yang dapat digunakan dalam melakukan kerjasama antar daerah

diantaranya melalui (Ruhyanto dan Hanif, 2007):

a. Perjanjian, menyangkut pada materi yang merupakan hal yang sangat prinsip

yang memerlukan pengesahan/ratifikasi. Menurut Rosen (1993) kerangka

regulasi kerjasama antar daerah dalam bentuk perjanjian dapat dibedakan

menjadi dua yaitu:

1. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan

atas perjanjian tertulis

2. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan

atas perjanjian tertulis.

b. Persetujuan, Cakupan materi yang diatur dalam jenis peraturan semacam ini

lebih sempit dari perjanjian. Sifat persetujuan biasanya menyangkut hal-hal

yang teknis.

c. Deklarasi, merupakan perjanjian-perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan

umum dimana para pihak bersepakat untuk melakukan kebijakan-kebijakan

tertentu di masa mendatang.

d. Memorandum of Understanding (MoU), regulasi ini merupakan bentuk

perjanjian yang umumnya mengatur pelaksanaan suatu perjanjian induk.

Kerangka regulasi sebagai bentuk pengaturan legal formal bagi kerjasama

antar daerah bisa menjadi sangat kontraproduktif dengan semangat networking

yang dibangun dalam forum kerjasama antar daerah. Karena semakin formal

pengaturan kerjasama antar daerah, maka derajat network-nya menjadi makin

lemah. Apabila mengacu pada hipotesis ini maka kerangka regulasi dalam bentuk

handshake agreements menjadi pilihan tepat untuk diterapkan. Namun, Keban

(2010) menganggap bahwa kerangka regulasi handshake agreements merupakan

bentuk regulasi yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman

(misunderstanding), karena kesepakatan dibuat tidak dengan cara ditulis sehingga

potensi pengingkaran terhadap kesepakatan tersebut menjadi sangat tinggi. Atas

dasar hal tersebut, perjanjian tertulis (written agreements) menjadi pilihan

alternatif sebagai kerangka regulasi bagi kerjasama antar daerah. Perjanjian

tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama,

atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus dituangkan

48

dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan

penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, jadwal, operasi dan

aturan kepemilikan sumberdaya bersama, dan cara pemecahan konflik.

2.5.5.5. Sumber Pendanaan

Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang ke lima adalah terkait

dengan sumber pendanaan. Sumber pendanaan sangat penting peranannya, tidak

hanya berkait dengan keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah, tetapi

juga bisa berimplikasi pada pergeseran fungsi dari lembaga kerjasama. Ada

beberapa alternatif sumber pendanaan kerjasama antar daerah yang dapat digali

diantaranya (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, 2007).

a. Mengandalkan Iuran dari Anggota

Iuran anggota diambil dari alokasi dana APBD. Kelebihan dari model

pendanaan ini terjaminnya eksistensi aktivitas lembaga kerjasama antara daerah

yang terintegrasi dalam program-program pembangunan daerah. Sedangkan

kelemahannya, mekanisme ini harus membutuhkan kesepakatan antara

pemerintah daerah dengan DPRD tentang pentingnya kerjasama antar daerah.

b. Mengandalkan Bantuan Pemerintah

Adanya bantuan keuangan dari pemerintah akan menjamin kepastian

sumber pendanaan yang diperlukan dalam melakukan kerjasama antar daerah.

Namun, model ini memiliki kelemahan yaitu membuka peluang masuknya

intervensi pemerintah terhadap kinerja lembaga kerjasama antar daerah.

c. Mengandalkan Bantuan Lembaga Donor.

Model ini akan dapat menjamin tersedianya jaminan keuangan yang

berimplikasi pada eksistensi lembaga kerjasama. Namun, model ini tidak dapat

menjamin keberlanjutan dukungan pendanaan untuk lembaga kerjasama antar

daerah.

d. Mengandalkan Bantuan Sponsor

Model ini menjamin tersedianya keuangan yang dapat digunakan untuk

operasional lembaga kerjasama. Namun, bantuan dari sponsor biasanya menuntut

kompensasi yang harus ditanggung dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah,

49

dan hal ini bisa berimplikasi pada bergesernya fungsi dari lembaga kerjasama

antar daerah tersebut.

e. Mengandalkan Pelanggan

Model ini dapat diterapkan apabila format kelembagaan kerjasama antar

daerah berbentuk badan usaha. Tantangan utama dari model ini adalah

menciptakan performa yang baik dari badan usaha tersebut sehingga pendapatan

dari pembeli dapat menjamin keberlangsungan dari badan usaha yang ada.

2.6. Konsep Kinerja Organisasi

2.6.1. Pengertian Kinerja Organisasi

Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan

yang telah ditetapkan bersama. Untuk mengetahui sejauh mana tujuan organisasi

telah dicapai, perlu dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus

terhadap kinerja organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan

penilaian terhadap kinerja, organisasi dapat melakukan perbaikan atau

peningkatan untuk tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian sasaran penilaian

kinerja di sini adalah tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu

tertentu.

Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan

pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otlay, 1999).

Sedangkan Rogers (1994) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja (outcome

of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-

tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi ekonomi.

Dengan kata lain, kinerja adalah tingkat pencapaian hasil (the degree of

accomplishment) suatu pekerjaan yang dilakukan oleh individu maupun

organisasi.

2.6.2. Evaluasi Kinerja Organisasi

Indikator kinerja menginformasikan tingkat pencapaian hasil yang

dinyatakan secara kuantitatif. Nasir (2003) mengkategorikan informasi kinerja

sebagai berikut:

50

1. Input adalah jumlah sumber daya yang digunakan

2. Output adalah jumlah barang atau jasa yang berhasil diserahkan kepada

konsumen (diselesaikan) selama periode pelaporan

3. Outcome adalah kejadian atau perubahan kondisi, perilaku atau sikap

yang mengindikasikan kemajuan ke arah pencapaian misi dan tujuan

program.

4. Efisiensi atau produktivitas adalah hubungan atau rasio antara jumlah

input dengan jumlah output.

5. Karakteristik demografis dan karakteristik beban kerja lainnya.

6. Dampak (impact) adalah suatu hasil tertentu yang diakibatkan secara

langsung oleh suatu program. Tanpa adanya program dampak tersebut tidak

akan terjadi.

Pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh LAN (lembaga

Administrasi Negara) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan) yang dikenal dengan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah) memberikan informasi tentang kesesuaian pelaksanaan

program suatu organisasi dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengukuran

capaian aktivitas dapat dilakukan pada tataran masukan (input), proses,

keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact)

dari aktivitas atau program instansi pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat

(Nasir, 2003).

2.7. Penelitian Terdahulu

2..7.1. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Indonesia

Ada satu penelitian tentang kerjasama antar daerah yang langsung berkait

dengan lembaga kerjasama antara daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Warsono (2009) yang mencoba untuk

mendiskripsikan pola kerjasama regional yang terjadi di Jawa Tengah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada tiga pola region dari kerjasama regional

yang saat ini terjadi di Jawa Tengah, yakni:

51

1. Keruangan Tanpa Kerjasama

Region ini memiliki karakter: tidak terjadi komunikasi, hampir tidak terjadi

kerjasama (kecuali koordinasi sektoral), tidak ada lembaga kerjasama dan baru

tahap identifikasi kebutuhan. Kerjasama jenis region ini meliputi:

a. Purwomanggung: Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung.

b. Banglor : Rembang dan Blora.

c. Wanarakuti : Juwana, Jepara, Kudus, dan Pati.

2. Kerjasama Bersifat Koordinatif

Region ini memiliki karakter: baru bersifat koordinatif, meski telah tersusun

visi namun belum menggunakan konsep management regional. Misi dan

platform: sangat makro dan intensitas kegiatan rendah. Kerjasama jenis region

ini meliputi:

Kedungsepur :Kendal, Demak, Ungaran (Kabupaten Semarang), Kota

Semarang dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan)

3. Kerjasama Dengan Konsep Manajemen Regional

Region ini memiliki karakter: digerakkan visi, misi, dilandasi konsep regional

marketing, intensitas kegiatan tinggi, dan telah teridentifikasi kebutuhan

kerjasama pada pelayanan publik. Kerjasama jenis region ini meliputi:

a.BARLINGMASCAKEB : Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas,

Cilacap, dan Kebumen,

b.Subosukawonosraten : Surakarta, Boyolali, Kartasura, Karanganyar,

Wonogiri, Sragen dan Klaten.

c.Sampan : Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal,

Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang,

Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Ada dua pola hubungan antar

pemerintah daerah, yakni intergovernmental relation dan intergovernmental

management. Keduanya mengedepankan karakter networking. Intergovernmental

relations merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang hanya

memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama,

sedangkan Intergovernmental Management merupakan sebuah pola organisasi

antar daerah yang memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang

52

terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas. Dari kedua pola hubungan

tersebut, pola hubungan Intergovernmental Management lebih dapat

mengekspresikan collective action sehingga lebih bisa menumbuhkan semangat

kolaborasi antar pemerintah daerah.

2..7.2. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Negara Lain

Dari hasil studi mengenai kerjasama antar daerah di beberapa negara

menunjukkan adanya beberapa pola hubungan kerjasama antar daerah yang dapat

dijadikan referensi, berbagai pola tersebut antara lain (Mas’udi, Hanif dan Bayo

(2007) dalam Pratikno, 2007):

1. South African Local Goverment Association (SALGA) di Afrika Selatan

South African Local Goverment Association (SALGA) merupakan

lembaga yang mewadahi kerjasama antar daerah di Afrika Selatan. Lembaga ini

mempunyai fokus kegiatan kerjasama yang sangat komprehensif. Lembaga ini

terbentuk atas dasar mandat konstitusi baru Afrika Selatan (1997) untuk

mempercepat proses teranformasi demokrasi di ranah pemerintahan lokal yang

memfokuskan diri pada pemberian pelayanan. Lembaga ini berfungsi sebagai

interest groups dari kepentingan daerah terhadap pemerintah pusat. Sebagai

lembaga kerjasama yang mempunyai fokus kegiatan yang komprehensif SALGA

mengemban beberapa peran sebagai berikut:

a. Merepresentasikan, mempromosikan dan melindungi kepentingan-

kepentingan pemerintah daerah.

b. Membangun kapasitas pemerintah lokal untuk meningkatkan perannya dalam

pembangunan

c. Memperkaya peran asosiasi pemerintah daerah dalam badan-badan

perwakilan dan konsultasi daerah.

d. Meningkatkan profil dan kekuatan pemerintah daerah.

e. Menjadi forum bersama antar pemerintah daerah sebagai instrumen untuk

menekan pemerintah nasional dan provinsi untuk memperhatikan

permasalahan-permasalahan di pemerintah daerah.

f. Menjamin partisipasi perempuan dalam pemerintahan daerah.

53

g. Bertindak sebagai Organisasi Pekerja Nasional bagi anggota-anggotanya di

level daerah dan provinsi.

h. Mengatur dan memperkuat hubungan-hubungan kerja.

i. Memberikan bantuan hukum kepada para anggotanya dalam tiap

permasalahan yang berimplikasi pada hubungan kerja.

Untuk membiayai kegiatannya, SALGA memmperoleh dana dari iuran

anggotanya. Sebagai organisasi kerjasama yang dibentuk melalui konstitusi

Afrika Selatan, SALGA memiliki kekuatan penekan yang kuat terhadap anggota-

anggotanya. Oleh karena itu, organisasi ini memiliki kejelasan dan ketegasan

aturan main bagi tiap anggotanya. Misalnya anggota pemerintah daerah di

SALGA bisa dikeluarkan atau dibekukan jika disetujui oleh komite eksekutif

nasional jika gagal membayar iuran anggota atau denda lainnya. Dengan kekuatan

aturan main semacam ini, SALGA menjadi pola kelembagaan kerjasama antar

daerah yang cukup kuat, terutama sebagai forum koordinasi, monitoring sekaligus

sebagai forum evaluasi.

2. Sound Transit di Washington

Di Amerika Serikat pada umumya ada dua konsep pola asosiasi antar

pemerintah daerah, yaitu intergovernmental relations (IGR) dan intergovenmental

management (IGM). Pada pola pertama, hubungan antara para anggota hanyalah

hubungan koordinatif dalam rangka melakukan kerjasama untuk memperbesar

bargaining power mereka ketika berhadapan dengan pemerintah federal. Pola

asosiasi ini lebih bersifat public interest group, fungsi lembaga ini hanya

memberikan masukan kepada pemerintah federal berkaitan dengan penggunaan

dana federal di negara bagian. Status hukum asosiasi ini hanya menjadi sebuah

forum tanpa adanya kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu.

Pola asosiasi yang kedua, adalah pola asosiasi antar pemerintah daerah

untuk melakukan pengelolaan suatu bidang pemerintahan tertentu yang sama-

sama mereka butuhkan. Asosiasi ini terbentuk karena adanya kebutuhan yang

sama, dan mereka berkeyakinan ketika bidang tersebut dikerjakan bersama-sama

maka akan tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan bidang tersebut

secara keseluruhan.

54

Sound Transit adalah lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk

dengan menggunakan pola asosiasi intergovenmental management (IGM).

Lembaga ini membidangi kerjasama di bidang transportasi publik yang

melibatkan King County, Snohomish County, dan Pierce County. Ketiga County

ini terletak pada wilayah perkotaan Seattle. Bidang kerjasama yang dikelola oleh

Sound Transit adalah High Capacity Transportation (HCT), yang membidangi

perkeretaapian dan bus, pusat pemberhentian, parkir dan jalur-jalur khusus.

Dengan persetujuan Dewan Legislatif Washington, status legas dari Sound Transit

adalah menjadi agensi pada Departemen Transportasi. Kosekuensi hukum sebagai

sebuah agensi Sound Transit dapat diklasifikasikan sebagai sebuah badan quasi

eksekutive , quasi legislative dan quasi yudicative, sebab Sound Transit dapat

membuat peraturan, enforcing peraturan yang dikeluarkan, dan juga

menyelesaikan perselisihan internal pada tingkat pertama.

Sumber pendanaan dari pembiayaan kegiatannya, Sound Transit

mendapatkan porsi pajak yang ditarik oleh pemerintah dari penduduk yang

berdomisili di ketiga County tersebut. Pada tingkat pimpinan puncak, Sound

Transit dipimpin oleh sebuah board (Sound Transit Board) yang terdiri dari

walikota dari ketiga kota, dan para anggota dewan kota (city council members).

Sound Transit Board mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan dan

mengawasi jalannya kegiatan midle management. Midle management dipimpin

oleh seorang kepala dan dua orang wakil yang dipilih oleh Sound Transit Board.

Dari karakteristik tersebut, Sound Transit merupakan bentuk kerjasama

antar daerah yang akhirnya membentuk badan yang terpisah dan dijalankan oleh

sebuah direksi yang terpisah dari negara bagian baik county, regency, maupun

distri, namun segala kegiatannya tetap diawasi oleh pejabat struktural

pemerintahan.

3. The Local Autonomy Act (LAA) di Korea Selatan

The Local Autonomy Act (LAA) di Korea Selatan merupakan asosiasi dari

pemerintah lokal yang dapat dikategorikan sebagai jenis asosiasi otonomi lokal.

Namun, asosiasi ini merupakan bentuk asosiasi antar pemerintah daerah yang

dikelola oleh pemerintah pusat. Dalam konteks kerjasama, asosiasi ini banyak

diwarnai oleh ketidakberdayaan pemerintah lokal terhadap intervensi pemerintah

55

pusat. Sehingga terbentuknya asosiasi ini justru lebih memperlemah otonomi

pemerintah daerah.

LAA tidak cukup memiliki power dalam mengimplementasikan hasil kerja

komunitas lokal. Namun, asosiasi dapat memberikan kesempatan kepada

pemerintah daerah untuk melakukan suatu proyek tertentu. Dalam melindungi

kepentingan bersama, lembaga kerjasama ini memiliki jaminan untuk membuat

keputusan dan mengelola konflik yang terjadi antar pemerintah daerah, tetapi

tetap di bawah kendali The Minister of Home affairs and Governor (Kementerian

Dalam Negeri) sebagai supervisor.

Lembaga kerjasama ini sangat bersifat sentralistik dan sangat tergantung

kepada kementerian dalam negeri. Kondisi ini diperkuat bahwa kepala

pemerintahan lokal masih ditunjuk oleh pemerintahan pusat, sehingga

kepentingan pusat masih sangat mewarnai pemerintahan lokal. Dengan peranan

yang demikian, maka efektvitas dari lembaga kerjasama seperti ini sangat

diragukan.

4. League of Cities of the Philippines (LCP) di Filipina

Kewenangan membentuk kerjasama antar daerah di Filipina di atur dalam

Local Government Code of 1991. Berdasarkan kewenangan tersebut kemudian

terbentuklah League of Cities of the Philippines (LCP) yang beranggotakan 117

kota. Lembaga ini merupakan institusionalisasi lebih lanjut dari League City

mayors of the Philippines. Keanggotaan dari organisasi ini semula adalah para

politisi lokal kemudian berubah menjadi institusi yang basis keanggotaanya

adalah pemerintahan kota. Perubahan ini juga menembus sampai ranah fungsi,

yaitu dari yang semula hanya memberikan pelayanan administratif bergeser

menjadi institusi yang memberikan pelayanan teknis dan terlibat dalam

perumusan kebijakan berkait dengan pemerintahan kota.

Apabila dilihat dari kewenangannya, lembaga kerjasama ini memiliki

kewenangan yang cukup berarti. Misalnya lembaga ini berhak terlibat dalam

proses formulasi dan implementasi kebijakan yang dibuat berkaitan dengan

otonomi di level pemerintahan kota. Lembaga ini juga memiliki tanggungjawab

untuk meningkatkan derajad kesejahteraan di wilayah perkotaan.

56

Beberapa ciri dari LCP sebagi bentuk lembaga kerjasama adalah (1)

adanya pergeseran karakter dan fungsi organisasi yang semula bersifat politis

menjadi bersifat fungsional, yaitu terjadinya perubahan basis keanggotaan yang

semula adalah para politisi menjadi institusi pemerintahan kota; (2) karakter

asosiasi bersifat fungsional yaitu dimilikinya kewenangan dan tanggungjawab

untuk terlibat dalam perumusan kebijakan berkait dengan otonomi kota dalam

rangka mencapai derajat kesejahteraan yang lebih baik bagi daerah perkotaan; (3)

dengan kewenangan dan tanggungjawab yang dimilikinya menunjukkan adanya

collective action dari pemerintahan kota, sekaligus sebagai arena untuk

mengkonsolidari aspirasi dan kepentingan dalam rangka melakukan bargaining

dengan pemerintah pusat.

2.7.3. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat sejumlah kerjasama antar daerah telah dibentuk untuk

membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Olberding (2002)

menemukan bahwa jumlah kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi

meningkat lima kali lipat selama dekade terakhir di daerah metropolitan besar di

Amerika Serikat tenggara dari tiga pada tahun 1987 menjadi 16 pada tahun 1997.

Bentuk kerjasama yang dilakukan dengan memberikan layanan masyarakat secara

bersama pada satu atau dua bidang pelayanan publik saja. Upaya kerjasama dalam

memberikan layanan dalam banyak bidang kepada masyarakat mengalami

kesulitan karena membutuhkan tingkat koordinaasi antar pemerintah yang cukup

luas.

Hanya terdapat sedikit kajian mengenai kemitraan antar daerah di Amerika

Serikat. Salah satunya dilakukan oleh Bennett dan Nathanson (1997) yang

meneliti tentang 13 kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi wilayah

metropolitan di Amerika Serikat. Penelitian lebih difokuskan pada faktor-faktor

yang mempengaruhi pembentukan lembaga kerjasama antar daerah, namun tidak

diteliti sampai pada tingkat keberhasilan dari keberadaan lembaga kerjasama antar

daerah tersebut.

Berdasarkan dari hasil penelitian, beberapa faktor tampaknya

mempengaruhi pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi.

57

Salah satu faktornya adalah tradisi regionalisme antara pejabat pemerintah lokal di

daerah. Pembentukan kemitraan antar daerah akan semakin kuat apabila

pemimpin bisnis (pengusaha) di daerah dan masyarakatnya juga memiliki norma

kerjasama yang tinggi. Di berbagai daerah dimana para pemimpin lokal,

pengusaha dan masyarakatnya lebih mementingkan nilai-nilai kompetitif

(bersaing) di antara mereka maka akan sulit terbentuk kemitraan antar daerah.

Di samping adanya norma kerjasama, faktor kebutuhan daerah juga dapat

mempengaruhi pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi.

Faktor kebutuhan daerah bisa berupa tingginya angka pengangguran maupun

adanya keterbatasan sumber daya pemerintah daerah. Sebagai contoh, pejabat

pemerintah lokal di daerah Pittsburgh metropolitan termotivasi untuk bekerja

sama dengan daerah lain karena beberapa kota sedang berjuang untuk membiayai

polisi, pemeliharaan jalan, dan pelayanan publik lainnya, dan bahkan beberapa

kota mengalami kebangkrutan. Dimensi lain kebutuhan yang dapat berpengaruh

terhadap pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi adalah

derajat kesamaan potensi ekonomi kota-kota di daerah metropolitan. Adanya

kesamaan potensi ekonomi ini akan lebih dapat dikembangkan secara lebih efisien

apabila dilakukan secara bersama-sama.

Para ahli telah lama mengakui sulitnya mencapai dan mempertahankan

kerjasama sukarela antara sejumlah besar individu atau daerah tanpa adanya

otoritas yang terpusat (Axelrod 1997), hal ini biasa disebut "dilema tindakan

kolektif". Solusi untuk dilemma ini adalah adanya norma kooperatif. Ostrom

(1998) menyimpulkan bahwa penentu utama kerjasama adalah adanya "norma

timbal balik", yaitu kecenderungan individu "untuk bereaksi terhadap tindakan

positif orang lain dengan tanggapan positif dan negatif tindakan orang lain dengan

respon negatif ". Solusi lain untuk mengatasi "dilema tindakan kolektif" adalah

melakukan komunikasi face-to-face antar pihak yang bekerjasama serta

membangun aturan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas

kesepakatan yang telah dilakukan secara bersama.