karsinoma nasofaring
DESCRIPTION
karsinoma nasofaringTRANSCRIPT
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Blok biologi molekular adalah blok 5 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang WNI keturunan Cina bernama TN. Acai yang mengalami keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki riwayat penyakit terinfeksi EBV. Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan sebagai karsinoma nasofaring.
1.2 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami
konsep dari skenario ini.
1
Bab II
Pembahasan
2.1 Skenario
Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter keluarga
dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti
tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat penyakit terdahulu
ketika Tn. Acai berusia 7 tahun pernah terinfeksi EBV (Epstein Barr Virus)
berdasarkan pemeriksaan serologi. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan
menduga adanya tumor di leher kiri sehingga merujuk pasien tersebut ke seorang
ahli patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan FNAC (fine needle aspiration
cytology). Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan (diagnosis) sebagai karsinoma
nasofaring.
2.2 Klarifikasi Istilah
1. Mimisan : Pendarahan dari hidung.
2. Infeksi EBV(Epstein Barr Virus) : Infeksi yang menyerupai virus herpes
yang menyebabkan mononukleolis
infeksiosa yang dihubungkan dengan
limfoma burkit dan karsinoma
nasofaring.
3. Pemeriksaan serologi : Pemeriksaan mengenai antigen
antibody invitro.
4. Tumor : Pembengkakan salah satu tanda
cardinal peradangan atau pertumbuhan
jaringan baru dimana multifikasi sel
tidak terkontrol atau progresif.
5. Pemeriksaan FNAC : Suatu prosedur diagnosis dimana
jarum diinjeksi, sejumlah jaringan
diambil kemudian dilakukan
pemeriksaan mikroskopis.
2
6. Patologi anatomi : Cabang ilmu yang mempelajari
bagian tubuh atau jaringan yang
terkena penyakit.
7. Karsinoma nasofaring : Tumor ganas yang tumbuh pada
epiteliel pelapis ruangan dibelakang
hidung atau nasofaring.
2.3 Identifikasi Masalah
1. Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter
keluarga dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak,
mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu.
2. Berdasarkan pemeriksaan serologi, Tn. Acai memiliki riwayat penyakit
pernah terinfeksi EBV (Epstein Barr Virus) ketika berusia 7 tahun.
3. Dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor.
Sehingga pasien dirujuk ke ahli patologi anatomi untuk dilakukan
pemeriksaan FNAC. Dan hasilnya mengesankan sebagai karsinoma
nasofaring.
2.4 Analisis Masalah dan Jawaban
1. a. Bagaimana relevansi antara etnis (WNI keturunan Cina) dengan gejala-
gejala yang dialami Tn. Acai?
Jawaban :
Gejala yang dialami Tn. Acai merupakan gejala karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya ditemukan sebagian besar di selatan China dan Afrika, Umumnya terdapat pada orang-orang keturunan Cina (genetik), tetapi adalah juga terdapat pada pola diet orang Cina dari yang mengkonsumsi ikan salad dalam jumlah besar, yang mengandung nitrosamina-nitrosamina, yang merupakan penyebab kanker terkenal
b. Apakah ada hubungan antara benjolan dileher sebelah kiri Tn. Acai dengan
gejala-gejala suara serak, mimisan, hidung seperti tersumbat dan sakit kepala?
Jawaban :
3
Mimisan ringan (keluar darah lewat hidung) atau sumbatan hidung, terjadi jika kanker
masih dini. Nasopharing berhubungan dekat dengan rongga tengkorak tempat
lewatnya saraf otak, sehingga dapat menyebabkan nyeri kepala, nyeri di bagian leher
dan wajah (neuralgia trigeminal). Kemudian bengkak di leher karena pembengkakan
kelenjar getah bening.
c. Bagaimana anatomi dari leher?
Jawaban :
Leher adalah daerah tubuh yang terletak di antara pinggir bawah manndibula di
sebela atas dan incisura suprasternalis serta pinggir atas clavicula sebelah
bawah.
Di leher terdapat Nodi Lymphoidei cerviciales yang merupakan nodi utama
leher terletak sepanjang V. Jugularis externa superficialis terhadap M.
Sternocleidomastoidius. Kelenjar-kelenjar ini menerima pembuluh limfe dari
nodi lymphoidei ocipitales dan mastoidei cervicales profundi.
2. a. Apa tujuan pemeriksaan serologi?
Jawaban :
Untuk membedakan bakteri berdasarkan sifat-sifat antigeniknya. Dalam kasus
ini untuk mengetahui infeksi virus EBV.
b. Bagaimana mekanisme pemeriksaan serologi?
Jawaban :
Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas mencakup reaksi-reaksi
aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen.
c. Bagaimana hubungan EBV dengan karsinoma nasofaring?
Jawaban:
Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten
pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi
oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses
proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein
4
laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa
karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B.
d. Mengapa Tn. Acai baru mengalami gejala-gejala tersebut 32 tahun setelah
didiagnosis terinfeksi EBV?
Jawaban:
Hal ini disebabkan karena EBV bersifat laten dalam limfosit B (sel-B), yaitu
EBV menetap di sel –B dan berada dalam fase inaktivasi dan tidak
menimbulkan gejala-gejala. EBV akan aktif saat seseorang yang terinfeksi
EBV mengalami immunodeficiency (penurunan kekebalan sistem imun tubuh)
dan terpapar dengan berbagai pemicu hingga akhirnya menimbulkan gejala.
3. a. Bagaimana mekanisme pemeriksaan FNAC?
Jawaban :
Pengambilan dan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup
dengan menggunakan jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan
jarum yang tidak terpimpin namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan
radiologi (USG).
b. Apa etiologi dari karsinoma nasofaring?
Jawaban :
- EBV (Epstein-Barr Virus) penyebab paling sering- Terbukti dari ditemukannya Nuclear antigen terkait EBV dan viral DNA
pada NPC tipe II dan tipe III- EBV memiliki kaitan erat dengan tingkat keparahan KNF, respon KNF
terhadap pengobatan- Faktor kerentanan genetik- Makanan ( ikan yang diasinkan yang mengandung carcinogenic nitrosamin
volatil)
c. Bagaimana proses terjadinya kanker?
Jawaban :
Infeksi virus →transfer DNA virus ke dalam inti sel → insersi DNA virus →
gangguan pada DNA sel → mutasi gen p53 →inaktivasi p21 → Cyclin-5
dependent kinase terus bekerja → siklus sel terus berlangsung → sel dengan
defek DNA semakin banyak → pertumbuhan sel tak terkendali (tumor) →
tumor ganas (karsinoma)
d. Bagaimana gejala-gejala dari karsinoma nasofaring?
Jawaban :
1. Gejala Dini.
Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor
masih terbatas di nasofaring, yaitu :
a. Gejala telinga
- Rasa penuh pada telinga, seperti ada cairan
- Tinitus
- Gangguan pendengaran
- Timbul suara berdengung dan terasa penuh tanpa disertai rasa sakit
sampai pendengaran berkurang.
b. Gejala hidung
- Epistaksis
- Hidung tersumbat terus-menerus, kemudian pilek. Hal ini bersifat
menetap akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring.
- Hidung sedikit mimisan, tetapi berulang.
c. Gejala mata dan saraf
- Diplopia (penglihatan ganda atau ada dua bayangan)
- Gerakan bola mata terbatas
2. Pada kondisi akut menunjukkan gejala sebagai berikut.
1. Kelenjar getah bening pada leher membesar.
2. Mata menjadi juling, penglihatan ganda, dan mata bisa menonjol keluar
3. Sering timbul nyeri dan sakit kepala
e. Bagaimana prognosis penyakit Tn. Acai?
Jawaban :
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis
diperburuk oleh
6
beberapa faktor, seperti :
1. Stadium yang lebih lanjut.
2. Usia lebih dari 40 tahun
3. Laki-laki dari pada perempuan
4. Ras Cina dari pada ras kulit putih
5. Adanya pembesaran kelenjar leher
6. Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
7. Adanya metastasis jauh f. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tn. Acai?
Jawaban :
1. Radioterapi
2. Kemoterapi
3. Operasi
4. Imunoterapi
g. Bagaimana pencegahan penyakit Tn. Acai?
Jawaban :
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi (dalam percobaan), migrasi
penduduk, mengubah kebiasaan hiup yang salah, dan bebagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan faktor penyebab.
2.5 Hipotesis
7
Mutasi gen P53
pertumbuhan sel tidak terkontrol
tumor
Protooncogenik bermutasi menjadi oncogen
Mimisan
Sakit kepala
Suara serak
Benjolan di leher kiri
Hidung seperi tersumbat
Selama 32 tahun
Hasil pemeriksaan serologi
Virus laten dalam tubuh (inaktif) karena gen laten EBNA 1
EBV aktif
Sel epithelium kelenjar saliva
Limfosit B
Apoptosis terganggu
Menyerang reseptor virus
CR2 PIGR
Berikatan dengan resepto vius C3d (CD21/CR2)
Limfosit B Immortal
Infeksi EBV di orofaring
Tn. Acai, 39 tahun, menderita karsinoma nasofaring karena pertumbuhan sel tidak
terkontrol akibat apoptosis terganggu yang disebabkan mutasi gen P53 oleh
Epstein-Barr Virus.
2.6 Kerangka Konsep
8
2.7 Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues
Pokok BahasanWhat I
know
What I don’t
know
What I have to
prove
How I
will
learn
Infeksi EBVDefinisi
Mekanisme
terinfeksi EBV
Mengetahui
mekanisme EBV
menginfeksi
organisme
Buku,
Sumber
lain
(internet)
Karsinoma
nasofaringDefinisi
Siklus sel,
mutasi gen.
Mengetahui
mekanisme
terjadinya kanker
Buku,
sumber
lain
( internet
)
Pemeriksaan
serologiDefinisi
Mekanisme
pemeriksaan
serologi
Mengetahui
tujuan dan
interpretasi
pemeriksaan
serologi.
Buku,
sumber
lain( inter
net)
Pemeriksaan
FNACDefinisi
Mekanisme
pemeriksaan
FNAC.
Mengetahui cara
pemeriksaan
FNAC
Buku,
sumber
lain
( internet
)
9
Bab III
Sintesis
3.1 EPSTEIN-BARR VIRUS (EBV)
3.1.1 Definisi
Epstein-Barr Virus (EBV), juga disebut Human herpes virus 4 (HHV-4), adalah
suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan
Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam
manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi
biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai menurut
Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong,
memukan virus tahun 1964.
Epstein-Barr Virus
Klasifikasi
Group: Group I (dsDNA)
10
Family: Herpesviridae
Subfamily: Gammaherpesv rinae
Genus: Lymphocryptovirus
Species: Human herpesvirus 4 (HHV-4)
3.1.2 Sel EBV yang Peka Rangsangan
Permukaan EBV H glikoprotein (gH) adalah penting bagi penetrasi sel-sel B
tetapi juga berperan dalam pemasangan dari virus kepada sel epitelium.
Di dalam percobaan-percobaan terhadap binatang di laboratorium tahun 2000,
menunjukkan bahwa antara larangan pertumbuhan RA-mediated dan promosi
perkembang biakan LCL secara efisien dibalikkan oleh sel yang peka rangsangan
glukokortikoid (GR) musuh/anti RU486.
EBV dapat menyebabkan penyakit radang yang cepat menyebar, juga yang
dikenal sebagai 'demam hal kelenjar', 'Mono' dan 'penyakit Pfeiffer'. Penyakit akibat
radang yang cepat menyebar disebabkan bila seseorang pertama diunjukkan ke virus
selama atau setelah masa remaja. Meskipun demikian ketika dianggap "mencium
penyakit," riset terbaru sudah menunjukkan transmisi Mono tidak hanya terjadi dari
pertukaran air liur saja, tetapi juga dari kontak dengan virus yang sudah ada di udara.
Sebagian besar ditemukan dalam perkembangan dunia, dan ditemukan bahwa
kebanyakan anak-anak di dunia yang sedang berkembang ini telah terinfeksi ketika
berusia 18 bulan. EBV antibody menguji pengerasan dimana hampir semua positif.
Di Amerika Serikat, perkiraan kasarnya mencapai hampir separuh dari orang
yang berusia 5 tahun telah terinfeksi, dan hingga 95% dari orang dewasa yang berusia
antara 35 dan 40 tahun.
3.1.3 EBV dan Penyakit berbahaya
Sebagai bukti kuat EBV dan formasi kanker ditemukan di dalam limfoma
Burkitt dan nasopharyngeal karsinoma.
Limfoma Burkitt adalah suatu jenis dari limfoma Nonhodgkin yang umumnya
ada di katulistiwa Afrika dan muncul sewaktu terjadinya malaria. Infeksi/peradangan
malaria menyebabkan pengawasan kebal dari sel-sel B EBV immortalized, yang
membiarkan perkembangbiakan mereka. Perkembangbiakan ini meningkatkan
11
kesempatan mutasi terjadi. Mutasi-mutasi diulangi dan dapat menjurus ke sel-sel B
melepaskan kendali perkembangbiakan sel tubuh, maka membiarkan sel-sel itu
berkembang biak secara tidak terkendali, menghasilkan pembentukan limfoma
Burkitt. Limfoma burkitt biasanya mempengaruhi tulang rahang, membentuk suatu
tumor yang sangat besar yang menumpuk.
Limfoma-limfoma sel B lain muncul di pasien-pasien yang
immunocompromised seperti pasien AIDS atau yang sudah mengalami pencangkokan
organ/ bagian badan dengan penekanan sistem imun yang dihubungkan (Post-
Transplant Lymphoproliferative Disorder (PTLPD)). Tumor-tumor otot licin adalah
juga dihubungkan dengan virus untuk pasien yang terserang.
Nasopharyngeal karsinoma adalah suatu kanker yang ditemukan di bagian tubuh
yang berhubungan dengan pernapasan bagian atas, paling umumnya di dalam
nasofaring, dan terhubung dengan virus EBV. Penyakit ini ditemukan sebagian besar
di selatan China dan Afrika, karena kedua-duanya adalah faktor genetik dan faktor
lingkungan. Umumnya.
3.1.4 Kelainan Siklus Sel terhadap Keganasan Tumor
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,
pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak
sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen
yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat
penghentian proses siklus sel.
Virus dapat melaksanakan banyak program yang terpisah secara jelas dan
ekspresi gen yang dapat tersebar luas yang digolongkan menjadi siklus lisis atau
siklus tersembunyi. Siklus tersembunyi atau infeksi produktif mengakibatkan
ekspresi yang sudah dijadwalkan sebelumnya akan terjadi sejumlah besar protein-
protein viral dimana sasaran terakhirnya akan menghasilkan virion-virion yang
cepat menyebar. Secara formal, tahap infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan
dari terjadinya lisis dari sel tuan rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan
oleh pertunasan dari siklus sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic)
dimana program-program mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion.
Protein-protein viral dihasilkan selama infeksi siklus yang tersembunyi. Ini
12
termasuk Epstein-Barr antigen nuklir (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA-
3B, EBNA-3C, EBNA-LEADER protein (EBNA-LP) dan protein-protein selaput
tersembunyi (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B dan Epstein-Barr menyandi RNAs
(EBERS). Sebagai tambahan, EBV mengkode untuk sedikitnya dua puluh
microRNAs yang dinyatakan di dalam studi-studi tentang sel. Dari studi ekspresi
gen EBV yang terinfeksi secara tersembunyi di dalam lini sel limfoma yang
dibiakkan Burkitt, sedikitnya terdapat tiga program:
• Hanya EBNA1 (group I)
• EBNA1 + EBNA2 (group II)
• Siklus protein-protein tersembunyi (group III).
Saat EBV terinfeksi B-lymphocytes in vitro, lini sel limfoblastoid pada
akhirnya muncul yang membuat pertumbuhan yang tak tentu. Perubahan bentuk
pertumbuhan lini sel ini sebagai konsekuensi dari ekspresi protein viral. EBNA-2,
EBNA-3C dan LMP-1 adalah penting bagi perubahan bentuk selama EBNA-LP
dan EBERs itu bukan. protein EBNA-1 adalah penting bagi pemeliharaan virus
genome. Didalilkan bahwa dalam hal untuk mengikuti infeksi alami EBV, virus
melaksanakan sebagian besar atau semua repertoire ekspresi program gen untuk
menetapkan suatu infeksi yang sebenarnya. Absennya imunitas host/tuan rumah,
daur lisis menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi yang lain (kiranya) B-
lymphocytes di dalam program-program host. Program tersembunyi muncul lagi
dan mematikan B-lymphocytes yang terinfeksi untuk berkembang biak serta
membawa sel-sel yang terinfeksi di lokasi-lokasi di mana virus terdapat. Pada
akhirnya, ketika imunitas host berkembang, virus tetap pada tuntutannya untuk
mematikan hampir semua (atau mungkin semua) gen, hanya adakalanya virus
aktif untuk menghasilkan virion-virion segar. Suatu keseimbangan pada akhirnya
diserang antara pengaktifan kembali virus dan virus host karena keseimbangan
pada akhirnya diserang antara sel-sel yang dilepaskan dan sel host aktif yang
kebal viral mengaktifkan kembali ekspresi gen. Tempat-tempat keberadaan EBV
ada di sumsum tulang.
3.1.5 EBV antigen tersembunyi
13
Semua protein-protein EBV nuklir dihasilkan oleh penyambung alternatif
yang memulai pencatatan oleh penyelenggara Cp atau Wp di yang ditinggalkan
diakhir genom (di dalam tatanama yang konvensional). Gen-gen itu dipesan oleh
EBNA-LP/EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 dengan genome.
Daerah Sandi inisiasi kodon dari EBNA-LP diciptakan oleh sambungan catatan
protein nuklir yang satu dengan yang lain. Kehadiran kodon inisiasi,
EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 akan diekspresikan tetapi
tergantung pada gen-gen yang mana yang dipilih sebagai alternatif yang akan
disambung ke dalam transcript. EBNA-1 EBNA-1 mengikat protein untuk asal-
muasal replikasi (oriP) di dalam genom yang menengahi replikasi dan penyekatan
episom selama divisi sel host. Ini berlaku hanya untuk menyatakan kelompok I
dari protein viral yang tersembunyi. EBNA-1 memproses alanina glisina secara
berulang-ulang yaitu untuk merusak pengolahan antigen dan MHC kelas I- yang
membatasi keberadaan antigen yang akan menghambat sel-T sitotoksik CD8-yang
dibatasi untuk melawan sel-sel virus yang sudah terinfeksi. EBNA-1 pada
awalnya dikenali sebagai target antigen sera dari pasien-pasien radang sendi
rheumatoid (rheumatoid radang sendi yang dihubungkan dengan antigen nuklir;
RANA).
EBNA-2
EBNA-2 adalah transactivator viral utama, transkripsi alihan dari Wp
digunakan di awal-awal setelah menginfeksi Cp. Bersama-sama dengan EBNA-
3C, itu juga mengaktifkan LMP-1. Itu dikenal untuk mengikat protein host RBP-
Jk dimana kunci dalam jalan kecil Notch. EBNA-2 penting bagi perubahan bentuk
pertumbuhan EBV-penengah.
EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C
Gen-gen ini juga mengikat protein host RBP-Jk
EBNA-3C
EBNA-3C adalah juga suatu ligase ubikuitin dan sudah ditunjukkan kepada
siklus regulator target sel seperti pRb
LMP-1
14
LMP-1 adalah enam jengkal protein transmembran yang juga penting bagi
perubahan bentuk pertumbuhan EBV. LMP-1 berfungsi sebagai pemberian isyarat
yang melalui jalan kecil untuk nekrosis Tumor factor-alpha/CD40
LMP-2A/LMP-2B
LMP-2A/LMP-2B adalah protein transmembrane yang berlaku untuk
menghalangi pemberian isyarat kinase tirosina. Dipercaya bahwa mereka
bertindak untuk menghalangi pengaktifan siklus lisis viral. Tidak dikenali
bilamana LMP-2B diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV,
sementara kelompok-kelompok yang berbeda sudah melaporkan bahwa LMP-2A
sebagai alternatif tidak diperlukan untuk perubahan bentuk.
EBER-1/EBER-2
EBER-1/EBER-2 adalah nuklir kecil RNAs dari suatu peran yang tak dikenal.
Mereka tidak diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV
miRNAs
EBV microRNAs disandikan oleh dua catatan, satu yang ditetapkan dalam gen
BART dan satu himpunan dekat cluster BHRF1. Ketiga BHRF1 miRNAS
dinyatakan selama jenis III yang tersembunyi secluster dengan BART miRNAs
(sampai dengan 20 miRNAs) dinyatakan selama jenis II yang tersembunyi
Fungsi-fungsi miRNAs ini sekarang ini tidak dikenal.
3.2 KARSINOMA NASOFARING
3.2.1 Definisi
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial
yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.
Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan
frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk
dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah
kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa
15
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
3.2.2 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
a. Batas nasopharing:
• Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
• Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari
palatum durum.
• Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
• Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
• Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmuller
16
b. Bangunan yang penting pada nasopharing
• Ostium tuba eustachii pars pharyngeal
Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum
nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium
tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.
• Torus tubarius
• Fossa rosen mulleri
Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini
merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang
mematikan nomor 1 di THT.
• Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat
tumor angiofibroma nasopharing
• Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha
• Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid
akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding
superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea.
17
Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman
yang lewat jalan napas hidung.
Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding
posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu
seperti hak.
c. Fungsi nasopharing :
• Sebagai jalan udara pada respirasi
• Jalan udara ke tuba eustachii
• Resonator
• Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
d. Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:
• Gaya gravitasi
• Gerakan menelan
• Gerakan silia (kinosilia)
• Gerkan usapan palatum molle
3.2.3 Histologi Nasofaring
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat
banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.
Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering
disebut " Limfoepitel ".
18
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam
epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "
2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".
3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"
4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated
Epithelium ".
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para
ahli. 60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng "
Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring
dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh
epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng
dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta
yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan
dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
3.2.4 Histopatologi Nasofaring
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi jenis karsinoma nasofaring karena
sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih
dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan
kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma,
silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron,
Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan
epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dinding lateral yang ada di
fosa Rossenmulleri merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding
faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya
sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar
diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa
Rosenmulleri. Kemudian gejala-gejala akan muncul sesuai dengan arah
penyebaran. Mungkin meluas melalui lubang pada sisi yang sama dengan tumor
atau mengikis tulang secara tekanan nekrosis.
19
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991 merekomendasikan
klasifikasi gambaran histopatologi dalam 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi
sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang
vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada
umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh
WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
3.2.5 Epidemiologi dan Etiologi
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara
berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih
rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi
Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data
IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan
sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup
20
banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan
penduduk di Afrika utara dan timur tengah.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-
3:1. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan
insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah, KNF meningkat sesuai
dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi, KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya.
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada pendduduk China bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras
Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang
dijumpai mengidap penyakit ini. Kelompok migran masih mengandung gen yang
‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola
makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk
diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari
mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya
seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai
substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan
percobaan.
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. EBV adalah
suatu virus herpes yang replikat-replikat utamanya ada di beta-lymphocytes tetapi
juga ada di dalam sel epitelium kerongkongan dan saluran parotid. Penyebaran
infeksi ini biasanya melalui air liur, dan masa inkubasinya adalah empat-delapan
minggu. Untuk infeksi akut, antibodi heterophile yaitu dengan melekatkan
eritrosit domba yang dihasilkan. Proses ini merupakan dasar pembentukan
perpaduan getah Monospot cepat Antibodi kepada antigen kapsid viral (yaitu.,
VCA-IGG dan VCA-IgM) dihasilkan sedikit lebih cepat dari antobodi heterophile
21
dan lebih spesifik untuk infeksi EBV. Viral VCA-IgG sebelumnya ada untuk
infeksi akut dan penkembangan imunitas.
Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui
saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan imunitas
spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan
dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi
klinik.
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk
yaitu :
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah
sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral
didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya
lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah
mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik
bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
22
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar
muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau
polipoid jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai
ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma
tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai
adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor
jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh
rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah
dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran
histopatologik berupa limfasarkoma
3.2.6 Gejala-gejala KNF
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Nasal sign :
• Pilek lama yang tidak sembuh
• Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu
• Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
• Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba
oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.
Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
• Gangguan pendengaran hantaran
• Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign
• Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
23
• Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita.
Gejala ini berupa :
• Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
• Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
• Kesukaran pada waktu menelan
• Afoni
• Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
3.2.7 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat
berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas
yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan KNF, yaitu
(1)Aadanya infeksi EBV,
(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik
1) Virus Epstein-Barr
24
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama
yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada
limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini
merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.
Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua
reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-
barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi
sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi
normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi
transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,
yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1
berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein
transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang
dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen
yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam
amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan
200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.
25
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada
di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa
ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan
kembali infeksi dari EBV.
3.2.8 Mutasi Gen pada Karsinoma Nasofaring
Epstein Barr virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan
dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. Adanya insersi DNA virus
mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang terjadi
seharusnya di perbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21
menekan semua cyclin dependent kinase agar siklin tidak dapat bekerja, sehingga
siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus, sel akan memberikan waktu
terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang
mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti untuk melakukan
DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang seharusnya
diaktifasi oleh gen p53, mengalami gangguan. P21 yang berfungsi untuk menekan
semua siklin depedent kinase, tidak bekerja.
26
Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA
yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat
mengganggu apoptsis.
Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu
apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi
immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang
tergantung p53. Selanjutnya, tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan
terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.
3.2.9 Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala
KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau
sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian,
hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya
dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter
27
yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan
terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi
baik, sedang dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada
tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi
sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel
cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang
vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas.
Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak
begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang
direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe,
yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma).
28
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe
ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak
berdiferensiasi.
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya
tumor pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan
eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi.
Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal
ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.
Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum
terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi
hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto
polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam
densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak
29
maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu
dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu
dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor
ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta
ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium
III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%
dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.
3.2.10 Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
Stadium yang lebih lanjut.
30
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh
3.2.11 Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada
sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu
operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya
residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
3.2.12 Pencegahan
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
31
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
3.3 SIKLUS SEL
3.3.1 Fase Pada Siklus Sel
Pada kasus ini, virus Epstein-Barr berikatan dengan permukaan sel, sel
diaktivasi untuk memasuki siklus sel. Untuk itu, kita harus mengetahui apa saja
fase pada siklus sel. Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk
menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan mendukung
segregasi untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses
ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik).
Pertumbuhan dan perkembangan sel tidak lepas dari siklus kehidupan yang
dialami sel untuk tetap bertahan hidup. Siklus ini mengatur pertumbuhan sel
dengan meregulasi waktu pembelahan dan mengatur perkembangan sel dengan
mengatur jumlah ekspresi atau translasi gen pada masing-masing sel yang
menentukan diferensiasinya.
Ada 4 fase yakni :
Fase S (sintesis)
Tahap terjadinya replikasi DNA
Fase M (mitosis)
Tahap di mana terjadi pembelahan sel (baik pembelahan biner atau
pembentukan tunas)
32
Fase G (gap)
Tahap pertumbuhan bagi sel.
Fase G0, sel yang baru saja mengalami pembelahan berada dalam keadaan
diam atau sel tidak melakukan pertumbuhan maupun perkembangan.
Kondisi ini sangat bergantung pada sinyal atau rangsangan baik dari luar
atau dalam sel. Umum terjadi dan beberapa tidak melanjutkan
pertumbuhan (dorman) dan mati.
Fase G1, sel eukariot mendapatkan sinyal untuk tumbuh, antara sitokinesis
dan sintesis.
Fase G2, pertumbuhan sel eukariot antara sintesis dan mitosis.
Fase tersebut berlangsung dengan urutan S > G2 > M > G0 > G1 >
kembali ke S. Dalam konteks Mitosis, fase G dan S disebut sebagai
Interfase.
Skema siklus sel
Oleh karena pada virus Epstein-barr mempunyai dua siklus hidup yaitu siklus
litik dan siklus laten, pada siklus laten inilah dihasilkan protein virus seperti
Epstein-barr Nuclear Antigen (EBNA) dan dua protein laten membrane (LMP).
Sehingga pada penderita karsinoma nasofaring sel yang terinfeksi oleh VEB akan
menghasilkan protein tertentu yang dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam
mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan
LMP-2B. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan
konsentrasi antibodi anti VEB jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma
nasofaring.
33
3.3.2 Tumor supressor gen (TSG)
Tumor supressor gen (TSG) merupakan kelompok gen yang lebih baru
ditemukan setelah onkogen, dikenal sebagai antionkogen, karena berfungsi
melakukan kontrol negatif terhadap proliferasi sel. (20). Gen p53 merupakan
contoh lain kelompok TSGs, yang mempunyai peran aktif dalam mendeteksi
kerusakan DNA dan menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis.
Gen p53 adalah suatu gen supressor tumor yang dikenal sebagai master
guardian of the genome dan merupakan unsur utama yang memelihara stabilitas
genetik. (21). Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan
DNA. Dapat dimengerti bahwa mutasi p53 menyebabkan disfungsi p53 dan
berakibat DNA yang mengalami kerusakan tetap dilipatgandakan, menghasilkan
populasi sel mengandungDSNA abnormal. Inaktivasi gen p53 dapat terjadi bila
berkaitan dengan protein medium 2 atau karena adanya infeksi virus misalnya
EBV.
3.3.3 Aktivitas tumor supressor gen p53
Gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell
cycle check point berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk
memberi kesempatan perbaikan DNA. Gen yang mempunyai fungsi penting
dalam cell cycle check points, yaitu p53.
P53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya defek pada p53
adalah point mutation, disfungsi gen p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53 oleh
onkogen virus. Bila hal ii terjadi maka sebagian besar fungsi p53 terganggu.
Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi karena perilaku sel yang
abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen, dalam hal ini terjadi pada gen
p53, karena berikatan dengan onkogen virus seperti EBV.
3.3.4 Apoptosis
Apoptosis adalah suatu kejadian yang dikendalikan secara genetik yang
menghasilkan penghilangan sel yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkan
gangguan pada jaringan. Apoptosis juga merupakan hal penting dalam
perkembangan sel normal dan homeostasis jaringan normal.
34
Dalam kaitan dangan pengendalian onkogenesis, apoptosis merupakan
mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan
DNA, agar sel dengan DNA tersebut tidak dilipatgandakan. Kegagalan sel tumor
untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang
mendasari pertumbuhan sel tumor yang makin lama makin besar. Akibat defek
mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan.
Apoptosis merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan sel yang
mengandung lesi DNA, sehingga dapat dicegah terjadinya transformasi sel.
Mutasi yang terjadi pada berbagai gen, terutama gen yang berperan meningkatkan
apoptosis, memungkinkan terjadinya resistensi terhadap proses apoptosis yang
diperlukan untuk mencegah transformasi.
3.3.5 Squamous Cell Carcinoma
Squamous cell carcinoma merupakan tumor ganas yang memiliki prevalensi
cukup tinggi di dalam rongga mulut. Terjadinya SCC dapat disebabkan oleh
beberapa faktor salah satunya agen biologik (virus onkogenik) yang merupakan
salah satu penyebeb SCC adalah Epstein Barr Virus (EBV).
Dimulai dengan infeksi virus Epstein Barr Virus (EBV) melalui saliva yang
kemudian berpenetrasi kedalam mukosa faring.
Epstein Barr Virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan
dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. (31). Adanya insersi DNA
virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang ada
seharusnya diperbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21
menekan semua cyclin dependent kinase (CDK) yg menyebabkan cyclin tidak
dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel
akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari
terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak
terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka
p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. p21 yang
berfungsi untuk menekan semua cyclin dependent kinase tidak bekerja.
Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA
yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat
35
mengganggu apoptosis. Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi
pada gen pemicu apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan
sel menjadi immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi
gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi penghentian siklus sel dan
mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa squamous cell
carcinoma dapat disebabkan oleh Epstein Barr Virus melalui mutasi gen p53 dan
penghambatan DNA repair.
3.4 PEMERIKSAAN SEROLOGI
Uji serologi ialah uji yang mendeteksi reaksi pengikatan antibodi dengan
antigen. Uji serologi telah digunakan secara luas untuk diagnosis laboratories
penyakit menular. Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas
mencakup reaksi-reaksi aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen.
Antibody (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum
darah dan cairan jaringan pada mamalia. Antibody memiliki lebih dari satu tempat
pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibody makhluk hidup mempunyai 2
tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibody bivalen dapat
membenuk beraneka antibody yang mempunyai lebih dari 10 tempat
pengkombinasian antigen. Antibodi ialah zat kebal tubuh yang dilepaskan oleh sel
darah putih limfosit B (biasa disebut sel B).
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia
atau organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibody
terhadapnya dan dengan antibody itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat
antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya..Salmonella dan jenis-jenis
lainnya dalam familyEnterobacteriac eae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu
antigen O (somatic), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen).
Antigen di dalam reaksi aglutinasi dapat berupa sel atau partikel,
misalnya partikel latex yang permukaannya telah diresapi antigen yang dapat
larut, ditambahkannya antibody yang homolog akan menyebabkan terjadinya
aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menghasilkan agregat kasat mata sel-sel
36
itu, reaksi aglutinasi juga digunakan di dalam penggolongan dan penentuan tipe
darah manusia.
Sampel untuk uji serologi ini adalah cairan tubuh yang mengandung
antibodi yaitu serum darah. Beberapa contoh uji serologi ialah Rapid Plate
Agglutination Test (RPAT), Haemagglutination Inhibition Test (HI test), Enzyme-
linked Immunosorbent Assay (ELISA), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan
Serum Neutralization Test (SNT). HI test adalah uji yang paling sering digunakan
karena cepat dan murah.
3.4.1 Interpretasi Hasil Uji Serologi
Beberapa parameter yang digunakan dalam uji serologi yaitu GMT,
persen kebal dan %CV. Nilai GMT (Geometric Mean Titer) menggambarkan rata-
rata titer antibodi. Standar nilai GMT (level titer protektif) ditentukan berdasarkan
tipe, jenis penyakit dan uji yang digunakan.
Persen kebal diartikan sebagai persentase jumlah sampel yang memiliki
titer antibodi di atas standar titer protektif. Coefficient of variant (CV) akan
menganalisa tingkat keragaman titer antibodi dalam sampel. Semakin tinggi
tingkat keragaman titer (CV>35%) maka semakin jelek.
Segera setelah mendapatkan hasil uji serologi perlu sekiranya kita
menggabungkan dengan perangkat diagnosa yang lain seperti anamnesa, gejala
klinis dan patologi anatomi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan
diagnosa yang lebih tajam dan tepat. Jika ada, kita dapat membandingkan dengan
database titer antibodi (baseline titer) yang telah kita miliki. Dengan begitu,
interpretasi dan hasil serologi akan lebih tajam.
3. 5 PEMERIKSAAN FNAC/FNAB
Pemeriksaan FNAB adalah biopsi aspirasi jarum halus. Pengambilan dan
pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup dengan menggunakan
jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan jarum yang tidak terpimpin
namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan radiologi (USG).
37
Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) memiliki nilai
akurasi diagnostik yang tinggi pada tumor kelenjar ludah jinak maupun ganas
yang akan menjalani pembedahan (lebih dari 80% pada literatur barat).
Bab IV
Penutup
4.1 KESIMPULAN
38
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang salah satu penyebabnya
adalah Epstain-Barr Virus. Virus tersebut memutasi gen p53 sehingga apoptosis
terganggu akibatnya pertumbuhan sel tidak terkontrol hingga terjadi tumor ganas.
4.2 SARAN
Perlu dilakukan pencegahan untuk menekan prevalensi penderita
karsinoma nasofaring.
DAFTAR PUSTAKA
39
Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi
(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima.
Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.
EGC. “Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 28”. Jakarta: EGC.
Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11.
Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.
Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.
Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,
2004.h. 16-18.
40
41