jurnal lahan basah

23
OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Atas dasar pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian pada era Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkait dengan itu, perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan. Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Sampai sekarang perubahan nyata dari kondisi seperti tersebut belum tampak (Sumaryanto, 2008). Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan pemerintah dalam subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk difokuskan untuk padi dan untuk mewujudkan tepat sasaran maka distribusinya menggunakan sistem tertutup. Subsidi benih padi bahkan dilakukan dengan pemberian bantuan langsung secara gratis. Sejumlah sasaran memang dicapai. Setidaknya pada tahun 2008 yang lalu (dan mungkin juga tahun 2009 ini) peningkatan produksi padi lebih besar daripada yang dicapai pada tahun tiga tahun terakhir sebelum tahun 2008 tersebut. Meskpun demikian sejumlah kritik terhadap pencapaian sasaran juga perlu diperhatikan mengingat bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk subsidi tersebut sangat besar (tahun 2008 mencapai 15 trilyun Rupiah) 1 . Dibandingkan dengan lahan pesawahan, investasi per unit luasan yang diperlukan untuk mendayagunakan lahan kering jauh lebih rendah. Semantara itu jika dilihat dari luasannya maka dapat disebutkan bahwa potensi yang tersedia jauh lebih besar daripada lahan sawah. Statistik berikut ini memberikan gambaran yang dimaksud. 1 Apakah kebijakan tersebut di atas tepat, tentu tidak mudah menjawabnya. Sejumlah argumen yang pro maupun yang kontra mempunyai landasan yang cukup kuat, namun seringkali sulit dikompromikan karena merambah pula pada dimensi politik.

Upload: izzuddin-al-qassam

Post on 17-Sep-2015

38 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

lahan basah

TRANSCRIPT

  • OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA

    AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Permasalahan

    Atas dasar pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan

    pengembangan pertanian pada era Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkait

    dengan itu, perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan

    kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi,

    perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem

    lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) menjadi sangat

    lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan.

    Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan

    terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi.

    Sampai sekarang perubahan nyata dari kondisi seperti tersebut belum

    tampak (Sumaryanto, 2008). Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan pemerintah

    dalam subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk difokuskan untuk padi dan untuk

    mewujudkan tepat sasaran maka distribusinya menggunakan sistem tertutup.

    Subsidi benih padi bahkan dilakukan dengan pemberian bantuan langsung secara

    gratis. Sejumlah sasaran memang dicapai. Setidaknya pada tahun 2008 yang lalu

    (dan mungkin juga tahun 2009 ini) peningkatan produksi padi lebih besar daripada

    yang dicapai pada tahun tiga tahun terakhir sebelum tahun 2008 tersebut. Meskpun

    demikian sejumlah kritik terhadap pencapaian sasaran juga perlu diperhatikan

    mengingat bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk subsidi tersebut sangat

    besar (tahun 2008 mencapai 15 trilyun Rupiah)1.

    Dibandingkan dengan lahan pesawahan, investasi per unit luasan yang

    diperlukan untuk mendayagunakan lahan kering jauh lebih rendah. Semantara itu

    jika dilihat dari luasannya maka dapat disebutkan bahwa potensi yang tersedia jauh

    lebih besar daripada lahan sawah. Statistik berikut ini memberikan gambaran yang

    dimaksud.

    1 Apakah kebijakan tersebut di atas tepat, tentu tidak mudah menjawabnya. Sejumlah argumen yang pro maupun yang kontra mempunyai landasan yang cukup kuat, namun seringkali sulit dikompromikan karena merambah pula pada dimensi politik.

  • 2

    Menurut data BPS Tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah

    sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5) berupa adalah

    lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 persen) lahan sawah. Untuk lahan

    kering tersebut rinciannya adalah: lahan kering yang berupa tegal, kebun, ladang,

    ataupun huma sekitar 14.9 juta hektar, perkebunan besar (swasta dan BUMN) 19.6

    juta hektar, pekarangan/lahan sekitar bangunan sekitar 5.6 juta hektar,

    tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau

    sementara tak diusahakan serta padang rumput )sekitar 2.9 juta hektar.

    Urgensi peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering

    juga terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan

    pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi

    pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah

    peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak

    langsung adalah melalui kaitan ke depan dan ke belakanganya. Kedua, berkontribusi

    pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat

    dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan

    devisa (mengurang impor). Keempat, realisasi dari komitmen untuk mewujudkan

    keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di Luar P. Jawa

    karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan

    di wilayah tersebut. Kelima, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan

    iklim melalui pengembangan usahatani berbasis prinsip konservasi.

    Selama ini makna tentang agroekosistem lahan kering tidak berkonotasi

    tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau

    kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering yang dalam

    hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering

    dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian.

    Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran

    Sungai (upland agriculture).

    Dalam penelitian ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah

    pada konotasi yang kedua: wilayah beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini

    maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup

    pula di dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian

    agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah

    tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman

    perkebunan, sayuran, dan peternakan.

  • 3

    1.2. Perumusan Masalah

    Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan.

    Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan

    pendapatan, dan pemerataan pendapatan, dan perluasan kesempatan kerja. Bahkan

    sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian

    integral dari pembangunan pertanian. Ini berlaku umum, termasuk pada pula

    pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.

    Berbagai hasil pengamatan lapang maupun dari hasil-hasil penelitian

    terdahulu dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya pertanian

    pada agroekosistem masih jauh dari optimal. Pada satu sisi, potensi yang tersedia

    belum terdayagunakan secara maksimal; sedangkan pada sisi yang lain cukup

    banyak ditemukan kasus-kasus pemanfaatan yang eksesif sehingga tidak sesuai

    dengan prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan.

    Pertanian adalah bagian integral dari sistem perekonomian secara utuh.

    Perkembangannya dipengaruhi oleh kinerja sektor-sektor perekonomian lainnya; dan

    sebaliknya kinerja pertanian juga mempengaruhi perkembangan sektor-sektor

    lainnya. Sifat saling keterkaitan itu di satu sisi merupakan determinan perkembangan

    sektoral (termasuk pertanian), dan di sisi lain berimplikasi pada mekanisme

    pemanfaatan sumberdaya, terutama tenaga kerja dan modal.

    Saling keterkaitan juga terjadi antar level aktivitas ekonomi. Kinerja pertanian

    agregat wilayah atau nasional ditentukan oleh kinerja unit-unit usahatani pada level

    mikro, sebaliknya apa yang terjadi pada level wilayah/nasional juga mempengaruhi

    kinerja usahatani pada level mikro.

    Optimalisasi sumberdaya pertanian yang selama ini dikaji cenderung fokus

    pada lingkup mikro dalam arti pada unit-unit usahatani level petani. Sesuai dengan

    ruang lingkup dan fokus kajiannya, informasi yang dihasilkan sangat bermanfaat

    untuk merancang sistem usahatani yang menghasilkan pendapatan maksimal, dan

    atau selaras dengan prinsip-prinsip usahatani konservasi. Pada sisi yang lain, kajian-

    kajian yang berkenaan dengan pengembangan ekonomi wilayah seringkali kurang

    memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor pertanian; betapapun secara

    empiris sektor ini berkontribusi sangat besar dalam penyediaan lapangan kerja dan

    pengentasan kemiskinan. Berangkat dari kondisi tersebut, oriantasi penelitian ini

    adalah untuk mendukung pendayagunaan sumberdaya pertanian dengan

    menggunakan wilayah sebagai unit analisis.

  • 4

    1.3. Tujuan dan Keluaran

    1.3.1. Tujuan

    Sasaran penelitian adalah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam

    rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian pada wilayah dominan

    agroekosistem lahan kering. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah:

    (1) Untuk memperoleh gambaran mengenai profil perekonomian wilayah yang

    didominasi agroekosistem lahan kering lokasi penelitian, terutama dalam

    konteks keterkaitan sektoral dan implikasinya terhadap pembentukan output,

    nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja.

    (2) Untuk mengidentifikasi kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya

    pertanian pada wilayah yang didominasi agroekosistem lahan kering.

    (3) Untuk mencari solusi optimal mengenai pemanfaatan sumberdaya pertanian

    wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

    (4) Untuk merumuskan kebijakan dan program relevan dengan tujuan (3).

    1.3.2. Keluaran

    Keluaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi hasil penelitian

    empiris yang dapat dapat dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan dan program

    pemanfaatan sumberdaya pertanian pada agroekosistem lahan kering. Secara

    spesifik adalah:

    (1) Data dan informasi mengenai profil perekonomian wilayah agroekosistem

    lahan kering lokasi penelitian, utamanya tentang keterkaitan antar sektor

    ekonomi dan implikasinya terhadap perekonomian wilayah tersebut.

    (2) Data dan informasi tentang kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya

    pertanian pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

    (3) Data dan informasi mengenai tingkat pencapaian tujuan yang mungkin

    dicapai dan aktivitas pertanian pada solusi optimal atau solusi yang

    memenuhi kriteria satisfying pada wilayah dominan agroekosistem lahan

    kering.

    (4) Memperoleh masukan yang bermanfaat untuk merumuskan kebijakan dan

    program pengembangan pertanian wilayah dominan agroekosistem lahan

    kering.

  • 5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Dari tinjauan historis menurut sudut pandang pendayagunaan sumberdaya

    lahan, pola penggunaan tanah di Indonesia telah berubah dari pola ekstensif alamiah

    (hutan, semak dan padang penggembalaan) ke pola yang relatif intensif. Secara

    garis besar kecepatan ekspansi areal pertanian kurang lebih seimbang dengan

    urbanisasi dan industrialisasi namun tidak linier dan dinamikanya dalah sebagai

    berikut. Pada periode 1961 1975, perluasan areal pertanian lebih cepat dari

    urbanisasi dan industrialisasi, dan pasok tanah pertanian terutama berasal dari alih

    fungsi lahan padang pengembalaan dan belukar alang-alang. Pada periode 1972

    1982 tingkat urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, dan pasok tanah untuk areal

    pertanian baru adalah berasal dari konversi hutan. Sementara itu sejak 1982

    sekarang perluasan areal pertanian kembali lebih cepat dari perluasan urbanisasi

    dan industrialisasi (Nasoetion dan Saefulhakim, 1994). Menyimak fenomena tersebut

    Nasoetion (1994) menafsirkan bahwa selam tiga dekade terakhir telah terjadi

    degradasi tanah yang akar penyebabnya adalah tekanan pertumbuhan penduduk

    dan transformasi ekonomi dari struktur ekonomi yang lebih agraris ke arah struktur

    ekonomi yang lebih industrialistik.

    Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua: (a)

    usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh

    badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat.

    Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi

    menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah

    lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura

    dan (ii) perkebunan rakyat.

    Terkait dengan orientasi kebijakan pengembangan pertanian rakyat yang

    selama ini ditempuh, perkembangan pertanian paling maju adalah pada

    agroekosistem pesawahan yakni dalam usahatani padi. Pada usahatani berbasis

    lahan kering usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman

    perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan

    khususnya unggas. Khususnya untuk usahatani sayuran dan peternakan,

    kemajuannya cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup nyata

    adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi kurang

    berkembang.

  • 6

    2.1. Agroekosistem Lahan Kering

    Meskipun berkaitan erat, pengertian tentang tentang agroekosistem berbeda

    dengan ekosistem. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami

    (iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsur-

    unsur buatan. Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim digunakan

    mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari

    pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang infrastruktur.

    Dalam konteks perumusan kebijakan dan program pengembangan seringkali

    perumus kebijakan berorientasi pada pendekatan pragmatis dan untuk itu definisi

    dan konsep yang dikembangkan juga mengacu pada pendekatan pragmatis. Hal ini

    dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dkk (2008) yang membedakan

    agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i) lahan

    kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis tanaman

    perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir.

    Dalam pendekatan yang lain, pengertian mengenai lahan kering dapat

    mengacu pada beberapa penelitian berikut. Penggunaan istilah lahan kering di

    Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk

    padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro,

    1989). Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana

    pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak

    pernah tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan untuk pertanian

    lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan huma.

    Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan

    pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di

    bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau

    lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air

    hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal

    (2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada

    sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah

    dan lahan kerign dataran tinggi.

    Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia

    dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak

    dijumpai di Kawasan Timur Indonesia, dan (2) lahan kering beriklim basah, yang

    banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah

  • 7

    pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah

    pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan

    potensi dan dominasi vegetasinya

    Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan,

    dapat dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedele, dan palawija lainnya.

    Ketersediaan lahan in icukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data

    dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7

    propinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi

    gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075

    ha), Lampung (802 341 ha), jawa Barat (184 160 ha), Banten (36 631 ha), NTT (550

    075 ha) dan Kalbar (2.211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009).

    Untuk pengembangan komoditas perkebunan, dapat dinyatakan bahwa

    hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor

    dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan

    pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi

    pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini.

    Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup

    baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar

    domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi

    pedaging, sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam, burung puyuh) masih

    akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan

    per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada

    program dan aksi nyata yang revolusioner.

    Ternak ruminansia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-

    landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari

    lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada

    menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian.

    Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara

    usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak di bawah

    pohon kelapa (coco-beef), usaha ternak di bawah kebun kelapa sawit (palm oil-beef),

    dan kombinasi usaha tanaman pangan dengan ternak (Crops Livestock System-

    CLS).

    Usaha ternak ruminasia dengan sistem landbase dilakukan pada padang

    penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan kelas IV yang banyak terdapat

  • 8

    di Kawasan Timur Indonesia. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering

    seperti NTT, NTB, dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi

    ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.

    Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan perluasan areal

    untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu akibatnya

    terjadi kompetisi penggunaan lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor

    petanian. Beberapa pihak beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan

    tidur sehingga perlu diefektifkan pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian

    memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya merupakan basis pengembangan

    usaha peternakan .

    Dengan kondisi yang demikian, usahatani ternak di lahan kering NTT tidak

    hanya mengandalkan padang penggembalaan tetapi juga dikembangkan usahatani

    ternak yang lebih intensif yang dikenal dengan sistem paronisasi (bagi hasil). Pada

    sistem paronisasi ternak sapi dipelihara dengan sistem dikandangkan. Ternak diberi

    pakan yang berasal dari berbagai sumber yaitu rumput alam di padang

    penggemabalaan terbatas, tanaman rumput unggul yang ditanam, limbah tanaman

    pangan dan dedaunan dari pepohonan (Ratnawaty et al. 2004).

    Belajar dari pengalaman daerah lain, usaha sapi potong yang intensif

    mengalami kesulitan untuk mendapatkan bakalan sehingga harganya menjadi

    mahal. Karena itu sebaiknya pengembangan sapi potong di NTT mengkombinasikan

    usaha sapi potong intensif (non-landbase) yang dikombinasikan dengan usahatani

    tanaman pangan dan perkebunan sebagai penghasil sapi potong dan usaha sapi

    potong ekstensif (landbase) di padang penggembalaan sebagai penghasil sapi bibit

    dan sapi bakalan (Ilham et al. 2009). Oleh karena itu optimalisasi lahan kering berarti

    memanfaatkan lahan sesuai dengan penggunaanya, termasuk pemanfaatan padang

    penggembalaan untuk usaha ternak sapi otong.

    Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem

    usahatani di lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi

    petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al. 2004).

    Menurut Arsana et al. (2004) dengan rata-rata pemilikan lahan 50 are, pendapatan

    rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan

    kering mencapai Rp 3,24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari

    kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31,4%, ternak sapi 25,5%, kelapa dan kopi

  • 9

    19,9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan

    usahatani padi pada MH 6,2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi.

    Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan

    ruminasia di lahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat

    ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat

    menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7,5 ton per tahun yang

    mengandung sekitar 15 kg Nitrogen, 15 kg P2O5 dan 20 kg K2O (Hasnudi dan

    Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara kotoran ternak mampu

    memperbaiki sifat fisik dan bilogi tanah.

    Pengembangan peternakan di lahan kering membutuhkan hijauan pakan.

    Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa)

    dan ada pepohonan (leguminosa). Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-

    lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi, demikian juga dengan tanaman

    legumninosa pohon dapat mencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui

    rhizobium yang terdapat pada bintil akar.

    Perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan pada wilayah

    lahan kering telah dilaksanakan program P4MI (Program Peningkatan Pendapatan

    Petani Melalui Inovasi) yang berloaksi di kabupaten Blora dan Temanggung provinsi

    Jawa Tengah, kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat, kabupaten

    Ende provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kabupaten Donggala provinsi

    Sulawesi Tengah (Badan Litbang Pertanian, 2007).

    Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik

    tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman tahunan/perkebunan.

    Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu

    pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan

    nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya

    produktivitasnya rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman

    tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman semusim,

    produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti

    tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam

    Syam, 2003).

    Jika mengacu kepada data penggunaan lahan menurut BPS, yang

    dielaborasi keseusaian lahan kering oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,

    maka jika mengambil 10 provinsi terbesar sebaran potensi lahan kering terdapat di

  • 10

    Provinsi Kalimantan Timur, Papu, Kalimantan Barat, Kalimanatan Tengah, Sumatera

    Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sumatera Utara dan Maluku

    Utara (Mulyani, dkk. 2006).

    Pada umumnya sistem pertanian lahan kering belum dipahami secara

    mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala

    lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta keterbatasan sentuhan

    teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem

    usahatani yang ada masih terbatas (Guritno, et al, 1997). Kerusakan fungsi lahan

    sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang

    minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Di

    lain pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marginal yang

    ditandai dengan pendapatan dan pendidikan rendah, ketrampilan terbatas, dan

    terbatasnya pelaksanaan kondervasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin dan

    Ladamay, dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah-masalah klasik di

    kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal,

    terencana dan berkelanjutan.

    Untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering, menurut

    Notohadiprawiro (1989), diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi

    lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang

    dipandang tepat adalah berasaskan LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yang

    terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: (i) memandu kemampuan

    alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur

    lingkungan menjadi produk berguna bagi manusia, (ii) adaptasi tanaman dan ternak

    pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi, pemuliaan konvesnisoanl atau

    rekayasa genetik, dan (iii) membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas

    usahatani, pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian dan pelancaran

    pemsaran hasil usahatani.

    Ketiga rakitan tersebut dimaksudkan untuk (1) membatasi ketergantungan

    pertanian pada masukan komersial, seperti pupuk pabrik, bahan kimia pemenda

    tanah (chemical soil amendments), pestisida, subsidi dan kredit, (2) membatasi

    usikan kegiatan atas lingkungan, yang berarti mengurangi dampak negatif atas

    lingkungan dan (3) mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional.

    Dalam tataran praktek, pendekatan tersebut seringkali berbenturan dengan

    orientasi peningkatan produksi dan pendapatan. Terkait dengan itu, solusi yang

  • 11

    kemudian ditempuh menjadi parsial dan cenderung tak tekoordinasi dengan baik. Hal

    ini selain merupakan implikasi logis dari pendekatan level mikro, terkait pula dengan

    ego sektoral yang seringkali sulit dieliminasi dalam proses pengambilan keputusan.

    2.2. Optimalisasi Sumberdaya

    2.2.1. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi

    Optimalisasi sumberdaya pertanian akan lebih realistis jika dibekali dengan

    pemahaman yang baik tentang kaitan sektoral perekonomian wilayah beserta

    implikasinya. Secara teoritis, model ideal untuk optimalisasi sumberdaya sangat

    diwarnai oleh karakteristik hubungan antar sektor perekonomian itu dalam konteks

    pemanfaatan sumberdaya, maupun kontribusinya dalam pencapaian tujuan yang

    ditetapkan.

    Untuk memperoleh gambaran obyektif tentang profil ekonomi suatu wilayah

    diperlukan setidaknya tiga kategori informasi: (i) ukuran yang menggambarkan

    besaran nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produksi, dan harga-harga beserta

    perkembangannya, (2) ukuran yang menggambarkan hubungan saling keterkaitan

    antar sektor perekonomian, (3) ukuran yang menggambarkan alokasi penggunaan

    sumberdaya. Setidaknya untuk dua kategori yang pertama, dapat difasilitasi dengan

    analisis ekonomi dengan pendekatan Input - Output (West, 1993).

    Dengan pendekatan Input Output, (model I O), keterkaitan antar sektor

    perekonomian berikut implikasinya terhadap perubahan output, nilai tambah, dan

    penggunaan tenaga kerja, dapat dihitung dengan baik. Analisis keterkaitan terhadap

    sektor hilirnya disebut analisis keterkaitan sektor ke depan (forward linkages),

    sedangkan keterkaitan dengan sektor hulunya disebut analisis keterkaitan

    kebelakang (backward linkages). Aplikasi pendekatan ini sudah banyak dilakukan.

    Dalam sepuluh tahun terakhir, dapat disimak misalnya pada Daryanto (1999),

    Syafaat dan Friyatno (2000), Rachman (1993), Tapadas dan Dahl (1999).

    Pada dasarnya data tabel Input-Output adalah merupakan hubungan antara

    penawaran (Supply) dan permintaan (Demand) dari sektor-sektor ekonomi makro

    yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Penawaran adalah merupakan nilai produksi

    dari sektor ekonomi, penawaran terhadap sektor sebagai input antara dan terhadap

    permintaan akhir yang dikonsumsi langsung adalah merupakan total output

    sedangkan permintaan adalah nilai input untuk sektor ekonomi (disebut input antara),

  • 12

    sedangkan input diluar input antara disebut input primer. Jumlah input antara dengan

    input primer harus sama dengan output.

    Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam data Input-Output adalah : (1)

    keseragaman (homogenity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor ekonomi hanya

    memproduksi satu jenis barang dan jasa, (2) kesebandingan (proportionality) yaitu

    asumsi bahwa hubungan antara input dan output pada setiap sektor merupakan

    fungsi linier, dan (3) penjumlahan (additivity) yaitu asumsi bahwa total efek dari

    kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada

    masing-masing kegiatan (BPS, 1995). Namun di sisi lain, input-output memiliki

    kelebihan yaitu mampu menangkap dampak perubahan eksogen secara holistik

    pada seluruh sektor-sektor yang ada dengan menggunakan Leontief inverse matrix

    (Terosa et al., 2000).

    Dengan tetap menyadari keterbatasannya (implikasi dari asumsi dasar model

    I O), salah satu elegansi pendekatan I O adalah kesederhanaan komputasinya

    untuk menyediakan informasi kuantitatif yang menggambarkan dampak investasi di

    suatu sektor terhadap perekonomian wilayah. Dimungkinkan untuk memperoleh

    informasi mengenai dampak investasi tersebut dalam pembentukan nilai tambah,

    output, maupun penyerapan tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan, sektor-

    sektor ekonomi terkait, maupun keseluruhan sektor ekonomi. Demikianpun dengan

    analisis dekomposisi sehingga dapat diketahui dampak yang sifatnya langsung,

    maupun tidak langsung.

    2.2.2. Optimasi Sumberdaya Multi Tujuan (Multi Objective Programing)

    Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan yang

    berkelanjutan. Jika dirinci maka bersifat multi tujuan dan multi dimensi: pendapatan,

    keadilan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai tujuan diperlukan pendayagunaan

    sumberdaya. Dalam beberapa konteks demikian itu sifat hubungan antar tujuan

    tersebut tidak selalu komplementer; bahkan berkompetisi. Dengan kata lain, untuk

    mencapai tujuan yang satu kadangkala harus mengorbankan tujuan yang lain.

    Kondisi tersebut berimplikasi pada optimalisasi sumberdaya; baik dalam

    perumusan tujuan maupun kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan itu. Pada

    perumusan tujuan, diperlukan adanya kompromi ketika dihadapkan pada

    komponen-komponen tujuan yang saling berkompetisi dalam pendayagunaan

    sumberdaya. Oleh karena itu, untuk model pemrograman multi tujuan kriteria

    optimal diterjemahkan sebagai kriteria yang memuaskan (satisfying).

  • 13

    Dalam konteks pengambilan keputusan, masalah tersebut merupakan salah

    contoh dari Multicriteria-Decision Making (MCDM). Terkait dengan itu, salah satu

    model yang sering digunakan adalah Multi Objective Programming (MOP).

    Terdapat berbagai teknik optimasi yang termasuk dalam kelompok MOP,

    antara lain adalah Step Method (SM), Minimax Goal Programming (MGP), Non linear

    Goal Programming (NLGP), Linear Goal Programming (LGP), Expert System, dan

    lain sebagainya. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan keunggulan, terkait

    dengan asumsinya. Namun yang jelas, semakin realistis maka semakin kompleks

    dan semakin sulit pula teknik komputasinya.

    Diantara MOP tersebut yang paling sederhana adalah LGP. Konsep LGP

    pertama kali dipergunakan oleh Charnes and Cooper pada Tahun 1961.

    Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Ijeri (1965), Lee (1972), dan Ignizio

    (1976). Kemudahan pemahaman tentang model ini melalui deskripsi grafis dan

    simpleks dapat dijumpai misalnya pada Flinn and Jayasuria (1980).

    Seiring dengan pesatnya kemajuan yang terjadi di bidang komputasi dan

    pemodelan, berbagai modifikasi dan pengembangan model LGP juga dilakukan.

    Salah satu contoh adalah Fuzzy Linear Goal Programming (FLGP).

    Aplikasi Goal Programming pada studi di bidang pertanian, perikanan,

    ataupun kehutanan pada beberapa tahun terakhir dapat disimak misalnya pada

    Sharma, Alade, and Acquah (2006); Sharma, Ghosh, and Alade (2003); ataupun

    Muthukude, Novak, and Jolly (1991).

    Salah satu keterbatasan utama aplikasi LGP sebagai pendakatan MCDM

    terkait dengan stigma cenderung subyektif yang melekat pada penentuan fungsi

    tujuan. Seringkali, penentuan prioritas dan atau bobot masing-masing tujuan tidak

    sepenuhnya dapat dilakaukan secara obyektif. Kecenderungan ini dapat dikurangi

    jika dalam penentuan fungsi tujuan dapat dilakukan sintesis yang sangat baik antara

    hasil analisis berbasis data hasil survey dengan hasil Focus Group Discussion (FGD)

    dengan stake holder yang juga dilakukan dengan seksama.

    Pada pendekatan SM, upaya meminimalkan subyektivitas dalam penentuan

    fungsi tujuan dengan sendirinya dapat dilakukan mengingat penentuan fungsi tujuan

    maupun solusi yang dihasilkan pada setiap tahap iterasi melibatkan secara langsung

    stake holder yang tercakup dalam sistem pada pendefinisian model. Hal ini terjadi

    karena proses tersebut merupakan inti pokok dari kerangka konsep pendekatan SM.

    Persoalan uatama yang dihadapi dalam aplikasi metode SM adalah proses iterasinya

    yang membutuhkan waktu panjang dan biayanya yang mahal.

  • 14

    III. METODE PENELITIAN

    3.1. Kerangka Pemikiran

    Optimalisasi sumberdaya pertanian dapat dilakukan pada berbagai level,

    lokasi, ataupun horizon waktu. atau unit analisis. Pada umumnya meskipun

    substansi yang dikaji sama tetapi solusi optimal yang dihasilkan akan berbeda jika

    unit analisisnya berbeda. Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikut. Solusi optimal

    usahatani pada level kelompok tani dengan unit analisis kelompok yang

    bersangkutan kemungkinan besar akan berbeda dengan solusi optimal yang

    diperoleh kelompok tersebut ketika unit analisis yang dipergunakan adalah level Sub

    DAS atau DAS. Hal itu merupakan implikasi logis dari adanya saling keterkaitan

    antara satu kelompok tani tersebut dengan kelompok tani lainnya, baik dalam

    penggunaan sumberdaya (misalnya air irigasi), tenaga kerja, modal ataupun tenaga

    kerja. Demikianpun halnya dengan implikasi dari horizon waktu. Solusi optimal untuk

    pemanfaatan sumberdaya dengan horizon waktu setahun akan berbeda dengan

    solusi optimal yang diperoleh jika horizon waktu yang dipergunakan adalah 5 atau 10

    tahun. Serupa dengan itu, solusi optimal sumberdaya pertanian yang diperoleh dari

    pemodelan yang hanya memperhaikan eksistensi sektor pertanian saja akan

    berbeda dengan jika eksistensi sektor lain diperhitungkan sebagai bagian integral

    dari sistem yang dikaji. Atas dasar itu maka pemahaman yang baik mengenai

    eksistensi sektor pertanian dalam pemanfaatan sumberdaya harus diposisikan

    sebagai bagian integral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Dengan kata lain,

    keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi beserta implikasinya terhadap pemanfaatan

    sumberdaya maupun dalam pembentukan output dan nilai tambah harus dipahami

    dengan baik dan diperlakukan sebagai dasar pengembangan model optimalisasi

    pemanfaatan sumberdaya pertanian.

    Atas dasar pertimbangan tersebut maka unit analisis yang akan diterapkan

    dalam penelitian ini adalah wilayah. Selain untuk mengkondisikan agar hasil analisis

    dapat dipergunakan untuk perencanaan wilayah, pendekatan tersebut juga

    dimaksudkan untuk melengkapi berbagai hasil analisis optimalisasi sumberdaya

    pertanian lingkup mikro yang selama ini banyak dilakukan.

    Sebagaimana diketahui, tujuan pembangunan pertanian bersifat multi tujuan.

    Setidaknya ada tiga tujuan yang selalu tercakup di dalamnya: (i) peningkatan

    produksi pertanian, (ii) peningkatan pendapatan petani, (iii) penyediaan lapangan

    kerja. Solusi yang untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi oleh sumberdaya yang

  • 15

    tersedia (modal, tenaga kerja, lahan, air, dan sebagainya). Selain itu, prinsip-prinsip

    keberlanjutan (sustainability) dan pemerataan juga perlu dipertimbangkan. Dalam

    konteks ini, apakah prinsip keberlanjutan dan pemerataan juga diperhitungkan

    sebagai bagian dari tujuan ataukah diperlakukan sebagai persyaratan yang

    mengkendala pencapaian tujuan; sangat tergantung pada aspirasi pengambil

    keputusan (masyarakat dan pemerintah). Oleh karena multi tujuan maka model

    optimasi yang lebih sesuasi diterapkan adalah Multi Objective Programming (MOP).

    Salah satu model MOP yang sederhana tetapi juga cukup populer dan workable

    adalah Linear Goal Programming (LGP). Atas dasar pertimbangan managemen

    penelitian, yang akan diterapkan dalam penelitia ini adalah LGP.

    Dalam model LGP yang akan diterapkan dalam penelitian ini, data dan

    informasi yang dihasilkan dari analisis I O akan sangat berguna. Pertama, dapat

    dimanfaatkan sebagai acuan dalam menyusun hubungan antar aktivitas. Kedua,

    sebagai acuan untuk mengevaluasi koefisien teknologi. Ketiga, merupakan salah

    satu masukan untuk mengevaluasi kelogisan komparasi antar aktivitas. Lebih dari itu

    semua, mengingat bahwa Tabel I O pada dasarnya menggambarkan

    keseimbangan umum antara permintaan dan penawaran dari keseluruhan sektor

    ekonomi maka dapat pula dimanfaatkan sebagai acuan dalam mengevaluasi

    feasible region dari model LGP yang akan diterapkan.

    Disadari sepenuhnya bahwa betapapun telah dirancang dengan seksama,

    tentu saja masih sangat banyak faktor-faktor yang dalam dunia nyata sangat penting

    namun tidak dapat disertakan dalam pemodelan. Faktor-faktor yang sifatnya

    intangible maupun faktor kelembagaan sosial pada umumnya sangat sulit

    dimasukkan dalam pemodelan dengan LGP, padahal dalam banyak kasus sangat

    banyak pengaruhnya terhadap pencapain tujuan.

    Untuk dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi kebijakan, kesimpulan yang

    diperoleh dari solusi optimal perlu dilengkapi dengan kajian ataupun evaluasi

    program-program pemerintah yang tengah berjalan. Hal ini merupakan konsekuensi

    logis dari eksistensi program-program tersebut: di satu sisi sasaran program tersebut

    sangat mungkin konvergen dengan fungsi tujuan dalam model yang dibangun, di sisi

    lain program-program tersebut tentu saja berimplikasi pada alokasi sumberdaya.

    Lebih dari itu, rekomendasi kebijakan pada akhirnya juga akan bermuara pada

    program; dan karena itu pembelajaran dari program-program yang tengah berjalan

    itu tentu akan sangat bermanfaat untuk perakitan rekomendasi.

  • 16

    3.2. Profil Perekonomian Wilayah: Pendekatan dengan Model I O. Model I O diperkenalkan pertama kali oleh Francois Quesney kemudian

    dikembangkan oleh Aasily Lentief berdasarkan pendekatan hubungan saling

    tergantung (interdependensi) antar sektor perekonomian dalam suatu sistem

    persamaan linier (Glason, 1977). Konsep dasar model I O adalah:

    (1) Struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor yang satu sama lain

    berinteraksi melalui transaksi jual beli.

    (2) Output suatu sektor dijual kepada sektor-sektor lainnya dan untuk

    permintaan akhir.

    (3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dan rumah tangga

    (dalam bentuk tenaga kerja), pemerintah (misalnya dari pajak tak

    langsung), penyusutan, dan surplus usaha serta impor.

    (4) Hubungan antara input dengan output bersifat linier.

    (5) Dalam satu kurun waktu analisis (lazimnya setahun) total input sama

    dengan total output.

    (6) Suatu sektor terdiri dari satu atau lebih perusahaan, dimana satu sektor

    hanya menghasilkan satu jenis output, dan output tersebut diproduksi

    dengan satu jenis teknologi.

    Misalkan Xi melambangkan produksi sektor ke-i, Ai merepresentasikan jumlah

    input permintaan antara terhadap produksi dari sektor ke-i, dan Fi melambangkan

    jumlah permintaan akhir terhadap produksi sektor ke-i, maka:

    i i iX A F= + (1)

    Apabila pada perekonomian suatu wilayah terdiri dari n sektor, maka

    permintaan antara terhadap sektor ke i adalah merupakan penjumlahan dari

    input antara sektor ke i oleh sektor-sektor ke 1 sampai dengan sektor ke n:

    Aij = Ai1 + Ai2 + Ai3 + . . . + Ain = =

    n

    jA

    1ij . . . . . . . . . . . . . . . . (2)

    dimana :

    Aij = jumlah produksi sektor ke i yang digunakan oleh sektor ke j

    Sedangkan total input (Xj) adalah merupakan penjumlahan dari input

    antara dan input primer, yang pada prinsipnya harus sama dengan jumlah

    outputnya, maka hasil bagi dari masing-masing komponen input antara

  • 17

    dengan jumlah output atau jumlah input (Xj) disebut koefisien input antara

    (aij), dapat diperoleh dengan rumus :

    aij = j

    ij

    XA

    . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3)

    dimana :

    aij = koefisien input antara, dimana =

    n

    jija

    1 = 1

    Jika persamaan (2) dimasukan kedalam persamaan (3), maka

    persamaan masing-masing sektor adalah sebagai berikut :

    a11X1 + a12X2 + a13X3 + F1 = X1

    a21X1 + a22X2 + a23X3 + F2 = X2 . . . . . . . . . . . . . . . .(4)

    . . . . .

    . . . . .

    an1X1 + an2X2 + an3X3 + Fn = Xn

    Apabila persamaan (4) diformulasikan dalam bentuk matrik, maka

    persamaannya menjadi sebagai berikut :

    .

    .....

    .

    .

    21

    22221

    11211

    nknn

    k

    k

    aaa

    aaaaaa

    nX

    XX

    .2

    1

    +

    nF

    FF

    .2

    1

    =

    nX

    XX

    .2

    1

    . . . . . . . . . . . . . .(5)

    A X + F = X

    Dengan demikian dapat ditulis dalam notasi matrik sebagai berikut :

    AX + F = X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (6)

    dimana :

    A = Matrik koefisien input antara

    X = Vektor output seluruh sektor

    F = Vektor permintaan akhir

    F = X AX . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (7)

    F = [I-A] X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (8)

  • 18

    X = ][ AI

    F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (9)

    X = ][

    1AI F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (10)

    X = [I A]-1 F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (11)

    [I A]-1 = Koefisien Leontief/koefisien penggada/matrik kebalikan

    3.3. Optimalisasi Sumberdaya Dengan Model LGP

    Pada prinsipnya, kerangka pemecahan metode LGP adalah minimisasi

    deviasi dari beberapa set tujuan yang telah ditentukan oleh pengambil keputusan.

    Setiap deviasi peubah di dalam fungsi tujuan dipresentasikan ke dalam nilai positip

    (p) dan negatif (n) deviasi setap tujuan. Dengan demikian algoritmanya berupa

    tujuan meminimalkan deviasi-deviasi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan

    peringkat kepentingan (prioritas) pengambil keputusan.

    Misalkan dalam perancangan terdapat m tujuan, maka bentuk umum model LGP tersebut dapat dipresentasikan sebagai berikut:

    Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan

    Minimisasi ( ),n p=Z dengan kendala:

    ; ; 0n p X n p

    X

    D + I - I = h

    Dengan keterangan notasi: D = matrik (m x n) dari m tujuan dan n peubah keputusan (decision variables) X = n komponen vektor kolom peubah keputusan n dan p = m vektor kolom yang menunjukkan deviasi tujuan-tujuan dalam model I = matrik identitas (m x m) h = m komponen vektor kolom sebagai aspirasi pemenuhan tingkat tujuan yang hendak dicapai. Sudah barang tentu model di atas dapat dipecahkan jika tingkat prioritas dan

    atau bobot setiap tujuan dapat dibedakan. Andaikan terdapat beberapa tujuan

    dengan prioritas yang berbeda, faktor prioritas Pr ( r = 1, 2, ... , k) maka bentuk

    umum penjabarannya pada fungsi tujuan dalam LGP adalah:

    ,Min = 1 2 kP (n, p), P (n, p), P (n, p)Z L

  • 19

    Oleh karena itu model LGP dapat dirumuskan menjadi:

    Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan

    Minimisasi ( ),n p=Z dengan kendala:

    ; ,

    + - =

    + - =

    n p

    n p

    AX I I b

    DX I I h

    X n p 0

    dimana:

    Z = k komponen vektor kolom dari peubah deviasi ( k < m )

    A = matrik ( w x n ) teknologi (koefisien input-output pada himpunan kendala

    b = w vektor komponen kolom kendala

    n dan p = w komponen vektor deviasi, dimana p adalah deviasi positfp dan n adalah

    deviasi negatif.

    Dalam penelitian ini upaya untuk meminimalkan subyektivitas dalam

    spesifikasi fungsi tujuan akan ditempuh melalui diskusi yang intensif dengan pihak-

    pihak yang terkait di wilayah penelitian, terutama BAPPEDA, Instansi terkait di

    lingkup Kementerian Pertanian yang berada di wilayah penelitian, petani, kelompok

    tani, PPL, dan sebagainya. Untuk sementara diperkirakan bahwa tujuan yang

    terpenting adalah peningkatan pendapatan petani dan peningkatan produksi

    pertanian.

    Penentuan koefisien teknologi dalam himpunan kendala merupakan salah

    satu tugas terberat dalam pemodelan. Agar efisien maka selain ditentukan

    berdasarkan hasil survey di lapangan, studi pustaka atas penelitian terdahulu yang

    relevan akan dimanfaatkan.

    Kendala terpenting adalah lahan, sumbedaya air, tenaga kerja, dan modal.

    Penentuan ketersediaan sumberdaya didasarkan atas data sekunder yang dikoreksi

    dengan hasil survey maupun dari studi pustaka yang relevan dengan lokasi

    penelitian.

    3.4. Lokasi Penelitian

    Lokasi penelitian di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, level

    wilayah yang diambil adalah Kabupaten, sedangkan untuk luar P. Jawa adalah

    Provinsi. Perbedaan itu didasari pertimbangan bahwa di Pulau Jawa, sebaran spatial

  • 20

    agroekosistem lahan kering tidak terwakili jika unit analisisnya Provinsi. Berbeda

    dengan itu, untuk di Luar P. Jawa dimungkinkan untuk mengambil Provinsi sebagai

    unit analisis.

    Di Pulau Jawa, lokasi yang akan diambil adalah salah satu kabupaten di

    provinsi Jawa Tengah. Di Luar P. Jawa, lokasi yang dipilih adalah salah satu dari

    Provinsi Nusa Tenggara Barat atau Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepastian lokasi

    untuk di Luar Jawa ini akan ditentukan setelah memperoleh masukan dari Seminar

    Proposal dan studi pendahuluan.

    3.5. Data

    Data yang diperlukan mencakup data sekunder maupun data primer. Data sekunder akan diperoleh dari instansi / lembaga terkait yang relevan dengan tujuan

    penelitian. Data primer akan diperoleh dari survey di tingkat kelompok tani dan

    petani. Instrumen penelitian yang diperlukan untuk mengumpulkan data tersebut

    berupa panduan wawancara, daftar isian, dan kuesioner.

    3.5. Jadwal Palang

    Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DesPembuatan Proposal Seminar dan perbaikan Proposal

    Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survei dan pretest kuesioner

    Survey Utama Pengolahan dan analisis data Penulisan Laporan Seminar hasil peneltitian Perbaikan laporan hasil penelitian

    Penggandaan

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA Arsana, D. IGAK, IGAK Sudaratmaja, dan IN Suyana. 2004. Keragaan Usahatani Tanaman-

    Ternak di Lahan Irigasi dan Lahan Kering di Bali. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

    Badan Litbang Pertanian. 2007. Bahan Penetapan Calon Lokasi PUAP 2006. Badan Litbang Pertanian. Jakarta

    Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.

    Bulmer-Thomas, V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Countries: Sources, Methods and Applications. John Wiley & Sons Ltd, New York.

    Daryanto, A. 1999. Structural Change and Determinants of Agriculture's Relative Decline. Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics, 12(3): 75-94.

    Direktorat Perluasan Areal. 2009. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pangan Lahan Kering. Tahun 2009. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen PLA. Jakarta.

    Flinn, J.C., and S. Jayasuriya. 1980. Incorporating Multiple Objectives in Planning Models of Low-Resource Farmers. Australian Journal of Agriculture Economics, April: 35 45.

    Guritno, B., T. Adisarwanto, dan E. Legowo. 1997. Teknologi Tepat Guna Lahan Kering di Kawasan Timur Indonesia Bagian Selatan. Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI 25-27 Juli 1996. Perhimpunan Agronomi Indonesia.

    Hasnudi dan E. Saleh. 2004. Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usahatani Terpadu di Indonesia.Digitized by Universitas Sumatera Utara Digital Library.

    Ignizio, J. P. 1976. Goal Programming and Extensions. Health, Lexington, Massachusetts. Ilham, N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model

    Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

    Ijeri, Y. 1965. Management Goals and Accounting For Control. North Holland, Amsterdam. Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan Dengan Sistem

    Polikultur. Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding-%2007/1-4.pdf [29/1/10).

    Lee, S. M. 1972. Goal Programming for Decision Analysis. Auerbach, Philadelphia, PA. Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian

    Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Unversitas Sebelas Maret, Surakarta.

    Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 28 (2): 16-17. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

    Mulyani, A.; F. Agus; dan David Allelorung. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Pengembangan Jarak Pagar. Dalam. Jurnal Badan Litbang Pertanian, Vol 25 (4): 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

    Muthukude, P., J. L. Novak, and C. Jolly. 1991. Goal Programming Evaluation of Fisheries Development Plans fro Sri Lankas Coastal Fishing Fleet. Fisheries Research, Vol. 12: 41 63.

    Notohadiprawiro. T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor, 6-8 Desember. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006).

    Ratnawaty, S., M. Ratnada, Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

    Sharma, D. K., D. Ghosh, and J. A. Alade. 2003. Management Decision-making for Sugar Cane Fertilizer Mix Problems Through Goal Programming. Journal of Applied Mathematics and Computing, Vol. 13(1- 2): 323 334.

  • 22

    Sharma, D. K., J. A. Alade, and E. T. Acquah. 2006. An Economic Impact of Marylands Coastal Bays: A Goal Programming Approach. International Business & Economics Research Journal, Vol. 5(5): 41 50.

    Sumaryanto. 2008. Kinerja Lahan dan Tenaga Kerja Dalam Mendukung Ketahanan dan Sawsembada Pangan. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional "Kebijakan dan Peta Perjalanan Pembangunan Pertanian dalam Rangka Ketahanan dan Swasembada Pangan" yang diselenggarakan oleh kerjasama BAPPENAS - CARE - IPB pada 17 November 2008 di Bogor.

    Syafa'at, N. dan S. Friyatno. 2000. Peranan Industri Terigu dan yang Berbahan Baku Terigu dalam Penciptaan Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

    Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

    Tapadas, C.T. and D. C. Dahl. 1999. Supply-Driven Input-Output Multipliers. Journal of Agricultural Economics, 4(10): 35-40.

    Terosa, C., K. Demura and A. Ito. 2000. An Input-Output Analysis of the Production Generation and Adjusment Mechanisms of Agriculture Through Time: The Case of Japan, Korea, Taiwan, and the Philippines. In Bustanul A. and H. S. Dillon (eds.). Asian Agriculture Facing The 21st Century. Asian Society of Agricultural Economists, Jakarta.

    West, G.R. 1993. GRIMP: Input-Output Analysis for Practitioners. Version 7.1. User's Guide. Department of Economics, University of Queensland, Queensland.

  • 23

    Makalah Seminar Proposal Operasional T.A. 2010

    OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING

    Oleh:

    Henny Mayrowani Sumaryanto

    Delima Hasri Azahari Nyak Ilham

    Supena Friyatno Ashari

    PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

    KEMENTERIAN PERTANIAN 2010