jurnal lahan basah
DESCRIPTION
lahan basahTRANSCRIPT
-
OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA
AGROEKOSISTEM LAHAN KERING
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Atas dasar pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan
pengembangan pertanian pada era Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkait
dengan itu, perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan
kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi,
perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem
lahan kering (kecuali beberapa komoditas hortikultura tertentu) menjadi sangat
lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistem pesawahan.
Demikianpun halnya dengan peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan
terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi.
Sampai sekarang perubahan nyata dari kondisi seperti tersebut belum
tampak (Sumaryanto, 2008). Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan pemerintah
dalam subsidi pupuk dan benih. Subsidi pupuk difokuskan untuk padi dan untuk
mewujudkan tepat sasaran maka distribusinya menggunakan sistem tertutup.
Subsidi benih padi bahkan dilakukan dengan pemberian bantuan langsung secara
gratis. Sejumlah sasaran memang dicapai. Setidaknya pada tahun 2008 yang lalu
(dan mungkin juga tahun 2009 ini) peningkatan produksi padi lebih besar daripada
yang dicapai pada tahun tiga tahun terakhir sebelum tahun 2008 tersebut. Meskpun
demikian sejumlah kritik terhadap pencapaian sasaran juga perlu diperhatikan
mengingat bahwa jumlah pengeluaran pemerintah untuk subsidi tersebut sangat
besar (tahun 2008 mencapai 15 trilyun Rupiah)1.
Dibandingkan dengan lahan pesawahan, investasi per unit luasan yang
diperlukan untuk mendayagunakan lahan kering jauh lebih rendah. Semantara itu
jika dilihat dari luasannya maka dapat disebutkan bahwa potensi yang tersedia jauh
lebih besar daripada lahan sawah. Statistik berikut ini memberikan gambaran yang
dimaksud.
1 Apakah kebijakan tersebut di atas tepat, tentu tidak mudah menjawabnya. Sejumlah argumen yang pro maupun yang kontra mempunyai landasan yang cukup kuat, namun seringkali sulit dikompromikan karena merambah pula pada dimensi politik.
-
2
Menurut data BPS Tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah
sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5) berupa adalah
lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 persen) lahan sawah. Untuk lahan
kering tersebut rinciannya adalah: lahan kering yang berupa tegal, kebun, ladang,
ataupun huma sekitar 14.9 juta hektar, perkebunan besar (swasta dan BUMN) 19.6
juta hektar, pekarangan/lahan sekitar bangunan sekitar 5.6 juta hektar,
tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu hektar, dan lainnya (ditanami kayu dan atau
sementara tak diusahakan serta padang rumput )sekitar 2.9 juta hektar.
Urgensi peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering
juga terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan
pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi
pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah
peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak
langsung adalah melalui kaitan ke depan dan ke belakanganya. Kedua, berkontribusi
pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat
dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan
devisa (mengurang impor). Keempat, realisasi dari komitmen untuk mewujudkan
keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di Luar P. Jawa
karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan
di wilayah tersebut. Kelima, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim melalui pengembangan usahatani berbasis prinsip konservasi.
Selama ini makna tentang agroekosistem lahan kering tidak berkonotasi
tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau
kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering yang dalam
hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering
dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian.
Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran
Sungai (upland agriculture).
Dalam penelitian ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah
pada konotasi yang kedua: wilayah beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini
maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup
pula di dalamnya karena merupakan bagian integral dari sistem pertanian
agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah
tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman
perkebunan, sayuran, dan peternakan.
-
3
1.2. Perumusan Masalah
Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan.
Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan
pendapatan, dan pemerataan pendapatan, dan perluasan kesempatan kerja. Bahkan
sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian
integral dari pembangunan pertanian. Ini berlaku umum, termasuk pada pula
pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.
Berbagai hasil pengamatan lapang maupun dari hasil-hasil penelitian
terdahulu dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya pertanian
pada agroekosistem masih jauh dari optimal. Pada satu sisi, potensi yang tersedia
belum terdayagunakan secara maksimal; sedangkan pada sisi yang lain cukup
banyak ditemukan kasus-kasus pemanfaatan yang eksesif sehingga tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip efisiensi dan keberlanjutan.
Pertanian adalah bagian integral dari sistem perekonomian secara utuh.
Perkembangannya dipengaruhi oleh kinerja sektor-sektor perekonomian lainnya; dan
sebaliknya kinerja pertanian juga mempengaruhi perkembangan sektor-sektor
lainnya. Sifat saling keterkaitan itu di satu sisi merupakan determinan perkembangan
sektoral (termasuk pertanian), dan di sisi lain berimplikasi pada mekanisme
pemanfaatan sumberdaya, terutama tenaga kerja dan modal.
Saling keterkaitan juga terjadi antar level aktivitas ekonomi. Kinerja pertanian
agregat wilayah atau nasional ditentukan oleh kinerja unit-unit usahatani pada level
mikro, sebaliknya apa yang terjadi pada level wilayah/nasional juga mempengaruhi
kinerja usahatani pada level mikro.
Optimalisasi sumberdaya pertanian yang selama ini dikaji cenderung fokus
pada lingkup mikro dalam arti pada unit-unit usahatani level petani. Sesuai dengan
ruang lingkup dan fokus kajiannya, informasi yang dihasilkan sangat bermanfaat
untuk merancang sistem usahatani yang menghasilkan pendapatan maksimal, dan
atau selaras dengan prinsip-prinsip usahatani konservasi. Pada sisi yang lain, kajian-
kajian yang berkenaan dengan pengembangan ekonomi wilayah seringkali kurang
memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor pertanian; betapapun secara
empiris sektor ini berkontribusi sangat besar dalam penyediaan lapangan kerja dan
pengentasan kemiskinan. Berangkat dari kondisi tersebut, oriantasi penelitian ini
adalah untuk mendukung pendayagunaan sumberdaya pertanian dengan
menggunakan wilayah sebagai unit analisis.
-
4
1.3. Tujuan dan Keluaran
1.3.1. Tujuan
Sasaran penelitian adalah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam
rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian pada wilayah dominan
agroekosistem lahan kering. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah:
(1) Untuk memperoleh gambaran mengenai profil perekonomian wilayah yang
didominasi agroekosistem lahan kering lokasi penelitian, terutama dalam
konteks keterkaitan sektoral dan implikasinya terhadap pembentukan output,
nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja.
(2) Untuk mengidentifikasi kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya
pertanian pada wilayah yang didominasi agroekosistem lahan kering.
(3) Untuk mencari solusi optimal mengenai pemanfaatan sumberdaya pertanian
wilayah dominan agroekosistem lahan kering.
(4) Untuk merumuskan kebijakan dan program relevan dengan tujuan (3).
1.3.2. Keluaran
Keluaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi hasil penelitian
empiris yang dapat dapat dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan dan program
pemanfaatan sumberdaya pertanian pada agroekosistem lahan kering. Secara
spesifik adalah:
(1) Data dan informasi mengenai profil perekonomian wilayah agroekosistem
lahan kering lokasi penelitian, utamanya tentang keterkaitan antar sektor
ekonomi dan implikasinya terhadap perekonomian wilayah tersebut.
(2) Data dan informasi tentang kendala dan potensi pemanfaatan sumberdaya
pertanian pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.
(3) Data dan informasi mengenai tingkat pencapaian tujuan yang mungkin
dicapai dan aktivitas pertanian pada solusi optimal atau solusi yang
memenuhi kriteria satisfying pada wilayah dominan agroekosistem lahan
kering.
(4) Memperoleh masukan yang bermanfaat untuk merumuskan kebijakan dan
program pengembangan pertanian wilayah dominan agroekosistem lahan
kering.
-
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dari tinjauan historis menurut sudut pandang pendayagunaan sumberdaya
lahan, pola penggunaan tanah di Indonesia telah berubah dari pola ekstensif alamiah
(hutan, semak dan padang penggembalaan) ke pola yang relatif intensif. Secara
garis besar kecepatan ekspansi areal pertanian kurang lebih seimbang dengan
urbanisasi dan industrialisasi namun tidak linier dan dinamikanya dalah sebagai
berikut. Pada periode 1961 1975, perluasan areal pertanian lebih cepat dari
urbanisasi dan industrialisasi, dan pasok tanah pertanian terutama berasal dari alih
fungsi lahan padang pengembalaan dan belukar alang-alang. Pada periode 1972
1982 tingkat urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, dan pasok tanah untuk areal
pertanian baru adalah berasal dari konversi hutan. Sementara itu sejak 1982
sekarang perluasan areal pertanian kembali lebih cepat dari perluasan urbanisasi
dan industrialisasi (Nasoetion dan Saefulhakim, 1994). Menyimak fenomena tersebut
Nasoetion (1994) menafsirkan bahwa selam tiga dekade terakhir telah terjadi
degradasi tanah yang akar penyebabnya adalah tekanan pertumbuhan penduduk
dan transformasi ekonomi dari struktur ekonomi yang lebih agraris ke arah struktur
ekonomi yang lebih industrialistik.
Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua: (a)
usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh
badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat.
Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi
menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah
lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura
dan (ii) perkebunan rakyat.
Terkait dengan orientasi kebijakan pengembangan pertanian rakyat yang
selama ini ditempuh, perkembangan pertanian paling maju adalah pada
agroekosistem pesawahan yakni dalam usahatani padi. Pada usahatani berbasis
lahan kering usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman
perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan
khususnya unggas. Khususnya untuk usahatani sayuran dan peternakan,
kemajuannya cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup nyata
adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi kurang
berkembang.
-
6
2.1. Agroekosistem Lahan Kering
Meskipun berkaitan erat, pengertian tentang tentang agroekosistem berbeda
dengan ekosistem. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami
(iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsur-
unsur buatan. Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim digunakan
mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang infrastruktur.
Dalam konteks perumusan kebijakan dan program pengembangan seringkali
perumus kebijakan berorientasi pada pendekatan pragmatis dan untuk itu definisi
dan konsep yang dikembangkan juga mengacu pada pendekatan pragmatis. Hal ini
dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dkk (2008) yang membedakan
agroekosistem menjadi 3: (1) pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i) lahan
kering berbasis tanaman pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis tanaman
perkebunan), dan (3) agroekosistem pesisir.
Dalam pendekatan yang lain, pengertian mengenai lahan kering dapat
mengacu pada beberapa penelitian berikut. Penggunaan istilah lahan kering di
Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk
padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro,
1989). Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana
pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak
pernah tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan untuk pertanian
lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan huma.
Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan
pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di
bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau
lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air
hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal
(2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada
sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah
dan lahan kerign dataran tinggi.
Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia
dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak
dijumpai di Kawasan Timur Indonesia, dan (2) lahan kering beriklim basah, yang
banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah
-
7
pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah
pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan
potensi dan dominasi vegetasinya
Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan,
dapat dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedele, dan palawija lainnya.
Ketersediaan lahan in icukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data
dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7
propinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi
gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075
ha), Lampung (802 341 ha), jawa Barat (184 160 ha), Banten (36 631 ha), NTT (550
075 ha) dan Kalbar (2.211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009).
Untuk pengembangan komoditas perkebunan, dapat dinyatakan bahwa
hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor
dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan
pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi
pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini.
Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup
baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar
domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi
pedaging, sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam, burung puyuh) masih
akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan
per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada
program dan aksi nyata yang revolusioner.
Ternak ruminansia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-
landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari
lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada
menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian.
Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara
usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak di bawah
pohon kelapa (coco-beef), usaha ternak di bawah kebun kelapa sawit (palm oil-beef),
dan kombinasi usaha tanaman pangan dengan ternak (Crops Livestock System-
CLS).
Usaha ternak ruminasia dengan sistem landbase dilakukan pada padang
penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan kelas IV yang banyak terdapat
-
8
di Kawasan Timur Indonesia. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering
seperti NTT, NTB, dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi
ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.
Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan perluasan areal
untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu akibatnya
terjadi kompetisi penggunaan lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor
petanian. Beberapa pihak beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan
tidur sehingga perlu diefektifkan pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian
memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya merupakan basis pengembangan
usaha peternakan .
Dengan kondisi yang demikian, usahatani ternak di lahan kering NTT tidak
hanya mengandalkan padang penggembalaan tetapi juga dikembangkan usahatani
ternak yang lebih intensif yang dikenal dengan sistem paronisasi (bagi hasil). Pada
sistem paronisasi ternak sapi dipelihara dengan sistem dikandangkan. Ternak diberi
pakan yang berasal dari berbagai sumber yaitu rumput alam di padang
penggemabalaan terbatas, tanaman rumput unggul yang ditanam, limbah tanaman
pangan dan dedaunan dari pepohonan (Ratnawaty et al. 2004).
Belajar dari pengalaman daerah lain, usaha sapi potong yang intensif
mengalami kesulitan untuk mendapatkan bakalan sehingga harganya menjadi
mahal. Karena itu sebaiknya pengembangan sapi potong di NTT mengkombinasikan
usaha sapi potong intensif (non-landbase) yang dikombinasikan dengan usahatani
tanaman pangan dan perkebunan sebagai penghasil sapi potong dan usaha sapi
potong ekstensif (landbase) di padang penggembalaan sebagai penghasil sapi bibit
dan sapi bakalan (Ilham et al. 2009). Oleh karena itu optimalisasi lahan kering berarti
memanfaatkan lahan sesuai dengan penggunaanya, termasuk pemanfaatan padang
penggembalaan untuk usaha ternak sapi otong.
Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem
usahatani di lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi
petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al. 2004).
Menurut Arsana et al. (2004) dengan rata-rata pemilikan lahan 50 are, pendapatan
rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan
kering mencapai Rp 3,24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari
kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31,4%, ternak sapi 25,5%, kelapa dan kopi
-
9
19,9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan
usahatani padi pada MH 6,2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi.
Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan
ruminasia di lahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat
ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat
menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7,5 ton per tahun yang
mengandung sekitar 15 kg Nitrogen, 15 kg P2O5 dan 20 kg K2O (Hasnudi dan
Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara kotoran ternak mampu
memperbaiki sifat fisik dan bilogi tanah.
Pengembangan peternakan di lahan kering membutuhkan hijauan pakan.
Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa)
dan ada pepohonan (leguminosa). Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-
lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi, demikian juga dengan tanaman
legumninosa pohon dapat mencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui
rhizobium yang terdapat pada bintil akar.
Perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan pada wilayah
lahan kering telah dilaksanakan program P4MI (Program Peningkatan Pendapatan
Petani Melalui Inovasi) yang berloaksi di kabupaten Blora dan Temanggung provinsi
Jawa Tengah, kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat, kabupaten
Ende provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kabupaten Donggala provinsi
Sulawesi Tengah (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman tahunan/perkebunan.
Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu
pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan
nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya
produktivitasnya rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman
tahunan/perkebunan. Pada usahatani lahan kering dengan tanaman semusim,
produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti
tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana, dalam
Syam, 2003).
Jika mengacu kepada data penggunaan lahan menurut BPS, yang
dielaborasi keseusaian lahan kering oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
maka jika mengambil 10 provinsi terbesar sebaran potensi lahan kering terdapat di
-
10
Provinsi Kalimantan Timur, Papu, Kalimantan Barat, Kalimanatan Tengah, Sumatera
Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sumatera Utara dan Maluku
Utara (Mulyani, dkk. 2006).
Pada umumnya sistem pertanian lahan kering belum dipahami secara
mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala
lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta keterbatasan sentuhan
teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem
usahatani yang ada masih terbatas (Guritno, et al, 1997). Kerusakan fungsi lahan
sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang
minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Di
lain pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marginal yang
ditandai dengan pendapatan dan pendidikan rendah, ketrampilan terbatas, dan
terbatasnya pelaksanaan kondervasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin dan
Ladamay, dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah-masalah klasik di
kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal,
terencana dan berkelanjutan.
Untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering, menurut
Notohadiprawiro (1989), diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi
lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang
dipandang tepat adalah berasaskan LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yang
terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: (i) memandu kemampuan
alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur
lingkungan menjadi produk berguna bagi manusia, (ii) adaptasi tanaman dan ternak
pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi, pemuliaan konvesnisoanl atau
rekayasa genetik, dan (iii) membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas
usahatani, pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian dan pelancaran
pemsaran hasil usahatani.
Ketiga rakitan tersebut dimaksudkan untuk (1) membatasi ketergantungan
pertanian pada masukan komersial, seperti pupuk pabrik, bahan kimia pemenda
tanah (chemical soil amendments), pestisida, subsidi dan kredit, (2) membatasi
usikan kegiatan atas lingkungan, yang berarti mengurangi dampak negatif atas
lingkungan dan (3) mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional.
Dalam tataran praktek, pendekatan tersebut seringkali berbenturan dengan
orientasi peningkatan produksi dan pendapatan. Terkait dengan itu, solusi yang
-
11
kemudian ditempuh menjadi parsial dan cenderung tak tekoordinasi dengan baik. Hal
ini selain merupakan implikasi logis dari pendekatan level mikro, terkait pula dengan
ego sektoral yang seringkali sulit dieliminasi dalam proses pengambilan keputusan.
2.2. Optimalisasi Sumberdaya
2.2.1. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi
Optimalisasi sumberdaya pertanian akan lebih realistis jika dibekali dengan
pemahaman yang baik tentang kaitan sektoral perekonomian wilayah beserta
implikasinya. Secara teoritis, model ideal untuk optimalisasi sumberdaya sangat
diwarnai oleh karakteristik hubungan antar sektor perekonomian itu dalam konteks
pemanfaatan sumberdaya, maupun kontribusinya dalam pencapaian tujuan yang
ditetapkan.
Untuk memperoleh gambaran obyektif tentang profil ekonomi suatu wilayah
diperlukan setidaknya tiga kategori informasi: (i) ukuran yang menggambarkan
besaran nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produksi, dan harga-harga beserta
perkembangannya, (2) ukuran yang menggambarkan hubungan saling keterkaitan
antar sektor perekonomian, (3) ukuran yang menggambarkan alokasi penggunaan
sumberdaya. Setidaknya untuk dua kategori yang pertama, dapat difasilitasi dengan
analisis ekonomi dengan pendekatan Input - Output (West, 1993).
Dengan pendekatan Input Output, (model I O), keterkaitan antar sektor
perekonomian berikut implikasinya terhadap perubahan output, nilai tambah, dan
penggunaan tenaga kerja, dapat dihitung dengan baik. Analisis keterkaitan terhadap
sektor hilirnya disebut analisis keterkaitan sektor ke depan (forward linkages),
sedangkan keterkaitan dengan sektor hulunya disebut analisis keterkaitan
kebelakang (backward linkages). Aplikasi pendekatan ini sudah banyak dilakukan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, dapat disimak misalnya pada Daryanto (1999),
Syafaat dan Friyatno (2000), Rachman (1993), Tapadas dan Dahl (1999).
Pada dasarnya data tabel Input-Output adalah merupakan hubungan antara
penawaran (Supply) dan permintaan (Demand) dari sektor-sektor ekonomi makro
yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Penawaran adalah merupakan nilai produksi
dari sektor ekonomi, penawaran terhadap sektor sebagai input antara dan terhadap
permintaan akhir yang dikonsumsi langsung adalah merupakan total output
sedangkan permintaan adalah nilai input untuk sektor ekonomi (disebut input antara),
-
12
sedangkan input diluar input antara disebut input primer. Jumlah input antara dengan
input primer harus sama dengan output.
Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam data Input-Output adalah : (1)
keseragaman (homogenity), yaitu asumsi bahwa setiap sektor ekonomi hanya
memproduksi satu jenis barang dan jasa, (2) kesebandingan (proportionality) yaitu
asumsi bahwa hubungan antara input dan output pada setiap sektor merupakan
fungsi linier, dan (3) penjumlahan (additivity) yaitu asumsi bahwa total efek dari
kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada
masing-masing kegiatan (BPS, 1995). Namun di sisi lain, input-output memiliki
kelebihan yaitu mampu menangkap dampak perubahan eksogen secara holistik
pada seluruh sektor-sektor yang ada dengan menggunakan Leontief inverse matrix
(Terosa et al., 2000).
Dengan tetap menyadari keterbatasannya (implikasi dari asumsi dasar model
I O), salah satu elegansi pendekatan I O adalah kesederhanaan komputasinya
untuk menyediakan informasi kuantitatif yang menggambarkan dampak investasi di
suatu sektor terhadap perekonomian wilayah. Dimungkinkan untuk memperoleh
informasi mengenai dampak investasi tersebut dalam pembentukan nilai tambah,
output, maupun penyerapan tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan, sektor-
sektor ekonomi terkait, maupun keseluruhan sektor ekonomi. Demikianpun dengan
analisis dekomposisi sehingga dapat diketahui dampak yang sifatnya langsung,
maupun tidak langsung.
2.2.2. Optimasi Sumberdaya Multi Tujuan (Multi Objective Programing)
Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan yang
berkelanjutan. Jika dirinci maka bersifat multi tujuan dan multi dimensi: pendapatan,
keadilan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai tujuan diperlukan pendayagunaan
sumberdaya. Dalam beberapa konteks demikian itu sifat hubungan antar tujuan
tersebut tidak selalu komplementer; bahkan berkompetisi. Dengan kata lain, untuk
mencapai tujuan yang satu kadangkala harus mengorbankan tujuan yang lain.
Kondisi tersebut berimplikasi pada optimalisasi sumberdaya; baik dalam
perumusan tujuan maupun kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan itu. Pada
perumusan tujuan, diperlukan adanya kompromi ketika dihadapkan pada
komponen-komponen tujuan yang saling berkompetisi dalam pendayagunaan
sumberdaya. Oleh karena itu, untuk model pemrograman multi tujuan kriteria
optimal diterjemahkan sebagai kriteria yang memuaskan (satisfying).
-
13
Dalam konteks pengambilan keputusan, masalah tersebut merupakan salah
contoh dari Multicriteria-Decision Making (MCDM). Terkait dengan itu, salah satu
model yang sering digunakan adalah Multi Objective Programming (MOP).
Terdapat berbagai teknik optimasi yang termasuk dalam kelompok MOP,
antara lain adalah Step Method (SM), Minimax Goal Programming (MGP), Non linear
Goal Programming (NLGP), Linear Goal Programming (LGP), Expert System, dan
lain sebagainya. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan keunggulan, terkait
dengan asumsinya. Namun yang jelas, semakin realistis maka semakin kompleks
dan semakin sulit pula teknik komputasinya.
Diantara MOP tersebut yang paling sederhana adalah LGP. Konsep LGP
pertama kali dipergunakan oleh Charnes and Cooper pada Tahun 1961.
Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Ijeri (1965), Lee (1972), dan Ignizio
(1976). Kemudahan pemahaman tentang model ini melalui deskripsi grafis dan
simpleks dapat dijumpai misalnya pada Flinn and Jayasuria (1980).
Seiring dengan pesatnya kemajuan yang terjadi di bidang komputasi dan
pemodelan, berbagai modifikasi dan pengembangan model LGP juga dilakukan.
Salah satu contoh adalah Fuzzy Linear Goal Programming (FLGP).
Aplikasi Goal Programming pada studi di bidang pertanian, perikanan,
ataupun kehutanan pada beberapa tahun terakhir dapat disimak misalnya pada
Sharma, Alade, and Acquah (2006); Sharma, Ghosh, and Alade (2003); ataupun
Muthukude, Novak, and Jolly (1991).
Salah satu keterbatasan utama aplikasi LGP sebagai pendakatan MCDM
terkait dengan stigma cenderung subyektif yang melekat pada penentuan fungsi
tujuan. Seringkali, penentuan prioritas dan atau bobot masing-masing tujuan tidak
sepenuhnya dapat dilakaukan secara obyektif. Kecenderungan ini dapat dikurangi
jika dalam penentuan fungsi tujuan dapat dilakukan sintesis yang sangat baik antara
hasil analisis berbasis data hasil survey dengan hasil Focus Group Discussion (FGD)
dengan stake holder yang juga dilakukan dengan seksama.
Pada pendekatan SM, upaya meminimalkan subyektivitas dalam penentuan
fungsi tujuan dengan sendirinya dapat dilakukan mengingat penentuan fungsi tujuan
maupun solusi yang dihasilkan pada setiap tahap iterasi melibatkan secara langsung
stake holder yang tercakup dalam sistem pada pendefinisian model. Hal ini terjadi
karena proses tersebut merupakan inti pokok dari kerangka konsep pendekatan SM.
Persoalan uatama yang dihadapi dalam aplikasi metode SM adalah proses iterasinya
yang membutuhkan waktu panjang dan biayanya yang mahal.
-
14
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Optimalisasi sumberdaya pertanian dapat dilakukan pada berbagai level,
lokasi, ataupun horizon waktu. atau unit analisis. Pada umumnya meskipun
substansi yang dikaji sama tetapi solusi optimal yang dihasilkan akan berbeda jika
unit analisisnya berbeda. Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikut. Solusi optimal
usahatani pada level kelompok tani dengan unit analisis kelompok yang
bersangkutan kemungkinan besar akan berbeda dengan solusi optimal yang
diperoleh kelompok tersebut ketika unit analisis yang dipergunakan adalah level Sub
DAS atau DAS. Hal itu merupakan implikasi logis dari adanya saling keterkaitan
antara satu kelompok tani tersebut dengan kelompok tani lainnya, baik dalam
penggunaan sumberdaya (misalnya air irigasi), tenaga kerja, modal ataupun tenaga
kerja. Demikianpun halnya dengan implikasi dari horizon waktu. Solusi optimal untuk
pemanfaatan sumberdaya dengan horizon waktu setahun akan berbeda dengan
solusi optimal yang diperoleh jika horizon waktu yang dipergunakan adalah 5 atau 10
tahun. Serupa dengan itu, solusi optimal sumberdaya pertanian yang diperoleh dari
pemodelan yang hanya memperhaikan eksistensi sektor pertanian saja akan
berbeda dengan jika eksistensi sektor lain diperhitungkan sebagai bagian integral
dari sistem yang dikaji. Atas dasar itu maka pemahaman yang baik mengenai
eksistensi sektor pertanian dalam pemanfaatan sumberdaya harus diposisikan
sebagai bagian integral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Dengan kata lain,
keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi beserta implikasinya terhadap pemanfaatan
sumberdaya maupun dalam pembentukan output dan nilai tambah harus dipahami
dengan baik dan diperlakukan sebagai dasar pengembangan model optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya pertanian.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka unit analisis yang akan diterapkan
dalam penelitian ini adalah wilayah. Selain untuk mengkondisikan agar hasil analisis
dapat dipergunakan untuk perencanaan wilayah, pendekatan tersebut juga
dimaksudkan untuk melengkapi berbagai hasil analisis optimalisasi sumberdaya
pertanian lingkup mikro yang selama ini banyak dilakukan.
Sebagaimana diketahui, tujuan pembangunan pertanian bersifat multi tujuan.
Setidaknya ada tiga tujuan yang selalu tercakup di dalamnya: (i) peningkatan
produksi pertanian, (ii) peningkatan pendapatan petani, (iii) penyediaan lapangan
kerja. Solusi yang untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi oleh sumberdaya yang
-
15
tersedia (modal, tenaga kerja, lahan, air, dan sebagainya). Selain itu, prinsip-prinsip
keberlanjutan (sustainability) dan pemerataan juga perlu dipertimbangkan. Dalam
konteks ini, apakah prinsip keberlanjutan dan pemerataan juga diperhitungkan
sebagai bagian dari tujuan ataukah diperlakukan sebagai persyaratan yang
mengkendala pencapaian tujuan; sangat tergantung pada aspirasi pengambil
keputusan (masyarakat dan pemerintah). Oleh karena multi tujuan maka model
optimasi yang lebih sesuasi diterapkan adalah Multi Objective Programming (MOP).
Salah satu model MOP yang sederhana tetapi juga cukup populer dan workable
adalah Linear Goal Programming (LGP). Atas dasar pertimbangan managemen
penelitian, yang akan diterapkan dalam penelitia ini adalah LGP.
Dalam model LGP yang akan diterapkan dalam penelitian ini, data dan
informasi yang dihasilkan dari analisis I O akan sangat berguna. Pertama, dapat
dimanfaatkan sebagai acuan dalam menyusun hubungan antar aktivitas. Kedua,
sebagai acuan untuk mengevaluasi koefisien teknologi. Ketiga, merupakan salah
satu masukan untuk mengevaluasi kelogisan komparasi antar aktivitas. Lebih dari itu
semua, mengingat bahwa Tabel I O pada dasarnya menggambarkan
keseimbangan umum antara permintaan dan penawaran dari keseluruhan sektor
ekonomi maka dapat pula dimanfaatkan sebagai acuan dalam mengevaluasi
feasible region dari model LGP yang akan diterapkan.
Disadari sepenuhnya bahwa betapapun telah dirancang dengan seksama,
tentu saja masih sangat banyak faktor-faktor yang dalam dunia nyata sangat penting
namun tidak dapat disertakan dalam pemodelan. Faktor-faktor yang sifatnya
intangible maupun faktor kelembagaan sosial pada umumnya sangat sulit
dimasukkan dalam pemodelan dengan LGP, padahal dalam banyak kasus sangat
banyak pengaruhnya terhadap pencapain tujuan.
Untuk dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi kebijakan, kesimpulan yang
diperoleh dari solusi optimal perlu dilengkapi dengan kajian ataupun evaluasi
program-program pemerintah yang tengah berjalan. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari eksistensi program-program tersebut: di satu sisi sasaran program tersebut
sangat mungkin konvergen dengan fungsi tujuan dalam model yang dibangun, di sisi
lain program-program tersebut tentu saja berimplikasi pada alokasi sumberdaya.
Lebih dari itu, rekomendasi kebijakan pada akhirnya juga akan bermuara pada
program; dan karena itu pembelajaran dari program-program yang tengah berjalan
itu tentu akan sangat bermanfaat untuk perakitan rekomendasi.
-
16
3.2. Profil Perekonomian Wilayah: Pendekatan dengan Model I O. Model I O diperkenalkan pertama kali oleh Francois Quesney kemudian
dikembangkan oleh Aasily Lentief berdasarkan pendekatan hubungan saling
tergantung (interdependensi) antar sektor perekonomian dalam suatu sistem
persamaan linier (Glason, 1977). Konsep dasar model I O adalah:
(1) Struktur perekonomian tersusun dari berbagai sektor yang satu sama lain
berinteraksi melalui transaksi jual beli.
(2) Output suatu sektor dijual kepada sektor-sektor lainnya dan untuk
permintaan akhir.
(3) Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dan rumah tangga
(dalam bentuk tenaga kerja), pemerintah (misalnya dari pajak tak
langsung), penyusutan, dan surplus usaha serta impor.
(4) Hubungan antara input dengan output bersifat linier.
(5) Dalam satu kurun waktu analisis (lazimnya setahun) total input sama
dengan total output.
(6) Suatu sektor terdiri dari satu atau lebih perusahaan, dimana satu sektor
hanya menghasilkan satu jenis output, dan output tersebut diproduksi
dengan satu jenis teknologi.
Misalkan Xi melambangkan produksi sektor ke-i, Ai merepresentasikan jumlah
input permintaan antara terhadap produksi dari sektor ke-i, dan Fi melambangkan
jumlah permintaan akhir terhadap produksi sektor ke-i, maka:
i i iX A F= + (1)
Apabila pada perekonomian suatu wilayah terdiri dari n sektor, maka
permintaan antara terhadap sektor ke i adalah merupakan penjumlahan dari
input antara sektor ke i oleh sektor-sektor ke 1 sampai dengan sektor ke n:
Aij = Ai1 + Ai2 + Ai3 + . . . + Ain = =
n
jA
1ij . . . . . . . . . . . . . . . . (2)
dimana :
Aij = jumlah produksi sektor ke i yang digunakan oleh sektor ke j
Sedangkan total input (Xj) adalah merupakan penjumlahan dari input
antara dan input primer, yang pada prinsipnya harus sama dengan jumlah
outputnya, maka hasil bagi dari masing-masing komponen input antara
-
17
dengan jumlah output atau jumlah input (Xj) disebut koefisien input antara
(aij), dapat diperoleh dengan rumus :
aij = j
ij
XA
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3)
dimana :
aij = koefisien input antara, dimana =
n
jija
1 = 1
Jika persamaan (2) dimasukan kedalam persamaan (3), maka
persamaan masing-masing sektor adalah sebagai berikut :
a11X1 + a12X2 + a13X3 + F1 = X1
a21X1 + a22X2 + a23X3 + F2 = X2 . . . . . . . . . . . . . . . .(4)
. . . . .
. . . . .
an1X1 + an2X2 + an3X3 + Fn = Xn
Apabila persamaan (4) diformulasikan dalam bentuk matrik, maka
persamaannya menjadi sebagai berikut :
.
.....
.
.
21
22221
11211
nknn
k
k
aaa
aaaaaa
nX
XX
.2
1
+
nF
FF
.2
1
=
nX
XX
.2
1
. . . . . . . . . . . . . .(5)
A X + F = X
Dengan demikian dapat ditulis dalam notasi matrik sebagai berikut :
AX + F = X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (6)
dimana :
A = Matrik koefisien input antara
X = Vektor output seluruh sektor
F = Vektor permintaan akhir
F = X AX . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (7)
F = [I-A] X . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (8)
-
18
X = ][ AI
F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (9)
X = ][
1AI F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (10)
X = [I A]-1 F . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (11)
[I A]-1 = Koefisien Leontief/koefisien penggada/matrik kebalikan
3.3. Optimalisasi Sumberdaya Dengan Model LGP
Pada prinsipnya, kerangka pemecahan metode LGP adalah minimisasi
deviasi dari beberapa set tujuan yang telah ditentukan oleh pengambil keputusan.
Setiap deviasi peubah di dalam fungsi tujuan dipresentasikan ke dalam nilai positip
(p) dan negatif (n) deviasi setap tujuan. Dengan demikian algoritmanya berupa
tujuan meminimalkan deviasi-deviasi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan
peringkat kepentingan (prioritas) pengambil keputusan.
Misalkan dalam perancangan terdapat m tujuan, maka bentuk umum model LGP tersebut dapat dipresentasikan sebagai berikut:
Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan
Minimisasi ( ),n p=Z dengan kendala:
; ; 0n p X n p
X
D + I - I = h
Dengan keterangan notasi: D = matrik (m x n) dari m tujuan dan n peubah keputusan (decision variables) X = n komponen vektor kolom peubah keputusan n dan p = m vektor kolom yang menunjukkan deviasi tujuan-tujuan dalam model I = matrik identitas (m x m) h = m komponen vektor kolom sebagai aspirasi pemenuhan tingkat tujuan yang hendak dicapai. Sudah barang tentu model di atas dapat dipecahkan jika tingkat prioritas dan
atau bobot setiap tujuan dapat dibedakan. Andaikan terdapat beberapa tujuan
dengan prioritas yang berbeda, faktor prioritas Pr ( r = 1, 2, ... , k) maka bentuk
umum penjabarannya pada fungsi tujuan dalam LGP adalah:
,Min = 1 2 kP (n, p), P (n, p), P (n, p)Z L
-
19
Oleh karena itu model LGP dapat dirumuskan menjadi:
Dicari ( ),= 1 2 nX X XX , , ,L dengan
Minimisasi ( ),n p=Z dengan kendala:
; ,
+ - =
+ - =
n p
n p
AX I I b
DX I I h
X n p 0
dimana:
Z = k komponen vektor kolom dari peubah deviasi ( k < m )
A = matrik ( w x n ) teknologi (koefisien input-output pada himpunan kendala
b = w vektor komponen kolom kendala
n dan p = w komponen vektor deviasi, dimana p adalah deviasi positfp dan n adalah
deviasi negatif.
Dalam penelitian ini upaya untuk meminimalkan subyektivitas dalam
spesifikasi fungsi tujuan akan ditempuh melalui diskusi yang intensif dengan pihak-
pihak yang terkait di wilayah penelitian, terutama BAPPEDA, Instansi terkait di
lingkup Kementerian Pertanian yang berada di wilayah penelitian, petani, kelompok
tani, PPL, dan sebagainya. Untuk sementara diperkirakan bahwa tujuan yang
terpenting adalah peningkatan pendapatan petani dan peningkatan produksi
pertanian.
Penentuan koefisien teknologi dalam himpunan kendala merupakan salah
satu tugas terberat dalam pemodelan. Agar efisien maka selain ditentukan
berdasarkan hasil survey di lapangan, studi pustaka atas penelitian terdahulu yang
relevan akan dimanfaatkan.
Kendala terpenting adalah lahan, sumbedaya air, tenaga kerja, dan modal.
Penentuan ketersediaan sumberdaya didasarkan atas data sekunder yang dikoreksi
dengan hasil survey maupun dari studi pustaka yang relevan dengan lokasi
penelitian.
3.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, level
wilayah yang diambil adalah Kabupaten, sedangkan untuk luar P. Jawa adalah
Provinsi. Perbedaan itu didasari pertimbangan bahwa di Pulau Jawa, sebaran spatial
-
20
agroekosistem lahan kering tidak terwakili jika unit analisisnya Provinsi. Berbeda
dengan itu, untuk di Luar P. Jawa dimungkinkan untuk mengambil Provinsi sebagai
unit analisis.
Di Pulau Jawa, lokasi yang akan diambil adalah salah satu kabupaten di
provinsi Jawa Tengah. Di Luar P. Jawa, lokasi yang dipilih adalah salah satu dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat atau Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepastian lokasi
untuk di Luar Jawa ini akan ditentukan setelah memperoleh masukan dari Seminar
Proposal dan studi pendahuluan.
3.5. Data
Data yang diperlukan mencakup data sekunder maupun data primer. Data sekunder akan diperoleh dari instansi / lembaga terkait yang relevan dengan tujuan
penelitian. Data primer akan diperoleh dari survey di tingkat kelompok tani dan
petani. Instrumen penelitian yang diperlukan untuk mengumpulkan data tersebut
berupa panduan wawancara, daftar isian, dan kuesioner.
3.5. Jadwal Palang
Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DesPembuatan Proposal Seminar dan perbaikan Proposal
Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survei dan pretest kuesioner
Survey Utama Pengolahan dan analisis data Penulisan Laporan Seminar hasil peneltitian Perbaikan laporan hasil penelitian
Penggandaan
-
21
DAFTAR PUSTAKA Arsana, D. IGAK, IGAK Sudaratmaja, dan IN Suyana. 2004. Keragaan Usahatani Tanaman-
Ternak di Lahan Irigasi dan Lahan Kering di Bali. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Bahan Penetapan Calon Lokasi PUAP 2006. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.
Bulmer-Thomas, V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Countries: Sources, Methods and Applications. John Wiley & Sons Ltd, New York.
Daryanto, A. 1999. Structural Change and Determinants of Agriculture's Relative Decline. Journal of Agricultural and Resource Socio-Economics, 12(3): 75-94.
Direktorat Perluasan Areal. 2009. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pangan Lahan Kering. Tahun 2009. Direktorat Perluasan Areal. Ditjen PLA. Jakarta.
Flinn, J.C., and S. Jayasuriya. 1980. Incorporating Multiple Objectives in Planning Models of Low-Resource Farmers. Australian Journal of Agriculture Economics, April: 35 45.
Guritno, B., T. Adisarwanto, dan E. Legowo. 1997. Teknologi Tepat Guna Lahan Kering di Kawasan Timur Indonesia Bagian Selatan. Dalam Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI 25-27 Juli 1996. Perhimpunan Agronomi Indonesia.
Hasnudi dan E. Saleh. 2004. Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usahatani Terpadu di Indonesia.Digitized by Universitas Sumatera Utara Digital Library.
Ignizio, J. P. 1976. Goal Programming and Extensions. Health, Lexington, Massachusetts. Ilham, N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model
Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Ijeri, Y. 1965. Management Goals and Accounting For Control. North Holland, Amsterdam. Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan Dengan Sistem
Polikultur. Http://sulteng.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bptp/prosiding-%2007/1-4.pdf [29/1/10).
Lee, S. M. 1972. Goal Programming for Decision Analysis. Auerbach, Philadelphia, PA. Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian
Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Unversitas Sebelas Maret, Surakarta.
Mulyani, A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 28 (2): 16-17. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mulyani, A.; F. Agus; dan David Allelorung. 2006. Potensi Sumber Daya Lahan Untuk Pengembangan Jarak Pagar. Dalam. Jurnal Badan Litbang Pertanian, Vol 25 (4): 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Muthukude, P., J. L. Novak, and C. Jolly. 1991. Goal Programming Evaluation of Fisheries Development Plans fro Sri Lankas Coastal Fishing Fleet. Fisheries Research, Vol. 12: 41 63.
Notohadiprawiro. T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Makalah disampaikan pada Lokakarya Evaluasi Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor, 6-8 Desember. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006).
Ratnawaty, S., M. Ratnada, Yusuf dan J. Nulik. 2004. Pengelolaan Pakan Ternak di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Dalam: Prosiding Seminar "Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Sharma, D. K., D. Ghosh, and J. A. Alade. 2003. Management Decision-making for Sugar Cane Fertilizer Mix Problems Through Goal Programming. Journal of Applied Mathematics and Computing, Vol. 13(1- 2): 323 334.
-
22
Sharma, D. K., J. A. Alade, and E. T. Acquah. 2006. An Economic Impact of Marylands Coastal Bays: A Goal Programming Approach. International Business & Economics Research Journal, Vol. 5(5): 41 50.
Sumaryanto. 2008. Kinerja Lahan dan Tenaga Kerja Dalam Mendukung Ketahanan dan Sawsembada Pangan. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional "Kebijakan dan Peta Perjalanan Pembangunan Pertanian dalam Rangka Ketahanan dan Swasembada Pangan" yang diselenggarakan oleh kerjasama BAPPENAS - CARE - IPB pada 17 November 2008 di Bogor.
Syafa'at, N. dan S. Friyatno. 2000. Peranan Industri Terigu dan yang Berbahan Baku Terigu dalam Penciptaan Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Tapadas, C.T. and D. C. Dahl. 1999. Supply-Driven Input-Output Multipliers. Journal of Agricultural Economics, 4(10): 35-40.
Terosa, C., K. Demura and A. Ito. 2000. An Input-Output Analysis of the Production Generation and Adjusment Mechanisms of Agriculture Through Time: The Case of Japan, Korea, Taiwan, and the Philippines. In Bustanul A. and H. S. Dillon (eds.). Asian Agriculture Facing The 21st Century. Asian Society of Agricultural Economists, Jakarta.
West, G.R. 1993. GRIMP: Input-Output Analysis for Practitioners. Version 7.1. User's Guide. Department of Economics, University of Queensland, Queensland.
-
23
Makalah Seminar Proposal Operasional T.A. 2010
OPTIMALISASI SUMBERDAYA PERTANIAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING
Oleh:
Henny Mayrowani Sumaryanto
Delima Hasri Azahari Nyak Ilham
Supena Friyatno Ashari
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2010