ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · dampak panjang pantai dengan luas daratan dan...

42
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Lindung 2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997). Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Menurut Riyanto (2005) hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut: 1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; 2) Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih; 3) Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut;

Upload: nguyenque

Post on 20-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Lindung

2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia

Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan

yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat

membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997).

Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam

pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan

lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan.

dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara

kesuburan tanah (Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan). Menurut Riyanto (2005) hutan lindung adalah kawasan hutan yang

karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem

penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses

keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44

Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan

lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut:

1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas

hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah

nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;

2) Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau

lebih;

3) Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih

di atas permukaan laut;

12

4) Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan

lereng lapang lebih dari 15% (lima belas per seratus);

5) Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;

6) Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung

Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut (Suparmoko 1997): (1)

mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara

kesuburan tanah; (2) menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada

umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor

sehinga menunjang pembangunan ekonomi; (3) melindungi suasana iklim dan

memberi daya pengaruh yang baik; dan (4) memberikan keindahan alam pada

umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar (2008) sebagai

dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan

daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil

mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: (1)

konservasi tanah dan air; (2) perlindungan pantai; (3) konservasi keanekaragaman

hayati; dan (4) terkait dengan ekosistem laut.

Menurut Sardjono (2004) fungsi hutan meliputi: (1) fungsi produksi yang

memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk

bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak

langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya

lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri

rumah tangga masyarakat; (2) fungsi lindung yang memberi manfaat langsung

berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati (flora, fauna, mikroorganisme)

serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan

kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian

pengetahuan dan teknologi tradisional; (3) fungsi tata klimat yang memberi

manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih,

juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian

kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi

dampak bencana alam; dan (4) fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk

batas tanah (tanda pemilikan lahan), perlindungan tempat-tempat keramat,

13

pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan

pergaulan hidup antar anggota masyarakat.

Pearce dan Turner (1990) mengidentifikasi secara rinci total nilai

sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi

kayu merupakan nilai penggunaan langsung (extractive use value), sedangkan

fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan

tidak langsung (non extractive use value). Sementara itu, nilai tanpa penggunaan

(non-use value) meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya

(bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existance value).

Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan

Nilai Ekonomi TotalNilai Guna Nilai Non GunaNilai gunaLangsung

Nilai gunatak langsung

NilaiPilihan

Nilaipilihan

NilaiKeberadaan

Nilai Non-guna lainnya

(Hasil ygdapatdikonsumsilangsung)

(ManfaatFungsional)

(Nilaipilihanpenggunaan)

(Nilai pilihanNonpenggunaan)

(NilaiPengetahuan)

(Nilai nonpenggunaanlainnya)

a) Kayub) Buah, bijic) Getahd) Rotane) Pakanf) Hewang) Tumbuhan

obat

a) Fungsiekologis

b) Pengenda-lian banjir

c) Perlindu-nganterhadapangin

Rekreasi a) Ekosistemb) Suaka

margasatwa

a) Habitatb) Spesies

Langka

a) Biodiversitib) Pemandang-

an

Sumber: Pearce dan Turner (1990).

Menurut Noordwijk et al. (2004) hutan lindung mempunyai makna fungsi

perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda

hutan lindung atau “schermbos” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung

atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi

lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan.

Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air

dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (hillslope).

Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan

hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat

diperlukan karena fungsi pentingnya sebagai perlindungan sistem penyangga

14

kehidupan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan

maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu

proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin

kelangsungan kehidupan manusia (Pasal 7). Sedangkan perlindungan sistem

penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang

menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan (Pasal 8).

Menurut Noordwijk et al. (2004) fungsi perlindungan pada daerah hulu

sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama

sistem tersebut mampu dalam: (1) mempertahankan lapisan seresah di permukaan

tanah; (2) mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan (3)

menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap

digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi

lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan

lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan

fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem

agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam

proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan.

Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan

pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan

milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun.

Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu

“fungsi produksi dan fungsi lindung”. Dalam kaitannya dengan kriteria dan

indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya

menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak”

(suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di

Sumatra Barat), kebun buah-buahan pekarangan (mixed fruit tree homegardens),

dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi

berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut

15

pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu

fungsi produksi dan fungsi lindung (Noordwijk et al. 2004).

2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia

Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain

adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kehutanan (tahun 1967-1999).

3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang (tahun 1992-

1999).

6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.

8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Hutan.

9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Hutan.

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang

Perencanaan Kehutanan.

11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan.

12) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang

Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada

Daerah (sudah tidak berlaku).

13) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

16

14) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009 tentang

Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan:

a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan

dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d)

perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif

untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi

pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan

hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan

dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung

dilaksanakan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu

(Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2).

Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan

koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan,

koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan

badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan

kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1, 2 dan

3).

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,

mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya

dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga

kehidupan tetap terjaga (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40).

Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b.

penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik

konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak

produktif (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41). Sedangkan

reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan

kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal

sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi,

penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi (Undang-Undang

17

Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat (1) dan (2). Selanjutnya pada Pasal 46

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan

perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan

dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,

tercapai secara optimal dan lestari.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang

Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah

(sudah tidak berlaku sejak tahun 2007), dinyatakan bahwa sebagian urusan

pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara

lain adalah pengelolaan hutan lindung (Pasal 5 huruf e). Selanjutnya dijelaskan

pada Pasal 6 Ayat (5) urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada

Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas,

mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam

rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa

lingkungan.

Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti

dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini,

urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan

lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya: pertimbangan

penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan

hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh

tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL),

pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka

menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan

tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan

hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan

pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota.

2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia

Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan

berkebun oleh masyarakat sekitar, terutama daerah hutan sekunder berkarang dan

18

daerah berpasir sebelah timur (Irwanto 2007). Khusus di daerah hutan lindung di

pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan

baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan lahan-

lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat

setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan

ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik

dan teratur (Kartasubrata 1986). Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani

subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten

khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan

pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung

bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non

kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan

mengabaikan pertanian konservasi (Budiono 2006).

Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu (2006) tentang kerusakan hutan,

kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh

meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya

isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi

wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu

merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi,

meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya

penegakan hukum. Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu

(2006) bahwa: 1) kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan

Lindung Jompi mengalami penurunan/lemah, terutama disebabkan oleh

rendahnya tingkat kepercayaan (trust) antar warga masyarakat. Rendahnya trust

ini akibat maraknya prilaku sosial yang selalu merugikan antar sesama, seperti

penipuan, pencurian dan kekerasan. Rendahnya modal sosial juga dipengaruhi

secara nyata oleh masih rendahnya modal manusia terutama terkait dengan tingkat

pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah; 2) proses pemberdayaan

masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi masih sangat lemah, terutama

dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku

pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung

melemah/rendah; 3) tingkat pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan

19

Lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh

rendahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kurang tersedianya modal fisik;

4) perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan

masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku

pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia, merupakan model

pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo et al. (2003) di Kawasan Hutan

Lindung Bukit Daun Provinsi Bengkulu menghasilkan kesimpulan bahwa dari

analisis data fisik ternyata perambahan hutan tidak di latar belakangi faktor-faktor

fisik dan analisis statistik faktor sosial ekonomi menunjukan bahwa pertumbuhan

penduduk dan pendapatan dari usaha tani mempengaruhi luas perambahan hutan.

Ruslan (1992) melakukan penelitian dengan judul penelitian “Sistem

Hidrologi Hutan Lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan

Selatan”. Kesimpulan utama penelitian ini adalah model sistem hidrologi hutan

lindung dapat digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang terpilih dari

segi biofisik, agar kondisi hidro-orologis hutan lindung Daerah Aliran Sungai

Riam Kanan menjadi lebih baik.

2.2 Sumberdaya Hutan Lindung sebagai Sumberdaya Bersama MilikNegara

Berdasarkan pengertian dari fungsi pokok hutan lindung, maka hutan

lindung merupakan sumberdaya alam berupa stock yang dapat menghasilkan

fungsi-fungsi yang sifatnya intangible, seperti mengatur tata air, mencegah banjir,

mencegah erosi, mengendalikan intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah.

Menurut Riyanto (2005) hasil hutan di hutan lindung adalah sumberdaya alam

yang berupa barang dan jasa, yaitu flora dan fauna atau bagian-bagiannya dan non

hayati, baik yang nyata maupun yang tidak nyata, yang berasal dari hutan lindung.

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Kartodihardjo (2004) bahwa sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam

bentuk stock atau modal alam (natural capital) seperti Daerah Aliran Sungai

(DAS), danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak

dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumberdaya sebagai faktor produksi atau

sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang

20

diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.

Sumberdaya alam dalam bentuk stock dapat menghasilkan fungsi-fungsi

intangible sifatnya, seperti menyimpan air, dan mencegah terjadinya banjir di

musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2

di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurangi bahan beracun, maupun

kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya

masyarakat, dan lain-lain. Sumberdaya alam bentuk stock mempunyai fungsi-

fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-

bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan.

Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan

berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai private

goods,club goods, common pool goods, dan public goods (Ostrom 1977 dalam

Berge 2004), yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk

mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk

kelembagaan (Kartodihardjo 2006).

Tabel 2 Tipologi barang dan jasa

Jenis sumberdaya PenggunaExcludable Non-excludable

Subtractable Private goods Common pool goodsNon-substractable Club goods Public goods

Sumber: Ostrom dan Ostrom (1977) dalam Berge (2004).

Sumberdaya bersama (Common pool goods) merupakan sumberdaya alam

atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya

bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit

memisahkan akses pengguna (Cousin 2000, Ostrom 1990, Dietz et al. 2002 dalam

Quinn et al. 2007). Berdasarkan sifat rivalitas (persaingan) common pool goods

(misalnya danau, sungai dll) termasuk barang dan jasa yang apabila dimanfaatkan

sesorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu,

penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (Kartodihardjo

2006).

Menurut Hardin (1968) sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan

tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the

21

commons). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin (1968) untuk mencegah

sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama (commons) dalam artian

bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial secara memaksa, yang

dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa (coercion) yang

dimaksudkan adalah mutual coercion, yaitu pengaturan yang disepakati bersama

oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Quinn

et al. (2007) menyatakan bahwa dijelaskan oleh Hardin (1968) pengguna common

akan melakukan tindakan memaksimalkan aliran manfaat dari sumberdaya yang

open acces bilamana biaya atas penggunaannya ditanggung oleh semua pengguna,

dan sebagai kesimpulannya akan terjadi penggunaan yang berlebihan terhadap

sumberdaya common yang kemudian mengarah kepada terjadinya degradasi dan

keruntuhan (collaps) sumberdaya.

Menurut Ostrom (1990) tesis the tragedy of the commons Hardin kurang

memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi

sumberdaya bersama (commons). Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada

argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah-

masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga

mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya

bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut.

Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi

sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat

dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama,

termasuk hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut.

Menurut Marothia (1993) banyak peneliti dan pembuat kebijakan

menganjurkan privatisasi atau pengambil alihan common property resources oleh

negara untuk pengelolaannya. Ini merupakan kesalah-pahaman yang belakangan

ini semakin dipertentangkan oleh banyak ilmuwan sumberdaya alam dan mereka

mendokumentasikan secara rinci sistem common property yang mungkin

memiliki kekurangan dalam spesifikasi pemilikan dan penetapan (rencana)

institusi dari rezim hak pemilikan yang berlansung. Sedangkan menurut pendapat

Regmi (2007) semua tipe sumberdaya common pool tidak dapat dilindungi secara

22

efektif tanpa disain institusi/kelembagaan yang didasarkan pada masalah yang

fundamental.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulankan bahwa sesungguhnya

sumberdaya hutan lindung merupakan sumberdaya bersama yang apabila

dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain,

namun sulit memisahkan para pengguna sumberdaya hutan lindung tersebut. Guna

menghindari terjadinya open acces terhadap sumberdaya hutan lindung yang akan

berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan lindung, maka hutan lindung dikuasai

oleh negara atau menjadi milik negara.

2.3 Institusi, Hak Pemilikan, Batas Kewenangan dan Aturan Keterwakilan

Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas

mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif (Uphoff 1986). Institusi

merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur saling hubungan dalam

masyarakat, yang mana telah mendefinisikan tentang hak, kewajiban dan

tanggung jawab, serta hak-hak istimewa anggotanya (Schmid 1987). Institusi

merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku

individu (North 1990). Menurut Koentjaraningrat (1997) kelembagaan dapat

diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, yang memiliki

makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan

tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian kelembagaan dapat pula

diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan

yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan

khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachbini (2006) institusi adalah

satu bentuk aturan formal dan informal dalam bertindak atau berperilaku yang

dapat memfasilitasi koordinasi atau memerintah hubungan antar individu dalam

organisasi atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani

(2006) institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat,

organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling

mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan.

Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber

hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu (Kartodihardjo

23

2004). Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut dapat

disimpulkan bahwa institusi berkenaan dengan aturan formal dan informal yang

mengarahkan prilaku individu, organisasi atau masyarakat.

Lebih lanjut dikemukakan oleh (Kartodihardjo et al. 2004, Kartodihardjo

(2008) unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau

batas wilayah kewenangan (jurisdictional boundary), hak pemilikan (property

rights) dan aturan representasi/keterwakilan (rule of representation). Tiga hal

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1 Hak pemilikan

Hak pemilikan menurut Schmid (1987) menggambarkan hubungan individu

dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu. Hak merupakan

instrumen untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan

merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Menurut Commons

(1968) yang dikutip Ostrom (2003) hak pemilikan merupakan sebuah

penyelenggaraan kewenangan (otoritas) untuk melakukan aksi tertentu pada

sebuah domain yang tertentu. Menurut Ostrom (2003) hak pemilikan menjelaskan

aksi yang dapat dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan individu lain

berkenaan dengan “sesuatu”. Jika seseorang memiliki hak, maka seseorang

tersebut mempunyai kewajiban yang sepadan atas haknya tersebut. Menurut

Bromley (1991) sebagaimana diacu Hanna dan Munashinghe (1995) hak

pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah terdefinisikan

secara jelas hak dan kewajiban di dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Menurut Hanna et al (1995) empat tipe rezim pemilikan, adalah: 1)

pemilikan individual (private property); 2) pemilikan bersama (common

property); pemilikan Negara (state property); dan 4) akses terbuka (open acces).

Karakteristik masing-masing rezim pemilikan tersebut berdasarkan pemegang

pemilikan, hak pemilik dan kewajiban pemilik oleh Hanna et al. (1995) diringkas

sebagaimana tersaji pada Tabel 3.

Menurut Arifin (2001) pada hakekatnya terdapat empat macam hak

kepemilikan atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni:

1) Milik Negara (state property). Para individu mempunyai kewajiban untuk

mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang

24

mengelola sumberdaya itu. Demikian pula, departemen yang bersangkutan

mempunyai hak untuk memutuskan aturan main penggunaanya. Contoh

sumberdaya alam milik Negara ini adalah tanah hutan, mineral serta

sumberdaya pertambangan, dan sumberdaya alam lain yang dikuasai Negara

untuk hajat hidup orang banyak.

Tabel 3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajibanpemilik

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban PemilikPemilikan individual Individual Penggunaan diterima

secara sosial,mengendalikan akses

Menghidari penggunaanyang tidak dapat diterimasecara social

Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yangbukan pemilik

Pemeliharaan; membatasitingkat penggunaan

Pemilikan negara Warga Negara Menetukan aturan Memelihara tujuan sosialAkses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Sumber: Hanna et al. (1995).

2) Milik pribadi (private property). Para individu pemilik mempunyai hak

untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang berlaku

(socially acceptable uses) serta memiliki kewajiban untuk menghindari

pemanfaatan sumberdaya yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut

kaidah norma yang berlaku (socially unacceptable uses). Misalnya lahan

pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini.

3) Milik umum (common property). Kelompok masyarakat yang berhubungan

dengan sumberdaya milik umum mempunyai hak untuk tidak

mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu,

disamping kewajiban untuk mematuhi statusnya orang luar. Sementara itu,

setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam sistem sosial tertentu

untuk mengelola sumberdaya mempunyai hak dan kewajiban untuk

memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama.

Misalnya, tanah marga atau sebidang tanah dipedesaan atau air irigasi (sistem

subak di Bali), dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang

ada dapat memanfaatkan dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara

bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku.

25

4) Tak bertuan (open acces). Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan atas

sumberdaya tersebut sehingga setiap orang dari kelompok sosial manapun

hanya memiliki privilis (privilege), siapa cepat dia dapat, tetapi bukan hak.

Hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal,

management, exclusion dan alienation, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak

yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai

strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu:

owner, proprietor, claimant, dan autorized user (Schlager dan Ostrom 1992).

Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak-hak terkait dengan sumberdaya

adalah sebagai berikut:

1) Hak akses (access rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya

yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non

ekstraktifnya;

2) Hak pemanfaatan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu

unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya (misalnya

menangkap ikan);

3) Hak pengelolaan (management rights) adalah hak untuk mengatur pola

pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan

sumberdaya;

4) Hak eksklusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh

memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain

(menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain);

5) Hak pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan

sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.

Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat yang

memiliki strata hak oleh Schlager dan Ostrom (1992) dijelaskan dalam bentuk

tabel sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Menurut Harsono (1999) dalam

Suhaeri (2005) kepastian hak atas tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban

dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu (yang boleh, wajib

atau dilarang untuk diperbuat) mengenai tanah yang menjadi hak-nya.

26

Tabel 4 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakatTipe Hak Pemilik

(owner)Pemilik Terikat(Proprietor)

Penyewa(AuthorizedClaimant)

Pengguna(AutorizedUser)

Akses dan pemanfaatan X X X XPengelolaan X X XEksklusi X XPengalihan X

Sumber: Schlager dan Ostrom (1992).

2.3.2 Batas yurisdiksi (kewenangan)

Menurut Rachman et al. (2002) konsep batas yuridiksi dapat memberi arti

batas otoritas yang dimiliki suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Menurut

Katodihardjo (2008) batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup

dalam organisasi. Implikasi ekonomi dari adanya batas yurisdiksi adalah batas

suatu HPH, misalnya, untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti batas wilayah

kerja, batas skala usaha yang diperbolehkan. Dengan demikian perubahan batas

yurisdiksi berakibat terhadap kemampuan HPH menginternalisasikan manfaat

atau biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi tambahan biaya maka HPH

akan memperluas batas yurisdiksinya. Menurut Schmid (1988) dalam Suhaeri

(2005) menjelaskan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah

kekuasaan yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya alam.

Mengingat HLPT mememiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara

bersama, maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan

keinginan para penggunanya. Berdasarkan konsep batas yuridiksi sebagaimana

disampaikan di atas, maka batas yuridiksi berkenaan dengan alokasi sumberdaya

HLPT merupakan batas kewenangan yang dimiliki suatu lembaga dalam

mengatur sumberdaya HLPT. Di samping itu dalam konteks pengelolaan

sumberdaya HLPT batas yuridiksi menunjukkan bahwa bagaimana institusi

mengatur siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh (siapa memperoleh apa).

2.3.3 Aturan keterwakilan

Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan

mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representasi mengatur

siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam pengambilan keputusan. Hal

ini tercermin dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil

27

dan apa akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah-kaidah

representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan (Kartodihardjo

2008). Menurut Rachman (1999) sebagaimana diacu Rachman et al. (2002)

keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh

kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan

kolektif.

Dengan demikian aturan keterwakilan mengatur siapa yang berhak terlibat

dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang diambil dan apa

akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai. Apabila menginginkan perubahan

alokasi dan distribusi sumberdaya secara keseluruhan dapat dilakukan dengan

aturan keterwakilan.

2.4 Organisasi dan Kapasitas Organisasi

Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri dari dua

orang atau lebih yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai

sasaran atau serangkain sasaran bersama (Robbins 2008). Beberapa definisi

organisasi yang dikutip Liliweri (1997) dari beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1) Organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah

spesialis yang berkerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati

(Thompson 1969).

2) Organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang

bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan

penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi, modal, gagasan dan

sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam

interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya,

dalam suatu lingkungan tertentu (Bakke 1950).

3) Organisasi adalah sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua

orang atau lebih (Barnard).

4) Organisasi modern atau yang sering disebut “birokarasi” selalu berciri: (1)

sebuah organisasi selalu mempunyai struktur hierarki; (2) karena itu setiap

organisasi mempunyai hierarki wewenang; (3) setiap karyawan mempunyai

wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria

28

kedudukan yang telah ditetapkan; (4) hubungan sosial dalam organisasi selalu

bersifat impersonal; (5) organisasi modern atau birokrasi selalu merujuk pada

promosi karyawan atas dasar “merit”, jadi ada jenjang karier; (6) ada peraturan

yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap orang dapat

mengambil keputusan; dan (7) pembagian tugas dan fungsi berdasarkan

keahlian (Max weber).

Definisi kapasitas dalam kaitannya dengan organisasi yang dikutip Bateson

et al. (2008) dari beberapa sumber adalah sebagai berikut:

1) The United Nations Development Programme mendefinisikan membangun

atau mengembangkan kapasitas sebagai "proses dimana individu, organisasi,

lembaga, dan masyarakat mengembangkan kemampuan (secara individu dan

secara bersama) untuk melakukan fungsi, memecahkan masalah, dan

mencapai seperangkat sasaran hasil”.

2) The World Bank menjelaskan bahwa membangun kapasitas sebagai “sebuah

proses jangka panjang dengan pendekatan sistematik, merupakan permintaan

untuk memperbaiki kinerja sektor publik, dan penyediaan organisasi dengan

struktur yang baik dan personel yang ahli”.

3) The European Centre for Development Policy Management mendefinisikan

kapasitas sebagai “kombinasi atribut-atribut kekayaan, kemampuan dan

hubungan-hubungan yang menentukan sistem manusia untuk melakukan,

bertahan dan memperbaharui diri”.

4) The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada mendefinisikan

kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau

sebuah sistem) melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif,

secara efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah

direncanakan dalam mendukung misi organisasi mereka.

Kapasitas organisasi merupakan hal kritis terkait dengan efektifitas

implementasi kebijakan. Konsekuensinya, legislator dan birokrat harus

memperhatikan kapasitas dalam merencanakan program. Kapasitas merupakan

suatu investasi yang menunjukkan sebagian dari kualitas kebijakan atau level

implementasi kebijakan (Ting 2009). Dalam perspektif kelembagaan pengertian

kapasitas adalah batas kewenangan dari dua pihak atau lebih dalam mengelola,

29

memanfaatkan dan meningkatkan daya guna dari sumberdaya tertentu. Kapasitas

lembaga merupakan fungsi dari perilaku organisasi dan kemampuan beradaptasi

Kartodihardjo et al. (1997).

Dalam konteks perubahan, kapasitas dapat digambarkan sebagai organisasi

dengan beban kerja total untuk terus beroperasi dan mengubah aktivitas

(Anderson dan Anderson 2009). Menurut McPhee dan Bare (2001) kapasitas

organisasi non profit adalah kemampuan organisasi non profit untuk memenuhi

misi mereka secata efektif.

Menurut United Way of Greater Toronto, the Ontario Trillium Foundation

and the Maytree Foundation (2009) ada enam aspek kunci yang harus

diperhatikan dalam membangun kapasitas organisasi, khususnya organisasi

nirlaba. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut:

1) Misi, visi dan strategi; berkenaan dengan bagaimana visi, misi dan nilai-nilai

mengarahkan pada apa yang harus diperbuat, membantu mendefinisikan hal-

hal yang ingin dicapai komunitas, dan secara bersama berhubungan dengan

program dan pelayanan yang dijalankan. Wilayah ini juga berkenaan dengan

bagaimana organisasi mengembangkan tujuan dan sasaran jangka pendek dan

jangka panjang serta bagaimana memonitor pencapaiannya.

2) Tata kelola dan kepemimpinan; melihat bagaimana pemimpin (pengarah)

ditetapkan dan memikul tanggung-jawab pekerjaan organisasi dan bagaimana

tanggung jawabnya kepada sesama dan kepada pemilik modal.

3) Pencapaian target komunitas; berkenaan dengan akses dan kapasitas organisasi

dalam bereaksi terhadap komunitas dan upaya tetap melayani. Selain itu, di sini

juga dikaji pada tingkat mana organisasi yang bersangkutan menjalankan usaha

kolaboratif dan kemitraan dengan perwakilan komunitas lain, termasuk faktor

yang berkontribusi pada profil agen di dalam komunitasnya dan dalam

hubungannya dengan pemilik modal.

4) Program dan dampak, fokus pada pendekatan organisasi di dalam

penyampaian program dan pelayanan, staf pelayanan hubungan pengguna,

peluang-peluang untuk pengguna pelayanan memberikan umpan balik, sistem

pengawasan dan evaluasi, rentang dan kapasitas program, dan standar

kepentingan agen, norma-norma dan pengalaman terbaik.

30

5) Manajemen keuangan dan perlindungan aset; mengacu kepada penganggaran

dan sistem pelaporan keuangan, manajemen resiko (termasuk pengurusan

kesehatan tempat kerja dan keamanannya), peningkatan dana dan tanggung-

jawab pemilik modal, termasuk keberlanjutannya.

6) Sumber daya manusia; berkenaan dengan struktur organisasi dan bagaimana

kerja organisasi melalui staf dan sukarelawan. Lingkungan kerja, pelatihan dan

dukungan untuk staf dan sukarelawan, kebijaksanaan dan prosedur yang

memandu saling hubungan di antara agen, staf dan sukarelawannya.

Gambar 3 Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi (United Way of GreaterToronto, the Ontario Trillium Foundation and the MaytreeFoundation 2009).

Indikator-indikator yang menunjukan kapasitas organisasi adalah visi dan

rencana strategis, kepemimpinan, manajemen organisasi, sumberdaya manusia,

pengembangan sumber daya, manajemen keuangan, struktur kemitraan/jaringan

dan kapasitas program (The Nature Conservancy 2001). Aktivitas di dalam

membangun kapasitas organisasi terkait dengan aspek kunci kapasitas organisasi

adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Menurut Bateson et al. (2008)

kapasitas organisasi dapat dinilai berdasarkan wilayah kapasitas inti. Secara rinci

wilayah kapasitas inti yang dinilai disajikan pada Tabel 5. Dalam membangun

Kepekaan & pencapaiantarget komunitas Kemitraan strategis Akses dan keadilan

Manajemen keuangandan perlindungan asset Rencana keberlanjutan Teknologi informasi Pengembangan dana

Misi, Visi & strategi Rencana strategis Rencana operasional

Aktivitas membangun kapasitas

Sumberdaya manusia Perekrutan tenaga kerja Struktur tempat kerja Perekrutan sukarelawan

dan pengelolaanya

Tata kelola &kepemimpinan Pengembangan pengarah Pengembangan

kepemimpinan

Program dan dampak Disain program dan

pengembangan Sistem evaluasi &

pengawasan

31

kapasitas organisasi, yang harus dikerjakan oleh organisasi dengan pengarah dan

stafnya adalah: (1) menilai kapasitas organisasi saat ini; (2) mengenali kekuatan

organisasi dan wilayah perbaikan; (3) membuat rencana pengembangan

kapasitas; (4) melaksanakan aktivitas membangun kapasitas dengan

mengedepankan prioritas; dan (5) menilai hasil dari implementasi aktivitas

membangun kapasitas.

Tabel 5 Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif kapasitasutama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti yang dinilai

Perspektif kapasitasutama untuk penilaiankapasitas organisasi

Deskripsi kapasitas Wilayah kapasitas intiyang dinilai

Faktor kebudayaanorganisasi.

Faktor kebudayaan menguji apa yangmemotivasi/mendorong untuk kesuksesanorganisasi. Faktor ini mengarah pada tigahal yang mendasari kemampuan organisasiuntuk berfungsi dan bertahan.

Visi dan misiorganisasi, budayaorganisasi, insentiforganisasi.

Faktor kapasitasoperasional.

Faktor operasional mewakili gabungansaling hubungan dari tujuh area inti(indikator) yang menopang kemampuanorganisasi untuk berbuat, tumbuh danbertahan.

Kepemimpinan danstrategi, struktur tata-kelola dan manajemen,manajemen keuangan,sumberdaya manusia,sistem dan prosedur,komunikasi,infrastruktur.

Faktor kinerjaorganisasi.

Faktor kinerja organisasi menguji empatwilayah yang berhubungan dengan tujuandan sasaran organisasi sehingga organisasidapat terus ada.

Efektivitas, efisiensi,relevansi organisasi,kesehatan finansial

Faktor eksternal danpersepsi.

Faktor eksternal dan persepsi mengarahpada empat wilayah yang mencerminkankenyataan organisasi bukanlah entitasyang terisolasi tetapi beroperasi dilingkungan yang dinamis dengan banyakunsur yang saling terkait.

Aturan dan norma-norma, kerangka kerjalegal dan politik,hubungan dan jaringan,pemilikan danpartisipasi

Sumber: Bateson et al. (2008).

2.5 Koordinasi Antar Organisasi/Lembaga

Menurut Malone dan Crowston (1990) sebagaimana diacu dalam Kim

(1996) koordinasi merupakan aksi mengelola saling ketergantungan diantara

berbagai bentuk aktivitas untuk mencapai tujuan. Menurut Hogl (2002)

Koordinasi antar sektor dapat dinyatakan sebagai proses atau sebuah

status/keadaan. Mendefinisikan koordinasi antar sektor sebagai proses

menyiratkan pertanyaan “bagaimana koordinasi dibuat? Secara umum, proses

32

tersebut berkenaan dengan pengorganisasian dan rekonsiliasi dari proses dan

aktivitas yang berbeda, menuju keteraturan dan kekompakan. Dalam terminologi

kebijakan berarti rekonsiliasi kebijakan dan program sektor.

Koordinasi merupakan spektrum luas kegiatan bersama para agen negara.

Kegiatan ini dapat berada dimana saja di rangkaian komunikasi hinga kerja sama

(kolaborasi), tergantung pada keluaran apa yang akan dicapai agen, apa yang

dibagi dan dipertanggung-jawabkan, sumber resiko atau implikasi (SSC 2008).

Koordinasi dapat dipilah menjadi dua, yakni (Zingerli et al. 2004): (1) koordinasi

negatif (negative coordination) yang menyiratkan derajat kerjasama yang rendah

dimana aktor tunggal hanya bertujuan mengoptimasi manfaat/faedah aktivitasnya

sendiri pada waktu tertentu. Aktor mengadakan reaksi politik secara negatif pada

usul kebijakan, jika mereka melihat kemungkinan berkonsekuensi pada biaya; dan

(2) koordinasi positif (positive coordination) yang menyiratkan derajat kerjasama

yang tinggi dimana dari waktu ke waktu para aktor berusaha mengoptimalkan

manfaat dari sejumlah aktivitas. Politik aktor mengevaluasi/menilai pilihan dan

komitmen banyak aktor dan orang yang bersangkutan dan pilihan apa yang

mereka anggap optimal dalam perspektif jangka panjang. Berlawanan dengan

koordinasi negatif, keputusan aktor tidak hanya atas dasar kejadian tunggal, tetapi

kadang-kadang setuju menerima resiko dengan harapan kompensasi dalam

interaksi di masa depan. Setelah membangun pola koordinasi dengan sejumlah

keuntungan penting, selanjutnya, aktor bertindak secara ekonomis rasional sejak

sewaktu mereka menerima kehilangan dalam kreasi pola koordinasi yang

biasanya sangat mahal. Berdasarkan perspektif teori kesejahteraan, koordinasi

positif memberi harapan hasil yang jauh lebih baik untuk maksimasi kesejahteraan

umum daripada koordinasi negatif. Koordinasi positif paling mungkin untuk di

dipupuk melalui dilembagakannya interaksi dan dengan fokus negosiasi pada isu-

isu kepentingan bersama.

Berdasarkan konsep koordinasi yang dikemukan oleh Malone dan Crowston

(1990), Hogl (2002), Zingerli et al. (2004) dan SSC (2008) dapat disimpulkan

bahwa komponen koordinasi adalah (1) aktor/sektor/organisasi; (2) saling

ketergantungan; (3) aktivitas sektor/aktor/organisasi; dan (4) tujuan yang ingin

dicapai.

33

Dari sudut pandang aktor individual, secara umum dapat dijustifikasi bahwa

keuntungan koordinasi tidak dapat hadir dengan sendirinya (cannot be given).

Keseluruhan manfaat harus diperhitungkan. Dari perspektif itu, koordinasi adalah

diinginkan jika direncanakan aksi yang dapat menambah capaian kesejahteraan

yang tidak terjangkau dengan pengambilan keputusan aktor individual secara

bebas. Keuntungan yang dapat diharapkan dari koordinasi antar sektor, meliputi:

(1) dapat mencapai tujuan yang tidak bisa dicapai sendirian; (2) dapat

meningkatkan kesempatan bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dipastikan

mengakibatkan pencapaian kesejahteraan keseluruhan yang lebih tinggi; (3) dapat

membantu ke arah mencegah kehilangan kesejahteraan secara menyeluruh karena

kebijakan dapat memberikan efek kesejahteraan positif untuk aktor individual;

dan (4) dapat menghadirkan legitimasi dan penerimaan kebijakan publik (Hogl

2002).

Koordinasi melihat secara luas solusi atas fragmentasi sektoral yang ada

dipemerintahan disebuah negara yang melaksanakan manajemen publik.

Fragmentasi disebabkan oleh pengembangan agen, pengembangan fortofolio

kementerian yang mengarah kepada banyaknya jumlah pilihan, dan di beberapa

wilayah karena adanya penekanan berlebihan pada petanggung jawaban vertikal

atas keseluruhan pendekatan pemerintah. Fragmentasi membuat pengkoordinasian

layanan menjadi lebih rumit, menambah biaya karena duplikasi layanan dan

usaha, dan kaburnya tanggung-jawab untuk beberapa isu (SSC 2008). Lebih

lanjut dikemukakan oleh SSC (2008) apabila mekanisme tanggung-jawab vertikal

masih dilihat sebagai suatu cara efisien untuk memastikan kinerja agen, maka

mereka memerinci isu ke dalam bagian komponenya. Pendekatan ini tidak efektif

memecahkan isu kompleks dan hasilnya tidak baik, yakni tak tertanganinya isu

lintas organisasi. Bila pengkoordinasian agen-agen benar-benar atas isu kompleks,

maka dapat dikembangkan solusi berdasarkan kesepakatan sehingga intervensi

lebih efektif. Harapan tercapainya peningkatan layanan tidak hanya sebatas

reorientasi agen mengenai kelompok yang dilayani dan resiko duplikasi layanan.

Hal tersebut sangat jelas berkenaan dengan penguatan koordinasi lintas agen.

Koordinasi merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai

pihak karena perubahan lingkungan yang begitu cepat. Kegagalan di dalam

34

membangun tujuan organisasi merupakan penyebab kegagalan dalam koordinasi.

Koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar semua pihak

untuk mengkonfirmasikan sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai

tujuan (Moekayat 1994). Dalam konteks pelayanan pemerintah/negara, koordinasi

berarti saling berbagi informasi, sumber daya dan tanggung jawab untuk

mencapai hasil tertentu (SSC 2008).

Menurut Malone (1993) sebagaimana diacu Karyana (2007) koordinasi dan

saling ketergantungan merupakan topik yang sering dibahas dalam studi

organisasi. Keduanya memiliki keterkaitan erat, karena koordinasi dalam banyak

kasus merupakan masalah yang timbul sebagai akibat saling ketergantungan.

Tiga komponen utama koordinasi adalah tugas dan fungsi (task), ketersediaan

sumberdaya (resources) dan kegiatan (activities).

Secara konseptual kooperasi, koordinasi dan integrasi memiliki kemiripan

tetapi berbeda dan dapat dipilah di dalam bentuk hirarki yang menunjukan

perbedaan tujuan dan sasaran hasil (Stead dan Meijers 2004 dalam Zingerli et al.

2004). Kooperasi, koordinasi dan integrasi mengindikasikan reorientasi

pembuatan kebijakan dari kebijakan sektoral bebas kepada pembuatan kebijakan

yang terkoordinasi dan terpadu (Zingerli et al. 2004).

Menurut Peters (1998) yang dikutip oleh Hogl (2002), aspek berikut dapat

digunakan untuk menjelaskan atau mengukur koordinasi antar sektor; (1) derajat

pemborosan (dua atau lebih dari dua kegiatan/program organisasi mengarah pada

tujuan yang sama, namun tanpa adanya saling pertimbangan antar organisasi); (2)

derajat inkoherensi (dua atau lebih dari dua kegiatan/program organisasi

mengarah pada tujuan berbeda atau didasarkan pada acuan yang berbeda); (3)

derajat kesenjangan kebijakan (isu-isu penting tidak tertangani atau tidak

teragendakan).

Menurut Hogl (2002) skala koordinasi kebijakan (policy co-ordination

scale) dan skala kapasitas koordinasi (co-ordination capacity scale)

dikembangkan oleh Metcalfe (1994 dan 1997). Logisnya kapasitas koordinasi

dibangun dari bawah melalui tahap demi tahap. Banyak masalah koordinasi dapat

dipecahkan pada tingkat yang lebih rendah tanpa menerapkan tuntutan permintaan

koordinasi pada tingkat lebih tinggi. Di sisi lain, efektivitas koordinasi tingkat

35

yang lebih tinggi bergantung pada kehandalan kapasitas koordinasi pada tingkat

yang lebih rendah. Oleh karena itu, logika ini menyatakan bahwa sistem

koordinasi yang handal bergantung pada rangkaian bangunan kapasitas koordinasi

sebagaimana tergambar pada pada Tabel 6, dan dimulai dari tahap pertama.

Tabel 6 Skala kapasitas koordinasi

Tahap 8 Menetapkan sebuah strategi keseluruhan sektor terkait. Langkah ini merupakantambahan untuk lebih melengkapi, yang mau tidak mau harus dapat dicapai di dalampraktek.p

Tahap 7 Menetapkan persetujuan bersama atau sejumlah prioritas. Persetujuan antar sektoruntuk prioritas bersama dan/atau pemerintah pusat meletakkan landasan utamakebijaksanaan dan menetapkan prioritas diantara sektor terkait.

Tahap 6 Mendefinisikan batasan bersama dengan menyusun parameter aktivitas sektoral.Organisasi pusat pengambil keputusan antar sektor secara aktif berperan membatasikegiatan/aktivitas sektoral. Parameter menjelaskan apa yang aktor sektor harus tidaklakukan, tidak terbatas hanya merumuskan apa yang mereka dapat lakukan.p 5

Tahap 5 Arbitrasi perbedaan antar sektor. Dimana perbedaan antar sektor tidak dapatdipecahkan melalui proses koordinasi horizontal seperti dijelaskan pada langkah 2sampai 4, sebuah mekanisme terpusat biasanya digunakan untuk menyetujuipenerapan prosedur untuk arbitrasi (contoh: hirarki pemerintah, pemungutan suara).4

Tahap 4 Menghindari kebijakan menyimpang diantara sektor dan mencari persetujuan.Memperhatikan koordinasi negatif untuk menemukan perbedaan dan salingmencegah efek negatif, aktor/organisasi bekerja sama, seperti kemitraan dan timproyek, karena mereka memahami saling ketergantungan dintara mereka danmereka saling memiliki minat dalam memecahkan perbedaan kebijakan. Step 3

Tahap 3 Konsultasi dengan yang lain. Merupakan proses dua arah. Sektor/aktor memberitahusektor/aktor lain tentang apa yang mereka lakukan, mereka saling berkonsultasidalam proses merumuskan kebijakan mereka.

Tahap 2 Pertukaran informasi diantara sektor. Sektor/aktor saling menjaga isu-isu terbaruyang muncul dan bagaimana mereka menyarankan bertindak di wilayah merekasendiri. Kehandalan dan diterimanya saluran komunikasi reguler yang ada.

Tahap 1 Sektor/aktor mengatur dengan bebas sesuai domain/hak hukum mereka. Setiapsektor mempertahankan otonominya di dalam cakupan wilayah kebijakannya.

Sumber: Metcalfe (1994); dimodifikasi Karl Hogl (2002).

Sebagai contoh, kegagalan koordinasi mungkin berkaitan dengan batas

kewenangan yang bermakna ganda atau bertentangan (tahap 1), dapat juga

kegagalan berasal dari kekurangan informasi (tahap 2) atau kurang konsultasi

(tahap 3). Kegagalan koordinasi ini dapat di hindari dengan kecukupan informasi

dan kecukupan konsultasi, tetapi kedua langkah tersebut tidak dapat dihapus

untuk dapat berhasil mencari persetujuan kebijakan dalam kasus perselisihan

serius (tahap 4). Sebaliknya, menurut Metcalfe (1997) yang dikutip Hogl (2002)

manajemen konvensional sering dimulai dari anggapan bahwa pertama dan yang

paling mendesak adalah mendefinisikan keseluruhan prioritas dan keluasan

strategi (langkah 7 dan 8). Ini secara implisit mengambil kehandalan lain tingkat

36

kapasitas koordinasi untuk dijalankan. Sebagai konsekuensinya, pernyataan misi,

program dan ekspresi lain berupa prioritas yang luas hanya menjadi retorika (kata-

kata indah dalam pidato kosong) tanpa infrastruktur koordinasi.

2.6 Persepsi dan Perilaku Individu

Arti persepsi adalah pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan tentang objek tersebut (Liliweri 1997). Menurut Liliweri

manusia mempersepsi manusia lain atau benda-benda disekitarnya. Persepsi

terhadap manusia selalu disebut persepsi antar pribadi, sedangkan persepsi kepada

yang bukan manusia disebut persepsi objek.

Menurut Robbins (2008) persepsi adalah proses yang digunakan individu

untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan

makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan

seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi dijelaskan oleh Robbins dalam bentuk Gambar 4.

Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2008).

Variabel individual seperti persepsi mempengaruhi perilaku (Gibsons et al.

1996). Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku seseorang sangat diwarnai oleh

banyak faktor serta persepsinya tentang faktor-faktor tersebut. Persepsi yang

dimiliki itu pulalah yang turut menentukan bentuk, sifat dan intensitas peranannya

dalam kehidupan organisasional (Siagian 1986). Mengingat demikian eratnya

antara persepsi seseorang dengan perilakunya, maka mutlak perlu memahami dan

Faktor pada target1) Hal baru2) Gerakan3) Bunyi4) Ukuran5) Latar belakang6) Kedekatan

Faktor pada pemersepsi1) Sikap2) Motif3) Kepentingan4) Pengalaman5) Pengharapan

Persepsi

Faktor dalam situasi1) Waktu;2) Keadaan/tempat kerja3) Keadaan sosial

37

mendalami persepsi individu untuk kepentingan upaya pencapaian tujuan

kelompok/organisasi. Menurut Gibsons (1996) persepsi berperan dalam

penerimaan ransangan, mengaturnya, menterjemahkan dan mengiterpretasikan

rangsangan yang sudah teratur itu untuk mempengaruhi perilaku dan membentuk

sikap.

2.7 Motivasi dan Perilaku Individu

Menurut Robbins (2008) motivasi adalah proses yang ikut menentukan

intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Meski

motivasi umum terkait dengan upaya kearah sasaran apa saja, kami

menyempitkan fokus pada tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal

kita terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Gibson et al.

(1996) motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja. Lebih lanjut dikemukakan

oleh Gibson et al. (1996) motivasi merupakan konsep yang kita gunakan untuk

menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seseorang

individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku.

Menurut Robbins (2008) dan Gibsons et al. (1996), teori motivasi yang

paling terkenal adalah hierarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham

Maslow. Menurutnya, bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima

jenjang kebutuhan, yaitu: (1) fisiologis, antara lain makan (rasa lapar), minum

(haus), perlindungan (pakaian dan rumah), sembuh dari rasa sakit, seks dan

kebutuhan jasmani lain; (2) keamanan; antara lain keselamatan dan perlindungan

terhadap kerugian fisik dan emosional, kebutuhan untuk kemerdekaan dari

ancaman; (3) sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan

persahabatan; (4) penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga

diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya

status, pengakuan dan perhatian; dan (5) aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi

sesorang/sesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian

potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Menurut McClelland (1992) dalam teori

"kebutuhan" terdapat tiga kebutuhan utama yang mendorong (memotivasi)

individu untuk berperilaku dengan cara tertentu, yaitu: kebutuhan akan

pencapaian, kebutuhan akan hubungan dan kebutuhan akan kekuatan.

38

2.8 Prinsip Disain Institusi dan Prinsip Disain Rezim Hak Pemilikan

Prinsip disain didefinisikan sebagai konsepsi yang menggunakan secara

sengaja maupun tidak sengaja keberlangsungan asosiasi individu-individu dengan

mengangkat kembali prinsip pengorganisasian (Ostrom 1995). Terkait dengan

sumberdaya milik bersama (common pool resources), Ostrom (1990)

mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya milik bersama terdapat

beberapa prinsip yang harus dirancang agar institusi tersebut dapat berlangsung

secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1) Prinsip batas yang ditentukan secara jelas untuk dapat menentukan

kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumberdaya tersebut;

2) Prinsip kongruensi, yaitu distribusi manfaat dengan aturan yang tepat,

proporsional dengan pembiayaannya, kemudian aturan yang tepat terkait

dengan waktu, tempat, teknologi dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan

kondisi lokal;

3) Prinsip pengaturan pilihan kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi

oleh aturan operasional yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan

pengaturan;

4) Prinsip adanya kegiatan yang sifatnya memonitor kondisi sumberdaya dan

prilakunya penggunannya yang akuntabel;

5) Prinsip pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang

diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konteks kejadian pengguna,

dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya;

6) Prinsip aturan mekanisme penyelesaian konflik di antara pengguna dan antara

pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan

tersedia secara lokal;

7) Prinsip adanya pengorganisasian hak yang diakui para pengguna atau

kelembagaan yang tidak dapat dicampurtangani oleh pemerintah.

Menurut Agrawal (2001) studi yang dikerjakan Wade (1988) pada institusi

irigasi telah menambah daftar faktor yang memfasilitasi kesuksesan institusi,

beberapa faktor disebutkan terus secara regular. Faktor tersebut diantaranya

adalah ukuran kelompok kecil, batas sumberdaya dan keanggotaan kelompok

pengguna terdefinisi secara jelas, kemudahan dalam monitoring dan penegakan

39

aturan, dan kedekatan lokasi antara pengguna dan sumberdaya. Menurut

Kartodihardjo (2006) kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods

didasarkan atas beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya

alam, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi,

penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan

yang lebih tinggi.

Kumpulan faktor kritis (set of critical factor) sebagai penentu kesuksesan

pengaturan sumberdaya common pool hasil identifikasi Robert Wade, Elinor

Ostrom, Jean-Marie Baland dan Jean-Philipe Platteu yang disintesis oleh Agrawal

(2001) dan dapat diaplikasikan pada commons institutions adalah sebagaimana

tersaji pada Tabel 7. Menurut Agrawal (2001) daftar faktor-faktor ini (Tabel 7)

dapat diaplikasikan pada seluruh institusi sumberdaya milik bersama. Faktor-

faktor tersebut akan sangat bermanfaat untuk memusatkan pengkajian pada

kondisi hubungan sebab-akibat yang menunjang keberlanjutan.

Disain rezim hak pemilikan harus merefleksikan tujuan dan sasaran

kemasyarakatan. Selanjutnya tugas dalam mendisain rezim hak pemilikan harus

harmonis dengan tujuan kemasyarakatan untuk kinerja ekonomi, keadilan dan

pemeliharaan lingkungan (ekologi). Tujuan ini dapat secara eksplisit dan implisit

yang dibentuk oleh tradisi budaya, diskursus sosial dan dinamika ekonomi (Hanna

et al. 1995).

Menurut Hanna et al. (1995) mendefinisikan kepentingan individu-individu

atau kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya (Bromley 1989) adalah

hal yang fundamental pada disain hak pemilikan (property rights design) (Runge

1984; Young 1992). Syarat disain selanjutnya adalah kepastian struktur insentif

(incentive structure) yang merefleksikan aturan tujuan jangka panjang untuk

keberlanjutan sistem ekologi (Jentoft 1989; Pinkerton 1989; Ostrom 1993).

Sehubungan dengan keharmonisan temporal adalah isu keharmonisan spasial

(spatial congruence). Hal ini penting untuk menjamin rezim hak pemilikan

memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas, sehingga batas konsisten dengan

batas alami sistem ekologi (Constatnza dan Daly 1992; Berkes dan Folke 1994;

Gunderson et al. 1994; Smith 1994). Selanjutnya, disain juga harus menyangkut

“distribusi otoritas”. Rezim berfungsi baik jika keputusan aturan konsisten dengan

40

pemilikan, sebagai contoh bilamana sumberdaya dimiliki secara kolektif maka

harus dikelola dengan tatanan pilihan kolektif (Ostrom 1990).

Tabel 7 Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan sumberdaya milikbersama (common pool resources) hasil identifikasi Wade, Ostrom,Baland dan Platteau yang disintesis oleh Agrawal (2001)

Kumpulan Faktor (set of factor)1. Karakteristik sistem

sumberdayaa. Ukuran kecilb. Batas sumberdaya yang didefinisikan dengan jelas

2. Karakteristikkelompok

a. Ukuran kecilb. Batas kelompok yang didefinisikan dengan jelasc. Norma berbagid. Pengalaman sukses di masa lalu - modal sosiale. Kepemimpinan yang tepat - muda, familiar dengan perubahan

lingkungan eksternal, mempunyai koneksi dengan elitetradisional lokal

f. Saling ketergantungan antar anggota kelompokg. Ragam dukungan, identitas dan kepentingan

3. Saling hubunganantara karakteristiksistem sumberdayadan karakteristikkelompok

a. Tumpang tindih lokasi tempat tinggal kelompok pengguna danlokasi sumberdaya

b. Tingkat ketergantungan anggota kelompok terhadapsumberdaya tinggi

c. Kewajaran dalam alokasi manfaat dari “common resource”4. Pengaturan institusi a. Aturan sederhana dan mudah untuk dipahami

b. Memikirkan/merencanakan akses lokal dan aturan pengelolaanc. Mudah dalam penegakan aturand. Diselesaikannya sanksie. Tersedianya pengadilan (keputusan hakim) dengan biaya murah

Sumber: Agrawal (2001).

2.9 Pembayaran Jasa Lingkungan

Menurut Wunder (2005) pembayaran untuk jasa lingkungan (payment for

environmental services) adalah (1) transaksi sukarela (voluntary transaction); (2)

jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik (well-defined environmental

service); (3) melibatkan minimum satu pembeli jasa lingkungan; (4) dari

minimum satu penjual jasa lingkungan; dan (5) hanya berlaku jika jasa layanan

terus dapat disediakan penghasil jasa. Berdasarkan definisi pembayaran jasa

lingkungan menurut UNSAID dan RMI (2007) paling tidak ada 4 (empat)

karakteristik skema Payment for Environmental Services (PES), yaitu: (1)

pembayaran jasa lingkungan dikembangkan berdasarkan azas sukarela dan

negosiasi-negosiasi para pihak; (2) mekanisme transaksi dan jasa yang

ditransaksikan dapat terdefinisi secara jelas dan dapat diukur; (3) transaksi

melibatkan paling tidak satu pihak penyedia jasa sebagai penjual jasa lingkungan

41

dan satu pihak sebagai penerima manfaat sebagai pembeli jasa lingkungan; dan

(4) skema kontrak harus mampu menjamin akan keberlanjutan skema dan aliran

manfaat dalam waktu yang diperjanjikan.

Empat tipe jasa lingkungan yang sering dilaporkan sebagai subjek dari

skema pembayaran untuk jasa lingkungan (Landell-Mill dan Porras 2002, Grieg-

Gran dan Bann 2003, Wunder 2005 dalam Kanounnikoff 2006) adalah:

1) Layanan daerah aliran sungai (watershed services); memiliki cakupan yang

cukup luas, meliputi kontrol terhadap aliran air atau kontrol terhadap kualitas

air, yang berhubungan dengan ekosistem alami tertentu seperti hutan dan air

tawar. Batasan pembayaran jasa pelayanan air termasuk daya ungkit politis

atas penyedia pelayanan daerah aliran sungai yang persediaan pelayanan airnya

memiliki justifikasi ilmiah.

2) Penyerapan karbon (carbon sequestration); Ekosistem hutan merupakan

penyedia utama pelayanan penyerapan karbon. Pembayaran untuk pelayanan

penyerapan karbon dilakukan dengan menghindari penebangan hutan, akan

tetapi masih dihadapkan pada transaksi biaya tinggi dan ketidakpastian dengan

tergantung pada aturan perdagangan karbon internasional dan efektivitas

jangka panjang (Grieg-Gran dan Bann 2003).

3) Konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation); Jasa

konservasi keanekaragaman hayati sulit untuk menjadi subyek

valorization/perhitungan khususnya yang berkenaan dengan nilai intengible

(tak dapat dihitung langsung), ketidakpastian bertalian dengan persediaan

pelayanan dan jenis dan jumlah manfaat yang belum pasti dan adanya transaksi

biaya tinggi (Grieg-Gran dan Bann 2003).

4) Keindahan bentang lahan (landscape beuty); keindahan bentang alam lazim

disediakan oleh ekosistem alami, volarisasi (nilai) pelayanan dari keindahan

bentang alam (pemandangan) dapat berupa pembayaran operator turis

lingkungan untuk memperoleh akses ke wilayah yang memiliki keindahan

bentang alam (pemandangan) tersebut. Sebagai pembatas utama internalisasi

dari pelayanan keindahan pemandangan sejauh ini masih mengacu kepada

kenyataan, pelayanan keindahan pemandangan lebih berbasis pada persediaan

oleh pemerintah dan dicirikan dengan penetapan biaya (below-cost pricing)

42

(Grieg-Gran and Bann 2003). Akan tetapi, tipikal keindahan pemandangan

menyajikan nilai guna langsung (externalitas langsung) dari ekosistem dan

karenannya diterapkan pembayaran jasa lingkungan terutama dengan

menggunakan nilai tidak langsung untuk menambah perbedaan nilai

pembayaran jasa lingkungan dari instrumen kebijaksanaan lingkungan

lainnya.

Skema pembayaran jasa lingkungan merupakan mekanisme pembiayaan

yang memerlukan kreasi atas pengumpulan dan pengelolaan dana dari penerima

manfaat. Dalam teori, penerima manfaat tidak harus membayar lebih dari nilai

pelayanan yang mereka terima. Diperlukan besaran nilai pelayanan jasa

lingkungan yang layak, oleh karenanya aturan merupakan tantangan utama bagi

kelahiran skema pembayarana jasa lingkungan. Penilaian ini meliputi proses

analisis ekonomi dengan konsultasi yang luas dengan penerima manfaat dalam

rangka pengaturan sumbangan yang bisa diterima oleh mereka dan cukup bagi

pendanaan sistem pembayarana jasa lingkungan. Tujuan kunci dari skema

pembayarana jasa lingkungan adalah menghasilkan aliran pendapatan yang stabil

dan terus menerus yang dapat memastikan keberlanjutan sistem untuk jangka

panjang. Pendapatan dapat berasal dari pajak-pajak, biaya dari pengguna, subsidi

pemerintah, sumbangan langsung, dana bantuan atau pinjaman dari lembaga

internasional atau donasi oleh NGO internasional atau yayasan Mekanisme

pembayaran harus juga dirancang untuk mengantarkan dana sampai pada

pengguna lahan (land users). Dalam teori, pembayaran yang diberikan kepada

pengguna lahan harus cukup untuk mengganti kerugian atas ongkos konservasi

dan biaya kesempatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan

keseimbangan antara pembayaran maksimal yang mau disediakan penerima

manfaat (beneficiaries) dan pembayaran minimal atas jasa layanan lingkungan

yang dapat disediakan oleh pengguna lahan (Mayrand dan Paquin 2004).

2.10 Kinerja Institusi dan Kinerja Rezim Hak Pemilikan

Menurut Schmid (1987) kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa

dan biaya siapa yang dipertimbangkan. Pada sekelompok orang kinerja institusi

ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan

43

kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada

distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan

(bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi), pertumbuhan (optimalisasi total

dari nilai produksi) dan efisiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan

pemasukan). Menurut Uphoff (1986a) kinerja suatu institusi diukur dari

bagaimana institusi menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok

tersebut, meliputi: (1) pengambilan keputusan (termasuk perencanaan dan

evaluasi); (2) mobilisasi dan manajemen sumberdaya; (3) komunikasi dan

koordinasi; dan (4) penyelesaian konflik.

Selanjutnya Menurut Hanna et al. (1995) kinerja rezim hak pemilikan dapat

diukur melalui satu atau kombinasi dari tiga dimensi: ekonomi, sosial dan ekologi.

Seluruh dimensi adalah saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki

keterkaitan (keterlekatan: embedded) dalam sebuah sistem. Ukuran kinerja untuk

rezim hak pemilikan adalah efisiensi ekonomi. Ukuran efisiensi fokus pada

tingkat produksi dengan keluaran ekonomi terbaik (the best economic outcomes)

melalui produksi dengan kombinasi input biaya rendah. Ukuran kinerja sosial

fokus pada rezim keadilan yang merefleksikan definisi sosial atas keadilan

distribusi (fairness distribution) manfaat dan biaya. Sedangkan ukuran kinerja

berbasis ekologi fokus pada tingkat persediaan modal alam (stock of natural

capital) yang dikelola.

2.11 Pengembangan Institusi

Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh

masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan,

maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada

tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui: pengembangan

institusi (institutional development), penguatan institusi (institutional

strengthening) atau perubahan institusi (institutional change) (Pratiwi 2008).

Berdasarkan pendapat Pratiwi (2008) tersebut dapat dinyatakan bahwa Kinerja

institusi yang tidak optimal dapat diperbaiki dengan pengembangan institusi

(institutional development) berdasarkan kinerja institusi eksisting.

44

Menurut Nasution (1999) yang dikutip Karyana (2007) pengembangan

kelembagaan (institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan

hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang

dikehendaki. Tujuan pengembangan kelembagaan (institusi) secara umum adalah

untuk mencapai derajat pemenuhan kebutuhan manusia secara lebih baik dengan

alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh semua

kelompok masyarakat secara adil. Secara spesifik tujuan pengembangan

kelembagaan (institusi) adalah: 1) sebagai wahana akses adil terhadap input

faktor; 2) mampu memberikan aturan main dan acuan secara adil bagi setiap

pelaku dalam kelembagaan tersebut guna mencapai efisiensi dan efektifitas yang

tinggi dalam alokasi sumberdaya kepada semua unsur yang terlibat; 3) mampu

mendistribusikan hasil proses pemamfaatan sumberdaya untuk mencapai tujuan

yang dikehendaki. Menurut Uphoff (1986) bila merencanakan pengembangan

institusi/ kelembagaan lokal pada area pengelolaan sumberdaya alam, patut

digaris bawahi bagaimana analisis mengarah pada menilai/menaksir faktor seperti

larangan (hal tidak diperbolehkan) dan manfaat dan biaya pengelolaan

sumberdaya yang dapat mempengaruhi kelangsungan berbagai jenis institusi

lokal.

2.12 Bentuk-Bentuk Institusi: Kasus Institusi Pengelolaan Hutan

Bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah atau negara

akan berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, penguasaan teknologi serta pengaruh-pengaruh internal yang

melingkupinya. Sebagai bahan perbandingan, berikut disajikan bentuk institusi

pengelolaan hutan yang telah berkembang di beberapa negara.

2.12.1 Institusi pengelolaan hutan di Jerman

1) Struktur State Forest Enterprise

Pengelolaan hutan di Jerman baik hutan Negara, sebagian besar hutan

masyarakat maupun hutan pribadi dilakukan oleh State Forest Enterprise (SFE).

Struktur organisasi SFE adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 5 berikut:

45

Gambar 5 Struktur hirarki State Forest Enterprise Jerman (Hessen-Forst 2011).

State Forest Enterprise berasal dari tradisi keberhasilan tata usaha hutan

negara di Hesse yang mempunyai struktur organisasi ditingkat lapangan

dikeseluruhan daerah dan bekerja dekat dengan warga negara menurut asas

"penyerahan kedaulatan secara terpadu (integrated sovereignty)”, di mana

terdapat Forest Management Units (FMU) yang menjalankan tugas berdasarkan

peraturan yang sah. State Forest Enterprise Hessen-Forst mengurusi secara

khusus inventarisasi hutan, perencanaan, penilaian hutan dan teknik kehutanan

dengan menerapkan hasil riset silvikultur dari Northwest German Forest Research

Institute (NWFVA).

State Forest Enterprise dicirikan oleh hirarki sejajar. Dewan direktur

dibagi menjadi empat departemen; dua departemen bekerja sebagai pendukung

(personel, informasi teknologi, pembiayaan dan penganggaran), sementara dua

departemen lainnya bekerja pada wilayah operasi produksi (silvikultur, pemasaran

dan kerjasama, konsultasi dan pelayanan-pelayanan lain).

Regu pengontrolan, terdiri dari empat ahli senior, memastikan saling

hubungan ke dan dari unit pengelolaan hutan. Tugas mereka meliputi pemberian

46

nasehat, pengkoordinasian dan mendukung unit pengelolaan hutan dan bantuan

dalam mencapai target regional.

Pengontrolan (Controlling): pengusahaan hutan negara disupervisi oleh

menteri yang bertanggung jawab dan berkenaan dengan: (1) penerimaan terhadap

aturan pengusahaan hutan negara; (2) pencalonan direktur jenderal; (3)

penerimaan anggaran belanja tahunan; (4) perjanjian dengan auditor dalam

konsultasi dengan Pemeriksa Keuangan Hessian; dan (5) keputusan yang relevan

secara politis. Departemen tidak turut campur tangan dalam urusan operasional

(bisnis).

Penghubung (Liaison): State Forest Enterprise menerapkan prinsip efisiensi

ekonomi dalam melakukan pengembangan secara terus menerus terhadap struktur

dan aliran kerja serta pengontrolan pengelolaan. Regu/Tim pengontrolan

merupakan bagian dari dewan direktur yang bertindak sebagai penghubung dan

pengkoordinasi antara organisasi pusat dengan unit pengelolaan hutan. Regu

pengontrolan yang terdiri atas empat ahli senior (senior experts) yang mempunyai

tanggung jawab secara regional. Kedekatan kepada unit pengelolaan hutan

dipastikan melalui komunikasi yang baik dan keputusan cepat. Tugas utama regu

pengontrolan adalah menempatkan tujuan dan strategi pengusahaan hutan negara

sedemikian rupa sehingga mendukung kepala unit pengelola hutan sehubungan

dengan tanggungjawabnya. Regu/Tim kontrol juga meneliti operasi manajemen

unit pengelolaan hutan.

Komisi Pengusahaan Hutan Negara (State Forest Enterprise Commission):

merupakan komisi eksternal pengusahaan hutan negara yang independen yang

memastikan keseimbangan dan keberlansungan sasaran strategis yang ditentukan

untuk pengusahaan hutan negara. Laporan tahunan pengusahaan hutan negara

diteliti oleh komisi dan diberikan komentar dengan semua pertanyaan berkenaan

dengan sasaran-sasaran strategis. Komisi SFE terdiri atas dua belas anggota

komite dengan keahlian yang diakui, yaitu: (1) menteri bertanggung jawab

sebagai pemimpin; (2) satu delegasi dari setiap parlemen terwakili dalam

Hessiean Parlemen; (3) satu wakil dari setiap departemen fungsional dan

anggaran; (4) satu wakil dari personel pengusahaan hutan negara; dan (5) lebih

dari empat wakil dari sektor lainnya seperti lingkungan, ekonomi, masyarakat

47

umum atau pemilik hutan kecil-kecilan atau ilmuwan. Para anggota ditetapkan

untuk satu periode pemilihan dimana menteri bertanggung jawab dalam konsultasi

dengan menteri keuangan atau Presiden Parlemen Hessian. Komite bersidang

tidak kurang dari sekali setahun atas permintaan menteri yang bertanggung jawab,

atau menteri keuangan, direktur jenderal dari pengusahaan hutan negara atau dari

sedikitnya tujuh anggota secara bersama-sama.

2) Struktur Forest Managemet Units (FMU)

Struktur organisasi Forest Management Units (FMU) adalah sebagaimana

disajikan pada Gambar 6. Organisasi FMU ada di seluruh wilayah negara,

sehingga dapat menjamin unit pengelola hutan dekat dengan masyarakat, otoritas

lokal dan pelanggan lain. Hal ini merupakan penerapan prinsip teritorial

(territorial principle) yang menjadi sebuah keharusan dalam melaksanakan

silvikultur berorientasi alamiah (nature-oriented silviculture). Organisasi FMU

menjalankan fungsi yang meliputi pendidikan lingkungan, konservasi alam, advis

bio-energi dan advis terhadap pemilik hutan privat dan rata-rata FMU mengatur

18.000-20.000 ha dengan 10-12 pasukan daerah (ranger districts). Dengan

demikian struktur internal FMU merupakan kombinasi prinsip teritorial dengan

prinsip peningkatan fungsi organisasi.

Gambar 6 Struktur organisasi Forest Management Units (Hessen Forst 2011).

48

Organisasi ini dipimpin oleh seorang kepala yang memiliki tugas meliputi

pemasaran, pengontrolan, kualitas proses pengelolaan dan organisasi. Kepala

FMU membawahi bidang administrasi, kepala seksi produksi, kepala seksi

pelayanan dan kedaulatan serta rangers district. Fungsi utama organisasi ini

meliputi konservasi, pendidikan lingkungan, bioenergi dan penyuluhan.

2.12.2 Institusi pengelolaan hutan di Jepang

Keberhasilan bangsa Jepang dalam mempertahankan kelestarian fungsi

sumberdaya alam sejak berabad-abad yang lalu telah banyak dilaporkan dalam

berbagai literatur (Kartodihardjo 2004). Menurut Zoysa dan Inoue (2010) “irai” di

Jepang adalah sebuah sistem pengelolaan berkelanjutan hutan milik bersama di

pedesaan-pedesaan yang memproduksi kebutuhan dasar domestik dan berfungsi

sebagai pengerat hubungan komunitas lokal. Di bawah rezim pemilikan bersama

(commom property regimes) hanya anggota kelompok yang memiliki akses

terhadap sumberdaya yang pemanfaatannya didasarkan pada regulasi.

Aturan pengelolaan yang tepat meliputi tanggal dan waktu, tempat dan

jumlah yang diperbolehkan untuk diekstrasi dari hutan “irai” diimplementasikan

untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan (Kijima et al. 2000 dalam Zoysa

dan Inoue 2010). Rumah tangga (keluarga) di dalam komunitas sangat peduli

terhadap kemampuan lahan hutan “irai” dalam mendukung kelangsungan mata

pencaharian (penghidupan) mereka. Pengambilan keputusan penting terkait

dengan pengelolaan hutan “irai” didasarkan pada persetujuan seluruh anggotanya

(Goto 2007 dalam Zoysa dan Inoue 2010).

Menurut Kartodihardjo (2004) yang mengutip hasil penelitian McKean

(1993) keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dalam hubungannya dengan

kinerja sistem institusi yang diterapkan di tiga desa di Jepang yang diteliti oleh

McKean antara lain karena fakta-fakta berikut: (1) hingga kini keberadaan “lahan

milik bersama” masih dapat dipertahankan oleh masyarakat di Jepang karena

adanya komunitas pemilik bersama yang teridentifikasi dengan jelas dan tertulis;

(2) dalam sejarahnya desa-desa di Jepang berkembang mengikuti perubahan

zaman dengan selalu mengacu pada aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan;

dan (3) dalam mengimplementasikan aturan tersebut, masyarakat Jepang

menerapkan sanksi atau penalti bagi pelanggar aturan sebagai suatu sistem kontrol

49

sosial, dimana penalti tersebut dapat berupa “pengucilan” dari kehidupan sosial

masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan

sumberdaya alam tak terkecuali sumberdaya hutan secara berkelanjutan di

pedesaan tradisional di Jepang merupakan akibat dari adanya: (1) aturan yang

disepakati masyarakat dan diimplementasikan secara baik serta diberlakukannya

sanksi atas pelanggaran; (2) unit terkecil dari pengelola hutan, yaitu rumah tangga

(household) terlibat dalam pengambilan keputusan; dan (3) adanya kesadaran dan

kepedulian komunitas terhadap fungsi hutan dalam mendukung penghidupan

masyarakat.

2.12.3 Insitusi pengelolaan hutan di Sri Langka

Mengacu pada pendapat dan hasil penelitian beberapa ahli, Zoysa dan Inoue

(2008) melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan institusi pengelolaan hutan di

Sri Langka sebagai berikut:

1) Kehutanan Sri Langka memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun yang

direfleksikan di dalam catatan peninggalan raja-raja masa lalu. Sri Langka

mempunyai sejarah panjang penanaman pohon sejak tahun 543 sebelum

masehi, dimana tradisi ini ada pada budaya buddha. Dalam catatan sejarah

kuno "maha-wamsa", "rajaratnacari" dan " rajawali" dinyatakan komunitas

pedesaan (kampung) terorganisir secara baik dan hidup secara harmonis dalam

lingkungan hutan sepanjang periode raja Vijaya (543 sebelum masehi).

Mereka mengelola keberlanjutan lingkungan hutan disekelilingnya dan

menikmati hak serta dapat secara baik melakukan administrasi sendiri.

2) Penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan

produksi hutan ditegakkan pula pada periode 161-137 sebelum masehi oleh

Raja Dutugamunu. Raja diperlakukan sebagai pemilik sah lahan hutan.

Meskipun raja sebagai penguasa hutan, komunitas (masyarakat) memegang

hak mengambil hasil hutan dan diawasi oleh para anggota yang ditunjuk

sebagai manajer. Hutan dikelola berdasarkan rezim pemilikan bersama dengan

norma-norma dan konvensi untuk mengatur hak-hak individual, sementara

kesepakatan sosial digunakan untuk mencegah penyalahgunaan sumber daya

hutan (Kariyawasam 2001).

50

3) Adanya cadangan hutan untuk royalti (gabadagam), institusi biara (nindagam),

kuil umum (viharagam), dan untuk tujuan lain (devalegam) terdokumentasi di

tulisan kuno. Hutan dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada

masyarakat (rajakariya), sementara petugas hutan (kele korala) ditetapkan

sebagai pengatur penggunaannya. Penarikan pajak kepada penguasa hutan

pribadi terdokumentasi sejak abad keenam. Penebangan spesies pohon tertentu

dan masuk ke lahan dan kebun hutan keluarga raja adalah dilarang. Aturan ini

berlaku hingga diujung zaman kerajaan di Sri Langka (tahun 1815).

4) Sistem otoritas pemerintah terhadap penggunaan sumberdaya hutan mulai

diterapkan sejak kekuasaan kolonial Inggris. Hak dan tanggung jawab

komunitas dalam mengelola hutan digantikan oleh agen-agen birokrasi

perwakilan pemerintah. Rezim kolonial meruntuhkan kohesi komunitas

pedesaan dan sistem pengelolaan hutan berdasarkan pemilikan bersama

menjadi terkikis.

5) Sejak tahun 1950, yakni setelah kemerdekaan Sri Langka, pengelolaan

dilakukan oleh tenaga teknis terlatih dari departemen kehutanan. Secara umum,

petugas tidak terlatih sebagaimana mestinya untuk secara pantas mengakui

hak-hak asli/lokal, mengapresiasi pengetahuan lokal dan memahami

ketergantungan ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Institusi

tradisional dan kepemimpinan lokal termarginalikan atau terabaikan. Akhirnya,

orang-orang luar dari wilayah kota terutama pedagang kayu mengambil alih

kendali sumberdaya hutan dan sistem produksi hutan yang menjadi mata

pencaharian komunitas lokal. Banyak tempat penggembalaan yang berfungsi

pada abad ini ditutup. Walaupun, otoritas kehutanan tidak dapat

mengendalikan pengambilan kayu bakar, perladangan berpindah, pertanian

perkebunan, pertambangan, pembalakan kayu dan aktivitas lain di hutan yang

dilakukan oleh komunitas lokal secara tidak sah.

6) Saat ini, strategi dan tradisi kuno pemanfaatan/penggunaan sumberdaya

menjadi komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan negara Sri

Langka. Fungsi komunitas tradisional dalam mengurus sumberdaya hutan

sangat diperlukan, oleh karenanya diperkuat.

51

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan oleh Zoysa dan Inoue (2008) yang

mengacu pada pendapat berbagai ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa

keberhasilan pengelolaan hutan di Sri Langka di masa lalu merupakan resultan

dari adanya: (1) pengaturan hak masyarakat lokal sekitar hutan untuk menikmati

manfaat hutan; (2) penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan

penggunaan produksi hutan; (3) sesuai dengan karakteristiknya hutan dikelola

dengan menggunakan pendekatan rezim pemilikan bersama; (4) petugas

kehutanan bertugas mengatur penggunaan kawasan hutan.

2.12.4 Institusi Pengelolaan Hutan Lindung di Indonesia: Kasus KelembagaanHutan Lindung Sungai Wain

Berdasarkan hasil penelitian tentang kelembagaan pengelolaan Hutan

Lindung Sungai Wain (HLSW), Falah et al. (2007) melaporkan bahwa

Pemerintah Kota Balikpapan memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung

pengelolaan HLSW, terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 11

tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW serta tiga Surat Keputusan Walikota

tentang Penataan dan Pemanfaatan HLSW, Pembentukan Badan Pengelola HLSW

dan Tata Cara dan Pemanfaatan HLSW. Beberapa kegiatan yang berhasil

dilaksanakan Badan Pengelola HLSW (BPHLSW) antara lain menekan

penebangan liar dan perburuan satwa liar hingga 0%, upaya penanganan masalah

perambahan dengan memberi hak pemanfaatan lahan kepada masyarakat lokal

dalam blok pemanfaatan, kegiatan pemanfaatan kawasan yang meliputi

agroforestri, ekowisata, penelitian, pendidikan lingkungan serta pemberdayaan

masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Falah et al. (2007) tersebut, pemanfaatan

kawasan HLSW yang diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan Walikota

Nomor 13 tahun 2004 adalah agroforestri, pemungutan hasil hutan non kayu,

ekowisata dan pendidikan lingkungan serta kegiatan penelitian. Agroforestri:

kawasan yang telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat dijadikan blok

pemanfaatan. Setiap kepala keluarga berhak memperoleh izin pemanfaatan

maksimal dua hektar dalam jangka waktu maksimal lima tahun dan tidak dapat

dipindahtangankan. Pemungutan hasil hutan non kayu: hasil hutan non kayu

yang diperbolehkan adalah pemungutan rotan, madu, buah, tanaman obat-obatan

52

dan hasil hutan non kayu lainnya yang tidak mengganggu fungsi lingkungan.

Pemanfaatan jasa lingkungan: bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang

diperbolehkan adalah kegiatan penelitian, kunjungan formal, kunjungan

pendidikan dan pelatihan, olah raga tantangan serta ekowisata. Salah satu bentuk

pemanfaatan jasa lingkungan yang potensial adalah pemanfaatan air. Insentif

pemanfaatan air menjadi sumber pendanaan pengelolaan HLSW, dimana telah

terealisasi setiap tahun Pertamina UP V Balikpapan sebagai konsumen utama air

Waduk Wain membayar Rp 200.000.000.