inersia uteri
TRANSCRIPT
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I.1 Identitas pasien
Nama : Ny.WN
Usia : 25 tahun
Alamat : Tebet Barat, Rt013/007, Tebet, Jakarta Selatan
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No RM : 325-40-26
Masuk RSCM : 20 November 2009, pk 18.00
I.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Keluar air-air dari kemaluan sejak satu setengah jam yang lalu
(Pasien di rujuk dari puskesmas Tebet dengan Hb rendah)
Riwayat Kehamilan Sekarang
Pasien mengaku hamil 9 bulan, namun pasien tidak ingat hari pertama haid terakhir (HPHT).
Selama ini pasien kontrol kehamilan hanya 1 kali di Puskesmas Tebet saat usia kehamilan 7
1
bulan, tidak pernah dilakukan USG.namun dikatakan bayi normal dan pasien tidak pernah
mengalami tekanan darah tinggi.
Satu setengah jam yang lalu keluar air-air dari kemaluan pasien, berwarna bening
disertai lendir dan darah. Pasien juga merasakan mules yang semakin bertambah sejak 12 jam
SMRS, namun tidak bertambah banyak sejak mules yang pertama. Saat itu pasien masih dapat
merasakan gerakan janin.
Selama hamil pasien tidak pernah mengalami keputihan atau nyeri saat berkemih.
pasien juga tidak mengalami sakit kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati dan kejang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi , riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya, jantung, diabetes mellitus dan
alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi , jantung, diabetes mellitus dan alergi disangkal
Riwayat Obstetri
Pasien lupa usia saat menarche. Selama ini siklus menstruasi teratur (30 hr), lama menstruasi 4
hari, ganti pembalut 2x/hari, tidak nyeri saat haid.
Pasien tidak pernah menggunakan KB. Pasien menikah 2 kali sedangkan suami menikah untuk
yang pertama kali. Saat ini pasien tidak bekerja sedangkan suami bekerja sebagai tukang sapu.
kesan sosial ekonomi rendah.
Status obstetri G2P1A0. Anak pertama usia 2,5 tahun, lahir didukun, berat lahir 3200 gram.
I.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital :
TD : 160/90 mmHg
FN : 88x/menit
FP : 14x/menit
Suhu : afebris
Keadaan gizi : Baik
Status generalis
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-
Paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : bunyi jantung normal, murmur -, gallop –
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral hangat, CRT,2”
Status obstetrikus
TFU 34 cm , presentasi kepala, PUKI, kepala masuk 2/5, his 2x/10’/30”, TBJ 3410 gram.
I : v/u tenang, tampak air ketuban mengalir berwarna putih keruh
Io : portio tipis, ostium terbuka, tampak air ketuban mengalir, LEA -, fluor -, fluxus –
VT : portio lunak, aksial, tebal ½ cm, 7 cm, ketuban -, kepala H II
I.3 Pemeriksaan Penunjang
USG
Tampak janin presentasi tunggal hidup (JPKTH), DBP 93,2; AC 38,1; FL 71,7; TBJ 3307 gram.
Plasenta di fundus, ICA 5,1; aktivitas gerak nafas >2x/10 menit
Kesimpulan : sesuai dengan hamil aterm, air ketuban berkurang
Laboratorium
Darah Perifer Lengkap
Hb 7,4 g/dL
Ht 24
Leukosit 11.300/uL
Trombosit 656.000/uL
MCV/MCH/MCHC 55/17/31
BT/CT 03’00”/12’00”
GDS 83
Urinalisa
Sel epitel +
Leukosit 2-3
Eritrosit 0-1
Silinder/Kristal/Bakteri -/-/-
Berat jenis 1,025
pH 6,0
Protein/Glukosa/Keton -/-/++
Nitrit/leukosit esterase -/-
I.4 Daftar Masalah
G2P1H aterm, JPKTH dengan masalah
1. Inersia PK I aktif
2. Ketuban pecah 1 ½ jam, air ketuban berkurang
3. Hipertensi dalam kehamilan (HDK)
I.5 Rencana Diagnosis
Cek DPL, UL, GDS, OT/PT, Ur/Cr, LDH, albumin, BT/CT
CTG
I.6 Rencana terapi
1. Observasi TNSP, his dan DJJ/30 menit.
2. Observasi perburukan hipertensi menjadi PEB
3. Rencana awal partus pervaginam : augmentasi dengan oksitosin 5 IU/500 mL RL, naikan 4
tetes/30 menit sampai his adekuat kemudian nilai ulang 3 jam setelah his adekuat.
4. CTG saat his adekuat
5. Nifedipine 4x10 mg
I.7 Rencana Edukasi
Menjelaskan keadaan pasien dan tatalaksana tersebut kepada pasien dan keluarga.
1.8 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanactionam : Bonam
I.9 Follow Up
20 November 2009 pk 18.15
Terpasang augmentasi oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL mulai 8 tpm naik 4 tetes dalam 30 menit
sampai his adekuat, nilai 3 jam setelah his adekuat.
20 November 2009 pk 18.45
Tercapai his adekuat dengan oksitosin 8 tetes per menit --> nilai ulang 3 jam kemudian (21.45)
CTG : baseline 130 dpm, variabilitas 5-20 dpm, akselerasi +, deselerasi + dini, his +, gerak janin +
Kesan : kompresi kepala
20 November 2009 pk 19.30
S : ibu ingin meneran, gerak janin +
O : KU baik, CM, TD 140/90, FN 89x/menit, FP 22x/menit, Suhu afebris
Status generalis :
mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-
paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-
jantung : BJ I-II N, murur -, gallop -/-
ekstremitas : akral hangat
Status obstetrikus :
his 4x/10’/35”, DJJ 138 dpm
VT : portio lengkap, lengkap, kepala H III-IV, selaput ketuban -,
A : PK II
P : pimpin meneran
20 November 2009 pk 19.50
S : ibu dipimpin meneran, 20’ bayi belum lahir
O : KU baik, CM, TD 130/90, FN 98x/menit, FP 22x/menit, Suhu afebris
Status generalis :
mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-
paru : bunyi nafas vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-
jantung : BJ I-II N, murur -, gallop -/-
ekstremitas : akral hangat
Status obstetrikus :
his 4x/10’/35”, DJJ 80-90 dpm di luar dan di dalam his
VT : portio lengkap, lengkap, kepala H III-IV, selaput ketuban -, uuk kanan lintang
A : gawat janin PK II pada G2P1 Hamil aterm, JPKTH inersia PK I aktif, KP 3 ½ jam, air ketuban
berkurang, HDK
P : akhiri PK II dengan ekstraksi vakum
20 November 2009 pk 19.55
Dengan ekstraksi vakum lahir bayi laki-laki, BL 3520 gr, AS 7/9, bayi dikeringkan dan diselimuti,
tali pusat dijepit dan dipotong, ibu disuntik oksitosin 10 IU im kemudian dilakukan peregangan
tali pusat terkendali
20 November 2009 pk 20.00
Lahir spontan plasenta lengkap, dilakukan masase fundus, kontraksi baik, pada eksplorasi
didapatkanruptur perineum gr II, dilakukan jahitan hemostasis dan perineurafi. perdarahan kala
III dan IV 300 cc.
Observasi 2 jam postpartum
Jam ke Waktu TD FN Suhu TFU Kontraksi Perdarahan BAK
I 20.15
20.30
20.45
21.00
120/80
120/80
120/80
120/70
92
92
90
90
36,5 2 jbpst
2 jbpst
2 jbpst
2 jbpst
Baik
Baik
Baik
Baik
-
-
-
-
-
-
-
-
II 21.30
22.00
120/70
120/70
88
88
36,4 2 jbpst
2 jbpst
Baik
Baik
-
-
-
-
Laboratorium post partum
Darah Perifer Lengkap
Hb 6,9 g/dL
Ht 21
MCV/MCH/MCHC 63/21/34
Leukosit 19.700/uL
Trombosit 330.000/uL
BAB II
PEMBAHASAN UMUM
2.1. DISTOSIA
2.1.1. Definisi
Distosia adalah suatu persalinan yang sulit, ditandai dengan kemajuan persalinan yang
lambat. Untuk menentukan adanya distosia dapat menggunakan batasan waktu ataupun
kelajuan proses. Distosia dapat terjadi pada kala I ataupun kala II persalinan. Distosia pada
kala I aktif persalinan dapat dikelompokkan menjadi proses persalinan yang lambat
(protraction disorder) ataupun tidak adanya kemajuan persalinan sama sekali (arrest
disorder).
American college of Obstetricians dan Gynecologist (ACOG) memiliki definisi sendiri
mengenai gangguan kemajuan persalinan yang diadaptasi dari definisi awal pada tahun
1983. Distosia pada kala II persalinan ditandai dengan:
1. Pada nulipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
2. Pada nulipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 3 jam
3. Pada multipara tanpa anestesi regional kala II lebih dari 1 jam
4. Pada multipara dengan anestesi regional kala II lebih dari 2 jam
Proses persalinan yang macet (distosia) dapat terjadi akibat adanya gangguan pada salah
satu atau kombinasi dari empat komponen di bawah ini:
1. Gangguan pada daya pendorong, termasuk di dalamnya adalah gangguan
kontraksi uterus dan gangguan meneran
2. Gangguan presentasi, posisi, dan perkembangan janin
3. Gangguan pada tulang pelvis ibu
4. Gangguan pada jaringan lunak traktus reproduksi yang dapat menghalangi
penurunan janin
Secara lebih sederhana penyebab distosia dapat dikategorikan menjadi tiga P:
1. Gangguan pada powers (kontraksi uterus dan usaha meneran ibu)
2. Gangguan pada passenger (posisi janin, presentasi janin, dan ukuran janin)
3. Gangguan pada passage rongga pelvis dan jaringan lunak pada jalan lahir
2.2. DISTOSIA KARENA GANGGUAN PADA DAYA PENDORONG
2.2.1. Fisiologi kontraksi uterus
Reynolds dkk (1948) menggarisbawahi bahwa kontraksi uterus saat persalinan normal
ditandai dengan adanya gradient dari kontraksi uterus, dimana gradient terlama dan
terkuat adalah pada fundus (dominasi fundus) dan menjadi berkurang kearah serviks.
Caldeyro-Barcia dkk (1950) dari Montevideo, Uruguay, memasukkan balon kecil ke
miometrium pada beberapa level. Mereka menyatakan selain adanya gradient aktivitas,
didapatkan pula perbedaan onset dari kontraksi uterus di fundus, midzone dan uterus
bagian bawah. Larks (1960) mendeskripsikan bahwa stimulus kontraksi berasal kornu dan
beberapa milisekon kemudian sudah mencapai tempat lainnya, sehingga eksitasi akan
bergabung menjadi satu di fundus dan akan berjalan bersamaan ke bawah uterus.
2.2.2. Gangguan kontraksi uterus
Disfungsi uterus dapat dibedakan menjadi dua:
1. Disfungsi uterus hipotonik, yakni bagian basal uterus tidak hipertonus dan kontraksi
uterus simetris tetapi kekuatan selama kontraksi tidak cukup untuk membuat serviks
berdilatasi
2. Disfungsi uterus hipertonik atau disfungsi inkoordinasi, yakni kekuatan kontraksi bagian
basal berlebihan atau kekuatan dari fundus tidak tersalurkan dengan baik ke seluruh bagian
uterus
Montevideo dkk juga menemukan fakta bahwa tekanan kontraksi minimal untuk
mendilatasikan serviks adalah 15 mmHg. Hal ini sejalan dengan hasil yang ditemukan
Hendricks dkk yang melaporkan bahwa kuat kontraksi spontan yang normal biasanya 60
mmHg keatas. Dari observasi ini dapat disimpulkan ada 2 tipe dari disfungsi uterus yakni
hypotonus uterine dysfunction dan hyperteonic uterus dysfunction. Pada hypotonus uterine
dysfunction tidak ada hipertonus dan kontraksi uterus masih dalam pola normal, dan
kontraksi tersebut tidak cukup untuk mendilatasikan serviks. Pada hypertonic uterine
dysfunction, terjadi peningkatan tonus basal atau gangguan gradient tekanan. Gangguan
gradient tekanan dapat terjadi karena adaya kontraksi segmen uterus pada bagian selain
fundus, dan kontraksinya lebih kuat dari bagian fundus atau juga dapat terjadi asinkroni
dari impuls yang berasal dari kornu.
Gangguan kontraksi uterus dapat terjadi pada fase aktif (kala 1) ataupun pada kala 2.
2.2.3. Klasifikasi gangguan uterus
1. Inersia uterus hipotonik (Hypotonic Uterine Inertia)
Definisi
Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek
Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang dapat
mempengaruhi
1. Faktor umum
1. Primigravida terutama pada usia tua
2. Anemia dan asthenia
3. Perasaan tegang dan emosional
4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin
5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik
6. Faktor lokal
1. Overdistensi uterus
2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia
3. Mioma uterus
4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik
5. Kandung kemih dan rektum penuh
Tipe
1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal
2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus yang
sebelumnya baik
Gambaran klinis
1. Waktu persalinan memanjang
2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu pendek
3. Dilatasi serviks lambat
4. Membran biasanya masih utuh
5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan paska persalinan
karena intarsia persisten
6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan amplitude pendek
Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan umum :
1. Pemeriksaan untuk menentukan disproporsi, malresentasi atau malposisi dan
tetalaksana sesuai dengan kasus
2. Penatalaksaan kala 1 yang baik
3. Pemberian antiobiotik pada proses persalinan yang memanjang terutama pada
kasus dengan membrane plasenta telah pecah
4. Amniotomi
1. Bila cervik telah berdilatasi > 3 cm
2. Bila presentasi bagian terbawah janin telah berada pada bagian bawah uterus
3. Ruptur membrane buatan (artificial) yang dapat menyebabkan augmentasi
kontraksi uterus. Hal ini terjadi karena pelepasan prostaglandin, dan terdapatnya
reflex stimulasi kontraksi uterus ketika bagian presentasi bayi semakin mendekati
bagian bawah uterus.
4. Oksitosin
5 unit oksitosin (syntocinon) dalam 500 cc glukosa 5% diberikan IV. Tetesan infuse
mulai dari 10 tetes/menit, dan kemudian meningkat secara bertahap sehingga
mendapatkan kontraksi uterus rata – rata 3x dalam 10 menit.
5. Metode persalinan
1. Persalinan per vaginam : Dengan menggunakan forceps, vakum atau ekstraksi.
Hal ini bergantung kepada bagian presentasi bayi, cerviks telah pembukaan
lengkap.
2. Operasi cesar sesario diindikasi pada : (1) Kegagalan denga metode tersebut, (2)
Kontraindikasi terhadap infuse oksitosin, missal pada kasus disproporsi, (3) Distres
fetal sebelum terjadi dilatasi cervical.
3. Inersia uterus hipertonus (Uncoordinated Uterine Action)
Tipe
1. Colicky uterus : Terjadi kontraksi uterus dari bagian uterus yang berbeda dan tidak
terdapat koordinasi yang baik
2. Segmen uterus bagian bawah hiperaktif : Sehingga dominasi bagian atas uterus menjadi
hilang.
Manifestasi Klinis
1. Persalinan menjadi memanjang
2. Kontaksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. Nyeri dirasakan sebelum dan selama
kontraksi
3. Tekanan istirahat intrauterine tinggi
4. Dilatasi cerviks lama
5. Ketuban pecah dini
6. Distress fetal dan maternal
Penatalaksaan
1. Pemeriksaan umum : Sama seperti inersia hipouteri
2. Pemberian analgesic dan antispasmodic, missal pethidine
3. Analgesia epidural memiliki keuntungan yang baik
4. Operasi cesar diindikasikan pada”
1. Kegagalan metode sebelumnya
2. Disproporsi
3. Distal fetus sebelum mengalami pembukaan sepertu
2.2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada disfungsi uterus
1. Analgesia epidural
2. Perlu diperhatikan bahwa analgesia epidural dapat menyebabkan perlambatan proses
persalinan (Sharma and Leveno, 2000). Seperti yang tertera pada table berikut,
analgesia dapat memperlambat persalinan kala 1 dan kala 2
3. Korioamnionitis
Karena pada banyak kasus terdapat hubungan antara pemanjangan waktu persalinan
dengan infeksi intrapartum, beberapa klinisi menyimpulkan bahwa infeksi dapat
menyebankan aktivitas uterus yang tidak normal. Satin dkk (1992) mempelajari efek
korioamnionitis terhadap 266 stimulasi persalinan dengan oksitosin. Korioamnionitis
yang terdeteksi terlambat pada persalinan merupakan marker untuk operasi sexio,
namun korioamnitis yang ditemukan dini pada masa persalinan tidak diasosiasikan
dengan hal tersebut. Empat puluh persen wanita yang menderita korioamnionitis
setelah mendapatkan oksitosin untuk distosia persalinan pada akhirnya membutuhkan
sexio. Namun beberapa ahli berpendapat bahwa infeksi uterus merupakan konsekuensi
dari persalinan yang lama, bukan penyebab distosia.
4. Posisi ibu sewaktu persalinan
Berjalan-jalan sewaktu persalinan kala 1 dapat memperpendek waktu persalinan,
menurunkan jumlah oksitosin yang dibutuhkan nantinya, menurunkan kebutuhan
analgesia, dan menurunkan frekuensi episiotomi (Flynn dkk, 1978). Menurut Miller
(1983), uterus akan berkontraksi lebih sering dengan intensitas yang lebih kurang
dengan posisi supide dibandingkan dengan posisi miring. Kebalikannya, akan terjadi
bila posisi ibu duduk atau berdiri. Namun Bloom dkk (1998) membuktikan bahwa
ambulansi (berjalan-jalan) tidak mempercepat maupun memperlambat persalinan
pada wanita nullipara dan wanita multipara. The American College of Obstetricians and
Gynecologist (2003) telah menyimpulkan bahwa ambulasi tidak berbahawa dan
mobilitas dapat membuat si ibu lebih nyaman.
Pada kala 2 didapatkan banyak pendapat. Johnson dkk (1991) menemukan bahwa
penggunaan alat bantuan persalinan seperti kursi persalinan, pada beberapa RCT tidak
memiliki hasil yang dapat disimpulkan dan cenderung subjektif. Ada juga yang
melaporkan keuntungan dari menghindari posisi litotomi, sehingga akan didapatkan
pelvic outlet yang lebih luas. Russel (1969) melaporkan daerah pelvic outlet akan lebih
luas dengan posisi jongkok dibandingkan dengan supine. Sementara gupta dkk (1991)
melaporkan bawa tidak ada perbedaan dimensi pelvic outlet dengan posisi supine atau
jongkok. Crowley (1991) melaporkan tidak ada keuntungan yang lebih dari penggunaan
kursi persalinan, dan hal ini malah meningkatkan kejadian perdarahan. De Jong dkk
(1997) menemukan bahwa tidak ada peningkatan frekuensi perdarahan pada posisi
duduk. Posisi berdiri/tegak juga tidak mempengaruhi hasil obstetri pada persalinan kala
2, keuntungan yang didapatkan pada hal ini adalah nyeri ibu yang lebih kurang dan
kepuasan ibu terhadap pengalaman persalinan. Babayer dkk (1998) melaporkan bahwa
duduk atau jongkok yang terlalu lama pada persalinan kala 2 dapat menyebabkan
neuropati perineal.
5. Imersi air
Pendekatan ini ditujukan untuk mendapatkan relaksasi persalinan sehingga akan
menyebabkan persalinan yang lebih efisien dan lancar (Odent, 1983). Schorn dkk (1993)
melaporkan bahwa tekhnik ini tidak mempengaruhi dilatasi serviks, waktu persalinan,
rute kelahiranm atau penggunaan analgesia. Robertson dkk (1998) melaporkan bahwa
tekhnik imersi air tidak diasosiasikan dengan korioamnionitis ataupun endometriosis.
Kwee dkk (2000) melaporkan tekhnik imersi air dapat menurunkan tekanan darah ibu
dan tidak mempengaruhi tekanan darah fetus.
2.2.5. Diagnosis
Abnormalitas kontraksi uterus dibedakan berdasarkan fase menjadi:
1. Active Phase Disorder
Gangguan ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu protraction disorder dan arrest
disorder. Pada protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat dari
seharusnya (dilatasi serviks kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan minimal 4 jam),
sedangkan pada arrest disorder , tidak ada perkembangan sama sekali. Kedua
diagnosis ini hanya dapat ditegakkan dalam keadaan wanita berada dalam fase aktif
dengan dilatasi minimal 4 cm. Delapan puluh persen wanita dengan active phase
disorder memiliki kontraksi uterus yang tidak adekuat (kurang dari 180 montevideo
unit).
2. Second Stage Disorder
Pada pembukaan lengkap, pada umumnya perempuan tidak dapat menahan rasa
ingin mendorong pada saat uterus berkonstraksi. Otot – otot abdomen akan
dikontraksikan berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen berkali – kali
untuk meningkatkan tekanan intra abdomen sepanjang kontraksi. Kontraksi uterus
dan otot abdomen mendorong janin keluar. Analgesia atau sedasi berat dapat
menurunkan reflex / rasa ingin berkonstraksi dan juga menurunkan kemampuan
perempuan untuk melakukan konstraksi otot abdomen.
Tabel 1 Pola persalinan Abnormal, Kriteria Diagnostik, dan Penatalaksanaan
Kriteria Diagnostik
Pola Nullipara Multipara Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Persalinan khusus
Prolongation
Disorder
(Pemanjangan
Fase Laten)
> 20 jam > 14 jam Tirah baring Oksitosin atau section
cesarean pada
keadaan emergensi
Protraction
Disorders
1. Protracted
active – phase
dilatation
< 1.2 cm /
jam
< 1.5 cm Manajemen
ekspentansi
CPD
2. Protracted
descent
< 1.0 cm /
jam
< 2 cm / jam Manajemen
ekspentansi
CPD
Arrest
Disorders
1. Prolonged
deceleration
> 3 jam > 1 jam Oksitosin tanpa
CPD
Istirahat bila
kelelahan
2. Secondary
arrest of
dilatatiom
3. Arrest if
descent
> 2jam > 2 jam Sectio Cesarea
dngan CPD
Section Cesarea
Sumber : Cunningham F. Gary. Dystocia: abnormal labor. Wiliams Obstetrics. Edisi 22.
USA:Mc Graw-Hill.2005
1. Penatalaksanaan
Diperlukan pengawasan dalam persalinan lama oleh sebab apa pun. Penatalaksanaan
mencakup pengukuran tekanan darah tiap 4 jam, pencatatan denyut jantung janin tiap
setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II, pemberian infus larutan glukosa
5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena bergantian, pemberian antinyeri berupa
petidin 50 mg. Selain pemeriksaan di atas juga perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mengetahui apakah persalinan sudah benar dimulai atau tidak dan apakah terdapat
disproporsi sefalopelvik atau tidak.
Penatalaksanaan terhadap hypotonic uterine contraction meliputi:
1. Pemeriksaan keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya kepala janin dalam
panggul dan keadaan panggul
2. Memperbaiki keadaan umum ibu
3. Pengosongan kandung kencing serta rektum
4. Pemberian oksitosin, 5 satuan IU dalam laturan glukosa 5% diberikan infus intravena dengan
kecepatan 12 tetes per menit. Pemberian infus oksitosin memerlukan pengawasan
ketat. Infus dihentikan bila kontraksi uterus berlangsung lebih dari 60 detik atau kalau
denyut jantung janin melambat atau menjadi lebih cepat. Oksitosin jangan diberikan
pada grande multipara dan pernah mengalami seksio sesarea karena dapat
menyebabkan terjadinya ruptur uteri.
Penatalaksaan dalam hypertonic uterine contraction
Meliputi pengobatan secara simptomatis. Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi
pengurangan tonus otot dan ketakutan penderita.
1. Induksi dan Akselerasi persalinan
2.3.1. Definisi
Induksi persalinan adalah merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan
Akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus
dalam persalinan
2.3.2. Tujuan
Tujuan tindakan tersebut adalah mencapai his 3x dalam 10 menit, lamanya 40 detik
2.3.3.Metode Induksi dan Akselerasi
1. Oksitosin
Prasyarat
1. Diberikan ketika proses kehamilan telah berada dalam fase aktif
2. Keadaan jalan lahir ibu memungkinkan bayi dapat lahir dengan perhitungan:
(1)Konjugata diagonalis normal, (2) Dinding dalam pelvis parallel, (3) Spina
ishiadika tidak prominen, (4) Sakrum tidak mendatar, (5) Sudut subpubik tidak
sempit, (6) Kepala bayi telah melewati pintu atas panggul atau telah turun dengan
tekanan dari fundus.
Indikasi
1. Induksi atau augmentasi
Pemantauan selama tindakan
2. Pemantauan denyut nadi, tekanan darah, dan kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut
jantung janin (DJJ)
3. Catat semua pengamatan pada partograf tiap 30 menit : (1) kecepatan infus
oksitosin, (2) frekuensi dan lamanya kontraksi, (3) Denyut jantung janin (DJJ).
Dengar DJJ tiap 30 menit dan selalu langsung setelah kontraksi. Apbila DJJ
kurang dari 100 menit/menit, segera hentikan infuse
Metode pemberian oksitosin
1. Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau garam fisiologik) mulai dengan
10 tetes per menit
2. Naikkan kecepatan infuse 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat
(3x tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) dan pertahankan sampai terjadi
kelahiran
3. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih dari 4
kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infuse dan kurangi hiperstimulasi
dengan: (1) Terbutalin 250 mcg IV pelan – pelan selama 5 menit, atau (2)
Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (gram fisiologis atau Ringer laktat) 10
tetes/menit
4. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih
dari 40 detik) setelah pemberian infuse oksitosin mencapai 60 tetes/menit: (1)
Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose (atau garam
fisologis) dan sesuaikan kecepatan infuse sampai 30 tetes/menit (15 mIU/menit),
(2)Naikkan kecepatan infuse 10 tetes per menit tap 30 menit sampai kontraksi
adekuat (3x tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) atau setelah infuse
oksitosin mencapai 60 tetes per menit
5. Jika masih tidak tercapai kontraksi yang adekuat dengan konsentrasi yang lebih
tinggi:
1. Pada multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan seksio sesarea
2. Pada Primigravida, infuse oksitosin bisa dinaikkan konsentrasinya yaitu: 10 unit
dalam 500 ml dekstrose (atau garam fisiologik) 30 tetes per menit. Kemudian
naikkan 10 tetes tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat. Jika kontraksi tetap
tidak adekuat setelah 60 tetes per menit (60 mIU per menit, lakukan seksio
sesarea)
3. Jangan berikan oksitosin 10 unit dalam 500 ml pada multigravida dan pada bekas
seksio sesarea
4. Prostaglandin
Indikasi:
5. Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi persalinan
Pemantauan selama pemberian:
6. Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung
janin (DJJ). Catat semua pengamatan pada partograf
Metode pemberian:
7. Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau gel 2 – 3 mg ditempatkan pada
forniks posterior vagina dan dapat diulangi 6 jam kemudian (jika his tidak timbul)
8. Hentikan pemberian prostaglandin dan mulailah infuse oksitosin jika: (1) Ketuban
pecah, (2) Pematangan serviks telah tercapai, (3) Proses persalinan telah
berlangsung, (4) atau pemakaian prostaglandin telah 24 jam.
9. Misoprostol
Indikasi:
1. Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks hanya pada kasus – kasus
tertentu misalnya : (1) Preeklampsia berat / eklampsia dan serviks belum matang
sedangkan seksio sesarea belum dapat segera dilakukan atau bayi terlalu
premature untuk bisa hidup, (2) Kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu
belum in partu, dan terdapat tanda – tanda ganguan pembekuan darah
Metode pemberian:
2. Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks posterior vagina dan jika his tidak
timbul dapat diulangi setelah 6 jam
3. Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25 mcg, naikkan dosis menjadi 50 mcg
tiap 6 jam
4. Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali pakai, dan jangan lebih dari 4 dosis atau 200
mcg
5. Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian rupture uteri. Oleh karena
itu, hanya dikerjakan di pelayanan kesehatan yang lengkap
6. Jangan memberikan oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol
7. Amniotomi
Indikasi:
1. Induksi atau augmentasi
2. Dari hasil pemeriksaan monitoring denyut jantung janin, diambil tindakan yang
dapat mencegah terjadinya janin jeopardy
3. Dari pemeriksaan kontraksi intrauterus, ketika dalam proses persalinan kontraksi
tidak memenuhi syarat
4. Elektif amniotomi dapat dilakukan untuk mendeteksi mekonium
Pemantauan selama tindakan:
1. Periksa denyut jantung janin
2. Lakukan pemeriksaan serviks dan catat konsistensi , posisi, penipisan, dan bukaan
serviks dengan menggunakan sarung tangan DTT
Tekhnik tindakan
1. Masukkan ½ kokher yang dipegang tangan kiri dengan bimbingan telunjuk dan jari
tengah tangan kanan hingga menyentuh selaput ketuban
2. Gerakkan kedua ujung jari tangan dalam untuk menorehkan gigi kokher hingga
merobek selaput ketuban
3. Cairan ketuban akan mengalir perlahan. Catat warnanya, kejernihan, pewarnaan,
mekonium,jumlahya. Jika ada pewarnaan mekoneum, suspek gawat janin
4. Pertahankan jari tangan dalam vagina agar cairan ketuban mengalir perlahan dan
ykin tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat yang menumbung
5. Setelah amniotomi, periksa DJJ pada saat kontraksi dan sesudah kontraksi uterus.
Apabila ada kelainan DJJ (kurang dari 100 atau lebih dari 180 DJJ/menit)
suspek gawat janin
6. Jika kelahiran diperkirakan tidak terjadi dalam 18 jam, berikan antibiotka
pencegahan: PenisilinG 2 juta unit IV atau ampisilin 2g IV (ulangi tiap 6 jam
sapai kelahiran). Jika pasien tidak ada tanda – tanda infeksi sesudah kelahiran,
antibiotik dihentikan
7. Jika proses persalinan yang baik tidak terjadi dalam 1 jam setelah amniotomi,
mulailah dengan infuse oksitosin
8. Pada persalinan dengan masalah misalnya sepsis atau eklampsia,infus oksitosin
dilakukan bersamaan dengan amniotomi
9. Kateter Foley
Indikasi:
1. Kateter foley merupakan alternative lain di samping pemberian prostaglandin untuk
mematangkan serviks dan induksi persalinan
2. Jangan lakukan kateter Foley jika ada riwayat perdarahan, ifeksi vaginal, ketuban
pecah, pertumbuhan janin terhambat
Metode tindakan
3. Pasang speculum DTT di vagina
4. Masukkan kateter Foley pelan – pelan melalui serviks dengan menggunakan forsps
DTT. Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
5. Gelumbangkan balon kateter dengan menggunakan 10 ml air
6. Gulung sisa kateter dan letakkan di vagina
7. Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau sampai 12 jam
8. Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkan kateter, kemudian lanjutkan dengan
infuse oksitosin
9. Laminaria
1. Dengan menggunakan laminaria dapat tercapai pematangan cerviks. Dapat dipasang
saat malam hari sebelum dilakukan kelahiran pada keesokan harinya
2. Stripping Membranes
Metode tindakan:
1. Memasukkan tangan telunjuk ke dalam ostium sedalam mungkin dan kemudian
memutari ostium 360 derajat hingga 2 x putaran.
Komplikasi:
2. Dapat berpotensi menimbulkan infeksi, perdarahan dari plasenta previa yang tidak
terdiagnosa sebelumnya atau plasenta letak rendah, dan resiko rupture membrane
1. PENYAKIT HIPERTENSI SELAMA KEHAMILAN
2.4.1 Klasifikasi
1. Hipertensi dalam kehamilan / Hipertensi Gestasional
2. Preeklampsia
3. Eklampsia
4. Preeclampsia superimposed on chronic hypertension
5. Hipertensi kronik
Tabel 1. Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan1
Hipertensi Gestasional
Tekanan Darah (TD) > 140/90 mm Hg untuk pertama kali selama kehamilan
Tidak ada proteinuria
TD kembali normal < 12 minggu postpartum
Diagnosis akhir dibuat saat postpartum
Mungkin memiliki tanda atau gejala preeklampsia seperti nyeri epigastrium atau
trombositopenia
Preeklampsia
Kriteria minimal
TD > 140/90 mm Hg setelah usia kehamilan 20 minggu
Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ dipstick
Tanda dan gejala yang lebih mengarah pada preeclampsia
TD > 160/110 mg Hg
Proteinuria 2.0 g/24 hours atau > 2+ dipstick
Kreatinin darah > 1.2 mg/dL kecuali diketahui terdapat peningkatan dari sebelumnya
Trombosit < 100,000/mm
Hemolisis mikroangiopati (Peningkatan LDH)
Peningkatan ALT atau AST
Sakit kepala menetap atau gangguan penglihatan
Nyeri epigastrium menetap
Eklampsia
Kejang yang tidak dapat diketahui penyebab lainnya pada wanita dengan preeclampsia
Superimposed Preeclampsia on chronic hypertension
Proteinuria onset baru > 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi tapi tanpa
proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu
Peningkatan cepat proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100.000 pada
wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu
Hipertensi Kronik
TD > 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20
minggu
Atau
Hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap setelah
12 minggu
1. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN / HIPERTENSI GESTASIONAL
2.5.1.Definisi
Tekanan darah sistolik > 140 mm Hg dan/atau diastolik > 90 mm Hg pada 2 kali
pemeriksaan yang berjarak kurang lebih 6 jam setelah usia kehamilan 20 minggu pada
wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal sebelum kehamilan atau sebelum
usia kehamilan 20 minggu.
Hipertensi gestasional dikatakan memberat bila terdapat peningkatan tekanan darah
sistolik mencapai > 160 mm Hg dan/atau diastolik > 100 mm Hg.
2.5.2.Insiden
Hipertensi gestasional adalah penyebab paling sering masalah hipertensi selama kehamilan
dengan insiden berkisar antara 6-17% pada wanita nulipara dan antara 2-4% pada wanita
multipara. Angka ini akan meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia
sebelumnya dan kehamilan ganda. Wanita dengan hipertensi gestasional dapat
berkembang menjadi preeklampsia dengan tingkat progresi tergantung dari usia gestasi
saat didiagnosis.
2.5.3.Perawatan Antepartum
Pengobatan optimal pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan sebelum usia
kehamilan 37 minggu masih kontroversial. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai
manfaat rawat inap, istirahat total, dan penggunaan obat antihipertensi.
Rawat inap
Dari berbagai penelitian, wanita dengan hipertensi gestasional, hipertensi ringan, dan
preeklampsia ringan disarankan untuk berobat jalan saja. Namun bila ada peningkatan
tekanan darah secara cepat menjadi nilai yang berat atau terdapat proteinuria (2+ atau
lebih) membutuhkan perawatan di RS untuk evaluasi yang lebih ketat.
Istirahat
Istirahat total atau sementara selama kehamilan sering disarankan untuk wanita dengan
hipertensi ringan-preeklampsia. Namun tidak ada bukti terbaru yang mendukung
rekomendasi ini meningkatkan outcome kehamilan. Sebagai tambahan, tidak ada penelitian
yang membandingkan istirahat total dengan pembatasan aktivitas pada tatalaksana wanita
dengan preeklampsia ringan. Di lain pihak, istirahat yang terlalu lama meningkatkan risiko
tromboemboli.
Obat Antihipertensi
Sudah banyak penelitian yang membandingkan penggunaan obat antihipertensi dengan
tanpa pengobatan atau placebo pada pengobatan wanita dengan hipertensi ringan atau
preeklampsia. Secara umum, penelitian ini menunjukkan tingkat progresi menjadi berat
yang rendah, dengan tidak ada perbedaan pada outcome perinatal.
Suplementasi
Berdasarkan hasil penelitian, suplementasi kalsium atau aspirin dosis rendah perlu
diberikan secara rutin untuk mencegah preeklampsia pada wanita nulipara. Sedangkan,
pemberian zinc, magnesium, minyak ikan, dan vitamin C dan E tidak perlu diberikan secara
rutin.
Pengawasan Ibu dan Janin
Tujuan pemantauan pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan adalah untuk
observasi terjadinya perburukan. Semua wanita perlu dievaluasi adanya gejala disfungsi
organ seperti sakit kepala berat, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, mual-muntah
sesak napas, dan penurunan volume urin. Juga dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti
protein urin 24 jam, kreatinin darah, trombosit, dan enzim hati. Evaluasi terhadap janin
yang disarankan adalah taksiran berat janin, indeks cairan amnion, velosimetri Doppler.
2.5.4.Rekomendasi Tatalaksana
Tujuan utama manajemen wanita dengan hipertensi gestasional-preeklampsia adalah
keselamatan ibu dan persalinan bayi matur yang tidak membutuhkan perawatan neonatus
intensif dan lama.
Secara umum, wanita dengan hipertensi ringan yang muncul pada usia kehamilan 37
minggu dan normotensi memiliki outcome yang sama. Jadi, pada wanita dengan serviks
yang matang dekat atau sesuai waktu persalinan dan pasien tanpa komplikasi sebaiknya
menjalani induksi persalinan. Namun bila serviks belum matang dapat diberikan
prostaglandin dan dilakukan induksi persalinan karena pada ibu terjadi peningkatan risiko
solusio plasenta dan progresi penyakit menjadi berat. Persalinan juga disarankan pada
wanita dengan usia kehamilan > 34 minggu bila terdapat ruptur membran, tanda
persalinan, pemeriksaan janin abnormal, dan pertumbuhan intrauterin terhambat.
Pada wanita yang tidak dilakukan persalinan, disarankan untuk makan seperti biasa tanpa
pengurangan garam, mengurangi aktivitasnya tapi tidak istirahat total. Penggunaan diuretik
atau obat antihipertensi tidak disarankan karena dapat menutupi gejala perburukan,
kecuali yang memang sudah mengalami preeklampsia berat. Saat kunjungan, wanita ini
perlu diedukasi dan diminta untuk melaporkan gejala preeklampsia berat. Mereka juga
disarankan untuk secepatnya datang ke RS bila mengalami nyeri perut, kontraksi uterus,
perdarahan vagina, atau penurunan gerakan janin.
2.5.5. Outcome ibu dan perinatal
Beberapa penelitian membandingkan outcome kehamilan pada wanita dengan hipertensi
gestasional dengan normotensi dan preeklampsia berat. Usia kehamilan saat persalinan
dan berat lahir pada wanita dengan hipertensi gestasional lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita normotensi. Begitu juga dengan angka induksi persalinan dan operasi
caesar. Di lain pihak, morbiditas maternal dan perinatal meningkat pada wanita dengan
hipertensi gestasional berat. Namun, angka abruptio placentae, kehamilan preterm, dan
bayi kecil masa kehamilan memiliki perbandingan yang sama dengan wanita preeklampsia
berat.
2. EKSTRAKSI VAKUM
2.6.1. Definisi
Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala
pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena
itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor
yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke
arah yang sama. Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman
yang dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan
memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk
dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui
seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh
kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).
2.6.2. Indikasi
Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks.
2.6.3. Kontraindikasi
Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong).
Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul).
2.6.4.Syarat khusus
Pembukaan lengkap atau hampir lengkap
Presentasi kepala
Cukup bulan (tidak prematur)
Tidak ada kesempitan panggul
Anak hidup dan tidak gawat janin
Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)
Kontraksi baik
Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan
2.6.6.Prinsip ekstraksi vakum:
Membuat suatu caput succadeneum artifisialis dengan cara memberikan tekanan negatif
pada kulit kepala janin melalui alat ekstraktor vakum.
Gambar 1. Caput Succadeneum
Gambar 2. Pemasangan cawan penghisap dalam keadaan miring
2.6.7. Langkah-langkah klinik
1. Persetujuan tindakan
2. Persiapan sebelum tindakan
B.I. Pasien
1. Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha sudah
dibersihkan dengan air dan sabun.
2. Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.
3. Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.
4. Medikamentosa
1. Oksigen
2. Ergometrin
3. Prokain 1%
1.Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)
2.Oksigen dengan regulator
3.Instrumen
1. Set partus : 1 set
2. Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2
3. Cunam tampon : 1
4. Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2
5. Spekulum Sim’s atau L dan kateter karet : 2 dan 1
B.II Penolong (operator dan asisten)
1. Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata pelindung : 3 set
2. Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang
3. Alas kaki (sepatu/”boot” karet) : 3 pasang
4. Instrumen
1. Lampu sorot : 1
2. Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1
B.III. Bayi
1. Instrumen
1. Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set
2. Kain penyeka muka dan badan : 2
3. Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1
4. Inkubator : 1 set
5. Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set
6. Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2
7. Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2
8. Popok dan selimut : 1
9. Alat resusitasi bayi
2. Medikamentosa
1. Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%
2. Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB
3. Epinefrin 0,01%
4. Antibiotika
5. Akuabidestilata dan Dekstrose 10%
1. Oksigen dengan regulator
1. Pencegahan infeksi sebelum tindakan
2. Tindakan
1. Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan
petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.
2. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan
ekstraksi vakum.
1. Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.
2. Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%,
bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan,
lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.
3. Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.
1. Pemasangan mangkok vakum
1. Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi
(perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak
rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).
2. Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan dengan
jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di sekeliling tepi
mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit
di antara mangkok dan kepala.
3. Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan
dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.
4. Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam
mangkok) secra bertahap.
5. Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2
menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu 2
menit.
Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih dari 8
menit.)
6. Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase
acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut
dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif.
1. Penarikan
1. Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara
simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada
saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.
2. Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua.
Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat
kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.
Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir, sebaiknya
pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).
Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali, kondisi
ini juga mengharuskan pasien dirujuk.
1. Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga
lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.
1. Melahirkan bayi
1. Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan bahu
depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang,
kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.
2. Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali pusat
dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.
2. Lahirkan plasenta
1. Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan menarik
tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.
2. Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang lepas
atau tidak lengkap).
3. Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).
1. Eksplorasi jalan lahir
1.Masukkan spekulum Sim’s/L atas dan bawah pada vagina.
2.Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau
robekan pada dinding vagina di tempat lain.
3.Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian ke
arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan porsio.
4.Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan lanjutkan ke
langkah K.
5.Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.
2. Penjahitan episiotomi
1.Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang telah
disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot,
jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.
2.Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan pinset
bergigi.
3.Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain
penutup perut bawah dengan kocher.
4.Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa secara
jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit secara
subkutikuler atau jelujur matras.
5.Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon dapat
dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.
6.Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang telah
diberi larutan antiseptik.
7.Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan
episiotomi.
1. Dekontaminasi
2. Cuci tangan pascatindakan
3. Perawatan pascatindakan
1.Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi lanjut bila
diperlukan.
2.Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom yang
tersedia dalam status pasien.
3.Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi
pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan
lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.
2.6.8.Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum
1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal ini biasanya
terjadi oleh karena :
1. Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh karenakerusakan pada
alat atau pembentukan caput succedaneum yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2
menit)
2. Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit diantara cawan penghisap
dengan kepala anak.
3. Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara harmonis, traksi
dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang cawan penghisap atau traksi
dilakukan dengan tenaga yang berlebihan.
4. Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)
5. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.
2.6.9. Komplikasi
Pada Ibu :
6. Perdarahan
7. Infeksi jalan lahir
8. Trauma jalan lahir
Pada anak :
1. Ekskoriasi dan nekrosis kulit kepala
2. Cephal hematoma
3. Subgaleal hematoma
4. Perdarahan intrakranial
5. Perdarahan subconjuntiva, perdarahan retina
6. Fraktura klavikula
7. Distosia bahu
8. Cedera pada syaraf cranial ke VI dan VII
9. Erb paralysa
10. Kematian janin
2.6.10.Keunggulan ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:
1. Tehnik pelaksanaan relatif lebih mudah
2. Tidak memerlukan anaesthesia general
3. Ukuran yang akan melewati jalan lahir tidak bertambah (cawan penghisap tidak
menambah ukuran besar bagian anak yang akan melwati jalan lahir)
4. Trauma pada kepala janin relatif rendah
2.6.11.Kerugian ekstraktor vakum dibandingkan ekstraksi cunam:
1. Proses persalinan membutuhkan waktu yang lebih lama.
2. Tenaga traksi pada ekstraktor vakum tidak sekuat ekstraksi cunam.
3. Pemeliharaan instrumen ekstraktor vakum lebih rumit.
4. Ekstraktor vakum lebih sering menyebabkan icterus neonatorum.
2.6.12.Berbagai rekomendasi berkaitan dengan tindakan ekstraksi vakum :
1. Klasifikasi persalinan dengan ekstraksi vakum hendaknya menggunakan klasifikasi yang
sama dengan ekstraksi cunam.
2. Indikasi dan kontraindikasi yang dipakai dalam ekstraksi cunam hendaknya juga
digunakan pada ekstraksi vakum.
3. Ekstraksi vakum tidak boleh dilakukan pada kepala yang masih belum engage atau
diatas station 0.
4. Operator hendaknya memiliki pengalaman yang cukup dalam menggunakan peralatan
ekstraksi vakum.
5. Operator harus segera menghentikan usaha persalinan pervaginam dengan ekstraksi
vakum bila cawan penghisap terlepas sampai 3 kali saat melakukan traksi.
2.7 ANEMIA DALAM KEHAMILAN
2.7.1 Definisi
Pengukuran hematologi telah dilakukan secara luas pada wanita hamil yang sehat. Seperti
ditunjukkan pada Tabel 51-1, anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang
dari 12 g/dl pada wanita tidak hamil dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau
puerperium. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (1990) mendefinisikan anemia
sebagai kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga dan kurang dari 10,5 g/dl
pada trimester kedua (Tabel 1).
Tabel 1. Konsentrasi Hemoglobin pada 85 wanita sehat
Hemoglobin (g/dL) Tidak Hamil Pertengahan
Kehamilan
Akhir Kehamilan
Mean 13.7 11.5 12.3
Less than 12.0 1% 72% 36%
Less than 11.0 None 29% 6%
Less than 10.0 None 4% 1%
Lowest 11.7 9.7 9.8
From Scott and Pritchard (1967), with permission
Kurangnya hemoglobin selama kehamilan disebabkan oleh ekspansi yang relatif lebih besar
dari volume plasma bila dibandingkan dengan peningkatan volume sel darah merah.
Ketidakseimbangan antara peningkatan plasma dan eritrosit yang ditambahkan ke sirkulasi
ibu selama trimester kedua adalah yang terbesar. Physiologicalanemia jangka panjang yang
digunakan untuk menjelaskan proses ini adalah oksimoron dan harus dibuang. Terlambat
dalam kehamilan, ekspansi plasma pada dasarnya berhenti sementara massa hemoglobin
terus meningkat.
Setelah melahirkan, tingkat hemoglobin biasanya berfluktuasi ke tingkat yang sederhana
dan kemudian naik dan biasanya melebihi pada saat tidak hamil. Tingkat dan jumlah
peningkatan pada awal puerperium adalah hasil dari hemoglobin yang ditambahkan selama
masa kehamilan dan jumlah kehilangan darah pada saat kelahiran dimodifikasi oleh
penurunan puerperal volume plasma.
2.7.2 Frekuensi
Frekuensi anemia selama kehamilan terutama tergantung pada suplemen zat besi. Ini lebih
umum di kalangan wanita miskin. Taylor dan rekan-rekan (1982) melaporkan bahwa syarat-
syarat tingkat hemoglobin rata-rata 12,7 g/dL pada wanita yang meminum suplemen besi
dibandingkan dengan 11,2 g/dL untuk wanita yang tidak mengambil meminum suplemen
besi. Bodnar dan rekan (2001) mempelajari sebuah kohort dari 59.248 kehamilan dan
menemukan prevalensi 27 persen untuk kelahiran anemia. Meskipun hal ini sangat
berkorelasi dengan anemia sebelum hamil, ditemukan dalam 21 persen perempuan
dengan tingkat hemoglobin normal.
2.7.3 Etiologi dan Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anemia Pada Kehamilan
Etiologi yang lebih umum dijumpai pada kehamilan dengan anemia tercantum dalam Tabel
2. Spesifik penyebab anemia sangat penting ketika mengevaluasi efek pada hasil
kehamilan. Sebagai contoh, ibu dan perinatal terdapat perubahan nyata pada wanita
dengan anemia sel sabit.
Tabel 2. Etiologi Anemia Selama Kehamilan
Acquired
Iron-deficiency anemia
Anemia caused by acute blood loss
Anemia of inflammation or malignancy
Megaloblastic anemia
Acquired hemolytic anemia
Aplastic or hypoplastic anemia
Hereditary
Thalassemias
Sickle-cell hemoglobinopathies
Other hemoglobinopathies
Hereditary hemolytic anemias
Kebanyakan penelitian tentang dampak anemia pada kehamilan, menggambarkan suatu
populasi yang besar. Hal ini mungkin berhubungan dengan nutrisi dan khususnya yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi. Klebanoff dan rekan (1991) meneliti hampir 27.000
wanita dan menemukan sedikit peningkatan risiko kelahiran prematur dengan anemia pada
midtrimester. Lieberman dan rekan (1987) menemukan hubungan dengan hematokrit yang
rendah dan lahir prematur pada perempuan hitam. Anemia dapat berhubungan dengan
pertumbuhan janin yang terhambat, menurut Barker dan rekan (1990), dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskuler pada saat dewasa. Kadyrov dan rekan (1998) telah
memberikan bukti bahwa anemia ibu mempengaruhi vaskularisasi plasenta dengan
mengubah angiogenesis pada awal kehamilan.
Menurut World Health Organization, anemia memberikan kontribusi hingga 40 persen
kematian ibu di negara-negara dunia ketiga (Viteri, 1994). Yang pertama kali ditemukan
paradoks adalah bahwa, ironisnya, wanita sehat dengan konsentrasi hemoglobin juga lebih
tinggi pada peningkatan risiko untuk kehamilan yang merugikan hasil. Temuan terakhir ini
mungkin akibat dari membatasi ekspansi volume darah normal kehamilan. Sebagai contoh,
Murphy dan rekan (1986) dijelaskan di atas 54.000 kehamilan tunggal di Cardiff Kelahiran
Survey dan melaporkan morbiditas perinatal berlebihan dengan konsentrasi hemoglobin
ibu yang tinggi. Scanlon dan rekan (2000) mempelajari hubungan antara tingkat
hemoglobin ibu dan prematur atau Pembatasan pertumbuhan bayi dalam 173.031
kehamilan. Konsentrasi hemoglobin wanita usia tiga standar deviasi di bawah rata-rata
pada 12 minggu mempunyai risiko 1,7 kali lipat dari kelahiran prematur. Sebaliknya,
perempuan yang tingkat tiga standar deviasi di atas rata-rata pada 12 atau 18 minggu
adalah 1,3
2.7.5 Tanda dan Gejala
Letargi dan mudah lelah adalah gejala umum pada kehamilan, banyak wanita akan
mengganggap hal ini normal dan tidak mengeluh. Vasodilatasi perifer yang membuat
kemerahan jarang terjadi dan membuat diagnosis anemia sulit ditegakkan. Pemeriksaan
hemoglobin mengurangi terjadinya keadaan anemia pada saat melahirkan.
2.7.6 Anemia Defisiensi Besi
Dua penyebab paling umum anemia selama kehamilan dan puerperium adalah kekurangan
zat besi dan kehilangan darah akut. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (1989)
memperkirakan bahwa sekitar 8 juta wanita Amerika usia adalah kekurangan zat besi.
Dalam kehamilan tunggal, kebutuhan besi ibu rata-rata hampir 800 mg-300 mg untuk janin
dan plasenta dan 500 mg, jika tersedia, untuk ekspansi massa hemoglobin ibu. Lebih dari
200 mg melalui usus, saluran kemih, dan kulit. Jumlah total (1000 mg) jauh melebihi
sebagian besar jumlah besi dalam tubuh dan mengakibatkan kekurangan zat besi anemia.
Dengan ekspansi volume darah yang sedikit lebih cepat selama trimester kedua,
kekurangan zat besi sering dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi hemoglobin. Pada
trimester ketiga, besi tambahan diperlukan untuk meningkatkan hemoglobin ibu dan untuk
transportasi ke janin. Karena jumlah besi ditransfer ke janin mirip dengan keadaan normal
dan pada ibu defisiensi besi, bayi yang baru lahir pada ibu yang menderita anemia yang
parah tidak akan menderita anemia defisiensi besi.
2.7.7 Diagnosis
Bukti morfologis klasik anemia kekurangan zat besi-eritrosit microcytosis-hypochromia dan
kurang diucapkan pada wanita hamil dibandingkan dengan pada wanita tidak hamil.
Anemia defisiensi zat besi selama kehamilan yang moderate biasanya tidak disertai dengan
jelas perubahan-perubahan morfologis eritrosit. Kadar feritin serum, bagaimanapun lebih
rendah daripada biasanya, dan tidak ada stainable sumsum tulang besi. Anemia defisiensi
zat besi selama kehamilan adalah akibat perluasan ekspansi volume plasma tanpa massa
hemoglobin. Evaluasi awal wanita hamil dengan anemia yang moderat harus mencakup
pengukuran hemoglobin, hematokrit, dan indeks sel darah merah; hati-hati pemeriksaan
darah perifer. Kadar feritin serum menurun selama kehamilan normal (Goldenberg dan
rekan, 1996). Kurang dari 15 g/L mengkonfirmasi anemia defisiensi besi. Van den Broek
dan rekan (1998) menemukan bahwa titik cutoff 30 g / L memiliki 85 persen positif dan nilai
prediksi negatif sebesar 90%.
Ketika seorang wanita hamil dengan anemia defisiensi zat besi yang moderat diberikan
terapi besi yang memadai, sebuah respons hematological terdeteksi terjadi peningkatan
retikulosit. Laju peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit biasanya lebih
lambat dari pada wanita tidak hamil karena perbedaan dalam volume darah.
2.7.8 Tatalaksana
Koreksi anemia dan cadangan zat besi dapat dicapai dengan senyawa besi sederhana, besi
sulfat, Fumarat, atau glukonat, yang menyediakan sekitar 200 mg per hari unsur besi. Jika
perempuan tidak dapat atau tidak akan mengambil besi peroral, terapi parenteral harus
diberikan (Andrews, 1999; Hallak dan rekan, 1997). Ada peningkatan setara tingkat
hemoglobin pada wanita yang diberikan, baik peroral maupun parenteral (Bayouneu dan
kolega, 2002; Sharma dan rekan, 2004).
Transfusi sel darah jarang diindikasikan kecuali terjadi hipovolemia akibat kehilangan darah
atau prosedur operasi darurat harus dilakukan pada wanita anemia berat. Untuk mengisi
kembali cadangan besi, terapi oral harus dilanjutkan selama 3 bulan setelah anemia
diperbaiki.
2.7.9 Anemia Akibat Kehilangan Darah Akut
Pada awal kehamilan, anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah akut adalah akibat
dari aborsi, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Lebih umum, anemia dari perdarahan
obstetri ditemukan setelah lahir. Pendarahan massif harus diberikan penanganan segera.
Setelah hipovolemia sudah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia residu ditatalaksana
dengan besi. Pada wanita dengan anemia yang moderat (Hb lebih dari 7 g/dl) dengan
hemodinamik stabil, dapat ambulasi tanpa gejala, dan tidak ada septik, terapi besi
diberikan selama 3 bulan.
BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS
Wanita, 25 tahun, dengan G2P1 datang ke rumah sakit dengan ketuban pecah 1 ½ jam. Ketuban
pecah pada pasien ini disertai pengeluaran lendir dan darah (bloody show). Pasien juga
mengalami kontraksi yang semakin bertambah sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari
pemeriksaan status obstetrikus didapatkan portio yang semakin menipis dengan tebal ½ cm
dengan pembukaan 7 cm. Data-data tersebut menunjukan bahwa pasien sudah mengalami in
partu yaitu berada dalam PK I aktif. Namun, dari pemeriksaan didapatkan his 2x/10’/30”. His
pada pasien ini termasuk his yang tidak adekuat jika dibandingkan dengan fase persalinan
sehingga dapat dikatakan pada pasien ini terdapat inersia uteri pada PK I aktif.
Inersia uteri pada PK I aktif dapat berupa protraction disorder dan arrest disorder. Pada
protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat dari seharusnya (dilatasi serviks
kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan minimal 4 jam), sedangkan pada arrest disorder ,
tidak ada perkembangan sama sekali. Pada pasien ini tidak diketahui jenis gangguan inersia uteri
karena pembukaan awal tidak diketahui dan observasi 4 jam tidak dilakukan. Namun,
berdasarkan his yang tidak adekuat yaitu 2x/10’/30” dapat dilihat bahwa terdapat inersia uteri
hipotonik dimana kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek.
Penyebab inersia uteri hipotonik (Hypotonic Uterine Ineartia) belum diketahui, namun pada
pasien ini di dapatkan faktor resiko anemia yang diketahui dari surat rujukan yaitu pasien di
rujuk dari Puskesmas Tebet karena Hb rendah. Hal ini diperkuat dengan adanya konjungtiva
pucat pada mata dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 7,4. Adanya
dispropori sefalopelvik masih mungkin dipikirkan karena belum diketahui pelvimetri klinis pada
pasien ini. Namun dari taksiran berat janin 3307 gram dengan riwayat melahirkan bayi 3200
gram, kemungkinan terjadinya CPD hanya sedikit meskipun belum dapat disingkirkan.
Dari pemeriksaan USG didapatkan janin tunggal hidup dengan denyut jantung janin
dalam batas normal dan gerakan janin masih aktif, maka dipikirkan untuk partus pervaginam
sehingga dilakukan penguatan atau augmentasi dari kontraksi uterus. Augmentasi dilakukan
dengan pemberian Oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL yang dimulai dengan 8 tetes permenit
kemudian dinaikan 4 tetes dalam 30 menit sampai didapatkan his yang adekuat. Tiga puluh
menit setelah pemberian Oksitosin dicapai keadaan his yang adekuat dengan 8 tetes permenit
dan direncanakan untuk penilaian ulang 3 jam kemudian. Empat puluh menit kemudian
didapatkan pembukaan lengkap sehingga ibu dipimpin meneran. Namun selama 20 menit
dipimpin meneran, bayi belum lahir. Hal ini dapat disebabkan karena his yang tidak adekuat (his
4x/10’/35) dan kelelahan pada pasien yang disebabkan oleh anemia. Dari pemeriksaan denyut
jantung janin didapatkan denyut jantung janin mengalami penurunan yaitu 80-90 dpm di luar
dan di dalam his. Hal ini dinyatakan sebagai gawat janin pada PK II sehingga harus dilakukan
persalinan segera. Pengakhiran persalinan pada PK II dapat berupa sectio caesaria cito, ekstraksi
vakum dan forcep atau cunam. Pada pasien dilakukan upaya partus percobaan pervaginam,
sehingga dipilih persalinan dengan ekstraksi vakum atau forcep.
Pemilihan vakum atau forcep tergantung pada keadaan ibu dan janin, tetapi keduanya
memiliki syarat dan indikasi yang sama yaitu pembukaan sudah lengkap, presentasi kepala, tidak
ada kesempitan panggul, dan tidak prematur. Pada ekstraksi vakum tetap dibutuhkan sinergi
antara tenaga mengedan ibu dengan tenaga dari ekstraksi vakum. Pada pasien sebaiknya
dilakukan ekstraksi dengan forcep atau cunam mengingat his pada pasien tidak adekuat dan
pasien mengalami anemia yang menyebabkan pasien tidak mempunyai cukup tenaga untuk
mengeluarkan janin. Namun dilihat dari teknik pelaksanaan yang relatif mudah dan trauma jalan
lahir pada pasien lebih sedikit maka ekstraksi vakum lebih dipilih, terutama untuk mencegah
kehilangan darah yang lebih banyak pada pasien dan mencegah anemia gravis.
Anemia pada pasien ini adalah anemia mikrositik hipokrom berdasarkan kadar Hb 7,4
mg/dL, MCV 55 pg dan MCH 17 fl. Anemia mikrositik hipokrom dapat disebabkan oleh defisiensi
besi atau thalasemia. Dari apus darah tepi di dapatkan gambaran anisositosis dan sel pencil,
sehingga kemungkinan anemia pada pasien ini adalah anemia defisiensi besi. untuk memastikan
anemia defisiensi besi perlu dilakukan pemeriksaan kadar feritin, serum iron dan TIBC. Kadar
hemoglobin saat pasien datang adalah 7,4 gr/dL dan kadar hemoglobin setelah melahirkan
adalah 6,9 g/dL sehingga dibutuhkan transfusi PRC pada pasien ini.
Pada pasien juga terdapat tekanan darah tinggi yang diukur pada saat datang ke rumah
sakit yaitu 160/90 mmHg. Tidak ada riwayat hipertensi pada saat sebelum hamil atau pada
kehamilan sebelumnya dan tidak ada proteinuria maka kemungkinan pasien menderita
hipertensi dalam kehamilan. Untuk menurunkan tekanan darah pada pasien dapat diberikan
tablet Nifedipine 4x10 mg sampai tekanan darah turun di bawah 140/90 mmHg.
Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam mengingat tidak ada faktor yang
mengancam keselamatan pasien. Adanya anemia pada pasien dapat diatasi dengan transfusi
PRC. Prognosis ad functionam pada pasien adalah bonam karena dengan keadaan dan tindakan
yang dilakukan terhadap pasien tidak menimbulkan perlukaan hebat pada jalan lahir sedangkan
prognosis ad sanactionam pada pasien ini adalah bonam karena pasien tidak memiliki faktor
resiko untuk terjadinya inersia uteri pada kehamilan berikutnya kecuali jika pada kehamilan
berikutnya didapatkan kelainan yang bermakna. Prognosis ad vitam, ad functionam dan ad
sanactionam pada bayi adalah bonam karena tindakan ekstraksi vakum yang dilakukan pada
bayi yang aterm jarang menimbulkan perdarahan intrakranial dan kaput yang ditimbulkan oleh
vakum akan hilang dalam beberapa hari sampai minggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams obstetrics. 22nd ed.
2006.Mc Graw hill.
2. Sibai BM. Diagnosis and management of gestasional hypertension and
preeclampsia. High risk pregnancy series: an expert’s view. 2003;102:181-92
3. El – Mowafi,D. Abnormal Uterine Action. Di unduh dari :
http://www.gfmer.ch/Obstetrics_simplified/abnormal_uterine_action.htm
4. Ekstrasi vakum. 2008. Diunduh dari : www.scrib.com/doc/6502554/ekstraksi-
vakum.html
5. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.repository.ui.ac.id.dokumen/lihat/2162.pdf
6. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.obfkumj.blogspot.com/2009/07/ekstraksi-
vakum.html
7. Ekstraksi vakum. Diunduh dari : www.rafani.co.cc/2009/07/ekstraksi-vakum.html
8. Induksi dan Akselerasi Persalinan. Pada Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : 2002. Hal P 10 – P 15.