interaksi-obat_klpk-1-fix.docx

34
Makalah FARMASI INTERAKSI OBAT Disusun Oleh : KELOMPOK 1 KHAIDIR KAFIL AMELIA RAMADHANI ANSHAR AMINUL RAHMAN NURFAIZAH MUH. REZA BASRI ANI WULANDARI AGUS HARIANDA NURUL SULFI ANDINI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

Upload: muhammad-reza-basri

Post on 03-Oct-2015

227 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

MakalahfarmasiINTERAKSI OBAT

Disusun Oleh :KELOMPOK 1KHAIDIR KAFILAMELIA RAMADHANI ANSHARAMINUL RAHMANNURFAIZAHMUH. REZA BASRIANI WULANDARIAGUS HARIANDANURUL SULFI ANDINI

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2015KATA PENGANTARPuja dan puji syukur kehadirat Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat, nikmat, dan hidayah-Nyalah sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.Solawat serta salam semoga tercurah atas junjungan Nabiullah Muhammad saw. Nabi yang telah membawa umat manusia dari Zaman Jahiliyah ke zaman yang penuh dengan peradaban.Makalahtentang Interaksi Obatini disusun untukmemenuhi tugas mata kuliahFarmasi. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah mengarahkan selama proses perkuliahan sehingga penyusunan makalah ini bisa berjalan dengan baik.Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesan kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penyusun pribadi.

Makassar, 09Maret 2015Penyusun

DAFTAR ISI

Kata PengantariDaftar IsiiiBab I PENDAHULUAN11.1.Latar Belakang 11.2.Rumusan Masalah.21.3.Tujuan2

Bab II TINJAUAN PUSTAKA32.1.Definisi Interaksi Obat Secara Umum.202.2.Pengaruh Interaksi Obat.202.3.Efek Samping Interaksi Obat.202.4.Mekanisme Interaksi Obat

Bab IIIPenutup203.1.Kesimpulan.203.2.Saran.20

DAFTAR PUSTAKA21

Farmasi VeterinerPage 13BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangDi antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain (Tim Famakologi FKUI, 2007). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat bersifat potensial atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat meberikan efek yang lain.Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi), yang menjadi kebiasaan para dokter, memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survey yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada pasien mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5% sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan insiden efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin meningkat (Tim Famakologi FKUI, 2007).Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama jika menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau slope log DEC yang curam), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik. Demikian juga interaksi obat yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang dipakai. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai interaksi obat, pengaruh, dan efek samping yang dapat ditimbulkan dari interaksi obat tersebut (Tim Famakologi FKUI, 2007).1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:1. Apakah definisi interaksi obat secara umum?2. Bagaimana pengaruh interaksi obat?3. Apakah efek samping yang dapat ditimbulkan dari interaksi obat?

1.3. TujuanAdapun tujuan pembuatan makalah ini, antara lain sebagai berikut:1. Untuk mengetahui definisi interaksi obat secara umum.2. Untuk mengetahui pengaruh dari interaksi obat.3. Untuk mengetahui efek samping yang dapat ditimbulkan dari interaksi obat.4. Untuk mengetahui makanisme interaksi obat.Adapun tujuan dari praktikum pemeriksaan ulas darah kali ini adalah untuk:1. Untuk memahami teknik pembuatan sediaan apus darah.2. Untuk memahami teknik dan tata cara evaluasi apus darah.3. Untuk mengetahui morfologi eritrosit, leukosit dan trombosit dan kelainan morfologi sel pada apus darah.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi ObatInteraksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif (Harknes, 1989).Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut (Hashem, 2005):1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik). Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (Interaksi farmakokinetik). Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbs, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk enghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009).a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan.

2.2 Pengaruh Interaksi ObatPada kenyataannya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik (Niken, 2013).Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan mekanisme berikut:1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi.Interaksi farmakodinamik meliputi aditif, potensiasi, sinergisme dan antagonisme. Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor. 2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik).a. Interkasi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).b. Interkasi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansia).c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antisistritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan.Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnyasehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (Niken, 2103).Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), omset aksi, waktu paruh dan sebagainya.Salah satu faktor yang dapat merubah respon obat adalah pemberian bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi.Pengetahuan tentang mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering bermanfaat secara klinik, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian obat maupun metode interaksi. Bebrapa interaksi obat yang penting timbul akibat dua mekanisme atau lebih.

2.3 Efek Samping Interaksi ObatSetiap obat dan mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh (Tim Farmakologi FK UGM).Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui. Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping obat (adverse drug reactions), yakni jika metabolisme suatu obat indeks terganggu akibat adanya obat lain (precipitani) dan menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi toksisitas. Selain itu interaksi antar obat dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat demikian tergolong sebagai interaksi obat yang tidak dikehendaki atau Adverse Drug Interactions (ADIs). Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus dihindari karena tidak selamanya serius untuk mencederai pasien (Gitawati, 2008).Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah pembagian seperti pada Tabel 1 berikut.Tabel 1. Jenis-jenis efek samping obat.EFEK SAMPING YANG DAPAT DIPERKIRAKANEFEK SAMPING YANG TIDAK DAPAT DIPERKIRAKAN

Aksi farmakologik yang berlebihan. Respon karena penghentian obat. Efek samping yang tidak berupa efek samping utama. Reaksi alergi Reaksi karena faktor genetik Reaksi idiosinkratik

Sumber: Tim Farmakologi FK UGM dan Mirna, et al.2.3.1 Efek samping yang diperkirakanAdakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapetik yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuban, dan menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan (Horn, 2007 dan Krikorian, 2005).1. Efek Farmakologik yang berlebihanTerjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relative yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respon kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb, sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu. Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar.Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemia/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini, misalnya (Tim Farmakologi FK UGM): Depresi respirasi pada pasien-pasien bronchitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepine. Hipotensi yang terjadi karena stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi. Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi. Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi. Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi. Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.Semua pasien mempunya risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan (Tim Farmakologi FK UGM).2. Gejala Penghentian ObatGejala penghentian obat (gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kebali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghntian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai, misalnya (Tim Farmakologi FK UGM): Agitasi ekstrim, takikardia, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol, Krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid, Hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin, dan Gejala putus obat karena narkotika.Reaksi putus obat ini terjadi karena selama pengobatan terlah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien meerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respon penderita epilepsy terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan (Tim Farmakologi FK UGM).

3. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utamaEfek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajat tingan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Sebagai contoh misalnya (Tim Farmakologi FK UGM): Iritasi labung yang menyebabkan keluhan nyeri, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll. Rasa ngantuk (drowsiness) setelah peakaian antihistaminika untuk anti mabuk perjalanan (motion sickness). Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin. Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan. Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.

2.3.2 Efek samping yang tidak dapat diperkirakanInteraksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika: (1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit; (2) mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3) dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan; (4) indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktik klinik secara bersamaan dalam kombinasi (Gitawati, 2008).Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat preskripsi bersama-sama beberapa obat-obat OTC sekaligus. Pada penderita diabetes usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE (misalnya kaptopril) bersama diuretic hemat kalium (misalnya spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan. Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang dimetabolisme di hati (misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksan otot bersama aminoglikosida pada penderita miopatii, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan efek relaksan otot meningkat dan kelemahan otot meningkat (Gitawati, 2008).1. Reaksi alergiAlergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu (Tim Farmakologi FK UGM): Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya. Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek. Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat. Reaksi hilang bila obat dihentikan. Keluhan atau gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya ruam (rash) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni (Tim Farmakologi FK UGM): Tipe I (Reaksi Anafilaksis)Reaksi anafilaksis yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamine, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rhinitis, asma bronchial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan reaksi ini antara lain penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung iodium. Tipe II (Reaksi Sitotoksik)Reaksi sitotoksik yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel. Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll. Tipe III (Reaksi Imun-kompleks)Reaksi Imun-kompleks yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endothelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, arthritis, pembesaran limfonodus, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah serum sickness, karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya serum anti-tetanus). Tipe IV (Reaksi Media Sel)Reaksi dengan media sel yaitu sensitisasi limfosit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.

Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusuri dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktik klinik, manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi umumnya akan meliputi (Tim Farmakologi FK UGM):a. Demam. Umumnya demam dalam derajat yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.b. Ruam kulit (skin rashes). Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis cutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, dan erupsi.c. Penyakit jaringan ikat. Gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator.d. Gangguan sistem darah. Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka terjadinya mungkin relative jarang.e. Gangguan pernapasan. asma merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.

2. Reaksi karena faktor genetikPada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik. Sebagai contoh misalnya (Tim Farmakologi FK UGM): Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan. Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin.

Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling popular adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara tepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat (Tim Farmakologi FK UGM). Sebagai contoh misalnya: Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat. Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.Pemeriksaan untuk menentukan apakah individu termasuk dalam asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin, namun dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.

3. Reaksi IdiosinkratikIstilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang tidak lazim, yang tidak diharapkan terjadi dengan penyebab yang tidak diketahui dan relatif jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya: Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetik secara serampangan. Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progesterone sama sekali. Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid. Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarcomata pada tempat penyuntikan. Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.

2.4 Mekanisme Interaksi Obat Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :1. Interaksi FarmakokinetikInteraksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : Interaksi pada absorbsi obat Efek perubahan pH gastrointestinalObat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008). Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplekArang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008). Perubahan motilitas gastrointestinalKarena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). Induksi atau inhibisi protein transporter obatKetersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008). Malabsorbsi dikarenakan obatNeomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008). Interaksi pada distribusi obat Interaksi ikatan proteinSetelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008). Induksi dan inhibisi protein transport obatDistribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008). Interaksi pada metabolisme obat Perubahan pada metabolisme fase pertamaMeskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). Induksi EnzimKetika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008). Inhibisi enzimInhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008). Faktor genetik dalam metabolisme obatPeningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008). Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksiSiklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008). Interaksi pada ekskresi obat Perubahan pH urinPada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008). Perubahan ekskresi aktif tubular renalObat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008). Perubahan aliran darah renalAliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).2. Interaksi FarmakodinamikInteraksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009). Interaksi aditif atau sinergisJika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008). Interaksi antagonis atau berlawananBerbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

BAB IIIPENUTUP3.1. Kesimpulan Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas suatu obat atau lebih berubah Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping dari obat- obat tertentu. Resiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.3.2 SaranDalam penggunaan obat sebaiknya memperhatikan efek maupun konsentrasinya, sebab apabila pemakaian obat tidak sesuai dosis ataupun modifikasi obat yang lebih dari satu yang dikonsumsi, maka dapat menimbulkan efek samping maupun bersifat toksisitas.

DAFTAR PUSTAKABNF 58. 2009. British National Formulary. www.bnf.org. Gitawati, Retno. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media LITBANG Kesehatan. Volume XVIII, hal 175-184.Grahame-Smith, D.G. & Aronson, J.K. 1985. Oxford Textbook of Clinical Pharmacology and Drug Therapy. Oxford University Press: Oxford.Hashem. 2005. Drug-Drug Herb-Drug & Food-Drug Interaction. Faculty of Medicine Cairo University: Kairo.Horn, JR and hansten, PD. 2007. Rx Irony: Drug Interactions for Pharmacoenhancement. Pharmacy Times.Krikorian, SA and Rudorf, DC. 2005. Drug-Drug Interactions and HIV Therapy: What Should Pharmacist Know? Journal of Pharmacy Practice, 18; 278-94.Laurence, D.R. & Bennett, P.N. 1992. Clinical Pharmacology, 7th Edition. Churchill Livingstone, Edinburgh.Mirna, et al. Pendekatan Klinis Interaksi Obat dan Upaya Meminimalisasi Efek Merugikan Akibat Interaksi Obat.Piscitelli, S.C. & Rodvold, K.A. 2005. Drug Interaction in Infection Disease, 2nd Edition. Humana Press: New Jersey. Reid, J.L., Rubin, P.C. & Whiting, B. 1985. Lecture Notes on Clinical Pharmacology, 2nd Edition. Blackwell Scientific Publications: Oxford.Santoso, B., Suryawati, S. & Dwiprahasto, I. (eds) 1987. Efek Samping Obat, edisi I. Laboratorium Farmakologi.Stockley, I.H. 2008. Stockleys Drug Interaction, 8th Edition. Pharmaceutical Press: Great Britain. Tim Farmakologi FK UGM. A-05/CKD Catatan Kuliah/Diskusi.Tim Famakologi FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Gaya Baru: Jakarta.T, Setiawan. USU. Interaksi Obat. Surabaya